Laporan Kasus
November 2014
GRAVES DISEASE
Oleh:
Aulia Fadhilah Tasruddin
K1A2 10 068
Pembimbing
BAB I
PENDAHULUAN
1 Laporan Kasus
a. Definisi
Penyakit Graves, adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan
hipertyroidisme (produksi berlebihan autoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada
kelenjar tyroid) yang ditemukan dalam sirkulasi darah dan kelainannya dapat mengenai
mata dan kulit.1 Penyakit Graves merupakan bentuk tirotoksikosis yang tersering
dijumpai dan dapat terjadi pada segala usia, lebih sering terjadi pada wanita dibanding
pria. Sindroma ini terdiri dari satu atau lebih dari gambaran tirotoksikosis, goiter,
ophtalmopathy (exopthalmus), dermopathy (pretibial myxedema).2
Penyakit Graves berasal dari nama Robert J. Graves, seorang dokter yang
pertama kali menggambarkannya di Irlandia. Dia yang pertama mengidentifikasi gejalagejala goiter, palpitasi dan exopthalmus pada tahun 1835. Penyakit ini juga disebut
sebagai penyakit Basedow yang dinamai oleh Adolph Jerman Karl van Basedow, pada
tahun 1840. Dia tidak tahu bahwa Graves telah menggambarkan penyakit yang sama
beberapa tahun sebelumnya. Istilah penyakit Basedow ini lebih sering digunakan di benua
Eropa, jika di Amerika, ini disebut penyakit Graves.1
Saat ini diidentifikasi adanya antibodi IgG sebagai thryoid stimulating antibodies
pada penderita Graves hipertyroidisme yang berikatan dan mengaktifkan reseptor
tirotropin pada sel tyroid yang menginduksi sintesa dan pelepasan hormon tyroid.
Beberapa penulis mengatakan bahwa penyakit ini disebabkan oleh multifaktor antara
genetik, endogen dan faktor lingkungan.2
b. Epidemiologi
Penyakit Graves adalah penyebab paling umum dari hipertyroid (60-90% dari
semua kasus), Kurang lebih 15% penderita mempunyai predisposisi genetik, dengan
kurang lebih 50% dari penderita mempunyai autoantibodi tyroid dalam sirkulasi darah.
Perbandingan wanita dan laki-laki yang didapat di RSUP Palembang adalah 3,1 : 1 di
RSCM Jakarta adalah 6 : 1, di RS. Dr. Soetomo 8 : 1 dan di RSHS Bandung 10 :1,
dengan usia bervariasi antara 20-40 tahun. Jumlah penderita penyakit ini di seluruh dunia
pada tahun 1999 diperkirakan 200 juta, 12 juta di antaranya terdapat di Indonesia. Angka
kejadian hipertyroid yang didapat dari beberapa klinik di Indonesia berkisar antara
44,44% 48,93% dari seluruh penderita dengan penyakit kelenjar gondok. Di AS
diperkirakan 0,4% populasi menderita GD, biasanya sering pada usia di bawah 40
tahun.1,3
2 Laporan Kasus
3 Laporan Kasus
8. Pada sindroma defisiensi imun (HIV), penggunaan terapi antivirus dosis tinggi highly
active antiretroviral theraphy (HAART) berhubungan dengan penyakit ini dengan
meningkatnya jumlah dan fungsi CD4 sel T.
9. Multipel sklerosis yang mendapat terapi Campath-1H monoclonal antibodi secara
langsung, mempengaruhi sel T yang sering disertai kejadian hipertyroid.
10. Terapi dengan interferon
d. Patogenesis
Hipertyroid adalah suatu keadaan klinik yang ditimbulkan oleh sekresi berlebihan
dari hormon tyroid yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Didapatkan pula
peningkatan produksi triiodotironin (T3) sebagai hasil meningkatnya konversi tiroksin
(T4) di jaringan perifer seperti yang diperlihatkan pada gambar 1. 6
4 Laporan Kasus
meningkat (multiplikasi) dan akan merangsang sel B untuk memproduksi TSH receptor
antibodies. TSH receptor antibodies akan berikatan dengan TSH receptor pada kelenjar
tyroid, meningkatkan cyclic AMP dependent dan merangsang epithel folikular kelenjar
tyroid untuk memproduksi tiroksin dan triiodotironin (T4 dan T3) serta merangsang
terjadinya hipertrophi dan hiperplasi kelenjar tyroid. Berikatannya Thyroid Stimulating
Antibodi dengan reseptor TSH akan merangsang proses inflamasi dengan pengeluaran
faktor-faktor inflamasi (sitokin) interleukin-1, tumor necrosis factor a (TNF-a) dan
interferon- yang akan merangsang ekspresi molekul adhesi CD54 dan molekul regulator
CD40 dan HLA class II sehingga sel akan mengalami proses inflamasi. Mekanisme
ikatan dan aktifasi antara thyroid stimulating antibodies dengan receptor tirotropin (TSH
receptor) tidak diketahui dengan pasti. Suatu studi mengatakan thyroid stimulating
antibodies akan bergabung dengan epitope yang sesuai pada domain ekstraseluler
reseptor tirotropin.7
Dalam serum ditemukan antibodi imunoglobulin (igG). Antibodi ini agaknya
bereaksi dengan reseptor TSH atau membrane plasma tyroid. Sebagai akibat interaksi ini
antibodi tersebut dapat merangsang fungsi tyroid tanpa bergantung pada TSH hipofisis,
yang dapat mengakibatkan hipertyroidisme. Imunoglubulin yang merangsang tyroid ini
(TSI) mungkin disebabkan suatu kelainan imunitas yang bersifat herediter, yang
memungkinkan kelompokan limfosit tertentu dapat bertahan, berkembang biak dan
menyekresi immunoglobulin stimulator.8
Penyakit Graves ditandai dengan adanya baik sel B maupun sel T limfosit yang
mudah tersensitisasi oleh paling sedikit 4 autoantigen tyroid yaitu reseptor TSH,
tiroglobulin, tyroid peroksidase dan sodium-iodide symporter. Reseptor TSH merupakan
autoantigen primer pada penyakit Graves dan yang lain merupakan autoantigen sekunder.
Pada penyakit Graves, limfosit T menjadi tersensitisasi oleh antigen dan menstimulasi
limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. 7
Sel-sel B limfosit yang terkumpul dalam kelenjar tyroid penderita Graves
menurunkan respons proliferatif terhadap sel B mitogen dan sekresi imunoglobulin basal
meningkat dibandingkan dengan sel B di perifer, ini menunjukkan status yang aktif. Sel B
tyroid ini secara invitro juga mensekresi autoantibodi tyroid secara spontan untuk
melawan preaktivasi. Kelenjar tyroid merupakan tempat primer produksi autoantibodi
tyroid pada penderita ini.7
Pada penyakit Graves, kelenjar tyroid tidak lagi dibawah kontrol TSH
hipothalamus tapi secara terus-menerus distimulasi oleh antibodi TSH-like activity yang
5 Laporan Kasus
kebanyakan ditemukan dalam subklas IgG1. Antibodi yang terikat pada reseptor TSH
dibagi menjadi 2, antibodi yang mengawali proses transduksi sinyal intraseluler disebut
sebagai TSH receptor-stimulating antibodies, sedangkan yang tidak disebut sebagai TSH
receptor-blocking antibodies. TSH receptor-stimulating antibodies hanya terdeteksi pada
penderita Graves.7
Dalam studi terhadap pasien tirotoksik, Sensenbach dkk. menemukan aliran darah
otak yang akan meningkat, resistensi pembuluh darah otak menurun, perbedaan oksigen
arteri menurun, dan konsumsi oksigen tidak berubah. Mereka menemukan bahwa selama
pengobatan, ukuran otak terbukti secara signifikan turun, dan ukuran ventrikel
meningkat. Penyebab dari perubahan yang luar biasa tidak diketahui, tetapi mungkin
melibatkan regulasi osmotik.9 Sebuah studi oleh Singh et al. menunjukkan untuk pertama
kalinya bahwa status diferensial thyroidal menginduksi apoptosis pada korteks otak
dewasa. Mereka mencatat bahwa otak kecil dewasa tampaknya kurang responsif terhadap
perubahan status thyroidal.10
Hipertyroidisme menyebabkan penurunan dari apolipoprotein (A), HDL, dan
rasio dari kolesterol total / HDL. Proses proses dan jalur menengahi metabolisme
perantara karbohidrat, lipid, dan protein semua dipengaruhi oleh hormon tyroid pada
hampir semua jaringan. Protein pembentukan dan kehancuran keduanya dipercepat pada
hipertyroidisme. Penyerapan vitamin A meningkat dan konversi karoten menjadi vitamin
A dipercepat (persarafan tubuh yang juga meningkat, dan konsentrasi darah rendah
vitamin A dapat ditemukan). Persarafan untuk tiamin dan vitamin B6 dan B12 meningkat.
Kurangnya vitamin B telah terlibat sebagai penyebab kerusakan hati pada tirotoksikosis.
Hyperthryoidism juga dapat meningkatkan kadar kalsium dalam darah sebanyak 25%
(dikenal sebagai hiperkalsemia). Sebuah ekskresi meningkat kalsium dan fosfor dalam air
seni dan tinja dapat menyebabkan hilangnya tulang dari osteoporosis. Hormon paratyroid
(PTH) ditekan pada hipertyroidisme, mungkin sebagai tanggapan terhadap tingkat
kalsium tinggi.2
Patogenesis opthalmopati melibatkan T cytotoxic. Ini terjadi karena
tersensitasinya Ab sitotoksik terhadap antigen TSH-R fibroblast orbita, otot orbita dan
jaringan tyroid. Mekanisme tersensitasinya sampai saat ini para ahli belum mengetahui
secara pasti. Selanjutnya sel T akan menghasilkan sitokin yang dapat menyebabkan
inflamasi pada fibroblast orbita, orbital myositis, diplopia, proptosis seperti pada gambar
2.11
6 Laporan Kasus
e. Gejala Klinis
Pada penderita usia muda pada umumnya didapatkan palpitasi, nervous, mudah
capek, hiperkinesia, diare, keringat berlebihan, tidak tahan terhadap udara panas dan lebih
suka udara dingin. Pada penderita di atas 60 tahun yang menonjol adalah manifestasi
kardiovaskuler dan miopati dengan keluhan utama adalah palpitasi, sesak waktu
melakukan aktivitas, tremor, nervous, dan penurunan berat badan. Gejala lain didapatkan
juga penurunan berat badan tanpa disertai penurunan nafsu makan, kelenjar tyroid
membesar, didapatkan tanda-tanda mata tirotoksikosis (exopthalmus) (gambar 2) dan
umumnya terjadi takikardi ringan. Kelemahan otot dan kehilangan massa otot terutama
pada kasus berat yang ditandai penderita biasanya tidak mampu berdiri dari kursi tanpa
bantuan. Dermopati merupakan penebalan pada kulit terutama pada tibia bagian bawah
sebagai akibat dari penumpukan glikoaminoglikan (non pitting edema). Keadaan ini
sangat jarang, hanya terjadi pada 2-3 % penderita. 12
7 Laporan Kasus
Pernapasan - Dispnea
8 Laporan Kasus
f.
Diagnosis
a. Anamnesis + Pemeriksaan Fisis
Dokter kadang-kadang dapat mendiagnosa penyakit Graves hanya
berdasarkan pemeriksaan fisik dan riwayat medis.12 Hipertyroidisme penyakit Graves
menyebabkan berbagai gejala. Diagnosis Graves dapat ditegakkan apabila didapatkan
hipertyroid yang disertai exopthalmus.13 Tanda lainnya yang merupakan diagnosis
penyakit Graves adalah pretibial myxedema, gangguan kulit yang langka dengan
tingkat terjadinya 1-4%, yang menyebabkan kental, kulit kemerahan pada kaki bagian
bawah. Jenis gondok (pembesaran kelenjar tyroid) yaitu dari jenis difus (yaitu,
menyebar ke seluruh kelenjar). Fenomena ini juga terjadi dengan penyebab lain dari
hipertyroidisme, meskipun penyakit Graves adalah penyebab paling umum dari
gondok menyebar. Sebuah gondok besar akan terlihat oleh mata telanjang, tapi
gondok yang lebih kecil mungkin hanya diketahui dengan pemeriksaan fisik. Pada
kesempatan itu, gondok tidak terdeteksi secara klinis tetapi dapat dilihat hanya
dengan CT atau pemeriksaan USG tyroid.2
b. Pemeriksaan Laboratorium
9 Laporan Kasus
10 Laporan Kasus
11 Laporan Kasus
Pemeriksaan Radiologi 14
a. Foto Polos Leher Mendeteksi adanya kalsifikasi, adanya penekanan pada
trakea, dan mendeteksi adanya destruksi tulang akibat penekanan kelenjar yang
membesar.
b. Radio Active Iodine (RAI) scanning dan memperkirakan kadar uptake iodium
berfungsi untuk menentukan diagnosis banding penyebab hipertyroid.
c. USG Murah dan banyak digunakan sebagai pemeriksaan radiologi pertama
pada pasien hipertyroid dan untuk mendukung hasil pemeriksaan laboratorium
d. CT Scan Evaluasi pembesaran difus maupun noduler, membedakan massa dari
tyroid maupun organ di sekitar tyroid, evaluasi laring, trakea (apakah ada
penyempitan, deviasi dan invasi).
e. MRI Evaluasi Tumor tyroid (menentukan diagnosis banding kasus
f.
hipertyroid)
Radiografi nuklir dapat digunakan untuk menunjang diagnosis juga sebagai
terapi.
g.
Penatalaksanaan 1,3
Pada dasarnya pengobatan penderita hipertyroidi meliputi: 2
1. Pengobatan Umum
Istirahat
Hal ini diperlukan agar hipermetabolisme pada penderita tidak makin meningkat.
Penderita dianjurkan tidak melakukan pekerjaan yang melelahkan/mengganggu
pikiran balk di rmah atau di tempat bekerja. Dalam keadaan berat dianjurkan bed
rest total di Rumah Sakit.
Diet
Diet harus tinggi kalori, protein, multivitamin serta mineral. Hal ini antara lain
karena : terjadinya peningkatan metabolisme, keseimbangan nitrogen yang
negatif dan keseimbangan kalsium yang negatif.
2. Pengobatan Khusus
Obat antityroid
12 Laporan Kasus
MMI mempunyai waktu paruh dan akumulasi obat yang lebih lama
dibanding PTU di clalam kelenjar tyroid. Waktu paruh MMI 6 jam
dibanding PTU.
MMI tidak terikat albumin serum sedangkan PTU hampir 80% terikat
pada albumin serum, sehingga MMI lebih bebas menembus barier
plasenta dan air susu sehingga untuk ibu hamil dan menyusui PTU lebih
dianjurkan.
Jangka waktu pemberian tergantung masing-masing penderita (6 - 24 bulan) dan
dikatakan sepertiga sampai setengahnya (50 - 70%) akan mengalami perbaikan
yang bertahan cukup lama. Apabila dalam waktu 3 bulan tidak atau hanya sedikit
memberikan perbaikan, maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan yang dapat
menggagalkan pengobatan (tidak teratur minum obat, struma yang besar, pernah
mendapat pengobatan yodium sebelumnya atau dosis kurang).
13 Laporan Kasus
Efek samping ringan berupa kelainan kulit misalnya gatal-gatal, skin rash dapat
ditanggulangi dengan pemberian anti histamin tanpa perlu penghentian
pengobatan. Dosis yang sangat tinggi dapat menyebabkan hilangnya indera
pengecap, cholestatic jaundice dan kadang-kadang agranulositosis (0,2 - 0,7%),
kemungkinan ini lebih besar pada penderita umur di atas 40 tahun yang
menggunakan dosis besar. Efek samping lain yang jarang terjadi berupa
arthralgia, demam rhinitis, conjunctivitis, alopecia, sakit kepala, edema,
limfadenopati, hipoprotombinemia, trombositopenia, gangguan gastrointestinal.
Yodium
Pemberian yodium akan menghambat sintesa hormon secara akut tetapi dalam
masa 3 minggu efeknya akan menghilang karena adanya escape mechanism dari
kelenjar yang bersangkutan, sehingga meski sekresi terhambat sintesa tetap ada.
Akibatnya terjadi penimbunan hormon dan pada saat yodium dihentikan timbul
sekresi berlebihan dan gejala hipertyroidi menghebat. Pengobatan dengan yodium
(MJ) digunakan untuk memperoleh efek yang cepat seperti pada krisis tyroid atau
untuk persiapan operasi. Sebagai persiapan operasi, biasanya digunakan dalam
bentuk kombinasi. Dosis yang diberikan biasanya 15 mg per hari dengan dosis
terbagi yang diberikan 2 minggu sebelum dilakukan pembedahan. Marigold
dalam penelitiannya menggunakan cairan Lugol dengan dosis 1/2 ml (10 tetes) 3
kali perhari yang diberikan 10 hari sebelum dan sesudah operasi.
Penyekat Beta (Beta Blocker)
14 Laporan Kasus
Pengurangan nervositas
Pengurangan produksi keringat
Pengurangan tremor
Tindakan pembedahan
Indikasi utama untuk melakukan tindakan pembedahan adalah mereka yang
berusia muda dan gagal atau alergi terhadap obat-obat antityroid. Tindakan
pembedahan berupa tyroidektomi subtotal juga dianjurkan pada penderita dengan
keadaan yang tidak mungkin diberi pengobatan dengan I131 (wanita hamil atau
yang merencanakan kehamilan dalam waktu dekat). Indikasi lain adalah mereka
yang sulit dievaluasi pengobatannya, penderita yang keteraturannya minum obat
tidak terjamin atau mereka dengan struma yang sangat besar dan mereka yang
ingin cepat eutyroid atau bila strumanya diduga mengalami keganasan, dan
alasan kosmetik. Untuk persiapan pembedahan dapat diberikan kombinasi antara
thionamid, yodium atau propanolol guna mencapai keadaan eutyroid. Thionamid
biasanya diberikan 6 - 8 minggu sebelum operasi, kemudian dilanjutkan dengan
pemberian larutan Lugol selama 10 - 14 hari sebelum operasi. Propranolol dapat
diberikan beberapa minggu sebelum operasi, kombinasi obat ini dengan Yodium
dapat diberikan 10 hari sebelum operasi. Tujuan pembedahan yaitu untuk
mencapai keadaan eutyroid yang permanen. Dengan penanganan yang baik, maka
angka kematian dapat diturunkan sampai 0.
15 Laporan Kasus
16 Laporan Kasus
Eksoftalmus
Krisis Tyroid
17 Laporan Kasus
Pasien masuk dengan keluhan demam yang dirasakan sejak 2 hari SMRS. Demam
dirasakan terus menerus. Pasien juga mengeluh mual dan muntah serta nyeri pada ulu
hati. Pasien sering merasa jantungnya berdebar-debar yang diraskan sejak 1,5 tahun yang
lalu. Pasien juga mengeluh tangannya sering bergetar tanpa sebab serta merasa tubuhnya
sering berkeringat yang dirasakan terus-menerus bahkan saat pasien berada ditempat yang
tidak panas, sehingga pasien lebih menyukai untuk berada ditempat yang bersuhu dingin.
Pasien juga merasa dirinya sulit mengontrol emosi dan menjadi lebih pemarah
belakangan ini. Pasien juga mengeluhkan badan yang terasa lemas serta berat badan yang
juga menurun kurang lebih 5 kg dalam waktu 1,5 tahun. Pasien juga merasakan sering
tidak bisa tidur, BAB encer serta menstruasi yang tidak teratur yang dirasakan sejak 2
tahun lalu. Sejak 1 tahun yang lalu pasien merasakan adanya benjolan didaerah leher
yang tidak dirasakan membesar oleh pasien, serta menyangkal adanya nyeri pada
benjolan tersebut. Pasien juga merasa kedua matanya terasa lebih menonjol keluar sejak 4
bulan yang lalu, namun tidak ada gangguan penglihatan. Pasien menyangkal adanya
perubahan suara, serta kesulitan menelan. Pasien menyangkal adanya nyeri dada yang
menjalar, bengkak pada kedua kaki serta masalah yang sedang mengganggu pikiran
pasien belakangan ini. Belakangan ini pasien merasa sesak napas jika beraktivitas.
Riwayat penyakit terdahulu tdak ada. Pasien menyangkal menderita penyakit
diabetes, hipertensi, Asma, dan alergi terhadap obat.
Tidak terdapat riwayat keluarga dengan keluhan yang sama.
Riwayat kebiasaan : pasien menyangkal kebiasaan merokok dan minum minuman
beralkohol, dam mengaku mengkonsumsi garam beryodium.
Keadaan umum pasien adalah sakit sedang. Keadaan gizi kurang dengan tinggi
badan 155 cm, berat badan 43 kg, dan Indeks Massa Tubuh 17,9 kg/m2. Kesadaran pasien
composmentis.
Tanda vital pasien yaitu tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 120 kali permenit,
pernapasan 28 kali permenit dengan tipe torakoabdominal, dan suhu 40,3 0C axilar
Hasil pemeriksaan fisik yang di dapatkan adalah pada bagian kepala Nampak
ekspresi terlihat lelah dan pucat, muka bentuk oval serta simetris, tidak ada deformitas,
dan rambut berwarna hitam serta mudah tercabut. Pada pemeriksaan mata dijumpai
eksoptalmus. Namun terlihat kelopak mata cekung di sekitar mata dan konjungtiva tidak
anemis. Tidak adanya ikterus pada sclera. adanya reflex cahaya pada kornea. Pemeriksaan
pupil didapatkan isokor dengan diameter 3 mm / 3 mm. Pada pemeriksaan hidung dan
telinga dalam batas normal. Pada pemeriksaan mulut terlihat bibir pucat dan kering dan
18 Laporan Kasus
gigi geligi intak. Pada pemeriksaan leher didapatkan benjolan yang ikut bergerak pada
saat menelan serta terdapat bruit. Pada pemeriksaan thoraks didapatkan ictus cordis
terlihat dan teraba dengan kesan palpitasi, punggung dalam batas normal. Pada
pemeriksaan abdomen di dapatkan nyeri tekan pada regio epigastrium. Pada pemeriksaan
ekstremitas tidak di dapatkan akral dingin pada ekstermitas superior dan ekstermitas
inferior, tidak ada edema.
Pasien sebelumnya telah dirawat di Muna dan didapatkan hasil periksaan
laboratorium di jumpai gangguan pada beberapa segmen yaitu Leukosit (2,6 x 103 /mm3) ,
MCV (66,7 fl), MCH (19,9 pg), Trombodit (150 x 103/mm3). Hasil tes widal didapatkan
S.Typhi O=1/80, S.Typhi H=1/160, S. Para Thypi AH dan BH (-).
Hasil pemeriksaan darah rutin pada tanggal 24 september 2014 di jumpai gangguan
beberepa segmen yaitu hemoglobin (11,6 g/dL),hematokrik (35,2 %) , trombosit (12 x 103
/uL), MCV (62,3 pg), MCH (20,5 d/dL) dan neutrofil (1,37 x 103 uL ; 27,6 %), Limfosit
(2,78 x 103 uL ; 56,0 %), Monosit (0,47 x 103 uL ; 9,5 %), basofil (0,33 x 103 uL ; 6,7 %).
Dari hasil pemeriksaan darah rutin di peroleh hasil bisitopenia.
Pada pemeriksaan kimia darah tanggal 24 september 2014 dijumpai nilai GDS 94
mg/dl, SGOT/ AST 136 U/L dan SGPT/ ALT 23 U/L dengan kesan SGOT terganggu. Test
Widal (-)
Hasil pemeriksaan hormone pada tanggal 25 September 2014 didapatkan nilai
FT4 : 5,23 ng/dL, TSH 0,052 IU/mL.
Dari anamnesis, status present, tanda vital, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang di simpulkan pasien terdiagnostik Graves Diasease.
Terapi yang di berikan pada pasien ini adalah IVFD RL 28 tpm, inc. ceftriaxon 1
gr/12jam/iv, Cotrimoksazole 2x160/800mg, PTU 3x200 mg, propanolol 10 mg 3x1,
diazepam 2 mg 0-0-1, New diatabs 3x1, Omeprazole 20 2x1, sistenol 3x1 (kalau demam).
Tanggal
22/09/2014
19 Laporan Kasus
FOLLOW UP
Pemeriksaan
Terapi
IVFD RL : D5 = 1:1 28
tpm
Palpitasi (+)
Levofloxacin 1x500 mg
Mual
PTU 3x200 mg
Muntah
Propanolol 3x10 mg
Lidah kotor
Diazepam 2 mg 0-0-1
Exophtalmus
1A/12
TD : 110/70 , N
x/m, P :23x/ m
: 100
IVFD RL 32 tpm
Adona (TGC)/drips
S : 38,9C
Ceftriaxone 1 gr/12 j/iv
Febris
Cotrimoxazole 480 2x2
BAB encer, hitam
PTU 3x200 mg
Nyeri
23/09/2014
Propanolon 3x10 mg
Goiter difus, ikut gerak
menelan
Exophtalmus
Muntah
24/09/2014
TD : 120/70, N : 112/m,
P :23x/ m
IVFD RL 32 tpm
Ceftriaxone 1 gr/12 j/iv
S : 38C
20 Laporan Kasus
Febris
PTU 3x200 mg
Mual muntah
Propanolon 3x10 mg
Diazepam 2mg 0-0-1/2
New diatabs 2x1
Ondansentron 1A/12 j/iv
Pantera 1 vial/12 j/iv
Domperidone 2x1
Sistenol 3x1
TD : 130/70, N
115x/m, P :23 x/ m
IVFD RL 32 tpm
Adona (TGC)/drips
S : 39,3 C
Ceftriaxone 1 gr/12 j/iv
Febris
Cotrimoxazole 480 2x2
Nyeri epigastrium
PTU 3x200 mg
BAB encer , hitam
Propanolon 3x10 mg
25/09/2014
Diazepam 2mg 0-0-1/2
New diatabs 3x1
Ondansentron 1A/12 j/iv
Pantera 1 vial/12 j/iv
Domperidone 2x1
Sistenol 3x1
21 Laporan Kasus
TD : 110/80, N : 98x/m,
P :19x/ m
IVFD RL 28 tpm
Ceftriaxone 1 gr/12j/iv
S : 36,5 C
Cotrimoxazole 480 2x2
Febris (-)
PTU 3x200
BAB sudah biasa
Propanolol 3x10 mg
26/09/2014
Diazepam 2 mg 0-0-1
New Diatabs 3x1
Omeprazole 2x20
Sistenol
demam)
27/09/2014
TD : 110/80, N : 98x/m,
P :19x/ m
3x1
(kalau
IVFD RL 28 tpm
Ceftriaxone 1 gr/12j/iv
S : 36,5 C
Cotrimoxazole 480 2x2
Febris (-)
PTU 3x200
BAB sudah biasa
Propanolol 3x10 mg
PLT : 10.000
Diazepam 2 mg 0-0-1
New Diatabs 3x1
Omeprazole 2x20
Sistenol
demam)
3x1
Transfusi TC 3 unit
28/09/2014
22 Laporan Kasus
TD : 110/80, N : 98x/m,
IVFD RL 28 tpm
(kalau
P :19x/ m
Ceftriaxone 1 gr/12j/iv
S : 36,5 C
Febris (-)
PTU 3x200
Propanolol 3x10 mg
Diazepam 2 mg 0-0-1
New Diatabs 3x1
Omeprazole 2x20
Sistenol
demam)
29/09/2014
TD : 110/80, N : 98x/m,
P :19x/ m
3x1
(kalau
IVFD RL 28 tpm
Ceftriaxone 1 gr/12j/iv
S : 36,5 C
PTU 3x200
Febris (-)
Propanolol 3x10 mg
BAB sudah biasa
Diazepam 2 mg 0-0-1
Omeprazole 2x20
Sistenol
demam)
30/09/2014
TD : 110/80, N : 98x/m,
P :19x/ m
3x1
(kalau
IVFD RL 28 tpm
Ceftriaxone 1 gr/12j/iv
S : 36,5 C
PTU 3x200
Keluhan : Propanolol 3x10 mg
PLT : 173.000
BISA PULANG
23 Laporan Kasus
BAB III
PEMBAHASAN
24 Laporan Kasus
25 Laporan Kasus
diberikan obat golongan penyekat beta (Beta blocker) untuk mengurangi rangsang
simpatis yang terjadi, yang diberikan adalah propanolol dengan dosis 3x10 mg.
Pemberian terapi suportif pada pasien seperti pemberian sistenol 3x1 untuk
mengurangi gejala demamnya dan mengurangi efek samping hepatotoksik dengan
bantuan n-acetylcysteine yang terkandung di dalamnya. New Diatabs diberikan untuk
mengatasi keluhan mencret dan omeprazole untuk mengatasi keluhan mual pada pasien,
pemberian ondansentron untuk mengatasi muntah pasien. Pemberian Co-trimoxazole
160/800 mg 2x sehari digunakan untuk mengatasi kemungkinan penyebab infeksi pada
keluhan mencret pasien. Pemberian Ceftriaxone 2x1gr dianggap sebagai antibiotik. Dan
pemberian diazepam pada pasien untuk mengatasi keluhan sulit tidur yang diderita
pasien.
26 Laporan Kasus