Anda di halaman 1dari 26

Kepaniteraan Klinik

Laporan Kasus

Bagian/SMF Penyakit Dalam

November 2014

GRAVES DISEASE

Oleh:
Aulia Fadhilah Tasruddin
K1A2 10 068

Pembimbing

: dr. Andi Cahaya Tahir, Sp.PD

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALUOLEO


RSU BAHTERAMAS PROVINSI SULAWESI TENGGARA
KENDARI
2014

BAB I
PENDAHULUAN

1 Laporan Kasus

Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUB Prov. Sultra, FK UHO

a. Definisi
Penyakit Graves, adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan
hipertyroidisme (produksi berlebihan autoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada
kelenjar tyroid) yang ditemukan dalam sirkulasi darah dan kelainannya dapat mengenai
mata dan kulit.1 Penyakit Graves merupakan bentuk tirotoksikosis yang tersering
dijumpai dan dapat terjadi pada segala usia, lebih sering terjadi pada wanita dibanding
pria. Sindroma ini terdiri dari satu atau lebih dari gambaran tirotoksikosis, goiter,
ophtalmopathy (exopthalmus), dermopathy (pretibial myxedema).2
Penyakit Graves berasal dari nama Robert J. Graves, seorang dokter yang
pertama kali menggambarkannya di Irlandia. Dia yang pertama mengidentifikasi gejalagejala goiter, palpitasi dan exopthalmus pada tahun 1835. Penyakit ini juga disebut
sebagai penyakit Basedow yang dinamai oleh Adolph Jerman Karl van Basedow, pada
tahun 1840. Dia tidak tahu bahwa Graves telah menggambarkan penyakit yang sama
beberapa tahun sebelumnya. Istilah penyakit Basedow ini lebih sering digunakan di benua
Eropa, jika di Amerika, ini disebut penyakit Graves.1
Saat ini diidentifikasi adanya antibodi IgG sebagai thryoid stimulating antibodies
pada penderita Graves hipertyroidisme yang berikatan dan mengaktifkan reseptor
tirotropin pada sel tyroid yang menginduksi sintesa dan pelepasan hormon tyroid.
Beberapa penulis mengatakan bahwa penyakit ini disebabkan oleh multifaktor antara
genetik, endogen dan faktor lingkungan.2
b. Epidemiologi
Penyakit Graves adalah penyebab paling umum dari hipertyroid (60-90% dari
semua kasus), Kurang lebih 15% penderita mempunyai predisposisi genetik, dengan
kurang lebih 50% dari penderita mempunyai autoantibodi tyroid dalam sirkulasi darah.
Perbandingan wanita dan laki-laki yang didapat di RSUP Palembang adalah 3,1 : 1 di
RSCM Jakarta adalah 6 : 1, di RS. Dr. Soetomo 8 : 1 dan di RSHS Bandung 10 :1,
dengan usia bervariasi antara 20-40 tahun. Jumlah penderita penyakit ini di seluruh dunia
pada tahun 1999 diperkirakan 200 juta, 12 juta di antaranya terdapat di Indonesia. Angka
kejadian hipertyroid yang didapat dari beberapa klinik di Indonesia berkisar antara
44,44% 48,93% dari seluruh penderita dengan penyakit kelenjar gondok. Di AS
diperkirakan 0,4% populasi menderita GD, biasanya sering pada usia di bawah 40
tahun.1,3

2 Laporan Kasus

Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUB Prov. Sultra, FK UHO

c. Etiologi dan Faktor Predisposisi


Penyakit Graves merupakan suatu penyakit autoimun yaitu saat tubuh
menghasilkan antibodi yang menyerang komponen spesifik dari jaringan itu sendiri,
maka penyakit ini dapat timbul secara tiba-tiba dan penyebabnya masih belum
diketahui.4,5
Terdapat beberapa faktor predisposisi 5 :
1. Genetik
Riwayat keluarga dikatakan 15 kali lebih besar dibandingkan populasi umum
untuk terkena Graves. Gen HLA yang berada pada rangkaian kromosom ke-6
(6p21.3) ekspresinya mempengaruhi perkembangan penyakit autoimun ini. Molekul
HLA terutama klas II yang berada pada sel T di timus memodulasi respons imun sel T
terhadap reseptor limfosit T (T lymphocyte receptor/TcR) selama terdapat antigen.
Interaksi ini merangsang aktivasi T helper limfosit untuk membentuk antibodi. T
supresor limfosit atau faktor supresi yang tidak spesifik (IL-10 dan TGF-)
mempunyai aktifitas yang rendah pada penyakit autoimun kadang tidak dapat
membedakan mana T helper mana yang disupresi sehingga T helper yang membentuk
antibodi yang melawan sel induk akan eksis dan meningkatkan proses autoimun. 2
2. Wanita lebih sering terkena penyakit ini karena modulasi respons imun oleh estrogen.
Hal ini disebabkan karena epitope ekstraseluler TSHR homolog dengan fragmen pada
reseptor LH dan homolog dengan fragmen pada reseptor FSH.
3. Status gizi dan berat badan lahir rendah sering dikaitkan dengan prevalensi timbulnya
penyakit autoantibodi tyroid.
4. Stress juga dapat sebagai faktor inisiasi untuk timbulnya penyakit lewat jalur
neuroendokrin.
5. Merokok dan hidup di daerah dengan defisiensi iodium.
6. Toxin, infeksi bakteri dan virus. Bakteri Yersinia enterocolitica yang mempunyai
protein antigen pada membran selnya yang sama dengan TSHR pada sel folikuler
kelenjar tyroid diduga dapat mempromosi timbulnya penyakit Graves terutama pada
penderita yang mempunyai faktor genetik. Kesamaan antigen bakteri atau virus
dengan TSHR atau perubahan struktur reseptor terutama TSHR pada folikel kelenjar
tyroid karena mutasi atau biomodifikasi oleh obat, zat kimia atau mediator inflamasi
menjadi penyebab timbulnya autoantibodi terhadap tyroid dan perkembangan
penyakit ini.
7. Periode post partum dapat memicu timbulnya gejala hipertyroid.

3 Laporan Kasus

Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUB Prov. Sultra, FK UHO

8. Pada sindroma defisiensi imun (HIV), penggunaan terapi antivirus dosis tinggi highly
active antiretroviral theraphy (HAART) berhubungan dengan penyakit ini dengan
meningkatnya jumlah dan fungsi CD4 sel T.
9. Multipel sklerosis yang mendapat terapi Campath-1H monoclonal antibodi secara
langsung, mempengaruhi sel T yang sering disertai kejadian hipertyroid.
10. Terapi dengan interferon
d. Patogenesis
Hipertyroid adalah suatu keadaan klinik yang ditimbulkan oleh sekresi berlebihan
dari hormon tyroid yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Didapatkan pula
peningkatan produksi triiodotironin (T3) sebagai hasil meningkatnya konversi tiroksin
(T4) di jaringan perifer seperti yang diperlihatkan pada gambar 1. 6

Gambar 1 Patogenesis Graves 6

Hipertyroidisme pada penyakit Graves disebabkan oleh aktivasi reseptor tyroid


oleh thyroid stimulating hormone receptor antibodies yang dihasilkan oleh kelenjar tyroid
atau diluar kelenjar tyroid (kelenjar limfe dan sumsum tulang) atau disebabkan proses
imunologi yang menyebabkan penurunan dari sel T suppressor sehingga sel T helper akan

4 Laporan Kasus

Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUB Prov. Sultra, FK UHO

meningkat (multiplikasi) dan akan merangsang sel B untuk memproduksi TSH receptor
antibodies. TSH receptor antibodies akan berikatan dengan TSH receptor pada kelenjar
tyroid, meningkatkan cyclic AMP dependent dan merangsang epithel folikular kelenjar
tyroid untuk memproduksi tiroksin dan triiodotironin (T4 dan T3) serta merangsang
terjadinya hipertrophi dan hiperplasi kelenjar tyroid. Berikatannya Thyroid Stimulating
Antibodi dengan reseptor TSH akan merangsang proses inflamasi dengan pengeluaran
faktor-faktor inflamasi (sitokin) interleukin-1, tumor necrosis factor a (TNF-a) dan
interferon- yang akan merangsang ekspresi molekul adhesi CD54 dan molekul regulator
CD40 dan HLA class II sehingga sel akan mengalami proses inflamasi. Mekanisme
ikatan dan aktifasi antara thyroid stimulating antibodies dengan receptor tirotropin (TSH
receptor) tidak diketahui dengan pasti. Suatu studi mengatakan thyroid stimulating
antibodies akan bergabung dengan epitope yang sesuai pada domain ekstraseluler
reseptor tirotropin.7
Dalam serum ditemukan antibodi imunoglobulin (igG). Antibodi ini agaknya
bereaksi dengan reseptor TSH atau membrane plasma tyroid. Sebagai akibat interaksi ini
antibodi tersebut dapat merangsang fungsi tyroid tanpa bergantung pada TSH hipofisis,
yang dapat mengakibatkan hipertyroidisme. Imunoglubulin yang merangsang tyroid ini
(TSI) mungkin disebabkan suatu kelainan imunitas yang bersifat herediter, yang
memungkinkan kelompokan limfosit tertentu dapat bertahan, berkembang biak dan
menyekresi immunoglobulin stimulator.8
Penyakit Graves ditandai dengan adanya baik sel B maupun sel T limfosit yang
mudah tersensitisasi oleh paling sedikit 4 autoantigen tyroid yaitu reseptor TSH,
tiroglobulin, tyroid peroksidase dan sodium-iodide symporter. Reseptor TSH merupakan
autoantigen primer pada penyakit Graves dan yang lain merupakan autoantigen sekunder.
Pada penyakit Graves, limfosit T menjadi tersensitisasi oleh antigen dan menstimulasi
limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. 7
Sel-sel B limfosit yang terkumpul dalam kelenjar tyroid penderita Graves
menurunkan respons proliferatif terhadap sel B mitogen dan sekresi imunoglobulin basal
meningkat dibandingkan dengan sel B di perifer, ini menunjukkan status yang aktif. Sel B
tyroid ini secara invitro juga mensekresi autoantibodi tyroid secara spontan untuk
melawan preaktivasi. Kelenjar tyroid merupakan tempat primer produksi autoantibodi
tyroid pada penderita ini.7
Pada penyakit Graves, kelenjar tyroid tidak lagi dibawah kontrol TSH
hipothalamus tapi secara terus-menerus distimulasi oleh antibodi TSH-like activity yang

5 Laporan Kasus

Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUB Prov. Sultra, FK UHO

kebanyakan ditemukan dalam subklas IgG1. Antibodi yang terikat pada reseptor TSH
dibagi menjadi 2, antibodi yang mengawali proses transduksi sinyal intraseluler disebut
sebagai TSH receptor-stimulating antibodies, sedangkan yang tidak disebut sebagai TSH
receptor-blocking antibodies. TSH receptor-stimulating antibodies hanya terdeteksi pada
penderita Graves.7
Dalam studi terhadap pasien tirotoksik, Sensenbach dkk. menemukan aliran darah
otak yang akan meningkat, resistensi pembuluh darah otak menurun, perbedaan oksigen
arteri menurun, dan konsumsi oksigen tidak berubah. Mereka menemukan bahwa selama
pengobatan, ukuran otak terbukti secara signifikan turun, dan ukuran ventrikel
meningkat. Penyebab dari perubahan yang luar biasa tidak diketahui, tetapi mungkin
melibatkan regulasi osmotik.9 Sebuah studi oleh Singh et al. menunjukkan untuk pertama
kalinya bahwa status diferensial thyroidal menginduksi apoptosis pada korteks otak
dewasa. Mereka mencatat bahwa otak kecil dewasa tampaknya kurang responsif terhadap
perubahan status thyroidal.10
Hipertyroidisme menyebabkan penurunan dari apolipoprotein (A), HDL, dan
rasio dari kolesterol total / HDL. Proses proses dan jalur menengahi metabolisme
perantara karbohidrat, lipid, dan protein semua dipengaruhi oleh hormon tyroid pada
hampir semua jaringan. Protein pembentukan dan kehancuran keduanya dipercepat pada
hipertyroidisme. Penyerapan vitamin A meningkat dan konversi karoten menjadi vitamin
A dipercepat (persarafan tubuh yang juga meningkat, dan konsentrasi darah rendah
vitamin A dapat ditemukan). Persarafan untuk tiamin dan vitamin B6 dan B12 meningkat.
Kurangnya vitamin B telah terlibat sebagai penyebab kerusakan hati pada tirotoksikosis.
Hyperthryoidism juga dapat meningkatkan kadar kalsium dalam darah sebanyak 25%
(dikenal sebagai hiperkalsemia). Sebuah ekskresi meningkat kalsium dan fosfor dalam air
seni dan tinja dapat menyebabkan hilangnya tulang dari osteoporosis. Hormon paratyroid
(PTH) ditekan pada hipertyroidisme, mungkin sebagai tanggapan terhadap tingkat
kalsium tinggi.2
Patogenesis opthalmopati melibatkan T cytotoxic. Ini terjadi karena
tersensitasinya Ab sitotoksik terhadap antigen TSH-R fibroblast orbita, otot orbita dan
jaringan tyroid. Mekanisme tersensitasinya sampai saat ini para ahli belum mengetahui
secara pasti. Selanjutnya sel T akan menghasilkan sitokin yang dapat menyebabkan
inflamasi pada fibroblast orbita, orbital myositis, diplopia, proptosis seperti pada gambar
2.11

6 Laporan Kasus

Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUB Prov. Sultra, FK UHO

Gambar 2. Patogenesis Oftalmopati.11

e. Gejala Klinis
Pada penderita usia muda pada umumnya didapatkan palpitasi, nervous, mudah
capek, hiperkinesia, diare, keringat berlebihan, tidak tahan terhadap udara panas dan lebih
suka udara dingin. Pada penderita di atas 60 tahun yang menonjol adalah manifestasi
kardiovaskuler dan miopati dengan keluhan utama adalah palpitasi, sesak waktu
melakukan aktivitas, tremor, nervous, dan penurunan berat badan. Gejala lain didapatkan
juga penurunan berat badan tanpa disertai penurunan nafsu makan, kelenjar tyroid
membesar, didapatkan tanda-tanda mata tirotoksikosis (exopthalmus) (gambar 2) dan
umumnya terjadi takikardi ringan. Kelemahan otot dan kehilangan massa otot terutama
pada kasus berat yang ditandai penderita biasanya tidak mampu berdiri dari kursi tanpa
bantuan. Dermopati merupakan penebalan pada kulit terutama pada tibia bagian bawah
sebagai akibat dari penumpukan glikoaminoglikan (non pitting edema). Keadaan ini
sangat jarang, hanya terjadi pada 2-3 % penderita. 12

7 Laporan Kasus

Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUB Prov. Sultra, FK UHO

Gambar 3. Presentasi Klinis Graves Disease.4

Secara rinci, Gejala-gejala penyakit Graves dalam berbagai sistem, adalah


sebagai berikut: 13

Umum Kelelahan, kelemahan

Dermatologic - Hangat, lembab, kulit halus, berkeringat; halus rambut;


onycholysis; vitiligo, alopecia; pretibial myxedema

Neuromuskular - Getaran, kelemahan otot proksimal, kelelahan mudah,


kelumpuhan periodik pada orang dari kelompok etnis rentan

Kerangka - Sakit punggung, peningkatan risiko untuk patah tulang

Kardiovaskular - Palpitasi, dyspnea pada aktivitas, nyeri dada.

Pernapasan - Dispnea

Gastrointestinal - motilitas usus meningkat dengan peningkatan frekuensi buang


air besar

Ophthalmologic - Tearing, sensasi berpasir di mata, fotofobia, nyeri mata, mata


menonjol (exopthalmus) , diplopia, kehilangan penglihatan

Ginjal - Poliuria, polidipsia

Hematologi - Mudah memar

Metabolik - Panas intoleransi, penurunan berat badan meskipun nafsu makan


meningkat.

Endokrin / reproduksi - periode menstruasi yang tidak teratur, penurunan volume


menstruasi, ginekomastia, impotensi

Psikiatri - Gelisah, cemas, lekas marah, insomnia

8 Laporan Kasus

Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUB Prov. Sultra, FK UHO

Gambaran klinis dari Laboratorium, adalah : 12


Apabila ada kecurigaan hipertyroid maka yang diperiksa adalah FT4 (free

tiroksin), FT3 dan TSHs.


Pemeriksaan thyroid antibody diantaranya adalah Tg Ab (Thyroglobulin Antibodi)
dan TPO Antibodi (Thyroperoxidase Antibodi) biasanya positif pada penderita
Graves disease dan Hashimotos thyroiditis tetapi untuk TSH-R Ab (stimulating)

adalah khas untuk Graves disease.


I123 uptake atau technetium scan biasanya digunakan untuk mengevaluasi ukuran
kelenjar dan adanya nodul hot atau cold.

f.

Diagnosis
a. Anamnesis + Pemeriksaan Fisis
Dokter kadang-kadang dapat mendiagnosa penyakit Graves hanya
berdasarkan pemeriksaan fisik dan riwayat medis.12 Hipertyroidisme penyakit Graves
menyebabkan berbagai gejala. Diagnosis Graves dapat ditegakkan apabila didapatkan
hipertyroid yang disertai exopthalmus.13 Tanda lainnya yang merupakan diagnosis
penyakit Graves adalah pretibial myxedema, gangguan kulit yang langka dengan
tingkat terjadinya 1-4%, yang menyebabkan kental, kulit kemerahan pada kaki bagian
bawah. Jenis gondok (pembesaran kelenjar tyroid) yaitu dari jenis difus (yaitu,
menyebar ke seluruh kelenjar). Fenomena ini juga terjadi dengan penyebab lain dari
hipertyroidisme, meskipun penyakit Graves adalah penyebab paling umum dari
gondok menyebar. Sebuah gondok besar akan terlihat oleh mata telanjang, tapi
gondok yang lebih kecil mungkin hanya diketahui dengan pemeriksaan fisik. Pada
kesempatan itu, gondok tidak terdeteksi secara klinis tetapi dapat dilihat hanya
dengan CT atau pemeriksaan USG tyroid.2

b. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan minimal yang harus dikerjakan bila ada kecurigaan hipertyroid


adalah FT4 dan TSHs. Apabila didapatkan peningkatan FT4 dan penurunan
TSHs, maka diagnosis hipertyroid dapat ditegakkan. Seperti yang dijelaskan
pada gambar 4. Apabila FT4 dan TSHs keduanya meningkat, maka harus
dicurigai adanya tumor pituitary yang memproduksi TSH.Apabila FT4
normal sedangkan TSHs rendah, maka FT3 harus diperiksa, diagnosis
Graves disease stadium awal dan T3-secreting toxic nodules dapat
ditegakkan apabila FT3 meningkat. Apabila FT3 rendah didapat pada

9 Laporan Kasus

Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUB Prov. Sultra, FK UHO

euthyroid sick syndrome atau pada penderita yang mendapatkan terapi


dopamine atau kortikosteroid.12

Gambar 4. Skema kelainan laboratorium pada keadaan hipertyroidisme.14

Hipertyroid dengan atau tanpa goiter apabila tidak disertai dengan


exopthalmus harus dilakukan radioiodine uptake. Bila didapatkan
peningkatan uptake, maka diagnosis Graves disease dan toxic nodular goiter
dapat ditegakkan. Radioiodine uptake yang rendah didapatkan pada
hipertyroidism yang baik, tyroiditis subakut, tyroiditis Hashimoto fase akut,

pengobatan dengan levotyroxin, yang jarang yaitu struma ovarii. 12


Tjokroprawiro membuat 3 kriteria diagnostic Penyakit Graves yaitu: 12
a) Diagnosis dengan penyakit Graves : struma, gejala umum, gejala
kardiovaskular
b) Diagnosis klinis penyakit Graves : diagnosis dengan Indeks Wayne > 20
atau Indeks New Castle > 40 (gambar 4 dan 5)
c) Diagnosis pasti penyakit Graves: diagnosis klinis ditambah FT4
meningkat dan TSHs menurun.

10 Laporan Kasus

Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUB Prov. Sultra, FK UHO

Gambar 4. Indeks New Castle14

Gambar 5. Indeks Wayne.14

Tirotropin Reseptor Assay (TSIs) berfungsi untuk menegakkan diagnosis Grave


disease.
Tes faal hati untuk monitoring kerusakan hati karena penggunaan obat antityroid
seperti thioamides.
Pemeriksaan Gula darah pada pasien diabetes, penyakit grave dapat memperberat
diabetes, sebagai hasilnya dapat terlihat kadar A1C yang meningkat dalam darah

11 Laporan Kasus

Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUB Prov. Sultra, FK UHO

Kadar antibodi terhadap kolagen XIII menunjukan Grave Oftalmofati yang


sedang aktif.

Pemeriksaan Radiologi 14
a. Foto Polos Leher Mendeteksi adanya kalsifikasi, adanya penekanan pada
trakea, dan mendeteksi adanya destruksi tulang akibat penekanan kelenjar yang
membesar.
b. Radio Active Iodine (RAI) scanning dan memperkirakan kadar uptake iodium
berfungsi untuk menentukan diagnosis banding penyebab hipertyroid.
c. USG Murah dan banyak digunakan sebagai pemeriksaan radiologi pertama
pada pasien hipertyroid dan untuk mendukung hasil pemeriksaan laboratorium
d. CT Scan Evaluasi pembesaran difus maupun noduler, membedakan massa dari
tyroid maupun organ di sekitar tyroid, evaluasi laring, trakea (apakah ada
penyempitan, deviasi dan invasi).
e. MRI Evaluasi Tumor tyroid (menentukan diagnosis banding kasus
f.

hipertyroid)
Radiografi nuklir dapat digunakan untuk menunjang diagnosis juga sebagai
terapi.

g.

Penatalaksanaan 1,3
Pada dasarnya pengobatan penderita hipertyroidi meliputi: 2
1. Pengobatan Umum

Istirahat
Hal ini diperlukan agar hipermetabolisme pada penderita tidak makin meningkat.
Penderita dianjurkan tidak melakukan pekerjaan yang melelahkan/mengganggu
pikiran balk di rmah atau di tempat bekerja. Dalam keadaan berat dianjurkan bed
rest total di Rumah Sakit.

Diet
Diet harus tinggi kalori, protein, multivitamin serta mineral. Hal ini antara lain
karena : terjadinya peningkatan metabolisme, keseimbangan nitrogen yang
negatif dan keseimbangan kalsium yang negatif.

2. Pengobatan Khusus

Obat antityroid

12 Laporan Kasus

Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUB Prov. Sultra, FK UHO

Obat-obat yang termasuk golongan ini adalah thionamide, yodium, lithium,


perchlorat dan thiocyanat. Obat yang sering dipakai dari golongan thionammide
adalah propylthiouracyl (PTU), 1 - methyl 2 mercaptoimidazole (methimazole,
tapazole, MMI), carbimazole. Obat ini bekerja menghambat sintesis hormon
tetapi tidak menghambat sekresinya, yaitu dengan menghambat terbentuknya
monoiodotyrosine (MIT) dan diiodotyrosine (DIT), serta menghambat coupling
diiodotyrosine sehingga menjadi hormon yang aktif. PTU juga menghambat
perubahan T4 menjadi T3 di jaringan tepi, serta harganya lebih murah sehingga
pada saat ini PTU dianggap sebagai obat pilihan.
Obat antityroid diakumulasi dan dimetabolisme di kelenjar gondok sehingga
pengaruh pengobatan lebih tergantung pada konsentrasi obat dalam kelenjar dari
pada di plasma. MMI dan carbimazole sepuluh kali lebih kuat daripada PTU
sehingga dosis yang diperlukan hanya satu persepuluhnya.
Dosis obat antityroid dimulai dengan 300 - 600 mg perhari untuk PTU atau 30 60 mg per hari untuk MMI/carbimazole, terbagi setiap 8 atau 12 jam atau sebagai
dosis tunggal setiap 24 jam. Dalam satu penelitian dilaporkan bahwa pemberian
PTU atau carbimazole dosis tinggi akan memberi remisi yang lebih besar.
Secara farmakologi terdapat perbedaan antara PTU dengan MMI/CBZ, antara
lain adalah :

MMI mempunyai waktu paruh dan akumulasi obat yang lebih lama
dibanding PTU di clalam kelenjar tyroid. Waktu paruh MMI 6 jam

sedangkan PTU + 11/2 jam.


Penelitian lain menunjukkan MMI lebih efektif dan kurang toksik

dibanding PTU.
MMI tidak terikat albumin serum sedangkan PTU hampir 80% terikat
pada albumin serum, sehingga MMI lebih bebas menembus barier
plasenta dan air susu sehingga untuk ibu hamil dan menyusui PTU lebih
dianjurkan.
Jangka waktu pemberian tergantung masing-masing penderita (6 - 24 bulan) dan
dikatakan sepertiga sampai setengahnya (50 - 70%) akan mengalami perbaikan
yang bertahan cukup lama. Apabila dalam waktu 3 bulan tidak atau hanya sedikit
memberikan perbaikan, maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan yang dapat
menggagalkan pengobatan (tidak teratur minum obat, struma yang besar, pernah
mendapat pengobatan yodium sebelumnya atau dosis kurang).

13 Laporan Kasus

Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUB Prov. Sultra, FK UHO

Efek samping ringan berupa kelainan kulit misalnya gatal-gatal, skin rash dapat
ditanggulangi dengan pemberian anti histamin tanpa perlu penghentian
pengobatan. Dosis yang sangat tinggi dapat menyebabkan hilangnya indera
pengecap, cholestatic jaundice dan kadang-kadang agranulositosis (0,2 - 0,7%),
kemungkinan ini lebih besar pada penderita umur di atas 40 tahun yang
menggunakan dosis besar. Efek samping lain yang jarang terjadi berupa
arthralgia, demam rhinitis, conjunctivitis, alopecia, sakit kepala, edema,
limfadenopati, hipoprotombinemia, trombositopenia, gangguan gastrointestinal.
Yodium

Pemberian yodium akan menghambat sintesa hormon secara akut tetapi dalam
masa 3 minggu efeknya akan menghilang karena adanya escape mechanism dari
kelenjar yang bersangkutan, sehingga meski sekresi terhambat sintesa tetap ada.
Akibatnya terjadi penimbunan hormon dan pada saat yodium dihentikan timbul
sekresi berlebihan dan gejala hipertyroidi menghebat. Pengobatan dengan yodium
(MJ) digunakan untuk memperoleh efek yang cepat seperti pada krisis tyroid atau
untuk persiapan operasi. Sebagai persiapan operasi, biasanya digunakan dalam
bentuk kombinasi. Dosis yang diberikan biasanya 15 mg per hari dengan dosis
terbagi yang diberikan 2 minggu sebelum dilakukan pembedahan. Marigold
dalam penelitiannya menggunakan cairan Lugol dengan dosis 1/2 ml (10 tetes) 3
kali perhari yang diberikan 10 hari sebelum dan sesudah operasi.
Penyekat Beta (Beta Blocker)

Terjadinya keluhan dan gejala hipertyroidi diakibatkan oleh adanya


hipersensitivitas pada sistim simpatis. Meningkatnya rangsangan sistem simpatis
ini diduga akibat meningkatnya kepekaan reseptor terhadap katekolamin.
Penggunaan obat-obatan golongan simpatolitik diperkirakan akan menghambat
pengaruh hati. Reserpin, guanetidin dan penyekat beta (propranolol) merupakan
obat yang masih digunakan. Berbeda dengan reserpin/guanetidin, propranolol
lebih efektif terutama dalam kasus-kasus yang berat. Biasanya dalam 24 - 36 jam
setelah pemberian akan tampak penurunan gejala. Khasiat propranolol:

Penurunan denyut jantung permenit


Penurunan cardiac output
Perpanjangan waktu refleks achilles

14 Laporan Kasus

Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUB Prov. Sultra, FK UHO

Pengurangan nervositas
Pengurangan produksi keringat
Pengurangan tremor

Di samping pengaruh pada reseptor beta, propranolol dapat menghambat


konversi T4 ke T3 di perifer. Bila obat tersebut dihentikan, maka dalam waktu 4
- 6 jam hipertyroid dapat kembali lagi. Hal ini penting diperhatikan, karena
penggunaan dosis tunggal propranolol sebagai persiapan operasi dapat
menimbulkan krisis tyroid sewaktu operasi. Penggunaan propranolol antara lain
sebagai: persiapan tindakan pembedahan atau pemberian yodium radioaktif,
mengatasi kasus yang berat dan krisis tyroid.
3.

Ablasi kelenjar gondok


Pelaksanaan ablasi dengan pembedahan atau pemberian I131.

Tindakan pembedahan
Indikasi utama untuk melakukan tindakan pembedahan adalah mereka yang
berusia muda dan gagal atau alergi terhadap obat-obat antityroid. Tindakan
pembedahan berupa tyroidektomi subtotal juga dianjurkan pada penderita dengan
keadaan yang tidak mungkin diberi pengobatan dengan I131 (wanita hamil atau
yang merencanakan kehamilan dalam waktu dekat). Indikasi lain adalah mereka
yang sulit dievaluasi pengobatannya, penderita yang keteraturannya minum obat
tidak terjamin atau mereka dengan struma yang sangat besar dan mereka yang
ingin cepat eutyroid atau bila strumanya diduga mengalami keganasan, dan
alasan kosmetik. Untuk persiapan pembedahan dapat diberikan kombinasi antara
thionamid, yodium atau propanolol guna mencapai keadaan eutyroid. Thionamid
biasanya diberikan 6 - 8 minggu sebelum operasi, kemudian dilanjutkan dengan
pemberian larutan Lugol selama 10 - 14 hari sebelum operasi. Propranolol dapat
diberikan beberapa minggu sebelum operasi, kombinasi obat ini dengan Yodium
dapat diberikan 10 hari sebelum operasi. Tujuan pembedahan yaitu untuk
mencapai keadaan eutyroid yang permanen. Dengan penanganan yang baik, maka
angka kematian dapat diturunkan sampai 0.

Ablasi dengan I131

15 Laporan Kasus

Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUB Prov. Sultra, FK UHO

Sejak ditemukannya I131 terjadi perubahan dalam bidang pengobatan hipertyroid.


Walaupun dijumpai banyak komplikasi yang timbul setelah pengobatan, namun
karena harganya murah dan pemberiannya mudah, cara ini banyak digunakan.
Tujuan pemberian I131 adalah untuk merusak sel-sel kelenjar yang hiperfungsi.
Sayangnya I131 ini temyata menaikan angka kejadian hipofungsi kelenjar gondok
(30 70% dalam jollow up 10 20 tahun) tanpa ada kaitannya dengan
besarnya dosis obat yang diberikan. Di samping itu terdapat pula peningkatan
gejala pada mata sebanyak 1 5% dan menimbulkan kekhawatiran akan
terjadinya perubahan gen dan keganasan akibat pengobatan cara ini, walaupun
belum terbukti.
Penetapan dosis 1131 didasarkan atas derajat hiperfungsi serta besar dan beratnya
kelenjar gondok. Dosis yang dianjurkan 140 160 micro Ci/gram atau dengan
dosis rendah 80 micro Ci/gram.
Dalam pelaksanaannya perlu dipertimbangkan antara lain: dosis optimum yang
diperlukan kelenjar tyroid, besar/ukuran dari kelenjar yang akan diradiasi,
efektivitas I131 di dalam jaringan dan sensitivitas jaringan tyroid terhadap I 131. 11

4. Pengobatan dengan Penyulit


1.
Graves Disease dan Kehamilan
Angka kejadian GD dengan kehamilan 0,2%. Selama kehamilan biasanya GD
mengalami remisi, dan eksaserbasi setelah melahirkan.
Dalam pengobatan, yodium radioaktif merupakan kontraindikasi karena pada
bayi dapat terjadi hipotyroidi yang ireversibel. Penggunaan propranolol masih
kontroversi. Beberapa peneliti memberikan propranolol pada kehamilan, dengan
dosis 40 mg 4 kali sehari tanpa menimbulkan gangguan pada proses kelahiran,
tanda-tanda teratogenesis dan gangguan fungsi tyroid dari bayi yang baru
dilahirkan. Tetapi beberapa peneliti lain mendapatkan gejala-gejala proses
kelahiran yang terlambat, terganggunya pertumbuhan bayi intrauterin, plasenta
yang kecil, hipoglikemi dan bradikardi pada bayi yang baru lahir.
Umumnya propranolol diberikan pada wanita hamil dengan hipertyroid dalam
waktu kurang dari 2 minggu bilamana dipersiapkan untuk tindakan operatif.
Pengobatan yang dianjurkan hanya pemberian obat antityroid dan pembedahan.
Untuk menentukan pilihan tergantung faktor pengelola maupun kondisi penderita.

16 Laporan Kasus

Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUB Prov. Sultra, FK UHO

PTU merupakan obat antityroid yang digunakan, pemberian dosis sebaiknya


serendah mungkin. Bila terjadi efek hipotyroid pada bayi, pemberian hormon
tyroid tambahan pada ibu tidak bermanfaat mengingat hormon tyroid kurang
menembus plasenta.
Pembedahan dilakukan bila dengan pemberian obat antityroid tidak mungkin.
Sebaiknya pembedahan ditunda sampai trimester I kehamilan untuk mencegah
terjadinya abortus spontan.
2.

Eksoftalmus

Pengobatan hipertyroid diduga mempengaruhi derajat pengembangan


eksofalmus. Selain itu pada eksoftalmus dapat diberikan terapi antara lain:
istirahat dengan berbaring terlentang, kepala lebih tinggi; mencegah mata tidak
kering dengan salep mata atau larutan metil selulose 5%; menghindari iritasi mata
dengan kacamata hitam; dan tindakan operasi; dalam keadaan yang berat bisa
diberikan prednison peroral tiap hari.
3.

Krisis Tyroid

Krisis tyroid merupakan suatu keadaan tirotoksikosis yang sekonyong-konyong


menjadi hebat dan disertai antara lain adanya panas badan, delirium, takikardi,
dehidrasi berat dan dapat dicetuskan oleh antara lain: infeksi dan tindakan
pembedahan. Prinsip pengelolaan hampir sama, yakni mengendalikan
tirotoksikosis dan mengatasi komplikasi yang terjadi. Untuk mengendalikan
tirotoksikosis dapat digunakan terapi kombinasi dengan dosis tinggi misalnya
PTU 300 mg tiap 6 jam, KJ 10 tetes tiap 6 jam, propranolol 80 mg tiap 6 jam (IV
2 4 mg tiap 4 jam) dan dapat diberikan glukokortikoid (hidrokortison 300 mg).
Sedangkan untuk mengatasi komplikasinya tergantung kondisi penderita dan
gejala yang ada. Tindakan harus secepatnya karena angka kematian penderita ini
cukup besar.
BAB II
LAPORAN KASUS
Pasien adalah Nn S dengan usia 17 Tahun. Pekerjaan sebagai Siswa SMA. Alamat
Byy Pass (belakang took Wirawan Gas). Suku Tolaki. Nomor Rekam Medik 41 43 66
dan di rawat di ruangan Asoka. Tanggal Masuk rumah sakit adalah 21 September 2014.

17 Laporan Kasus

Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUB Prov. Sultra, FK UHO

Pasien masuk dengan keluhan demam yang dirasakan sejak 2 hari SMRS. Demam
dirasakan terus menerus. Pasien juga mengeluh mual dan muntah serta nyeri pada ulu
hati. Pasien sering merasa jantungnya berdebar-debar yang diraskan sejak 1,5 tahun yang
lalu. Pasien juga mengeluh tangannya sering bergetar tanpa sebab serta merasa tubuhnya
sering berkeringat yang dirasakan terus-menerus bahkan saat pasien berada ditempat yang
tidak panas, sehingga pasien lebih menyukai untuk berada ditempat yang bersuhu dingin.
Pasien juga merasa dirinya sulit mengontrol emosi dan menjadi lebih pemarah
belakangan ini. Pasien juga mengeluhkan badan yang terasa lemas serta berat badan yang
juga menurun kurang lebih 5 kg dalam waktu 1,5 tahun. Pasien juga merasakan sering
tidak bisa tidur, BAB encer serta menstruasi yang tidak teratur yang dirasakan sejak 2
tahun lalu. Sejak 1 tahun yang lalu pasien merasakan adanya benjolan didaerah leher
yang tidak dirasakan membesar oleh pasien, serta menyangkal adanya nyeri pada
benjolan tersebut. Pasien juga merasa kedua matanya terasa lebih menonjol keluar sejak 4
bulan yang lalu, namun tidak ada gangguan penglihatan. Pasien menyangkal adanya
perubahan suara, serta kesulitan menelan. Pasien menyangkal adanya nyeri dada yang
menjalar, bengkak pada kedua kaki serta masalah yang sedang mengganggu pikiran
pasien belakangan ini. Belakangan ini pasien merasa sesak napas jika beraktivitas.
Riwayat penyakit terdahulu tdak ada. Pasien menyangkal menderita penyakit
diabetes, hipertensi, Asma, dan alergi terhadap obat.
Tidak terdapat riwayat keluarga dengan keluhan yang sama.
Riwayat kebiasaan : pasien menyangkal kebiasaan merokok dan minum minuman
beralkohol, dam mengaku mengkonsumsi garam beryodium.
Keadaan umum pasien adalah sakit sedang. Keadaan gizi kurang dengan tinggi
badan 155 cm, berat badan 43 kg, dan Indeks Massa Tubuh 17,9 kg/m2. Kesadaran pasien
composmentis.
Tanda vital pasien yaitu tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 120 kali permenit,
pernapasan 28 kali permenit dengan tipe torakoabdominal, dan suhu 40,3 0C axilar
Hasil pemeriksaan fisik yang di dapatkan adalah pada bagian kepala Nampak
ekspresi terlihat lelah dan pucat, muka bentuk oval serta simetris, tidak ada deformitas,
dan rambut berwarna hitam serta mudah tercabut. Pada pemeriksaan mata dijumpai
eksoptalmus. Namun terlihat kelopak mata cekung di sekitar mata dan konjungtiva tidak
anemis. Tidak adanya ikterus pada sclera. adanya reflex cahaya pada kornea. Pemeriksaan
pupil didapatkan isokor dengan diameter 3 mm / 3 mm. Pada pemeriksaan hidung dan
telinga dalam batas normal. Pada pemeriksaan mulut terlihat bibir pucat dan kering dan

18 Laporan Kasus

Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUB Prov. Sultra, FK UHO

gigi geligi intak. Pada pemeriksaan leher didapatkan benjolan yang ikut bergerak pada
saat menelan serta terdapat bruit. Pada pemeriksaan thoraks didapatkan ictus cordis
terlihat dan teraba dengan kesan palpitasi, punggung dalam batas normal. Pada
pemeriksaan abdomen di dapatkan nyeri tekan pada regio epigastrium. Pada pemeriksaan
ekstremitas tidak di dapatkan akral dingin pada ekstermitas superior dan ekstermitas
inferior, tidak ada edema.
Pasien sebelumnya telah dirawat di Muna dan didapatkan hasil periksaan
laboratorium di jumpai gangguan pada beberapa segmen yaitu Leukosit (2,6 x 103 /mm3) ,
MCV (66,7 fl), MCH (19,9 pg), Trombodit (150 x 103/mm3). Hasil tes widal didapatkan
S.Typhi O=1/80, S.Typhi H=1/160, S. Para Thypi AH dan BH (-).
Hasil pemeriksaan darah rutin pada tanggal 24 september 2014 di jumpai gangguan
beberepa segmen yaitu hemoglobin (11,6 g/dL),hematokrik (35,2 %) , trombosit (12 x 103
/uL), MCV (62,3 pg), MCH (20,5 d/dL) dan neutrofil (1,37 x 103 uL ; 27,6 %), Limfosit
(2,78 x 103 uL ; 56,0 %), Monosit (0,47 x 103 uL ; 9,5 %), basofil (0,33 x 103 uL ; 6,7 %).
Dari hasil pemeriksaan darah rutin di peroleh hasil bisitopenia.
Pada pemeriksaan kimia darah tanggal 24 september 2014 dijumpai nilai GDS 94
mg/dl, SGOT/ AST 136 U/L dan SGPT/ ALT 23 U/L dengan kesan SGOT terganggu. Test
Widal (-)
Hasil pemeriksaan hormone pada tanggal 25 September 2014 didapatkan nilai
FT4 : 5,23 ng/dL, TSH 0,052 IU/mL.
Dari anamnesis, status present, tanda vital, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang di simpulkan pasien terdiagnostik Graves Diasease.
Terapi yang di berikan pada pasien ini adalah IVFD RL 28 tpm, inc. ceftriaxon 1
gr/12jam/iv, Cotrimoksazole 2x160/800mg, PTU 3x200 mg, propanolol 10 mg 3x1,
diazepam 2 mg 0-0-1, New diatabs 3x1, Omeprazole 20 2x1, sistenol 3x1 (kalau demam).

Tanggal
22/09/2014

19 Laporan Kasus

FOLLOW UP
Pemeriksaan

Terapi

TD : 140/80, N=119 x/m,


P=24x/m, S=40C

IVFD RL : D5 = 1:1 28
tpm

Palpitasi (+)

Ceftriaxone 1 gr/12 j/iv

Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUB Prov. Sultra, FK UHO

BAB encer > 3x

Levofloxacin 1x500 mg

Mual

PTU 3x200 mg

Muntah

Propanolol 3x10 mg

Lidah kotor

Diazepam 2 mg 0-0-1

Goiter difus, ikut gerak


menelan

New diatabs 3x1


Ondansentron
jam/iv

Exophtalmus

1A/12

Ranitidin 1A/12 jam/iv

TD : 110/70 , N
x/m, P :23x/ m

: 100

IVFD RL 32 tpm
Adona (TGC)/drips

S : 38,9C
Ceftriaxone 1 gr/12 j/iv
Febris
Cotrimoxazole 480 2x2
BAB encer, hitam
PTU 3x200 mg
Nyeri
23/09/2014

Propanolon 3x10 mg
Goiter difus, ikut gerak
menelan

Diazepam 2mg 0-0-1/2

Exophtalmus

New diatabs 3x1

Muntah

Ondansentron 1A/12 j/iv


Pantera 1 vial/12 j/iv
Sistenol 3x1

24/09/2014

TD : 120/70, N : 112/m,
P :23x/ m

IVFD RL 32 tpm
Ceftriaxone 1 gr/12 j/iv

S : 38C

20 Laporan Kasus

Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUB Prov. Sultra, FK UHO

Febris

Cotrimoxazole 480 2x2

Nyeri Ulu hati

PTU 3x200 mg

Mual muntah

Propanolon 3x10 mg
Diazepam 2mg 0-0-1/2
New diatabs 2x1
Ondansentron 1A/12 j/iv
Pantera 1 vial/12 j/iv
Domperidone 2x1
Sistenol 3x1

TD : 130/70, N
115x/m, P :23 x/ m

IVFD RL 32 tpm
Adona (TGC)/drips

S : 39,3 C
Ceftriaxone 1 gr/12 j/iv
Febris
Cotrimoxazole 480 2x2
Nyeri epigastrium
PTU 3x200 mg
BAB encer , hitam
Propanolon 3x10 mg
25/09/2014
Diazepam 2mg 0-0-1/2
New diatabs 3x1
Ondansentron 1A/12 j/iv
Pantera 1 vial/12 j/iv
Domperidone 2x1
Sistenol 3x1

21 Laporan Kasus

Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUB Prov. Sultra, FK UHO

TD : 110/80, N : 98x/m,
P :19x/ m

IVFD RL 28 tpm
Ceftriaxone 1 gr/12j/iv

S : 36,5 C
Cotrimoxazole 480 2x2
Febris (-)
PTU 3x200
BAB sudah biasa
Propanolol 3x10 mg

26/09/2014

Diazepam 2 mg 0-0-1
New Diatabs 3x1
Omeprazole 2x20
Sistenol
demam)

27/09/2014

TD : 110/80, N : 98x/m,
P :19x/ m

3x1

(kalau

IVFD RL 28 tpm
Ceftriaxone 1 gr/12j/iv

S : 36,5 C
Cotrimoxazole 480 2x2
Febris (-)
PTU 3x200
BAB sudah biasa
Propanolol 3x10 mg
PLT : 10.000
Diazepam 2 mg 0-0-1
New Diatabs 3x1
Omeprazole 2x20
Sistenol
demam)

3x1

Transfusi TC 3 unit

28/09/2014

22 Laporan Kasus

TD : 110/80, N : 98x/m,

IVFD RL 28 tpm

Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUB Prov. Sultra, FK UHO

(kalau

P :19x/ m

Ceftriaxone 1 gr/12j/iv

S : 36,5 C

Cotrimoxazole 480 2x2

Febris (-)

PTU 3x200

BAB sudah biasa

Propanolol 3x10 mg
Diazepam 2 mg 0-0-1
New Diatabs 3x1
Omeprazole 2x20
Sistenol
demam)

29/09/2014

TD : 110/80, N : 98x/m,
P :19x/ m

3x1

(kalau

IVFD RL 28 tpm
Ceftriaxone 1 gr/12j/iv

S : 36,5 C
PTU 3x200
Febris (-)
Propanolol 3x10 mg
BAB sudah biasa
Diazepam 2 mg 0-0-1
Omeprazole 2x20
Sistenol
demam)

30/09/2014

TD : 110/80, N : 98x/m,
P :19x/ m

3x1

(kalau

IVFD RL 28 tpm
Ceftriaxone 1 gr/12j/iv

S : 36,5 C
PTU 3x200
Keluhan : Propanolol 3x10 mg
PLT : 173.000
BISA PULANG

23 Laporan Kasus

Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUB Prov. Sultra, FK UHO

BAB III
PEMBAHASAN

24 Laporan Kasus

Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUB Prov. Sultra, FK UHO

Dari Anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan adanya keluhan jantung


berdebar, dan terjadi penurunan berat badan sejak 1,5 tahun yang lalu. Selain itu
belakangan ini pasien juga sulit mengontrol emosi. Pasien juga mengeluh merasa sesak
saat beraktivitas dan mudah berkeringat ketika beraktivitas sehingga lebih menyukai
tempat yang dingin. Selain itu pasien juga mengeluhkan terjadi penurunan nafsu makan.
Disamping gejala tersebut juga terdapat gejala demam, mual, mutah, BAB encer, sulit
tidur, dan mens yang tidak lancer. Pada pemeriksaan fisik didapatkan: teraba nodul yang
ikut bergerak pada saat menelan dan terdapat bruit, terdapat eksoftalmus pada mata,
tremor halus pada jari, dan tangan teraba dingin. Pada pemeriksaan tanda tanda vital
terdapat nadi:120 kali dan suhu 40,3OC pada axilar.
Adanya gejala-gejala dan tanda diatas dapat mengarahkan pada diagnosis
hipertyroid yang menurut indeks wayne yaitu terdapat gejala sesak saat bekerja, berdebar,
kelelahan, menyukai tempat dingin, adanya keringat berlebih, mudah gugup, dan
peningkatan nafsu makan. Kemudian diikuti oleh tanda-tanda: terabanya tyroid, adanya
bising tyroid, eksoftalmus, tertinggalnya kelopak mata, hiperkinetik, tremor, tangan panas
dan basah, atrial fibrilasi dan peningkatan nadi. Sehingga apabila mengacu pada indeks
wayne, pasien ini mendapatkan nilai 22, sehingga mengarah pada hipertyroid.
Untuk memperkuat dugaan maka dilakukan pemeriksaan laboratorium yaitu nilai
FT4 dan TSH. Gambaran laboratorium pada pasien ini didapatkan nilai FT4 : 5,23 ng/dL,
TSH 0,05 IU/mL, atau terjadi peningkatan FT4 dan penurunan TSH yang mengarahkan
pada kondisi hipertyroidisme. Selain itu juga didapatkan, SGOT/ AST 136 U/L dan
SGPT/ ALT 23 U/L dengan kesan SGOT terganggu. Dari hasil lab tersebut diikuti adanya
gejala eksoftalmus dan struma, maka memperkuat diagnosis penyakit grave pada pasien
ini.Pada pasien ini dilakukan rawat inap karena pasien demam dan lemas, serta keadaan
umum yang tampak sakit sedang, bila tidak dirawat dikhawatirkan kondisi pasien akan
memburuk.
Penatalaksanaan penyakit grave pada umumnya meliputi pengobatan umum dan
pengobatan khusus. Pengobatan umum pada pasien ini yang pertama adalah istirahat agar
hipermetabolisme pada pasien tidak semakin meningkat, selanjutnya diberikan diet tinggi
kalori, tinggi protein, serta multivitamin dan mineral agar terjadi keseimbangan dalam
metabolismenya. Selanjutnya diberikan terapi khusus berupa obat-obatan untuk
mengobati gejala dan tanda pada penyakit grave ini. Obat yang pertama adalah pemberian
obat anti Tyroid yaitu propylthiouracyl (PTU) dengan dosis 300-600 mg terbagi setiap 8
atau 12 jam, dan pada pasien ini diberikan dengan dosis 3x200 mg. Kemudian juga

25 Laporan Kasus

Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUB Prov. Sultra, FK UHO

diberikan obat golongan penyekat beta (Beta blocker) untuk mengurangi rangsang
simpatis yang terjadi, yang diberikan adalah propanolol dengan dosis 3x10 mg.
Pemberian terapi suportif pada pasien seperti pemberian sistenol 3x1 untuk
mengurangi gejala demamnya dan mengurangi efek samping hepatotoksik dengan
bantuan n-acetylcysteine yang terkandung di dalamnya. New Diatabs diberikan untuk
mengatasi keluhan mencret dan omeprazole untuk mengatasi keluhan mual pada pasien,
pemberian ondansentron untuk mengatasi muntah pasien. Pemberian Co-trimoxazole
160/800 mg 2x sehari digunakan untuk mengatasi kemungkinan penyebab infeksi pada
keluhan mencret pasien. Pemberian Ceftriaxone 2x1gr dianggap sebagai antibiotik. Dan
pemberian diazepam pada pasien untuk mengatasi keluhan sulit tidur yang diderita
pasien.

26 Laporan Kasus

Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUB Prov. Sultra, FK UHO

Anda mungkin juga menyukai