Anda di halaman 1dari 50

Penyakit Diskus Lumbaris

Lokasi penyebab nyeri pada pasien dengan nyeri pungung bawah agak sulit untuk
ditentukan. Nyeri dapat berasal dari berbagai struktur anatomi dalam tulang belakang
sehingga membuat pasien sulit untuk lokalisasi nyeri. Penelitian eksperimental dan klinis
telah mengajukan bahwa diskus intervertebralis (IVD) merupakan penyebab utama nyeri
pada 10% hingga 39% kasus pada nyeri punggung belakang kronik.

Pembagian kelompok nyeri tulang belakang dari berdasarkan lokasi IVD adalah
seperti herniasi diskus lumbaris, gangguan diskus internal (IDD), dan penyakit degeneratif
pada diskus. DDD juga berkontribusi pada pathogenesis gangguan tulang belakang sekunder,
seperti stenosis spinalis dan spondilolistesis degeneratif. Pengertian mengenai patofisiologi
gangguan IVD yang lebih baik telah melahirkan kembali entusiasme dalam mengembangkan
obat dan teknik baru dalam penatalaksanaan gangguan ini. Kemajuan dalam terapi fisik dan
teknologi operasi seperti penggantian IVD dan teknik operasi minimal invasif telah hadir
menggantikan metode tradisional yang ada.

Bagian ini akan mendiskusikan tentang anatomi, patofisiologi, diagnosis, dan


penatalakasanaan dari gangguan diskus primerIDD dan DDD. Gangguan yang berasal dari
IVD sekunder tidak akan dibahas dalam bagian ini.

Riwayat Alamiah

Pada suatu titik dalam kehidupan, sekitar 60% hingga 80% orang dewasa akan
memiliki nyeri punggung bawah. Tingkat kejadian nyeri punggung pada orang dewasa setiap
tahunnya adalah 15%, dan prevalensinya adalah 30%. Pada saat berumur 30 tahun, hampir
semua orang dewasa telah merasakan sebuah episode nyeri punggung bawah. Gejala tersebut
umumnya hanya sebentar; sekitar 80% hingga 90% episode nyeri punggung bawah tersebut
akan sembuh dalam 6 minggu setelah onset pertama tanpa memperhatikan tepi tatalaksana
yang diberikan.

Meskipun resolusi dari gejala tersebut umum terjadi, terdapat pula laju rekurensi yang
tinggi. Croft dkk telah melaporkan bahwa meskipun 90% subyek menghentikan keluhan
mengenai gejala nyeri punggung bawah dalam 3 bulan, sebagian besar masih memiliki nyeri
punggung bawah substansial dan disabilitas terkait. Sebagai tambahan, hanya 25% pasien
yang mencari pertolongan untuk nyeri punggung bawah yang sebelumnya telah sembuh
dalam 12 bulan. Pada sebuah survei di populasi British, 38% orang dewasa melaporkan
terdapat nyeri punggung bawah signifikan dalam periode 1 tahun, dengan sepertiga
diantaranya telah memiliki keluhan tersebut lebih dari 4 minggu. Ketidakmampuan untuk
kembali bekerja dalam 3 bulan setelah gejala tersebut merupakan indikator prognosis yang
buruk. Hanya 20% dari pasien yang masih tidak mampu kembali bekerja setelah 1 tahun, dan
hanya 2% yang kembali setelah 2 tahun ke dokter.

Onset klinis dan perjalanan nyeri punggung bawah dapat memanjang pada beberapa
pasien dan dapat datang dengan disablitis terkait punggung dan stress. Berbagai pasien yang
datang dengan nyeri punggung bawah akut telah memiliki riwayat nyeri punggung bawah
kronik sebelumnya. Faktor prediktif terkuat untuk episode nyeri punggung bawah baru adalah
episode sebelumnya.

Riwayat alamiah terjadinya DDD masih belum diketahui. Smith dkk melaporkan
bahwa hasil keluaran pada 25 pasien dengan diskogram positif yang telah diberikan
pengobatan tanpa operasi dan menemukan bahwa 68% pasien memiliki perbaikan dalam
jangka waktu 3 tahun setelah follow-up. Meskipun 60% pasien terlibat dengan kompensasi
pekerja dan 32% juga didiagnosis psikiatrik, penelitian ini menunjukkan bawah setidaknya
dua pertiga pasien dengan nyeri diskogenik akan membaik dengan terapi konservatif. Desain
penelitian retrospektif dan jumlah sampel yang sedikit membatasi penarikan kesimpulan, dan
karena hanya pasien dengan gejala yang signifikan menjalani diskografi, riwayat alamiah dari
DDD asimtomatik yang tidak diobati mungkin memiliki hasil keluaran yang lebih baik.

Pada deskripsi klasik dari Krikaldy-Wilis dan Farfan, mereka mengklasifikasikan


proses degenerative menjadi 3 fase: disfungsi, instabilitas, dan stabilitasi. Pada fase pertama,
diskus tersebut kehilangan fungsi normalnya ketika proses degenerative mulai. Sebuah
periode instabilitas relative kemudian membantu proses degenerasi dengan episode nyeri
yang intermitten. Selama fase instabilitas, gerakan abnormal dapat terlihat pada fleksi-
ekstensi di X-ray; meskipun segmen tulang belakang selama fase ini tidak memperlihatkan
instabilitasi radiografik yang jelas. Pada fase terakhir, stabilisasi, berakhir ketika segmen
tulang belakang telah kembali stabil akibat kehilangan berat dan kompresi pada jaringan
diskus, dan pasien tidak lagi merasakan episode nyeri punggung. Permasalahan pada teori ini
adalah pasien yang didiagnosis DDD secara radiografis (kehilangan berat badan, osteofit,
bahwa olistesis) atau dengan MRI umumnya tanpa gejala. Pada sebuah penelitian Waris dkk
selama 17 tahun mengikuti MRI pasien, penelitian tersebut menunjukkan bahwa pasien muda
dengan DDD telah memperlihatkan progresi penyakit DDD dengan bukti radiografik, namun
tidak signifikan jika dikaitkan dengan nyeri punggung bawah.

Anatomi Terkait

Diskus dibentuk oleh nukleus pulposus lapisan dalam yang dikelilingi oleh annulus
fibrosus berkolagen. Lamellar kolagen dalam annulus cukup kuat, yang membatasi ekspansi
dari viskoelastisitas nukleus. Nukleus pulposus berisi matriks kolagen, glikosaminoglikan,
dan air, yang menyediakan kekakuan kompresif dan mengizinkan jaringan untuk menjalani
deformitas yang reversibel. Anatomi IVD memperbolehkan diskus untuk menyerap dan
mengurangi beban pada kolumna spinalis dan memperbolehkan gerakan antara segmen
spinalis terkait. IVD memiliki selularitas yang longgar; sel meliputi sekitar 1% hingga 5%
dari volume jaringan. Diskus yang berbatasan atas dan bawah oleh kartilago hialin disebut
vertebral endplate. Pori-pori pada endplate menyediakan katup untuk difusi nustrisi ke
diskus.

IVFD secara umum avascular dan aneural, dengan vaskularisasi dan innervasi dalam
diskus yang sehat terbatas pada serat perifer pada annulus. Nervus sinuvertebral
menginnervasi diskus, ligament longitudinal posterior, ventral dura, annulus posterior, dan
pembuluh darah. Cabang sensorisnya berasal dari ventral root dan cabang simpatis berasal
dari rami kommunikans grisea didekat kutub distal dari ganglion dorsal. Nervus sinuvertebral
dipercaya memiliki tiga tingkat segmen yang tumpang tindih, sehingga sulit untuk
melokalisasi nyeri dalam diskus, dura, dan ligament longitudinalis posterior. Nakamura dkk
mengobati 33 pasien dengan blok akar saraf L2 selektif dengan hasil nyeri punggung
berkurang. Penulis berhipotesa bahwa jalur aferen utama nyeri dari lumbar bagian bawah
IVD pada pasien dengan nyeri punggung diskogenik adalah simpatis dan dimediasi melalui
nervus di L2 melaui nervus sinuvertebral, namun hipotesis ini belum divalidasi lebih lanjut.

Perubahan pada Struktur Diskus pada Pertambahan Umur dan Degenrasi

Perubahan yang hampir selalu terjadi pada IVD dengan pertambahan umur adalah
reduksi pada volume diskus, bentuk, dan isinya. Perubahan pada ekspresi gen dan faktor
transkripsi bertanggung jawan untuk penuaan sel dalam diskus. Penuaan ini mengakibatkan
sel kehilangan kemampuan biokimia dan sistensis, sehingga pada akhirnya menghilangkan
kemampuan diskus untuk kembali dari deformitas dan membuat matriks lebih rentan lelah.
Nukleus pulposus akan lambat laun menjadi dehidrasi dan pada dekade ketiga kehidupan
akan terdapat penurunan jumlah sel sehat dan berkurangnya proteoglikan.

Proses degeneratif pada awalnya mempengaruhi nukleus pulposus dan endplate


dibandingkan terhadap annulus fibrosus. Proses anabolik dan katabolik akan di upregulate
selama fase awal degenerasil namun proses perbaikan anabolik gagal mengikuti proses
katabolik dan degenerasi matriks bertambah seiring waktu. Seiring proses berlangsung,
lapisan dalam dari annulus dan nukleus pulposus terubah menjadi material fibrokartilago
yang keras.

Jumlah arteriol yang menyuplai diskus perifer akan berkurang secara signifikan
karena pembuluh darah yang ada dihalangi oleh kalsifikasi dari endplate berkartilago.
Hilangnya vaskularitas endplate mengakibatkan reduksi pada nutrisi dan meningkatnya
sampah metabolik. Tingkat laktat akan meningkat secara lokal dalam diskus hipovaskular
tersebut akibat peningkatan produksi dan penurunan pembuangannya. Apoptosis sel terjadi
akibat penurunan pH jaringan, dan kemampuan diskus untuk perbaikan biosintesis terganggu
lebih lanjut.

Endplate yang menipis atau terjadi mikrofraktur akan menganggu fungsinya dan
mengakibatkan keluarnya cairan secara cepat dari kartilago, sehingga tekanan hidrostatik
meingkat. Peningkatan fokal pada penekanan tingkat diskus akan membahayakan diskus dan
mengakibatkan kerusakan annular. Seiring waktu, akan terdapat robekan diantara dan
melewati lamellar annular. Katup antar annulus dan nukelus, serta material diskus akan
berherniasi melalui robekan tersebut. Annulus yang melemah akan berkembang menjadi
defek yang sangat keras dan dapat terjadi herniasi hampir sempurna dari nukleus pulposus,
apalagi ketika diskus diberi beban dalam fleksi.

Proses degeneratif yang menghasilkan perubahan matriks dan gangguan structural


internal akan membuat batasan terhadap pergerakan tertentu pada segmen degenerasi
tersebut. Perubahan pada struktur diskus akan mengubah respon loading dan deretan dari
kolumna spinalis. Perubahan tersebut dapat berpengaruh pada sendi facet, ligament, dan otot
paraspinalis, yang dapat menjadi penyebab nyeri. Nyeri tidak selalu berhubungan dengan
perubahan morfologis pada diskus dan kompresi mekanis. Macnab mendeskripsikan traksi
osteofit diantara vertebrae yang berasal sekitar 2 mm dari endplate anterior pada tempat
terluar dari serat annular. Osteofit tersebut dianggap sebagai tanda biomekanika abnormal
yang disebabkan traksi dari insersi serat annular ke corpus vertebra. Penelitian selanjutnya
menemukan bahwa osteofit tersebut tidak selalu ada.

Berbagai faktor mengakibatkan degenerasi diskus, termasuk kurangnya suplai nutrisi,


reduksi dari sel yang sehat, aktifitas enzim yang berkurang, dan penuaan sel serta apoptosis.
Perubahan pada pola loading antar endplate dan diskus mengakibatkan kerusakan annular dan
dapat berakibat herniasi. Gangguan pada diskus juga mengakibatkan degenerasi dan nyeri
pada struktur segmental seperti sendi facet, ligament, dan otot paraspinalis.

Faktor Terkait

Berbagai faktor risiko yang terkait dalam pathogenesis degenerasi diskus lumbaris
telah disebutkan. Dalam ulasan mengenai faktor yang terkait dengan degenerasi IVD pada
dewasa tua, Hangai dkk memasukkan peningkatan umur, indeks massa tubuh yang tinggi,
pekerjaan mengangkat barang, aktifitas olahraga, dan faktor terkait aterosklerosis sebagai
faktor risiko. Berbagai penelitian menunjukkan kontribusi genetic terhadap nyeri punggung
bawah degeneratif. Battie dkk mengestimasi kontribusi familial terhadap degenerasi IVD
sekitar 34% hingga 61%. Merokok juga diimplikasikan dan terlihat memiliki efek
vasokonstriksi dan aterosklerotik pada nutrisi IVD. Jenis pekerjaan juga telrihat memiliki
efek buruk pada degenerasi segmen spinalis, sehingga meningkatkan risiko DDD simtomatik.

Arun dkk menggunakan MRI serial postcontras untuk meneliti efek dari berat
mekanikal berkepanjangan dan difusi beratnya pada IVD. Penulis melaporkan bahwa dalam
waktu 4.5 jam berat beban sekitar 50% dari berat badan akan secara signfikan merusak difusi
solusi kecil ke pertengahan IVD, dan dibutuhkan 3 jam ase penyembuhan untuk
mengembalikan laju difusi ke semula. Pemberian beban mekanik yang berkepanjangan dapat
menyebabkan gangguan difusi, sehingga mempercepat degenerasi diskus. Namun, hipotesis
ini belum dikonfirmasi secara klinis.

Predisposisi genetik pada DDD lumbar dan eksposur seumur hidup telah diteliti pada
kembar monozigotik oleh Battie dkk. Peneliti tersebut meneliti 115 laki-laki kembar indentik
terhadap eksposurenya dengan faktor risiko umum seperti pekerjaan, aktifitas, menyetir, dan
merokok. Degenerasi diskus ditentukan oleh MRI dan evaluasi klinis. Pada tulang belakang
lumbar bagian atas, hanya 7% variabilitas akibat pekerjaan, 16% akibat umur, dan 77%
akibat agregasi familial. Pada tulang belakang bagian bawah, aktifitas fisik 2%, umur 8%,
dan agregasi familial 43%. Battie dkk menyimpulkan bahwa genetik dan faktor lainnya dapat
mengakibatkan DDD; dimana faktor lingkungan memiliki dampak sedang. Dalam follow-up
setelah 5 tahun pada populasi kembar yang sama, peneliti kembali menarik kesimpulan
bahwa genetik memiliki peran penting dalam DDD. Faktor genetik memiliki peran penting
dalam penelitian tersebut, namun hal ini kurang menjelaskan nyeri punggun pada orang tua.

Patofisiologi

Gangguan Diskus Internal

Crock menciptakan sebutan internal disc disruption pada tahun 1970 dan
mendefinisikannya sebagai peningkatan pada aktifitas biologis yang menyakitkan setelah
cedera IVD dengan pemeriksaan radiografik, CT dan myelogram yang normal namun
diskogram abnormal. IDD sebagai penyebab nyeri punggung diskogenik masih kontroversial.
Kemajuan MRI telah membantu deteksi hal ini IDD terlihat sebagai diskus gelap dengan
tinggi dan bentuk yang tertentu pada MRI. Nyeri pada IDD dianggap sebagai akibat dari
stimulasi mekanis dan kimiawi dari reseptor nosiseptor dalam annulus atau pada permukaan
dari annulus dan jaringan ligament dibawahnya. Tanda IDD adalah hilangnya herniasi diskus,
prolapse dari material diskus, instabilitas segmental, atau berbagai abnormalitas radiologic
lainnya. Iritasi nervus, nyeri radicular, dan defiisit neurologis juga tidak ada.

Perubahan radiografik dikaitkan DDD penyempitan spatium diskus yang signifikan,


formasi osteofit pada endplate, sclerosis endplate, dan pembentukan gas dalam spatium
diskus tidak terliaht pada IDD. MRI dan anamnesis positif (nyeri pada tingkat yang abnormal
dan tidak pada tingkat yang berdekatan) dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis IDD.
Karena sensitivitas dan spesifitas yang buruk, makan banyak klinisi yang mempertanyakan
adanya IDD sebagai diagnosis klinis.

Penyakit Degeneratif Diskus

Hubungan antara perubahan diskus degenerative dan nyeri punggung bawah masih
belum dimengerti. Dua sumber potensial yang disebut berkontribusi pada pasien dengan nyeri
degenerasi diskus adalah (1) sensitisasi ujung nervus oleh pengeluaran mediator kimia dan
(2) perkembangan neurovaskular dalam degenerasi diskus.

Mekanisme patofisiologi yang tepat untuk induksi kimiawi dari hiperalgesia dalam
diskus masih belum jelas. Robekan annular radial menyediakan rute untuk isi nukleus dan
noxius kimiawi keluar dair diskus dan mengenai kantung dural dan nervus; beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa nukleus pulposus autologous sendiri dapat
menyebabkan produksi respon inflamasi. Sebagai tambahan, perubahan degradatif dapat
terjadi dalam nervus yang terekspos ke isi nukleus meskipun tidak ada kompresi mekanis.
Weinstein dkk meneliti reproduksi nyeri pada diskografi dan menyimpulkan bahwa berbagai
perubahan neurokimiawi dalam diskus diekspresikan oleh nosiseptor tersensitasi annuluar.
Nosiseptor tersebut merupakan akhir saraf sensoris yang merespon secara selektif terhadap
stimuli nyeri dengan mengeluarkan substansi P. mediator kimia tersebut kemudian keluar di
spatium epidural dan ditransportasikan ke axon pada nerve root. Pada nerve root, mediator ini
akan mengeksitasi serat saraf tipe C dan menginisiasi agen inflamasi seperti prostaglandin,
sehingga muncul nyeri radicular.

Sebagai tambahan pada isi dari nukleus pulposus, banyak suubstansi lain dalam
degenerasi diskus yang memiliki dampak nyeri. Peran dari asam nitrat dan fosfolipase A 2
dalam mengiritasi nerve root telah disebutkan pada beberapa referensi. Fosfolipase A 2
memiliki dampak pada berbagai aspek: (1) aktivasi langsung dari nosiseptor, (2) kerusakan
saraf dari degrafasi membrane sel fosfolipid, dan (3) kerusakan saraf dari mediator inflamasi
yang berasal dari kaskade asam arakidonat (prostaglandin dan leukotrin). Burke dkk
melaporkan peningkatan mediator inflamasi dalam diskus seperti IL-6, IL-8, dan
prostaglandin E2. Penelitian lain juga memperlihatkan adanya sitokin inflamasi dalam sendi
facet, yang menunjukkan adanya keterkaitan facet sebagai penyebab nyeri melalui
mekanisme biokimia. Ohtori dkk melaporkan pertumbuhan jaringan saraf immunoreaktif
untuk tumor necrosis factor dan prostaglandin P dalam 18 endplate vertebral dari pasien
dengan Modic stage Ia dan II yang telah menjalani operasi. Penemuan mereka menunjukkan
bahwa pertumbuhan axon dalam endplate vertebra juga terkait dengan perubahan Modic
diinduksi oleh tumor necrosis factor dan dapat terkait dengan perkembangan nyeri.

Proliferasi neurovaskular di dalam dan sekitar elemen degenerasi diskus telah


diajukan sebagai mekanisme lain dari nyeri. IVD normal memiliki innervasi yang jarang dan
vaskularitas yang terdistribusi terutama dalam lamllar (3mm) dari annulus fibrosus sedangkan
degenerasi diskus memiliki pertumbuhan neurovaskular yang signifikan di dalam annulus dan
nukleus pulposus. Penelitian pewarnaan immunoreaktif dan asetilkolinesterase telah
memperlihatkan penetrasi dari serabut saraf dalam sepertiga annulus yang dikaitkan dengan
jaringan granulasi neovaskularisasi. Peng dkk melaporkan sebuah penelitian histologis pada
19 IVD yang diambil dari operasi dan dibandingkan dengan diskus kontrol normal.
Perbedaan karakteristik histologis dari diskus yang nyeri terlihat adanya zona yang banyak
innervasi dan jaringan granulasi vaskular dari bagian luar annulushingga nukleus di sekitar
robekan diskus. Proliferasi dari saluran dan ujung saraf yang kaya akan kalsitonin peptide
juga diobservasi pada region endplate dan korpus vertebrae yang berdekatan dengan diskus
terdegenerasi. Penemuan ini menunjukkan bahwa terdapat peran untuk endplate vertebra dan
korpus dalam perkembangan nyeri di DDD.

Penelitian lain juga menunjukkan bahwa suplai saraf dalam IVD mirip dengan pola
inntervasi visceral dengan serat peuptida kalsitonin yang melewati trunkus simpatis. Pola
visceral dari innervasi tersebut sangat rentan terhadap sensitisasi sentral, yang dapat
memperparah nyeri punggung belakang dengan gangguan psikosimatis. Psikososial dan
sindrom nyeri kronik telah diimplikasikan dalam publikasi yang baru sebagai memiliki efek
signifikan pada pasien dengan nyeri punggung bawah.

Gejala Klinis

Gangguan Diskus Internal (Internal Disc Disruption, IDD)

Diagnosis dari IDD tidak terlalu sering terlihat dalam praktek klinis sehari-hari.
Pasien umumnya individu yang muda, dari umur 20 hingga 50 tahun dengan nyeri punggung
yang rekuren atau persisten. Terdapat riwayat trauma sebelumnya atau kejadian provokatif
seperti mengangkat berat atau paksaan kompresi pada spinalis lumbar, namun pasien lebih
sering datang dengan nyeri bertahap pada obset tanpa waktu yang tetap.

Nyeri dikarakterisasi sebagai nyeri tumpul dan dalam pada region lumbar bawah,
diperberat dengan gerakan rotasi, fleksi, atau gerakan menyamping, dan dapat berkurang
sedikit dengan istirahat. Ketidakmampuan pasien untuk duduk dapat menjadi keluhan utama,
dan nyeri umumnya hilang dengan berbaring terlentang. Kadang-kadang terdapat keluhan
nyeri pada bokong atau paha bagian belakang. Pada kasus jarang yang terkait nyeri kaki,
umumnya hal ini terlambat ditemukan dan nyeri tidak mengikuti pola dermatom. PAda
sebuah penleitian yang melibatkan intradiscal electrothermal annuloplasty pada 25 pasien,
ONeil dkk menunjukkan bahwa stimulasi IVD dapat menyebabkan nyeri punggung dan
nyeri alih pada kaki pada pasien dengan gejala IDD. Distribusi distal dari nyeri ditemukan
bergantung pada intensitasi stimulasi, dan kadang muncul nyeri hingga di bawah lutut.

Pemeriksaan fisik memperlihatkan berkurangnya range of motion pada punggung dan


nyeri pada otot paraspinalis, namun pemeriksaan lain normal. Pemeriksaan straight leg test
dapat menyebabkan nyeri punggung, namun bukan nyeri pada kaki. Nyeri pada punggung
bawah dapat diprovokasi dengan fleksi 20 hingga 30 derajat ketika kembali dari posisi fleksi.
Pemeriksaan sensorimotor umumnya tidak spesiifik, dan refleks tendon dalam normal dan
simetris.

Penyakit Degenerasi Diskus (Degenerative Disc Disease)

Pasien dengan DD umumnya datang dengan riwayat nyeri punggung bawah persisten
pada lumbosacral dan sakroiliaka dan menyebar ke bokong dan paha belakang. Gejala
tersebut umumnya diprovokasi oleh duduk dan berjalan yang lama, namun tanda klaudifikasi
neurologis pada kaki tidak dapat ditemukan kecuali dengan stenosis lumbaris. Gejala
radicular jarang terlihat pada fase awal penyakit. Pada fase akhir dari degenerasi diskus dapat
terjadi stenosis foraminal dan gejala radicular onset lambat.

Pemeriksaan fisis umumnya tidak spesifik kecuali terdapat nyeri pada spina lumbaris
di tengah dan pada sendi sakroiliaka. Pergerakan dari spina lumbaris dapat berkurang,
terutama pada fleksi. Fleksi berat dan kembali dari posisi fleksi umumnya menyebabkan
nyeri. Ekstensi biasanya kurang sakit dan dapat mengurangi nyeri yang ada. Straight leg test
dapat menghasilkan nyeri pada paha belakang, yang dideskripsikan sebagai sensasi tertarik,
namun tidak ada nyeri radicular pada lutut, kecuali telah ada stenosis foraminal. Pemeriksaan
sensorimotor umumnya tidak spesifik, dan refleks tendon dalam normal dan simetris.

Tabel 45-1 Pedoman Praktis Bendera Merah


X-ray anteroposterior dan lateral umumnya tidak membantu pada kasus akut namun dapat
dilakukan.
Nyeri pada malam hari atau nyeri saat istirahat (terdapat peningkatan insidensi)
Riwayat kecurigaan kanker (keluarkan kemungkinan adanya penyakit metastatic)
Demam >38C (>100.4F) selama >48 jam
Osteoporisis
Penyakit sistemik lain
Defisit neuromotor atau sensoris
Penggunaan steroid jangka panjang
Immunosupresi
Kecelakaan parah atau cedera (jatuh dari ketinggian, trauma tumpul, kecelakaan
motor)hal ini tidak termasuk cedera mengangkat berat kecuali telah ada faktor
risiko lain pada kaki (contoh: riwayat osteopororosis)
Kecurigaan klinis adanya ankylosing spondylitis
Kondisi lain yang dapat menganggu x-ray anteroposterior atau lateral
Umur >50 tahun (peningkatan risiko terjadinya kanker atau fraktur kompresi)
Gagal berespon pada terapi konservatif dalam 4-6 minggu.
Penyalahgunaan obat atau alkohol pada insidensi osteomyelitis, trauma, fraktur
Foto oblig pada x-ray tidak disarankan, karena hanya menambah sedikit informasi pada
beberapa kasus dan memberikan eksposur radiasi pasien ke dua kali lebih banyak.

Foto Diagnostik

Radiografi Sederhana

Foto radiografi sederhana direkomendasikan pada modalitas foto awal pada pasien
dengan nyeri punggung bawah. Perbandingan klasis dan penelitian cost-benefit telah
dilakukan untuk menentukan kapan dan foto radiografi apa yang diambil. Pada tahun 1982,
Liang dan Komaroff mempublikasikan studi perbandingan antara foto radiogradi pada semua
pasien dan foto radiografi hanya pada pasien dengan nyeri yang tidak membaik dalam 8
minggu. Mereka menemukan risiko dan biaya yang ada tidak membenarkan mengambil foto
radiografi pada saat pasien datang pertama kali. Scavone dkk mengulas foto radiografi pada
782 pasien dan menemukan titik antara foto lateral dan oblig, yang menambah informasi
diagnostik hanya pada 2% pasien. Mereka merekomendasikan foto radiografi pada pasien
nyeri punggung bawah adalah foto anteroposterior dan lateral. Secara umum, foto fleksi-
ekstensi dan oblig dibutuhkan pada pasien yang dicurigai terdapat instabilitas atau fraktur.
Adanya bendera merah meningkatkan kemungkinan adanya penemuan radiologis dan dapat
membantu dokter. Indikasi pada bendera merah tersebut terlihat pada tabel 45-1/

Penemuan radiologis pada pasien dengan DDD adalah penyempitan jarak antar diskus
(berkurangnya tinggi badan), sclerosis endplate, dan adanya osteofit. Spondilolistesis
degenerative dan scoliosis dapat terjadi. Pada fase akhir degenerasi diskus, dapat terlihat
fenomena vakum dalam diskus, yang menunjukkan adanya kumpulan nitrogen dalam ruang
kosong diskus.

Radiografi pada pasien dengan IDD umumnya terlihat normal kecuali jika ada
perubahan deretan spinalis. Skoliosis nonstructural dan hilangnya lordosis pada lumbar dapat
terlihat pada pasien dengan spasme paraspinalis.

Computed tomography

CT sangat baik untuk melihat batasan patologi pada tulang, namun umumnya tidak
menjadi pilihan modalitas pada IDD dan DDD karena keduanya secara primer merupakan
gangguan jaringan lunak. Penambahan bahan kontras pada kanalis vertebralis CT
myelografydapat secara signifikakn meningkatkan keakuratan CT untuk menunjukkan
kelainan dalam kanal seperti massa atau stenosis. CT myelography merupakan foto
diagnostik pilihan pada pasien dengan scoliosis yang signifikan dan pada pasien yang tidak
dapat menjalani MRI akibataadanya implant besi, pacemaker, obesitas, atau klaustrofobia.

Magnetic Resonance Imaging

MRI merupakan modalitas terbaik untuk memvisualisasi dan mengevaluasi neural dan
elemen diskus dan merupakan alat dignostik paling berharga untuk menilai patologi pada
diskus. Nyeri akibat IVD sangat jarang terjadi apabila hasil MRInya normal dan diskus
terhidrasi dengan baik. Penemuan umum pada MRI yang mengindikasikan DDD adalah
hilangnya hair, hilangnya tinggi diskus, adanya tonjolan diskus, dan irregularitas morfologis
dalam nukleus pulposus. Sebagai tambahan, MRI umumnya digunakan untuk mendapatkan
tiga hal iniL (1) zona intensitas tinggi (HIZ) pada annulus posterior, (2) diskus yang gelap
dengan atau tanpa hilangnya tinggi, dan (3) perubahan endplate.

Penemuan MRI terhadap HIZ awalnya dideskripsikan oleh Aprill dan Bogduk pada
tahun 1992 dan dipercaya spesifik untuk robekan annular (Gambar 451). Penelitian
postmortem menunjukkan terdapat tiga tipe robekan yang terjadi pada annulus: konsentrik,
tranverse, atau radial. Robekan konsentrik atau kavitas obal yang disebabkan gangguan serat
transversus pendek yang menghubungkan lamelaar annular dan umumnya tidak terlihat pada
MRI. Robekan konstetrik umumnya disebut juga delaminasi. Robekan transversus
mempresentasikan robekan pada serat Sharpey dekat perlekatannya ke cincin apofisis pada
perifer diskus; robekan ini umumnya dianggap tidak terlihat secara klinis. Robekan radial
dari nukleus pulposus ke bagian terluar dari annulus posterior terlihat pada MRI sebagai HIZ.

Penurunan sinyal di dalam IVD pada foto T2 dengan preservasi relatif pada tinggi
diskus umumnya ditemukan pada individu yang asimtomatik. Penampakan diskus sering
disebut dark disk desease walaupun apakah diskus tersebut berkontribusi dalam nyeri masih
belum jelas. Pada keadaan tidak adanya abnormalitas psikometrik, dark disc yang ditemukan
pada pasien dianggap sebagai penyebab nyeri punggung bawah, apabila penyebab lain tidak
ditemukan.
Perubahan endplate (Gambar 45-2) yang terjadi pade degenerasi diskus telah
dijelaskan oleh Modic dkk. Pada stage I, perubahan terlihat sebagai edema dan dikarakterisasi
oleh kurangnya sinyal pada T1 dan sinyal yang terang pada T2 di dalam endplate. Pada stage
II, degenerasi lemak pada tulang di dekat endplate direpresentasikan sebagai sinyak terang
pada T1 dan sinyal intermediet pada sinyal sekuen T2. Pada Stage III perubahan degeneratif
lebih jelas dan terdapat endplate sklerosis dan dikarakterisasi pada MRI dengan intensitas
sinyal T1 dan T2 yang berkurang.

Ketika menginterpretasi penemuan pada MRI, klinisi harus berhati-hati dalam


mepertimbangkan prevalensi tinggi dari penemuan positif palsu. Penemuan diskus yang
abnormal pada MRI umumnya terlihat asimtomatik pada individu. Voden dkk menunjukkan
bahwa setidaknya 30% dari individu asimtomatik memiliki hasil MRI yang abnormal. Pada
pasien berumur lebih dari 60 tahun, penemuan abnormal tersebut umumnya ada tanpa
memperhatikan gejala yang ada. Jensen dkk melaporkan 98 pasien asimtomatik berumur 20
hingga 80 tahun dan menemukan bahwa 52% diantaranya memiliki tonjolan diskus
setidaknya satu tingkat pada MRI. Stadnik dkk menunjukkan adanya angka yang tinggi pada
tonjolan diskus (81%) dan robekan annulus (56%) pada MRI 30 pasien yang asimtomatik.

Penemuan abnormal MRI pada pasien asimtomatik tidak menjadi indikator masalah
yang akan datang. Borenstein dkk melaporkan 50 dari 67 pasien penelitian Boden dkk dalam
7 tahun interval follow-up dan menemukan bahwa penemuan MRI yang insidental tidak
dapat memprediksi perkembangan atau durasi nyeri punggung bawah. Jarvik dkk meneliti
148 veteran yang tidak memiliki nyeri punggung bawah dalam 4 bulan terakhir. Mereka
menemukan bahwa insidensi dehidrasi pada setidanya satu diskus terjadi pada 83% pasien,
tonjolan diskus pada 64% pasien, dan berkurangnya tinggi diskus 58%. Dalam follow-up 3
tahun pada kohort yang sama, peneliti menemukan tidak ada hubungan antara perkembangan
nyeri punggung bawah baru dan penemuan MRI incidental, seperti perubahan Modic,
degenerasi diskus, robekan annular, dan degenerasi faset. Faktor risiko terbesar untuk
memiliki nyeri punggung bawah dalam interval 3 tahun adalah depresi.

Dengan mempertimbangkan tingginya prevalensi positif palsu pada penemuan MRI,


dokter harus mengingat bahwa MRI tidak berdiri sendiri dalam mengevaluasi kelainan
spinalis. Jika dikombinasikan dengan riwayat pasien, penemuan pemeriksaan fisik, dan foto
radiografi polos, penggunaan selektif MRI dapat menyediakan informasi yang berguna.

Contrast-Enhanced Magnetic Resonance Imaging

Medium kontras intravena gadolinium diethylenetriaminepentaacetic acid (DTPA)


pada MRI dalam kasus nyeri diskogenik telah digunakan. Penambahan gadolinium pada foto
MRI lumbaris berguna dalam membedakan luka jaringan dari herniasi diskus rekuren karena
kontras tidak mengisi jaringan tersebut, sedangkan apabila luka jaringan akibat vaskular tetap
terisi kontras. Penggunaan MRI dengan gadolinium tidak membantu dalam menentukan batas
diskus patologis yang nyeri.

Lappalainen dkk dalam penelitiannya ke hewan membuat robekan annular,


menunjukkan bahwa MRI dengan gadolinium tidak mendeteksi semua robekan, terutama
yang perifer dan kecil, namun robekan yang ditunjukkan dalam MRI tetap merepresentasikan
gangguan diskus yang signifikan. Yoshida dkk mengivestigasi hubungan antara MRI dengan
DTPA T2 dan respon positif nyeri dengan diskografi 56 diskus lumbaris pada 23 pasien
dengan nyeri punggung bawah lama. Sensitivitas, spesifitas, nilai prediktif positif, dan nilai
prediktif negative dari foto T2 tanpa DTPA dalam mendeteksi diskus simptomatik adalah
94%, 71%, 59%, dan 97%, sedangkan dengan DTPA pada foto yang sama adalah 71%, 75%,
56%, dan 86%. Penemuan oleh Yoshida dkk ini mendukung penggunaan MRI T2 tanpa
DTPA dalam mendeteksi patologi diskus yang simptomatis pada pasien yang diseleksi
dengan baik.

Zona Intensitas Tinggi

Dalam usaha menemukan pemeriksaan non invasif dalam mendiagnosis IVD pada
tingkat kepercayaan yang tinggi, beberapa penelitian menginvestigasi hubungan antara
diskografi provokatif positif dan berbagai penemua pada MRI seperti HIZ, penurunan
intensitas diskus (dark disc), dan perubahan endplate vertebral Modic. Dalam publikasi
mereka, Aprill dan Bogduk mencari korelasi pada penemuan HIZ dalam diskografi CT dan
menemukan nilai prediktif positif adalah 86% untuk diskogram positif, meskipun nilai
prediktif dan signifikasi HIZ pada MRI akhir-akhir ini dipertanyakan. Berbagai penulis
menemukan korelasi positif padapenemuan HIZ dan nyeri pada diskografi yang mirip dengan
penemuan Aprill dan Bogduk, dimana penelitian lain mendokumentasikan adanya korelais,
namun sensitivitas yang rendah.

Dalam sebuah penelitian pada 62 pasien berumur 17 hingga 69 tahun, Kang dkk
menemukan bahwa hanya HIZ dengan protrusi diskius yang berhubungan dengan nyeri pada
diskografi. Spesifitas adalah 98% dan nilai prediktif positif adalah 87%, namun sensitivitas
masih rendah dengan 46%. HIZ dengan diskus normal atau diskus menonjol pada MRI tidak
ditemukan berhubungan dengan diskogram positif. Pada penelitian dengan 30 pasien,
Ricketson dkk tidak dapat menemukan hubungan antara adanya HIZ pada MRI dan respon
nyeri pada diskografi. Namun, penulis juga mengatakan bahwa HIZ tidak pernah divisualisasi
pada diskus yang secara morfologis normal pada diskografi. Penelitian selanjutnya berusaha
untuk menghubungkan penemuan HIZ positif pada MRI dan diskografi yang nyeri
menunjukkan bahwa meskipun IVD lumbar dengan robekan annular posterior akan
mengakibatkan nyeri, validitas tanda-tanda tersebut untuk memprediksi adanya nyeri lumbar
diskogenik masih terbatas.

Meskipun prevalensinya belum jelas, HIZ dapat kadang terlihat pada individu yang
asimtomatik. Carrage dkk melaporkan prevalensi HIZ pada 59% pasien simptomatik dan
24% pasien asimptomatik. Pada kelompok asimptomatik, 69% diskus dengan HIZ ditemukan
positif pada diskografi, dimana 10% diskus tanpa HIZ positif. Carrage dkk juga melaporkan
bahwa hanya 50% diskus dengan HIZ positif pada diskografi pasien dengan psikometrik yang
normal dibandingkan dengan diskografi positif 100% pada pasien dengan psikometrik
abnormal atau nyeri kronik. Mereka menyimpulkan bahwa adanya HIZ bukan indikasi
terpercaya adanya IDD simptomatik karena tingginya prevalensi HIZ pada pasien yang
asimptomatik.

Dark Disc

Apakah dark disc itu sendiri nyeri atau tidak merupakan suatu topic kontroversial lain.
Sebagian besar pasien dengan dark disc asimptomatik; namun pada beberapa pasien hal ini
dapat menjadi sumber nyeri. Milette dkk menemukan bahwa berkurangnya tinggi diskus dan
intensitas sinyal abnormal merupakan prediktid tinggi dari robekan simptomatik yang
melewati annulus. Horton dan Daftari dkk melaporkan diskogram positif pada 50% pasien
dengan dark disc tanpa bukti adanya robekan annular.

Perubahan Modic Endplate

Berbagai tahap pada perubahan Modic dianggap berhubungan secara spesifik dengan
fase degenerasi diskus. Toyone dkk mengevaluasi foto MRI pada 74 pasien dengan
perubahan Modic dan menemukan bahwa pada tahap I perubahan tersebut terkait dengan
keluhan nyeri punggung bawah dan berkorelasi dengan hipermobilitas segmental. Peneliti
lain juga mendeskripsikan perubahan pada tahap I Modic secara spesifik terkait dengan nyeri
punggung bawah. Pada sebuah ulasan retrospektif oleh Thompson dkk, perubahan Modic
pada 736 pasien diberikan ke diskogram provokatif. Penulis menemukan bahwa perubahan
pada tahap I modic memiliki nilai prediktif positif (0.81) untuk diskogram positif. Perubahan
pada tahap II Modic memiliki nilai prediktif positif lebih rendah (0.64) dan nilai prediktif
pada perubahan tahap III Modic tidak signifikan secara statistik.

Pada deskripsi awal perubahan korpus vertebra oleh Modic dkk, konversi antara
karakteristik sinyal dari tahap I ke tahap II dideskipsikan pada 5 di antara 6 pasien dalam 14
bulan hingga 3 tahun. Banyak penulis meneliti hubungan antara perubahan Modic di MRI
dengan nyeri positif pada diskografi. Sandhu dkk menemukan bahwa keduanya relatif
spesifik untuk nyeri diskogenik, tanpa korelasi signifikan diantara keduanya. Braithwaite dkk
menemukan perubahan Modic tidak memprediksikan respon positif pada diskografil mereka
berkesimpulan bahwa perubahan Modic merepresentasikan tanda spesifik namun tidak
sensitive pada nyeri punggung bawah.
Penelitian lain menemukan adanya korelasi lebih baik antara nyeri punggung dan
perubahan Modic dibandingkan dengan nyeri punggung dan diskografi. Carragee dkk
melaporkan dari 100 pasien asimptomatik yang diikuti dengan risiko tinggi memiliki nyeri
punggung berat. Dari semua penemuan diagnostik, hanya perubahan Modic sedang dan berat
dari endplate vertebrae yang ditemukan sedikit berhubungan dengan perkembangan episode
nyeri punggung bawah. Penemuan struktural MRI dan nyeri dengan diskografi berhubungan
lemah dengan episode nyeri punggung bawah dan tidak berhubungan dengan disabilitas atau
konsultasi medis untuk nyeri punggung bawah kedepannya. Faktor psikososial,
neuropsikologis (nyeri nonlumbar kronik) dan pekerjaan sangat berpengaruh dalam
memprediksi episode disabilitas dan konsultasi medis kedepannya.

Pada sebuah penelitian cross-sectional dari 109 wanita dari dua kelompok profesi
perawat atau administrasi. Schenk dkk menemukan perubahan Modic dan nerve root yang
cedera merupakan satu-satunya penemuan MRI yang signifikan sebagai prediktor signifikan
dari nyeri punggung bawah. Tanda degenerasi diskus, herniasi diskus, HIZ, dan arthritis faset
ditemukan pada kedua kelompok, namun tidak tidak menjadi faktor risiko signifikan untuk
nyeri punggung bawah.

Penemuan yang sama dilaporkan dalam penelitian oleh Kjaer dkk dengan keluhan
nyeri punggung bawah dikorelasikan dengan penemuan MRI dalam seleksi random 512
subyek orang Denmark. Meskipun perubahan Modic terjadi kurang dari 25% subyek (16%
tahap I Modic dan 7% tahap II Modic), penemuan ini memiliki korelasi terkuat dengna nyeri
punggung. Ketika subyek dievaluasi secara kelinis, penulis menemukan bahwa pasien dengan
bukti radiografik DDD dan perubahan Modic memiliki bukti klinis terbaik penyakit diskus.
Penemuan klinis pada pasien dengan bukti radiografik degenerasi diskus tanpa perubahan
Modic tidak berbeda signfikan dari populasi dasar. Kjaer dkk menyimpulkan bahwa
perubahan Modic merupakan temuan sangat penting dalam riwayat nyeri punggung bawah
dan temuan klinis. Dalam follow-up penelitian yang sama pada populasi Denmark, perubahan
Modic berhubungan dengan tipe pekerjaan, riwayat merokok, dan kelebihan berat badan. Odd
ratio untuk kerja berat dikombinasi dengan merokok adalah 4.9 untuk adanya perubahan
Modic di MRI.

Sebuah ulasan meta-analisis dari perubahan Modic oleh Jensen dkk menemukan
bahwa prevalensi median perubahan Modic dari semua penelitian adalah 43% dengan nyeri
punggung bawah non spesifik. Sebuah hubungan positif antara nyeri punggung bawah dan
perubahan Modic dilaporkan dalam 7 dari 10 penelitian dengan odd ratio antara 2.0 dan 19.9.

Axially Loaded Magnetic Resonance Imaging

Akhir-akhir ini terdapat ketertarikan mengenai peran potensial dari MRI axial load
dalam mengevaluasi pasien dengan penyakit spinalis lumbar. Ide penggunaan axial loading
adalah untuk memproduksi gambar anatomi diskus lebih baik di bawah berat fisiologis.
Kegunaan MRI axial load telah diteliti lebih luas pada pasien dengna stenosis spinalis dan
spondilolisthesis. Danielson dan Willen mengobservasi penurunan signifikan dalam area
cross-sectional dural antara posisi relaks psoas dan kompresi aksial dalam ekstensi di 56%
individu asimptomatik. Penurunan ini sangat terlihat pada L4-5 dan lebih parah pada individu
lebih tua. Meskipun peran klinis dari MRI axial load pada pasien dengan nyeri punggung
diskogenik belum dipublikasikan, Saifuddin dkk mengatakan bahwa MRI dengan axial
loading dapat meningkatkan sensitivitas untuk deteksi HIZ, walaupun hipotesis ini belum
diuji.

Diskografi

Terdapat kontroversi antar literatur mengenai penggunaan diskografi dalam evaluasi


integritas diskus lumbaris. Beberapa peneliti mempertimbangkan diskografi sebagai alat
terpenting dalam diagnosis IDD. Namun pada penelitian baru-baru ini dan pedoman praktis
oleh American Pain Society merekomendasikan tidak menggunakan diskografi provokatif
dalam diagnosis nyeri punggung diskogenik.

Diskografi merupakan satu-satunya modalitas fisiologis untuk menentukan jika diskus


tertentu menyebabkan nyeri. Meskipun beberapa telah berusaha untuk menjelaskan
pathogenesis provokasi nyeri selama diskografi, patomekanisme pastinya masih belum
dimengerti dengan baik. Terdapat empat komponen dalam mengevaluasi diskogram: (1)
tekanan dan volume cairan yang diinjeksi kedalam diskus, (2) morfologi diskus yang
diinjeksi, (3) respon nyeri subyektif pada tingkat tertentu, dan (4) respon nyeri ketika tingkat
kontrol terdekat diinjeksi. Respon nyeri subyektif pada provokasi tekanan rendah merupakan
penentu paling penting mengenai kerusakan diskus; reproduksi gejala pasien terhadap injeksi
tingkat yang nyeri penting untuk hasil tes menjadi positif. Jika 2 mL atau lebih kontras dapat
dengan mudah masuk, maka diperkirakan terdapat kerusakan diskus.
Penggunaan CT post-diskografi dilaporkan meningkatkan sensitivitas diagnosis
robekan radial dari annulus. Karena spesifitas dan sensitivitas yang rendah, CT post-
diskografi tidak terlalu membantu dalam mendiagnosis IDD.

Meskipun telah digunakan sejak tahun 1948, penggunaan diskografi tetap


kontroversial. Holt dan Massie mempublikasikan pada tahun 1960 tentang tingginya insidensi
positif palsu pada diskografi lumbar, yang 26% diantaranya ditemukan oleh Holt. Walsh dkk
kemudian mempublikasikan penelitian lebih lanjut tentang tingkat kepercayaan diskografi
lumbar. Penelitian mereka membandingkan 10 pasien normal dengan 7 pasien simptomatik.
Meskipun 17% dari diskus normal ditemukan secara morfologik abnormal, tidak terdapat
respon nyeri positif, Walsh dkk menyimpulkan bahwa dengan teknik modern, insidensi
positif palsu dari diskografi tidak setinggi yang ditemukan oleh Holt.

Derby dkk menemukan hasil yang mirip pada penelitian dengan 90 pasien dengan
nyeri punggung bawah dan 16 kontrol. Secara morfologis, prevalensi robekan annular grade
III ditemukan 58% diantara populasi asimptomatik. Diduga diskus yang asimptomatik pada
individu yang simptomatik pada pressure-controlled diskografi menunjukkan tingkat nyeri
dan respon yang hampir sama dengan kelompok kontrol, dimana pasien dengan diskografi
true positive menunjukkan karakteristik nyeri yang sama dengan gejala yang sering mereka
alami. Derby dkk menyimpulkan bahwa pressure-controlled diskografi dapat membedakan
antara diskus asimptomatik dan diskus yang abnormal secara morfologis.

Menemukan baku emas (gold-standard) dengan diskografi mana yang dapat


dibandingkan tetap menjadi masalah. Beberapa penelitian telah membandingkan penggunaan
diskografi dan hasilnya setelah operasi, dimana hal tersebut dapat menjadi pengukuran
terbaik untuk validitas diskografi. Colhoun dkk dalam penelitiannya pada 137 pasien
melaporkan 89% memiliki outcome lebih baik pada pasien dengan nyeri positif pada
diskografi dibandingkan dengan 52% outcome pada pasien tanpa respon nyeri. Madan dkk
menemukan hasil yang berbeda; 81% dari 41 pasien yang menjalani operasi berdasarkan
penemuan MRI memiliki hasil yang lebih memuaskan dibandingkan dengan 75% dari 32
pasien yang menjalani operasi berdasarkan diskografi. Penelitian perbandingan yang
dilakukan oleh Carragee dkk mengenai kesuksesan operasi pada 32 pasien diskogram positif
satu tingkat dengan kohort yang cocok sejumlah 34 pasien dengan spondilolistesis; pada
penelitian tersebut sejumlah 72% pasien dengan spondilolistesis menemui kriteria sukses
untuk operasi dibandingkan dengan 27% pasien dengan nyeri diskogenik. Kriteria sukses
yang diterima adalah 91% dan 43%. Carragee dkk mengkalkulasi kasus terbaik untuk nilai
prediktif positif untuk diskografi adalah 50% hingga 60% dan menyimpulkan bahwa
diskografi tidak memiliki nilai prediktif tinggi untuk nyeri punggung diskogenik.

Dalam usaha untuk memperbaiki tingkat kepercayaan dari diskografi dibentuk


diskogram anastetik yang disebut discoblock. Sebuah discoblock merupakan modifikasi
diskografi, dalam anastetik lokal yang biasanya bupivacaine yang diinfus dengan agen
kontras dalam diskus untuk meningkatkan kapabilitas diagnostik prosedur yang ada.
Berkurangnya nyeri setelah discoblock dianggap diagnostik untuk nyeri diskogenik. Ohtori
dkk mempublikasikan sebuah penelitian kontrol acak dibandingkan diskogram provokatif
standar dalam mendiagnosis nyeri punggung bawah diskogenik. Prosedur anterior lumbar
interbody fusion (ALIF) dilakukan pada 15 pasien dengan nyeri yang diagnosis dengan
bantuan discoblock. Hasil outcome (ODI, VAS, dan skor Japanese Orthopaedic Association)
dalam 3 tahun follow-up menunjukkan hasil yang lebih baik secara statistik signifikan dalam
kelompok yang di diagnosis dengan discoblock.

Tanpa memperhatikan detail bagaimana diskografi dilakukan, beberapa penulis telah


mempertanyakan efek buruk potensial yang menghasilkan perforasi diskus lumbaris.
Carragee dkk baru saja menghasilkan laporan mengenai efek diskografi dalam presipitasi
degenerasi akselerasi dalam studi kohort yang cocok. Dalam follow-up 10 tahun
menunjukkan bahwa diskus yang telah diinjeksi memiliki progresi lebih besar dalam
degenerasi diskus35% versus 14% dalam kelompok kontrol. Terdapat 55 herniasi diskus
baru dalam kelompok diskografi versus 22 dalam kelompok kontrol. Carragee dkk
menyimpulkan bahwa meskipun menggunakan teknik diskografi modern dengan jarum
ukuran kecil, masih terdapat risiko degenerasi diskus, herniasi diskus, perubahan dalam
diskus dan sinyal endplate, dan hilangnya tinggi diskus ketika diskografi dilakukan

Meskipun diskografi memiliki potensial untuk membantu mendiagnosis kerusakan


diagnosis, kepercayaannya terhadap respon nyeri pasien dapat bermasalah. Faktor psikososial
dan nyeri non-lumbar kronik juga terlihat mengubah kapabilitas diagnostik dari prosedur
tersebut. Sehingga, pertimbangan laporan konsisten dari jumlah positif palsu yang tinggi dan
temuan baru degenerasi dipercepat dalam diskus yang menjalani diskografi membuatnya sulit
untuk merekomendasikan prosedur untuk diagnosis nyeri punggung diskogenik. Validitas
diskografi lumbaris masih diragukan, dimana diskografi tersebut digarisbawahi oleh pedoman
rekomendasi yang dipublikasikan oleh American Pain Society. Rekomendasi sekarang ini
mengatakan bahwa diskografi lumbaris provokatif tidak boleh digunakan dalam kasus nyeri
punggung bawah non-radikular. Penggunaan diskografi untuk menilai tingkat yang harus
dioperasi pada pasien dengan degenerasi diskus multi-level masih belum dipublikasikan
secara luas.

Tabel 45-2 Ringkasan Rekomendasi American Pain Society yang secara spesifik terhadap
Manajemen Nyeri Punggung Bawah Non-radikular Kronik
Rekomendasi #1
Rekomendasi kuat untuk tidak menggunakan diskografi provokatif sebagai prosedur untuk
mendiagnosis nyeri punggung bawah diskogenik (bukti kualitas kuat)
Bukti yang tidak cukup untuk mengevaluasi validitas blok nerve root selektif diagnostik, blok
sendi faset, blok medial branch, atau blok sendi sakroilisaka sebagai procedural diagnostik.
Rekomendasi #2
Pada pasien yang tidak berespon terhadap intervensi yang secara umum dilakukan, dokter
harus mempertimbangkan rehabilitasi berbagai disiplin bagian intensif dengan penekanan
sikap kognitif (bukti kualitas tinggi)
Rekomendasi #3
Injeksi kortikosteroid sendi faset, proloterapi, dan injeksi kortikosteroid intradiskal tidak
direkomendasikan (bukti kualitas sedang)
Bukti yang tidak cukup kuat untuk mengevaluasi keuntungan adekuat dari injeksi lokal,
injeksi toksin botulinum, injeksi steroid epidural, terapi elektrothermal, blok medial branch
terapieutik, denervasi radiofrekuensi, injeksi steroid sendu sakroiliaka, atau terapi intratekal
dengan opioid atau pengobatan lain.
Rekomendasi #4
Klinisi harus mendiskusikan risiko dan keuntungan operasi termasuk diskusi spesifik tentang
rehabilitasi inter-disipliner intensif sebagai pilihan efektif yang mirip, keuntungan operasi
lebih besar dibandingkan terapi tanpa operasi, dan pasien yang menjalani operasi tidak
memiliki outcome yg optimal (bukti kualitas sedang)
Rekomendasi #5
Bukti tidak cukup untuk mengevaluasi secara adekuat keuntungan jangka panjang dan
merugikan penggantian diskus vertebrae.

Penatalaksanaan

Ketika seorang dokter mengumpulkan semua data dari riwayat dan pemeriksaan fisik
bersama dengan penelitian diagnostic yang cocok, keputusan tersebut harus dilandasi dengan
mempertimbangkan hal ini. Semua informasi yang ada harus digunakan dalam menentukan
rencana pengobatan untuk memastikan outcome yang baik. Kepercayaan pada penemuan
klnis pada individu atau foto radiografi secara drastis menurunkan laju kesuksesan karena
insidensi abnormalitas diskus pada pasien asimptomatik sekitar 30% hingga 40% dan
meningkat seiring umur.

Pada tahun 2009, American Pain Society mempublikasikan lima pedoman praktis
dalam manajemen nyeri punggung non-radikular kronik berdasarkan bukti yang ada untuk
diagnostik dan modalitas pengobatan yang ada. Rekomendasi modalitas pengobatan yang
ada. Rekomendasi ini telah disebutkan dalam tabel 45-2. Modalitas pengobatan dan lainnya
belum disebutkan dalam rekomendasiyang didiskusikan dalam detail dengan ulasan yang
mendukung dan literatur yang berlawanan.

Pengobatan Nonoperatif

Pengobatan nonoperatif pada gangguan diskus lumbaris telah didiskusikan


sebelumnya dalam literatur. Terapi fisik, farmakologis, dan manipulasi spinalis telah
didukung oleh berbagai penelitian dengan validitas, namun sulit untuk mengevalusi semua
studi tersebut karena kurangnya desain kontrol acak, observasi, pengukuran, dan
kointervensi. Sebagai tambahan, sedikit literatur pada pengobatan non-operatif yang spesifik
untuk diagnosis IDD atau DDD namun secara umum memiliki nyeri akut dan kronik pada
punggung bawah, yang dapat memiliki berbagai etiologi.

Istirahat total dan nasihat untuk tetap aktif

Penggunaan istirahat total dan durasinya telah sering diperdebatkan dalam literatur.
Pengobatan yang berjadwal dari 2 hari hingga 6 minggu telah dideskripsikan. Rekomendasi
saat ini yang digunakan adalah istirahat total maksimal 2 hari karena semakin lama pasien
istirahat dapat menganggu kesehatan umum pasien dan tidak menguntungkan terhadap nyeri
punggung pasien tersebut. Allen dkk mempublikasikan sebuah ulasan mengenai penelitian
yang mendokumentasikan istirahat total sebagai pengobatan untuk 15 kondisi berbeda
menemukan bahwa untuk pasien dengan nyeri punggung bawah akut terdapat perburukan
pada outcome. Ulasan Cochrane yang diperbaharui untuk istirahat total pada nyeri punggung
bawah akut memiliki bukti berkualitas tinggi yang menunjukkan bahwa istirahat total kurang
efektif dibandingkan dengan saran untuk tetap aktif. Progresivitas kembalinya ke aktivitas
semula dan terapi fisik awal atau program olahraga dirumah direkomendasikan setelah
periode istirahat.

Verbunt dkk mencari alasan mengapa pasien memilih memperpanjang istirahat total
pada kasus nyeri punggung bawah akut. Dari populasi penelitian sejumlah 282 orang, 33%
diantaranya memilih istirahat total, dan 8% diantaranya tetap istirahat lebih dari 4 hari. Faktor
sikap, katastrofi, dan ketakutan akan cedera dikaitkan dengan perpanjangan waktu istirahat
total. Riwayat nyeri punggung dan intensitas nyeri tidak dikaitkan dengan pasien yang
memperpanjang istirahat total. Sebagai tambahan, pasien yang memperpanjang waktu
istirahat total pada fase awal nyeri punggung bawah akan bertambah parah setelah satu tahun.

Edukasi pasien dan saran untuk tetap aktif telah menjadi rekomendasi yang lebih
sering digunakan. Ulasan terbaru Cochrane tentang edukasi pasien dan saran untuk tetap aktif
menunjukkan bukti kuat bahwa sesi instruksional individu selama 2.5 jam lebih efektif dalam
mengembalikan pasien ke pekerjaannya dibandingkan dengan tanpa intervensi sama sekali.
Namun pada kasus nyeri punggung bawah kronik, edukasi pada pasien kurang efektif
dibandingkan dengan intervensi yang lebih intensif. Sesi pendidikan dengan durasi pendek
dan informasi yang tertulis tidak lebih efektif dibandingkan tanpa intervensi sama sekali.
Sebuah meta-analisis pada 39 penelitian terkontrol acak mengevaluasi nasihat untuk tetap
aktif sendiri atau bersama dengan intervensi lain seperti rutinitas olahraga tertentu. Nasihat
seperti melakukan olahraga tertentu merupakan bentuk paling sering yang diimplementasikan
dalam penatalaksanaan dan merupakan dukungan terbaik dalam pengobatan nyeri punggung
bawah kronik. Hasil pada pasien dengan nyeri punggung bawah akut umumnya kurang baik,
namun nasihat untuk tetap aktif merupakan rekomendasi yang terbaik untuk pasien tersebut.

Brox dkk mempublikasikan ulasan sistematis mengenai edukasi singkat pada


lingkungan klinis seperti pemeriksaan, pemberian informasi, pemberian kepastian, dan
nasihat untuk tetap aktif. Penulis menemukan adanya bukti kuat bahwa edukasi singkat lebih
efektif untuk kembali bekerja namun tidak lebih dari perawatan biasa untuk mereduksi nyeri.
Terdapat bukti yang terbatas yang mengatakan buku atau sesi online kurang efektif dibanding
olahraga. Penulis menyimpulkan bahwa buku tidak harus didistribusikan ke pasien sebagai
alternatif pengobatan.

Pemakaian korset dan orthotik lainnya

Salah satu teknik manajemen konservatif lain adalah yang menggunakan korset
sebagai rekomendasi untuk tetap aktif atau sebagai tambahan pada terapi non-operatif.
Calmels dkk merekomendasikan penggunaan sabuk lumbar untuk memperbaiki status
fungsional, nyeri, dan penggunaan obat berdasarkan hasil penelitian klinis acak. Oleske dkk
melakukan percobaan klinis acak pada korset dan edukasi pasien tentang pekerjaan yang
berhubungan dengan nyeri punggung. Penulis tersebut tidak menemukan efek yang
bermakna, namun penggunaan korset dapat membantu menghalangi rekurensi nyeri
punggung terkait pekerjaan.

Penggunaan hak sepatu telah direkomendasikan sebagai salah satu pencegahan dan
mencegah nyeri punggung bawah nonspesifik. Sebuah ulasan dari Cochrane dari enam
percobaan klinis acak melaporkan terdapat bukti bahwa penggunaan hak sepatu tidak
mencegah episode nyeri punggung bawah. Bukti yan gmendukung bahwa hak sepatu
mengurangi nyeri punggung bawah masih terbatas, namun belum ada kesimpulan atau
rekomendasi yang dibuat berdasarkan pengobatan untuk pasien dengan nyeri punggung
bawah.

Terapi Fisik

Berbagai modalitas dan rutinitas terapi fisik telah dideskripsikan dalam literatur,
termasuk program di tanah dan di air, protokol spesifik, dan rutinitas olahraga, dan program
pengobatan kelompok, seperti di sekolah. Modalitas tambahan untuk mengurangi nyeri
adalah seperti ultrasound, ionthophoresis, transcutaneous electrical nerve stimulation
(TENS), dan terapi panas. Program olahraga umumnya menggunakan tipe olahraga aerobic,
peregangan, fleksi, ekstensi, dan protokol stabilisasi punggung. Tujuan dari semua regimen
terapi ini adalah untuk meningkatkan kekuatan, fleksibilitas dari otot badan dan pinggang,
dan mempersiapkan tubuh. Pasien umumnya berespon berbeda terhadap terapi fisik, sehingga
program tersebut harus didasarkan dengan individu masing-masing. Modifikasi dalam
periode aktivitas kadang diperlukan. Pasien harus diedukasi dengan biomekanika tubuh yang
baik; perubahan gaya hidup; dan kebiasaan hidup sehat seperti mengontrol berat badan,
nutrisi yang baik, relaksasi dari stress, dan berhenti merokok.

Rehabilitasi inter-disipliner dengan menitikberatkan pada intervensi kognitif dan


sikap merupakan salah satu rekomendasi yang dibuat oleh American Pain Society.
Rehabilitasi inter-disipliner didefinisikan masyarakat sebagai intervensi berintegrasi dengan
rehabilitasi beserta komponen psikologis atau sosial atau pekerjaan. American Pain Society
merekomendasikan terapi inter-disipliner harus ditawarkan sebagai alternative pilihan
sebelum pindah ke terapi operatif. Terapi non-interdisipliner atau terapi fisik tradisional juga
efektif pada populasi pasien, namun tidak ada program atau metode tertentu yang secara
signifikan lebih baik dari satu sama lain.

Sebuah evaluasi ekonomi di eropa dalam penelitian acak pada kelompok terapi
intensif tidak menemukan perbedaan signifikan antara biaya pada kedua kelompok terapi dan
fisioterapi standar. Tidak ada perbedaan klinis pada kedua kelompok tersebut setelah 1 tahun
follow-up. Berdasarkan sepengetahuan penulis, tidak ada penelitian ekonomi seperti ini di
Amerika Serikat.

Modalitas Tambahan

Salah satu pilihan pengobatan lain untuk nyeri punggung bawah adalah TENS,
stimulasi otot elektrik, ultrasound, dan ionsophoresis. Poitras dan Brosseau mengulas data
penelitian acak terkontrol yang menggunakan TENS dan menemukan bahwa hal ini dapat
berguna untuk mengurangi nyeri jangka pendek namun kurang memiliki dampak pada
persepsi pasien yang telah terganggu karena nyeri kronik. Cochrane menyimpulkan dari
sebuah ulasan sistematik pada TENS versus placebo bahwa tidak terdapat bukti yang cukup
untuk mendukung penggunaan rutin TENS dalam manajemen nyeri punggung bawah kronik.
Terdapat beberapa percobaan acak yang fokus terhadap penggunaan ultrasound dengan
regimen terapi fisik lainnya. Efektivitas modalitas tersebut masih belum jelas.

Terapi Chiropractic dan Pengobatan Alternatif

Beberapa penelitian melaporkan efek positif potensial dari pengobatan chiropractic


terhadap nyeri punggung bawah. Peran dari manipulasi chiropractic terhadap pengobatan
IDD atau DDD spina lumbaris belum diteliti. Manipulasi chiropractic secara umum tidak
dipertimbangkan efektif dalam nyeri punggung bawah kronik yang berasal dari gangguan
IVD. Ulasan sistematis Cochrane gagal dalam menemukan bukti bahwa terapi manipulasi
spinalis lebih baik dibandingkan perawatan biasa, analgesik, terapi fisik, atau olahraga dalam
penatalaksanaan nyeri punggung bawah akut dan kronik.

Eisenberg dkk mempublikasikan sebuah percobaan acak tentang terapi umum biasa
versus penambahan terapi alternatif pilihan pasien (chiropractic, akupuntur, atau pijatan)
untuk mengobati nyeri punggung bawah akut. Hasil didasarkan pada skala Roland-Morris
dan penilaian subyektif tidak menunjukkan adanya perbaikan pada gejala yang signifikan
pada pasien dengan terapi alternatif dibandingkan dengan pasien yang menjalani terapi umu
seperti istirahat total, obat anti inflamasi non steroid, edukasi, dan modifikasi aktifitas.
Penelitian tersebut hanya menunjukkan peningkatan kepuasan pasien terhadap perawatan
yang seharga $244 per pasien.

Hurwitz dkk memiliki penemuan yang sama pada sebuah penelitian retrospektif 681
pasien dengan nyeri punggung bawah kronik dibandingkan dengan perawatan chiropractic
dengan pengobatan medis dengan follow-up setelah 18 bulan. Walaupun kurang dari 20%
gejala nyeri pada pasien yang berkurang, pasien dalam kelompok chiropractic umumnya
mengatakan bahwa gejala telah membaik.

Salah satu terapi medis alternatif lainnya adalah akupuntur, proloterapi, dan pijatan.
Ulasan sistematik Cochrane menunjukkan bahwa akupuntur lebih baik dibanding terapi
placebo sham dan memiliki manfaat jangka pendek yang tidak berlangsung hingga
kedatangan kedua ketika akupuntur digunakan bersama dengan terapi konvensional lainnya.
Sebuah ulasan baru oleh Ammendolia dkk mempertanyakan bukti kesuksesan akupuntur
dibandingkan dengan akupuntur sham dan meminta percobaan klinis selanjutnya untuk
menghilangkan kemungkinan adanya efek placebo.

Proloterapi merupakan sebuah teknik yang berusaha untuk meregenerasi struktur


spinalis ligament dan tendon melalui injeksi berbagai cairan iritan. Pengobatan ini umumnya
digunakan persama dengan manipulasi spinalis. Tidak terdapat metode konsensus, tipe cairan
yang diinjeksi, atau seberapa sering sesi pertemuan. Sebagian besar dokter menggunakan
berbagai kombinasi saline, dekstrose, gliserin, fenol, dan lidokain. Banyak penelitian dan
ulasan sistematis yang mempertanyakan efektifitas proloterapi. Tidak terdapat bukti yang
melaporkan efektifitas proloterapi tanpa kointervensi lain seperti manipulasi spinalis atau
olahraga.
Efektifitas dari modalitas alternative dan tambahan untuk nyeri punggung bawah
masih belum jelas. Manfaat dari terapi manipulasi spinalis juga masih kontroversial, namun
dapat meningkatkan kepuasan pasien dengan perawatan tambahan ini.

Farmakoterapi

Penggunaan bijaksana dari obat nyeri narkotika, steroid oral, dan OAINS pada pasien
dengan nyeri punggung akut berat dapat mengurangi nyeri dengan baik. Sebagian besar
pasien dengan diskus degenerative yang sangat nyeri dapat diatasi secara adekuat. OAINS
dan asetaminofen (Tylenol) merupakan obat yang dijual bebas dan sering digunakan untuk
mengatasi nyeri punggung. Ulasan Cochrain memasukkan 63 penelitian yang menggunakan
OAINS untuk nyeri punggung bawah. OAINS ditemukan lebih baik dibanding placebo
namun memiliki efek samping lebih serius. Tidak terdapat perbedaan mengenai tipe OAINS
yang digunakan termasuk cyclooxygenase-2 inhibitor. Asetaminofen memiliki efek yang
sama dengan OAINS, tapi memiliki faktor risiko yang lebih rendah jika dibandingkan dengan
OAINS. Kelompok Cochrane menyimpulkan bahwa OAINS efektif untuk pengobantan nyeri
punggung bawah akut dan kronik untuk jangka pendek, namun efektifitas yang ada kecil.

Formulasi opioid umumnya digunakan untuk mengatasi nyeri punggung bawah,


sehingga karena penggunaannya yang luas maka sulit menemukan data berkualitas mengenai
penelitian yang ada terhadap efektvitasnya. Meta-analisis database Cochrane terhadap opioid
menemukan hanya empat penelitian, tiga diantaranya fokus terhadap penggunaan tramadol.
Data yang ada menemukan bahwa tramadol yang merupakan sebuah opioid atipikal lebih
efektif dibandingkan placebo untuk mengurangi nyeri dan menunjukkan sedikit perbaikan
pada skor fungsional. Satu-satunya penelitian terkontrol acak terhadap opioid klasik adalah
dengan membandingkannya dengan naproxen. Penulis ulasan Cochrane menyimpulkan
bahwa manfaat opioid untuk pengobatan nyeri punggung bawah kronik masih dipertanyakan,
dan penelitian lebih lanjut dibutuhkan. Dua ulasan sistematik mengenai penggunaan opioid
pada kasus nyeri punggung bawah kronik meyimpulkan bahwa terdapat bukti yang
mendukung efektivitas opioid unutk mengurangi nyeri hanya untuk jangka pendek. Hanya
sedikit bukti untuk penggunaan opioid jangka panjang, dimana hal ini tidak seimbanng
dengan kasus penyalahgunaan opioid yang mendekati angkat 25%.

Penggunaan obat opioid memiliki banyak masalah mulai dari efek samping ringan
seperti konstipasi dan mual hingga komplikasi berat seperti depresi napas, gangguan status
mental, dan masalah seperti toleransi dan kecanduan. Salah satu kekhawatiran dengan
penggunaan opioid adalah jika opioid dikombinasikan dengan asetaminofen seperti yang
sering diresepkan. Dosis harian asetaminofen maksimal yang direkomendasikan untuk
dewasa dan anak berumur lebih 12 tahun adalah 4 g: sehingga pasien dapat tidak sengaja
mengambil dosis lebih tinggi dalam kasus overdosis obat. Potensi terjadinya hepatotoksik
atau dosis mematikan dapat mengkhawatirkan dalam kasus overdosis obat. Komite penasehat
dari FDA Amerika merekomendasikan penambahan lembaran peringatan dalam kotak obat
mengenai risiko overdosis asetaminofen kombinasi obat yang sebaiknya dieliminasi dengan
formulasi opioid-asetaminofen. Pengobatan sebaiknya diberikan beberapa hari dalam kasus
nyeri punggung akut berat, dan penggunaannya pada pasien dengan nyeri punggung kronik
tidak direkomendasikan.

Penggunaan oral steroid ditemukan berguna dalam menurunkan gejala nyeri


punggung bawah, terutama pada pasien dengan herniasi diskus. Steroid dapat menyebabkan
perdarahan gastrointestinal, sehingga agen protektif gastrointestinal harus diberikan bersama
dengan steroid oral untuk mengurangi risiko komplikasi tersebut.

Obat relaksan otot merupakan salah satu kelas obat yang sering diberikan untuk
mengatasi spasme otot terkait nyeri punggung bawah. Penggunaannya harus dibatasi dalam
waktu tertentu karena potensinya membuat kecanduan. Ulasan Cochraine terhadap relaksan
otot untuk nyeri punggung memasukkan 30 penelitian dengan mengevaluasi penggunaan
benzodiazepine, nonbenzodiazepine, dan relaksan otot antispasmodic. Bukti kuat untuk
efektivitas relaksan otot lebih dari placebo dilaporkan untuk mengurangi nyeri dalam jangka
pendek. Tidak terdapat perbedaan antara berbagai obat dan kelas yang ada. Penelitian lebih
lanjut dibutuhkan untuk menentukan efektivitas relaksan otot dibandingkan dengan analgesik
dan OAINS.

Salah satu kelas obat terakhir yang sering diresepkan untuk nyeri punggung adalah
obat anti depressan. Kegunaannya adalah untuk pasien dengan nyeri punggung bawah kronik
yang dikaitkan dengan gangguan status mental, depresi, anhedonia, gangguan tidur, agitasi,
dan anoreksia. Percobaan klinis mendukung penggunaan antidepressan trisiklik (TCAs)
dengan perbaikan pada suasana hati dan pola tidur. Dosis rendah TCAs juga berefek pada
potensial membrane dari saraf perifer, sehingga menjadi salah satu mekanisme reduksi nyeri.
Dalam ulasan tahun 2003 menemukan bahwa antridepressan dalam pengobatan nyeri
punggung bawah kronik memiliki efek sedang dalam mengurangi nyeri pada pasien tanpa
riwayat depresi namun dilaporkan terdapat bukti bertentangan pada hasil fungsional. Dokter
yang meresepkan TCAs harus mengetahui efek sampingnya yang serius seperti hipotensi
ortostatik dan gangguan kardiovaskular.

Keller dkk mempublikasikan sebuah pilihan manajemen metaanalisis nonoperasi


untuk nyeri punggung bawah. Penulis ini melaporkan bahwa terapi sikal, terapi olahraga, dan
OAINS memiliki efek terbesar terhadap modalitas yang diteliti. Hanya sedikit perbaikan pada
keluhan nyeri yang ditemukan pada pasien yang diobati dengan traksi, terapi fisik,
antidepressant, dan OAINS; perbaikan sedang ditemukan pada pasien yang diobati dengan
analgesik opioid, relaksan otot, injeksi faset, dan block saraf.

Terapi Intervensional Tanpa Operasi

Terapi intervensional tanpa operasi mulai dari terapi jangka pendek seperti injeksi
epidural hingga prosedur untuk pengobatan definitive seperti intradiscal electrothermal
therapy (IDET).

Injeksi Spinalis Epidural

Pemberian steroid epidural harus dibertimbangkan oleh dokter operasi dan pasien
sebelum melangkah ke intervensi operasi. Keuntungan dari injeksi epidural terhadap steroid
oral adalah kemampuan untuk mencapai konsentrasi lebih tinggi dari steroid pada lokasi
nyeri dengan meminimalisir efek sisteik. Steroid epidural umumnya bekerja dengan baik
ketika diberikan dalam kasus nyeri radicular dan tidak bekerja dengan baik pada pkasus nyeri
aksial. Pasien dengan stenosis foraminal dengan berkurangnya tinggi diskus dapat mendapat
manfaat dari blok nerve root selektif sebagai diagnostic atau alat terapieutik. Banyak dokter
yang merekomendasikan injeksi steroid epidural sebagai terapi lini kedua dalam pengobatan
gangguan diskus lumbalis. Steroid epidural umumnya diadministasikan dalam tiga rute:
kaudal, interlaminar, dan transforaminal. Meskipun nyeri punggung diskogenik dengan gejala
pada kaki dianggap sebagai indikasi tiga mode administrasi tersebut, pendekatan melalui
transforaminal secara umum dianggap terbaik karena memiliki distribusi epidural yang baik.
Komplikasi akibat injeksi ada namun jarang terjadi.

Laporan dari efektifitas injeksi epidural dalam literatur saling berlawanan.


Manchikanti dkk mempublikasikan hasil dari percobaan acak injeksi epidural kaudal serial
pada pasien dengan nyeri diskogenik tanpa herniasi diskus atau radikulitis. Penulis tersebut
melaporkan lebih dari 50% nyeri berkurang pada 72% hingga 81% pasien dan 40%
penurunan pada skor ODI pada 81% pasien. Manchikanti dkk menyimpulkan bahwa injeksi
epidural kaudal dengan atau tanpa steroid efektif dalam menangani nyeri punggung
diskogenik lebih dari 70% pasien. Dua penelitian observasional dari penulis yang sama juga
memilki penemuan yang sama mengenai manfaat dari injeksi epidural pada kasus spesifik
nyeri punggung bawah.

Buttermann meneliti pasien dengan DDD dan nyeri punggung dengan durasi lebih
dari 1 tahun yang menjadi kandidat untuk fusion. Terdapat keberhasilan pada awal
pebgobatan pada lebih dari 50% pasien, namun kemudian turun menjadi 23% hingga 29%
setelah 1 hingga 2 tahun follow-up. Penelitian tersebut diganggu dengan banyaknya subyek
yang keluar (lebih dari dua pertiga total subyek) dan mencari pengobatan lain dalam 2 tahun.
Buttermann menyimpulkan pasien dengan DDD tanpa stenosis spinalis dapat mendapatkan
manfaat jangka pendek dari injeksi epidural dengan hanya seperempat hingga sepertiga yang
mendapatkan perbaikan jangka panjang pada keluhan nyeri dan fungsional. Penelitian
sebelumnya mengenai pendekatan foraminal dan kaudal juga melaporkan hasil positif untuk
berkurangnya nyeri punggung bawah, dengan 59% pasien memiliki perbaikan 50% pada
gejala dan fungsional dalam interval satu tahun.

Sebuah ulasan sistematis mengkritisi mengenai literatur pada injeksi epidural karena
kurangnya kontrol pada rute administrasi obat dan diagnosis pasien. Pada evaluasi data yang
ada, hanya satu bukti yang mendukung injeksi epidural dapat mengurangi gejala nyeri pada
nyeri punggung bawah nonspesifik. Tidak ada percobaan acak yang spesifik terhadap nyeri
punggung diskogenik.

Injeksi Intradiskal

Injeksi intradiskal langsung, biasanya dengan cairan steroid, merupakan salah satu
intervensi lain yang telah dideskripsikan dalam literatur untuk IDD. Efek yang diinginkan
adalah supresi proses inflamasi dalam diskus, dimana hal ini dianggap sebagai penyebab
nyeri punggung diskogenik. Injeksi intradiskal dilaporkan pada kasus oleh Fefferk, dimana
47% pasien dilaporkan memiliki remisi gejala diskogenik. Hasil yang sama ditemukan oleh
Wilkinson dan Schuaman. Fayad dkk melaporkan adanya perbaikan jangka pendek pada skor
VAS pada 1 bulan followup setelah injeksi intradiskal steroid pada pasien dengan perubahan
Modic stage I dan I-2 pada MRI, namun tidak terlihat manfaat jangka panjang. Dua
percobaan acak prospektif besar mengenai injeksi intradiskal steroid gagal dalam menemukan
manfaat signifikan dari injeksi versus placebo dalam mengobati nyeri punggung diskogenik.
Penulis lain telah mencoba injeksi intradiskal berbagai solusi lain seperti kondritin dan
dekstrose, hipertonik dekstrose, methylene blue, dan campuran gas ozone-oksigen. Walaupun
penelitian ini memiliki hasil menjanjikan, mereka belum membuktikan efektifitasnya dengan
percobaan terkontrol acak selanjutnya.

Thermal Annuloplasty

IDET melibatkan insersi perkutaneus dari kateter terkontrol suhu kedalam IVD,
terutama annulus posterior dan menghangatkan kateter pada temperatur tertentu (biasanya
90C) dalam waktu tertentu (4 hingga 12 menit tergantung protokol). Berbagai variasi
prosedur ini hadir mengenai berbagai tipe energi yang diberikan (contoh: percutaneous
radiofrequency thermocoagulation), mode pengantaran energi (contoh:bipolar), posisi
thermal probe, waktu, dan durasi pengantaran energi.

Mekanisme yang diajukan untuk prosedur ini ada dua tahap: (1) eliminasi serabut
nyeri nosiseptif dan respon nyeri terhadap diskus yang terganggu dan (2) penyusunan
kembali kolagen dalam annulus dengan hasil stabilisasi segmen spinalis. Efek biologis yang
ada masih belum dimengerti, dan penjelasan jelas mengenai efek deafferentasi neuron,
modulasi kolagen, dan stabilitas spinal dibutuhkan. Freeman dkk meneliti efek destruksi
nosiseptor melalui IDET dengan membuat robekan annular di model annulus di domba.
Penulis gagal menemukan perbedaan dalam jumlah innvervasi baru dalam annulus antara
specimen yang menjalani IDET dan specimen yang tidak, sehingga mempertanyakan teori
deafferentasi dari annulus. Apakah penyusunan kembali kolagen merupakan hasil dari
pengecilan dan stabilisasi elemen diskus pada mekanisme IDET juga kembali dipertanyakan.
penurunan volume jaringan 10% hingga 16.7% didekat elektroda.

Untuk menghancurkan nosiseptor dalam anulus fibrosus, suhunya harus ditingkatkan


minimal ke 40 C hingga 45 C. Kita tidak dapat menghasilkan suhu yang cukup didalam
anulus dengan probe radiofrekuensi yang dipasang pada pusat diskus seperti yang
ditunjukkan oleh Houpt et al. Perubahan suhu pada jarak lebih dari 11 mm tidak cukup untuk
meningkatkan suhu jaringan diluar anulus hingga 42 C yang diperlukan untuk ablasi
neuronal. Ashley et al. membandingkan distribusi suhu diskus antara jarum radiofrekuensi
dengan SPINECATH (Smith & Nephew, Memphis, TN) yang dapat dipindahkan. Dengan
menggunakan metode ini, mereka dapat memberikan energi thermal ke anulus secara lebih
efektif dan dapat mencapai suhu yang cukup untuk menyebabkan denervasi. Karasek dan
Bugduk merekomendasikan pemasangan elektroda IDET dalam jarak 5 mm di permukaan
luar anulus. Pemasangan probe di plana interlamellar dibanding didalam lapisan terdalam
anulus memungkinkan pembentukan panas yang cukup untuk menghancurkan nosiseptor
pada lapisan terluar anulus.

Komplikasi sekunder prosedur annulopasty jarang terjadi. Telah ada 1 laporan kasus
sindrom kauda ekuina postoperatif yang disebabkan oleh pemasangan kateter kanalis spinalis
yang tidak tepat dan beberapa laporan kerusakan kateter tanpa adanya efek samping lain.
Belum ada laporan kejadian infeksi, perdarahan, atau komplikasi akibat peralatan atau teknik.

Penelitian klinis tak terkontrol sebelumnya terhadap IDET cukup menjanjikan,


dengan adanya perbaikan pada 50% hingga 70% pasien, namun penelitian acak terkontrol
menunjukkan hasil sebaliknya. Freeman et al. tidak menemukan adanya perbaikan prognosis
yang signifikan jika dibandingkan dengan sham surgery pada saat follow-up 6 bulan.
Penemuan sebaliknya juga dilaporkan oleh Pauza et al. terhadap pasien yang didiagnosis
nyeri punggung bawah discogenik selama lebih dari 6 bulan. Mereka menemukan bahwa
lebih dari 40% pasien mereka yang menjalani IDET melaporkan penurunan nyeri setidaknya
sebesar 50%, sedangkan sebagian besar pasien kelompok kontrol mengalami progresi nyeri.
Mereka menyimpulkan bahwa prosedur IDET merupakan intervensi yang efektif bagi
populasi pasien tertentu dan melaporkan number needed to treat sebesar 5 untuk mencapai
penurunan nyeri 75%. Barendse et al. melaporkan sebuah percobaan thermoregulasi
radiofrekuensi intradiscal pada pasien yang mengalami nyeri punggung discogenik kronik.
Follow-up 8 minggu tidak menunjukkan adanya perbedaan skor VAS, global perceived effect,
dan pengukuran hasil ODI jika dibandingkan dengan sham surgery.

Andersson et al. mempublikasikan sebuah review sistematik terhadap IDET


dibandingkan dengan fusi spinal pada pasien yang mengalami degenerasi dan disrupsi /
gangguan diskus. Didapatkan median persentase perbaikan yang sama antara kedua
intervensi tersebut dalam hal keparahan nyeri dan kualitas hidup. Fusi menunjukkan
perbaikan fungsional yang lebih baik, namun memiliki tingkat kejadian komplikasi yang
lebih tinggi. Andersson et al. menyimpulkan bahwa IDET memberikan perbaikan gejala yang
sama dengan risiko yang lebih rendah jika dibandingkan dengan fusi. Dalam sebuah review
sistematik, Derby et al. menyimpulkan bahwa secara umum IDET lebih aman dan lebih
murah jika dibandingkan dengan teknik operasi yang lebih invasif, walaupun bukti terbaik
yang ada hanya menunjukkan sedikit perbaikan nyeri dan luaran fungsional.
Review sistemtik IDET lainnya lebih kritis. Helm et al. melaporkan bukti tingkat II-2
yang mendukung IDET untuk nyeri punggung discogenik berdasarkan 2 penelitian acak yang
telah disebutkan diatas dan berbagai penelitian observasional. Dua penelitian observasional
yang ditemukan oleh peneliti ini mendukung thermoregulasi intradiscal radiofrekuensi
dengan bukti tingkat III-3. Terdapat kekurangan bukti yang mendukung biacuplasty dengan
bukti tingkat III. Freeman mempublikasikan sebuah review sistematik terhadap literatur yang
mengkritik buruknya prognosis bahkan pada penelitian yang mendukung IDET. Freeman
menyimpulkan bahwa bukti efektifitas IDET rendah dan tidak melewati standar bukti ilmiah.

Chou et al. mempublikasikan sebuah review sistematik yang meringkas semua terapi
intervensi non-operatif sebagai bagian dari rekomendasi praktik American Pain Society yang
dipublikasikan pada tahun 2009. Peneliti tersebut melaporkan bukti lcukup kuat bahwa
injeksi steroid epidural efektif untuk penurunan nyeri jangka pendek. Dilaporkan bukti kuat
bahwa proloterapi, injeksi facet, steroid intradiscal, dan thermokoagulasi radiofrekuensi
intradiscal tidak efektif. Untuk IDET, tidak didapatkan kesimpulan karena penelitian acak
terkontrol berlainan. IDET paling baik diindikasikan untuk pasien dengan gangguan
fungsional yang lebih ringan, dengan tinggi discus baik, dan dengan nyeri discogenik akibat
robekan anular. IDET tidak selamanya berhasil, namun sekitar 50% pasien dapat
mengharapkan penurunan nyeri yang signifikan (> 50%).

Terapi Operatif
Ketika semua cara konservatif telah dicoba atau jika sifat gejala berat, maka mungkin
diperlukan terapi operatif. Terapi operasi yang paling umum digunakan untuk nyeri punggung
bawah discogenik persisten dan DDD adalah arthrodesis (fusi). Arthroplasty discus lumbal
merupakan teknik terbaru yang disetujui oleh FDA namun belum digunakan secara luas.
Pilihan motion-reserving / minimal pergerakan lainnya sedang diteliti, termasuk netralisasi
spinal dan perbaikan discus dinamik.

Chou et al. mempublikasikan sebuah review sistematik terhadap terapi operatif untuk
nyeri punggung bawah non-radikular sebagai bagian dari rekomendasi praktik American
Pain Society. Peneliti tersebut menemukan bukti cukup kuat bahwa operasi fusi tidak lebih
baik daripada rehabilitasi intensif dengan penekanan kognitif dan perilaku. Pasien yang
dioperasi dianggap memiliki hasil yang buruk, dimana korang dari 50% mendapatkan hasil
fusi optimal. Keuntungan fusi instrumen dibandingkan dengan fusi non-instrumen tidak jelas.
Bukti cukup kuat menemukan bahwa arthroplasty DDD single-level dapat memiliki hasil
yang sama dengan fusi, namun masih diperlukan data luaran klinis jangka panjang.

Rekomendasi praktik American Pain Society yang dikeluarkan pada tahun 2009
mendukung dokter untuk memberikan rehabilitasi intensif interdisiplin untuk nyeri punggung
bawah nonradikular sebagai sebuah pilihan dengan hasil yang hamir sama dengan operasi.
Kebanyakan pasien penderita nyeri nonradikular yang menjalani operasi tidak mengalami
luaran klinis optimal, yang didefinisikan oleh American Pain Society sebagai (1) minimal
atau tanpa nyeri, (2) penghentian atau kadang-kadang menggunakan obat anti-nyeri, dan (3)
kembali ke fungsi tingkat tinggi. Perkumpulan juga menyarankan bahwa saat ini belum ada
cukup bukti untuk mendukung arthroplasty discus pada pasien yang menderita nyeri
punggung bawah nonradikular. Pedoman terapi lain juga berhati-hati dalam menggunakan
fusi spinal untuk DDD, namun pada beberapa pasien gejalanya sangat berat sehingga
kemungkinan hasil yang baik membuat operasi lebih dipilih, khususnya ketika terapi non-
operatif sudah gagal.

Fusi Spinal
Terapi operatif untuk nyeri punggung discogenik persisten umumnya adalah fusi
spinal; namun, fusi tidak diterima secara umum sebagai standar baku emas untuk keadaan
tersebut. Kebanyakan dokter menganggap bahwa dapat dilakukan fusi spinal untuk DDD
pada pasien yang gagal dengan terapi konservatif. Peranan fusi lumbal dalam
penatalaksanaan DDD masih kontroversial.

Tujuan prosedur fusi adalah untuk menghilangkan pergerakan pada segmen spinal
yang terganggu. Arthrodesis dapat dicapai melalui fusi posterolateral (PLF), teknik interbody
setelah melepaskan IVD, atau pendekatan kombinasi (360). Pendekatan interbody termasuk
ALIF, baik pendekatan melalui abdomen atau retroperitoneal; fusi interbody lumbal
transforaminal (TLIF), melalui facet dan neuroforamen; fusi interbody lumbal posterior
(PLIF), melalui dekompresi kanal; fusi dari samping (fusi interbody lumbal lateral ekstrim
[XLIF]), melalui pendekatan transpsoas; dan menggunakan pendekatan presakral (fusi
interbody lumbal aksial perkutaneus [AxiaLIF]). Semua teknik fusi tersebut dapat ditambah
dengan instrumentasi. Terdapat beberapa plate anterior untuk membantu prosedur ALIF, dan
screw pedicle posterior serta rod construct yang umum digunakan. Selain itu, berbagai
material dan cages juga tersedia untuk ditempatkan antara corpus vertebra untuk
memungkinkan fusi interbody. Setiap teknik fusi tersebut akan didiskusikan pada bagian
berikutnya.

Tiga penelitian acak terkontrol kualitas tinggi dalam 10 tahun terakhir telah
mengevaluasi fusi spinal yang dibandingkan dengan terapi operatif untuk nyeri punggung
bawah kronik dan DDD. Fritzell et al. mempublikasikan sebuah penelitian multicenter acak
terkontrol terhadap nyeri punggung bawah kronik berat yang membandingkan fusi spinal
lumbal bawah dengan terapi non-operatif. Penelitian tersebut melibatkan 222 pasien operasi
dan 72 pasien non-operasi berusia 25 hingga 65 tahun yang menderita nyeri punggung bawah
kronik selama setidaknya 2 tahun dan bukti radiologis adanya degenerasi discus pada L4-5,
L5-S1, atau keduanya. Kelompok non-operasi mendapatkan terapi fisik, edukasi, dan
modalitas kontrol nyeri alternatif seperti unit TENS, akupuntur, dan injeksi. Hasil follow-up 2
tahun kelompok fusi ditemukan jauh lebih baik, dengan penurunan nyeri sebesar 33%
dibandingkan dengan 7% pada kelompok non-operasi. Perbaikan nyeri paling signifikan
selama 6 bulan pertama postoperasi dan kemudian menurun secara perlahan. Berdasarkan
ODI, disabilitas menurun sebesar 25% jika dibandingkan dengan 6% pada pasien non-
operasi, dan 63% pasien operasi merasa diri mereka jauh lebih baik atau lebih baik jika
dibandingkan dengan 29% pasien non-operasi. Tingkat kembali kerja sebesar 36% pada
kelompok operasi dan 13% pada kelompok non-operasi. Tingkat komplikasi dini pada
kelompok operasi sebesar 17%. Fritzell et al. menyimpulkan bahwa terapi operatif nyeri
punggung bawah kronik berat memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan
terapi non-operatif pada pasien tertentu.

Brox et al. mempublikasikan penelitian acak lainnya yang membandingkan luaran


fusi lumbal instrumental dengan intervensi kognitif dan latihan pada 64 pasien dengan nyeri
punggung bawah kronik dan DDD. Komponen penting penelitian ini adalah tambahan terapi
kognitif kedalam program rehabilitasi intensif. Perubahan ODI rata-rata untuk kelompok
operasi fusi adalah dari 41 preoperatif menjadi 26 pada saat follow-up 1 tahun dan dari 42
menjadi 30 untuk kelompok rehabilitasi. Peneliti melaporkan tidak ada perbedaan signifikan
dalam hal nyeri punggung, penggunaan analgetik, distress emosional, serta kepuasan hidup
antar kelompok. Tingkat kembali kerja setelah 1 tahun sebesar 22% pada kelompok operasi
dan 33% pada kelompok rehabilitasi. Kelompok rehabilitasi mengalami perbaikan yang lebih
dalam hal menghindari nyeri, serta jarak ujung jari ke lantai, sedangkan kelompok operasi
mengalami perbaikan lebih dalam hal gejala nyeri kaki. Tingkat keberhasilan rata-rata untuk
kelompok intervensi operatif adalah 70% dan terapi kognitif non-operatif sebesar 76%. Brox
et al. menyimpulkan bahwa terdapat hasil yang hampir sama antar kelompok tersebut, dengan
catatan tingkat komplikasi sebesar 18% pada kelompok operasi.

Fairbank et al. mempublikasikan penelitian klinis acak besar terakhir tentang operasi
yang dibandingkan dengan terapi non-operatif. Penelitian stabilisasi spinal Medical Research
Council (MRC) merupakan sebuah penelitian acak terkontrol yang membandingkan terapi
operatif dengan rehabilitasi intensif pada 349 pasien yang menderita nyeri punggung bawah
kronik. Hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Brox et al., program terapi fisik
intensif pada penelitian MRC juga menggunakan prinsip terapi kognitif dan perilaku. Pada
saat follow-up 1 tahun, skor ODI rata-rata menurun dari 46.5 menjadi 34 pada kelompok
operasi dan dari 44.8 menjadi 36.1 pada kelompok rehabilitasi. Tidak terdapat perbedaan
signifikan antar kelompok dalam hal tes shuttle walking dan luaran Short Form-36 General
Health Survey (SF-36). Peneliti menyimpulkan bahwa walaupun kelompok operasi
mendapatkan keuntungan yang signifikan dari pengukuran luaran klinis primer (ODI), hal
tersebut berbanding terbalik dengan tambahan biaya dan potensi risiko komplikasi akibat
operasi.

Dalam sebuah publikasi penelitian MRC lainnya, Rivero-Arias et al. melakukan


sebuah analisis biaya pada saat follow-up 2 tahun. Biaya per pasien selama periode penelitian
pada kelompok operasi diperkirakan sekitar 7830 ($12450) dibandingkan dengan 4526
($7200) pada kelompok rehabilitasi. Tidak terdapat perbedaan signifikan dalam hal kualitas
kehidupan rata-rata per tahun antar kelompok tersebut. Peneliti menyimpulkan bahwa terapi
operatif tidak menggunakan biaya kesehatan secara efektif jika dibandingkan dengan terapi,
walaupun peneliti menekankan bahwa biaya akhir dapat bervariasi tergantung pada jumlah
pasien dalam tiap kelompok yang memerlukan intervensi tambahan setelah periode follow-up
2 tahun.

Meta-analisis terapi operatif berbanding terapi non-operatif memiliki hasil yang sama
dengan penelitian Brox et al. serta penelitian MRC. Ibrahim et al. mengumpulkan data dari
ketiga penelitian acak tersebut dan menemukan bahwa perbaikan skor ODI rata-rata yang
cukup tinggi pada pasien operasi tidak boleh digunakan sebagai justifikasi terapi operatif
rutin karena adanya tingkat komplikasi dini sebesar 16%. Dalam sebiuah review penelitian
berbeda, Mirza dan Deyo menyimpulkan bahwa luaran klinis operasi sama dengan program
rehabilitasi dengan terapi kognitif dan perilaku terstruktur.
Fusi Posterolateral
PLF umumnya dilakukan melalui pendekatan midline dengan paparan elemen spinal
psoterior; disrupsi sendi faset pada tingkat fusi; dan dekortikasi processus transversus, pars,
dan facet untuk menstimulasi fusi. Tulang autograft atau allograft umumnya diletakkan diatas
area dekortikasi, dan fusi dapat ditambah dengan berbagai bahan osteokonduktif dan
osteoinduktif. Instrumentasi dalam bentuk screw pedicle dan rod juga dapat ditempatkan
untuk memberikan stabilitas seggmental untuk meningkatkan keberhasilan fusi.

Tingkat keberhasilan fusi spinal lumbal bervariasi dalam literatur dan tergantung pada
tipe serta lama prosedur. Untuk prosedur PLF tanpa instrumen single-level untuk DDD,
dilaporkan tingkat keberhasilan fusi dari 85% hingga 91%. McCulloch melaporkan tingkat
keberhasilan fusi PLF tanpa instrumen single-level sebesar 91% dengan kepuasan luaran
klinis pada 78% pasien.

Perbaikan tingkat keberhasilan fusi dan luaran klinis dengan instrumentasi masih
diperdebatkan dalam literatur. France et al. melaporkan tingkat keberhasilan fusi radiografis
sebesar 76% pada pasien instrumentasi dan 64% pada pasien non-instrumentasi, namun tidak
terdapat perbedaan luaran klinis yang signifikan antar kelompok atau hubungan antara
penyatuan radiografis dengan perbaikan yang dilaporkan oleh pasien. Penelitian lainnya
melaporkan tingkat kejadian pseudoarthrosis sebesar 26% pada fusi tanpa instrumen,
sedangkan penambahan instrumen dilaporkan dapat memperbaiki tingkat keberhasilan fusi,
mengurangi nyeri, dan meningkatkan tingkat kembali bekerja. Pada sebuah penelitian
prospektif terhadap fusi 1 tingkat dengan dan tanpa instrumentasi untuk mengurangi nyeri,
Lorenz et al. melaporkan hasil yang lebih baik pada fusi instrumental. Tidak terdapat laporan
pseudoarthrosis antara kelompok instrumental, dan 75% pasien mengalami perbaikan nyeri
dan dapat kembali bekerja. Sebaliknya, 58% pasien pada kelompok tanpa instrumen
mengalami nonunion, dan hanya 1/3 pasien yang melaporkan perbaikan nyeri dan dapat
kembali bekerja.

Sebaliknya, dalam sebuah penelitian klinis acak Thomsen et al. melaporkan tidak
adanya perbedaan tingkat keberhasilan fusi pada pasien fusi instrumental dan non-
instrumental. Instrumentasi dihubungkan dengan peningkatan waktu operasi, kehilangan
darah, dan tingkat reoperasi dini serta risiko misplacement screw pedicle sebesar 4.8%. Bono
dan Lee melakukan sebuah review komprehensif terhadap penelitian fusi lumbal yang
dipublikasikan dari tahun 1979 hingga 2000 dan mencatat adaya tren ke arah peningkatan
penggunaan instrumen 23% dari semua fusi pada tahun 1980an berbanding 41% dari semua
fusi pada tahun 1990an. Peneliti tersebut tidak dapat menunjukkan perbaikan tingkat
keberhasilan fusi rata-rata atau luaran klinis yang signifikan. Keuntungan tambahan
instrumentasi pada PLF tidak didokumentasikan dengan jelas dalam literatur, khususnya
mengenai material biologis terbaru yang saat ini digunakan untuk meningkatkan tingkat
keberhasilan fusi.

Fusi Interbody Lumbal


Terdapat banyak potensi keuntungan dengan menggunakan teknik interbody untuk
fusi lumbal. Corpus vertebra lumbal memiliki luas permukaan 90% dan mendukung 80%
beban vertebra. Kekuatan kompresi yang lebih besar pada bagian anterior serta luas area
permukaan yang lebih luas secara teori memiliki kemampuan fusi yang lebih baik. Fusi
interbody juga merupakan teknik yang lebih efektif untuk maintenance deformitas sagital dan
koronal, yang penting pada keadaan hilangnya lordosis lumbal sekunder akibat kolaps discus
atau kifosis post-laimenktomi.

PLF dapat menyebabkan nyeri discogenik persisten pada beberapa pasien walaupun
dengan fusi solid, kemungkinan karena adanya pergerakan mikro dan nyeri yang melibatkan
discus. Material discus itu sendir dapat menjadi sumber nyeri, yang dapat ditangani oleh fusi
interbody langsung dengan disectomy. Weatherley et al. melaporkan resolusi nyeri setelah
ALIF pada 5 pasien yang mengalami nyeri punggung persisten walaupun dengan PLE solid.
Barrick et al. juga melaporkan penurunan nyeri yang sangat baik setelah fusi interbody
anterior pada 20 pasien yang mengalami nyeri punggung bawah persisten walaupun
sebelumnya sudah menjalani PLF. Karena alasan tersebut, fusi interbody dianggap dapat
memberikan kontrol nyeri yang lebih baik dan lebih terpercaya untuk nyeri punggung bawah
discogenik, namun belum ada penelitian kualitas tinggi yang mendukung anggapan ini.

Fusi Interbody Lumbal Anterior


ALIF dengan bone grafting (Gambar 45-4) untuk terapi IDD merupakan modalitas
terapi yang awalnya direkomendasikan oleh Crock ketika ia menjelaskan kelainan tersebut.
ALIF dilakukan baik melalui pendekatan intra-abdominal atau retroperitoneal. Setelah discus
simptomatik terekspos, ahli bedah akan melakukan annulotomi dan disektomi komplit.
Segmen discus akan direkonstruksi dengan tulang autograft, allograft, atau alat cage.

Laporan keberhasilan ALIF dalam literatur sangat tinggi; Loguidice et al. melaporkan
tingkat keberhasilan fusi sebesar 80% dan tingkat keberhasilan klinis sebesar 80% dengan
prosedur ALIF. Newman dan Grinstead melaporkan hasil yang sama dengan tingkat
keberhasilan fusi 89% dan keberhasilan klinis sebesar 86% pada pasien penderita IDD. Selain
infeksi, risiko dini ALIF umumnya berhubungan dengan pendekatan operasi, termasuk illeus,
cedera organ atau vaskularisasi abdomen, hernia insisional, atoni muskular, serta ejakulasi
retrograde pada pria yang terjadi sekunder akibat cedera pleksus autonomik.

Fusi Sirkumferensial
Kombinasi fusi interbody dan posterior, disebut sebagai fusi global atau 360
merupakan teknik lain yang dijelaskan dalam literatur. Fusi interbody dapat dilakukan
melalui pendekatan anterior terpisah (ALIF dan PLF) (Gambar 45-5), namun pendekatan
posterior (PLIF atau TLIF) seringkali lebih sederhana karena hanya menggunakan 1
pendekatan untuk kedua bagian prosedur fusi (prosedur tersebut akan didiskusikan
berikutnya). Kombinasi prosedur ALIF dan PLF sebelumnya hanya digunakan untuk keadaan
dimana risiko pseudoarthrosis tinggi, seperti pada pasien yang menjalani operasi revisi,
pasien dengan pseudoarthorsis sebelumnya, perokok, dan pasien diabetes; namun, saat ini
prosedurnya juga umum digunakan pada kasus primer.
GAMBAR 45-4. A dan B, T2-weighted MRI preoperatif sagital (A) dan aksial (B) pada
pasien dengan nyeri punggung discogenik L5-S1, diterapi dengan fusi interbody lumbal
anterior menggunakan carbon fiber-reinforced cages dan rhBMP-2. C dan D, ditunjukkan
radiografi postoperatif anteroposterior (C) dan lateral (D).
GAMBAR 45-5 A dan B, radiografi anteroposterior (A) dan lateral (B) postoperatif pasien
yang menderita nyeri punggung discogenik L4-5 dan L5-S1 dengan fusi sirkumferensial 2
tingkat melalui pendekatan retroperitoneal anterior menggunakan carbon fiber-reinforced
cages dan instrumentasi transpedicular perkutaneus posterior serta fusi spinal posterior.

Moore et al. melaporkan tingkat arthrodesis sebesar 95% dan tingkat keberhasilan
klinis sebesar 86% dengan menggunakan kombinasi fusi anterior dan posterior bagi pasien
dengan nyeri punggung bawah kronik dan DDD yang gagal dengan terapi non-operatif
jangka panjang. Gertzbein et al. melaporkan tingkat fusi sebesar 96% dan luaran klinis yang
baik sebesar 77% dengan menggunakan fusi global pada kelompok pasien sulit 62% telah
menjalani operasi sebelumnya, 25% mengalami pseudoarthrosis, 55% menjalani fusi 2
tingkat atau lebih, dan 43% merupakan perokok berat. Kozak dan OBrien menangani 69
pasien dengan fusi sirkumferensial melalui 2 insisi untuk discogram-positif, menghilangkan
nyeri punggung bawah. Mereka melaporkan hasil yang baik lebih dari 90% untuk fusi 1 dan 2
tingkat serta hasil baik pada 78% pasien dengan prosedur 3 tingkat. Hampir sama, Hinkley
dan Jaremko melaporkan hasil positif lebih dari 90% pada 81 pasien yang mendapatkan
kompensasi pekerja dan diterapi dengan fusi lumbal 360. Dalam sebuah penelitian klinis
acak yang melibatkan 148 pasien, Videback et al. membandingkan hasil fusi sirkumferensial
dengan PLF pada follow-up selama 5 dan 9 tahun, menemukan bahwa kelompok fusi
sirkumferensial memiliki luaran klinis yang jauh lebih baik, yang diukur dengan
menggunakan Dallas Pain Questionnaire (DPQ), ODI, dan SF-36. Kelompok
sirkumferensial juga lebih kurang mengeluhkan nyeri punggung jika dibandingkan dengan
kelompok PLF.

Walaupun kombinasi ALIF dan PLF dapat mengurangi tingkat pseudoarthrosis hingga
< 5%, morbiditasnya lebih tinggi dibanding PLF saja, yang seringkali diperlukan pada pasien
yang menjalani operasi revisi spinal, penderita diabetes, dan perokok berat. Suratwala et al.
secara retrospektif melaporkan 80 pasien komplikasi yang menjalani fusi sirkumferensial 3
tingkat atau lebih. Komplikasi yang dimaksud termasuk tingkat kejadian pseudoarthrosis
19% per pasien (12% per tingkat), tingkat degenerasi segmen sekitar 14%. Dalam waktu
follow-up 2 hingga 7 tahun, 34% pasien menjalani operasi ulang dimana 20% nya menjalani
pelepasan implan akibat nyeri. Tingkat kejadian infeksi luka dalam sebesar 2.5%, dan tingkat
infeksi superfisial sebesar 3.8%. Perdarahan intraoperatif berat (> 3 L) jarang terjadi, namun
50% pasien memerlukan transfusi. Walaupun tingginya tingkat komplikasi perioperatif pada
populasi pasien komplikasi ini, peneliti melaporkan adanya perbaikan ODI rata-rata dari 50
menjadi 35 dan perbaikan skor SF-36 serta Roland Morris yang signifikan.

Fusi Interbody Lumbal Posterior dan Transforaminal


Tehnik posterior untuk melakukan fusi interbody, termasuk PLIF dan TLIF (Gambar
45-6) umumnya dilakukan dengan instrumentasi dan fusi posterior, sehingga secara teori
membuatnya menjadi fusi sirkumferensial. Teknik TLIF dan PLIF untuk melakukan fusi
sirkumferensial makin terkenal karena dapat dilakukan dengan insisi posterior tunggal, yang
dianggap dapat mengurangi morbiditas akibat kombinasi pendekatan anterior dan posterior.

Pada PLIF, IVD dipaparkan melalui laminektomi, facetectomy parsial, dan retraksi
dura serta isinya. Risiko PLIF termasuk robekan dura, cedera conus akibat retraksi, cedera
basis nervus, dan fibrosis epidural. Tingkat keberhasilan PLIF dalam literatur berbeda-beda.
Madan dan Boeree melaporkan tidak adanya perbedaan luaran klinis nyeri punggung
discogenik yang diterapi dengan ALIF dibandingkan dengan PLIF instrumental. Hampir
sama, Vamvanij et al. membandingkan 4 prosedur fusi dan menemukan bahwa fusi interbody
anterior dan facet posterior yang dilakukan secara bersamaan lebih baik dibanding PLIF,
dengan tingkat fusi sebesar 88%. Tingkat keberhasilan fusi superior tidak berhubungan
dengan luaran klinis yang lebih baik, karena hanya 63% pasien dalam penelitian mereka yang
melaporkan hasil memuaskan. Penelitian lain bahkan melaporkan tingkat keberhasilan fusi
untuk nyeri punggung discogenik yang lebih rendah; Knox dan Chapman hanya melaporkan
35% hasil klinis baik untuk fusi DDD 1 tingkat.

TLIF melibatkan pemasangan screw pedicle dan konstruksi rod, kemudian rongga
discus akan dirusak. Facetectomy komplit akan dilakukan secara unilateral, kemudia
dilakukan discectomy, endplate disiapkan secara bersamaan dan graft struktural atau cage
dipasang kedalam rongga interbody. Laminectomy dan facetectomy parsial bilateral yang
diperlukan untuk pendekatan PLIF tidak diperlukan lagi pada TLIF, sehingga akan
memperpendek waktu operasi, mengurangi kehilangan darah, risiko cedera conus, dan
robekan dura; serta meminimalisir scarring epidural. Prosedur TLIF masih berisiko terhadap
dasar saraf, namun karena prosedur tersebut memerlukan facetectomy unilateral komplit,
diperlukan instrumentasi karena adanya instabilitas. Pendekatan TLIF memiliki keuntungan
fusi interbody eliminasi sumber nyeri discus potensial, memperbaiki tingkat fusi,
pengembalian tinggi discus, dan memperbaiki posisi sagital serta lebih sedikit risiko
penyerta dibanding PLIF dan prosedur tersebut akan mendekompresi neuroforamen.
Foraminotomi kontralateral dan laminektomi dekompresif juga dapat dilakukan jika gejala-
gejala pasien memenuhi.

Lowe et al. melakukan sebuah analisis prospektif terhadap 40 pasien yang menjalani
fusi spinal untuk penyakit degeneratif vertebra lumbal dengan menggunakan TLIF unilateral
dengan fiksasi screw pedicle. Penelitian tersebut melaporkan perbaikan universal pada
lordosis segmental, fusi solid pada 90% pasien, dan hasil klinis sangat baik atau baik pada
85% pasien. Whitecloud et al. melaporkan bahwa pendekatan TLIF menghemat biaya hingga
> $15000 jika dibandingkan dengan prosedur kombinasi anterior-posterior. Tidak ada
komplikasi berat yang didapatkan pada kedua kelompok penelitian tersebut, dan tidak ada
pasien yang memerlukan operasi ulang karena komplikasi vertebra lumbal di rumah sakit
peneliti dalam waktu follow-up 1 tahun.
GAMBAR 45-6 A-D, Radiogram MRI preoperatif T2-weighted sagital (A) dan aksial (B)
serta postoperatif anteroposterior (C) dan lateral (D) dari seorang pasien penderita nyeri
punggung discogenik L4-5 setelah discectomy yang diterapi dengan menggunakan fusi
interbody lumbal transforaminal serta instrumentasi transpedikular.

Teknik Stabilisasi Spinal Dinamik


Teknik stabilisasi spinal dinamik telah dijelaskan dalam literatur selama bertahun-
tahun, namun teknik serta desain instrumentasi terbaru telah membuat teknik ini kembali
menarik. Beberapa peneliti telah mencoba menggunakan stabilisasi jaringan lunak yang
membatasi pergerakan, bukannya menghilangkan pergerakan sambil tetap dapat mengurangi
nyeri punggung mekanik. Salah satu sistem dinamik pertama diperkenalkan oleh Graf dan
mencakup rekonstruksi ligamen artifisial dengan menggunakan 4 screw pedicle dan 2
braided polyester bands untuk menstabilisasi segmen lordosis yang nyeri. Pendukung teknik
tersebut menyatakan bahwa nyeri berkurang dengan koaptasi facet yang nyeri; kompresi
annular posterior yang menutup robekan annular; serta stabilisasi segmen yang bergerak.
Secara teori, fiksasinya akan dilepaskan 6 bulan pertama postoperatif sehingga
memungkinkan kembalinya pergerakan setelah terhadinya penyembuhan.

Luaran klinis ligamentoplasty Graf dalam literatur kurang jelas dan berbeda-beda.
Kanayaman et al. dalam follow-up selama 10 tahunnya melaporkan adanya pergerakan
segmental dan perbaikan skor VAS pada 80% pasien. Penelitian lainnya melaporkan luaran
klinis yang buruk pada 1 tahun dan tingginya tingkat revisi setelah 2 tahun. Revisi
ligamentoplasty diketahui memiliki hasil yang buruk hampir sama dengan luaran klinis
yang didapatkan pada arthrodesis. Salah satu argumen terbesar yang menolak penggunaan
prosedur tersebut adalah bahwa ligamen Graf akan sangat membatasi fleksi segmen vertebra,
yang akan meningkatkan beban pada annulus discus posterior yang bermasalah.

Teknik dan desain terbaru seperti sistem netralisasi vertebra dinamik (Dynesys
Dynamic Stabilization System; Zimmer, Warsaw, IN) mencoba untuk mengurangi pergerakan
baik pada fleksi dan ekstensi. Sistem dynesys terdiri dari screw pedicle yang dihubungkan
dengan tali elastis, yang akan mengontrol pergerakan dengan lebih konsisten jika
dibandingka dengan ligamentoplasty Graf. Walaupun lebih baik dibanding teknik Graf,
derajat keberhasilan sistem Dynesys dalam menahan beban discus masih tidak dapat
diprediksi. Luaran klinis yang dilaporkan oleh Grob et al. buruk dengan hanya pasien yang
mendapatkan perbaikan kualitas hidup kurang dari setengah yang mengalami perbaikan
kualitas fungsional. Peneliti tersebut menyimpulkan bahwa tidak terdapat kelebihan
stabilisasi dinamik dibandingkan dengan arthrodesis biasa. Beberapa penelitian klinis acak
terkontrol juga telah dilakukan dengan menggunakan teknik tersebut, dan efektifitas jangka
panjangnya belum jelas diketahui.

Arthroplasty Discus
Teknik lain untuk mempertahankan pergerakan segmental sambil menangani penyakit
discus simptomatik adalah TDA. Ketertarikan mengenai TDA terinsipirasi oleh keberhasilan
total hip arthroplasty dan total knee arthroplasty untuk memperbaiki fungsi serta mengurangi
nyeri. Tujuan TDA adalah untuk menghilangkan penyebab nyeri discus sambil
mempertahankan tinggi, stabilitas, dan pergerakan segmental. Potensi keuntungan athroplasty
discus ada 2: (1) Penyembuhan tidak memerlukan fusi, mengurangi risiko pseudoarthrosis,
dan (2) mempertahankan pergerakan, yang secara teori akan mengurangi risiko degenerasi
segmental di sekitarnya.

Penggantian implan prosthesis discus lumbal total pertama di Amerika Serikat adalah
SB Charite III (DePuy Spine, Raynham, MA). Sekarang terdapat 2 alat yang telah disetujui
oleh FDA untuk athroplasty discus lumbal: SB Charite yang disetujui pada tahun 2004 dan
ProDisc-L (Spine Solutions/Synthes, Paoli, PA) yang disetujui pada Agustus 2006.
Setidaknya terdapat 2 sistem penggantian discus lainnya yang sedang menjalani penelitian
FDA: Maverick (Medtronic Sofamor Danek, Memphis, TN) dan FlexiCore (Sryker Spine,
Allendale, NJ).

Walaupun desain TDA telah lama digunakan di Eropa, hasil jangka panjangnya masih
dipertentangkan. Alat Charite memiliki informasi terbanyak berdasarkan data penelitian acak
terkontrol. Dalam sebuah penelitian noniferioritas, Guyer et al. melaporkan hasil follow-up 5
tahun 90 pasien TDA yang dibandingkan dengan 43 pasien ALIF dalam kelompok kontrol.
Data ODI dan SF-36 antar kelompok dapat dibandingkan, namun 66% pasien TDA dibanding
47% pasien ALIF dapat kembali bekerja penuh waktu pada saat 5 tahun. Range of motion alat
Charite pada saat follow-up 5 tahun sebesar 6.

Blumenthal et al. mempublikasikan hasil klinis penelitian acak terkontrol mengenai


discus Charite dan melaporkan noninferioritasnya dibandingkan kontrol ALIF. Pemeriksaan
radiografi pada pasien yang diteliti menunjukkan pengembalian tinggi discus yang lebih baik
serta kurangnya keluhan pada TDA jika dibandingkan dengan ALIF dan cages BAK (Spine
tech, Minneapolis, MN). Tropiano et al. memiliki 75% hasil sangat baik atau baik dengan
rata-rata follow-up 8.7 tahun. Lemaire et al. melaporkan 90% luaran sangat baik atau baik
serta tingkat kembali kerja 91.5% selama minimal follow-up 10 tahun dari total 147 pasien.

Penelitian klinis acak terkontrol terhadap alat ProDisc-L juga menunjukkan


noninferioritas dibanding fusi spinal. Luaran TDA dalam penelitian ini menunjukkan
keuntungan arthroplasty yang signifikan jika dibandingkan dengan fusi. Terpenuhi kriteria
perbaikan ( 15%) pada skor ODI, VAS, dan SF-36 pada 77% pasien TDA jika dibandingkan
dengan 64% pasien fusi. Penelitian klinis acak terkontrol awal yang sudah dipublikasikan
juga mendukung sistem FlexiCore.

Pendukung sistem TDA menyatakan bahwa preservasi pergerakan pada tingkat yang
dioperasi akan menurunkan insidens penyakit degeneratif pada segmen didekatnya akibat
fusi. Salah satu laporan keuntungan teknik ini adalah dapat digunakan bagi pasien yang
seharusnya memerlukan fusi multiple karena perubahan degeneratif asimptomatik atau
subakut pada tingkatan di sekitarnya. Masalah yang signifikan mengenai prosedur fusi adalah
risiko terbentuknya degenerasi segmen didekatnya; namun, dalam beberapa laporan alat TDA
dihubungkan dengan peningkatan perubahan degeneratif pada segmen didekatnya. Kostuik
melaporkan bahwa 2 komplikasi tersering yang memerlukan operasi ulang pada TDA adalah
degenerasi facet dan penyakit didekatnya.

Park et al. melaporkan adanya bukti radiografis degenerasi tingkat didekatnya setelah
implantasi ProDisc-L; pada saat 26 bulan postoperatif, progresi degenerasi facet didapatkan
pada 29% dari 32 pasien. Progresi tingkat didekatnya berhubungan positif dengan jenis
kelamin wanita, malposisi prosthesis, serta penggantian discus 2 tingkat. Dalam sebuah
penelitian komparatif antara Charite dan ProDisc-L, Shim et al. menemukan bahwa walaupun
luaran klinis kedua sistem baik, sendi facet pada tingkat operasi (32% hingga 36%) serta
discus didekatnya (19% hingga 29%) menunjukkan adanya perburukan degenerasi pada saat
follow-up 3 tahun apapun jenis alat yang digunakan. Harrop et al. mempublikasikan sebuah
review sistematik yang membandingkan laporan degenerasi segmen didekatnya pada fusi
lumbal dengan yang menggunakan TDA. Pada kelompok fusi. 173 dari 1216 pasien (14%)
menderita gejala-gejala penyakit segmen sekitar jika dibandingkan dengan 7 dari 595 pasien
TDA. Penelitian ini memiliki keuntungan jumlah pasien yang besar, namun laporan yang
digunakan untuk analisis tidak ada yang memiliki tingkat bukti tinggi.

Masalah lain sistem TDA adalah bahwa sangat sulit untuk membuat sebuah alat
mekanik yang dapat menyerupai semua sifat discus alami. Beberapa pasien yang menjalani
TDA dengan kontrol nyeri yang baik ditemukan mengalami fusi spontan yang terjadi
sekunder akibat pembentukan tulang heterotropik. Dalam beberapa laporan, ossifikasi
heterotropik dan fusi spontan sangat tinggi pada penggantian discus servika. Pada
penggantian discus lumbal, Huang et al. melaporkan tingkat ossifikasi heterotropik sebesar
13% dari 65 pasien, dan 2 pasien akan berkembang menjadi fusi spontan. Peneliti tersebut
menyatakan bahwa ossifikasi annulus preoperatif, cedera bony endplate, malposisi
komponen, serta kerusakan sebagai faktor risiko yang menyebabkan ossifikasi heterotropik
postoperatif. Tortolani et al. melaporkan bahwa tingkat ossifikasi heterotropik pada 276
pasien Charite hanya sekitar 4.3%, dan bahwa ada atau tidaknya ossifikasi heterotropik,
range of motion postoperatif semua kasus tetap akan lebih baik dibanding range of motion
preoperatif.

Kemungkinan masalah lain pada TDA adalah potensi kegagalan prosthesis sehingga
menyebabkan komplikasi berat dan membuat prosedur revisi sangat kompleks. Laporan
alasan penyebab kegagalan dalam literatur termasuk adanya spondylosis, kerusakan implan,
implan longgar, malposisi, displacement, kerusakan dini, dan infeksi. Hampir sama seperti
yang didapatkan pada total joint arthroplasty, kegagalan TDA karena kerusakan berpotensi
membahayakan, namun tingkat kejadian kerusakan dan sifat debris polyethylene disekitar
vertebra tidak diketahui. Operasi revisi memiliki potensi menjadi sangat kompleks karena
berhubungan dengan paparan anterior berulang, osteolisis, kerusakan prosthesis, dan
kehilangan jaringan tulang. Dalam sebuah penelitian feasibilitas revisi alat Charite, McAfee
et al. melaporkan bahwa TDA tidak dapat menghindari dilakukannya prosedur tambahan
pada tingkat dasar operasi. Dari 589 pasien TDA, 52 (9%) memerlukan revisi jika
dibandingkan dengan 10 dari 99 (10%) pasien ALIF. Pada pendekatan retroperitoneal anterior
berulang, 22 dari 24 alat TDA berhasil dilepaskan. Tujuh dari 24 (29%) discus yang
dilepaskan diganti dengan alat Charite lainnya.

Masalah lain mengenai TDA adalah biaya alat dan prosedurnya. Levin et al.
mempublikasikan sebuiah analisis biaya TDA 1 tingkat dan 2 tingkat dengan menggunakan
ProDisc-L dan fusi sirkumferensial. Untuk fusi 1 tingkat, biaya implan rata-rata hampir
mencapai $13990 untuk fusi dan $13800 untuk TDA. Waktu operasi TDA hampir 1.5 kali
lipat dibanding waktu rara-rata fusi (185 menit berbanding 344 menit). Total biaya rata-rata
untuk fusi tunggal adalah $35592 untuk TDA dan $46280 untuk fusi. Untuk prosedur 2
tingkat, biaya implan lebih murah untuk fusi ($18400) daripada TDA ($27600), dan lama
operasi adalah 242 menit berbanding 387 menit). Dalam sebuah review sistematik yang lebih
kecil, Patel et al. membandingkan TDA dengan fusi dan menemukan bahwa biaya implan
untuk TDA, ALIF, dan TLIF hampir sama jika rhBMP-2 dieksklusi dari penelitian.

Keberhasilan TDA dalam berbagai penelitian dengan follow-up hingga 10 tahun


didapatkan setidaknya hampir sama dengan fusi. Terdapat kekhawatiran mengenai
komplikasi spesifik TDA, seperti pembentukan tulang heterotropik, fusi spontan,
spondylosis, kegagalan berat, displacement, kerusakan implan, dan potensi revisi kompleks.
Penelitian awal telah menunjukkan bahwa revisi dapat dilakukan untuk jangka waktu pendek,
namun efek jangka panjang kerusakan polyethylene dan osteolysis masih tidak diketahui.
Dari sudut pandang biaya, TDA nampaknya lebih dipilih dibanding teknik fusi untuk
penyakit 1 tingkat walaupun tanpa penggunaan BMP; namun, TDA 2 tingkat lebih mahal
dibanding fusi 2 tingkat. TDA merupakan pilihan terapi operatif IDD dan DDD lainnya,
namun hasil jangka panjangnya belum dapat ditentukan.

Penggantian Nuclear
Konsep lain untuk menangani penyakit IVD mencakup penggantian nucleus pulposus
sambil tetap mempertahankan annulus intak. Tujuannya adalah untuk reinflasi nukleus.
Konsep ini memungkinkan desain prosthesis yang lebih kecil yang dapat diimplantasikan
melalui pendekatan minimal invasif. Kegagalan implan secara teori lebih ringan dibanding
kegagalan akibat penggantian discus total.

Prosedur penggantian nukleus pertama dilakukan oleh Fernstrom pada akhir tahun
1950an. Teknik ini mencakup annulotomi, reseksi nukleus pulposus, pemasangan steel ball
bearing (disebut sebagai Fernstrom ball), dan preservasi annulus. Fernstrom mengklaim
hasilnya sama dengan fusi, namun penggunaan teknik ini dihubungkan dengan tingkat
kerusakan implan yang tinggi.

Saat ini sedang dikembangkan dan diteliti berbagai desain penggantian nuklear
modern, yang umumnya masuk kedalam 2 tipe alat. Tipe pertama adalah desain mekanikal
dan mencakup alat seperti Fernstrom ball, serta desain terbaru yang terdiri dari PEEK dan
karbon pyrolytic. Tipe kedua adalah desain elastometrik yang biasanya terbuat baik dari
bahan jadi atau yang dapat disuntikkan seperti polyurethane, silikon, dan berbagai polimer
lainnya.

Prosthetic Disc Nucleus (PDN) (Raymedica, Bloomfield, MN) merupakan alat


pengganti nuklear yang paling banyak diteliti. Klara dan Ray mempublikasikan sebuah serial
penelitian terhadap 423 pasien yang diterapi dengan PDN sejak tahun 1996. Mereka
melaporkan tingkat harapan hidup sebesar 90% dan tingkat eksplantasi alat sebesar 10%.
Awalnya penelitian tersebut mengalami masalah tingkat migrasi alat yang tinggi, namun
desain alat terbaru telah memperbaiki hal tersebut. Shim et al. melaporkan hasil baik pada
76% dari 46 pasien yang difollow-up selama lebih dari 6 bulan; 4 pasien memerlukan operasi
revisi karena migrasi implan. Ahrens et al. mempublikasikan sebuah penelitian luaran klinis
prospektif 2 tahun terhadap alat DASCOR (Disc Dynamics, Eden Prairie, MN) yang
melibatkan 85 pasien. Peneliti tersebut melaporkan perbaikan hasil pengukuran skor VAS dan
ODI yang signifikan. Tingkat eksplantasi sebesar 8%, paling sering terjadi karena kembalinya
nyeri punggung kronik. Data luaran klinis untuk teknologi penggantian nukleus pulposus
adalah data jangka pendek, dan teknik tersebut masih perlu diteliti lebih lanjut.

Ringkasan
Penyakit discus lumbal merupakan masalah umum yang mengenai banyak orang pada
berbagai usia dalam bentuk IDD dan DDD. Anamnesis dan pemeriksaan fisis mendetail serta
modalitas imaging merupakan komponen penting untuk membuat diagnosis yang akurat.
Pedoman praktik telah menunjukkan bahwa terapi lini pertama bagi pasien yang mengalami
nyeri punggung bawah discogenik dengan atau tanpa gejala radikular adalah terapi
konservatif. Saat ini mulai banyak digunakan terapi multidisiplin yang mencakup terapi
kognitif dan perilaku. Terapi interdiscal bersifat kontroversial, dan banyak pasien yang
menjalani prosedur ini pada akhirnya memerlukan arthrodesis. Semua bentuk operasi fusi
merupakan pilihan bagi pasien yang tidak membaik dengan terapi non-operatif yang tepat.
Jumlah laporan penelitian penggantian discus lumbal total hampir sama dengan arthordesis
untuk penanganan populasi pasien tersebut. Pengembangan teknik motion-reserving /
minimal pergerakan dan juga teknik biologis baru kemungkinan akan mengubah pendekatan
terapi.

KELEBIHAN
1. Terapi interdisiplin yang berfokus pada modifikasi kognitif dan perilaku, mekanisme
menghindari rasa takut, dan terapi fisik intensif hampir sama efektifnya dengan terapi
operatif untuk penanganan nyeri punggung discogenik.
2. Untuk nyeri punggung bawah akut, saran untuk tetap aktif lebih efektif dibanding bed
rest. Rekomendasi yang diterima saat ini adalah bed rest yang tidak lebih dari 2 hari.
3. Injeksi steroid epidural cukup efektif untuk pengendalian gejala jangka pendek, namun
efektifitasnya pada nyeri punggung bawah nonradikular masih tidak diketahui.
4. Fungsi operatif untuk nyeri punggung bawah discogenik atau DDD merupakan pilihan
yang baik bagi pasien yang gagal dengan terapi fisik intensif interdisiplin. Tidak ada
konsensus mengenai prosedur fusi mana yang akan memberikan hasil terbaik, pilihannya
tergantung pada keinginan dan pengalaman dokter.
5. BMP (BMP-2 dan BMP-7 / OP-1) efektif untuk meningkatkan tingkat keberhasilan
arthordesis spinal, namun tidak ramah biaya (mahal) untuk digunakan secara rutin dan
harus digunakan secara hati-hati.

KEKURANGAN
1. Penggunaan MRI harus hati-hati karena tingginya abnormalitas spinal asimptomatik dan
hanya boleh digunakan sebagai tambahan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang cukup.
2. Discografi tidak direkomendasikan sebagai alat rutin untuk mengevaluasi pasien dengan
nyeri punggung bawah dan dihubungkan dengan peningkatan risiko degenerasi
segmental.

Anda mungkin juga menyukai