Anda di halaman 1dari 19

LI Kemala Andini P(04011181419052)

HIPERTIROIDISME
2.1 Definisi , epidemiologi dan etiologi
hipertiroid
Penyakit hipertiroidism merupakan bentuk tiroktoksikosis yang paling sering dijumpai
dalam praktek sehari-hari. Dapat terjadi pada semua umur, sering ditemukan pada
1

perempuan dari pada laki-laki. Tanda dan gejala penyakit hipertiroid yang paling mudah
dikenali ialah adanya struma (hipertrofi dan hiperplasia difus), tirotoksikosis (hipersekresi
kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan sering disertai oftalmopati, dan disertai dermopati
2

meskipun jarang.

Patogenesis penyakit hipertiroid sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti.
4

Diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam mekanisme tersebut.

Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya, penyakit Graves dikelompokkan ke dalam penyakit


autoimun, antara lain dengan ditemukannya antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin
Stimulating Hormone - Receptor Antibody /TSHR-Ab) dengan kadar bervariasi. Pada
penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang berada didalam
kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi
terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH
didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid,
dikenal

dengan

mempunyai
Mekanisme

TSH-R

korelasi
autoimunitas

antibodi.
yang

erat

merupakan

Adanya antibodi
dengan
faktor

didalam

aktivitas
penting

sirkulasi

darah

dan kekambuhan penyakit.

dalam patogenesis

hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves.

terjadinya

3,4,5

Sampai saat ini dikenal ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu
tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan TSH reseptor (TSH-R).

Disamping itu

terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid
dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan kandungan orbita
1,2

dan kelenjar tiroid penderitapenyakitGraves.

Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila
terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan molekulmolekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk mempresentasikan antigen

pada limfosit T.

Gambar.2.1.
Patogenesis penyakit Graves

Faktor genetik berperan penting dalam proses otoimun, antara lain HLA-B8 dan HLADR3 pada ras kaukasia, HLA-Bw46 dan HLA-B5 pada ras cina dan HLA-B17 pada orang
kulit hitam. Faktor lingkungan juga ikut berperan dalam patogenesis penyakit tiroid
autoimun seperti penyakit Graves. Virus yang menginfeksi sel-sel tiroid manusia akan
merangsang ekspresi DR4 pada permukaan sel-sel folikel tiroid, diduga sebagai akibat
pengaruh

sitokin

(terutama interferon alfa). Infeksi basil gram negatif Yersinia

enterocolitica, yang menyebabkan enterocolitis kronis, diduga mempunyai reaksi silang


4

dengan autoantigen kelenjar tiroid.

Antibodi terhadap Yersinia enterocolitica terbukti dapat bereaksi silang dengan TSH-R
antibodi pada membran sel tiroid yang dapat mencetuskan episode akut penyakit
Graves. Asupan yodium yang tinggi dapat meningkatkan kadar iodinated immunoglobulin
yang bersifat lebih imunogenik sehingga meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya
4

penyakit tiroid autoimun.

Dosis terapeutik dari lithium yang sering digunakan dalam pengobatan psikosa
manik depresif, dapat pula mempengaruhi fungsi sel limfosit T suppressor sehingga dapat
menimbulkan penyakit tiroid autoimun. Faktor stres juga diduga dapat mencetuskan episode
akut penyakit Graves, namun sampai saat ini belum ada hipotesis dugaan yang memperkuat
tersebut. Terjadinya opthtalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan
antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan dengan
tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan tiroid. Sitokin

yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita,
sehingga menyebabkan

pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia.


Dermopati

(miksedemapretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin didalam

Graves

jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya akumulasi


4

glikosaminoglikans.

Hormon tiroid mempengaruhi hampir seluruh sistem pada tubuh, termasuk pada
pertumbuhan dan perkembangan, fungsi otot, fungsi Sistem Syaraf Simpatik, Sistem
5

Kardiovaskular dan metabolisme karbohidrat.

Homorn tiroid dapat mempengaruhi

metabolisme karbohidrat baik pada kadar hormon yang meningkat (hipertiroid) ataupun
menurun (hipotiroid).
1

Penyakit Graves merupakan penyebab paling umum hipertiroidisme. Sekitar 60%


hipertiroidism disebabkan oleh penyakt Graves. Tirotoksikosis dengan sendirinya adalah
6

diabetogenik.

Variabel intoleransi glukosa dapat terjadi hingga 50% dari pasien

tirotoksokosis dengan kejadian diabetes terjadi pada 2-3%, ketika hipertiroid terjadi pada
individu normal. Perubahan

metabolik mungkin terjadi sebagai akibat dari hipertiroidisme

dan berkontribusi terhadap penurunan kontrol glikemik.

Meskipun resiko terjadinya diabetes melitus hanya berkisar 2-3% pada individu yang
menderita

hipertiroidisme

namun

jika

ini

dijumpai

akan

mempengaruhi

dan

menyebabkan sulitnya mengontrol glukosa darah oleh karena dua kondisi metabolik yang
terjadi secara bersamaan. Berbagai perubahan metabolisme dapat terjadi selama kondisi
hipertiroid dan hal ini dapat mempengaruhi status glukosa darah. Perubahan-perubahan
tersebut diantaranya adalah pada kondisi hipertiroid, waktu pengosongan lambung
menjadi lebih cepat. Absorpsi glukosa pada saluran cerna juga ikut meningkat termasuk
aliran darah di vena portal. Ketika beberapa studi menunjukkan bahwa penurunan sekresi
insulin bisa terjadi pada kondisi hipertiroid, studi- studi lainnya melaporkan level insulin baik
diperifer dan sirkulasi portal justru normal atau meningkat. Sebenarnya kondisi ini bisa
tertutupi oleh karena adanya sekresi insulin yang meningkat termasuk juga degradasi dari
insulin tersebut. Pada hipertiroid insulin clearen meningkat hingga 40%. Kondisi yang
berlama-lama dari gangguan fungsi tiroid ini juga akan menyebabkan gangguan fungsi dari
sel beta sehingga akan menurunkan produksi insulin oleh pankreas dan respon insulin
terhadap glukosa.
Produksi

glukosa

endogenous

meningkat

dengan

beberapa

mekanisme:

Meningkatnya

prekursor

glukoneogenik

dalam

bentuk

laktat,

glutamin dan alanin dari otot rangka dan gliserol dari jaringan lemak.
Meningkatnya konsentrasi free fatty acid (FFA) plasma yang bisa

menstimulasi hepatik glukoneogenesis.

Meningkatnya glikogenolisis oleh karena inhibisi dari sintesa glikogen

Upregulasi dari protein transporter glukosa atau GLUT-2 pada membran plasma

hepatosit

Meningkatnya sekresi dan efek glukagon serta adrenalin terhadap sel-sel hati

Gambar.2.2 Pengeluaran hormon tiroid pada berbagai


sistem organ pada penyakit Graves

Penggunaan glukosa di jaringan adiposa meningkat pada pasien hipertiroid ini


dibuktikan melalui percobaan isolasi jaringan adiposa dari tikus dan pasien hipertiroid
menunjukkan sensitifitas dari transpor glukosa dan penggunaannya terhadap insulin yang
normal, meningkat atau menurun.

14,15

Variabilitas hasil ini mungkin sebagai reflek terhadap


16

perbedaan regional pada jaringan adiposa yang terisolasi.

Peningkatan ambilan glukosa

dan pembentukan laktat terhadap oksidasi glukosa dan proses penyimpanan pada
kondisi hipertiroid.
Kondisi

ini

disebabkan karena meningkatnya insulin basal, stimulasi GLUT1,

GLUT4, meningkatnya respon glikogenolisis

terhadap

stimulasi

beta

adenergik,

meningkatnya aktivitas heksokinase dan fosfofruktokinase serta menurunnya sensitifitas

sintesa glikogen terhadap insulin.

Gambar 2.3 Pengaruh pengeluaran hormon


tiroid di otot pada penyakit Graves.
Sampai saat ini belum ada didapatkan angka yang pasti insidensi dan prevalensi
penyakit Graves di Indonesia. Sementara di Amerika Serikat Sebuah studi yang dilakukan di
Olmstead Country Minnesota diperkirakan kejadian kira-kira 30 kasus per 100.000 orang
per tahun . Prevalensi tirotoksikosis pada ibu adalah sekitar 1 kasus per 500 orang. Di antara
3

penyebab tirotoksikosis spontan, penyakit Graves adalah yang paling umum . Penyakit
Graves merupakan 60-90% dari semua penyebab tirotoksikosis di berbagai daerah di
dunia.

Dalam Studi Wickham di Britania Raya, dilaporkan 100-200 kasus per 100.000

penduduk per tahun.


Insidensi pada wanita di Inggris telah dilaporkan 80 kasus per 100.000 orang per
3

tahun. Pada populasi umum prevalensi gangguan fungsi hormon tiroid diperkirakan 6% .
Wengjun Li dkk (2010) dari Fakultas Kedokteran Universitas Shanghai- Cina, meneliti
tentang hubungan

penyakit Graves dan

Resistensi insulin (RI), pada 27 subjek penyakit

Graves terjadi gangguan metabolisme glukosa sebesar 63,0 % dengan RI 44,4 %.

21

Chih

H C dkk (2011) dari Divisi endokrin dan metabolik, bagian Penyakit Dalam, Kaohsiung
Veterans General

Hospital,

Kaohsiung-Taiwan

meneliti

tentang

RI

pada

pasien

hipertiroidism sebelum dan sesudah pengobatan hipertiroid dan dijumpai adanya perbaikan

RI pada pasien yang mendapat pengobatan selama 3-7 bulan (Journal of Thyroid Research
2011).
2.2

Gambaran Klinis

Pada penyakit Graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan
ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat
hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan.
Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktifitas simpatis
5

yang berlebihan.

Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin

banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun walaupun nafsu makan meningkat,
2,3,5

palpitasi, takikardi, diare dan kelemahan serta atrofi otot.

Manifestasi ekstratiroidal berupa

oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah.
Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai dengan mata melotot,
fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam
mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi.
penyakit

Graves

eksoftalmus.

2,3

antara

lain

adalah

tri

Gambaran

klinik

klasik

dari

tunggalhipertitoidisme, goiter difus dan

Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang umum

ditemukan antara lain palpitasi, nervous, mudah capek, hiperkinesia, diare, berkeringat
banyak, tidak tahan panas dan lebih senang cuaca dingin. Pada wanita muda gejala utama
penyakit Graves dapat berupa amenore atau infertilitas. Pada anak- anak, terjadi peningkatan
pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang. Sedangkan pada penderita usia tua (
> 60 tahun ), manifestasi klinis yang lebih mencolok terutama adalah manifestasi
kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya palpitasi, dyspnea deffort, tremor,
nervous dan penurunan berat badan.

3,4,7,

2.2 Komplikasi
Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler
disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang orbita
sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler akan menyebabkan proptosis (penonjolan)
dari bola mata dan gangguan pergerakan otot-otot bola mata, sehingga dapat terjadi diplopia.
Pembesaran otot- otot bola mata dapat diketahui dengan pemeriksaan CT scanning atau MRI.
Bila pembengkakan otot terjadi dibagian posterior, akan terjadi penekanan nervus opticus
yang akan menimbulkan kebutaan.

3,4,7

2.4 Pemeriksaan laboratorium


Autoantibodi tiroid, TgAb, dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada penyakit Graves
maupun tiroiditis Hashimoto, namun TSH-R Ab (stim) lebih spesifik pada penyakit
4

Graves. Pemeriksaan ini berguna pada pasien dalam keadaan apathetic hyperthyroid atau
pada eksoftamos unilateral tanpa tanda-tanda klinis dan laboratorium yang jelas. Untuk dapat
memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves dan hipertiroidisme umumnya, perlu
mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan (axis) antara kelenjar hipofisis dan
kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin
(T4) dan tri- iodotironin (T3) berada dalam keseimbangan dengan thyrotropin stimulating
hormon (TSH).
Artinya, bila T3 dan T4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya
ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka

produksi TSH akan menurun. Pada penyakit

Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel folikel tiroid, menyebabkan
perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus, sehingga kadar hormon tiroid
menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar
hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi.
Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap
hipertiroidisme, oleh karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar
TSH sampai angka mendekati 0,05mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa kadar
T4 bebas (free T4/FT4).
2.5 Pengobatan.
Walaupun

mekanisme

autoimun

merupakan

faktor

utama

yang

berperan

dalam patogenesis terjadinya sindrom penyakit Graves, namun penatalaksanaannya terutama


2,7

ditujukan untuk mengontrol keadaan hipertiroidisme.

Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme
akibat penyakit Graves,
yodium

yaitu:

Obat

anti

tiroid,

pembedahan

dan

terapi

radioaktif. Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat

ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan respon
atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya.

2,7

2.5.1 Obat Antitiroid:Golongan Tionamid


Terdapat

kelas

obat

golongan

tionamid,

yaitu

tiourasil

dan

imidazol.

Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan
nama metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah

tiamazol yang isinya sama dengan metimazol. Obat golongan tionamid mempunyai efek
intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi
biosintesis hormon tiroid T3 dan T4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi
iodium, menghambat coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan
menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah
menghambat konversi T4 menjadi T3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada
20

metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi T4 ke T3 ini, PTU lebih dipilih
dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera hormon tiroid di perifer.
Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek penghambatan

biosintesis

hormon
17

panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosisi tunggal.

lebih

Belum ada

kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan jangka waktu pengobatan yang
18

optimal dengan OAT.

Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid

(PTU dan methimazole) diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang biasanya dapat
berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah pengobatan.
Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat antitiroid
biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid secara klinis,
diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara tunggal pagi hari). Regimen umum
terdiri dari pemberian PTU dengan dosis awal 100-150 mg setiap 6 jam. Setelah 4-8 minggu,
dosis dikurangi menjadi 50-200 mg, 1 atau2kali sehari. Propiltiourasil mempunyai kelebihan
dibandingkan methimazole karena dapat menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga
efektif dalam penurunan kadar hormon secara cepat pada fase akut dari penyakit Graves.
Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan dosis
tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40 mg setiap pagi selama
18

1-2 bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5-20 mg perhari.

Ada juga pendapat

ahli yang menyebutkan bahwa besarnya dosis tergantung pada beratnya tampilan klinis, tetapi
umumnya dosis PTU dimulai dengan 3 x 100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol dimulai
dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah periode ini dosis
dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia. Apabila respons
pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU 50 mg/hari dan
metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan klinis eutiroid
dan kadar T4 bebas dalam batas normal. Bila dengan dosis awal belum memberikan efek
perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan bertahap sampai dosis maksimal, tentu
dengan memperhatikan faktor- faktor penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum
obat, aktivitas fisis dan psikis.

Meskipun

jarang

terjadi,

harus

diwaspadai

kemungkinan

timbulnya

samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping


yang

lebih

efek

agranulositosis

kecil), gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam

beberapa bulan pertama pengobatan. Agranulositosis merupakan efek samping yang berat
sehingga perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk terapi
alternatif yaitu yodium radioaktif. Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan
17

sariawan, dimana untuk mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika.

Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi dengan Obat
Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic edema, Hepatocellular toxicity
dan Arthralgia Akut. Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut, sebelum
memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk leukosit darah dan tes fungsi
hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek
samping, penghentian penggunaan obat tersebut akan memperbaiki kembali fungsi yang
terganggu, dan selanjutnya dipilih modalitas pengobatan yang lain seperti I

131

atau operasi.

Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba diganti dengan
obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau

17

sebaliknya.

Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves


adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi remisi. Evaluasi
pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk menilai perkembangan klinis dan
biokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan diturunkan sesuai
respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan eutiroid.

19

Kemudian dosis

diturunkan perlahan hingga dosis terkecil yang masih mampu mempertahankan keadaan
eutiroid, dan kemudian evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi.
Sumber:

Efendi,

DL.

2014.

"Penyakit

Hipertiroid".

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39717/4/Chapter%20II.pdf.
Krisis Tiroid dan Tata Laksana
Krisis tiroid merupakan suatu keadaan hipertiroid yang mengalami eksaserbasi sehingga
mengancam kehidupan yang ditandai dengan dekompensasi dari satu atau lebih system organ,
dengan keadaan status hipermetabolik. Krisis tiroid dapat muncul akibat penanganan hipertiroid
yang tidak adekuat. Penyakit Grave menjadi penyebab terbanyak kasus krisis tiroid ditandai
dengan pembesaran kelenjar yang difus, dan dapat dijumpai bruit (peningkatan aliran darah dan
vaskularitas).

Skema 1. Algoritma Hipertiroidisme


Etiologi
Penyebab paling sering tirotoksitosis pada krisis tiroid ialah penyakit grave. Penyakit
grave dimediasi oleh antibody reseptor tirotropin yang menstimulasi sintesis hormone tiroid
menjadi berlebihan dan tidak terkendali(T3 dan T4). Kebanyakan kejadian ini dijumpai pada
wanita muda, namun dapat juga muncul pada semua jenis kelamin dan umur.
Penyakit grave memiliki antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating
Hormone - Receptor Antibody /TSHR-Ab) dengan kadar bervariasi. Limfosit T akibat penyakit
Graves, mengalami perangsangan terhadap antigen yang berada didalam kelenjar tiroid yang
selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut.
Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid
sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibodi.
Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan
kekambuhan penyakit. Mekanisme autoimunitas merupakan faktor penting dalam patogenesis
terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves.
Ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu tiroglobulin (Tg), thyroidal
peroxidase (TPO) dan TSH reseptor (TSH-R),selain itu terdapat pula suatu protein dengan BM
64 kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan
dalam proses terjadinya perubahan kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita penyakit
Graves.

Skema 2. Regulasi Hormon Orang Normal dengan Penderita Graves Disease

Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila terangsang
oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan molekul-molekul
permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk mempresentasikan antigen pada
limfosit T.
Penyebab jarang krisis tiroid termasuk hipersekresi karsinoma tiroid, thyrothropinsecreting pituitary adenoma, teratoma, HCG-secreting hydatiform mole. Penyebab lain antara
lain interferon alfa dan interleukin 2, terpapar iodin, dan pemberian amiodaron. Pemberian
interferon alfa dan interleukin 2 dapat mengganggu ikatan tiroksin dengan globulin sehingga
meningkatkan kadar tiroksin bebas.
Penyebab tirotoksitosis yang paling sering dijumpai adalah hiperaktivitas kelenjat tiroid
yakni meningkatnya kadar hormone tiroid bebas. Peningkatan tiroid bebas dibarengi dengan
penekanan kadar tirotropin, sehingga serum tirotropin umumnya tidak terdeteksi, terkecuali
pada pituitary thyrothripin-secreting adenoma. Selain itu, peningkatan sensitivitas terhadap
katekolamin akibat suatu stressor juga dapat memacu munculnya krisis tiroid.
Gambaran Klinis
Gambaran klinis utama dari krisis tiroid yakni:
1.

Demam

2.

Sinus takikardia atau variasi aritmia, dan dapat dijumpai gagal jantung kongestif

3.

Gejala susunan saraf pusat(gelisah, bingung, delirium,dan koma.

4.

Gejala gastrointestinal (muntah, diare)

5.

Penurunan berat badan

Kondisi Penderita

Skema 3. Proses Terjadinya Krisis Tiroid


Penurunan berat badan merupakan salah satu gejala yang paling banyak dijumpai pada
pasien krisis tiroid. Pada hipertiroid, penderitanya kehilangan berat badan meskipun asupan
kalori yang masuk cukup. Keadaan ini disebabkan oleh hipermetabolisme, ketidakseimbangan
antara produksi energy dan energy yang digunakan sehingga menyebabkan peningkatan
produksi panas dan pembuangan panas. Manifestasinya penderita hipertiroid tidak tahan dengan
keadaan panas dan mengeluarkan keringat berlebihan disertai mudah lelad dan lemah otot.
Selain tanda-tanda diatas, pasien hipertiroid maupun tirotoksikosis akan mengalami
ketidakstabilan emosi, kegelisahan, kecemasan, kebingungan, dan bahkan koma. Gejala
gastrointestinal yang dijumpai termasuk peningkatan frekuensi pergerakan usus yang
menyebabkan pembuangan isi usus lebih cepat. Pada sistem reproduksi, khususnya wanita, akan
terjadi perubahan pada siklus menstruasi. Pada pria dapat terjadi penurunan libido dan
ginekomastia.
Gejala kardiorespirasi pada penderita tirotoksikosis antara lain palpitasi dan sesak saat
beraktivitas, selain itu juga dapat mengalami nyeri dada yang identic dengan angina pectoris,
hal ini muncul akibat meningkatnya kebutuhan oksigen dan spasme arteri coroner. Selain itu
dijumpai juga takikardia serta tekanan darah naik.

Diagnosis
Pada keadaan krisis tiroid, pola peningkatan kadar T4 dan T3 bebas dengan penekanan
kadar tirotropin (kurang dari 0.05 U/mL) sebanding dengan kadar hormon tersebut pada
tirotoksikosis. Setelah sintesis hormon tiroid, kelenjar tiroid utamanya mensekresikan T4.
Diperkirakan 80% dari T3 yang bersirkulasi berasal dari monodeiodinasi T4 di jaringan perifer,
dimana hanya 20% T3 yang aslinya disekresikan oleh kelenjar tiroid. Baik T4 dan T3 berikatan
denagn protein: thyroxine-binding globulin, transthyretin, dan albumin. Hanya fraksi kecil dari
hormon, 0.025% T4 dan 0.35% T3 dalam bentuk bebas dan tidak terikat, oleh karena
pemeriksaan laboratorium T3 total dan T4 total, pengukuran tersebut terutama untuk
konsentrasi hormon yang berikatan dengan protein, sehingga dapat dipengaruhi oleh kondisi
yang dapat mempengaruhi ikatan protein. Thyroxin-binding globulin meningkat pada keadaan
hepatitis dan kehamilan, dan pada pasien yang mendapat estrogen, opiat. Sebagai tambahan,
banyak obat yang mengganggu ikatan protein, termasuk heparin, furosemid, fenitoin,
karbamazepin, diazepam, salisilat, dan obat-obat NSAID, oleh karena gangguan ini berefek
pada kadar hormon tiroid total, konsentrasi hormon bebas lebih baik dalam mendiagnosis
tirotoksikosis.
Kadar serum total dan konsentrasi T3 bebas meningkat pada kebanyakan pasien
tirotoksikosis oleh karena peningkatan produksi T3 tiroidal dan konversi ekstra tiroidal dari T4
menjadi T3 lebih cepat. Gambaran laboratorium lain yang mungkin berhubungan dengan
tirotoksikosis termasuk hiperglikemia, hiperkalsemia, leukositosis, abnormalitas enzil liver,
peningkatan kadar alkalin fosfatase, dan peningkatan glikogenolisis. Hiperkalsemia ringan dan
peningkatan alkalin fosfatase dapat muncul oleh karena hemokonsentrasi dan hormon tiroid itu
sendiri yang dapat menstimulasi resorpsi tulang.
Fungsi adrenokortikal juga dipengaruhi oleh tirotoksikosis. Tirotoksikosis mempercepat
metabolisme kortisol endogen/eksogen dengan menstimulasi degradasi glukokortikoid yang
umumnya dilakukan oleh enzim hati D4,5steroid reduktase. Dan karenanya, kortisol dan steroid
lain, termasuk kortikosteron, deoksikortikosteron, dan aldosteron dimetabolisme dengan lebih
cepat, namun dalam keadaan tirotoksikosis, baik degradasi dan produksi kortisol harus
meningkat, sehingga tercapai kadar kortisol darah yang normal/meningkat. Pada keadaan krisis
tiroid, kadar kortisol yang normal, dapat memberikan interpretasi sebagai indikasi adanya
inssufisiensi adrenal. Kortikosteroid dan hormon adrenokortikotropin menghambat tiroid
dengan cara meningkatkan klirens iodium dan menghambat TSH pada hipofisis, oleh karena itu
sering dijumpai pada krisis tiroid, terlihat insufisiensi adrenal, hal ini dikarenakan degradasi dari
kortisol dan steroid dipercepat.
Pengobatan

Penatalaksanaan medis dari krisis tiroid terdiri dari suatu rangkaian pengobatan yang
bertujuan untuk menghentikan sintesis hormon yang baru di kelenjar tiroid, menghambat
pelepasan hormon yang disimpan dari kelenjar tiroid, dan menghambat efek hormon tiroid di
jaringan

perifer

dengan

cara

pencegahan

konversi

dari

T4

menjadi

T3;

mengendalikan/mengontrol simptom adrenergik yang berhubungan dengan tirotoksikosis, dan


mengontrol dekompensasi sistemik dengan terapi suportif.
Urutan terapi pada krisis tiroid sangat penting, sehubungan dengan penggunaan
thionamide dan terapi yodium. Pada kebanyakan pasien, menghambat sintesis hormon tiroid
yang baru dengan thionamide harus dilakukan terlebih dahulu sebelum terapi iodin dilakukan,
untuk mencegah stimulasi pembentukan/sintesis hormon tiroid baru yang hal ini dapat muncul
jika iodine diberikan terlebih dahulu, namun waktu penundaan pemberian agen antitiroid dan
pemberian yodium masih merupakan kontroversi, dan hanya dapat diberikan dalam waktu 3060 menit.
Obat antitiroid; dalam hal ini tionamid, telah digunakan untuk pengobatan tirotoksikosis
sejak pengenalan klasifikasi obat ini tahun 1943. Dua spesifik kelas obat antitiroid adalah
tiourasil dan imidazol. Propiltiourasil (PTU) adalah tiourasil, sementara methimazole dan
karbimazole adalah imidazole. Walaupun PTU dan metimazol digunakan sangat luas di US,
karbimazol hanya umum dijumpai di eropa. Karbimazol dimetabolisme sangat cepat menjadi
metimazole.
Didalam kelenjar tiroid, tionamid menghalangi proses coupling oleh tiroperoksidase.
Tionamid juga mempunyai efek menghambat fungsi dan pertumbuhan dari sel folikular tiroid.
Diluar dari kelenjar tiroid, PTU, tetapi bukan metimazol, menghambat konversi dari T4 menjadi
T3. Tionamid juga mempunyai peran klinis yang penting untuk menekan antibodi reseptor
antitirotropin dan menurnkan molekul-molekul imunologis seperti ICAM-1 dan IL-2. Obat
antitiroid juga menginduksi apoptosis dari limfosit intratiroidal dan menurunkan ekspresi HLA
antigen kelas II.
Metimazol memiliki waktu paruh yang lebih panjang dari PTU, sehingga frekuensi
pemberiannya lebih sedikit. Obat-obat lain juga dapat dipertimbangkan dalam pengobatan krisis
tiroid. PTU mempunyai efek tambahan yang menguntungkan yaitu menghambat konversi dari
T4 menjadi T3. Durasi aksi dari metimazole lebih panjang, sehingga dapat diberikan dengan
frekuensi lebih sedikit, dibandingkan dengan pemberian 3-4x PTU. Penulis merekomendasikan
pemberian dosis krisis tiroid PTU adalah 800-1200 mg/hari yang terbagi atas 200-300 mg setiap
6 jam. Dosis untuk metimazole adalah 80-100 mg/hari terbagi atas dosisi 20-25 mg setiap 6 jam
(sekali stabil, frekuensi dari dosis dapat diturunkan menjadi 1-2x sehari). Pemberian kedua obat
ini melalui oral, namun, metimazol dan PTU juga dapat diberikan per rektal. Pemberian agen ini

intravena juga dapat dipertimbangkan sejak ditemukan bahwa farmakokinetik obat ini
cenderung sama baik untuk oral ataupun intravena.
Banyak penelitian menunjukkan efektivitas dari sediaan suppositoria agen obat-obat ini.
Bentuk sediaan enema memberikan hasil yang lebih baik dari segi bioavailabilitas dan
efektivitas daripada sediaan suppositoria, namun kedua sediaan ini mempunyai efek terapeutik
yang sebanding.
Efek samping yang sering dijumpai dari obat antitiroid termasuk abnormalitas
pengecapan, pruritus, urtikaria, demam dan arthralgia. Efek sampin yang lebih jarang dan lebih
serius adalah agranulositosis, hepatotoksisitas, dan vaskulitis, dapat dipertimbangkan pemberian
granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) untuk pengobatan dari agranulositosis yang
disebabkan oleh pengobatan antitiroid.
Settingan pengobatan krisis tiroid, terapi iodin melengkapi efek dari terapi tionamid.
Terapi tionamid menurunkan sintesis dari produksi hormon yang baru; terapi idone
menghambat pelepasan hormon yang disimpan, dan menurunkan transportasi iodida dan
oksidasi di sel folikular. Penurunan ini, dikarenakan peningkatan dosis iodida inorganik yang
dikenal sebagai efek Wolff- Chaikoff atau menghambat proteolisis tiroglobulin. Kenaikan
kecil dari iodida yang tersedia, menyebabkan peningkatan pembentukan hormon tiroid, namun,
jumlah besar iodida eksogen menghambat pembentukan hormon. Pada konsentrasi iodida lebih
dari 1mol/L, proses iodinasi dihambat. Walaupun efek pemberian ini dapat berguna, kelenjar
tiroid akhirnya akan lolos (escape) setelah administrasi iodide paling tidak dalam 48 jam, hal ini
dikarenakan kelenjar tiroid akhirnya akan lolos dari penghambatan ini. Proses ini terjadi oleh
karena sistem transportasi iodida menyesuaikan diri dengan konsentrasi iodida yang lebih tinggi
melalui modulasi aktivitas simporter natrium-iodida (Escape effect). Walaupun iodide efektif
menurunkan kadar hormon tiroid dengan cepat, biasanya dalam waktu 7-14 hari, kebanyakan
efek ini akan hilang (escape) dan akan kembali ke keadaan hipertiroid dalam 2-3 minggu, jika
tidak ada pengobatan lain diberikan, oleh karena itu penggunaan iodide untuk mengobati
tirotoksikosis masih terbatas, dan oleh sebab itu hanya digunakan pada tirotoksikosis berat/
krisis tiroid dengan kombinasi dengan terapi tionamid.
Formula oral dari iodine inorganik termasuk larutan lugol dan saturated solution of
potassium iodide. Dosis untuk sediaan ini (krisis tiroid) adalah 0.2 sampai 2 gram perhari,
dengan 4-8 tetes larutan lugol (20 drops/ml, 8 mg iodine/tetes) setiap 6-8 jam dan 5 tetes
saturated solution of potassium iodide (20 tetes/mL, 38 mg iodide/tetes) setiap 6 jam.
Pemberian agen kontras teriodinasi peroral, asam iopanoic, dan sodium ipodate, mempunyai
efek multipel pada hormon tiroid di perifer dan didalam kelenjar tiroid. Agen kontras teriodinasi
ini kompetitif menghambat enzim 5 monodeiodimnase tipe 1 dan 2 di hati, otak, dan tiroid,
menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga menyebabkan penurunan kadar T3 sangat cepat.

Agen ini juga dijumopai menghambat ikatan T3 dan T4 pada reseptor seluler. Pada krisis tiroid,
sodium ipodate (3087 mg iodine/500 mg kapsul) diberikan 1 sampai 3 gram/hari, biasanya,
asam iopanoic diberikan dengan dosis 1 gram setiap 8 jam untuk 24 jam pertama, diikuti degnan
500 mg dua kali sehari. Agen antitiroid yang efektif ini, tidak dipasarkan secara komersial lagi.
Mengontrol manifestasi kardiovaskular dari tirotoksikosis, merupakan bagian penting dari
manajemen tirotoksikosis. Perubahan manifestasi kardiovaskular pada tirotoksikosis muncul
dikarenakan efek hormon tiroid yang berbeda pada jantung dan vaskularisasi sistemik. Hormon
tiroid menurunkan resistensi vaskular sistemik melalui aksi vasodilator langsung di otot polos
dan pelepasan nitrit oksida oleh endotel atau endothelial derived vasodilators lain. Efek dari
hormon tiroid terhadap jantung sebagian besar disebabkan oleh efek genomik dari T3 yang
berikatan dengan reseptor nukleus spesifik. Hal ini berperan besar dalam memodulasi struktur
jantung dan kontraktilitas. Spesifiknya, T3 mengaktivasi transkripsi rantai berat miosin-alfa
(MHC-alfa), dan menekan transkripsi dari rantai berat miosin-beta (MHC-beta). Protein
miofibril, yang merupakan komposisi dari filamen tebal miosit jantung. T3 juga meregulasi
produksi protein retikulum sarkoplasma, calcium-activated ATPase, fosfolamban, selain itu, T3
juga mempunyai efek nongenomik, dengan mempengaruhi status sodium, potassium dan kanal
kalsium.
Penghambat beta, penting untuk mengontrol aksi perifer dari hormon tiroid. Penggunaan
antagonis reseptor beta-adrenergik dalam penatalaksanaan krisis tiroid pertama kali dilaporkan
pada tahun 1966 dengan menggunakan obat-obatan pronetalol. Tidak lama kemudian,
propranolol menjadi obat beta bloker yang palin sering digunakan di US. Pada krisis tiroid,
propranolol digunakan dalam dosis 60-80 mg setiap 4 jam, atau 80-120 mg setiap 4 jam. Onset
aksi setelah pemberian oral membutuhkan waktu 1 jam. Untuk efek lebih cepat, propranolol
dapat diberikan parenteral, dengan bolus 0.5 sampai 1 mg dalam 10 menit diikuti dengan 1
sampai 3 mg dalam waktu 10 menit. Esmolol juga dapat diberikan parenteral dengan dosis 50100 g/kg/menit. Dosis propranolol memerlukan dosis yang relatif lebih besar (ie:
tirotoksikosis) oleh karena metabolisme obat lebih cepat, dan mungkin dikarenakan reseptor
jantung beta-adrenergik lebih banyak. Pemberian beta-bloker intravena harus dilakukan dengan
monitoring yang tepat. Propranolol dengan dosis besar (> 160 mg/hari) dapat menurunkan kadar
T3 sebanyak 30%. Efek ini, dimediasi oleh inhibisi 5 monideiodinase. Oleh karena propranolol
memiliki waktu paruh yang pendek, dosis lebih besar dengan frekuensi lebih sering diperlukan.
Atenolol juga dapat digunakan pada tirotoksikosis, dengan rentang dosis 50-200 mg/ hari,
namun mungkin membutuhkan dua kali sehari untuk mencapai kontrol yang adekuat. Agen oral
lain yang dapat digunakan antara lain metoprolol 100-200 mg/hari dan nadolol 40-80 mg/hari.
Kontraindikasi relatif penggunaan antagonis reseptor antagonis termasuk riwayat gagal jantung
yang berat dan dijumpai penyakit penyempitan jalan nafas.

Salah satu komplikasi kardiovaskular dari tirotoksikosis adalah atrial fibrilasi, yang
muncul pada 10%-35% kasus. Isu penggunaan antikoagulan pada atrial fibrilasi dalam settingan
tirotoksikosis masih kontroversi. Pada suatu studi retrospektif, pasien tirotoksikosis dengan
atrial fibrilasi, tidak dalam keadaan status embolik, dibandingkan dengan pasien yang memiliki
atrial fibrilasi dikarenakan penyebab lain. Konsensus mengatakan bahwa pada pasien tirotoksik
yan gmengalami atrial fibrilasi, terapi antitrombotik dilakukan jika dijumpai faktor resiko untuk
stroke. Usia dan penyakit jantung merupakan faktor resiko tromboemboli pada krisis tiroid, oleh
karena itu, warfarin atau aspirin mungkin dapat digunakan. Pasien tirotoksik membutuhkan
dosis warfarin lebih kecil daripada pasien eutiroid oleh karena peningkatan klirens faktor
koagulasi bergantung-vitamin K.
Glukokortikoid, termasuk dalam hal ini deksametason dan hidrokortison, juga telah
digunakan untuk mengobati krisis tiroid, oleh karena obat ini mempunyai efek menghambat
konversi dari T4 menjadi T3, oleh karena itu glukokortikoid efektif mengurangi kadar T3
sebagai terapi adjuvantivus. Dan juga glukokortikoid, digunakan pada krisis tiroid, untuk
mengobati kemungkinan adrenal insufisiensi relatif. Beberapa studi menemukan kadar serum
kortisol yang rendah pada pasien dengan krisis tiroid. Pada pasien dengan tirotoksikosis,
pengobatan dengan glukokortikoid merupakan standar pengobatan oleh karena kejadian adrenal
insufisiensi relatif, atau kemungkinan misdiagnosis penyakit addison atau insufisiensi renal.
Dosis glukokortikoid pada krisis tiroid dapat menggunakan hidrokortison 100 mg intravena
setiap 8 jam, dengan penurunan dosis (tappering off) sejalan dengan perbaikan gejala klinis
krisis tiroid.
Pengobatan faktor pencetus krisis tiroid merupakan bagian yang penting, mengingat
bahwa faktor pencetus yang paling sering dijumpai adalah infeksi. Jika faktor pencetus tidak
dijumpai, maka pencarian lebih jauh untuk kemungkinan sumber infeksi dianjurkan pada pasien
krisis tiroid yang demam; hal ini dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah, urin, kultur dahak,
dan radiografi dada atau CT non-kontras. Antibiotik empirik tidak dianjurkan tanpa ada bukti
dijumpai sumber infeksi. Pengobatan penyakit yang mendasari harus dilakukan sejalan dengan
pengobatan tirotoksikosis itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Ginting, Ananda W. 2013. Krisis Tiroid, ikaapda.com/resources/Endokrin/Reading/krisistiroid.pdf. Universitas Sumatera Utara: Medan (diunduh pada tanggal 22 Desember 2015
pukul 19.00 WIB).
Setiati, Siti, dkk (ed). 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 6 Jilid 1 Halaman 129-152
dan 213-282. Interna Publishing: Jakarta.
Setiati, Siti, dkk (ed). 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 6 Jilid 2Halaman 24552463. Interna Publishing: Jakarta.
Tanto, Chris, dkk (ed). 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4 Jilid 2 Halaman 787-789.
Media Aesculapius: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai