Anda di halaman 1dari 46

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Graves adalah salah satu jenis gangguan pada sistem

kekebalan tubuh yang menjadi penyebab umum hipertiroid, yaitu sekitar 60-

80% dari seluruh kasus hipertiroid di dunia. Penyakit Graves melibatkan

thyroid-stimulating immunoglobulin (TSI) yang berikatan dengan thyroid-

stimulating hormone receptor (TSHR) pada kelenjar tiroid. Penyakit Graves

merupakan kelainan autoimun terbanyak, yang mengenai 2 – 2,5% wanita dan

0,2 – 0,6% pria di seluruh dunia.1 Di Indonesia, prevalensi penyakit Graves

mencapai 0,4%. Di Sumatera barat sendiri dilaporkan sebanyak 697 kasus

pada tahun 2011 dan 716 jumlah kasus pada tahun 2012.2

Penyakit Graves sebagian besar terjadi pada individu dalam usia

reproduksi. Gambaran klinis utama pada penyakit Graves adalah keadaan

hipertiroid. Pada penyakit Graves, hipertiroid akan diikuti adanya pembesaran

kelenjar tiroid (struma), kelainan pada mata (oftalmopati), dan kulit

(dermopati). Ketiga hal tersebut disebut dengan trias Graves.1,2

Hipertiroid pada penyakit Graves disebabkan oleh ikatan autoantibodi

terhadap TSHR di kelenjar tiroid. Ketika TSHR distimulasi, hormon tiroid

akan disekresikan dalam jumlah yang banyak, yang kemudian akan

menyebabkan hipertiroid. Hingga saat ini, patogenesis penyakit Graves belum

dipahami sepenuhnya. Efek kombinasi faktor lingkungan dan predisposisi

1
genetik akan mengganggu toleransi terhadap self-antigen, sehingga

menimbulkan reaksi autoimun.3

Patofisiologi penyakit Graves belum sepenuhnya dipahami. Seperti

halnya penyakit autoimun lainnya, proses autoimun pada penyakit Graves

diawali oleh kegagalan toleransi terhadap autoantigen yang memicu

serangkaian respons imun adaptif. Hasilnya adalah pembentukan autoantibodi

yang berlebihan. Beberapa penelitian pada hewan dan manusia menunjukkan

ada beberapa perubahan respon imun adaptif pada penyakit Graves, yaitu

respon dari sel T dan sel B limfosit.4

Sel T limfosit dapat dibagi berdasarkan perannya menjadi sel T

cytotoxic (Tc) atau T helper (Th). Tc menginfiltrasi kelenjar tiroid dan dapat

memediasi apoptosis dan destruksi dari thyroid follicular cells (TFC) melalui

aktivasi dari membran reseptor CD95 (Fas-FasL). Di lain hal, Th bereaksi

dengan sel lain, termasuk sel B dan Antigen Presenting Cells (APC) dan

beraksi dengan mensitesis sitokin yang spesifik. Umumnya sel Tc

mengeluarkan CD8+ pada membrannya, sedangkan sel Th mengekspresikan

CD4 pada membrannya.4

Peranan CD4 penting dalam penyakit autoimun, termasuk pada

penyakit Graves. Yuan et al (2017) menyatakan bahwa salah satu peran CD4

adalah untuk mempertahankan keseimbangan antara subset Th. Namun,

kelainan kadar atau fungsi dari CD4 yang dihubungkan dengan penyakit

Graves masih terus diteliti. CD4 kemudian akan berdiferensiasi menjadi salah

satu dari subset sel Th melalui pengaruh interleukin tertentu.5

2
3

Sel Th berperan penting dalam regulasi sistem imun pada penyakit

Graves. Regulasi sistem imun pada penyakit Graves melibatkan keseimbangan

antara T-helper 1 (Th1), T-helper 2 (Th2), T-helper 17 (Th17), dan T-

regulator (Treg). Th1 dan Th2 akan mensekresikan sitokin yang berbeda yang

memiliki peran signifikan dalam patogenesis penyakit, termasuk penyakit

autoimun. Kedua tipe sel tersebut akan mempengaruhi respon imun melalui

jalur yang berbeda. Sitokin yang disekresikan melalui jalur Th1, seperti

interferon- (IFN-), tumor necrosis factor- (TNF-), dan interleukin-2 (IL-

2), berkontribusi terhadap imunitas seluler untuk melawan virus dan patogen

intraseluler lainnya, mengeliminasi sel kanker, dan merangsang reaksi

hipersensitivitas pada kulit. Sitokin yang disekresikan melalui jalur Th2, salah

satunya adalah interleukin-4 (IL-4), berkontribusi terhadap imunitas humoral,

mengatur produksi antibodi untuk melawan organisme di luar sel. Aktivitas

yang berlebihan pada salah satu jalur akan mengganggu aktivitas jalur yang

lain. Ketidakseimbangan Th1 dan Th2 pada penyakit Graves akan

menyebabkan produksi autoimun yang berlebihan oleh sel B seperti

thyrothropin receptor antibody (TRAb), anti-thyroid peroxidase (TPO) dan

anti tiroglobulin.6

T-helper 2 selalu mensekresikan IL-4. IL-4 menginduksi perubahan

isotipe IgG1, IgG3, IgG4 dan IgE. IL-4 menstimulasi jumlah isotipe

Immunoglobulin G3-Secreting Cells (IgG3-SCs) yang dihubungkan dengan

derajat beratnya penyakit Graves dan kadar TRAb disamping dapat juga

merubah IgG1 yang bisa menstimulasi produksi TRAb secara efektif.6


Thyrothropin receptor antibody adalah autoantibodi yang berikatan

dengan TSHR pada kelenjar tiroid sehingga terjadi produksi hormon tiroid

yang berlebihan. Dideteksinya TRAb memberikan beberapa makna klinis,

seperti dikonfirmasinya penyakit Graves. Selain itu, pemeriksaan kadar TRAb

juga digunakan untuk memprediksi relaps dari terapi penyakit Graves.7

Selain dipengaruhi oleh sistem imun bawaan dan adaptif, penyakit

Graves juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti vitamin D. Terkait

dengan respons imun yang terjadi pada penyakit Graves, vitamin D atau 25-

Hidroxyvitamin D (25(OH)D) merupakan hormon yang memiliki efek non-

klasik sebagai imunomodulator. Bentuk aktif dari vitamin D, calcitriol (1,25-

dihydoxyvitamin D3), mempengaruhi aksi dari limfosit T dengan

menghambat proliferasi Th1 yang berujung pada penurunan dari aktivasi

makrofag produksi IFN- dan IL-2. Disamping itu, calcitriol meningkatkan

jumlah sel Th2 dengan membantu sel dendritik/APC untuk memproduksi

sitokin (IL-4, IL-5, IL-10) yang membantu diferensiasi sel T terhadap Th2.8

Studi oleh Yamashita et al (2001) menunjukkan bahwa kadar

25(OH)D lebih rendah pada pasien dengan penyakit Graves dibandingkan

dengan pasien sehat. Lebih jauh lagi, kadar 25(OH)D pada pasien perempuan

dengan penyakit Graves lebih rendah dibandingkan pasien laki-laki. Temuan

ini diperkuat oleh studi Yasuda yang menunjukkan kadar 25(OH)D serum

yang rendah secara signifikan pada pasien penyakit Graves yang tidak

mengalami remisi dibandingkan dengan pasien dengan remisi, atau subjek

normal. Kedua studi menunjukkan peran kadar vitamin D pada patogenesis

penyakit Graves.9

4
5

Peran vitamin D dalam penyakit autoimun masih terus diteliti.

Kemungkinan hubungannya dimulai dari temuan epidemiologi bahwa

penyakit autoimun lebih sering ditemukan di daerah dengan paparan sinar

matahari yang rendah. Populasi dengan penyakit autoimun cenderung

memiliki kadar vitamin D yang lebih rendah daripada populasi normal.1,2

Shin et al (2014) melaporkan pada pasien dengan peningkatan kadar

anti tiroid antibodi secara signifikan menunjukkan kadar 25(OH)D yang lebih

rendah dibandingkan dengan subjek normal. Unal et al (2014)

membandingkan antara pasien yang baru dikenal menderita penyakit tiroid

autoimun dengan kontrol sehat, ditemukan rendahnya kadar 25(OH)D pada

pasien Graves dibandingkan kontrol.10

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul “Korelasi Antara Kadar 25-

Hidroxyvitamin D Serum dengan Interleukin-4 dan Thyrotropin Receptor

Antibody pada Penyakit Graves”.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah terdapat korelasi antara kadar 25(OH)D serum dengan IL-4

dan TRAb pada penyakit Graves?


1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara kadar 25(OH)D serum dengan IL-4 dan

TRAb pada penyakit Graves.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui kadar 25(OH)D pada penyakit Graves.

2. Mengetahui kadar IL-4 pada penyakit Graves.

3. Mengetahui kadar TRAb pada penyakit Graves.

4. Mengetahui korelasi antara kadar 25(OH)D serum dengan IL-4 pada

penyakit Graves.

5. Mengetahui korelasi antara kadar 25(OH)D dengan TRAb pada

penyakit Graves.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan data untuk

pengembangan ilmu pengetahuan mengenai korelasi antar kadar

25(OH)D serum dengan IL-4 dan TRAb pada penyakit Graves.

2. Penelitian ini dapat memperluas pemahaman tentang peranan

vitamin D pada penyakit Graves.

6
BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Penyakit Graves

2.1.1 Definisi

Penyakit Graves, dinamakan seperti nama penemunya Robert J Graves,

MD tahun 1830, merupakan sebuah penyakit tiroid autoimun yang memiliki

ciri khas adanya hipertiroidisme, struma difus dan tiroid antibodi. Antibodi

Imunoglobulin G (IgG) yang mengikat dan mengaktifkan reseptor tirotropin

(Thyrotropin Receptor Antibody - TRAb), yang menyebabkan kelenjar tiroid

membesar dan folikel tiroid bertambah untuk mensintesis hormon tiroid.

Penyakit Graves merupakan penyakit autoimun dengan penyebab

multifaktorial, ada kerentanan genetik serta interaksi antara faktor endogen dan

faktor lingkungan. Penyakit Graves bersama dengan tiroiditis Hashimoto,

diklasifikasikan sebagai penyakit tiroid autoimun.1,10

Hipertiroid merupakan respon jaringan tubuh terhadap pengaruh

metabolik hormon tiroid yang berlebihan. Secara biokimiawi, hipertiroid

didefinisikan dengan rendahnya kadar Thyroid-stimulating Hormone (TSH)

serum. Berdasarkan kadar Thyroxine (T4) dan Triiodothyronine (T3) serum,

hipertiroid dapat dibagi menjadi hipertiroid klinis dan subklinis.10,11

Hipertiroid bisa disebabkan oleh stimulasi reseptor TSH yang

berlebihan, sekresi otonom hormon tiroid, kerusakan folikel tiroid dengan

pelepasan hormon tiroid, dan sekresi hormon tiroid dari sumber ekstratiroidal.

Penyebab hipertiroid paling banyak di dunia adalah penyakit Graves. Penyakit

7
Graves adalah penyakit autoimun yang melibatkan TSI yang berikatan dengan

TSHR pada kelenjar tiroid. Di dunia, penyakit Graves terjadi pada 2 – 2,5%

wanita dan 0,2 – 0,6% pria.1,2,11

2.1.2 Epidemiologi

Penyakit Graves merupakan penyakit autoimun. Insiden penyakit ini

bervariasi disetiap daerah tetapi mengalami kecenderungan peningkatan.

Distribusi penyakit Graves di dunia menurut data yang tersedia terlihat relatif

sama mempengaruhi seluruh negara dan ras. Penyakit Graves 5-10 kali lebih

sering terjadi pada wanita dibandingkan pria. Di Amerika Serikat penyakit

Graves terjadi pada 0,5% populasi dan muncul 50-80 % sebagai hipertiroid.

Penyakit Graves sering terjadi pada wanita, perokok dan pasien dengan

penyakit autoimun lainnya atau ada riwayat keluarga dengan penyakit tiroid

autoimun. Penyakit Graves mencapai puncaknya pada usia 40 dan 60 tahun

tapi bisa mengenai seluruh usia. Faktor genetik berperan dalam 80% kejadian

Graves dan sisanya sebanyak 20% dihubungkan dengan lingkungan seperti

rokok, hormon seks, kehamilan, stress, infeksi dan asupan iodium.12,13,14,15

Di dunia, penyakit Graves merupakan penyebab terbanyak terjadinya

tirotoksikosis spontan. Penyakit Graves meliputi 60 - 90% dari semua

penyebab tirotoksikosis pada beberapa daerah di dunia. Insiden penyakit ini di

Eropa berkisar antara 1 sampai 2 % dari semua penduduk dewasa. Di Amerika

dilaporkan kasus penyakit Graves ± 1% dari populasi dan 20-27 per 1000

perempuan dan 1,5-2,5 per 1000 laki laki. Pada penelitian Wickham di United

Kingdom (UK) dilaporkan 100-200 kasus per 100.000 populasi per tahun.

Kejadian pada wanita di UK dilaporkan 80 kasus per 100.000 penduduk per

8
9

tahun. Sedangkan prevalensi penyakit Graves di China mencapai 2-3% dari

populasi dan terbanyak ditemukan pada wanita. 13,16

Di Indonesia, berdasarkan RISKESDAS 2013, menunjukan angka

kejadian 0,4% dari populasi. Walaupun dari persentase terlihat kecil tetapi jika

dihitung dari populasi merupakan angka yang cukup besar dan cenderung

mengalami peningkatan. Di RSUP M Djamil padang selama 9 bulan pada

tahun 2012 ditemukan sekitar 25 pasien baru penyakit Graves.17

2.1.3 Profil dan Manifestasi Klinis

Penyakit Graves merupakan penyakit multifaktorial dimana genetik,

lingkungan dan hormonal memainkan peranan tersendiri. Selain lingkungan,

faktor endokrin, genetik, dan faktor disfungsi sistem imun memiliki peranan

penting dalam patogenesis penyakit Graves. Hingga saat ini, mekanisme

interaksi sistem imun yang menginduksi terjadinya penyakit Graves masih

sedikit dimengerti.11

Biosintesis hormon tiroid merupakan suatu urutan tahapan yang diatur

oleh enzim-enzim tertentu. Tahapan tersebut adalah tahap trapping transpor

aktif iodida lewat membran basal ke sel folikel, tahap oksidasi iodida dan

iodinisasi residu di tiroglobulin, tahap binding, tahap coupling dari molekul

iodotirosin dalam tiroglobulin membentuk T4 dan T3, dan tahap pelepasan

hormon tiroid ke sirkulasi. Proses ini melibatkan glikoprotein yang dinamakan

tiroglobulin dan enzim esensial yang disebut dengan TPO. Tahapan proses

biosintesis dan sekresi dari hormon tiroid ini dirangsang oleh TSH.11

Hormon tiroid yang bersirkulasi dalam plasma terikat pada protein

plasma, yaitu thyroxine-binding globulin (TBG), thyroxine-binding


prealbumine (TBPA), dan thyroxine-binding albumine (TBA). Kebanyakan

hormon dalam sirkulasi terikat pada protein-protein tersebut dan hanya

sebagian kecil saja berada dalam bentuk bebas. Hormon yang terikat dan

bebas berada dalam keadaan keseimbangan yang reversibel. Hormon yang

bebas merupakan fraksi yang aktif secara metabolik.11

Kadar hormon tiroid dikontrol oleh TSH, yang dihasilkan oleh kelenjar

hipofisis anterior. Kadar TSH diatur oleh Thyrotropin-releasing Hormone

(TRH) yang dihasilkan oleh kelenjar hipotalamus. Hormon tiroid kemudian

akan memberikan feedback negatif ke kelenjar hipofisis dan hipotalamus.11

Manifestasi klinis hipertiroid berkisar dari asimptomatik hingga krisis

tiroid. Peningkatan kadar hormon tiroid memperkuat efek katekolamin melalui

peningkatan jumlah reseptor beta-adrenergik pada membran sel. Gejala

adrenergik merupakan manifestasi klinis yang paling sering ditemukan pada

keadaan hipertiroid. Beberapa gejala adrenergik tersebut adalah palpitasi,

intoleransi terhadap panas, diaforesis, dan tremor. Hipermetabolisme

menyebabkan penurunan berat badan walaupun terjadi peningkatan nafsu

makan. Gejala neuromuskular juga bisa terjadi seperti kelemahan otot

proksimal. Gejala psikiatri yang muncul bisa mulai dari cemas hingga

psikosis. Pasien hipertiroid yang sudah lama tidak ditatalaksana bisa

mengalami fibrilasi atrium dan gagal jantung.11

10
11

2.1.4 Patogenesis Penyakit Graves

Patogenesis dari Penyakit Graves mungkin disebabkan oleh gagalnya

kontrol mekanisme toleransi pada tingkatan yang berbeda (sentral dan perifer)

dan melibatkan subset sel yang berbeda (sel B dan sel T) dan antigen.18

Gambar 2.1 Patogenesis penyakit Graves19

Gejala penyakit Graves disebabkan oleh autoimun. Sel-sel tiroid akan

berinteraksi dengan sistem imun yang mengeksaserbasi gejala hipertiroidisme.

Kekurangan genetik klonal pada sel T supresor mungkin merupakan penyebab

tidak teraturnya produksi antibodi reseptor TSH. Th menginduksi diferensiasi

sel B yang menyebabkan produksi antibodi tiroid: TRAb, Anti Tg, dan anti

TPO. Meningkatnya TSHR spesifik sel T di orbita dan kulit, akan merangsang

sekresi sitokin yang selanjutnya menginduksi diferensiasi preadiposit,

proliferasi fibroblas, produksi glikosamin hidrofiklik dan fibroblas. Ekspansi

lemak pada orbita dan penebalan otot ekstraokuler. Sel folikular kelenjar tiroid
mengekspresikan reseptor TSH yang kemudian berikatan pada antibodi TSH

yang kemudian secara kronis meningkatkan produksi T4 dan T3 yang akhirnya

menimbulkan gejala hipertiroid dan pembesaran kelejar tiroid (struma).20,21,22

Disfungsi sistem imun pada penyakit Graves melibatkan reseptor

autoantibodi TSH yang sepertinya mengalami kenaikan seiring dengan

interaksi antara sel dendritik dan subset sel T.23

2.1.5 Respons Imun pada Penyakit Graves

Respons imun awal pada penyakit Graves membutuhkan sinyal spesifik

dan dan sinyal non-spesifik. Sinyal Ag-spesifik bersifat eksogen atau endogen,

sedangkan sinyal non spesifik adalah sinyal kostimulatoris dan sitokin

inflamasi. Sumber endogen dapat berupa virus maupun bakterial. Reseptor

TSH mengalami pemisahan posttranslasional, membentuk 2 struktur subunit

dengan subunit A sebagai self-antigen. Respons imun adaptif pada penyakit

Graves dimulai dengan adanya sinyal Ag spesifik (eksogen ataupun endogen)

oleh DC pada sel T. Pada tahap awal, reseptor sel T (TCR) pada permukaan

dari sel T berinteraksi dengan kompleks MHC-peptida pada APC. Setelah

tahap ini, sel T naif membutuhkan sinyal selanjutnya untuk mengaktifkan

proses.8,24

Tahap selanjutnya adalah interaksi antara CD28 pada permukaan sel T

dan molekul kostimulatoris CD80/CD86 pada APC. Adanya 2 sinyal (TCR

dengan MHC peptide dan CD28 dengan CD 80/CD86) akan mengaktifkan sel

T naif dan respons imun selanjutnya yang mengarah pada pembentukan

antibodi oleh sel B.8

12
13

Selain APC yang poten, proses autoimun juga dipicu oleh faktor

lingkungan, diantaranya sel imun yang diproduksi oleh sitokin karena stimulasi

Ag. Sitokin-sitokin tersebut (IL-1β, TNF-α, IL-12, IFN-γ, IFN-α, IL-13) akan

meningkatkan efisiensi presentasi antigen dengan meningkatkan ekspresi MHC

dan molekul kostimulatoris pada APC. Jika tidak ada sitokin inflamasi, sinyal

kostimulatoris akan lemah atau bahkan tidak ada sama sekali, maka presentasi

antigen menjadi suboptimal dan menginduksi proses toleransi.8,25

Penyakit Graves adalah penyakit yang dimediasi oleh Th2, dimana Th2

lebih dominan dari pada Th1 dalam patogenenesis penyakit. Pada Graves

terjadi infiltrasi limfosit terhadap tiroid dan produksi antibodi yang

menstimulasi TSHR sehingga menyebabkan hipertiroidisme. Th2 berkembang

dipengaruhi oleh IL-4 yang merupakan sitokin yang penting dalam respon

utama terhadap Th2 dan mensekresikan IL-4, IL-5, IL-13, aktivasi eosinofil,

dan inhibisi beberapa fungsi makrofag. Predominan dari Th2 menginduksi

antigen spesifik sel B untuk membentuk antibodi antitiroid, menstimulasi TSH

reseptor antibodi yang bertanggung jawab terhadap penyakit Graves.6,9

Interleukin-4 adalah sitokin utama yang sering dihubungkan dengan

penyakit tiroid autoimun. IL-4 disekresikan oleh Th2 dan akan menginduksi

perubahan isotipe IgG1, IgG3, IgG4, dan IgE. IL-4 menstimulasi jumlah isotipe

IgG3-SCs yang dihubungkan dengan derajat beratnya penyakit Graves. IL-4

pada penyakit Graves mempunyai nilai yang signifikan meningkat

dibandingkan dengan nilai normal. Menurut Yamada et al (2006) 30-40%


6,9
pasien dengan penyakit Graves mengalami peningkatan IL-4. Humaidi

(2000) melakukan penelitian terhadap 28 pasien penyakit Graves dan 30 orang


kontrol mendapatkan bahwa kadar IFN-γ, IL-10, dan IL-4 meningkat secara

signifikan pada pasien penyakit Graves.

Thyrotropin Receptor Antibodies merupakan suatu autoantibodi yang

berikatan dengan TSHR pada kelenjar tiroid sehingga terjadi produksi hormon

tiroid yang berlebihan. Barbesino dan Tomer (2013) menyatakan bahwa TRAb

memiliki peran yang penting dalam manifestasi klinis penyakit Graves. Selain

itu, TRAb juga menjadi pemeriksaan yang akurat untuk mendeteksi penyakit

Graves.6,26

Laurberg et al (2014) menyatakan bahwa kadar TRAb berhubungan

dengan kadar hormon tiroid dan ekspresi klinis dari penyakit tersebut. Semakin

tinggi kadar TRAb akan memberikan gambaran derajat keparahan penyakit

Graves yang semakin berat. Selain dihubungan dengan kadar TRAb, derajat

keparahan penyakit Graves juga dihubungkan dengan IgG3-SCs. IgG3-SCs

disebut juga berhubungan dengan kadar TRAb, baik secara langsung maupun

tidak langsung. Secara tidak langung, IgG3-SCs akan mempengaruhi IgG1

yang kemudian akan menstimulasi produksi TRAb secara efektif.6,26 Zhang et

al (2015) melaporkan terdapat hubungan vitamin D dan TRAb pada penelitian

terhadap 70 pasien penyakit Graves dan 70 kontrol.27

2.1.6 Diagnosis Penyakit Graves

Berdasarkan tampilan klinis, peningkatan kadar T4 dan T3 serta

penurunan kadar TSH, diagnosis penyakit Graves dapat ditegakkan. Namun

pemeriksaan tambahan dapat dilakukan termasuk mengukur kadar TRAb,

14
15

Radioactive Iodine (RAI) uptake atau pemeriksaan ultrasonografi tiroid untuk

menegakkan penyakit Graves.14

Pendekatan diagnosis Graves didasarkan pada gejala dan tanda dari

peningkatan fungsi tiroid dengan adanya gejala klasik dari hipertiroid seperti

penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, tidak tahan suhu panas,

iritabilitas, insomnia, berkeringat, diare, palpitasi, kelemahan otot dan siklus

menstruasi yang tidak teratur, adanya struma difus, kadang ditemukan

oftalmopati, peningkatan kadar T4 dan T3 dan adanya TRAb atau TSH Binding

Inhibitory Imunoglobulin (TBII). Serum TSH adalah tanda yang sensitif untuk

penyakit tiroid awal dan merupakan skrining yang baik.28,29,30

Pemeriksaan TRAb memiliki sensitivitas dan spesifisitas sebesar 99%

untuk penyakit Graves, sehingga pemeriksaan ini sangat disarankan dalam

menegakkan penyakit Graves.31

Gambar 2.2 Algoritma pasien terduga penyakit Graves31


2.1.7 Tatalaksana

Tatalaksana hipertiroid definitif tergantung kepada penyebab

hipertiroid itu sendiri. Tujuan tatalaksana hipertiroid adalah menghambat

sekresi hormon tiroid, baik dengan agen kimia yang menghambat sintesis dan

sekresi hormon tiroid, maupun dengan menurunkan jumlah jaringan kelenjar

tiroid. Terdapat tiga pilihan terapi yang efektif, yaitu pengobatan antitiroid,

radioiodin, dan pembedahan.2,11

Pengobatan antitiroid terdiri dari terapi inisial dan terapi pemeliharaan.

Terapi inisial diberikan hingga tercapai kadar hormon tiroid yang normal.

Lama pemberian terapi inisial berkisar dari 4 sampai 12 minggu. Setelah

mencapai kadar hormon tiroid yang normal, terapi pemeliharaan dimulai

dengan menurunkan dosis obat antitiroid hingga 50%.5

Agen pengobatan antitiroid yang utama adalah golongan tionamid,

yang terdiri dari Parathyroid Hormone (PTU), metimazol, dan karbimazol.

Agen ini menghambat oksidasi dan ikatan organik iodida sehingga

menyebabkan defisiensi iodin intratiroid. Hal ini akan mengakibatkan

peningkatan rasio T3/T4 dalam serum. Peningkatan rasio tersebut akan

mengganggu konversi T4 menjadi T3 oleh enzim deiodihase tipe 1 (D1) di

tiroid dan jaringan perifer.2,11

Parathyroid Hormone memiliki keunggulan dalam hal menghambat

konversi T4 menjadi T3 dalam jaringan tiroid dan perifer. PTU masih menjadi

salah satu pilihan utama pengobatan antitiroid, terutama pada pasien hamil

dan pasien dengan krisis tiroid.2,11

16
17

Pemberian PTU dengan dosis 300 mg/hari, sebaiknya di-follow-up

setiap bulannya. Pemeriksaan yang dilakukan untuk menilai respon terapi

adalah hormon FT4, FT3, dan TSH. Jika kadar hormon FT4 dan FT3 sudah

normal, dosis obat antitiroid dikurangi hingga 50%. Pemberian terapi

dilanjutkan hingga kadar TSH mencapai kadar normal.2,11

Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa kadar vitamin D dapat

meningkatkan risiko untuk mengidap penyakit Graves, selain itu rendahnya

kadar vitamin D juga dapat mempengaruhi terapi radioiodin. Jumlah kadar

vitamin D mempengaruhi keberhasilan terapi ini. Sebuah penelitian

membandingkan kadar vitamin D antara 128 pasien penyakit Graves yang

menjalani terapi radioiodin dengan 60 partisipan yang sehat. Hasilnya

didapatkan partisipan memilik kadar vitamin D yang lebih tinggi dibanding

penderita, terapi radioiodin berhasil pada 96 orang (75%) dan gagal pada 32

orang (25%) penderita penyakit Graves. Penderita yang kadar vitamin D nya

dibawah 20 ng/ml berisiko delapan kali lipat mengalami kegagalan terapi

radioiodine dibandingkan penderita penyakit Graves yang memiliki kadar

vitamin D nya sama atau melebihi 20 ng/ml.2,9,11

2.2 Vitamin D

2.2.1 Definisi Vitamin D

Vitamin D sering dikenal dengan vitamin matahari karena vitamin D

dapat dibentuk tubuh dengan bantuan sinar matahari. Bila tubuh mendapat

cukup sinar matahari, maka konsumsi vitamin D melalui makanan tidak

dibutuhkan.32
Vitamin D adalah nama generik dari dua molekul, yaitu ergokalsiferol

(vitamin D2), dan kolekalsiferol (vitamin D3). Prekursor vitamin D hadir

dalam fraksi sterol dalam jaringan hewan dan tumbuh tumbuhan berturut

turut dalam bentuk 7-dehidrokolesterol dan ergosterol. Keduanya

membutuhkan radiasi sinar ultraviolet untuk mengubahnya menjadi

provitamin D3 dan D2. Kedua provitamin membutuhkan konversi menjadi

bentuk aktifnya melalui penambahan dua gugus hidroksil.32

Fungsi utama vitamin D adalah membantu pembentukan dan

pemeliharaan tulang bersama vitamin A dan vitamin C, hormon paratiroid

dan kalsitonin, protein kolagen, serta kalsium, fosfor, dan magnesium. Di

dalam saluran cerna, kalsitriol meningkatkan absorbsi vitamin D dengan cara

merangsang sintesis protein pengikat kalsium dan protein pengikat fosfor

pada mukosa usus halus. Di dalam tulang, kalsitriol bersama hormon

paratiroid merangsang pelepasan kalsium dari permukaan tulang ke dalam

darah. Di dalam ginjal, kalsitriol merangsang reabsorbsi kalsium dan fosfor.32

Pengukuran kadar vitamin D direkomendasikan dengan menggunakan

kadar 25(OH)D serum. Kadar 25(OH)D serum merupakan indikator terbaik

status vitamin D karena kadar 25(OH)D mencerminkan produksi vitamin D3

kulit dan vitamin D2 dari makanan. Waktu paruh 25(OH)D di sirkulasi

mencapai 3 - 4 minggu. Walaupun 1,25(OH)2D merupakan bentuk aktif dari

vitamin D, namun dengan alasan waktu paruh dan jumlah kadar di dalam

serum, pilihan utuk memeriksa kadar vitamin D tetap menggunakan kadar

25(OH)D serum.

18
19

2.2.2 Sintesis dan Metabolisme Vitamin D

Vitamin D ini tergolong unik diantara hormon-hormon lainnya karena

dapat dibentuk di kulit dengan bantuan paparan sinar matahari. Vitamin D

memiliki dua bentuk, vitamin D2 yang diperoleh dari penyinaran sinar UV

pada ragi sterol ergosterol dan ditemukan secara alami pada jamur yang

terpapar sinar matahari, sedangkan vitamin D3 disintesis di kulit dan terdapat

pada minyak ikan seperti ikan salmon, tuna, dan haring. Vitamin D3 yang

tersedia komersil disintesis dari prekursor kolesterol 7-dehidrokolesterol yang

secara alami terdapat di kulit atau diperoleh dari lanolin. Vitamin D2 dan D3

digunakan untk fortifikasi makanan dan suplementasi.32

Vitamin D yang diperoleh dari makanan tergabung menjadi

kilomikron, yang nantinya akan diabsorbsi ke sistem limfatik dan memasuki

aliran darah vena. Vitamin D yang didapat dari kulit atau makanan akan

dihidroksilasi di hati oleh 25-dihidroksilase vitamin D (25-OHase) menjadi

25(OH)D. Akan tetapi, 25(OH)D membutuhkan hidroksilasi selanjutnya di

ginjal oleh 25(OH)D-1α-OHase menjadi bentuk biologis aktif yaitu vitamin D

1,25(OH)2D yang nantinya akan berinteraksi dengan resepor inti vitamin D di

usus halus, ginjal dan jaringan lainnya.32

Didalam regulasi mineral, ion 1,25(OH)D merupakan hormon steroid

utama yang terlibat. Vitamin D dan metabolitnya lebih berperan sebagai

horrmon dan prekursor hormon dibandingkan sebagai vitamin karena dapat

disintesis secara endogen. Respon kulit terhadap radiasi ultraviolet

membentuk vitamin D dari 7-dehidrokolesterol. Produksi vitamin D dari kulit


berkurang karena adanya melanin dan faktor proteksi dari sunblock yang

mengganggu masuknya sinar ultraviolet ke dalam lapisan kulit. Tingginya

penggunaan sunblock dan di Amerika dan Eropa serta berkurangnya paparan

sinar matahari menyebabkan peningkatan kebutuhan sumber vitamin D dari

makanan.32,33

Gambar 2.3 Sintesis dan aktivasi vitamin D33

Di Amerika Serikat dan Kanada, sumber makanan ini berupa

fortifikasi ke dalam sereal dan susu, selain itu juga terdapat pada minyak ikan

dan kuning telur. Vitamin D dari nabati yaitu dalam bentuk vitamin D2 ,

sedangkan hewani dalam bentuk vitamin D3. Dua bentuk ini memiliki

aktivitas biologis yang sama dan teraktivasi dengan sama baiknya dengan

hidroksilasi vitamin D pada manusia. Vitamin D memasuki sirkulasi, baik itu

diabsorbsi oleh usus atau disintesis di kulit akan terikat dengan protein

pengikat vitamin D, yaitu suatu globulin alfa yang disintesis oleh hati.

20
21

Vitamin D kemudian dihidroksilasi di dalam hati oleh enzim sitokrom P450

dalam mitokondria dan mikrosom. Aktivitas hidroksilase ini tidak diatur

secara ketat, dan hasil metabolitnya, 25(OH)D, merupakan bentuk vitamin D

utama di dalam sirkulasi. Sekitar 88% 25(OH)D yang beredar di dalam

sirkulasi terikat dengan albumin. Waktu paruh 25(OH)D sekitar 2 - 3 minggu,

akan tetapi akan memendek ketika jumlah protein pengikat vitamin D

berkurang, seperti contohnya pada pasien sindrom nefrotik.24

Hidroksilasi kedua dibutuhkan untuk pembentukan hormon, terjadi di

dalam ginjal. 25-hidroksivitamin D-1α-hidroksilase diatur secara ketat oleh

sitokrom p450 di dalam sel tubulus proksimal ginjal. Hormon paratiroid

(PTH) dan hipofosfatemia merupakan pemicu utama dari enzim mikrosomal,

sedangkan kalsium, fibroblast growth factor (FGF) 23 dan produk enzim,

1,25(OH)D menekan enzim tersebut. 25-hidroksivitamin D-1α-hidroksilase

juga terdapat pada keratinosit epidermis, akan tetapi produksi keratinosit dari

1,25(OH)D dianggap tidak terlibat terhadap kadar hormon dalam sirkulasi.24

Mekanisme utama terhadap inaktivasi metabolit vitamin D yaitu suatu

hidroksilasi tambahan oleh 24 hidroksilase vitamin D, suatu enzim yang

banyak terdapat pada jaringan. 1,25(OH)D adalah pemicu utama enzim ini,

oleh karena itu hormon ini memicu inaktivitasinya sendiri sehingga

mengambat efek biologisnya. Metabolit polar dari 1,25(OH)D disekresikan

ke dalam empedu dan direabsorbsi melalui sirkulasi enterohepatik.32


Gambar 2.4 Gambaran skematik kontrol hormonal terhadap metabolisme

dan fungsi vitamin D34

2.2.3 Metabolisme dan fisiologi vitamin D

Kemampuan fungsional optimal 25(OH)D akan tercapai pada

konsentrasi mendekati 75 nmol/l (30 ng/dl). Defisiensi vitamin D

didefinisikan oleh Endocrine Society Guideline (ESC) Amerika Serikat

sebagai suatu keadaan dimana kadar 25(OH)D < 20 ng/ml (50 nmol/liter),

sedangkan insufisiensi vitamin D yaitu suatu keadaan dimana kadar 25(OH)D

berkisar antara 21 – 29 ng/ml (525 – 725 nmol/liter), sedangkan kadar

sufisiensi vitamin D yaitu 30-100 ng/ml dan batas aman untuk meminimalisir

risiko hiperkalsemia adalah 100 ng/ml (250 nmol/l).34

22
23

Gambar 2.5 Tahapan status vitamin D1,2,34

Sebuah meta-regresi analisis menunjukkan kadar vitamin 25(OH)D

mendekati kriteria insufisiensi secara global yaitu 54 ± 1,3 nmol/l.

Berdasarkan insidensi hiperparatiroidisme sekunder, kadar 25(OH)D <50

nmol/l menandakan insufisiensi dan kadar 25(OH)D <25 nmol/l menandakan

defisiensi.24

Kadar 25(OH)D di Eropa Utara dan Asia Tenggara adalah yang

tertinggi, dan kadar terendah adalah di Amerika Latin dan Eropa Selatan. Di

Asia Selatan, prevalensi insufisiensi vitamin D berkisar antara 78% hingga

96%, dan di Asia Tenggara, prevalensi defisiensi vitamin D berkisar 47-92%.

Kadar vitamin D rata-rata di antara wanita premenopause di Indonesia dan

Malaysia adalah 48 nmol/l (setara dengan 19,2 ng/dl).24

Vitamin D merupakan hormon yang memiliki efek pleiotropik. Selain

perannya pada metabolisme tulang dan kalsium, vitamin D juga memiliki

efek non-klasik dalam sistem kardiovaskular, reproduksi dan imun tubuh.


Sebagian besar aktivitas biologis 1,25(OH)2D3 dimediasi oleh Vitamin D

Receptor (VDR), reseptor afinitas tinggi yang bertindak sebagai faktor

transkripsi yang diaktivasi ligan. Efek imunomodulator vitamin D dimulai

dengan penemuan VDR pada sel-sel imun tubuh seperti sel dendritik (DC),

makrofag dan limfosit. Selain itu, sel-sel imun tubuh juga memiliki 1α-

hidroksilase vitamin D yang dapat mengubah 25(OH)D menjadi bentuk aktif,

1,25(OH)2D. Kemampuan sel imun untuk mengubah 25(OH)D menjadi

bentuk aktif merupakan mekanisme autokrin yang mempertahankan fungsi

regulatorik mereka dan menunjukkan pentingnya kecukupan vitamin D dalam

sistem imun tubuh.34

2.2.4 Vitamin D dan Respons Imun Bawaan

1,25-Hydroxivitamin D2 dapat meningkatkan sifat antimikroba dari

monosit dan makrofag dengan meningkatkan kemampuan proses kemotaktik

dan fagositik mereka. Monosit dan makrofag dapat merespons pola molekuler

yang berhubungan dengan patogen (PAMP) dari beberapa jenis infeksi serta

reseptor pengenalan pola seperti Toll-like Receptors (TLRs) dan mereka

merupakan mekanisme pertahanan pertama terhadap serangan mikroba.

Selain itu, melalui VDR, 1,25(OH)2D juga meningkatkan regulasi gen

cathelicidin HCAP-18.34

Selain merangsang aktivitas antimikroba sel imun, 1,25(OH)2D juga

menghambat ekspresi TLR2 dan TLR4 dalam monosit, sehingga mengurangi

respon mereka terhadap PAMP. Mekanisme ini akan hilang setelah 72 jam

pemaparan mikroba, dan berfungsi sebagai mekanisme umpan balik negatif

24
25

untuk mencegah rangsangan TLR yang berlebihan pada tahap infeksi

selanjutnya.34

2.2.5 Vitamin D dan Respon Imun Adaptif

Pada respon imun adaptif, vitamin D mempengaruhi DC, sel T dan sel

B. Sel dendritik, target utama 1,25(OH)2D, adalah APC poten yang mampu

menangkap, memproses, dan mengantarkan antigen ke sel T. Aktivasi jalur

sinyal reseptor vitamin D menghambat maturasi DC sebagaimana dibuktikan

oleh penurunan kadar penanda DC, MHC-kelas II, molekul-molekul

kostimulatoris (CD40, CD80, CD86) serta penanda permukaan yang induksi

maturasi lainnya (CD83). Penelitian pada donor darah manusia menunjukkan

bahwa 1,25(OH)2D mencegah diferensiasi DC imatur (iDC) dan DC matur

(mDC) dari monosit selama kultur monocyte derived dendritic cell (MDDC)

di bawah stimulasi GM-CSF dan IL-4 (faktor pertumbuhan untuk diferensiasi

MDDC). Perubahan selama proses MDDC ditandai oleh penurunan regulasi

molekul-molekul kostimulatoris, (CD40, CD80 dan CD86), dan molekul

MHC-kelas II yang mengurangi kemampuan DC sebagai APC untuk

mengaktifkan sel T. Selanjutnya, 1,25(OH)2D juga mendukung apoptosis

spontan DC matur. Singkatnya, efek imunosupresif 1,25(OH)2D adalah

melalui penghambatan diferensiasi, maturasi, aktivasi dan gangguan di DC

yang menyebabkan penurunan respon sel T. Diferensiasi monosit (prekursor

DC) menjadi makrofag atau DC diikuti dengan penurunan ekspresi VDR

sehingga DC yang matur menjadi kurang sensitif terhadap efek 1,25(OH)D.

Mekanisme ini bertujuan untuk menyeimbangkan aktivitas respon imun.34,35


1,25-Hydroxivitamin D2 juga mengatur ekspresi kemokin dan sitokin

yang berasal dari DC, yang menghambat produksi IL-12 dan IL-23 (sitokin

primer dalam diferensiasi jalur Th1 dan Th17), meningkatkan pelepasan IL-

10 (sitokin dengan aktivitas anti-inflamasi yang luas) dan meningkatkan

pelepasan kemokin MIP-3a/CCLL22 (kemokin yang berperan dalam

perekrutan Treg yang mengekspresikan CCR4). Selain itu, dengan

memodulasi sitokin yang berasal dari DC, 1,25(OH)2D mempengaruhi

keseimbangan sitokin yang berasal Th dengan menghambat produksi jalur

Th1 (IFN-γ, IL-2) dan Th17 (IL-17 dan IL21) inflamatorik dan

mempromosikan fenotipe Th2.34,35

Terkait dengan toleransi dan proses autoimun, 1,25(OH)2D dapat

meningkatkan sel Treg dan meningkatkan DC tolerogenik dan kemudian

mempengaruhi proses toleransi dalam transplantasi dan mencegah

perkembangan penyakit autoimun. Jeffery et al, meneliti peran 1,25(OH)2D

pada sel Treg dan sitokin proinflamasi menggunakan kultur darah donor yang

sehat. Mereka membuktikan bahwa stimulasi 1,25(OH)2D pada Treg

menghambat produksi beberapa sitokin seperti IFN-γ, IL-21 dan IL-17. Selain

itu, 1,25(OH)2D menstimulasi ekspresi FoxP3 dan CTLA-4 pada sel Treg

dengan bantuan IL-2. Penambahan IL-2 sendiri dalam media kultur tidak

secara signifikan meningkatkan ekspresi FoxP3. Tapi, jika penambahan IL-2

disertai dengan 1,25(OH)2D, terdapat peningkatan tajam (dua kali lipat)

dalam ekspresi FoxP3 dan CTLA-4 pada sel Treg. Ini menunjukkan bahwa

1,25(OH)2D dan IL-2 memiliki efek sinergis terhadap sel T yang teraktivasi,

26
27

berfungsi sebagai anti-inflamasi yang kuat, dan dapat menstimulasi sel Treg

adaptif fisiologis.36

Boonstra et al (2001) melakukan penelitian hewan eksperimental

menggunakan sel T CD4 Mel14 naif dengan plate bound anti CD3 dan anti-

CD28 mAb yang larut dengan ada atau tidak adanya vitamin D3. Sel-sel

berulang kali dirangsang, dan sitokin mereka berkembang menjadi populasi

Th2 yang sangat terpolarisasi ketika dikultur dengan vitamin D3, sama

dengan kultur dengan APC. Meskipun APC merupakan target

imunomodulator vitamin D3, vitamin D3 juga dapat secara langsung

menstimulasi TCR, mempengaruhi polarisasi sel T naif dan kemudian

menghambat jalur Th1 (produksi IFN) dan meningkatkan jalur Th2 (IL-4, IL-

5 dan IL-10). Ini adalah penelitian pertama yang menunjukkan efek langsung

dari vitamin D3 terhadap sel Th dengan tidak adanya APC.37

Penelitian Mahon et al (2003) menunjukkan bahwa target vitamin D

tergantung pada diferensiasi dan status aktivasi sel-T. Karena sel T naif

memiliki sedikit VDR, mereka relatif tidak responsif terhadap 1,25(OH)2D

dalam 24 jam pertama aktivasi.38

Meskipun aktivasi sel T akan merangsang sel B, 1,25(OH)2D dapat

secara langsung mempengaruhi sel B melalui penghambatan proliferasi dan

diferensiasi sel plasma, penghambatan sekresi Ig, peningkatan memori sel B

dan stimulasi apoptosis sel B. Sebuah penelitian oleh Heine menggunakan

kultur darah donor yang sehat menunjukkan bahwa sel B dapat mengatur

respons imun dengan memproduksi 1,25(OH)2D melalui mekanisme autokrin


serta meningkatkan ekspresi IL-10 oleh sel B saja, sel T dan DC. IL-10

merupakan sitokin pleiotropik yang menghambat presentasi antigen oleh DC

dan makrofag dan juga menghambat aktivasi sel T. Selain itu, IL-10

menghambat migrasi sel B dan menstimulasi mereka untuk berubah menjadi

plasmablast.34

1,25-Hydroxivitamin D2 mempengaruhi sel imun bawaan dan sel imun

adaptif. Pada sel imun bawaan, vitamin D akan meningkatkan kemampuan

fagositosis dan kemotaksis dan menurunkan ekspresi TLR-2 dan TLR-4.

Vitamin D juga mencegah produksi sitokin proinflamasi yang berlebihan.

Untuk sel imun adaptif, vitamin D mampu menurunkan ekspresi molekul-

molekul kostimulatoris, MHC-II dan sitokin IL-12, serta meningkatkan fungsi

sel Treg dengan meningkatkan sitokin IL-10. Vitamin D juga memiliki efek

langsung terhadap sel T CD4 untuk menggeser respons imun ke jalur Th2 dan

Treg.34

28
29

Gambar 2.6. Peran 1,25(OH)2D pada respons imun bawaan dan adaptif 34

2.3 Vitamin D pada Penyakit Graves


2.3.1 Vitamin D dan Penyakit Autoimun

Meskipun sel imun memiliki VDR dan enzim 1α-OHase, peran

vitamin D dalam penyakit autoimun masih dalam penelitian. Penelitian

epidemiologi menunjukkan efek defisiensi vitamin D terhadap kejadian

multiple sclerosis (MS), diabetes melitus tipe 1 (DM1), penyakit radang usus

(IBD), rheumatoid arthritis (RA) dan systemic lupus erythematosus (SLE).24

Dalam penelitian ekologi observasional, beberapa penyakit autoimun

seperti IBD, MS, RA lebih sering terjadi di daerah yang memiliki paparan

sinar matahari yang rendah. Selain itu, MS memiliki korelasi dengan


kelahiran di musim dingin (status vitamin D ibu selama kehamilan rendah)

dan kekambuhan penyakit lebih sering terjadi di musim dingin.24

Penelitian prospektif menunjukkan bahwa kadar 25(OH)D terkait

dengan kejadian RA, DM1 dan MS. Tidak jelas apakah konsentrasi vitamin D

yang rendah merupakan akibat dari penyakit autoimun atau merupakan

penyebab penyakit autoimun. Sebuah tinjauan sistematis melaporkan

hubungan antara vitamin D dan risiko penyakit autoimun dan efek

suplementasi vitamin D terhadap gambaran klinis mereka. Penelitian

menunjukkan vitamin D bisa mencegah timbulnya DM1. Penelitian

fisiopatologi menunjukkan bahwa di antara individu yang memiliki faktor

risiko genetik, hipovitaminosis D dapat merusak toleransi.39

Peran suplementasi vitamin D oral terhadap penyakit autoimun juga

dilaporkan dalam penelitian SLE, RA dan IBD. Penelitian di Malang,

Indonesia, menunjukkan bahwa kadar 25(OH)D serum pasien SLE jauh lebih

rendah dibandingkan dengan orang sehat (22,80 ± 16:23 ng/dl vs. 35,15 ±

7,61 ng/dl, p = 0:00). Sebanyak 55,5% pasien SLE mengalami defisiensi

vitamin D dan kadarnya berkorelasi terbalik dengan kadar antibodi (anti-ds-

DNA dan anti-vitamin D). Tinjauan sistematis menunjukkan bahwa vitamin

D dapat memperbaiki beberapa tanda dan gejala penyakit, tetapi belum tentu

terkait dengan keparahan penyakit.40

Pada penyakit Crohn, intervensi 25(OH)D atau 1,25(OH)2D dalam

monocyte-derived dendritic cells culture (MDDC) merusak maturasi DC,

yang ditandai oleh penurunan ekspresi molekul HLA-DR, CD80, CD83,

30
31

CD86 dan peningkatan ekspresi CD14. Selain itu, intervensi vitamin D in

vitro juga menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-12

dan IL-10 tetapi meningkatkan IL-6. Selain dari penelitian vitro, Bartels et al

(2013) juga memberikan vitamin D, 1200 IU/hari vitamin D3 selama enam

bulan untuk pasien penyakit Crohn. Sebelum dan sesudah pemberian vitamin

D3 oral, ia menganalisis maturasi DC dan produksi sitokin. Pemberian

vitamin D oral merusak maturasi DC yang ditunjukkan oleh penurunan

ekspresi molekul CD80. Selain merusak ekspresi CD80, konsentrasi sitokin

inflamasi, TNF-α dan IFN-γ, juga menurun. Intervensi vitamin D terhadap

maturasi DC juga telah dilaporkan pada pasien SLE, vitamin D menurunkan

ekspresi HLA-DR, CD40 dan CD86.41

2.3.2 Vitamin D pada Penyakit Graves


Penyakit Graves merupakan penyakit autoimun yang ditandai adanya

hipertiroidisme akibat autoantibodi pada sirkulasi. Banyak faktor

berkontribusi sebagai etiologi, termasuk genetik dan lingkungan. Vitamin D

diketahui berperan dalam metabolisme kalsium dan homeostasis tulang.

Vitamin D juga berperan sebagai modulator imunitas innate dan adaptif.

Terdapat hubungan antara defisiensi vitamin D dan berbagai penyakit

autoimun. Defisiensi vitamin D dilaporkan banyak ditemukan pada pasien

penyakit Graves. Penelitian Sheriba NA et al (2017) pada 60 orang penderita

penyakit Graves mendapatkan hipovitaminosis vitamin D pada seluruh

penderita, dengan persentase defisiensi vitamin D (kadar vitamin D < 20

ng/ml) sebesar 73,9% pada pria dan 54,1% pada wanita, insufisiensi vitamin
D (kadar vitamin D 20-29 ng/ml) sebesar 26,1% pada pria dan 45,9% pada

wanita.42

Gambar 2.7 Diagram estimasi tentang efek imunomodulatorik vitamin D pada

penyakit Graves.

Penelitian Yamashita H et al (2001) di Jepang melibatkan 208 pasien

penyakit Graves menunjukkan bahwa prevalensi defisiensi vitamin D di

antara pasien penyakit Graves wanita mencapai 39,7%, jumlah ini lebih tinggi

daripada laki-laki yakni sebanyak 17,8%. Prevalensi ini dipengaruhi oleh

perubahan musiman, prevalensi tertinggi adalah 60%, selama April hingga

Juni. Prevalensi terendah kurang dari 20%, selama Juli-September. Kadar

rata-rata vitamin D pada subyek penyakit Graves pria dan wanita masing-

32
33

masing adalah 41,3 ± 15,0 dan 31,8 ± 13,3 nmol/l. Nilai ini lebih rendah

dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kobayashi,

yang meneliti 758 subyek sehat di Jepang dengan rata-rata konsentrasi

25(OH)D adalah 59,4 nmol/l (~23,76 ng/ml). Wanita berusia 20-29 tahun

memiliki kadar vitamin D yang terendah dan prevalensi defisiensi vitamin D

tertinggi. Rendahnya kadar vitamin D di kalangan wanita muda dapat dicegah

dengan menghindari paparan sinar matahari dan penggunaan tabir surya; laki-

laki cenderung menghabiskan lebih banyak waktu yang melibatkan kegiatan

di luar ruangan.9

Yasuda T et al (2013)melakukan penelitian di tempat yang sama pada

26 wanita dengan penyakit Graves naif dan 46 subyek perempuan sehat,

untuk efek kadar vitamin D terhadap volume kelenjar tiroid. Mereka

menemukan kadar rata-rata vitamin D pada penyakit Graves secara signifikan

lebih rendah daripada kelompok kontrol (14,4 ± 4,9 vs 17,1 ± 4,1 ng/ml, p

<0,05). Kadar vitamin D berkaitan dengan volume tiroid (r = 0,45, p <0,05)

tetapi tidak berkaitan dengan fungsi tiroid dan kadar TRAb. Yasuda juga

meneliti perbedaan kadar vitamin D pada penyakit Graves remisi dan

penyakit Graves non-remisi. Penelitian ini melibatkan 18 pasien remisi

penyakit Graves, 36 pasien penyakit Graves non-remisi dan 49 subyek

kontrol. Kadar vitamin D pada pasien penyakit Graves non-remisi secara

signifikan lebih rendah daripada pasien dengan remisi penyakit Graves dan

kelompok kontrol (14,5 ± 2,9 vs18,2 ± 5,1 vs 18,6 ± 5,3 ng/ml). Di antara

pasien penyakit Graves, kadar vitamin D tidak berubah karena terapi dengan

ATD.43
Penelitian cross-sectional menunjukkan terdapat hubungan antara

kadar vitamin D dan penyakit Graves, termasuk status remisi, namun, tidak

ada penelitian prospektif besar yang meneliti efek dari status vitamin D pada

awal dan remisi klinis penyakit Graves. Pada penelitian menggunakan hewan,

Misharin (2009) meneliti hubungan antara defisiensi vitamin D dan

hipertiroidisme yang diinduksi pada tikus BALB/c. Penelitian ini

menunjukkan bahwa faktor lingkungan dan vitamin D hanya memiliki efek

yang kecil terhadap imunitas yang diinduksi oleh TSHR tetapi hal ini

mempengaruhi langsung fungsi tiroid pada tikus laboraturium.44

Peran suplementasi vitamin D pada perbaikan klinis pasien hipertiroid

yang tidak diobati dilaporkan oleh Tani di Jepang, Uji klinis 24 minggu

melibatkan 30 pasien, dan bertujuan untuk mempelajari efek dari 1,25(OH)2D

terhadap penurunan hormon tiroid pada 30 pasien hipertiroid. Subyek secara

acak dibagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama menerima 30 mg

MMI, sedangkan kelompok kedua menerima dosis MMI yang sama dengan

tambahan 1,25(OH)2D. Selama periode pemantauan, total dosis MMI tidak

berbeda antara kedua kelompok. Kadar FT3, FT4, T4 dan T3 menurun secara

signifikan dan menurun lebih cepat pada kelompok kedua, serta terjadi

peningkatan kadar TSH. Kadar TRAb tidak berbeda antara kedua kelompok.

Penelitian ini menunjukkan manfaat suplementasi 1,25(OH)2D pada pasien

penyakit Graves tetapi mekanismenya masih belum diketahui pada saat itu.

Namun, dalam penelitian eksperimen pada hewan pada tahun yang sama

tentang efek vitamin D pada tirosit, efek menguntungkan dari vitamin D pada

pasien hipertiroid mungkin dikarenakan efek langsung pada tirosit. Tidak

34
35

diketahui apakah perbaikan klinis terkait dengan peran vitamin D dalam

respons imun adaptif pada penyakit Graves. Harus dilakukan eksplorasi ulang

untuk mengetahui apakah vitamin D mempengaruhi maturasi DC dan aktivasi

sel T atau sel B.44

Beberapa penelitian lain melaporkan status vitamin D yang rendah

pada kejadian penyakit Graves, hal ini menguatkan indikasi hubungan antara

defisiensi vitamin D dan penyakit tiroid autoimun. Kivity et al, melaporkan

bahwa prevalensi kekurangan kadar vitamin D terlihat signifikan pada 50

orang pasien penyakit Graves dibandingkan dengan 98 orang kontrol normal

(72% vs 30%). Tamer et al, melaporkan keadaaan kekurangan kadar vitamin

D ditemukan secara signifikan pada 161 pasien penyakit tiroid autoimun

dibandingkan 162 orang kontrol.43,44,45


BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

Gambar 3.1 Kerangka Konseptual


Keterangan Gambar :
Penurunan kadar vitamin D terjadi pada penyakit Graves. Vitamin D akan

mempengaruhi sel imun bawaaan dan sel imun adaptif. Untuk sel imun adaptif,

penurunan kadar vitamin D akan mempengaruhi Th dan sel B. Th akan

berdiferensiasi menjadi Th1, Th2, Th17, dan Treg. Treg mengatur keseimbangan

Th1 dan Th2. Pada keadaan defisiensi vitamin D, terjadi penurunan aktivitas Treg,

sehingga mengganggu keseimbangan Th1 dan Th2, Th2 menjadi lebih dominan

36
37

dibanding Th1. Peningkatan kadar IL-4 juga dapat berpengaruh terhadap aktifitas

sel B.

Peningkatan aktifitas sel B akan berakibat meningkatnya diferensiasi sel

plasma, meningkatnya produksi IgG dan IgM, serta meningkatnya proliferasi,

yang akan mengakibatkan peningkatan produksi autoantibodi dan peningkatan

TRAb.

3.2 Hipotesis Penelitian

• Terdapat korelasi negatif antara kadar 25(OH)D dengan IL-4.

• Terdapat korelasi negatif antara kadar 25(OH)D dengan TRAb.


BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1.Desain Penelitian

Penelitian ini adalah suatu penelitian observasi-analitik

4.2.Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian di instalasi rawat jalan RSUP Dr. M. Djamil

Padang dan RS swasta lainnya di kota Padang. Pelaksanaannya selama 6

bulan. Jadwal penelitian berdasarkan tahapan-tahapan yang akan dilalui

disajikan pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Jadwal Penelitian

Kegiatan Bulan I Bulan II Bulan III Bulan IV Bulan V Bulan VI

Persiapan

Pengumpulan

Data

Analisis Data

PenulisanHasil

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian ini adalah pasien penyakit Graves yang datang berobat

ke poliklinik rawat jalan RSUP. Dr. M. Djamil Padang dan RS swasta lain di kota

38
39

Padang. Sampel penelitian adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan

eklusi yang diambil secara konsekutif. Terhadap subjek yang potensial dilakukan

skrining awal, dijelaskan protokol penelitian dan dimintai persetujuan penelitian

(informed consent).

4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria Inklusi

1. Pasien penyakit Graves berusia 18 – 60 tahun.

2. Pasien yang belum pernah mendapat terapi obat anti tiroid.

3. Bersedia ikut penelitian.

Kriteria Eksklusi

1. Pasien Graves dengan krisis tiroid.

2. Pasien Graves dalam keadaan hamil.

3. Pasien Graves dengan penyakit autoimun lain.

4. Pasien Graves yang mendapat immunosupresan.

4.5 Estimasi Besar Sampel

n= (Zα + Zβ)2 + 3

{0,5 In [(1+r)/(1-r)]}

Keterangan:

n : Besar sampel penelitian

Zα : Tingkat kemaknaan (α = 0,05; Zα = 1,960)

Zβ : Power penelitian ( β = 0,2; Zβ = 0,82)


r : Perkiraan koefisien relatif (0,5)

in : Nilai yang didapatkan dari tabel In yang besarnya tergantung pada

nilai r

Dengan menggunakan rumus di atas didapatkan jumlah sampel sebesar 30

orang.

4.6 Identifikasi Variabel

Variabel independen adalah 25(OH)D dan variabel dependen adalah IL-4

dan TRAb.

4.7 Definisi Operasional

1. Penyakit Graves adalah penyakit hipertiroid yang ditegakkan secara klinis

dan pemeriksaan TSH yang rendah dan FT4 yang tinggi.

2. Vitamin D adalah kadar 25(OH)D serum yang diperiksa dengan metode

Elisa. Nilai normal adalah 30-100 ng/ml.

3. TRAb adalah autoantibodi yang berikatan dengan TSHR. Diperiksa

dengan metode Elisa. Dengan nilai positif > 1,7.

4. FT4 adalah kadar free thyroxin didalam serum yang diukur untuk

mengetahui fungsi kelenjar tiroid. Pemeriksaan ini menggunakan metode

Elisa. Nilai normal adalah : 0,8 – 2,8 ng/ml.

5. IL-4 adalah sitokin pleiotropik yang disekresikan oleh sel Th2.

Pemeriksaan ini menggunakan metode Elisa.

40
41

6. Krisis tiroid suatu keadaan hipertiroidisme, yang dinilai dengan skor Burch

Wartofsky > 45.

4.8 Prosedur Penelitian

1. Semua penderita yang memenuhi syarat, diminta kesediaanya secara

sukarela dan mengisi formulir persetujuan.

2. Dicatat data yang ada meliputi nama, umur, dan jenis kelamin.

3. Dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui nilai kadar

25(OH)D, IL-4, dan TRAb.

4. Dilakukan analisis statistik terhadap data yang sudah ada.

4.9 Analisis Data

1. Karakteristik dasar sampel seperti umur, jenis kelamin, kadar 25(OH)D,

IL-4, dan TRAb ditampilkan secara deskriptif.

2. Analisis dilakukan dengan membandingkan nilai kadar 25(OH)D terhadap

IL-4 dan TRAb.

3. Data diolah dengan menggunakan program SPSS 21.0 dan nilai p <0,05

dianggap bermakna.
4.10 Kerangka Penelitian

Gambar 4.1 Kerangka Penelitian

42
43

DAFTAR PUSTAKA

1. Terry JS, Laszlo H. Graves’ Disease. NEJM. 2016;375:1552-1556.


2. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
PengembanganKesehatan kementrian Kesehatan RI.
3. Davies T, Laurberg P, Bahn R. Hyperthyroid Disorders. In Melmed S,
Polonsky K, Larsen R, Kronenberg H. Williams Textbook of Endocrinology,
13th edition. Philadelphia: Elsevier. 2011: 369-415.
4. Ramos LA, Marazuela M. Pathogenesis of thyroid autoimmune disease: the
role of cellular mechanism. Endocrinol Nutr. 2016;63(8):421-29.
5. Yuan Q, Zhao Y, Zhu X, Liu X. Association between CD4+CD25+Treg cell
and Graves’ disease: a meta analysis. Journal of Endocrinology, Diabetes &
Obesity. 2017;5(1):1097.
6. Barbesino G, Tomer Y. Clinical utility of TSH receptor antibodies. J Clin
Endocrinol Metab. 2013;98:2247-2255.
7. Winter WE, Jialal I, Devaraj S. Thyrotropin receptor antibody assays: clinical
utility. American Journal of Clinical Pathology. 2013;139(2):140-142
8. Barbara P, Gerlies T, Thomas R.P, Karin A. Vitamin D and immune function.
Nutrient 2013;5:2502-21.
9. Yamashita H, Noguchi S, Keisuke T, Koike E, Murakami T, Watanabe S, et
al. High prevalence of vitamin D deficiency in Japanese female patients with
Graves' disease. Endocrine Journal. 2001;48(1):63-9.
10. Shin DY, Kim KJ, Kim D, Hwang S, Lee EJ. Low serum vitamin D is
associated with anty-thyroid peroxidase antibody in autoimune thyroiditis.
Yonsei Medical Journal. 2014;55(2):476-81.
11. Won SY, Hyun KC. Two cases of Graves disease presented with typical
symptoms. Int Journal of Thyroidology. 2016;9(2):174-179.
12. Bartalena L. Diagnosis and management of Graves disease: a global
overview. Nat Rev Endocrinol. 2013:724–734.
13. American Association of Clinical Endocrinologists, Associazione Medici
Endocrinologi, and European Thyroid Association Medical Guidelines for
clinical practice for diagnosis and management of thyroid nodules. Endocr
Pract. 2014;16(1):4-5.
14. Burch H, Cooper DS. Management of Graves’ disease: a review. JAMA.
2015;314(23).
15. Christian MG, Bernard L, Wall RJ. Current concept in Graves disease. The
Adv Endocrinol Metab. 2011;2(3):135-144.
16. Yetley E. Assessing the vitamin D status of the US population. Am J Clin
Nutr. 2008;88:558S-64S.
17. Decroli E, Manaf A, Syahbuddin S. Immunologic and hormonal effects of
prophylthiouracil treatment using maintenance dose in Graves’ disease
patients. Acta Med Indones. 2014;46(4).
18. Morsyed SA, Latif R, Davies TF. Delineating the autoimmune mechanisms in
Graves’ disease. Immunol Res. 2012;54: 191–203.
19. Yeung MD. Graves Disease. www.emedicine.medscape.com. 2017: 3.
20. Ginsberg J. Diagnosis and management of Graves’ disease. CMAJ.
2003;168(5).
21. Susanto R. Penyakit Graves pada anak. Buku ajar tiroidologi klinik. 2007:
441-469.
22. Bratanata KG, Rengganis I. Immunologi Dasar Edisi 11. Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Univ Indonesia. Jakarta. 2014:660-62.
23. Klatka M, Grywalska E, Patryka M, Charytanowicz M, Bochynska AK,
Rolinski J. Th17 and Treg cells in adolescents with Graves’ disease. Impact
of treatment with methimazole on these cell subsets. Autoimmunity.
2014;47(3):201–211.
24. Mithal A, Wahl DA, Bonjour JP, Burckhardt P, Dawson-Hughes B, Eisman
JA, et al. Global vitamin D status and determinants of hypovitaminosis D.
Osteoporosis Int. 2009;20:1807-20.
25. Weetman AP, DeGroot LJ. Autoimmunity to the thyroid gland. Thyroid
Manager. 2013:1-127.
26. Laurberg P, Nygaard B, Andersen S, Carle A, Karmisholt J, Krejbjerg A, et
al. Association between TSH-Receptor autoimmunity, hypertiroidism, goitre,

44
45

and orbitopathy in 208 patients included in the remission induction and


sustenance in Graves’ disease study. Journal of Thyroid Research. 2014;1-6.
27. Zhang H, Liang L, Xie Z. Low vitamin D status in associated with increased
thyrotropin-receptor antibody titer in Graves disease. Endocr Pract.
2015;21(3):258-63.
28. Coralles JJ, Lopez A, Ciudad J, Mories MT, Miralles JM, Orfao A.
Methimazole therapy in Graves’ disease influence in abnormal expression of
CD69 (early activation agent) on T cell. Journal of Endocrinology.
1997;155:491-500.
29. Larsen PR, Davies TF, Hay ID. The thyroid gland. William Textbook of
Endocrinology.
30. Barbesino G, Tomer Y. Clinical utility of TSH receptor antibodies. J Clin
Endocrinol Metab. 2013;98(6):2247-55.
31. Smith TJ, Hegedus L. Graves’ disease. N Engl J Med. 2016;375(16).
32. Makariou S, Liberopoulus EN, Elisaf M, Chala A. Novel roles of vitamin D
in disease: what is new in 2011. Eur J Intern Med. 2011;22:355-62.
33. Aranow C. Vitamin D and the immune system. J Investig Med.
2011;59(6):881-6.
34. Baeke F, Takiishi T, Korf H, Gysemans C, Mathieu C. Vitamin D: Modulator
of the immune system. Current Opinion in Pharmacology. 2010;10:482-96.
35. Kulie T, Groff A, Redmer J, Hounshell J. Vitamin D: An evidence-based
review. J Am Board Fam Med. 2009:698-706.
36. Jeffery LE, Burke F, Mura M, Zheng Y, Qureshi OS. 1,25-dihydroxyvitamin
D3 and interleukin-2 combine to inhibit T cell production of inflammatory
cytokines and promote development of regulatory T cells expressing CTLA-4
and FoxP3. J Immunol 2009;183:5458-67.
37. Boonstra A, Barrat FJ, Crain C, Heath VL, Savelkoul HFJ, O'Garra A. 1α,25-
dihydroxyvitamin D3 has a direct effect on naive CD4+ to enhance the
development of Th2 cells. The Journal of Immunology. 2001;167:4974-80.
38. Mahon BD, Wittke A, Weaver V, Cantorna MT. The targets of vitamin D
depend on differentiation and activation status of CD4+ T cells. J Cell
biochem. 2003;89:922-32.
39. Antico A, Tampoia M, Tozzoli R, Bizzaro N. Can supplementation with
vitamin D reduce the risk or modify the course of autoimmune disease? A
systematic review of the literature. Autoimmune Rev. 2012;12(2):127-36.
40. Handono K, Gani AA, Ekawati M, Wahono S. Serum level of vitamin D and
autoantibodies level in systemic lupus erythematosus (SLE) patients. Journal
of Pharmacy and Biological Sciences. 2012;3(4):16-20.
41. Bartels LE, Jogersen SP, Bendix M, Hvas CL, Agnholt J, Agger R, et al. 25-
Hydroxyvitamin D3 modulates dendritic cell phenotype and function in
Crohn’s disease. Inflammopharmacol. 2013;21:177-86.
42. Sheriba NA, Elewa AA, Mahdy MM, Din AM, Ibrahim NA, Marawan DA, et
al. Effect of vitamin D3 in treating hypertiroidism in patients with graves’
disease. Egypt J Intern Med. 2017;29:64-70.
43. Yasuda T, Okamoto Y, Hamada N, Miyashita K, Takahara M, Sakamoto F, et
al. Serum vitamin D levels are decreased in patients without remission of
Graves' disease. Endocrine. 2013;43:230-2.
44. Sundaresh V, Brito J, Wang Z, Prokop L, Stan M, Murad M, et al.
Comparative effectiveness of therapy for Graves’ hyperthyroidism: a
systematic review and network metaanalysis. J Clin Endocrinol Metab. 2013.
45. Kivity S, Agmon-Levin N, Zisappl M, Shapira Y, Nagy EV, Danko K, et al.
Vitamin D and autoimmune thyroid disease. Cell Mol Immunol.2011;8:243-
7.

46

Anda mungkin juga menyukai