Anda di halaman 1dari 14

KERACUNAN OBAT

Definisi
Keracunan obat adalah suatu efek obat yang timbul pada
pasien karena beberapa faktor seperti salah penggunaan,
salah dosis, salah pemberian dan yang sifatnya tidak di
sengaja atau disengaja.

Keracunan dapat terjadi secara lokal (misalnya, pada kulit,


mata, maupun paru) atau terjadi secara sistemik tergantung
dari sifat kimia dan zat racun.
Rute paparan suatu subtsansi racun dapat melalui:

• Ingesti/oral : 74 %

• Kulit : 8,2 %

• Inhalasi : 6,7 %

• Mata :6%

• Gigitan dan sengatan : 3,9 %

Paparan racun tersering adalah bahan pembersih, analgetika,


kosmetika, tumbuh-tumbuhan, obat batuk-pilek, gigitan/bisa
binatang.
Gejala
Gejala akibat keracunan obat pada setiap orang berbeda-beda
pada setiap orang, sesuai dengan obat yang menyebabkan
keracunan.

Pada keracunan obat yang disebabkan oleh kelebihan dosis,


maka gejal yang muncul antara lain sakit pada bagian dada,
sakit perut, diare, muntah, mual, kebingungan, dan
mengantuk, sedangkan keracunan yang cukup parah dapat
menyebabkan masalah pada tekanan darah, tingkat
pernapasan, suhu tubuh, dan denyut nadi.
Penatalaksanaan
Pemeriksaan fisik pada tanda vital, sistim kardiopulmoner, dan
status neurologis. Berdasarkan nadi, tensi, frekuensi nafas, dan
suhu serta status mental, status fisiologik penderita dapat
digolongkan menjadi: excited, depresi, respon tidak sesuai, atau
normal.
Pemeriksaan mata (menilai adakah nistagmus, menilai
ukuran dan reaksi pupil), pemeriksaan abdomen (bising
usus dan ukuran kandung empedu), dan pemeriksaan kulit
(untuk luka bakar, bulae, warna, kehangatan, kelembaban,
luka bekas tekanan dan tanda-tanda tusukan) dapat
mempersempit diagnosis. Menentukan derajat keracunan
adalah penting untuk menilai respon terapi. Penderita juga
harus diperiksa terhadap adanya riwayat trauma dan
penyakit dasarnya.
Manifestasi neurologis keracunan biasanya berupa kejang
nonfokal, kecuali: keracunan yang disebabkan CO,
teofilin, dan obat-obat yang menyebabkan hipoglikemi atau
hipoksia. Karenanya, penemuan manifestasi fokal harus
dapat menggambarkan dengan tepat lesi struktural pada
SSP. Bila riwayat keracunan tidak jelas, semua orifisium
harus diperiksa untuk menilai adanya luka bakar kimia
dan bungkus obat. Bau nafas atau muntah dan warna
kuku, kulit atau urine dapat menunjang diagnosis.
EKG

Untuk mengarahkan diagnosis dan terapi. Bradikardi dan


AV block dapat terjadi pada pasien yang keracunan 
agonis, antiaritmia,  blocker, calcium channel blocker,
obat kolinergik (karbamat dan insektisida organofosfat),
glikosida jantung, litium, magnesium, atau trisiklik
antidepresan.Pemanjangan QRS dan interval QT dapat
disebabkan oleh hiperkalemia dan oleh obat-obat
membran aktif.
Radiologi

Edema paru (atau ARDS) dapat disebabkan karena


keracunan CO, sianida, opioid, paraquat, phencyclidine,
hipnotik sedatif, atau salisilat; juga karena inhalasi gas
iritan, asap atau uap (ammonia, metal oksida, merkuri);
juga oleh anoksia yang berkepanjangan, hipertermia, atau
syok. Pneumonia aspirasi umum terjadi pada pasien
dengan, kejang dan keracunan petroleum.
Prinsip umum
Tujuan terapi keracunan dan overdosis adalah mengawasi
tanda-tanda vital, mencegah absorpsi racun lebih lanjut,
mempercepat eliminasi racun, pemberian antidot spesifik,
dan mencegah paparan ulang.

Terapi spesifik tergantung dari identifikasi racun, jalan


masuk, banyaknya racun, selang waktu timbulnya gejala,
dan beratnya derajat keracunan. Pengetahuan
farmakodinamik dan farmakokinetik substansi penyebab
keracuan amatlah penting.
Fase pretoksik

Sebelum onset keracunan, prioritas pertama adalah


dekontaminasi segera berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang terarah dan singkat Juga disarankan pemasangan i.v.
line dan monitoring jantung, khususnya pada penderita
keracunan per oral serius atau penderita dengan anamnesis
yang tidak jelas.
Fase toksik

yaitu waktu antara onset keracunan sampai dengan terjadinya


efek puncak, penatalaksanaan berdasarkan pada penemuan
klinis dan laboratorium. Setelah overdosis, akan segera timbul
efek-efeknya lebih awal, yang kemudian memuncak, dan tetap
bertahan lebih lama dibandingkan bila obat tersebut diberikan
pada dosis terapi. Prioritas pertama untuk dilakukan adalah
resusitasi dan stabilisasi. Terhadap semua pasien yang
simtomatis harus dilakukan pemasangan i.v. line, penentuan
saturasi oksigen, monitoring jantung, dan observasi kontinu.
Pemeriksaan laboratorium dasar, EKG, dan x-ray dapat
berguna.
Fase resolusi

Perawatan suportif dan monitoring harus kontinu dilakukan


sampai abnormalitas klinis, laboratoris, maupun EKG membaik.
Karena bahan-bahan kimia dalam darah lebih dulu dieliminasi
dibandingkan yang dari jaringan, maka kadarnya dalam darah
selalu lebih rendah dari kadarnya di jaringan sehingga tidak
berkorelasi dengan toksisitasnya.. Hal ini menjadi dasar
prosedur ekstrakorporeal. Redistribusi dari jaringan dapat
menyebabkan peningkatan balik racun dalam darah setelah
selesainya prosedur ini. Bila metabolit racun yang
menyebabkan efek toksiknya, maka pada penderita yang telah
asimtomatis tetap harus diberikan terapi karena masih terdapat
potensi toksik kadarnya metabolitnya dalam darah
(asetaminofen, etilen glikol, dan methanol).
Atas Perhatian Anda

Anda mungkin juga menyukai