Anda di halaman 1dari 207

Potogenesis Penyokit Grqves

Botqri Relno Minonti, Hendromorlono


Division of Endocrinology ond Metobolism
- Dept of rnternol Medicine
Dr. Soeromo Teoching Hospilol - Airlonggo Universiry school of
Medic;n;; i;roboyo

PENDAHUTUAN
Penyakit Grave's adalah penyakit autoimunyang ditandai dengan gejara
hipertiroidisme, goiter yang difuse dan keiaininnya dapat irengenai
mata dan kulit. Penyakit Grave's merupakan bentuk iirotoksikosis
yang tersering dijumpai,dan dapat terjadi pada segala usia, lebih sering
terjadi pada wanita daripada pria. Sindroma ini ierdiri dari satu atau
beberapa manifestasi berikut ini: tirotoksikosis, goiter, oftalmopati
(eksoptalmus) dan dermopati (edema pretibial). RJbert Grave s pada
tahun 1835 pertama mengi-ndentifikasi gejala-gejala goiter, paliitasl
dan exopthalmus. saat ini diidentifikasi idanyi antiulai Igi setagai
thyroid-stimulating antibodies pada penderita brave,s hipeitiroidisme
yan8berikatan dan mengaktifkan reseptor tirotropinpada sel tiroid yang
menginduksi sintesa dan pelepasan hormon tiroid. Beberapa penulii
mengatakan bahwa penyakit ini disebabkan oleh multi faitor antara
qgnelik endogen dan faktor lingkungan. Data didunia2% wanita d.an
0,2%laki-laki terkena penyakit iutoimun tiroid ini. studi epidemiologi
di Polandia pada tahun 19.87+1990 sebanyak 0,2% popurasirr-,e'galu-i
penyakit ini dengan insiden rata-rata 4/100.000 pL, iuhnn. Di swedia
insiden rata-rata22,3/L00.000 pertahun pada tahln 1,9gge1990, dan di
feRanglebih tinggi lagi (Davies, 2000; Weetman, 2000; Hersh man, 2002;
Prabhakar, 2003; Green span, 2004).

ETIOTOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI


Merupakan-suatu penyakit autoimun yang penyebabnya masih belum
diketahui.- Kurang lebih 15% penderiti mempunyai predisposisi
genetil dengan kurang lebih 50% dari penderita mempunyai
autoantibodi tiroid dalam sirkulasi darahnya. Angka kejadian pida
wanita sebanyak 5 kali lipat daripada laki-laki, dengan usia bervariasi
antara 20-40iahun (Wetman, 2000; Greenspan, 2004)'
Terdapat beberapa faktor predisposisi (Heward, 19-99;-Weetman'
2000; Hershm an, 2002; Ginsberg, 2003; Kretowski, 2003; Prabhakar'
2003): _
1. Genetik
Riwayat keluarga dikatakan 15 kali lebih besar dibandingkan
popuiasi umum untuk terkena Graves' Gen HLA yang berada pada
ranekaian kromosom ke-6 (6p21'3) ekspresinya mempengaruhi
pefiembangan penyakit autoimun ini' Molekul HLA terutama
Llas II yuttg U"iuaa pada sel T di timus memodulasi respons
imun sel T terhadap reseptor limfosit T (T tymphocyte receptorflcR)
selama terdapat antigen. interaksi ini merangsang aktivas"i T.helper
limfosit untuk membentuk antibodi. T supresor limfosit atau
faktor supresi yang tidak spesifik (IL-10 dan TGF-p) mempunyai
aktifitas yang rendin pada penyakit autoimun kadang tidak dapat
membedakatt f n"tp"t mana yang disupresi sehingga T helper
yang membentuk antibodi yang melawan sel induk akan eksis dan
akan meningkatkan proses autoimun'
2. Wanita lebih sering terkena penyakit ini karena modulasi lespons
imun oleh estrogeri Hal ini dGebabkan karena epitope e-kstraseluler
TSHR homolog dengan fragmen pada reseptor LH (7685%) dan
homolog dengin fragmen pada reseptor FSH (20€85%)
3. Status g:ni ai"beraibadan lahir rendah sering dikaitkan dengan
prevalJrsi timbulnya penyakit autoantibodi tiroid'
,4. btrers juga dapat r"Uugui iaktor inisiasi untuk timbulnya penyakit
lewat jalur neuroendokrin.
5. Merokok dan hidup didaerah dengan defisiensi iodium'
6. Toxiru infeksi bakteri dan virus.
Bakteri Yersinia enterocolitica yang mempunyai protein antigen
pada membran selnya yang sama d"ngan TSHR pada sel folikuler
iceleniar tiroid diduga aapat mempromosi timbulnya penyakit
-penderita
Grave's terutama fada yang mempunyai faktor
- atau
genetik. Kesamaan antigen bakteri atau virus dengan TSHR
TSHR pada folikel kelenjar
fierubahan struktur reseptot terutama
iiroid karena mutasi atau biomodifikasi oleh obat, zat kimia atau
mediator inflamasi menjadi penyebab tirhbulnya autoantibodi
terhadap tiroid dan perkembangan penyakit ini' -
7. Periode posS partum dapat memi""litb"lttya gejalahipertiroid'

Se i -1 En d okin - Me t ab olik
8. Pada sindroma defisiensi imun (HIV), penggunaan terapi
antivirus dosis tinggi highly actiae antiretroairal therapy (HAART)
berhubungan dengan penyakit ini dengan meningkatnya jumlah
dan fungsi CD4 sel T.
9. Multipel sklerosis yang mendapat terapi Campath-1H monoclonal
antibodi secara langsung mempengaruhi sel r yang sering disertai
kejadian hipertiroid.
10. Terapi dengan interferon s,.

FISIOTOGI HORMON TIROID


Kelenjar tiroid terdiri dari folikel sferik (diameter 50-500pmeter),
sel yang mensintesis hormon tiroid tiroksin (T4, prohormon) dan
triiodotironin (T3, hormon aktif). Kelenjar tiroid juga mengandu ng clear
cell atau sel parafolikular atau sel C yang mensintesis kalsitonin. T3
mempengaruhi pertumbuhary diferensiasi dan metabolisme. T3 selain
disekresi oleh kelenjar tiroid juga merupakan hasil deiodinasi dari 14
dijaringan perifer. T3 dan T4 yang disimpan terikat pada 3 protein
yang berbeda: glikoprotein tiroglobulin di dalam koloid dari folikel,
prealbumin pengikat tiroksin dan albumin serum. Hanya sedikit T3
dan T4 yang tidak terikat terdapat dalam sirkulasi darah (wartofsky,
1ee8).
Pengaturan sekresi homon tiroid dilakukan oleh TSH (Tlryroid-
stimulating honnone) dari adenohipofisis. sintesis dan perepasannya
dirangsang oleh rRH (Thyrotropin-releasing hormone) dari-hipotalamus.
TSH disekresi dalam sirkulasi dan terikat pada reseptoinya pada
'kelenjar tiroid. TSH mengontrol produksi dan pelepasin T3 dan T4.
Efek TRH dimodifikasi oleh T3, peningkatan konsentrasi hormon
tiroid, misalnya, mengurangi respons adenohipofisis terhadap TRH
(mengurangi reseptor TRH) sehingga pelepasan TSH menurun dan
sebagai akibatnya kadar T3 dan T4 menurun (umpan balik negatif).
sekresi rRH juga dapat dimodifikasi tidak hanya oleh 13 secara negatif
(umpan balik) tetapi juga melalui pengaruh persarafan (Wartofiky,
1998; Manifold,2001).

PATOGENESIS PENYAKIT GRAVES


Penyakit Grave's ditandai dengan adanya baik sel B rnaupun sel T
limfosit yang mudah tersensitisasi oleh paling sedikit 4 autoantigen

Patogenesis Penyakit Graves


tiroid yaitu reseptor TSH, tiroglobulin, tiroid peroksidase dan sodium/
iodide kotransporter. Reseptor TSH merupakan autoantigen- primer
pada penyakit Grave's dan yang lain merupakan autoantigen sekunder'
iruda p"nyukit Graves, limfosit l menjadi tersensitisasi oleh antigen dan
*"nrii-,rlusi limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen
tersebfit (Davies, 2000; Davidson, 2001).

!munologi tiroid
sel-se| B limfosit yang terkumpul dalam kelenjar tiroid penderita
Grave's menurunkir, ritpott prbhferatif terhadap sel B mitogen dan
sekresi imunoglobulin basal meningkat dibandingkan dengan sel B di
perifer, ini meiunjukkan status yang aktif. Sel B tiroid ini secara invitro
i.rgu *"rrr"kresi iutoantibodi tiroid secara spontan untuk melawan
pr:eatctivasi. Kelenjar tiroid merupakan tempat primer- produksi
autoantibodi tiroid pada penderita ini (Davies, 2000; Greenspan'
2004).
T SH recept or-stimulating antib o dies
Pada penderita penyakitbraves, kelenjar tiroid tidak lagi di bawah
kontrol fSU nipotilamus tapi secara terus menerus distimulasi oleh
antibodi TSH-tiLe actiaity, yang kebanyakan ditemukan dalam subklas
IgG1. Antibodi yang tlrikat pada reseptor TSH dibagi menjadi 2'
u;rtlbodi yung -"ttgu-.wali proses transduksi sinyal intraselular disebut
sebagai TSi rec$tor-stimulnting antibodies, sedangkan yang tidak
disebut sebagai TsH receptor-blocking antibodies. TSH receptor-stimulating
antibodies hu"yu terdeteksi pada penderita penyakit Graves. D^iantara
penderita penyakit Grave'i yuttg but.t didiagnosis, sekitar 80+95%
ier deteksi iduttyu T SH r e cep to r - stimul a tin g antib o die s dalam serumnya.
Konsentrasi TS ii r e cep to r-s timul atin g antib o die s dalam serum tamp aknya
menurun selama pengobatan antitiroid dan konsentrasi yang tetap
tinggi mendukung tJ4adinya tirotoksikosis bila obat dihentikan.
Ikalin antara T S H- r cep tor - s timul atin g antib o di s dengan reseptor TSH
e e

tergantung pada struktur 3 dimensi dari reseptor itu sendiri yang


berlarti ud"utryu multipel epitope pada permukaan reseptor. Antibodi
ini terikat paaa tugiitt beiar dari domain ekstraseluler reseptor TSH
yung *"r,rpakan legio imunogenik. Kebalikannya TSH re-cEtor-
Uoriang antibodies keb-anyakan teilkat pada bagian kecil dari domain
ekstras'eluler reseptor ying berada didekat membran sel (Rapoport,
1998; Davies, 20A0;Davidson, 2001; Rapoport, 2001)'

S ei-l. Endokin-Metab olik


sebagaimana TSH, TSH receptor-stimulating antibodies mengaktivasi
adenyl cyclase-cAMP dan protein kinsse C-phosphoinositiie signal
transduction systems, yang mengakibatkan pengeluaran hormon tiroid
dan tiroglobulin dan menstimulasi ambilan dan organifikasi iodine,
sintesis protein dan pertumbuhan sel folikular tiroid (Davies, 2000;
Pra6hakar, 2003).

Anfibodifiroid loin podo penyokir Grqve's


Bebgrapa antibodi hanya spesifik untuk penyakit tertentu, namun
tidak demikian halnya dengan serum tirogrobulin dan antibodi
tiroid peroksidase yang ada tidak hanya plda penderita dengan
hipertiroidisme namun juga ada pada pend-rita tioiditis autoimun
kronik dan beberapa orang normal. pada kebanyakan penderita
Grave's terdapat antibodi terhadap autoantigen tiroid jdalam sirkulasi,
selain itu sering pula ditemukan serum iiroglobulin dan antibodi
tiroid peroksidase dalam konsentrasi tinggi. antiuoai sodium/iodide
kotransporter dapat juga terdeteksi dalim serum, hal ini mungkin
l"r]lli pa da Grave's yang koinsiden dengan tiroiditis (Davidson, 2b01;
Prabhakar, 2003).
Gambaran histopatologr jaringan tiroid penderita Grave's sering
menunjukkan adanya infiltrasi limfosit intratiroid yang disertai dengan
hiperplasia sel folikular tiroid. Kebanyakan limfosit intratiroid adalah
sel T, sedangkan sel B lebih jarang bila dibandingkan dengan tiroiditis
autoimun kronik. sel T dan sel plasma dapat dillhat keieradaannya
dalam folikel kelenjar tiroid. Besarnya ukurun sel folikular tiroid
berkorelasi dengan intensitas infiltrasi limfosit, hal ini membuktikan
bahwa stimulasi sel dilakukan secara lokal dengan adanya produksi
TSH receptor-stimulating antibodies (Davies, 2000; Weetmu", ZObO;.

Mekqnisme imunologi podo potogenesis penyokit Grqves


Terdapat beberapa mekanisme yang terlibat dalam patogenesis
penyakit Graves, meliputi antara lain (Tomer, 1993; Oivies, ZOOO;
Davidsory 2001; Karasek, 2003):
- ekspresi antigen, misalnya adanya infeksi. InJeksi virus
mengakibatkan paparan terhadap antigen baru terutama apabila
virus tersebut menetap.

Patogenesis Penyakit Graves


- spesifisitas silang (molecular mimicry), dapat terjadi pada keadaan
d'i *urru terdapat-Gsamaan struktur diantara antigen tetapi
dikode
oleh gen yang berbeda.
- aktiv"asi ystinder dan ekspresi molekul HLA sel tiroid secara tidak
b

langpung. Molekul MHC klas II (HLA DR, -DP, -DQ) terekspresi


pad"a seifolikular tiroid penderita penyakit tiroid autoimun,
tetapi
iiduk padu orang torrr'rui' Sel T menyebabkan pengeluaran sitokin
seperti interferoi y, menstimulasi ekspresi molekul HLA klas
I dan
minginduksi ekspiesi molekul HLA klas II pada sel folikular tiroid.
Hifo"tesis bystander menyatakan bahwa mekanisme potensial untuk
menginduksi autoimunitas tiroid secara in vivo adalah dengan
adanlya infeksi virus secara lokal yang akan menginduksi
terjadinya
,eaksl inflamasi dan menstimulaii produksi interferon yatau sitokin
lain oleh sel imun non-tiroid spesifik (bystander)
- induksi ekspresi HLA piau sel tiroid, virus misalnya
cytomegaloviius juga dapat menginduksi ekspresi dari molekul
MHC klas II secaia langsung tinpa tergantung pada sekresi
sitokin.
tiroid
sebag ai antigen-presenting cells, ptesentasi antigen
- sel tiroid
tiroid itu_sendiri.
terhadap sisteir imuri teriadi didaiam kelenjar
Sel-sel yung *".g"kspresiican molekul HLA, termasuk sel
folikular
tiroid itu iendiri mempunyai potensi untuk mempresentasikan
antigen secara langsung terhadap sel T'
HipertiroidismepadapenyakitGrave'sdisebabkanolehaktivasi
,"rupfu, tiroid oleh inyroia sfimulating ho,rmone receptor antibodies yang
dihasilkan oleh kelenjar tiroid atau diluar kelenjar tiroid_ (kelenjar
limfe dan sumsum tulang) atau disebabkan proses imunologi yang
menyebabkan penurunan"dari sel T supressor sehingga se,l ] helper
untuk
akari meningkat (multiplikasi) dan akin merangsang sel -B
s
memprodukii T sH r ecep tor antibo dies.,T sH r e cep tor - antib o.die akan
berikutan dengan TSH reseptor pada kelenjar !i1o1d' meningkatkan
cyclic AMp de[endent dar, -erungiang epithel folikular kelenjar
tiroid
rintuk memproduksi tiroksin din triiodotironin (T4 dan T3) serta
*"rungrung terjadinya hipertropi dan hiperplasi kelenjar- tiroid'
akan
Berikaiannia Tiyroid" stimui ating intibo dy dengan reseptor -TSH
merangsang proses inflamasi dengan pengeluaran- faktor-faktor
inflamXsi ltitoli"; interleukin-1, tumot necrosis facto'-! !?iinterferon-
y yang akan merangsang ekspresi molekul adhesi CD54 dan
molekul

Se ri -1, Endokin-Met ab olik


regulator CD40 dan HLA class II sehingga sel akan mengarami proses
inflamasi. Mekanisme ikatan dan aktifisi antara thyrolid stimirating
antibodies dengan reseptor tirotropin (TSH receptor) tidak
diketahui
d_engan pasti. suatu studi mengatakan thyroid stimulating
antibodies
akan bergabung dengan epitope ying sesuai pada domain eistraseiuler
rese'ptor tirotropin (Weetman, 2000; Rapop ort,2001; Ginsberg,
2003).

rffiF ..
,-.c.d,. ( LdJr' ' .:\
-* I
*i't:'ii;" '-w;tr
,.Kr oi "#& ;&"
TslJ Ec€fito{
Ll nri to T5i
in|hnjies
i rseF!,)r: irl
r*Rxrdrihl conn*{rayq rirs!e

T hplper
kFs. \.

B c{rlls
|{ xu TSll receptor

yj

,it::''

_i
I c\crxrn:irrrsr,,crns
rrn,e !.'
g\.{.! l'
rnt,bod,e'
\,/ i
I
\?
bs
S*lllinf, in srur{le
:nd donndive ri3suEs
b€htnd a}fs

Ophthaltnopallry
f "{
"

itt.xrLi,..(

(djkutip dari Ginsberg, 2OO3)

Pofogenesis oftolmopoti don dermopoti podo penyokir


Grqves
oftalmopati pada penyakit Grave's ditandai dengan adanya edema dan
infl amasi pada otot-otot ekstraokular serta pening:katan j aringan
ikat dan
lemak pada orbita yang mengakibatkan pening'icatan ,rotrir" jaringan

Patogenesis Penyakit Graves


retrobulbar. Edema yang terjadi berkaitan dengan efek hidrofilik dari
glikosaminoglikan yut1g air"tresi oleh fi broblas. Infl amasi disebabkan
6l"h tnfiltturit*foiit din makrof agpadalaringan ikat orbita dan otot-
otot ekstraokular. Terjadinya peningkatan volume jaringan retrobulbar
menyebabkan timbulnya manifestisi klinik berupa oftalmopati. Pada
u*uffi sel-sel otot misih normal tetapi pada tahap yang lebihlaniut
sel-sel otot tersebut menjadi hipertrofi disertai dengan adlny-a infiltrasi
limfosit dan akhirnya dapat menjadi atropi atau fibrotik (weetman,
2000).
Salah satu hipotesis mengenai terjadinya oftalmopati ini adalah
respons imun terhadap TSH rieptor-Iike protein pada jaringan ikat
orbita
mengawali pembentuian sitokin dan produksi glikosaminoglikan oleh
fibroilas, keduanya mengakibatkan peningkatan tekanan osmotik'
volume otot eksiraokulai serta akumulasi cairan dan terjadinya
manifestasi klinik oftalmopati (Ginsberg, 2003)'
Dermopati ditandai d"ttgutt infiitrasi limfosit kedalam lapisan
dermis, aicumulasi glikosaminoglikan dan edema' Seperti halnya
pada oftalmopati, yaig berperan pada patogenesis terjadinya adalah
-Terdapai
udu.,yu inflamasi. infiltrasi dari sel-sel proinflamasi yang
jaringan
terutama terdiri dari sel T yut g teraktivasi pada otot-otot dan
ikat. Infiltrasi terjadi melalui pengenalan sel T terhadap antigen yang
tereaksi silang dlngan antigen tiioid, _seperti reseptor tirotropin pada
fibroblas pr"idlpot-it. Sitokin yang diproduksi oleh fibroblas yang
teraktivasi, akan menstimulasi produksi glikosaminoglikan (terutama
hyaluronat dan kondroitin sulfit) dan akan mengakibatkan terjadinya
edema dan fibrosis (Weetman, 2000; Prabhakar, 2003)'

SUMMARY
Graaes, disease is the most cotnmon form of thyrotoxicosis and may
occur
at any age, more commonly in femiles than in males' An intrathyroidal
infiltiatiin of tymphocytes-is t6e initial abnormality. In Graues'-disease,
T"IymphocyierLrri,o*r"sensitized to antigens within the thyroid gland and
to
stimuiate ti tymphocytes to synthesize TSH receptor-stimulafing antibodies
these antigens and then cause hyperthyroidism'

Se i -1. En dokin - Me t ab olik


DAFTAR PUSTAKA
Davies TF. 2000. Graves' Disease. The Thyroid, A Fundamental and
Clinical rext gth ed.
Lippincott Williams &Wilkins, editori Braverman LE, Utiger RD, pp 51g_52g.
Davidson A, Diamond 8.2001,. Advances in Immunology, a"fi-^,rr1J
diseases. N Engr
I Med 345 (5): 3a0-3s0.
Ginsterg I. 2003. Diagnosis and management of Grave,s disease. Canadian
medical
association journal 168: 575-585.
Greenspan FS' 2004. The thyroid grand. Basic & Crinical Endocrinolog.y 7rh ed. The
-, McGraw-Hill2002.
Hershrnan-JM
Companies, editors Greenspan FS, Gardner DG, pp Z1OTZZO.
Hypothyroidism and hyperthyroidism. lutanuat of Endocrinorogy
and Metabolism 3rd ed. Lippincott wilriams&wilkins, editors Lanvin N,
pp a00-
4.09.
HewardJ M, Allahabad'aA,ArmitageM,et ar.1999. The Development
of Graves, Disease
and the crLA- Gene on Chromosome 2 q33. Ctin Endociior Metab g4:
I 2398-240r.
Karasek M, Lewinski A. 2003. Etiopathogenesis of Grave,s disease.
Neuroendocinorogy
letters 24..16I-166.
Kretowski A, Natalia w, Mironczuk K, e t aI.200z.Interceliular AdhesionMolecule
1 Gene
Polymorphisms in Graves' Disease. Trte
lournal of Clinical Endocrinology €t Mrtobolirm
88:4945-4949.
M"lj:J9 cA. 2001. Hyperthyroidism, Thyroid storm and Grave,s Disease. eMedicine
2(6):1-12. I
Prabhakar BS, Bahn RS, smith rJ. 2003. current perspective
on the pathogenesis of
Graves' Disease and Ophthalmopathy. Endocine Reiiaos 24: g02_835.
Rapoport B, Chazenbalk G D, Jaume J C', et aI. (199g). The Thyrorropin
(TSH) Reseptor:
Interaction with rsH and Autoantibodies. Endocrine R
Rapoport B, Mclachlan sM. 2001. Thyroid autoimmunity."ui"*,l,o6,,izz-its.
J.Crin.In)est. 108 (9): 1253-
1259.
Tonier Y, Davies TF. 1993. InJection, Thyroid Disease and Autoimmunity.
Endocine
rea iew s 1 4 ('l): 707 -11 6.
wartofsky L (1998). Diseases of the thyroid. Harrison's principles of Intemal
Medicine
14th ed. McGraw-Hill, editors Fauci As, Braunwald E,
Isseltacher i1, et i., pp zOlZ_
2027.
" Weetman AP. 2000. Grave's disease. N EngI I Med343:1236_124g.
wiyono P. 20O5._Patogenesis penyakit Gralves. Temu Ilmiah dan simposium Nasional IV
Penyakit Kelenjar Tiroid. Semarang 23_24 April 2005.

Patogenesis Penyakit Graves


Thyroid Storm: Pothogenesis qnd Treqtment
(Formulos TS/,l668.24.6 ond C5.7.3.7 os Procticol Guidelines)

Askondor Tiokroprowiro
' Division of Endocrinology ond Metobolism - Depi of lnternol Medicine
Dr. Soetomo Teoching Hospifol - Airlonggo University School of Medicine, Suroboyo

SUMMARY
Thyroid Storm (TS) or Thyroid Crisis (TC) is a sudden, life-threatening
thyrotoxicosis or those who are previously unrecognized thyrotoxicosis.
The clinical f.eatures seen in uncomplicated thyrotoxicosis are generally
present and often accentuated in TS, or TS is the most extreme
decompensated state of thyrotoxicosis. In the past, TS commonly was
observed during thyroid surgery, but today, TS occurs more commonly
as a medical rather than a surgical crisis.
The clinical picture relates to severely exaggerated effects of thyroid
hormones (THs) can be categorized into dysfunctions of 4 cardinal
systbms: 1,. Thermo-Regulatory System (temperature frequently
exceeds 38.5'C, even higher than 40'C), 2. Central Nervous System
(agitation, delirium, seizure, coma), 3. Gastrointestinal-Hepatic System
(diarrhea, vomiting, abnormal pain, jaundice), 4. Cardiovascular
System (tachycardia, high-output heart failure, cardiac arrhythmia,
atrial fibrillatiory cardiac arrest, etc).
To date, 24 known precipitants of TS can be summarized in this
paper. The Burch-Wartofsky-Point Score (BWPS) has been widely used
in Surabaya since 2002 as a device of diagnostic criteria for TS. A score
of 45 or greater is highly suggestive of TS. A score of 25644 is suggestive
of impending TS, and a score below 25 is unlikely to represent TS.
On the basis of clinical experiences, Formula TS 41,668-24-6
(originallyi Formula 431,668 has been used since 2002) has been used as
of 2005 as specific practical guideline in the treatment of TS and as its
therapeutic cliriical outcomes.
The FormulaTS 41668-24-6 canbe shortly described below.
@ means: {00 mg loading dose" of PTU, with maintenance dose:

1L
100-200 mg PTU 4 hourly. Alternatively, methimazole" 40 mg as a
loading doi can be givery with maintenance dose L0 mg { hourly'
O ieutr' pTU should be administered at least t hour before giving
iodine to, establish blockade of hormone synthesis via the wolft-
Chaikoff effect.
The*first @ means: 6 drops of Lugol's solution or SSKI ! hourly to
inhibit TH release from thyrbid gland and should be evaluated after 6
days.
The second @ means: administration 10-40mg propanolol (for
sympathetic blockade) 6 hourly to decrease heart rate, myocardial
ctntractility, blood pressure,- and myocardial oxygen demand'
Reevaluation of propinolol administration should be done after 6
days.
The general supportive therapy should be well included in the
specific i-t"urrrr"r, *hile this Formula is being performed'
^ means: 100-200 mg i.v. hydrocortisone hemisuccinate or 2 mg
@
i.v. dexamethasone or 25 mg i.v. methylprednisolon 8 hourly to block
the conversion of T4 to T3. Formula cs 737 can be used as a rule for
the administration of corticosteroid (CS). Stress doses are required to
replace accelerated production and degradation of cortisol induced by
TH.
@ means: with adequate thyroid-suppressive therapy and
sympathetic blockade, clinical improvement should occur within 24
hours.
The last @ means: adequate therapy should resolve the TS within
6 days.
" ionclusions-Thyroid Storm or Thyroid Crisis is a sudden, life-
threatening exacer6ation of thyrotoxicosis (mostly), however' it may
happeninfatientswho are not previously diagnosedwiththyrotoxicosis.
Diagnostic criteria for thyroid storm by using Burch-wartofskY-Point
Scoie (BWpS) is feasible in daily clinical practice. Formula TS 41668-24-
6 can te used as a practical guideline of specific measures of thyroid
storm and evaluation of its therapeutic clinical outcomes. To prevent
the occurrence of adrenal gland dysfunction, Formula CS 737 may be
used as a"rtJle" in the administration of corticosteroid.

72 S ei-1. Endokin -Metab olik


INTRODUCTION
Thyroid Storm (TS) or Thyroid Crisis (TC) usually develops after
some specific precipitating event such as infection, sepsis, iru.r,^u,
cerebrovascular accident, or radioactive iodine therapy, etc (Table 1).
Thyroid Crisis may present as the so called *urt or apapthic
thyrotoxicosis (Ghobrial et a\.,2002), in which case signs"a
and symptoms
of the patient may be subtle, or not previousl/ diagnosed with
thyrotoxicosis (Hughes et al., 2003).
- T" clinical
thyr6id
picture reflexes to severely exaggerated effects of
hormones (THs). Heat intoletun." utid" diaphoresis are
common in simple thyrotoxicosis but manifest as hyperpyrexia in TS.
The temperature is consistently higher than 38.5t, b'ut frequently
exceeds 40'C. Excessive sweating may be frequently exist. In udditlon
to- the Jhermoregulatory dysfunction, other cirdinil systems, such
as
CNS, Gastrointestinal-Hepatic System, and Cardiovascular Svstem are
fundamentally involved
Diagnosis of rs is primarily clinical based, and no specific laboratory
tests are available. Flowever, Burch-wartofsky point score (BWps) can
9:^::"d as diagnostic criteria for TS (Burch it oI.,I99Z;Tiitgens et al.,
1e95).
Formula 41668 (Tjokroprarairo, 2002) and the revised Formula TS
41,668-24--6 (Tjokroprawiro,200s) have been routinely used in surabaya
as guidelines of specific treatment of rs and foi evaluation of its
therapeutic clinical outcomes.
Thyroid Crisis is an acuG, life-threateningemergencywith extremely
"high mortality (90%) in usA if early diagnosis ii noi made and rhe
patients is left untreated. However, with better control of tyrotoxicosis
and early treatment of TS, the mortality has decreased io less than
20%.
This paper is intended for residents of internar medicine, intemists,
candidates of endocrinologists, and associated specialists, to recognize
the rational therapy of TS, the Formula TS 41,62g-24-6 as its practical
guidelines and to know how to apply the Formul a CS 73i for the
rationale administration of corticosteroid treatment.

Thyroid Storm: Pathogenesis and Treatment 13


PATHOGENESIS OF THYROID STORM OR THYROID CRIsIs
The following hypothesis or theories of the pathogenesis of thyroid
storm (TS) harr" be"n proposed (Tietgens et ct\.,1995; Singhal, 2003)'
1. The rar:iditv with which the hormone levels rise may be more
imp-ortant ihan the absolute levels in determining the clinical
presentation. One mechanism for a sudden change in hormone
ievels would be a change in the levels of the binding protein
(Colebunders et aL,1984). A drop in binding proteins,-which might
occur postoperatively, might cause a sudden rise in free hormone
levels. A ,upid rir" in TH levels also may occur when the _gland
in manipulited during surgery or by vigorous palpation during
physicaiexamination. fhis hus been noted to occur postoperatively
'ani
in patients with systemic nonthyroidal illness. The production of
thyroid hormone-binding inhibitor(s), which has been demonstrated
in the sera from several patients with nonthyroidal systemic
illnesses, could decrease the binding affinity of thyroid hormones
and increase free hormone levels. Hughes et aI. (2003) reported
thyroid crisis, a 55-year-old women, following a tibial fracture, who
was not previouslydiagnosed with hyperthyroidism, experienced a
cardiac arrest secondary to thyroid crisis.
2. Adrenergic receptor aciivation is another hypothesis. In this theory,
sympathetic tt"trr"t innervate the thyroid gl1nd, a1d catecholamines
can itimulate TH synthesis. This increased TH then increases the
density of beta-adrenergic receptors, thereby enhancing the effect
of catecholamines. ThiJhypothesis is supported by the dramatic
" ,"rporr" of TS to beta biockers and the occurrence of TS after
accidental ingestion of adrenergic drugs such as pseudoephedrine'
3. The last proposed theories include: tissue tolerance to THs; presence
of a unique catecholamine like substance in thyrotoxicosis; a direct
ty-puthb-lmetic effect of TH as a result of its structural similarity
to catecholamines.

Mostly, FT3 and FT 4 correlate poorly with severity of clinical


maniflstation: condition is essentially an inability of end-organs to
modulate their response to excess thyroid hormone'

S ei-L En dokin - Me t ab olik


14
I.ABORATORY STUDIES
1. Never forget that the diagnosis for thyroid crisis is clinicaliy based;
no laboratory tests are diagnostic.
2. If the patient's clinical picture is consistent with thyroid crisis, never
dglay treatment to await laboratory confirmation of thyrotoxicosis.
3. Thyro.id Studies
a. f{esuit of thyroid studies usually are consistent with
hyperthyroidism and are useful only if the patient has not been
diagnosed previously.
6. Test results may not come back quickly and usually are unhelpful
for immediate management
c. Usually findings include elevated triiodothyronine (T3) and
thyroxine (T4), elevated free T4, increased T3 resin uptake,
suppressed TSH, and an elevated 24 hours iodine uptake. TSH is
not suppressed if the etiology is excess TSH secretion.
d. CBC reveals mild leukocytosis, with a shift to the left.
e. Liver function tests commonly show nonspecific abnormalities
such as elevated alanine aminotransferase (ALT), aspartate
aminotransferase (AST), lactate dehydrogenase (LDH), creatin
kinase, alkaline phosphatase, and serum bilirubin (jaundice may
be present).
t. Blood gases, electrolytes, and urinalysis testing may be performed
to assess and monitor short-term management.

KNOWN PRECIPITANTS OF THYROID CRISIS OR THYROID


STORM
In most cases of Thyroid storm (TS) or Thyroid Crisis
frC), precipitating
events (precipitants) can be identified. Known precipitants of rS
@urch
et aI., 1993; Tietgens et aI. 1995; Hall et al., 1999, Turner et al., 2003,
Greenspan et al., /004) can be summarized as seen in Table 1..

Thyroid Storm: Pathogenesis and Treatment 15


TAELE -I {e{l Knotur Precipitans uf Thyroitl $torm
FurEh stall SS$,TieUent st al .|995, Het etil t gggrTumtt stal t00$, GIEensFan etal t004
lsummariEed :Tjolrmpratlio e00t t 005]
-

In thyroid crisis, the fever and tachycardia tend to be out of


proportion to the illness

EFFECT OF PREGNANCY ON THYROID FUNCTION


Due to the involvement of parturition, toxemia of pregnanc!, and
childbirth in the Table 1, the effect of pregnancy on thyroid function
should be recognized (Turner et a1.,2003; Summarized,2A0S)
A. Normal
L. Thyroid Stimulating Hormone (TSH) within normal limit in
pt"gttut"y. However, suppressed in135% in L't trimester,4'5%
in 2id trimester and 1'.2% lr:-3'd trimester due to hCG thyrotropic
effect. Positive correlation between FT4 and hCG levels and
negative correlation between TSH and hCG levels in first half of
pregnancy.
2. Thyrotropin Releasing Hormone (TRFD Normal
C. Decreased
L. Iodide stores. Decrease, due to increased renal clearance and
transplacental tr.ansfer to fetus'

16 Sei-1 Enilokin-Metab olik


D. Increased
1. Thyroid Size. Increase in thyroid volume by 10+20% due to hCG
stimulation and relative iodide deficiency
2. Thyroglobulin. Increase corresponsds to rise in thyroid size
3. Thyroid Binding Globulin (TBG). Twofold increase in
* concentration as a result of reduced hepatic clearance and
.increased synthesis stimulated by estrogen. Concentration
plateaus at 20 weeks of gestation, and falls alain post partially.
4. Total T4 and T3. Increased concentrations, corresponsding to
. rise in TBG
5. Free T4 and T3. Small rise in concentration in the first trimester
due to hCG stimulation then fall into normal range.

AMIODARONE AND THYROID FUNCTION


Amiodarone is also listed in the Table 1, hence, the effects of this drug
is shortly be low (Greenspan et aI., 2004, Summarized ,2005).
Amiodarone contains 39% iodine by weight. On a dose of
amiodarone between 200e600 mg daily, 7e21"rng iodine is made
available each day (the optimal daily iodine intake is 150f200 pg).
Amiodarone is distributed in several tissues from where it is slowly
released. Importantiy, the terminal elimination halflife of amiodarone
averaged 52.6 days with a standard deviation 23.7 days.
Abnormalities of thyroid function occur inup to507o of patients. Inthe
UK and USA,2% of patients develop thyrotoxicosis (AIT = amiodarone-
induced thyrotoxicosis) and about 13% develop hypothyroidism
(AIH = amiodarone-induced hypothyroidism). However, AIT occurs
more frequently in regions with low iodine intake.
A]T may present several months after discontinuing the drug (long
halfJife); AIH is conunoner in women and in patients with thyroiJ
auto antibodies.
Thyroid function tests should be monitored every 6 months in
amiodarone treated patients.
The high iodine content of amiodarone may inhibit TH synthesis
and release of TH causing AIH, or loading to iodine-induced
thyrotoxicosis.
Thyrotoxicbsis resulting from iodine excess (induced TH synthesis)
is referred to as AIT Type-I, whereas thyrotoxicosis due to a direct toxic
effects of amiodarone'ii referred asJo AIT Type-II (Table 2).

Thyroid Storm: Pathogenesis and Treatment 17


TABLE 2. Characteristics of Amiodarone induced Thyrotoxicosis

AIT Type-l AIT Type-ll

Aetiology lodine toxicity Thyroiditis


Signs of clinical thyroid disease Yes No
Goiter Frequent lnfrequent
Thyroid ?ntibodies Positive Negative
Radioiodine uptake Normal Decreased
Thyroglobulin Normal or slightly elevated Very elevated
Serum lL-6 Normal Very elevated
Late hypothyroidism No Possible
Vascularity (Doppler) lncreased/Normal Reduced

Drug induced destructive thyroiditis results in leakage of thyroid


hormones from damaged follicles into the circulation, and like subacute
thyroiditis can be followed by a transient hypothyroid state before
euthyroidism is restored.
N4ut ug"-"ttt of Amiodarone-induced Thyrotoxicosis is briefly
described below (Greenspan et a1.,2004, Summarized, 2005).
1.. Stop amiodarone if possible
2. Institute p-blocker therapy if possible
3. Antithyroid drugs: TapazoLe,40e60 rl:.g/dl
4. Potassium perchlorate,200 mg every 6 hours
5. Cholestyramine or Colestipol,20430 g/ d
6. Prednisone,40 mg/ d, for acute thyroiditis (Monitor IL-6 levels)
7. Thyroidectomy

DIAGNOSTIC CRITERIA FOR THYROID STORM


The diagnosis of thyroid storm (TS) or thyroid crisis (TC) is clinically
based, und th"ru is no one specific set of diagnostic criteria that can be
used reliably to make the diagnosis in all patients. Burch and wartofsky
(1993) have devised a diagnostic point scale (Burch-Wartofsky Point
Score = BWf€) to dislinguish uncomplicated thyrotoxicosis, impending
TS, and established TS on a semi quantitative basis (Table 3)'
There are no laboratory criteria to diagnose TS, although patients
have findings consistent with thyrotoxicosis.
As seen in Table 3, in patients with severe thyrotoxicosis, points
are assigned to the highest weighted description applicable in each
categoqi and scores to6led. When it,is not possible to distinguish the

18 S ei-1 Endokin-Metab olik


TABLE 3.
Diagnostic Criteria for Thyroid Storm or Thyrold Crisis
(Burch and WirtofsXy, 1993, Summaiized: Tjokroprawiro 2005)

Thermoregulatory Dysf unction Cardiovascular Dysf unction


Temperature 1. Tachycardia
37.2-37.7 "C 5 99-1 09 5
3L8-38.3'C 10 110-119 10
38:4-38.8'C 15 120-129 15
38.9-39.4'C 20 1 30-1 39 20
39.5-39.9'C 25 >140 25
> 40'c 30 2. Congestive Heart failure
Central Nervous System Effects * Absent
* Absent 0 * Mild
0
* Mild
5

* -Moderate
10 Pedal edema
- Agitation
* Moderate 10

*-
Bibasilar rales
- Delirium Severe 15
- Psychosis - Pulmonary edema
- Extreme lethargy 3" Atrial fibrillation
* Severe * Absent
30 0
- Seizure * Present '10
- Coma
Gastrointestinal-Hepatic Dysf unction Precipitant History
* Absent
* Moderate
0 " Negative 0
10 * Positive
10
- Diarrhea
- Nausea/vomiting
- Abdominal pain
i SeVere 20
- Unexplained jaundice
A score of 45 or greater is highly suggestive of thyroid crisis
A score of 2544 is suggestive of impending thyroid crisis
A score below 25 is unlikely to represent thyroid crisis

effects of an intercurrent illness from those of the severe thyrotoxicosis


per se/ points are awarded such as to favor the diagnosis of storm and
empiric therapy. A score of 45 or greater is frghly suggestive of
fence.
thyroid crisis, a score of 25f44 is suggestive of impe"a*s stiim, and a
score below 25 is unlikely to represent thyroid criiis.
In thyroid crisis: fever and tachycardia tend to be the two most
important points

Thyroid Storm: Pathogenesis and Treafment t9


MANAGEMENT OF THYROID STORJ\A
The management of thyroid crisis (TS) can be classified into Supportive
"Specific
Care and Meisures (Burch et aI., 1993; Tietgens et ql', 1995;
Tjokroprawiro 2002, 2005; Belchet et ql', 2003; Hughes et aI', 2003;
SinghJei aL 2003; Turner et ctl 2003-, Greenspan et a\.2004)

SUPPORTTVE CARE OF THYROID STORM


The general supportive therapy may include:
1. NG-tube is essentially needed for oral medicines
2. Fluid balance, Glucose Infusion for nutrition
J. Oxygen
4. Cardio respiratory status
5. Cooling Blanket
6. Acetariinophen (Avoid Aspirin: since this drug will displace T4 from
TBG, resultlng in an increase in FT4 serum levels. Chlorpromazine
(50-100 *g LM) can be used to treat agitation and because of its
effect in infribiting central thermoregulation, hence it may be useful
in treating the hyPerPYrexia.
7. phenobaibitat. it-may be a useful sedative since it stimulates T4
metabolism via the hepatic microsomal enzyme system'
8. Multivitamin

EPEC|TIC MEASURES OF THYROID STORM


on the basis of clinical experiences, Formula TS 41668-24-6 orTC 4L668-
24-6 (Tjokroprawiro 2005)has been routinely used in Surabaya, and the
drugs should be given in a sequent number of such a Formula
"rr"rrtill
as described below:
The Formula TS or TC 4\668-24-6 (Tjokroprawiro 2005), the revision
of the previous Formula a1'668 (Tjokropraroiro 2002) is a practical
guideline of the specific measures of TS and can be used to reach the
desired clinical outcomes'
The description of this Formula can be followed bellow'
l

of PTU 100-
@ *"urrr, 400 mg loading dose of PTU, with maintenance
200 mg ! hourly. piU is given to inhibit synthesis of TH by preventing
organfrcatlon and trapping of iodide to iodine and by inhibiting

20 S ei-L Endokin-Metab olik


coupling of iodotyrosines; also inhibits peripheral conversion of 14 tc
T3, an important component of management. Methimazole: inhibits
synthesis of TH by preventing organifiiation of iodide to iodine and
of iodotyrosines. Although at least 10 times more potent than
1o_tlgiing
PTU on a weight basis, it does not inhibit peripheral conversion of 14
to T3.
Initial dose of methimazole: 40 mg per oral, with maintenance dose:
10 mg every 4 hours.
@ means: minimally L hour after initiation of pTU, iodides may be
started
The first @ means: g drops 6 hourry of Lugol's solution or ssKI can
be started L hour after PTU, and should be eviluated after 6 days. High
concentrations of iodides will inhibit the synthesis of thyroid hormone
(wolff-Chaikoff effect) and also the release of TH from the thyroid
gland. Lithium carbonate also can be used if patients is hypersensitive
to iodine
The second @ means: every 6 hours, I0e40 mg propanolol orally
should be given to decrease heart rate, myocardial-contractility, blooi
pressure/ and myocardial oxygen demand. Reevaluation shouldbe done
after 6 days administration of propanolol or 0.561 mg intravenously
every 3 hours, monitoring its effects of cardiac rate. -Beta blocker is
mainstay therapy to control autonomic effects of TH. It also blocks
peripheral conversion of T4 to T3. Esmolol, a short-acting selective beta
1-antagonist, has been used successfully in childrer; ur f,u, labetalol in
adults.
Propanolol is often the only adjunctive drug necessary to control
"thyroid crisis. .

@ means: 100e200 mg intravenous injection of hydrocortisone


hemisuccinate, or 2mg intravenous injection of dexameihasone every
8 hours to block the conversion of 14 to T3. use of steroids has been
associated with improved survival. stress doses are required to
accelerated production and degradation of cortisol iniuced by
fqlT-"
TH. If steroids are not administered,lcute glucocorticoid deficiency
theoretically might occur because demand riay outpace production.
steroid may, suppress immune function, but benefit -outweigtr risk in
serious conditions such as thyroid crisis.
@ means: with such u t"gi*ut, clinical improvement should be
achieved within 24 hours.

Thyroid Storm: Pathogenesis and Treatment


27
The last @ means: adequate therapy with such a regimen should
resolve the crisis within ! days. The precipitant of the thyroid storm is
often the cause of death.
If indieated, cholestyramine or colestipol can be given 20+30 glday
(Greengran et aI. 2004).
' Initillty,.for life saving, the timing of corticosteroid (CS) injection
can be done "out of rule; (anytime, but with fixed 8 hours interval).
For further administrations oi corticosteroid (CS), and to avoid the
occuffence of to the adrenal gland dysfunction, then follow the Formula
cs737.It means: the first injection of CS is administered at 07.00 a.m.,
the second at 13.00 (01.00 p.m.) and the third injection is done at-17.00
(05.00 p.m.). Rapid dosage reduction should be done as the clinical
situation improves.
The tapeiing-off regimen of CS administration: the third injection
(17.00) should 6e firstly omitted, and then followed by the second one
(rS.OO), and finally the omission of the first injection (07'00)'

REFERENCES
Diabetes and
Belchetz P, Hammond PJ. 2003. Thyroid. Mosby's color Atlas and Text of
Endocrinology 1, 169.
l
Burch HB, Wartoisty lf Wa;. Life-threatening thyrotoxicosis: Thyroid Storm.
Endocrinol
Metab CIin North Amer 22'263'
hormones
Colebunders & Bordoux P, Bek aerl!, et aL (1984). Determination of free thyroid
and their binding proteins in a patients with severe hyperthyroidism (thyroid
storm?)
and thyroid enaphalopathy. J Endocrinol Invesl,7,379'
Ghobrial IrtW, n"U1i EB (2002i. Come and Thyroid Storm in Apathetic Thyrotoxicosis.
e SouthMedJ95,552.
GreenspanFS,iardnerDG (2004). EndocrineEmergencies. Basic & ClinicalEndocrinology
7,867,
schmidt GA, wood LDH (1999). Thyroid Disease. Principles of Critical care
2,
Hall JB,
715.
Hughes sCA, David LA, Turner R (2003). storm in a T-CUP: thyroid crisis
following
trau*a. Injury, IntJ Care Injured 34, 946.
SubranranianS,HoltAF(2005).Hyperthyroidismlrr:TheWashingtonManual
TJ, Bickel
Endocrinology Subspeciaity ionr.tit-. Ediiors: Hendersons KE, Baranski
PE. Lippincot Williams & Wilkins, p. 39'
singhal A,'Campbell D (2003). Thyroid storm. www.emedicine.com/Ped/toPic2247.
htrn.
fietffi S, Leinung MC (1995). Thl'roid Storm' Med Clin of N Amerfor99'the
169'
Treatment of
ii;t:;#. e r'u"iical'Guidelines with Formula 41668
' rtyroia crisis.15ooz;.
clinlcal Experiences: Moming Report Dept, of Intemal Medicine,
Aiilangga University School of Medicine, Surabaya 4 February'

22 S ei-L Endokin-Metabolik
Tjokr_oprawiro A (20054). Thyroid storm: a Life-ThreateningThyrotoxicosis (Therapeutic
Clinical Experiences with Formula TS 41'668-24-6). ThJ 4th'National symposium on
Thyroid Disease. Semarang 23-24 April.
Tjokroprawiro A (20058). Thyroid Crisis: a Life-Threatening Thyrotoxicosis (Therapeutic
clinical Experiences with Formula Tc 41668-24-6). worishop on Diagnosii and
Treatment Modalities of Thyroid Disease. Held by Division oi Endocrinology and
l\4eiabolism, Department of Internal Medicine - Airlangga university school of
Medicine - Dr. Soetomo Teaching Hospi tal. Surabaya, T May .

Tjokr^gpraryrry A (2005c). Thyroid Crisis: a Life-Threatening Thyrotoxicosis (Therapeutic


Clinical Experiences with Formula TC 41668-24-6). preiented at the Morning Report
Dept. of lntemal Medicine, Airlangga university school of Medicine. surabayi tB
Iuly.
Tjok6prawiro A (2005D). Thyriod storm: a Life Threatening Thyrotoxicosis (Therapeutic
Guidelines with Formula TS 41668-24-6). presented ai workshop and Hands - on
Experiences v rhyroid surgery. school of Head and Neck surgery for General
Surgeon. Surabaya, 22-24 August.
Turner HE, wass JAH (2003). Thyroid storm. oxford Handbook of Endocrinology and
Diabetes 1,35.

Thyroid Storm: Pathogenesis and Treatment 23


Thyroid Eye Diseqse: Pothogenesis qnd
Treqtmenf
(From Bosic to Clinicol Experiences with Formulos
CS-7.3.7 ond CS.5.3.2)

Askondor Tiokroprowiro
division of Endocrinology ond Metoboiism - Depi of rniernol Medicine Dr. soetomo
Teoching Hospitol - Airlonggo University School of Medicine, Suroboyo

SUMMARY
Most patients with Graves' Disease (GD) have diffuse goiter, Graves'
opthalmopathy, and localized dermopathy (most commonly in the
pretibiai areas as pretibial myxedema). Graves, opthalmopathy (GO) or
Graves' orbitopathy (Go) or Dysthyroid Eye Disease (DEb) oi recently
called thyroid eye disease (TED)represents the mostfrequent (35 - 507")
and the principal extuathyroidal manifestation of GD.
Thyroid eye disease (TED) is an organ-specific autoimmune disorder
characterized by the 3 principal hallmarks, such as increased size of
extracellular muscle, abundance of retrobulbar fat (both components
result in swolien retrobulbar tissue and increased orbital pressure), and
lympocytic in{iltration.
There are two stages in the development of the disease; an active
inflammatory (dynamic) stage, and a quiescent (static) stage. The lesions
are largely attributable to excessive secretion of grycoiminoglycans
(GAGs) by orbital fibroblast (oFs) in response to various cylokines
(which are probably released by infiltrating T-lymphocytes in the orbit).
The GAGs attract and bind large amount of watei thus contributing to
the increased volume of affected tissues in the orbit.
The TSH-R is functional, as evident from an increase of cAMp in
response to TSH. The differentiation of preadipocyte (of TED and
normal tissue) into adipocytes is associated with i mirkedly enhanced
expression of functional TSH-R.

25
Thus, OFs may be the target cells in TED, enabling the preadipocytes,
when stimulated, to differentiate into mature adipocytes expressing
increased levels of TSH-R. One expert in TED posed the question, is
the TSH-R the long sought-after shared antigen between the orbit and
the thyroid.
Th-e- increased size of extraocular muscles and abundance of
retrobulbar fat are the hallmarks of TED which may result in several
eye change as listed in the "No SPECS" scheme. The primary clinical
features of f'EO are grittiness, lid retraction proptosis (which may result
in exposure keratitis, periorbital edema, and chemosis), extraocular
*rlr.i" dysfunction (diplopia), severe conjunctival pain (due to corneal
ulceration), and persistent visual blurring or sight loss (indicates an
- neuropathy).
optic
The diagnosis of TED is usually easy if the patients are known to
suffer GD. Ho*"rrer, if such is not the case, in patients with unilateral
proptosis is needed for differential diagnosis. CT or MRI scan of the
orbit can be useful in difficult cases.
Treatment of TED, depends on its severity, and can be classified into
medical and surgical managements. Majority of patients with TED do
notrequire surgiial treatment, and the 3 groups of medicines formedical
,r,uruj"-"nt cin be used in clinical practice, such as: corticosteroids
(CS), intioxidants and cytokine antagonists, and somatostatin analogs.
Orbltil radiotherapy cin be done by radiologists, whereas orbital
decompression, extiiocular muscle and eyelid surgeries are experienced
for optiralmologists or plastic surgeons. Stop smoking is an obligatory
in the management of TED Patients.
' Clinical E*periences by CS with formulas CS-7.3.7 and CS-5'3'2,
and antioxidant vitamins will be presented and briefly described in
this paper. Patients were treated with oral methyl prednisolone ,24 tng
dally (s mg tid) as an initial dose in the first day, with gradual tapering
and'withdiawal after 1S6 months (depends on the severity of TED)'
In conclusion - TED or GO is an organ-specific autoimmune
disorder characterized by swollen retrobulbar tissue and increased
orbital pressure with lymphocytic infiltration which may result in
crittv eyelid retraction, redness of the eyes, proptosis - exophthalmus,
diplopia,
ieriorUitat edema and chemosis, impaired muscle mortality -
and in severe ca'se, optic nerve dysfunction ('NO SPECS" scheme)' The
mature adipocyte oFs with excessive secretion of GAGs in TED, may
be the targlt cells in TED; functional TSH-R plays important role in

25 S ei-L Endokin-Metab olik


differentiating preadipocytes oF into mature adipocytes (that secretes
GAGs excessively). on the basis of clinical experiences, the medical
treatment of mild to moderate TED with oral methyl prednisolone
by using Formula CS-7.3.7, CS-5.3.2, stop smoking, u'.i antioxidant
vitamins often resolve clinical improvement and better TED-euality
of Lffe (TED-QoL).

INTRODUCTION

lhyroid Eye Disease (TED) or Graves' Ophthalmopathy (GO) or


Graves' Orbitopathy (GO) is clinically evident in abbut'SS-SOZ of
patients with Graves' Disease (GD). The incidence of rED (wiersinga ef
cr|.,2001,, Burch et al., \993, Jameson et a1.,2005) seems to have declined
in recent years for reasons that could be due to earlier diagnosis of
hyperthyriodims (since the introduction of sensitive TSH assays in the
late 1980s); alternatively, smoking, which takes a considerabre risk for
developing TED, might be involved (Shine et aL, 1990; prummel et al.,
19_93). Most patients have mild rED not requiring specific treatment,
while approximately 5% have severe potenliaily-sight - threatening
ophthalmopathy (Burch et aL,1993, Krassas et at.,2001).
- The TED is an organ specific autoimmune disorder characterized by
the increased size of extraocular muscles and abundance of retrobulbar
fat (the hallmark of TED), late fibrosis, and lymphoytic infiltration
(Turner et a\.,2002; Krassas et al., 20AS).
There are two stages in the development of TED (Turner et aI.,
2002):

1. Active inflammatory (dynamic) stage


2. Quiescent (static) stage.
The lesions of TED are due to accumulation of glycoaminoglycans
(GAGs) which excessively secreted by orbital fibroblast (OFs)
About 5% of patients with GO have hypothyroidism and. S% are
eu-thy1oid, 75% of patients develop Graves'"diseaie within a year either
side of Go developing. Bartley et at,, (1996) found that of 120 cases of
TED, 90% had hyperthyroidism, 5.8% euthyroid, B.B% Hashimoto,s
thyroiditis, and 0.8 % were hypothyroidism. The occurrence of euthyroid
or even hypothyroid TED will be shortly described in Figure 1.
The functional TSH-R, as evident from an increise of cAMp
in response to TSH, - has an important role in differentiating of

Thyfoid Eye Disease: Pathogenesis and Treatment 27


preadipocyte orbital fibroblast (OFs) into mature adipocytes. Hence,
the subpopulation of OFs may be the target cells in TED.
The ilinical features of TED are mainly due to the swollen retrobulbar
tissues and increased orbital pressure.
Corticosteroid (CS) with calcium supplement (for long term
treatnient with CS), antioxidant vitamins, somatostatin analogs and
orbital radiotherapy (OR), or combined therapy, are most frequently
used in medical treatment for their immunosuppressive effects.
Alternatively, orbital decompression, extraocular muscle surgery, and
eyeli*surgery can be done in surgical management
The aim of this paper and was, to deliver the basic knowledge of
TED and its management to GPs, residents of internal medicine and
associated disciplines, internists, ophthalmologists, radiologists and
other associated specialists.

PATHOGENESIS AND CUNICAi. FEATURES OF THYROID EYE


DISEASE
As seen in Figure 1 the pathogenesis of TED can be easier understood
in a mechanistic sense (Papa et aI', 1998; Khoo ef al', 1999; Valyasevi
et a1.,1999, Akamizu et a1.,2000). The full-length TSH-R is expressed at
the messenger RNA and protein level in orbital adiposes or connective
tissues of pitients with TED but scarcely in that of controls. The TSHR
is functional, as evidence of an increase of cAMP in response to TSH.
The functional TSH-R plays an important role in differentiating of
preadipocyte orbital fibroblasts (OFs) into mature adipocytes. The OFs
are capable of producing glycoaminoglycans (GAGs) in response to
various cytokines. These cytokines are probably released by infiltrating
TJymphocytes in the orbit.
Or6ital connective tissue GAG amounts to 254 pg/g wet tissue
in patients with TED and only 150 1tg/g in controls; the higher GAG
content in TED is largely due to an excess of chondroitin sulfate and
hyaluronic acid. The GAGs osmotically lead to their attracting and
binding large amounts of water, and may results in the increased
volume of affected tissues in the orbit, and finally TED may pursue'
The swollen retrobulbar tissues, and increased retrobulbar pressure
are all components responsible for the clinicdl features of TED, f.e:
grittiness, t"dtruss of the eyelid retraction, proptosis wh-ic! may result
in keratitis," periobirtal edema and chemosis because the
"*por.tt"
28 S ei-1 En dokin- Metabolik
displaced orbit results in less efficient lachrymal drainage, dipropia (due
to restriction of the extraocular muscle). Persistent visual blurring may
indicate an optic nerve dysfunction (severe case). severe cunlunctivil
pain may indicate corneal ulceration requiring urgent reierral to
ophthalniologist.
The "NO SPECS" is the scoring system used to gauge the extent
and activity of the orbital changes in Graves' disease. fhe oNO SPECS.
scheme is an acronym derived from the following classes of eye
change:

0; \osigns or symptoms
1: Qnly signs (lid retraction or lag), no symptoms
2: Soft tissue involvement (periorbital edema)
3: Proptosis
4: Extracellular muscle involvement (diplopia)
5: Corneal involment
6: Sight loss

The occurrence of euthyroid or even hypothyroid TED seems to be


irrationale. However, the presence of TSH-R Blocking Antio-odies (TBAs)
ca1 be postulated preventing the development of hyperthyroidism
(Akamizu et a1.,2000) but will they not also block the eifects of thyroid
stimulating antibodies (TSAbs) in the orbit (Figure 1).
. Krassas et al. (2005) posed the question, is the TSH-R the long sought-
after shared antigen between the orbit and the thyroid? Recent studies
seem to favour this hypothesis. In patients with untreated Graves'
hyperthyroidism, the prevalence of TED increases with elevating
TSAbs levels (Khoo et a1.,1999) as seen in Figure L.
The diagnosis of TED is usually easy in patients who are known to
have Graves' disease. According to Krassas et al. (2005), the diagnosis
of rED is confirmed if there are abnormal thyroid function, proptosis,
optic neuropathy or restrictive myopathy in patients with eyelid
retraction.

TREATMENT OF THYROID EYE DISEASE


Medical treatment (corticosteroid = CS, orbital radiotherapy = OR,
antioxidant vitamins and cytokine antagonists, somatostatin analogs)
and surgical treatment (orbital decompression, extraocular muscle
surgery, eyelid surgery) reviewed by Krassas et aL (2005) is briefly and

Thyroid Eye Disease: Pathogenesis and Treatment 29


@. ..frB-A'l

Thyroid Hormone
Preadioocvtes Mature Adioocvtes
OFs OFs

TJymphocites I v;"*l
In the Orbit I Cytokines I

a
A
I
OFs
I Excessive Secretion of GAG
Chondroitin Sulfate and Hyaluronic Acid'
CORTICOSTEROID

CYTOKINES ANTAGONIST
Attracting and Binding
Note: Large Amount of Watet
TSH: Thyroid Stimulating Homone
TSAbs = Thyroid Stimulating Antibodies
TSH-R = Thyrotropin Stimulating Hormone - Receptor
TBAs = TSH-R Blocking Antibodies
OFs = Orbital Fibroblasts
GAGs = Glycoaminoglycans

..-+ Stimulate
.....) Inhibit

Figure 1. Hypothetical Patogenesis ol Thyroid Eye Disease.


Papa 1 998, Khoo 1 999, Valyasevi 1 999, Gerding 2000, Akamizu 2000, Krassas
2005 (Surnmarized: Tjokroprawiro 2006)

30 S ei-1, En dokin-Met ab olik


selectively summarized. Therapeutical regimen of TED focused on CS
with,calcium supplement 1000 gram/day, and antioxidant vitamins
based on preliminary clinical experiences (qok op.uwiro,2004).
Corticosteroids have been used in patients wittr tso or Go since the
early 1950s and have been administered either by local (retrobulbultar
or subconjunctival injection) or systemic (mainly oral up to 15 years
ago) routes (Bartalena et a1.,2000).
Corticosteroids are particularly effective (especially forinflammatory
or dynamic stage) on soft tissue changes, recent-onset extraocular
muscle involvement and optic neuropathy, whereas proptosis and long-
9landing eye muscle involvement are poorly responsivl (Krassas et aL,
2005). Recurrence of active or inflammatory stage is a raiher corunon
problem with oral cs therapy; not only when this drug is withdrawn
for short course, but also when its dose is rapidly tafered down or
tapered off (Tjokroprawiro 2004, Krassas et a1.,2005).
The rationale use of pulse therapy (f.e intravenous injection of
methylprednisolone 15 mg/kg body weight for 4 cycles and then
7.5 mg/ kgbody weightfor 4 cycles; each cycle consisted Lf two in{usions
on alternate days at 2-week intervals) is the observation that GO, unlike
other chronic autoimmune disease, is often characterized by an acute
episode of the autoimmune process. There is evidence that rapidly
progressive autoimmune disorders, high-dose intravenous injection
of cs may achieve a more rapid and elfective immune suppression.
Intravenous CS injections have been employed in Go since tgg7 and an
overview of the published data indicates that favorable results can be
obtained in about 80% of cases (Bartalena et at.,2000). oral prednisone
'(100 mg daily, initial dose with gradual tapering and withdrawal after
5 months) combined with orbital radiotheripy (oR) have been used for
patients with severe GO by Marcocci et aL (2001).
Based on clinical experiences with mild to moderate TED or DED
or Go patients, Tjokroprawiro (200a) used oral CS combined with oral
antioxidants by using Formula cs-7.3.7 and CS-5.3.2, which will be
shortly described below.

MEDICAT TREATAAENT OF TED BY FORMUTA C5.7.3.7 AND


cs-5.3.2
since 2004, Tjokroprawiro has treated 25 patients with mild to moderate
TED will oral methylprednisolone (tablet of 4 mg) combined with oral

Thyroid Eye Disease: Pathogenesis and Treatment 31


antioxidants by using Formula CS-7.3.7 to prevent adrenal dysfunction,
and Formula C$5.3-.2 to adjust CS doses and methods of tapering
down/off of CS (Figure 2).
Based on clinical experiences, the therapeutic regimen for
patients with TED can be schemed as follows (Figure 2): GENERAL
rNgEtTTAgNT, FORMULA CS-7.3.7, AND FORMULA CS-5.3.2

@ Caleium, Limit Physical Activity' Antioxidant


Vitamini, Cytokine Antagonists, Artificial Tears, Sirnple Eye Ointmelt'.
(of needed)
Tape Evelids at Nieht. Head Elevation durins sleep. Diuretics

Formula CS-7.3.7: Timing for CS Administration

<- DirectionforTaperingDown <-

Oral Methyl Prednisolon (MP) @4


Pulse Therapy I.V or I. M 25 mg tid
(Indication: Moderate to Severe Cases)

FORMULA CS - 5.3.2 : CS Treatment for l-6 Months


- S: Oral fi'tn 5a; 4 mg 2 - 2- 2for 5 days, 2 - 2 - 0 for 5 days, Tapering down/off
- 3: Oral MP @,4mg2-2-2 for3 days, 2-2-O for3 days, Tapering down/off

- 2: Oral MP @, 4 mg 2 - 2 - 2 for 2 days, 2 - 2 - 0 for 2 days, Tapering


down/off

Finally, all Formulas G' or 3, or ) should be tapered down to moming's


dose
then
with one or half tableGf + mg fvfn, and should be taken at 0/'00 am' and
tapered offafter 1 - 6 months (depends on the severity ofTED)

Indicated for Moderate to Severe Cases of TED

Figure 2. Proposed Therapeutical Regimen for Mild to Severe Ted'


(CIinical Experiences; Tjokroprawiro 2004' 2006)

S ei-1- Endokin-Metab olik


32
GENERAL TREATMENT (Krassas et aL,2005, Turner et a1.,2002,
Tjokroprawiro 2004).
- Antioxidant vitamines, Cytokines Antagonists
- Artrficial tears and simple eye ointment
- Eyelid retraction: tape eyelid at night to avoid corneal damage
- Proptosis: head elevation during sleep, diuretics, oral steroids
(methylprednisolon)
- Ophthalmoplegia: prisms in the acute phasei etc (ophthalmoplegia)
- !ftl. neuropathy: systemic steroids

ORBITAT RADIOTHERAPY IN THE MANAGEMENT OF TED


Orbital therapy has been used for more than 60 years in the management
of TED, with an average rate of positive response of approxim ately 60%
(Bartalena e/ al., 2000).Retrobulbar irradiation did notpreventworsening
of ophthalmopathy, which occurred ln 14% of the irradiated and 16%
of the sham-irradiated patients. It was concluded that radiotherapy is
an effective treatment in mild ophthalmopathy (Prummel et a1.,2004).
Orbital radiotherapy is usually well-tolerated, but may cause
transient ocular irritation (Bartalena et al., 2003), which may be
prevented by concomitant administration of corticostercid (Marcocci et
a1.,2002).

ANTIOXIDANTS AND CYTOKINE ANTAGONISN IN THE


TREATMENT OF TED
High levels of serum thyroid hormones (Figure i) cause a
hypermetabolic state (hyperthyroidism), which is associated with an
increased generation of free oxygen radicals, which may contribute
to the manifestations of thyrotoxicosis (Venditti et al., 1gg7).In the a
prospective non randomized study the effects of a 3-month course of
allupurinol (300 mg/day) and nicotinamide (300 mg/day) is placebo
in 2 groups of patients with moderate-severe TED were investigated
(Bouzas et aL, 2000). This study resulted in: improvement of TED
occurred in 82% (in 9 out of 11) antioxidant-treated patients vs daily
27% (n3 out of 1L) patients with placebo. Pain and diplopia responsded
best, whereas proptosis was poorly affected by treatment. In practice,
antioxidants including vitamin E 400 mg/ day can be prescribed
(Tjokroprawiro 2004).

Thyioid Eye Disease: Pathogenesis and Treatment 33


Cytokines are thought to play an important role in the pathogenesrs
of TED and, more importantly, in its perpetuation (Wiersinga et al.,
2001). The pro-inflammatory effects of cytokines (especially TNFo
and IL-1) can be blocked in vivo by several means, including cytokine
receptor antagonists, monoclonal antibodies, soluble chimeric cytokine
recept6rs and counter-regulatory cytokines (Bartalena et aI., 1996).
To date, the only data available on the use of cytokine antagonists
(Figure 2) in TED patients were reportedby Balazs et sL (1998) who
used the cytokine antagonist pentoxifylline. In a non-randomized,
controlled study L0 patients with moderately severe TED were treated
with pentoxifylline (200 mg/ day i.v for L0 days, 1800 mg/day orally for
4 weeks, and finally \200mg/ day orally up to 3 months). Eight patients
(80% responsded favorably, with a reduction in the total eye score. Soft
tissue changes and proptosis were not responsive, whereas extraocular
muscle involvement showed a less marked response. These changes
were associated with a decease in serum GAG levels in responsders.

SOMATOSTATIN ANALOGS IN THE TREATMENT OF TED


Somatostatin (SM), a peptide in habiting the release of growth hormone
(GH), is present and plays an inhibiting role in the regulation of several
organ systems in men and other species (Krasses et a1.,2005). Recently,
it has been shown that SM-as might be of therapeutic value in the
treatment of active TED.
In study (Wemeau et al., 2005) of a long-acting SM-a (16 week of
long acting release formulation of octreotide (octreotide-LAR), which
was concluded in 5L patients with mild active TED and aimed in
preventing deterioration and precluding the need for more aggressive
therapeutic modalities, such as glucocorticoids or radiotheraphy, no
treatment effect was observed for the primary end point. The clinical
activity score was reduced for patients treated with octreotide-LAR,
but without any significant difference with respect to patients receiving
placebo. F{owever, octreotide-LAR significantly reduced proptosis (by
exophthalmometry). This was associated with non significant difference
in favour of octreotide-LAR in a series of proptosis-related parameters.
The inference was that in this study, octreotide-LAR did not seem
suitable to mitigate activity in mild TED. However, proptosis, one of
the most debilitating of TED, was significantly reduced. The sustained
effects on proptosis of point L6 weeks of octreotide-LAR treatment is an

34 S ei-L En dokin-Metab olik


encouraging preliminary in light of the serious lack therapeutic options
for this condition.
It is possible that never SM-as (such as SOM-230), which bind
specifiqally to almost all the somatostatin receptor subtypes expressed
on orbital lymphocytes and fibroblasts of patients witn tnn may be
more effective than octreotide or larueotid e (Krassas et aL, 2005).

REFERENCES
Akarpizu I Kohn LD, HirataniH, et aL (2000). Hashimoto's thyroiditis with heterogenous
antithyroiropin receptor antibodies: unique epitopes may contribute to the regilutio.t
of thyroid function by the antibodies. J Clin Endocrinol Metab 95,211,6.
Balazs C, Kiss E, vamos A, et al. (1998). Beneficial effects of pentoxifilline on thyrois-
associated ophthalmopathy. J Clin Endocrinol Metab 92, 1rgg.
Bartalena L, Marcocci c Gorman CA, wiersinga wM (2003). orbital radiotheraphy for
9IT"r' ophthalrnopathy: useful or uselessi safe or dangerous? J Endocrinol Invests
26,5.
Bartalena L, Marcocci C, Pinchera A (1996). Cytokines antagonists: new idea for the
management of Grave's ophthalmopathy. J Clin Endocrinol Metab 81,446.
Bartalena L, Pincera A, Marcocci c (2000). Management of Graves' ophthalmopathy:
reality and perspectives. Endocr Rev 2I, 168.
Bartley GB, Fatourechi v, Kadrmas EF, et al. (1996). Long-term follow-up of Graves,
_ ophlhallopathy in an incidence cohort. Ophthalmology 103, 95g.
Bouzas EA, Karadimas P, Mastorakos G, Koutras DA (20-d0). Antioxidant agent in the
treatment of Grave's ophthalmopathy. Am J Ophthamol 129,619.
Burch HB, wartofsky L (1993). Graves' ophthalmopathy: current concepts regarding
pathogenesis and management. Endocr Rev 1,4,747 .
Gerding MN, van der Meer JW. Broenink M et al. (2000). Association of thyrotrophin
receptor antibodies with the clinical features of Graves' ophthalmopathy. Ctin
Endocrinol (OxI) 52, 267.
GormanCA_etal. (2002). The aftermathof orbitalradiotherapyforGraves, ophthalmopathy.
Ophthalmology 109, 2-t 00.
Jameson JL. weetman AP (2005) Disorders of the Thyr.oid Gland. In: 16rh Ed. Harrison,s
Principles of lnternal Medicine. Editors: Kasper Braunwald, Longo,
Jamesory Fauci,
Hanser, p.2104.
Khoo DH, Ho sC, seah LL, et aI. (1999). The combination of absent thyroid perioxidase
antibodies and high thyroid-stimulating immunoglobulin levels in Graves' disease
identifies a group at markedly increased risk of ophthalmopathy. Thyroid g,1r7s.
Krassas GE, Heufelder AE (2001). Immunosuppressive therapy in patients with thyroid
eye disease: an overview of current .oncepis. Eur J Endocrin otiU, 2gL..
Krassas GE_w_i9rs_inga wM (2005). Thynoid International. Editor peter pA smyth, uCD,
Dubin. Publisher by: Merck KGaA, Darmstadt, Germany, p. 3.
--
Marcocci c, Bartalena L, Tanda ML, et al. (2001). Comparison of the effectiveness and
tolerabilify of intravenous ot otal glucocorticoids asiociated wit orbital radiotherapy
in the management of severe graves' ophthalmopathy: results of a prospective,
single-blind, randomized study. J Clin Endocrinol lvletab 96,3562.

Thyroid Eye Disease: Pathogenesis and Treatment JJ


Marcocci C, Bartalena! Mario M, et al. (2002). Current medical management of Graves'
ophthalmopathy. Ophthal Plast Reconstr Sur g 1'8, 402.
Papa A, Jackson P, stone ! et aL (1998). An ullrastructural and systemic analysis of
glycosaminoglycans in thyroid-associated oPhthalmoPathy . Eye 12 pA), 23.7.'
prurirnel MF, Terwee CB, ierding MN ef al. (2004). A randomized controlled trial
of orbital radiotherapy versus sham irradiation in patients with mild Graves',
ophthalmopathy. Clin Endocrinol Metab 89, 15.
J
prummel Mf, iVieriinga WM (1993). Smoking and risk of Graves' disease. IAMA269,
479.
Sabramanian S, Holt AF (2005). Hyperthpoidism. The Washington Manual, Editors:
Handerson KE, Baranski Tj Bickel PE, p. 39.
shine B. Fel1s P, Edwards oM, weetman AP (1990). Association between Graves',
ophthalmopathy and smoking. Lancet 335, 1261.
Tjokroprawiro A, (i004). Clinical experiences on the Treatment of Thyroid Eye Disease
(Unpublished).
Turner iIE, Wass JAH (2002). Oxford Handbook of Endocrinology and Diabetes.
Published: Oxford University Press, p 50.
Valyasevi RW, Erickson DZ, Haiteneck DA, et at. (1999). Differentiation of human orbital
preadipocyte fibroblasts induces expression of functional thyrotropin receptor. J Clin
Endocrinol Metab 84, 1t109.
Venditti P, Balestrieri M, Di Meo S, De Leo T (1997). Effects of thyroid state on lipid
peroxidatiory antioxidant defenses, and susceptibility to oxidative stress in rat
tissues. J Endocrinol 155, 151.
wemeau Jl. caron P, Beckers A et al. (2005). octreotide (long-acting release formulation)
tfeatment in patients with Grave's orbitopathy: clinical results of a four-month,
randomized, ilacebo-controlled, double-blind study. J Clin Endocrinol Metab 90,
841.
Wiersinga WM, Prummel MF (2001). Pathogenesis of Graves' ophthalmopathy-current
understanding. J Clin Endocrinol Metab 86, 501.

36 S ei-1- En dokin-Metabolik
Ophtholmologic Aspects of Thyroid
Eye Diseose

Diony Yogiontoro, Priionto, Hendrion D. Subogio


Ophtholmology Deportment Foculty of Medicine, Airlonggo University-Suroboyo

SUMMARY
Thyroid Eye Disease (TED) is the most frequent extrathyroidal
manifestation of Graves' Disease. The synonyms for Thyroid Eye
Disease are Graves' Ophthalmopathy or Giaves; Orbitopathy.
Disturbance of the Thyroid glands result in severalnumbers of ocular
manifestations. Early detection of some patients develop characteristic
eye signs and may appear before any manifestations of Thyroid Eye
Disease. Lid retraction is almost pathognomonic of Thyroid Eye Disease
and particularly when associated with exophthalmos.
The treatment of Thyroid Eye Disease consist of medical and surgical
treatment and it depends on the severity and activity of the disease.
The treatment of mild Thyroid Eye Disease is supportive treatment. In
active and severe Thyroid Eye Disease, the treatment includes medical
treatment, radiotheraphy and orbital decompression. Rehabilitative
surgical treatment is used in inactive phase of severe Thyroid Eye
Disease.

PENDAHULUAN
Istilah umum dafi Thyroid Eye D isease (TED) atau oftalmop ati Graae's (OG)
digunakan untuk menyebut abnormalitas di mata yang disebabkan oleh
proses autoimun pada penderita dengan hipertiroidisme, walaupun
TED atau OG ini dapat pula terjadi dalam kondisi eutiroid (Burch and
Wartofsky, 1993).
Gangguan kelenjar endokrin dapat menimbulkan beberapa kelainan
mata yang cukup penting dan mudah dideteksi. Gejala klinis pada
mata berupa proptosis sangat mengganggu penampilan dan kualitas

37
hidup penderita sehingga mencegah progresivitas merupakan tujuan
utama.
Pemahaman yang baik mengenai patogenesis, gejala klinis
dan faktor-faktoi risiko dari TED atau OG akan mengurangi
kemungkinan penyakit menjadi lebih parah sehingga memudahkan
penataTaksanaan.

PATOGENESIS
Otot-Otot ekstraokuler mengalami edema karena peningkatan produksi
dari hidrofilik glycosaminoglycans (GAGs) pada jaringan orbita.
Terjadi juga infiftiasi dari sel-sel imunokompeten (yang didominasi
oteh limfoilt T, makrofag dan limfosit B), di mana golongan limfosit T
tersering adalah CD4+ (Bartalena, et a1.,2000)'

,nitiation

Propasation Expresion of immunomodulalory


protein is enhanced
t v_l

"*", Fibroblsb inctc6e


i Glycosminoglycan production

lw
Glycoseminoglycme md
fluid ecumulate in
Histopathology affected tissue

orbibl connective- Demal conneclive-


tissue volume tissue expands
incrcNes

Nodular or diffuse
Clinical [-exopr,lmt*o. thickening of pretibial skin
expression I Diplopia
'L Periorbihl edema

Gambar 1, Patogenesis oftalmopati Grave's.

38 S ei-1 Endokin-Metab olik


Limfosit T akan mengenali antigen yang dikeluarkan oleh tiroid dan
orbita, lalu melakukan infiltrasi pada jaringan orbita dan perimisium
otot-otot ekstra okuler, di mana proses ini difasilitasi oleh edhesion
molecules dan berhubungan dengan aktivitas dari penyakit (papa et aI.,
1997). Setelah infiltrasi dari limfosit T maka ."r"ptot limfosit^T pada
CD&r akan mengenali antigen dan mensekresi cytokines yang akan
memperkuat reaksi imun yang terjadi dengan mengaktifkan limfosit T
CD4+ dan autoantibody producing B cells.
Cytokines sendiri merangsang terbentuknya molekul-m oleku7 major
histo,compatibility complex class 11 dan heat shock protein T2 (HSp-72) yang
berperan penting pada pengenalan antigen. Cytokines juga merangsang
fibroblas untuk membentuk dan mensekresi GAGs yang akan menarik
cairan menuju ke ruang retro orbita, sehingga terjadi pembengkakan
periorbita, proptosis dan pembengkakan otot-otot ekstri okulerlBurch
dan Wartafsky,1993).
Fibroblas di orbita menyebabkan reaksi imun ini berjalan terus
dengan jalan melindungi sel T yang menginfiltrasi orbita dari terjadinya
apoptosis. Sel-sel preadiposit yang merupakan bagian dari fibroblas
orbita ini di bawah pengaruh hormon akan mengalami diferensiasi
menjadi sel-sel adiposit dan menyebabkan peningkatan volume
jaringan lemak retroorbita (Sorisky et a1.,1996).

GEJATA KLINIS
Gejala klinis oftalmopati Grave's sangat bervariasi dari abnormalitas
yang baru tampak dengan pemeriksaan canggih hingga kondisi yang
telah mengancam penglihathn. (Burch dan Wartofsky,1993)
L. Perubahan pada kelopak mata
Perubahan pada kelopak mata merupakan gejala klinis tersering
pada oftalmopati Grave's (Burch dan Wartofsky,1993).
Retraksi pada kelopak mata atas dapat terjadi oleh karena beberapa
mekanisme, di antaranya adalah oaersction dari otot levator, dan
adhesi dari levator pada septum orbita overkontraksi dari superior
rectus-leuator complei untuk kompensasi efek restriktif pada myopati
otot rektus inferior juga dapat menyebabkan terjadinya retraksi
kelopak ma'ta atas (Lisman dan Milite,1998).
2. Inflamasi pada jaringan lunak
In{lamasi pada jaringan lunak ditandai dengan gejala epifora,

Ophthalmologic Aspects of Thyroid Eye Disease 39


fotofobia, rasa ngeres di komea, dan nyeri retroorbita' Selain itu
disertai dengan tanda-tanda edema kelopak mata, khernosis,
lagophthalmJs, lemak orbita yang keluar melalui septum orbita
aJt udatrya inflamasi pada tempat inserasi dari muskulus rektus
horizontal. Perubahan akibat inflamasi ini memegang peranan
pentin dalam menentukan derajat aktivitas dari penyakit (Bu1ch
dan Wartofsky,1993).
J. Proptosis
Proptosisi terjadi pada 20fi30% penderita penyakit Grave's..dan
,u"aru klinis tampak bilateral pada 80f,90% penderita' Definisi
proptosis ialah apabila apabila eksoftalmos yang terjadi melebihi
^>
Z -* dari bitas atas dari harga normal' Proptosis adalah
manifestasi abnormalitas pada oftalmopati Grave's yang paling
persisten dan sulit untuk ditangani (Burch dan Wartofsky'1993)'
4. Keterlibatan otot ekstraokuler
Pada 10e15% penderita Grave's terjadi Oftalmoplegia -yang
disebabkan oleir keterlibatan otot-otot ekstraokuler. Gejala
yang terjadi adalah hambatan pada motilitas otot ekstraokuler
(Wiirri'gutr dan prummel, 2002). Pada oftalmopati Grave's- ini,
otot-otot" ekstraokuler tampak mengalami pembesaran, hal ini
dapat diketahui melalui pemeriksaan motilitas otot, secara anatomi
dan histologi, pada waktu operasi melalui USG serta CT Scan' Dari
beberapa dlta yang meneliti tentang keterlibatan otot ekstraokuler
ini didapatkan hisil bahwa otot rektus inferior dan rektus
medius yang paling sering mengalami'perubahan pada penderita
oftalmopati Grave's (Burch dan Wartofsky, 1993).
5. Keterlibatankornea
Kelainan kornea pada oftalmopati Grave's adalah akibat dari
terjadinya keratitis eksposur dan kelainan dari lapisan air mata
(Burch dan Wartofsky, 1993). Secara klinis timbul korelasi,antara
kerusakan kornea dengan faktor-faktor seperti proptosis, lid lag,
lagophtalmos, celah fiiura palpebra dan reflek berkedip pada
penJerita oftalmopati Grave's (Khurana et aL,1993)' Penggunaan
ietes mata methyi cellulose dan air mata buatan serta prosedur
tarsorafi *"rgrrrungi frekuensi terjadinya kelainan kornea pada
penderita oftalmopiti Grave's. Pemeriksaan yang teliti dengan slit
iamp biomikroSkop dan pewarnaan da Rose Qenqal atau Fluorescein
sangat diperlukan-dalam menentukan adanya kelainan kornea pada
penderiti oftalmopati Graves (Wiersingan et aI',1989)'

ei-1. Endokin-Me tab olik


40 S
6. Keterlibatan nervous optikus
Disfungsi nervous optikus pada penderita oftalmopati Grave's
adalah akibat dari kompresi karena pembesaran dari otot-otot
ekstraokuler dan jaringan ikat orbita. Kejadian ini bersifat jarang
dan terjadi pada kurang dari 5% penderita penyakit Grave's. Gejala
y-ang ditimbulkan adalah kekaburan baik secara perlahan maupun
mendadak. Kadang penderita mengeluh penglihatan menjadi
keabu-abuan (graying of aision) dan desaturasi warna.

TABEL 1. Klasifikasi detail dari perubahan pada mata yang terjadi pada penyakit
Graves (Burch dan Wartofsky, 1993)

Class Grades Ocular symptoms and signs


0 No signs or symptoms
1 Only signs no symptoms. (sign limited to upper eyelid retraction
and stare, with or without lid lag and proptosis)
2 Soft tissue involvment with symptoms and signs
0 Absent
a Minimal
b Moderate
c Marked
Proptosis 3mm or more in excess of upper normal limit, with or
without symptoms
0 : Absent
a 3-4 mm increase over upper normal
b 5-7 mm increase over upper normal
c B mm or more increase
Extraoculer muscles involvement (diplopia)
0 Absent
a Limitation of motion at extremes of gaze
b Evident restriction of motion
c Fixation of globe or globes
Corneal involvement (primarily due to Iagophthalmos)
0 Absent
a Stippling ol the cornea
b Ulceration
c Cloudy, necrosis, perforation
Sight loss due to optic nerve involvement
0 Absent
a Disc pallor or choking, visual field defect. Vision 20120-20160
b Same but vision 2O|7O-20120A
c Blindness i.e failure to precieve light, vision less then 201200

Ophthalmologic Aspects of Thyroid Eye Disease 41


TABEL 2. Karakterisasi dari oftalmopati Graves (Burch dan wartofsky' 1993)

Category of disease Objective criteris monitored

a. Eyelids 1. Maximal lid fissure width


2. Upper lid to limbus distance
3. Lower lid to limbus distance
b. Corri6a Exposure keratitis assessed by rose Bengal or
fluorescein staining (indicate presence or absence)
c. Extraoculer muscles 1. Single binocular vision in central 30" of vision (indicate
presence or absence, with or without prism)
2. bne or mor of the following measurement techniques:
Maddox rod test
Alternate cover test
Hess chart measurement
Lancaster red green test
Optional:
lntraocular preasure in downward gaze
CT or MRI
d. Proptosis Exophthalmometer reading (CT or MRI measurement)
may be used
e. Optic nerve 1. Visual acuity
2. Visual field
3. Color vision
f. Activity score Sum of one point each for any of the following:
1. Spontaneous retrobulbar Pain
2. Pain with the eye movement
3. Eyelid erythema
4. Eyelid edema or swelling
5. conjucntival injection
6. Ghemosis
7. Caruncle swelling
self Satisfaction with the lollowing (indicate change with
"9. Patient's
assessment theraphy in each using a scale such as: greatly improved,
improved, unchanged; worse, much worse):
1. Appearance
2. Visual acuitY
3. Eye discomfort
4. Diplopia

Menurut American Thyroid Association (ATA), oftalmopati Grave's


dapat diklasifikasikan beidasarkan manifestasi klinis yang. terjadi,
dan
dapat disingkat sebagai NOSPECS. Arti dari NOSPECS adalah (Burch
dan Wartofsky,1993):

42 S e i -1 En dokrin - Me t ab olik
N : Untuk No slgns or symptoms Kelas 0
O : Untuk Only signs consisting of lid retraction and stare Kelas 1
S : Soft tissue inttolaement including signs and symptoms Kelas 2
P : Proptosis of greater than 20 mm Kelas 3
E : Extrqocular muscle inaolaement Kelas 4
C i Corneal inaolaement Kelas 5
S : Sight loss due to optic neroe inaolaement Kelas 6

Keputusan dalam penentuan penatalaksanaan oftalmopati


Grave's sangat bergantung pada derajat keparahan dan aktivitas dari
oftalmopati tersebut. Aktivitas dari oftalmopati tidak berjalan sesuai
dengan derajat keparahan dari oftalmopati tersebut (Bartalena et aL,
2000). Dengan kata lain, seseorang penderita mungkin menunjukkan
manifestasi klinis oftalmopati yang parah, namun oftalmopati tersebut
sudah tidak aktif lagi. Mourits et al., mengemukakan pentingnya untuk
dilakukan Clinical Actiaity Score, yang terdiri atas 10 jenis pemeriksaan

TABEL 3. Clinical Activity Score

Original Formulation (Mourits) Revised formulation


Painfull, oppressive feeling on or behind the globe Spontaneous retrobulbar pain
Painfull attempted up, side or down gaze Pain on eye movement
Redness ol the eyelids Eyelid erythema
Diffuse redness of the conjunctival Conjunctival injection
Chemosis Chemosis
Swollen caruncle Swelling of the caruncle
Edema of the eyelids Eyelids edema or fullness
lncrease of 2 mm or more in proptosis in the last 1-3
months
Decrease in visual acuity in the last 1-3 months
Decrease in eye movement of 5 degrees or more in
the last 1-3 months

TABEL 4. lndikator dari aktivitas oftalmopati Graves2

Parameter Active Graves' Ophthalmopathy


Clinical Activity Score CAS more than 4
Eye muscle reflectivity on A mode USG EMR of 40 o/o or less
GAGs serum or urine concentration lncreased levels
T2 relaxation time at MRI Prolonged T2 time
Octreoscan High orbital uptake

Ophthalmologic Aspects of Thyroid Eye Disease 43


dengan gradasi skor antara 0 (tidak aktif) sampai dengan 10 (sangat
akrit. Clinical Actiaity Score ini juga telah mengalami revisi dan
modifikasi oleh komite internasional ad hoc dari the four thyroid Sister
Sociaties seperti yang tampak di Tabet 3 (Bartalena et a1.,2000).
Indikator lain dalam menentukan aktivitas dari oftalmopati Grave's
telah d-ikemukakan seperti yang tampak pada Tabe14.
Bafialenaet al. menyatakanbahwa derajatkeparahan dari oftalmopati
Grave's tidak sama dengan derajat aktivitas dari oftalmopati tersebut,
namun keduanya penting untuk menentukan penatalaksanaan yang
diperlokan. Apabila oftalmopati yang terjadi tidak parah, maka tidak
diperlukan terapi yang agresif. Akan tetapi, apabila oftalmopati
Giave's yang terjadi termasuk dalam kategori yang parah maka sangat
penting untuk melakukan pemeriksaan untuk menentukan aktivitas
dari oftalmopati. oftalmopati parah yang masih bersifat aktif, akan
responsif dengan terapi medis (glukokortikoid ataupun radioterapi),
namun pada oftalmopati yang inaktif terapi bedah (dekompresi orbita
manp.tn pembedahan rehabilitatif; lebih bermanfaat (Bartalena et aL,
2000).

PENATALAKSANAAN
?enatalaksanaan medis mencakup kontrol adekuat terhadap
hipertiroidisme sebagai tindakan primer. Terdapat dua prinsip pada
evlluasi penderita oftalmopati Graves, yaitu apakah penderita sudah
'termasuk dalam indikasi terapi dan jenis terapi apa yang diperlukan
(Burch dan Wartofsky , 1993; Bartalena et aI., 2000).

TABEL 5 Penatalaksaan oftalniopati Graves ringan

Therapeutic measure Sign and/or symPtom

Sunglasses Photophobia
Adificial tears and ointments Foreign body sensation
Blocking eye drops Eyelid retraction
Nocturnal taping of the eyes Lagophthalmos
Prisms Mild diplopia
Correction of hyper or hypothyroidism
Elimination of risk factor (smoking)
Reassurance on the.natural history of the diseases

M S ei-1 En dokin-Metab olik


Penqfqloksqnqon Medikomentoso
1. Penatalaksanaan oftalmopati Grave's ringan (Bartalena et ar.,'2000)
2. Penatalaksanaan Oftalmopati Grave,s Parah
a. Glukokortikoid
Glukokortikoid telah lama menjadi terapi pilihan pada
oftalmopati Grave's dan telah terbukti efektif (Kendall-
Taylor, 20002). Cara pemberian glukokortikoid selain secara
oral juga melalui intravenous dan lokal (retrobulbar maupun
subkonjunctiva) (Bartal ena et aI., 2000; Kendall-Taylor, 2002).
Pada pemberian secara oral, glukokortikoid diberikan dalam
dosis tinggi diikuti penurunan dosis secara bertahap (tapering .
off) selama 10 bulan. Belakangan ini, glukokortikoid diberikan
secara intravena dengan methyl prednison acetat dosis tinggi
(0,5€1 g) (Bartalena et aL, 2000).
- Efektifitas pemberian glukokortikoid ini paling tinggi pada
oftalmopati aktif dan oftalmopati parah bersifat akut dhn
progresifitas tinggi (Bartalena et aI., 2000).
b. Radioterapi
- Penggunaan radioterapi pada OG berdasarkan pada efek anti
inflamasi non spesifik dan radioterapi tersebut dan juga sifat
radiosensitive dari sel limfosit yang menginfiltrasi rongga
_ orbita (Burch dan Wartofsky,1993; Bartalena et a1.,2000). : ,

- Radioterapi dengan menggunakan akselerator linier dengan


energi 446 megavolt. Dosis umum 20 grays (Gy) tiap mata
(Barthlena et al., 2000).
c. Dekompresi orbita
- Dilakukan pada OG dengan neuropati saraf optik yang
progresif, inflamasi orbita yang parah, nyeri, proptosis
hebat dengan keratitis eksposure, ketergantungan lerhadap
glukokortikoid dan tujuan rehabilitatif maupun kosmetik
(Burch dan Wartofsky, 1993).

Penotoloksqnoo,n pembedohqn rehobilirofif


A. Pembedahan otot-otot ekstraokuler untuk koreksi diplopia dan
memperbaiki penglihatan binokuler dilakukan pada saat otot
mengalami'perubahan fibrotik dan oftalmopati sudah dalam
keadaan inaktif selama 466 bulan (Burch dan Wartof sky, 1993;
Bartalena et aL,2000).

Ophthalmologic Aspects of Thyroid Eye Disease 45


B. Pembedahan'kelopak mata untuk koreksi malposisi kelopak-mata.
setelah dilakukan terapi medis atau dekompresi orbita dilakukan
pada fase inaktif dari oitalmopati (Bartalena et a1.,2000; Lisman dan
Milite^1998).

DAFTAR PUSTAKA
Burch HB, Wartofsky L. Grave's ophthalmopathy: cuffent concePts regarding
pathogenesis ang nanagement. Endocr Reu 1993; L4: 747-793
Bartalenai, pinchera A, Mircocci C. Management of Grave's Ophthalmopathy: Reality
and"perspectiv es. Endocr Rea 20A0; 21: 188-199
Pappa A, Cajder V, Feils P ef al Adhesion molecuies expression in aiag o2extraocular
'^*,,.1",(EoM)inThyroidAssociatedophthalmopathy(TAo),CIinExpImmunol.
1997;108:309-313
Sorisky A, Pardasani D, Gagnon A ef al. Evidence-of adiporyte di{l"l"lllty^tn
human
ortital fibroblast in pririary culture. I Clin Endo*inol Metab.\996; 8"I:3428-3431
ln:
Lisman RD, Milite JP. Management of eyelid malposition in thyroid ophthalmoPathy
NesiFeds'op-r'tr'atmic"ptasticandreconstructivesulgery'USA,Mosby.1998:1133
wiersingan wM, prummei MF. Grave's ophthalmopathy: a rational approach
to
treat-ment. TRENDS Endocinol Metab' 2002; I3(7): 280-288
Khurana AK, Sunder s, Ahluwalia BK, at al. tear film profile in Grave's Ophthalmopathy'
Acta ophthalmol (copenh). 1992; 70: 346-349
Wiersingai WM, Smiitr T, Van Der Gaag M, eJ ai. Clinical presentation of Graves'
Ophthalmopathy. Ophthalmic res. 1989; 21 7 3-82
perros p, Kenduit-fiytoin. Medical Treatment for Thyroid Associated Ophthalmopathy'
Thy r oi d. 2002; 3 : 241 -245

46 S ei-l. Endokin-Metab olik


Diognosis ond Monogement of Grqve's
Diseqse in Pregnqncy

Agung pronoio
Division of Endocrinology ond Metobolism
- Dept of Internor Medicine
Dr. soeiomo Teoching Hospitol - Airlonggo University school of Medicine, suroboyo

INTRODUCTION
l'hyroid problems are common in women who are pregnant. Thyroid
dysfunction often is overlooked in pregnant *or.r"rr, hoirever, because
of nonspecific symptoms and the hypermetabolic state of normal
p_regnancy. Grave's diseaseis the mostcommonformof hyperthyroidism.
Compounding the diagnosis further is the ulteraiion ;n thyrord
physiology that normally occurs during gestation. A clinician first must
consider thyroid dysfunction a possibility, then differentiate ndrmal
physiologic changes from true disease. when thyroid dysfunction is
recqgnized, proper management is essential for a healthy pregnancy.
Abnormalities in maternal thyroid function can adversely afLct the
fetus directly by way of the transplacental passage of abnormal matemal
hormone concentrations, thyroid stimurating h-ormone (TSH) receptor
,antibodies, or prescribed antithyroid medications and indirectly by
way of the altered maternal gravid physiology.
In this article, the discussion will focur ot diigt osis and rnanagement
of Grave's during pregnancy.

NORMAT GRAVID THYROID PHYSIOTOGY


several alterations in thyroid physiology occur during normal
Pregnancy. These changes take place at different times of gesiation, are
reversible post-partum, and collectively stimulate the matErnal thyroid
gland. Hypothyroid women who receive levothyroxine replacement
require a 25% to 47% average dosage increase during pregnancy to
maintain normal serum TSH concentrations (Alexandei el at., 2004;

47
Kaplan, 1.992;Mandel et aL,1990). Thyroidal stimulation is supported
further by the findings of increased serum thyroid stimulating holmone
(TSH) and thyroglobulin concentrations, relative hypothyroxinemia'
and occasiottut g-olt"t formation in pregnant women from areas of
borde{ine iodine sufficiency (Glinoer et a1.,1992)'
Themostrecognizedalterationinmaternalthyroidphysiologyis
the increase in thy-roxine.binding globulin (TBG). This inffease begins
early in the first irimester, plateaus during midgestatign, and persists
until shortly after deliverylch.to"r et a1.,1990). Elevated TBG results
from 6 decrease in its hepatic clearance, owing to estrogen-induced
sialylation (Ain e t aJ., 1987) . The increased concentration of TBG expands
the extrathyroidal pool, triggering a concomitant increase in maternal
thyroid hoimone synthesis ind elevation of total thyroxine (Ta) and
triiodothyronine (T3) levels (Glinoer et aI.' 1990). In addition to TBG,
maternal glomerular filtration rate is increased during early gestation
and maiJained throughout pregnancy; this results in an increased
renal clearance of iodi-de, *t1l.n indirectly stimulates the maternal
thyroid machinery (Dworkin ef a\.,1966). Lastly, transplacental passage
ofia and iodide and placental metabolism of iodothyronines stimulate
the inaternal thyroid by depleting the maternal circulation of thyroid
hormone and its precursors (Burrow et a1.,1994)'
In addition to indirect stimuli, there is strong evidence that human
chorionic gonadotropin (hCG) has intrinsic thyrotropic activity. A
p-
significant?egree of iromology exists between the hormone-specifrc
sulbunits and the extracellulii receptor binding domains of hCG and
begins shortly
fSH (Hershrrran,2004; Smits ef at., iOOZ\. HCG secretion gradually
lft",'.on""ption, peaks around gestational week L0, and
declines thereafter to a nadir by ibout week 20 (Glinoer et a1.,1990).
It is believed that the high serurn concentrations of hCG during early
pregnancy directly activa'te the TSH receptor. This belief is substantiated
ty ii-t" finding thit serum hCG concentrations during earlypregnancy
aie negativelicorrelated with serum TSH concentrations and positively
correlited with freeTa concentrations (Glinoer et aI., 1990; Kimura ef
aL,\990).Serum TSH concentrations vary throughout pregnancy' with
the first-trimester values being lower than the values before conception
and during the. second and third trimester (Mandel et a\.,2005). Using
an assay #ith u d"t"ction limit of 0.05 mIJ /L,.researchers found that
duringin" fittt trimester, 9% of pregnant women without thyrotoxic
sympioms had subnormal serum iSH concentrations (> 0'05 mU/L'
but

48 S eri-l Endokrin-Metab olik


< 0.4lnU /L), whereas an additionalg% had suppressed concentrations
(< 0.05 mU/L) (Glinoer et aL,1993). The nadir of maternal serum TSH
levels mirrors.the peak in hCG concentrations (Glinoer et nl., 1990). A
more recent study has reported the upper 95% confidence interval (C!
for serum TSH levels in the first trimester to be 2.5 mIJ /L (Haddow ef
al.,1999).
Although consistent patterns of total Ta and TSH during pregnancy
are well documented, the same is not true for free T4 concentrations,
particularly during the first trimester. Free Ta concentrations during
this-time have been reported to be higher, lower, and the same as
concentrations before conception (Glinoer et a\.,1990). These discrepant
findings are likely due to a combinationof shortcomings inmethodology
and dietary iodine intake among study participants (Mandel e t a\.,2005).
Based on the available data, it is likely that free Ta and T3 concentrations
increase slightly during the first trimester in response to eievated hCG.
Subsequently, free Ta values decline as pregnancy progresses and nadir
during the third trimester with measured values in commerciai assays
that may be lower than the assays published reference ranges (Mandel
et al., 2005). Currently, none of the manufacturers of the automated
free Ta assays has provided trimester-specific reference ranges. Until
this information is available, the serum total Ta concentration may
be a better reflection of Ta production during pregnancy. To account
for'the increased thyroid hormone production during gestation, the
normal reference range for total Ta should be adjusted by a factor of 1.5
pregnant patients (Mandel et a1.,20A5; Demers andSpencer,2003).

HYPERTHYROIDISAA
The prevalence of hyperthyroidism during pregnancy ranges from
0.'J.% to 0.4%, wilhGrave's disease accounting for 85% of cases (Mandel,
2001; Glinoer,1998). Single tcjxic adenoma, multinodular toxic goiter,
and subacute thyroiditis constitute most of the remaining cases during
pregnancy, whereas exogenous thyroid hormone and hydatidiform
molar disease are extremely rare (Millar et a1.,1994).

GRAVE'S DISEASE
Grave's disease is the most common cause of hyperthyroidism during
pregnancy (Mandel,2001; Glinoer,1998). Similar to other autoimmune

Diagnosis and Management of Grave's Disease in Pregnanry 49


diseases, the activity levelof Grave's disease may fluctuate during
gestatiory with exaierbation during the first trimester and gradual
i*ptorr"-unt during the latter half. Patients with Grave's disease
alst may experience an exacerbation shortly after delivery (Amino
et aI.,Ici8Z). Wltn tnt possibility in mind, there are several different
clinicafscenarios by which a woman may present with Grave's disease
during pregnancy. First, a woman with stable Grave's disease receiving
thionimide theraphy may experience an exacerbation during early
pregnancy. Second, a woman in remission may experience a relapse of
dir"=ure. Lastly, a woman without prior history may be diagnosed with
Grave's disease de novo during pregnancy.

DIAGNOSIS
The diagnosis of Grave's disease may be difficult to make clinically
because of the presence of hypermetabolic symptoms in normal
pregnancy, such as:
r palpitations,
o irritability, and
r heat intolerance.
The thyroid examination is often different from that of normal
pregnancy, hypgremesis gravidarum, and gestational thyrotoxicosis'
WomenwithGiave,s diseaie usually have a goiter (withor withoutbruit),
but the accompanying autoimmune syndromes of ophthalmopathy
and possibly dermopathy are still quite rare.
" Liboratory studies also are helpful, revealing a supPressed serum
TSH level and usually elevated free and total Ta serum concentrations.
As described previously, however, 60% of women with hyperemesis
gravidarum have a subnormal serum TSH, and nearly 50% have an
Jlevated serumfree T4 concentration (Goodwinet a\.,1992). In situations
in which doubt exists, measurement of serum total T3 concentration
and T3 resin uptake may be helpful because only 12% of women with
hyperlmesis gravidarum have an elevated free T3 index (Goodwin et
oi.)DgZ). Finilly, TSH receptor antibodies are usually present with
Grave's disease and may aid in confirming the diagnosis'

50 S ei-L Endokin-Metabolik
PREGNANCY OUTCOME
/ The risk of complications for the mother and the child is related to
the duration and control of maternal hyperthyroidism. The highest
incidence occurs in cases with the poorest control, and the lowest
iocidence occurs in cases with adequate treatment (Mlllar et ai.,
1994;Davis et a\.,1989; Mitsuda et a\.,1992; Momotani et a1.,1984).
/ The frequency of preterm labor is highest among untreated mothers
(88 % ) comp are d with partially treate d mothers (25 %) and adequately
treated mothers (8%) (Davis et a1.,1989).
/ I{'t addition, untreated women are twice as likely to develop
preeclampsia during pregnancy than women receiving antithyroid
medication (Millar et a1.,1994).
r' As for the fetus, stillbirth is much more common among untreated
women (50%) than either partially treated wornen (16%) or
adequately treated women (0%) (Davis et a1.,1989).
/ FinaTly, studies have indicated that children born to mothers with
uncontrolled hyperthyroidism are more likely to be small for
gestational age and to have congenital malformations unrelated to
thionamide theraphy (Mitsuda et a1.,1992; Momotani et a1.,1984).

TREATMENT
The most important thing to remember when treating Grave's disease
duringpregnancy is that two patients are involved, the mother and fetus.
The goal of theraphy is to control maternal disease, while minimizing
to potential for fetal hypothyroidism and hyperthyroidism. .

Guidelines for clinical management of maternal hyperthyroidism


during pregnancy
1. Use the lowest dosage of thionamide (preferably PTU) to maintain
maternal total Ta concentrations in the upper one third of normal
to slightly elevated range for pregnancy. Normal range of total T4
during pregnancy is estimated to be 1.5 times the non pregnant state
(Davis et aL,1989).
2. Monitor maternal total Ta serum concentration every 2q.,4 weeks,
and titrate'thionamide as necessary. Monitoring serum TSH may
become useful later.

Diagnosis and Management of Grave's Disease in Pregnancy ir


Measure TSH receptor antibodies (thyroid-stimulating immuno-
globulins or TSH receptor binding inhibitory immunoglobulins)
at 26+28 weeks to assess risk of fetal/neonatal hyperthyroidism.
TSH receptor antibody measurement is crucial in hypothyroid
levothyroxine-treated women with a prior history of Grhve's disease,
w1i6 do not appear thyrotoxic.
4. Perform fetal utltrasound at weeks 26+28 to assess potential fetal
response to thionamide treatment and effect of TSH receptor
antibodies on fetal thyroid function.
5. Consider thyroidectomy if persistently high doses of thionamide
(PTU > 6A0 mg/ d or MMI > 40 rng/ d) are required, or if the patient
cannot tolerate thionamide theraphy.
p-Adrenergic blocking agents and low doses of iodine may be used
perioperativelly to control hyperthyroid state.
7. Check fetal cord blood at delivery for TSH and Ta.

THIONAMIDES
Thionamide antithyroid drugs, propylthiouracil (PTU) and methimazole
(MMD, are the mainstay of treatment of Grave's disease during
pregnancy. These medications decrease thyroid hormone production
by lnhibiting iodine organification and iodotyrosine coupling by
thyroidal peroxidase. A study found the median time to normalization
of maternal thyroid function tobeT weeks with PTU and 8 weeks with
MMI (Wing et a1.,1994).
Although equally effective, concern exists regarding a possible
difference in the transplacental passage of the thionamides. PTU
is known to be more highly bound to albumin than MMI (Mandel,
2001). This fact has led some theorize that MMI crosses the placenta
in higher concentrations and may place the fetus at greater risk of
hypothyroidism. Convincing evidence of this phenomenon has not
been established. One study of six women, without thyroid disease,
receiving a single injection of either sulphur-3S [35S]-pfU or [35S]-MMI
before tlierapeutic abortion in the first half of pregnancy, revealed that
PTU may cross the placenta to a lesser degree than MMI (Marchant ef
a1.,1977).A perfusion study conducted on placental tissue from women
without thyioid disease, undergoing cesarean section at term, revealed
similar placental transfer kinetics for PTU and MMI (Mottimer et aI.,
1ee7).

1' S eri - 1- En dokin - Me t ab olik


To minimize the occurrence of fetal hypothyroidism, the clinical
must assume that both thionamides cross the placenta. Data concerning
a correlation between maternal antithyroid drug dosage and fetal
thyroid function are conflicted, however. Three studies (Mitsuda ef
al., 1992; Lamberg et a1.,198L; Mortimer et a1.,1990) reported a direct
relatinnship between maternal dosage and fetal function, whereas four
studies (Cheron et al.,\981.; Gardner et a1.,1986; Momotani et a1.,1986;
Momotani et al., 1997) showed a lack of correlation. The most recent
study reported that 21.% of the neonates born to mothers taking less
thary100 mg of PTU daily andL4% of neonates born to mothers taking
less than 10 mg of MMI daiiy still had an elevated serum TSH level at
birth (Momotani et a1.,1997).
The lack of correlation between maternal thionamide dosage and
fetal thyroid function is multifactorial. Absorption of antithyroid
medications and serum concentrations are different for each mother"
Additionally, each woman with Grave's disease has a different titer
of TSH receptor antibodies. Research has shown a strong correlation
between maternal TSH receptor antibodies and fetal and neonatal
exposure (Fisher, 1997;Mortimer et aL,1990; Peleg et a1.,2002). These
antibodies may be either stimulatory or inhibitory; however, most
women with Grave's disease possess immunoglobulins that stimulate
the fetal thyroid. Stimulation becomes clinically relevant near the end
of the second trimester and continues until delivery (Fisher, 1999).
in light of the role that TSH receptor antibodies play and the lack
of correlation between thionamide dose and fetal thyroid functior;
it is not surprising that a better means of following theraphy exists.
'Momotani et aL (Momotani et al., 1986) reported that treatment
decisions could be made safely according to maternal thyroid status
in women not previously treated with ablative theraphy. According to
their work, when maternal serum free Ta concentrations were either
slightly elevated or within the upper third of normal, 95% of neonates
had cord free Ta values within the normal range. Conversely, when
maternal serum free Ta concentrations were either within the bottom
two thirds of normal or below the lower limit of normal,36% and 100%
of neonates had free T4 concentrations below normal (Momotani et al.,
1e86\.
Avoiding fetal hypothyroidism from thionamide treatment of
maternal Grave's disease is crucial. Excessive treatment may result
in fetal TSH.stimulation, goiter formation, and possibly respiratory

Diagnosis and Management of Grave's Disease in Pregrrancy 53


;ompromise after delivery owing to tracheal compression. Fetal
hypothyroidism resulting from overtreatment of n-ratetnal Grave's
disease potentially could affeci neurocognitive development. In addition
to following maternal ihyroiii horrnone concentrations, fetal response
to iheraphy should be evaiuated by ultrasound during gestational
rryeeksZ5 to 28. if a fetal goiter is identified, the ciinican must determine
rvhether it is due to feiai hl,"oothyroie*ism or hypertiryroidism' This
decisjon risualiy can be rnade eiinicaily" h'the rncther is biochemicall.
hyrerthyroid and the fetr;s is techycarrdic, fetal hyperthyroiciisn'i l:
more likely (rvestman,ZffCI4), If the nrother's selLllr1 'lt-:tal 'fa or fre.r
T4 :.r;1l6uu are in the $lid-nqlrirai t* l.crver railge, horvever" ii ig rr'"ore
,,.<rly jhat th.e feti-rs is ir7pe..tr+'rcici iTvir,rnrertan,t. r,t al.".1986). If the fetai
.rr:ri'i:tf iir .related to i:1ztrlct1-'ry:ri;ir-r-ignt, ;lrlpiri jmproirerlertt rrrarv oecr!r
;ril.i:tr ulscrqase, or discor:tir,uatitl:,rt, cf thior,a-micie tra:atrnent {Cchoa
"r
',rii ,rt', i-9:'il). {f irnl"rrc'veme'--',t i- not ap''rareni, consideration strrc'uicl-be
;;irierl to lr:lor{ aqgressrve dlagirociic tesxlw, suclr as periumtrrilical
irltr,:cl sa::rplin;, witn lvea:ln-ilrrt1l. cai.iored ;io 'l:hr specific findings (eg,
,ni.,:"a-ai'nr,ioiic iei,'":th'rzr'rxine ihe'.aphy +*t pelsistent hypothyroiciismj
",{!195).
ill';rvii!.sc'r et &i ,1)9i; \'an I'o.rn li ai.,
A..rde frq-,r.n thr h''ipr:,th'r ro.nirrn, th.o: c',iher pr;teniiai side effects of
'ih:c,lr;: rnicle therat',h-v n-r.i-rst Ee r:or'sicierr.'d. {lhe inaternal side effccts are
,lhe sarne tor any indir,'icl;a1iakinc thasrr medications,. the rno-ql cc.rlnr-non
Seing a i.:tsh. As ior ihe ferus,'nr,:nate, several e::oss-sectionall sturiies
have foi,,rd nc effect tn "ognitrve ol sorratic devetrop.ment a{x1{}ng
inFants e):,:rcsed to PTI{.J or lv{lv{I (Burrcw et sl', 1978; Eisenstein ef al.,
199/,)" Ser.'eral rare birth defeets have been ohserved in neonates born
fo mothers taking IviMI duri.*rg pregnancy ieg aplasia cutis, choanal
atri:sia, esophageal atresia, and minor eiysmorphic featules) (Clernenti
et s\.,7999;Mandel et a\.,1994) f,ione of these findings has been reported
with FTU" FTU is believed as ix choice cf first-line theraphy. trf a woman
is urnable to tolerate PlU, the h4tv.{i could be use as a second iine therapv,
i:suecially after first-trimester org anogenesis.

TReATMENT GUIDETINE$
The ilaitial dosage of antithyroic medication depends on the severity
of ciisease. PTU shoutrd be used preferentially given the multiple case
reports of congenitai defects an'tr dysmorphic features occulring in
inlants to MA,{I (Clementiel n1.,1999; Mandelet a1.,1994). If one
"*pos"d

54 S ei-l, En dokin-Me tab olik


is allergic or intolerant of PTU, however, MMI should be substituted
(especially after first-trimester organogenesis) before recommending
thyroidectomy. Antithyroid medication should be titrated to maintain
maternal 14 concentrations wiihin the upper third, or slightly above, of
the normal range for pregnancy. Because pregnancy ,"i"r"rr"" ranges
havdnot been reported for most free Ta assiys, ii is recommended
using the serum total Ta concentration for thionamide dose titration. A
pregnancy reference range for total ra to be 1.5 times the nonpregnant
reference range owing to thyroidal stimulation during pi"g.rutr.y
(DerJrers et aI., 2003). Clinicians should re-evaluate mate-mar thyroid
ftrnction every 2to weeks and adjust thionamide theraphy accordingly.
serum TSH levels are not helpful in the management oi Grave's disease
during early pregnancy because of the lag time that exits between the
normalization of thyroid hormones and TSH, but may be useful later
in gestation when the disease in controlled. The recommended dose
do not exceed 600 rng/ d of PTU or 40 mg/ d of MMI for extended
periods. one should continue to titrate PTU to the lowest possible dose
that maintains control. Grave's disease may ameliorate is pregnancy
progresses. As a results, thionamide theraphy may be discontinued in
30% of women during the final weeks of pregnancy (Mestman,Ig97).
Cord blood testing for TSH and Ta is recommended in alr infants born
to mothers with active Grave's disease. In addition, to assess the risk
for fetal or neonatal hyperthyroidism, measurement of rsH receptor
antibodies at26 to 28 weeks gestation is recommended.

B-ADRENERGTC BTOCKERS
r' B-Adrenergic Blockers are used often in the treatment of
hyperthyroidism because of the presence of adrenergic signs and
symptoms (eg, tachycardia, palpitations, and diaphoresis).
r' A retrospective analysis reported, however, an increased frequency
of first-trimester miscarriages in mothers treated for 6 to 12 weeki
with a thionamide and propranolol (24%) compared with a
thionamide alone (5.5%) (sherif et aL,1991). This difference existed
despite similar thyroid hormone concentrations. Although this was
a small study, it is recommended avoiding B-adrenergic blocking
agents if pobsible in the first trimester.

Diagnosis and Marngement of Grave's Disease in pregnancy 55


IODIDES
/ Because of past reports of neonatal hypothyroidism after exposule
to iodine, itt .ts" during Pregnancy has been severely limited'
Most published work consists of case reports, however, in which
euthyioid mothers were exposed to iodine-rich food, medicine,
contiast media, or disirrfectant agents or hyperthyroid mothers were
simultaneously treated with iodine and thionamides (Momotari et
a\.,1992).
/ A study investigating the use of low-dose-iodine (6-40 mg/d of
poiassium iodid") for the treatment of Grave's disease during
pr"gr.,ur,.y revealed improved maternal thyroid function and
normal neonatal outcome (Momotani et a1.,1992). Specifically, none
of the neonates exposed to potassium iodide exhibited a goiter, and
only 6% had an elevated TSH by way of the cord blood'
/ Altirough this evidence does not make iodine a first-line theraphy
for pre[nant women with Grave's disease, it does suggest that low-
dose potassium iodide may be considered in special circumstances,
such is in preparation for thyroidectomy or in thionamide-intolerant
patients refusing surgery.

SURGERY
/ subtotal t\roidectomy for the treatment of Grave's disease during
pregnancy is reserved for specific situations:
I iuft"" persistently high dosages of thionamides (PTU > 600 mg/
" d,MMI > a0 mg/ d) are required to control maternal disease'
o if a patient is allergic or intolerant of both thionamides,
o if a patient is noncompliant with medical theraphy,
o or i? compressive symptoms occur in the mother because of
goiter size (Mandel, 2001)'
/ Hislorically, it has been recommended that surgery occur during
the second trimester, before gestational week 24, in an attempt to
minimize the risk of miscarriage (Mestman,2004).
/ women who are persistently hyperthyroid before surgery should
be prepared wittra p-adrenergic blocking agent and a10'.to L4-
days c^ourse.of potassium iodide with the intent of treating the
hyperthyroid stale and minimizing the potential for perioperative
disease exacerbation.

56 S eri-L Endokin-Metab olik


RADIOACTIVE IODINE THERAPHY
/ Radioactive iodine theraphy is contraindicated for the treatment of
Grave's disease during pregnancy.
/ Fetal tissue is more radiosensitive than adult tissue and may
bc susceptible to congenital defects during early development
(Masiukiewicz,1999).
/ Additionally, the fetal thyroid gland begins to concentrate iodine
after gestational week 10, predisposing the fetus/neonate to
c_ongenital hypothyroidism (Evans et al.,1998; Stoffer et aL,\976).

FETAL OR NEONATAL HYPERTHYROIDISM


Fetal or neonatal hyperthyroidism occurs in r% of pregnancies
complicated by active or previously ablated Grave's diseaie (.Burrow,
1993). In both instances, hyperthyroidism results from the transplacental
passage of maternal rsH receptor antibodiesthat stimulate the fetal
(or neonatal) thyroid gland. The passage of immunoglobulins and
the potential for fetal hyperthyroidism become clinically significant at
the end of the second trimester (Polak et a1.,2004). Commeicial assays
for thyroid-stimuiating immunoglobulins may not be as helpful as
levels.of rSH receptor binding inhibitory immunoglobulins. Thyroid-
stimulating immunoglobulin levels greater than 3s% and rsH receptor
binding inhibitory immunoglobulin levels greater than40% have been
associated with fetal thyrotoxicosis (Mortimer et a\.,1990;peleg et al.,
2002; Matsuura et a\.,1988). If either entibody titer is suspiciousty trigh,
. a careful fetal ultrasound examination should be performed. In the
presence of fetal tachycardia and goiter, fetal thyrotoxicosis should be
suspected (Mestman, 2004). The necessity of cordocentesis to confirm
the diagnosis in the clinical setting of fetal tachycardia and a mother
with either active or previously treated Grave's disease is controversial
(Peleg et a1.,2002; Kilpatrick, 2003).
There are two possible clinical scenarios in which fetal Grave's
disease is observed.
/ First, a woman may have active Grave's disease. In this case, the
maternal thyroid function serves as a "biosensor" that reflects the
fetal thyroid. Maternal and fetal thyroid.synthetic function are
subject to stimulation by the thyroid-stimulating antibodies and
inhibition by the matemal thionamide medication. If the maternal

Diagnosis and Management of Grave,s Disease in pregnancy 57


hyperthyroidism is controlled appropriately, fetal thyrotoxicosis
should not occur.
r' The second scenario concerns a woman who is hypothyroid on
levothyroxine replacement theraphy after either radioactive iodine
or thyioidectomy for Grave's disease. Although she is still producing
thytoid-stimulating antibodies, her thyroid function tests do not
reilect their stimuiatory influence. The transplacental passage of
these antibodies still may affect the fetus, however, resulting in
fetal thyrotoxicosis. In this situation, the matemal thyroid does
nof serve as a "biosensor" for the fetal thyroid. The fetal thyroid is
exposed only to the stimulating antibodies without the concomitant
inhibitory effect of the maternal thionamide theraphy.
Treatment of fetal hyperthyroidism begins by increasing the dosage
of maternal thionamide if the mother has active Grave's disease or
initiating PTU theraphy in the case of previously ablated mothers. PTU
should be initiated it fSO mg/d and crosses the placenta to inhibit the
synthesis of fetal thyroid hormone. The fetus should be re-evaluated
for clinical improvement (heart rate, goiter resolution) by ultrasound
in 2 weeks (Fiiher, L997).It is crucial to remember that although fetal
tachycardia is seen with fetal hyperthyroidism, fetal bradycardia may
not be present with fetal hypothyroidism resulting from over tre,atment
from.maternal PTU. As soon as the fetal heart rate normalizes, the PTU
dose should be reduced systemically with frequent monitoring of fetal
heart rate to maintain it in the normal range. Many patients with Grave's
disease have a continued decrease in thyroid-stimulating antibody
production after 32 weeks, and often PTU can be stopped before delivery
(e-itro et at., T982). For previously ablated hyperthyroid mothers,
levothyroxine theraphy may need to be increased if hypothyroxinemia
develops while treating fetal hyperthroidism with PTU.
Although maternai TSH receptor antibody titers usually decline
toward delivery, neonatal thyrotoxicosis still may be observed if the
stimulating antibodies are present high titers near telm (Mortimer ef
aI., 1990; P eleg et aL, 2002). Neonatal manifestations of hyperthyroidism
may not be ipparent until after a few days of life if a mother was
maintained on thionu-ide treatment until delivery (Skuza et a1.,1996).
Affected neonates require antithyroid medication until the maternal
antibodies are cleared-from their system at approximately 3 months of
age, after which time, signs of hyperthyroidism resolve, and thyroid
function testing normalizes (Skuza et a1,,1996).

58 S ei-L Endokin-Metab olik


REFERENCES
Ain KB, Mori Y, Refetoff S, 1987 . Reduced clearance rate of thyroxine-binding globulin
(TGB) with increased sialylation: a mechanism for estrogen-induced elevation of
serum TBG concentration. J Clin Endocrinol Metab 65:689.
Alexander EK, Marqusee E, Lawrence J, et a1.,2004. Timing and magnitude of increases
iq,.levothyroxine requirements during pregnancy in women with hypothyroidism. N
Engl J Med 35L 241..
Amino N, Tanizawa O, Mori H, et al., 1982. Aggravation of thyrotoxicosis in early
pregnancy and after delivery in Grave's disease. J Clin Endocrinol Metab 55:108.
Burrow GN, Fisher DA, Larsen PR, 1994. Maternal and fetal thyroid function. N Engl J
Med331-:1O72.
Burrow GN, 1993. Thyroid function and hyperfunction during gestation. Endocr Rev
\4:194.
Burrow GN, Klatskin EH, Genel M, 1978. Intellectual development in children whose
mothers received propylthiouracil during pregnancy. Yale J Biol Med 51:151.
Cheron RG, Kaplan MM, Larsen PR, et aL, 1981. Neonatal thyroid function after
propylthiouracil theraphy for maternal Grave's disease. N Engl J Med 304:525.
Clementi M, Gianantonio ED, Pelo E, et a1.,1999. Methimazole embryopathy: delineation
of the phenotype. Am J Med Genet 83:43.
Davidson KM, Richards DS, Schatz DA, et a1.,1991. Successful in utero keatment of fetal
goiter and hypothyroidism. N Eng J Med 324:543.
Davis LE, Lucas MJ, Hankins GDY, et al.,\989. Thyrotoxicosis complicating pregnancy.
Arn J Obstet Gynecol 160:63.
Demers L, Spencer CA" 2003. Laboratory medicine practice guidelines: laboratory support
for the diagnosis and monitoring of thyroid disease. Thyroid 13:6.
Dworkin H, Jacquez ], Beierwalters W, 1966. Relationship of iodine ingestion to iodine
excretion in pregnancy. J Clin Endocrinol Metab 26:\329.
Eiseirstein Z, \Neiss M, Katz Y, et aL,1992. Intellectual capacity of subjects exposed to
methimazole or propylthiouracil in utero. Eur J Pediatr 1:558.
EvansP, WebsterJ, EvansW, et aL,l,998.Radioiodine treatment inunsuspected pregnancy.
Clin Endocrin 48:281.
Fisher D, 1999. Endocrinology of fetal development. In: Wilson JD, Foster DW, editors.
Textbook of endocrinology. Philadelphia: Saunders, p. 2073-102.
Fisher DA, 1997. Fetal thyroid function: diagnosis and management of fetal thyroid
disorders. Clin Obstet Gynecol 40:16.
Gardner DF, Cruikshank DP, Hays PM, et aL,1986. Pharmacology of propylthiouracil
(PTU) in pregnant hyperthyroid women: correlation of maternal PTU concenkations
with cord serum thyroid function test. J Clin Endocrinol Metab 62(21):217-20.
Glinoer D, 1998. Thyroid hyperfunction during pregnanry. Thyroid 8:859.
Glinoer D, Delange F, Laboureur I, et a1.,1992. Maternal and neonatal thyroid function at
birth in an area of marginally low iodine intake. J Clin Endocrinol Metab 75:800.
Glinoer D, DeNayer P, Robyn C, et al., 1993. Serum levels of intact human chorionic
gonadotropin (HCG) and its free a and b subunits, in relation to maternal thyroid
stimulation during normal pregnancy. J Endocrinol Invest 16:881.
Glinoer D, DeNayer P, Bourdoux P, et a1.,1990. Regulation of maternal thyroid during
pregnancy. J Clin EndocrinolMetab 71,:276.
Goodwin GM, Montoro M, Meshnan lH, 1992. Transient hyperthyroidism and
hyperemesis gravidarum: clinical aspects. Am J Obstet Gynecol 167 :648.

Diagnosis and Management of Grave's Disease in Pregnancy 59


Haddow JE, Palomaki GE, Allan WC, et a1.,1999. Maternal thyroid deficiency during
pregnancy and subsequent neuropsychological development of the child N Engl J
Med 341:549.
Hershman I}r/,, 2004, Physiological and pathological aspects of the effect of human
chorionic gonadotropin on the thyroid. Best Pract Res Clin Endocrinol Metab
18:249.
Kaplan M, 1992. Monitoring thyroxine treatment during pregnancy. Thyroid 2:147.
KilpatrickS,2003. Umbilicalblood sampling inwomenwiththyroid disease inpregnancy:
is it necessary? Obsiei Gynecol 189:1.
Kimura M, Amino N, Tamaki H, et al., 1990. Physiologic thyroid activation in normal
early pregnancy is lnduced by circulating hCG. Obstet Gynecol,75:775
Lamberg BA, Ikonen E, Teramo K, et a1.,1981. Treatment of maternal hyperthyroidism
witK antithyroid agents and changes in thyrotrophin and thyroxine in the newborn.
Acta Endocrinol (Copenh) 97:186.
Mandel SJ, Spencer CA, Holloweil JG, 2005. Are detection and treatment of thyroid
insufficiency in pregnancy feasible? Thyroid 15:t14.
Mandel SJ, 2001. Thyroid disease and Pregnancy. In: Copper DS, editor' Medical
management of thyroid disease. New York: Marcel Dekker, p'387418'
Mandel SJ, Brent GA" Larsen PR, 1994. Review of antithyroid drug use during pregnancy
and report of a case of aplasia cutis 4:129.
Mandel SJ, Larsen PR, Seely EW, et al., 1990. Increased need for thyroxine during
pregnancy in women with primary hypothyroidism. N Engl J Med 323:91.
Marchant B, Brownlie BEW, McKay Hart D, et al., 1977. The placental transfer of
propylthiouracil, methimazole and carbimazole. J Clin Endocrinol Metab 45:1187.
Maslukiewicz US, Burrow GN, 1999. Hyperthyroidism in pregnancy: diagnosis and
treatment. Thyroid 9:647 .

Matsuura N, Fujiedu K, Iida Y, et al., 1988. TSH-receptor antibodies in mothers with


Grave's disease and outcome in their offspring. Lancet 331:14.
MestmanfFl, 2004. Hyperthyroidism in pregnancy. Best Pract Res Clin Endocrinol Metab
18:267.
Mestman JH, 1997.Hyperthyroidism in pregnanry' Clin Obstet Gynecol 40:45.
Millar LK, Wing DA" Leung AS, et aI., \994. Low birth weight and preeclampsia in
. pregnancies complicated by hyperthyroidism. Obstet Gynecol 84:946.
tvlitJudi N, Tamaki H, Amino N, et a1.,1992. Risk factors for developmental disorders in
in{ants born to women with Grave's disease Obstet Gynecol 80:359.
Momotani N, Noh JY, Ishikawa N, et al,l997 .Effects of propylthiouracil and methimazole
on fetal thyroid status in mothers with Grave's hyperthyroidism. J Clin Endocrinol
Metab 82:3533.
Momotani N, Hisaoka T, Noh J, et al., 1992, Effects of iodine on thyroid status of fetus
versus mother in treatment of Grave's disease complicated by pregnancy. J Clin
Endocrinol Me tab 75 :738.
Momotani N, Noh J, Oyanagi H, et al., 1986, Antithyroid drug theraphy for Grave's
disease during pregnancy. N Engl J Med315:24'
Momotani N, Itok, Himada N, et a1.,1984. Maternal hyperthyroidism and congenital
malformation in the offspring. Clin Endocrinol (Oxf) 20:695.
Mortimer R, Cannell G, Addis onR, et aI.,\997. Methimazole and propylthiouracil equally
cross the perfused human term placental lobule. J Clin Endrocinol Metab 82:3099.

60 S ei -1 Endokin-Metabolik
Mortimer RH, Tyack SA, Galligan lP, et a1.,1990. Grave's disease in pregnancy: TSH
receptor binding inhibiting immunoglobulins and maternal and neonatal thyroid
function. Clin Endocrinol (Oxt) 321,41.
Ochoa-Maya M, Frates NC, Lee-Parritz A, et al., 1999. Resolution of fetal goiter
after discontinuation of propylthiouracil in a pregnant woman with Grave,s
hyperthyroidism. Thyroid 9:1 111.
Peleg,.D, Cada s, Peleg A, et a1.,2002. The relationship between maternal serum thyrroid,
stinlulating immunoglobulin and fetal and neonatal thyrotoxicosis. Obstet Gynecol
99:1040.
Polak M, Le Gac I, vuillard E, et a1.,2004. Fetal and neonatal thyroid function in relation
to maternal Grave's disease. Best Pract Res Clin Endocrinol Metab 18:289.
sherif IH, oyan wl Bosairi g et a1.,1991. Treatment of hyperthyroidism in pregnancy.
A-cta Obstet Gynecol Scand 70:461.
skuza KA, sills IN, stene M, ef a1.,1"996. Prediction of neonatal hyperthyroidism in infants
born to mothers with Grave's disease. J Pediatr 128:264.
Smiis G, Govaerts C, Nubourgh I, et a1.,2002. Lysine 183 and glutamic acid 157 of the TSH
receptor: two interacting residues with a key role in determining specificity toward
TSH and human CG. Mo1 Endocrinol1,6:722.
stagnaro-Green A. Glinoer D,2004. Thyroid autoimmunity and the risk of miscarriage.
Best Pract Res Clin Endocrinol Metab 18:167.
stoffer ss, Hamburger JI, Inadvertent,1976. r iheraphy for hyperthyroidism in the first
trimester of pregnancy. J Nucl Med 17:146.
Van Loon AJ, Derksen J, Bos AF, et aI., 1995. In utero diagnosis and treatment of fetal
Bfr]1ous hypothyroidism, caused by maternal use of propylthiouracil. prenat Diagn
\5:599.
Wing DA, Millar LK, Koonings PP, et aL,1994. A comparison of propylthiouracil versus
methimazole in the treatment of hyperthyroidism in pregnancy. Am J obstet Gynecol
170:90.

Diagnosis and Management of Grave's Disease in Pregrrancy 6t


Hipotiroid dqn Hipertiroid Subklinis Direropi
qtqu Tidok Diteropi

Hendromorlono
Endokrinologi don Metobolisme - Bogion llmu penyokir Dolom
^^Divisi
RSU Dr. Soelomo - Fokultos Kedokteron Universitos Airlonggo, Suroboyo

PENDAHUTUAN
Hipotiroid subklinis adalah suatu keadaan di mana kadar tiroksin bebas
(T4) dalam serum normal dan kadar tirotropin (TSH) dalam serum
sedikit meningkat. sedangkan yang dimaksua nip"rtiroidi subkiinis
adalah suatu keadaan di mana kadir TSH dalam serum iendah dan
kadar tiroksin (T ) dan triiodotironin (T3) normal (Ross, 2005).
Prevalensi hipotiroid dan hipertiroidi subklinis relatif cukup tinggi.
Prevalensi pada perempuan lebih banyak jika dibandingkutt piau tit i
laki dan prevalensinya meningkat pada uiia lanjut (Maiaf, 2b05; Ross,
2005). Prevalensi hipotiroid subklinis akan meningkat pada penduduk
yang tinggal di daerah dengan kadar yodiu- yung iendah (Manaf,
2005; Ross, 2005).
Etiologi hipotiroid maupun hipertiroidi subklinis sama dengan
etiologi hipotiroid maupun hipertiroidi yang nyata, dan keduanya
'dapat bersifat sementara atau menetap (Ross, zobs;. raaa hipotiroid
subklinis lebih banyak terjadi padi penderita dengan penyakit
autoimun (Koutras, 1999; Ross, 2005). Sedangkan padi hipertiroidi
subklinis penyebabnya dibedakan menjadi dua faitor yaitu faktor
endogen dan faktor eksogen (Hoogendoorn et nI., 2004; Biondi, 2005;
Ross, 2005).
Hipotiroid dan hipertiroidi subklinis merupakan suatu terminologi
yang secara klinis gejalanya samar-samar, disebabkan oleh karena
kegagalan furrgsi tiroid yang minimal. Untuk kon-firmasi diagnosis,
umurrrnya diperlukan pemeriksaan laboratorium yang beikaitan
dengan fungsi'kelenjar tiroid (Manaf, 2005; Ross, 2005).
Pada kedua keadaan tersebut, pemberian terapi masih menjadi
perdebatan, ada yang setuju dan ada yang tidak. Beberapa peneliiian

63
menunjukkan terapi akan memperbaiki keadaan penderita dan
,n"rrgrrtut-tgi risiko te4adinya komplikasi (Kisakol et al., 2003; Sgarbi et
a\.,2603; H-oogendoorn,2004; Biondi 2005; Manaf ,2005; Ross, 2005)'

HIPOTIROID SUBKTINIS

Definisi
Definisi hipotiroid dan hipertiroid subklinis hanya didasarkan pada
peme-liksain laboratoris, bukan klinis. Hipotiroid subklinis adalah
suatu keadaan di rnana didapatkan kadar serum tiroksin bebas (fT4)
dalam batas normal sedangkan kadar tirotropin serum (TSH) sedikit
meningkat (Evered et a\|1973; Ross,2005). Dalam hal ini, peningkatan
kadar tSH r"t,t* biasanya tidak mencapai kadar yang begitu tinggi
(moderately), karena bila menunjukkan angka yang terlalu tinggi (>10
f.y teiah muncul keadaan yang disebut ouert hypothyroidism dengan
^U7
gejala klinis yang jelas (Manaf,2005).
Secara hirfiah subklinis berarti belum atau tanpa adanya gejala
klinis dalam pengertian symptoms dan sign. Tetapi sebenarnya hal ini
tidak begitu tepat, karena ada atau tidak adanya keluhan tergantung
pada se6erapa sensitif seorang penderita mengeluhkan perubahan
yang terjadi pada dirinya. Sedingkan keberadaan gejala atau tanda
ait"it"t ull ot"n k"l"liun seorang dokter dalam menemukannya
(Koutras, 1-999).

Prevolensi
Kemunduran fungsi tiroid yang samar-samar sesungguhnya cukup
-di
sering ditemukan tengah masyarakat, tetapi banyak yang luput dari
pengimatan. Semakin tua usia semakin tinggi angka kejadiannya dan
teluLur, ini lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan
laki-laki. Hal ini sesuai l"rgutr penelitian Sawin dkk (1979) dan Parle
dkk (1991) yang menyebutkan blhwa hipotiroid subklinis terjadi pada
15% peremprrJ' d".tgun usia > 60 tahun dan 8% dari laki-laki yang
berusia lanjut (Ross, 2005).
Pada tahun l- 997 ,W angdan Crapo melaporkan prevalensi hip-otiroid
subklinis pada masyaraTcat umum berkisar antara 1',3610,3%' dan
padaperempuanleblhtinggi(3+10,3%)dibandinglaki-laki0,7+5,0%)
dilakukan oleh Tunbridge
it<o.rtrur, 1O'OO). SedangkJ penelitian yang

ei-l- Endokin- Metab olik


64 S
dkk (1977) dan Sawin dkk (1979) didapatkan angka prevalensi pada
perempuan 7,5+8,5% dan pada laki-laki 2,8q4,4% (Ross, 2005).
Kejadian hipotiroid subklinis lebih sering ditemukan pada kelompok
masyarakat yang memiliki kelainan autoimun seperti diabetes melitus
tipe 1, hepatitis kronis aktif, atau pada mereka dengan antithyroid
autoilntibodies (AAb) positif (Hennemann, 2001). Sekitar 2% dari
perempuan yang hamil mengalami hipotiroid subklinis dan beberapa
di antaranya didapatkan serum antithyroid sntibodies yang tinggi (Klein
et a1.,1991).
Di Eropa, angka kejadian penyakit ini lebih banyak didapatkan
pada daerah dengan kadar yodium yang rendah. Prevalensi hipotiroid
subklinis berkisar antar a 4,2523,9 % did aerah dengan d efisiensi yo dium
(Szabolcs et al., 1997).

Eriologi
Penyebab hipotiroid subklinis pada umumnya sama dengan timbulnya
hipotiroid klinis (oaert), tersering adalah penyakit autoimun. Meskipun
tidak selalu, petanda imunologis AAb biasanya ditemukan pada
penderita ini (Koutras,1999). Sebagian besar penderita ini mempunyai
penyakit tiroiditis autoimun kronis (Hashimoto's) dengan kadar
nntithyroid microsomal (atau antithyroid peroxidase) serum yang tinggi
(Robs, 2005). TPO antibody (TPOA\) yang positif jauh lebih sering
ditemukan daripada thyroglobulin antibody (TgAb) (Koutras, 1999).
Kasus lainnya dapat disebabkan oleh suatu keadaan hipertiroid yang
telah mendapat pengobatan sebelumnya, baik secara medikamentosa,
' pembedahan ataupun radiasi internal. Pascapengobatan, pembedahan
atau radiasi pada umumnya tidaklah secara langsung menyebabkan
hipotiroid, namun keadaan tersebut akan muncul secara perlahan-lahan
dan bertahap seiring perjalanan waktu. Sering kali proses kemunduran
fungsi tiroid dipercepat oleh adanya reaksi autoimun yang ditemukan
secara konsisten pada penderita bersangkutan.
Beberapa penyebab, pada awalnya dapat pula memberikan
dampak ringan, sebagai hipotiroid subklinis. Penyebab yang sering
dikenal adalah defisiensi yodium, kelainan sintesis hormon yang
bersifat bawaan, zat goitrogenik, penyinaran (radiasi), dan lain-lain.
Bahkan beberapa kasus hipotiroid sampai saat ini belum diketahui
penyebabnya.

Hipotiroidi dan Hipertiroid Subklinis Diterapi atau Tidak Diterapi 65


Diognosis
Diagnosis hipotiroid subklinis ditegakkan apabila didapatkan
kadar T4 bebas (fT4) serum normal disertai peningkatan TSH serum
(Koutras, 1999, Ross, 2005). Biasanya secara bersamaan kadar T3
bebas,(ft3) serum juga ditemukan normal, sehingga pemeriksaan fT3
sering tidak diperlukan dalam hal ini. Harus diingat, penggunaan obat
tertentu dapat mempengaruhi abnormalitas TSH . Keadaan ini perlu
diwaspadai, demikian pula bila diperoleh peningkatan TSH serum
yang sangat kecil, mungkin diperlukan pemeriksaan ulang.
Ol5h karena tidak adanya indikasi yang jelas dalam menetapkan
siapa yang akan diperiksa, maka perlu mengacu pada beberapa
patokan. Orang dengan usia pertengahan dan tua direkomendasikan
bagi penelusuran kearahhipotiroid subklinis. Jenis kelamin perempuan/
dan positifnya AAb serum merupakan faktor yang memperkuat alasan
pemeriksaan. Apalagi bila ditemukan indikasi kearah tersebut seperti
sering merasa lelah, hiperkolesterolemia, dan lain-lain. Istilah subklinis
pada penamaannya memang mengundang pertanyaan: perlukah
dilakukan skrining dan selanjutnya pengobatan terhadap mereka yang
tidak memberikan gejala apapun? (Ross, 2005). Berbagai pendapat,
mulai dari yang menganggap tidak perlu, sampai yang menganggap
penting, dengan pembatasan pada usia-usia tertentu untuk jenis
kelamin tertentu, banyak dikemukakan. Masalah " cost, risk andbenefit"
tampaknya menjadi pertimbangan utama dalam menindak lanjuti
masalah ini.

tmplikosi Klinis dqn Loboroforis


Meski daiam tahap subklinis, dengan menggunakan tingkat ketelitian
yang lebih baik, berdasarkan diagnosis fisik dan laboratorium klinik,
tidak jarang kondisi hipotiroid mulai dapat dideteksi. Kulit penderita
cenderung kering (hipohidrosis) dan gangguan trofi kadang-kadang
dapat terdeteksi (Mana[, 2005). Pola metabolisme yodium pada
hipotiroid subklinis mirip dengan tiroiditis Hashimoto dalam tahap
ringan (Koutras, L999). Peningkatan kadar kolesterol (terutama LDL
kolesterol) serum dan kecenderungan terjadinya coronaly artery disease
(CAD) sering terjadi (Biondi et al., 2002; Fazio et aI., 2004; Ozcan et al',
2005), sidero p enia (29, 8%), sideropenik anemia (15, 7 %) (Koutras, 1-999),
dan gejala kejiwaan (Gonen et a1.,2004) merupakan contoh yang dapat
terliliai pada hipotiroid subklinis. Bila terjadi pada ibu hamil, risiko

66 S ei-l- En dokrin-Me tab olik


gangguan pada plasenta dan melahirkan dini (< 34 minggu) menjadi
tinggi (Casey,2005; Manaf ,2005).
Hipotiroid Subklinis: Diobati atau Tidak Diobati?
Magih terdapat kontroversi mengenai bagaimana sikap terbaik bila
menemukan hiportiroidi subklinis. Meskipun ada yang berpendapat
agafdiobservasi saja, namun kebanyakan ahli menganjurkan sebaiknya
dilakukan pengobatan. Pendapat tersebut didasarkan atas euidence
based mengenai (telah) munculnya kelainan jaringan seperti diuraikan
di atas. Bahkan berdasarkan follora up terhadap kasus subklinis yang
tidal mendapat pengobatan, kebanyakan berkembang rnenjadi oaert
hypotlryroidisru (Ross, 2000). Terdapat bukti bahwa bila dilakukan
pengobatan, akan terjadi perbaikan klinis dan penurunan kolesteroi
LDL (Meier,2001).
Sebelum melakukan tindakan pengobatan, tampaknya diperlukan
tahapan awal penelusuran secara klinis, pemeriksaan TSH serum untuk
skrining, dan pengelompokan penderita berdasarkan kadar TSH, AAb
dan fT4 serum. Skrining dianjurkan pada perempuan berusia > 35 tahun
dan lakilaki berusia > 50, kecuali untuk mereka yang secara klinis dan
laboratoris dicurigai ke arah hipotiroid, tidak diperlukan kriteria usia.
Semakin tinggi kadar TSH dan titer antibodi serum semakin besar
kemungkinan terj adiny a hipotiroi d spontan (Huber, 2002; D iel, 2004).

Beberapa regimen yang diperlukan dalam pengelolaan hipotiroid


subklinis berdasarkan hasil skrining pemeriksaan TSH serum (normal:
0,40 - 4,00 mlJ /L) (Koutras, 1999):
A. Bila kadar TSH serum < 0,40 mU / L:
diagnosis ke arah hipertiroidi, diperlukan pemeriksaan fT3 dan fT4
atau T3 dan T4 serum untuk konfirmasi.
B. Bila kadar TSH serum 0,4 - 2,00 mIJ /L:
diagnosis ke arah hipertiroidi subklinis, ulang skrining setiap 5
tahun.
C. Bila kadar TSH serum 2,01 - 5,00 mU /L:
diagnosis ke arah hipotiroid subklinis, dilakukan pemefiksaan fT4
atauT4 serum dan AAb.
- Bila AAb (-), fT4 normal, dilakukan ulangan skrining setelah
1 tahun kemudian. Pengobatan dengan hormon tiroksin baru
diberikan jika hasil pemeriksaan TSH > 4,00 mIJ /L dalam 2 kali
pemeriksaan yang berturutan.

Hipotiroidi dan Hipertiroid Subklinis Diterapi atau Tidak Diterapi 67


- Bila AAb (+), fT4 rendah atau normal rendah, dan TSH > 3
mU f L, diobati dengan hormon tiroksin. Yang lainnya diulangi
skrining setiap 1.-2 tahun untuk observasi.
D. Bila kadar TSH serum > 5, 00 mU /L:
diagnosis kearah hipotiroid, konfirmasi dengan fT4 serum.
Pen-gelolaan seperti kasus hipotiroid.

Masalah yang biasanya menjadi pertimbangan dalam pengobatan


adalah edaerse effect dari tiroksin. Keluhan angina dan aritmia
merupakan hal yang dapat terjadi, terutama pada penderita lanjut usia.
Biasariya dosis awal tiroksin dimulai dengan 12,5 mgf hari.

HIPERTIROIDI SUBKLINIS

Definisi
Hipertiroid subklinis adalah suatu keadaan di mana didapatkan kadar
tirotropin (TSH) serum yang rendah (. 0,5 mU/L) sedangkan kadar
tiroksin bebas (fT4) dan triyodotironin bebas (fT3) dalam batas normal
(Mc Dermott et a1,,2003; Surk et a1.,2004; Ross, 2005).

Prevolensi
Prevaiensi hipertiroidi subklinis di masyarakat berkisar antata 0,7-
12,4%.Keragaman tersebut sebagian disebabkan oleh karena perbedaan
dalam pengertian nilai TSH serum yang rendah. Pada penelitian di
krggris didapatkan 6% dari populasi memiliki nilai TSH < 0,5 rnUf L
(Parle et nL,1991.; Ross, 2005). Sedangkan penelitian di Amerika Serikat
didapatkan 1,8% populasi dengan nilai TSH < 0,1 mU/L (Sawin ef
aL, 1991,; Ross, 2005). Pada penelitian National Hectlth and Nutrition
Examination Suraey (NHANES III) didapatkan angka 0,7% dari16-533
orang mengalami hipertiroidi subklinis (Hollow ell, 2002; Ross, 2005).
Prevalensi pada laki-laki dan perempuan adalah sama dan
meningkat pada usia tua (Parle et aI., 1991). Prevalensi hipertiroidi
subklinis bervariasi tergantung pada kriteria yang digunakan dan
umur populasi yang diteliti seperti yang tampak pada Tabel 1.

68 Se i-1 En dokin-Met ab olik


Tnfuh I Prerrolence d o suppressed serwn I5l{ led in cornmunity bosed rurveys. Tln
studies by Pcde # olto t" or9 b<lsed on the rame cohori
'ila oI tui cf wbs * T5ff
foa %.Chffitlr 'l{,tl1m*l
lludror fs a&{ec* fomr4 ,, {mdJ/T $ryFd{l1r,td *plmx w
|rqhi ercf r9ro gsd 55*92 't$.l T t.7
tuk,**fu t99r l2 t$ rtiS .;$..5 Mcrk 5.5 I ? s.$
fsrxrk d.3
Sarin al siF twt a {7{ :p6* *;0.t 3.f *.1 2S
tsxrdg al cf, 1000 :5€d2 }f; *S.3
:,v t.? s.t E.J
Psds gcf' 1$0t il?t r.*4 cS. I Lr *_t
llsllmJ *,of nrt11 ! 1353 :t 3 q:S. I t.1 *.5 l
Vslile atcf 100J 3fJt ?3;rr; *: &3 t t-l E_d E,O
,;0.1

Etiologi
Penyebab hipertiroidi subklinis sama dengan penyebab terjadinya
ooert hyperthyrlidism di mana dapat disebabkan oleh faktor dari dalam
(endogenous factors) dan faktor dari luar (exogenous factors). Kedua
faktor tersebut dapat menyebabkan terjadinya hipertiroid subklinis
sementara (transient) ataupun menetap (persistent) (Ross, 2005) seperti
tampak pada Tabel 2.
Sebanyak 10 juta pendudukAmerika Serikat mengalami hipertiroidi
subklinik oleh karena faktor eksogen dan sebany ak 2 juta penduduk
dunia mendapatkan terapi hormon tiroid yang merupakan faktor
risiko terjadinya hipertiroidi, meskipun disengaja atau tidak disengaja
(Ross, 2005).
Faktor endogen yang paling sering menyebabkan hipertiroidi
subklinis adalah adenoma tiroid dan multinoduler goiter. Diantara

TABEL 2. Penyebab pers istent subclinical hyperthyroidism

Endogenous cause$
Grave€'dlsease
Autonomously f urwt[cnlnE thyroid adensma
Multinodular gaitar
Exog*nous c6r.tses
Excessive t hyrc id hsrmone reFlaoerne nt the rapy
I Frtentionai thyroid ho rmcn e su
Bpressive th arapy

Hipotiroidi dan Hipertiroid Subklinis Diterapi atau Tidak Diterapi 59


pasien yang berusia lebih dari 55 tahun, 57 % penderita disebabkan oleh
multinoduler goiter, diikuti oleh Graae's disease (6%). Pada penelitian
lain disebutkin 22 % penderita multinoduler goiter mengalami
subklinis hipertiroidi dan 28% diantaranya didapatkan area autonom
pada imaging tiroid (Rieu ef aI.,1993).
Hiperilroidi subklinis juga dapat terjadi pada pasien dengan
tiroidilis (Charkes, 1996) dandilaporkan sebanyak 63% pasien eutiroid
dengan Graves' opthalmopathy (Kasagi, et a\.,1988; Ross, 2005) serta4%
dianlarnya dengan Groaes' disease dalam remisi (Mukarami et al', 1988;
Ross,20b5). Se[in itu wanita dengan hiperemesis gravidarum (atau
trophoblastic disease) dengan kadar serum HCG yang tinggi, mungkin
mengalami hipertiroidi subklinis (Goodwin et a1.,1992).

Geiolo don Tqnd<r Klinis yqng Penting


Kelainan pada tulang dan sistem kardiovaskuler merupakan
organ utama yang mengalami gangguan akibat dari hipertiroidi
,n6khtir, meskipun gattgguutt pada sistem yang lainnya juga pernah
dilaporkan Manifestasi pada tulang berupa penurunan densitas tulang
akibat gangguan metabolisme mineral tulang. Hal tersebut dapat
meningtatkan risiko terjadinya patah tulang terutama pada usia lanjut
(Biondi et aI., 2000; Biondi et aI., 2002; Kisakol et qI., 2003; Fazio, 2004;
Biondi et a1.,2005; Ross, 2005; Hoogendoorn et aL,2004;Y Lee,2006)'
Gejala sistem kardiovaskuier yang sering dilaporkan adalah atrial
fibrilasi, dan efek pada fungsi jantung dapat berupa: peningkatan
denyut jantung danieringnya terjadi atrial premature beats,peningkatan
koniraktilitas jantung; peningkatan index masssa ventrikel kiri,
penebalan septum interventikular, penebalan dinding posterior
ventrikel kiri, disfungsi diastolik, penurunan toleransi latihan, dan
lainlain (Biondi et ct\.,2000; Biondi et a1.,2002;Fazio,2004; Biondi et al',
2005; Ross, 2005).
Gejala pada sistem organ lainnya dapat beruPa:- gangguan
neuropsikoiogis, gangguan kualitas tidur, gangguan kualitas-hidup'
selairr itu juga dipar terjadi anxietas (mood disorder) dan dementia
(Gonery 2004, Ross, 2005).
Pada penderita hipotiroid subklinis sering didapatkan peningkatan
kadar enzim glutation s-transferase, alanin aminotransferase, Samma-
glutamil transfiase dan hormon sex yang terikat globulin (Ross, 2005).
Selain itu juga mungkin didapatkan,penurunan kadar kreatinin kinase

70 Sei-1- En dokin- Me tab olik


serum dan pengurangan aktivitas paraoxonase serum yang merupakan
faktor risiko terjadinya aterosklerosis (Yavuz et aL,2004; Ross,2005).

Diognosis
Diagnosis hipertiroidi subklinis didasarkan pada kombinasi antara
kadar serum TSH yang rendah (< 0, 5 mU/L) dan kadar serum T3 dan
T4 normal (Ross, 2005). Bagaimanapun dalam hal ini terdapat penyebab
lain dari rendahnya kadar TSH serum. Mungkin yang paling penting
adalah penyakit pituitary atau hipotalamus di mana nilai TSH serum
yang rendah dihubungkan dengan hipotiroid. Beberapa penyebab
rendahnya kadar TSH serum yang lainnya adalah:
1. Penyakit nontiroid, khususnya pada pasien di ICU dan mendapat
terapi glukokortikoid atau dopamin.
2. Tidak lama setelah permulaan terapi untuk resolusi spontan dari
oue r t hy p erthy roi d isn t.
3. Kesalahan laboratorium

Hipertiroidi Subklinis: Diteropi qtqu Tidqk Diteropi?


Seperti halnya pada keadaan hipotiroid subklinis, pengobatan
hipertiroidi subklinis juga masih diperdebatkan. Ada kelompok
yang setuju dan ada pula yang tidak setuju. Mengingat bukti bahwa
hipertiroidi subklinik eksogen menyebabkan efek yang merugikan
pada jantung dan tulang, maka Hoogendoorn dkk (2004) setuju dengan
rekomendasi yang dikeluarkan ole}r The American Association of Clinical
' Endocrinologiests yang menyatakan bahwa "penderita yang mendapat
levothyroxine untuk replqcqment therapy, dosis harus diturunkan hingga
kadar TSH serum berkisar antara 0,3-3,0 rnLJ/L. Satu perkecualian
yaitu terapi replacement hormon tiroid sesudah tiroidektomi kanker
tiroid differentiated di mana umumnya diperlukan penekanan kadar
f,SH ringan sampai sedang".
Pada pasien dengan penekanan kadar TSH akibat faktor endogen,
lebih banyak data yang mendukung keputusan pemberian terapi
hipertiroidi subklinis; Pada beberapa pasien didapatkan kadar TSH
serum normal dan harus diperiksa ulang beberapa minggu atau
beberapa bulAn kemudiaru sehingga intervensi tidak seharusnya
diberikan jika tidak didapatkan kadar TSH rendah yang menetap.

Hipotiroidi dan Hipertiroid Subklinis Diterapi atau Tidak Diterapi 77


Demikian juga pada penderita wanita post menopause dengan
noduler goiter dan hipertiroidi subklinis yang diberikan terapi obat
anti tiroid, memiliki kepadatan tulang yang letdh tinggi dibandingkan
dengan yang tidak diterapi (Mudde et al', 1994; Faber et aI., 1998).
Pada penelitian lain disebutkan pemberian obat anti tiroid dapat
menuiirnkan denyut j an tung, atri al dan a en tr i cul ar p r em atur e b e at, index
massa ventrikel kiri, penebalan septum interventrikular dan penebalan
dinding posterior ventrikel kiri (Sgarbi et a1.,2003).
Pasien dengan risiko tinggi terjadinya komplikasi pada tulang dan
jantung (seperti pasien usia lanjut, wanita post menopause yang tidak
mendapat terapi esterogen) digunakan pendekatan seperti tersebut di
bawah ini:
1. Bila kadar TSH serum < 0,1' mlJfL, evaluasi dan terapi untuk
hipertiroidi.
2. Blla kadar TSH antara 0,1-0,5 rnIJf L, diberikan terapi khususnya
bila skaning tiroid radioaktif menunjukkan adanya area dengan
uptake yang tinggi atau adanya kepadatan tulang yang rendah'
Harus diamati apabila penderita menggunakan obat antagonis B-
adrenergik, karena densitas tulang akan normal dan pada scanning
tiroid tidak didapatkan gambaran seperti terbut di atas.
Sedangkan untuk penderita dengan risiko komplikasi yang rendah,
digunakan pendekatan sebagai berikut:
1. Bila kadar TSH serum < 0,L mU/L, diberikan terapi khususnya
bila skanning tiroid dengan radioaktif menunjukkan adanya area
. dengan uptake yang tinggi atau adanya kepadatan tulang yang
rendah.
2. B1La kadar TSH serum antara 0,1-0,5 mU f L, dilakukan follow up
saja.

Rekomendasi tersebut sesuai dengan The Endocrine society, American


Tlryroid Association danThe American Association of Clinical Endocrinologist
(Surks et a1.,2004).

SUMMARY
Definition of subclinical hypo and hyperthyroidism only based
on laboratorium examination, do not on clinical examination. The

72 S ei-l- En dokin-Metab olik


meaning of subclinical show undefinite symptoms. Because undefinite
symptoms, many cases were not detected by patient or docter.
Prevalence is higher on elderly, especially on women. The
subclinical hypo and hyperthyroidism should be treated based on
certain parameter.

DAFTAR PUSTAKA
Biondi B, et al. (2000). Endogenous subclinical Hyperthyroidism Affects euality of Life
and Cardiac Morphology and Functoin in young and Middle-Aged patienis. J Clin
Endocrinol Metab 85; 12:4701-5
Biondi B, Palmieri EA, Lombardi G and Fazio s (2002). Effects of subclinical rhyroid
Dysfunction on The Heart. Annals of Internal Medicine 137;\1,:904-14
Biondi B, Palmieri EA, Klain M, schlurnberger M, Filetti s and Lombardi G (2005).
subclinical Hyperthyroidism: Clinical Features and rreatment options.European
Journal of Endocrinolo gy 1,521,-9. Available from: www,eje-online.oig
Charkes ND (1996). The Many Causes of Subclinical Hyperthyroidism. Thyroid 5:391
Diez JJ, Iglesias P (2004). spontaneous subclinical Hypothyroidism in patient older than
55 Years: An Analysis of Natural course and Risk Factors for The Development of
Overi Thyroid Failure. J Ciin Endocrinol Metab 89:4890-7
FaberJ, et al. (1998).: Normalization of serum Thyro tropin be means of Radioiodine
Treatment in Subclinical Hyperthyroidism: Effect on Bone Loss in Postmenopausal.
Womm. J Clin Endocrinol 48:285
Fazio s, Palnrieri EA, Lombardi G and Biondi B (2004). Effects of Thyroid Hormone
on the Cardiovasculer system. The Endocrine society. Recent progess in Hormone
Research 59:31-50
Gonen MS, Kisakol G, Cilli AS, Dikbas O, Gungor AI and Kaya A (2004). Endocrine
Journal 51;3:511-5
Goo-dr.t'in TM, et al. (1992). The Role of Chorionic Gonadotropin in Transient
Hyperthyroidism of Hyperemesis Gravidarum. J clin Endocrinol Metab 7s:r333
. Hennemann G (2001). Report of The 12th. International Thyroid congress. Thyroid
International 1, & 2: 3-1,6
Hooogendoorn EH, Heijer MD, van Dijk ApI and Hermus AR (2004). subclinical
Hyperthyroidism: to Treat or not to Treai?. Postgrad Med J 80:394-8. Available from:
http: / /www.bmjjournals.com/cgil reprinfform
Huber G (2002). Prospective study o{ The spontaneous Course of subclinical
Hypothyroidism: Prognostic Value of Thyrokopin, Thyroid Reserve and Thyroid
Antibodies. J Clin Endocrinol Metab B7:322t-6
Kisakol G, Kaya A, Gonen s and runc R (2003). Bone and Calcium Metabolism In
subclinical Autoimmune Hyperthyroidism and Hypothyroidisrn. Endocrine Journal
50 ;6:657-6'L
Klein RZ, et al. (799\). Prevalence of rhyroid Deficiency in pregnant women. J clin
Endocrinol (Oxf) 35:41
Koutras DA (1999). Subclinical Hypothyroidism. Thyroid International 3:3-8
Manaf A (2005). subclinical Hypothyroidism. Dalam: Naskah Lengkap Temu Ilmiah dan
simposiumNasionallVPenyakitKelenjarTiroid (pERKENI). Editor: Djokomoeljanto,

Hipotiroidi dan Hipertiroid Subklinis Diterapi atau Tidak Diterapi /5


Darmono, suhartono T, Pemay.un TGD dan S Heri NH. Sub Bagian Endokrinologi
Bagian Penyakit Dalam FK Undip/RS Dr. Kariadi, Semarang, 23-24 Aptil2005 pp
85-90
Mc Dermott MT, Ridgway EC (2001). subclinicai Hypot\roidism is Mild Thyroid Failure
and Should be Treated. j Clin Endocrinol Metab 86:4585
Meier c (2001). TSh Controlled L-Thyroxine Therapy Reduce Cholesterol Levels and
Cliniral symptoms in subclinical Hypothyroidism: A Double Blind Placebo-
Controlled Trial (Basel Thyroid Study). J Clin Endocrinol Metab 86:4860-6
Mudde AH, Houben AJ, Nieuwenhuijzen KAC (1994). Bone Metabolism during
,{ntithyroid Drug Treatment of Endogenous subclinical Hyperthy roidism. Clin
. Endocrinol 41 :42'l
Ozcan O, et al. (2005). The Effects of Thyroxine Replacement on the Levels of Serum
Asy-mmetric Dimethylasginine (ADMA) and other Biochemical Cardiovasculer
Risk Markers in Paiients *ith srrb.1i.,ica1 Hypothyroidism. J clin Endocrinol (oxf)
63.203
Ross DS (2005). Subclinical Hyperthyroidism.,In:. 2nd Joint SPED/AACE International
Endocrine blinical Update and 28th SPED Post Graduate Diabetes Course, Desember
8-11,2005. SanJuan, Puerto Rico, pp57-69
Ross DS (2005). Subclinical Hypothyroidism. In: 2nd Joint SPED/AACE International
Endocrine btinical Update and 28rt'SPED Post Graduate Diabetes Course, Desember
8-11, 2005. San juan, Puerto Rico, pp 66-76
sawin CT, et al. (\979). The Aging Thyroid: ,lncreased Prevalence of Elevated Serum
Thyrotropin Level in the Elderly. JAMA242
Sgarbi JA, Villaqa FG, Garbeline e, Vitta HE and Romaldini JH (2003). The.Effects of
"
Euiy et tithyroid Therapy for Endogenous Subclinical Hyperthyroidism.in Clinical
and Heart A6normaiities. i Clin Endocrinol M elab 88; 4:1-672-7. Available from: jcem.
endojournals.org
Surk MI, E Ortiz, Hbaniels G, T Sawin C,'F Co1 N. H Cobin R, et al. (2004). Subclinical
Thyroid Disease: Scientific Review and Guidelines for Diagnosis and Management
JAMA 14; 29L:228-38' Available from: www.guideline gov
turibridge WM, et aL (1977), The Spectrurn of Thyroid Disease in A Community: The
\,Vhiikham Survey. J Clin Endicrinol (Oxf) 7:481'
Watt T, Groenvld M, il.asmussen AK, Bormema SJ, Hegedus L, Biorner JB and Rasmussen
uF (2006). Quality of Life in Patients, with Benign Thyroid Disorders, A review.
European J of Endocrinol 154:501-10 Available from: www'eje-online olg
zg. y lee w, et at. (2006). Relationship bbtween Subclinical Thyroid Dysfunction and
Femoral Neck Bone Mineral Densitlin women. Arch Med Res37;4:51\-6' Available
from: www.pubmed.gov

74 S ei-1. En dokin-Metabolik
Hipofiroidisme: Diognosis dqn Pengelolqon

Ari Suriohio

RSU Dr. Soetomo - Fokultos Kedokteron Universitos Airlonggo, Suroboyo

PENDAHULUAN
Hipotiroidisme adalah suatu sindrom klinis akibat dari defisiensi
hormon tiroid, yang kemudian mengakibatkan perlambatan proses
metabolik. Hipotiroidisme pada bayi dan anak-anak berakibat
perlambatan pertumbuhan dan perkembangan dengan akibat retardasi
mental dan fisik yang ireversibel apabila tidak diberi pengobatan segera
setelah lahir. Gejala hipotiroidisme pada orang dewasa kebanyakan
reversibel dengan terapi.
Hipotiroidisme diklasifikasikan menjadi hipotiroidisme primer
bila gangguan terjadi di kelenjar tiroid-dan hipotiroidi sentral bila
gangguan terjadi di hipofisis (hipotiroidi sekunder) dan hipotalamus
(hipotiroidi tersier). Sebab lain: sebab farmakologis, defisiensi yodium,
ekses yodium dan resistensi perifer. Manifestasi klinis hipotiroidisme
umumnya tidak tergantung sebabnya.

ETtOtOGt
Eriologi hiporiroid
Primer:
1. Tiroiditis Hashimoto
a. Dengan goiter
b. Atropi tiroid idiopatik, diduga sebagai stadium akhir penyakit
tiroid autoimun, setelah tiroiditis Hashimoto atau penyakit
Graves
2. Tercpi iodium radioaktif untuk penyakit Graves
3. Tiroidektomi subtotal untuk penyakit Grave's atau goiter nodular.
4. Asupan iodium berlebihan (zat warna kontras)

75
5. Tiroiditis subakut
6. Penyebab yang jarang di Amerika Serikat
a. Defisiensi iodium
b. Bahan goitrogenik lain seperti litium; terapi dengan obat
antitiroid
c. Keldinan bawaan hipo atau agenesis kelenjar tiroid
Sekunder: Hipopituitarisme karena adenoma hipofisis, terapi ablasi
hipofisis, atau destruksi hipofisis
Tersier: Disfungsi hipotalamus (jarang)
Resist6nsi perifer terhadap kerja hormon tiroid.
Tiroiditis Hashimoto merupakan penyebab hipotiroidisme
tersering. Pada pasien-pasien lebih muda, lebih sering dihubungkan
dengan"goiter; pada pisien lebih tua, kelenjar mungkin dihancurkan
totaf oleh pror"r imunologis dan satu-satunya sisa penyakit ini adalah
uji antibodi mikrosomal intitiroid yang terus-menelus positif. Lebih
iali 90% pasien memperlihatkan peninggian kadar autoantibodi
terhadap tiroglobulin (anti-TG) dan terhadap peroksidase tiroid (anti
TpO). fada iebagian besar penderita ditemukan antibodi-antibodi
yang menghambal efek TSH pada reseptornya atau yang sitotoksik
terhadap sel-sel tiroid.
Radiasi iodium radio aktif pada kelenjar tiroid atau radiasi external
pada-leher juga dapat menyebabkan hipotiroidisme yangbersifal dose
dependent darisering dalam keadaan subklinis seiama beberapa tahun
setelum menjadi hipotiroidisme klinis. Radiasi kelenjar tiroid dapat
pula menyebabkan pembentukan antibodi anti tiroid'
i tiroidektomi totil menyebabkan hipotiroidisme dalam 2 minggu
setelah operasi. Hipotiroidisme yang terjadi setelah, tiroidektomi
subtotal pada penyakit Graves, sebagian besar terjadi satu tahun
sesudah'op"turi. sirutlyu menjadi hipotiroidisme sebanyak 0,5-1'%
dalam satu tahun. Hal ini disebabkan tidak hanya akibat banyaknya
jaringan tiroid yang dibuang, tetapi juga akibat proses otoimun yang
menjadi dasar penyakit Graves'
Hipotiroidiime sementa r a (tr ansi en t) dap at terj adi dalam perj alanan
p".,yut it pada berbagai tiroiditis subakut. Tiroiditis limfositik subakut
hipertiroid
lpoi"trt tiroiditis) melupakan peradangan tiroid dengan terjadi
Jementara yang disusui hipotiloidisme sementara, kemudian
penyembuhan.-Hipotiroidisme sementara juga terjadi pada tiroiditis

76 Se i-1. En dokirr-Metab olik


post-partum yang berlangsung beberapa minggu sampai beberapa
bulan.
Kelenjar tiroid yang terlibat dalam penyakit autoimun lebih rentan
terhadap asupan iodium berlebihan, seperti, makan tablet yodium,
obat-obat batuk yang mengandung yodium, obat antiaritmia amiodaron
ataupemberian media kontras radiografik yang mengandung iodium.
Iodium dengan jumlah yang besar dapat menghambat sintesis hormon
tiroid, menimbulkan hipotiroidisme dengan goiter pada pasien dengan
kelainan kelenjar tiroid.
D-efisiensi iodium adalah penyebab hipotiroidisme yang jarang
ditemukan di Amerika Serikat tetapi lebih sering di negara-negara
berkembang.
Obat-obat tertentu dapat menghambat sintesis hormon dan
menimbulkan hipotiroidisme dengan goiter; misalnya litium karbonas
merupakan penyebab farmakologis tersering dari hipotiroidisme
(di samping iodium) yang digunakan dalam terapi keadaan manik-
depresif, dan amiodaron. Terapi kronis (jangka panjang) dengan obat-
obat anti-tiroid propiltiourasil dan metimazol akan berakibat sama.
Hipo atau agenesis kelenjar tiroid. Flormon berkurang akibat
gangguan pada kelenjar. |arang ditemukan, tetapi merupakan etiologi
terbanyak dari hipotiroidisme kongenital di negara barat.

Hipotiroidisme Sekunder don Tertier (Senrrol)


Hipotiroidisme sekunder disebabkan oleh defisiensi TSH sedangkan
hipotiroidisme tertier disebabkan oleh defisiensi TRH. Keadaan ini
amat jarang yaitu kurang dari 1% pasien-pasien hipotiroidisme.
Hipotiroidisme sekunder dapat disebabkan oleh tumor hipofisis,
nekrosis hipofisis post-partum (sindrom Sheehan) trauma hipofisis,
kraniofaringloma dan penyakit infiltratif. Penyebab tesering adalah
tumor hipofisis.
Hipoiiroidisme tertier dapat disebabkan oleh kelainan kelainan yang
merusak hipotalamus atau aliran darah portal hipotalamo-hipofisis.
Keadaan yang dapat merusak hipotalamus antara lain adalah: tumor,
trauma, terapi radiasi dan penyakit infiltratif.

Hipotiroidisme: Diagnosis dan Pengelolaan m


Resisten terhodop hormon tiroid
Keadaan ini jarang ditemukary merupakan penyakit yang diturunkan
secara sutosomal-ricessiae, disebabkan oleh mutasi gen untuk beta form
dari T3 nuclear receptor. Reseptor yang abnormal mempunyai afinitas
yang kurang terhadaP T3

Potogenesis
Defisiensi hormon tiroid memengaruhi semua jaringan tubuh, sehingga
gejalahya bermacam-macam. Kelainan patologls yang paling khas
iduluh p"t-t.rmpukan glikoaminoglikan - kebanyakan asam hialuronat
pada jaiingan interstisial. Penumpukan zat hidrofilik dan peningkatan
permeabilitas kapiler terhadap albumin ini bertanggung iawab
ierhadap terjadinya edema interstisial yang paling jelas pada kulit, otot
jantung dan otot bergaris. Penumpukan ini tidak berhubungan dengan
sit-ttesii berlebih tapl berhubungan dengan penurunan destruksi
glikoaminoglikan.

Diognosis
Diagnosis hipotiroidisme ditegakkan dari gambaran klinis dan
dipistikan dengan pemeriksaan kadar T4 dan TSH serum' Dalam
keadaan adanyi dufaan terhadap peninggian kadar Thyroxine binding
gtobulin (TBG) Gehamilan, terapi estrogen), pemeriksaan T4 tidak
iapat dipercaya) perlu digantikan dengan pemeriksaan free T4 (FT4)
yang tidak dipengaruhi oleh TBG.
- Cambarar, t tinir yang menyokong diagnosis hipotiroidisme antara
lain adalah kelemahan, cepat lelah intoleransi dingin konstipasi,
perubahan berat badan, depresi, menoragia, suara serak, kulit kering'
Lradikardi dan pemanjangan fase relaksasi refleks tendon'
Beberapa kLlainan liboratorium yang menimbulkan dugaan
adanya hipotiroidisme, akan tetapi bukan diagnostik adalah
hiperkolesterolemia, hiperprolaktinemia, anemia, dan hiponatremia'
Kelai'an lain adalah efuJl perikard, pada pemeriksaan radiologis
dan gangguan kontraktilitls otot jantung pada pemeriksaan
ekokardiografi.
' Kegagalan produksi hormon tiroid menyebabkan penurunan
kadar T4 serum, sedangkan penurunan kadar T3 baru terjadi pada
hipotiroidisme berat. Pada hipotiroidisme primer ditemukanpenurunan

78 S ei-1 Endokin-Metab olik


kadar T4 sedangkan TSH serum meningkat. Pada hipotiroidisme
sentral, di samping kadar T4 serum rendah, terdapat kadar TSH yang
rendah atau normal. Untuk membedakan hipotiroidisme sekunder
dengan tersier, diperlukan tes TRH (Thyrotrotropin Releasing Hormone).
Pemeriksaan antibodi "antitiroid peroxidase" (anti-TPO) dan
antitfroglobulin (anti-TG) diperlukan untuk mendukung diagnosis
etiologi: tiroiditis aotuimun kronis (Hashimoto).

Pengelolocrn hipotiroidisme
Umrimnya penderita hipotiroid memerlukan terapi substitusi dengan
hormon tiroid, biasanya seumur hidup, kecuali pada hipotiroid
"transient". Terapi yang terbaik adalah dengan pemberian levotiroksin
(T4) per oral. Waktu paruh levotiroksin kira-kira 7 hari, jadi hanva
perlu diberikan sekaii sehari. Sebaiknya diminum pada pagi hari untuk
menghindari gejala-gejala insomnia yang dapat timbul bila diminum
malam hari.
Tujuan pengobatan hipotiroidisme ialah meringankan keluhan dan
gejala, menormalkan metabolisme, menormalkan TSH, menormalkan
kadar T3 (dan T4), serta menghindarkan komplikasi dan risiko.
Beberapa prinsip dapat digunakan dalam melaksanakan subsitusi
ini:
a. makin berat penyakit, makin rendah dosis awal dan makin landai
peningkatan dosis
b. makin tua pasien makin harus waspada, lebih lebih kalau ada
. angina pektoris, CHF, gangguan irama jantung.
Dosis penggantianrata-rata levotiroksinpada dewasa adalahberkisar
0,05-0,2 mgf hari, dengan rata-rata 0,125 rng/hari. Dosis levotiroksin
bervariasi sesuai dengan umur dan berat badan. Keadaan malabsorpsi
atau pemberian bersama preparat aluminium atau kolestiramin akan
mengubah absorpsi T4, dan pada pasien-pasien seperti ini dibutuhkan
dosis T4 lebih besar.
Dosis awal harus lebih rendah pada orang tua atau pada pengidap
penyakit jantung koroner karena hormon tiroid meningkaikan
kebutuhan oksigen oleh miokard sehingga dapat menyebabkan aritmia,
angina pektoris bahkan infark miokard.
Untuk penderita tua dianjurkan dosis awal50 rncgTl/hari, bahkan
pada penderita dengan penyakit jantung koroner diberikan 25 rncg/

Hipbtiroidisme: Diagnosis dan Pengelolaan 79


hari. Selanjutnya, setiap 3-6 minggu dosis T4 dinaikkan sebesar 25
mcg/hari sampai tercapai kadar TSH serum normal, atau sampai mulai
muncul aritmia.
Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setiap 3-6 minggu dengan
menilai keluhan-keluhan dan pemeriksaan: T4 dan TSH serum'
Berdtrarkan hasil evaluasi tersebut dilakukan penyesuaian dosis
sampai tercapai kadar TSH serum dalam batas-batas normal. Biasanya
terlihat perbaikan klinis setelah 2 minggu pengobatan dan keadaan
sembuh sempurna dicapai setelah beberapa bulan.

DAFTAR PUSTAKA
Greenspan ES. The thyroid gland. In Greenspan FS, Gardner DG eds. Basic & Clinical
Endocrinology, 7th ed, Mc Grow Hill, New Yotk,2004;215
Braverrnan LE, Uilger RD. Introduction to hypothyroidism. In: Werner & Ingbar's. The
Thyroid A fundamental and clinical text. LE Brave'nan and RD Utiger. (Eds.) Eight
Edition. Lippincott Williams Wilkins. A Woler Kluwer Co. Philadelphia, Tokyo 2000,
719
Djokomoeljanto R. Pengelolaan Hipotiroidisme dan Hipertiroidism" S:t11 Umum'
' Naskah Lengkap Endokrinologi Klinis IV. Eds Johan s Masjhur dan sri Hartini KS
Kariadi. PERKENI Bandung 2002 hlm R1
samuels MH, Ridgway EC. Central hypotiroidism. Endocrinol Metab Clin North Am
1992;21:903
Arafah BM. Increased need of thyroxine in women with hypothyroidism during estrogen
therapy. New Engl J Med 2001 ;344: 1743
Weetman Ap. Cfuonic Autoimmune Thyroiditis. In Warner & Ingbar's The Thyroid. A
Fundamental and Clinical Text. Braverman LE and Utiger RD (Eds). Eight Edition.
. Lippincott Wiliams & Wilkins.
Philadelphia Tokyo 2000' 721

ei-1 okin - Me t ab olik


80 S En d
Aspek Bedoh podo Penyokit Tiroid

Sunqrlo Reksoprowirno

Fokirltos Kedokteron Universilos Airlonggo/RSU Dr Soetomo Suroboyo

PENDAHUTUAN
Pembedahan tiroid telah dilakukan mulai akhir abad 16. Pada
waktu itu mortalitas cukup tinggi dengan penyebab perdarahan dan
sepsis. Baru setelah Lister menemukan tentang antisepsis (1867) dan
berkembangnya penggunaan forsep hemostatik di Eropa (1870) maka
pembedahan tiroid mengalami era baru dengan mortalitas jauh lebih
rendah daripada sebelumnya. Pengenalan penggunaan jodiurn untuk
persiapan pernbedahan penderita gondok toksik baru daiam tahun
1922, danSistrunk ditahun 1928 dengan pemberian jodium selama 8-14
hari pra-bedah dapat mengurangi kesukaran tehnik pembedahan dan
menurunkan mortalitas menjadi 0.72%.1
The extirpation of the thyroid gland... typifies, perhaps better than
any operation, the supreme triumph of the surgeon's art.... A feat
which today can be accomplished by any competent operator
. without danger of mishap and which was conceived more than
one thousand years ago.... There are operations today more delicate
and perhaps more difficult.... But is there any operative problem
propounded so long ago and attacked by so many... which has
yielded results as bountifull and so adequate?
Dr. Wiltiqm S. Halsted, 1920 2
Dalam waktu 80 tahun setelah kata-kata tersebut ditulis, banyak
perbaikan dilakukan sehingga pembedahan tiroid menjadi lebih aman
dan efektif daripada masa Halsted. Pada kenyataannya, ditangan
yang terampil, pembedahan tiroid sekarang dapat dikerjakan dengan
morbiditas dari mortalitas yang rendah. Untuk mendapatkan hasil
pembedahan yang memuaskan maka ahli bedah harus mengerti
patofisiologi penyakit tiroid, peraw4tan pra-bedah dan pasca-bedah,

81
pengetahuan yqng baik tentang anatomi leher, dan melakukan
pembedahan dengan tidak tergesa-gesa, hati-hati, dan teliti.

INDIKASI TIROIDEKTOMI
Tiroi&ktomi pada umumnya dilakukan pada 1) penderita dengan
tirotoksikosis yang tidak responsif dengan terapi medikamentosa, atau
yang kambuh, 2) tumor jinak dan ganas tiroid, 3) gejala penekanan
akibat tonjolan tiroid,4) tonjolan tiroid yang mengganggu penampilan
seseorang, dan 5) tonjolan tiroid yang menimbulkan kecemasan
penderita 3 '

PERSIAPAN PRE.OPERATI F PADA TI ROI DEKTOMI

Penderita dengan tonjolan tiroid yang eutiroid hanya memerlukan


pemeriksaan laboratorium rutin (Hb, faal hemostasis, SGOT, SGPT,
kreatinin serum, gula darah puasa, analisa urin), foto toraks, dan pada
penderita usia > 40 tahun diperiksa EKG. Pemeriksaan laringoskopi
-ndoskopik perlu dilakukan pada penderita yang sebelumnya pernah
menjalani operasi tiroid/paratiroid atau pada penderita dengan suara
serak.
Penderita hipotiroidi harus diterapi dulu dengan T4 untuk
mendapatkan status eutiroid. Hipotiroidi yang berat dapat menambah
risiko anestesi dan pembedahan.
Penderita dengan penyakii Grave's yang masih hipertiroid harus
literapi dengan obat antitiroid dulu sehingga dicapai keadaan
eutiroid. Pembedahan pada penyakit ini harus waspada kemungkinan
terjadi krisis tiroid baik pada saat operasi atau setelah operasi, juga
kemiungkinan komplikasi perdarahan dan komplikasi lain yang lebih
besar daripada pembedahan tiroid yang lain. Pemberian yodium 1-2
minggu sebelum pembedahan dapat menurunkan vaskularisasi dan
memidatkan konsistensi kelenjar tiroid sehinga memudahkan tindakan
pembedahan. Penambahan beta-adrenergic blocker yang dikombinasi
dengan yodium dapat meningkatkan keamanan tiroidektomi.

82 S ei-l En dokin-Me tabolik


TEHNIK PEMBEDAHAN
Tiroidektomi konvensionol
Secara singkat tehnik dari tiroidektomi dapat dijelaskan sebagaiberikut.
Setelah penderita diberi narkose dengan endotrakeal, kepala penderita
diletlkkan dalam posisi hiperekstensi dengan meletakkan bantal di
bawah pundak penderita. Desinfeksi lapangan pembedahan dengan
larutan antiseptik, kemudian dipersempit dengan linen steril. Dibuat
irisan colltu dua jari di atas jugulum dengan panjang secukupnya,
dipe.rdalam sampai memotong m.platisma dan perdarahan yang
terjadi dirawat. Dibuat flap keatas sampai kartilago tiroid dan kebawah
sampai jugulum, kedua flap tersebut kemudian di teugel keatas dan
kebawah yang dijahitkan pada linen. Fasia kolli superfisial dibuka pada
garis tengah dari kartilago tiroid sampai jugulum. Otot pretrakealis
(sternohioid dan sternotiroid) kanan kiri dipisahkan kearah lateral
dengan melepaskannya dari kapsul tiroid. Tiroid dibebaskan dari
jaringan sekitar dan diperiksa hati-hati mengenai ukuran, konsistensi,
nodularitas dan adanya lobus piramidalis atau abnormalitas. Berikutnya
ligasi dan pemotongan v.tiroidea media, ligasi dan pemotongan
a.tiroidea inferior sedikit proksimal dari percabangannya, hati-hati
jangan mengganggu vaskularisasi dari kel.paratiroid. N.rekuren
diidentifikasi pada sulkus trakeoesofagikus di bawah kel.tiroid dan
terletak diantara kapsul posterior tiroid dan a. tiroidea inferior. Syaraf
ini diikuti sampai menghilang pada daerah krikotiroid. Kel.paratiroid
diidentifikasi pada permukaan posterior kel.tiroid berdekatan dengan
a.tiroidea inferior. Kutub atas kel.tiroid dibebaskan dari kartilago tiroid
mulai dari bawah dengan identifikasi cabang eksterna n.laringikus
superior dengan memisahkannya dari a & v tiroidea superior. Kedua
pembuluh darah tersebut diligasi dekat dengan jaringan tiroid dan
selanjutnya diirotong. Kemudian kelenjar tiroid dapat dlangkat sesuai
dengan macam pembedahan yang diinginkan, dengan meninggalkan
intak kel. paratiroid beserta vaskularisasinya dan n.rekuren. Perdarahan
yang masih ada dirawat, kemudian luka pembedahan ditutup lapis
demi lapis dengan meninggalkan drain Redon a

Minimolly o€cess fhyroid surgery (MATS)


Irisan kulit horisontal sepanjang 4 cm di atas tonjolan tiroid, irisan
dialnjutkan sampai memotong m. platisma, selanjutnya dibuat flap ke

Aspek bedah pada penyakit tiroid 83


kranial kurang lebih sejauh 2 cm. Fasia dan otot pretrakeal dipotong
horisontal pada level di atas irisan kulit. Tonjolan dan jaringan tiroid
dibebaskan dan diluksir dari jaringan sekitar. Tindakan selanjutnya
seperti pada tiroidektomi konvensional. Prosedur operasi ini hanya
bisa dilakukan pada tonjolan tunggal tiroid jinak dengan ukuran < 3,
5 cm. Dibandingkan dengan tiroidektomi konvensional, keuntungan
dari metode ini ialah lama pembedahan lebih singkat, keluhan nyeri
pasca-bedah lebih rigan, dan penderita lebih cepat kembali pada
aktivitas sehari-hari 5

Minimolly invcrsive thyroid surgery (MITS)


Peryrbedahan tiroid dilakukan dengan irisan kulit yang kecii, irisan
kuiit ini dapat diletakkan pada leher, dinding dada anterior, atau pada
aksila. Melalui irisan kult yang kecil tersebut dibuat flap kuiit untuk
membuat ruang kerja utnuk dapat melakukan pengangkaan tonjolan
tiroid. Batas area ruang kerja tersebut ialah m.sternokleidomastoideus
di sebelah lateral, kartilago tiroid di sebelah kranial, fossa jugularis
di sebelah kaudAl, dan m. pretrakeal kontralateral di sebelah medial.
Dengan peralatan bedah endoskopi dan layar monitor, pembedahan
metode ini dapat dilakukan dengan gas (totaily video-assisted
thyroid surgery) atau tanpa gas dengan cara mengangkat flap kulit
ke atas (endoscopic assisted thyroid surgery). Fasia dan m.pretrakeal
dapat dipisahkan searah seratnya atau dipotong horisontal, langkah
selanjutnya seperti pada tiroidektomi konvensional.
Seperti",pada metode minimally access thyroid surgery, prosedur
pembedahan ini hanya bisa dilakukan pada tonjolan tunggal tiroid jinak
dengan ukuran ( 3, 5 cm. Keuntungannya sama dengan pada minimally
access thyroid surgery, ditambah dengan tidak adanya skar pada leher
bila dilakukan approach dari dinding dada anterior atau aksila, al ini
akan memberikan penampilan yang prima bagi penderita.6

MACAM PEMBEDAHAN TIROID


lsmektomi
Ismektomi ialah pengangkatan tonjolan tiroid jinak yang berada pada
ismus tiroid, beserta bagian ismus dari kelenjar tiroid.

84 Se i -1 En doki n- Me t ab ol ik
Lobektomi subtotcl
Lobektomi subtotal ialah pengangkatan nodul tiroid beserta jaringan
tiroid sekitarnya pada satu sisi, dengan meninggalkan sebanyak
kurang lebih 5 gram jaringan tiroid normal dibagian posterior dekat
tenlpat masuk.n. rekuren ke dalam laring.
Operasi ini dilakukan pada tonjolan jinak tiroid.

Lobektomi totql/hemitiroidektomi
Lobektomi total ialah pengangkatan nodul tiroid beserta jaringan tiroid
seluruhnya pada satu sisi.
Operasi ini dilakukan pada tonjolan finak tiroid vang mengenai
seluruh jaringan tiroid satu lobus, atau pada tonjolan tiroid dengan
hasil pemeriksaan FNA menunjukkan suatu neoplasma folikuler. Bila
hasil pemeriksan histopatologis dari spesimen menunjukkan karsinoma
tiroid, maka tindakan lobektomi total tersebut sudah dianggap cukup
pada penderita dengan faktor prognostik yang baik.

Tiroidektomi subfotol
Tiroidektomi subtotal ialah pengangkatan nodul tiroid beserta jaringan
tiroid sekitarnya pada kedua sisi, dengan meninggalkan sebanyak
kurang lebih 5 gram jaringan tiroid normal dibagian posterior dekat
tempat masuk n. rekuren ke dalam laring di tiap sisi.
Operasi ini dilakukan pada tonjolan jinak tiroid yang mengenai
kedua sisi, juga pada penyakit Graves, penyakit Hashimoto.

Tiroidektomi hompir fotol


Tiroidektomi hampir total ialah pengangkatan tonjolan tiroid beserta
seluruh jaringan tiroid pada satu sisi disertai pengangkatan sebagian
besar jaringan tiroid sisi kontralateral dengan menyisakan sekitais g
saja pada sisi tersebut
Operasi ini dilakukan pada tonjolan jinak tiroid yang mengenai
seluruh jaringan tiroid satu lobus dan sebagian jaringan tiroid
kontralateral. Tindakan tersebut juga dapat dilakukan pada karsinoma
tiroid deferensiasi baik pada satu lobus dan belum melewati garis
tengah, untuk menghidiri lesi n. rekuren atau kelenjar paratiioid
bilateral. Penderita karsinoma tiroid yang dilakukan prosedui ini harus

Aspek bedah pada penyakit tiroid 85


dilanjutkan dengan pemberian ablasi sisa jaringan tiroid menggunakan
yodium radioaktif.

Tiroidektomi totol
Tiroid6ktomi total ialah pengangkatan tonjolan tiroid beserta seluruh
jaringan tiroid.
Operasi ini dikerjakan pada karsinoma tiroid deferensiasi baik
terutama bila disertai adanya faktor prognostik yang jelek, karsinoma
tiroid-tipe meduler, karsinoma tiroid tipe anaplastik yang masih
operabel.

KOMPLIKASI PEMBEDAHAN
Komplikasi dini pasca bedah ialah perdarahan, lesi n.rekuren, krisis
tiroid (pada tonjolan tiroid dengan hipertiroidi) dan hipoparatiroidi.
sedanglan komplikasi yang terjadinya lambat ialah hipotiroidisrn,
hipertiroidism rekuren ipada tonjolan tiroid dengan hipertiroidi), jtga
hipoparatiroidism.

Perdqrqhqn
Tidak seperti dulu, perdarahan pasca-bedah pada operasi tiroid
sekarang jarang terjadi. Terjadinya perdarahan dapat dilihat dari
jumlah darah yang iertampung dalam botol Redon. Bila darah yang
iertampung lebih dari 300 ml dalam waktu 1jam, perlu dilakukan
ne-opett. ]ika perdarahan arterial seringkali drain Redon.kurang
o"pit *"ttumpung perdarahan dan darah rnengumpul pada leher
membentuk hemaioma dan menekan trakea sehingga penderita sesak
napas. Bila terjadi demikian maka diperlukan tindakan yang cepat dan
tepat.

- Lakukan intubasi.
- Luka operasi dibuka dan evakuasi bekuan darah terutama di bawah
lapisan otot pretrakeal.
- penderita dlbawa kekamar pembedahan untuk dicari sumber
perdarahan'dan dihentikan, dipasang drain Redon lagi.
Reoperasi untuk mengatasi perdarahan pasca-bedah tiroid hanya 0,
36%7

86 S ei-1 Endokin-Metabolik
Kerusqkon n.rekuren
Bila waktu pembedahan kedua syaraf rekuren diidentifikasi maka
kemungkinan paralise akibat kecelakaan dilaporkan hanya 0-0, 6%.
Gangguan yang sifatnya transien pada 2-4% dan akan sembuh sendiri
dalagr beberapa minggu atau bulans
Paralisis pita suara permanen terjadi pada < 1% penderita7 dan
paralisis pita suara bilateral sangat jarang terjadi. risiko kerusakan
syaraf lebih besar terjadi pada operasi karsinoma tiroid e atau pada
operasi ulang. Variasi anatomilo atau distorsi lokasi syaraf akan
mendmbah risiko kerusakan syaraf terutama bila ahli bedash kurang
berpengalaman. Adanya gangguan pada n. rekuren secara awal dapat
dilihat dengan laringoskop direkta pada waktu dilakukan ekstubasi.

Trokeomqlqsiq
Pengempisan trakea pasca tiroidektomi dapat terjadi akibat penekanan
yang lama pada trakea oleh tonjolan tiroid yang besar dan dibiarkan
dalam waktu lama, terutama di dekat inlet torasik 11. Ini adalah
komplikasi yang dapat mengancam jiwa 12, yang harus diantisipasi
sebelum melakukan ekstubasi, dan peralatan untuk trakeostomi harus
tersedia. Penanganan trakeomalasia ialah re-intubasi disusul dengan
trakeostomi, serta beberapa cara untuk menahan trakea dari kolapsll

Edemq loring
Edema laring dapat terjadi akibat trauma saat intubasi, hal ini terjadi
'pada4,6% penderitaT. Edema tersebut biasanya ringan saja dan jarang
menimbulkan obstruksi jalan napas. Edema iaring yang hebat dapat
disebabkan oleh adanya hematoma yang besar, hal tersebut akibat
sekunder dari obstruksi vena 13

Hipoporofiroidism
Jika kelenjar paratiroid diidentifikasi minimal 1 kelenjar pada setiap
sisi maka kemungkinan terjadi hipoparatiroidism adalah kecil.
Hipokalsemia transien dapat terjadi \-2haipasca-bedah, hal ini karena
kembalinya kalsium menuju tulang, di mana pada waktu pra- bedah
terjadi peningkatan aktivitas osteoklastik. Oedema pada paratiroid

Aspek bedah pada penyakit tiroid 87


karena manipulasi dapat menambah terjadinya hipoparatiroidism
transien.
Bila timbul gejala klinis seperti parestesi, kram, kejan$, perlu diberi
terapi dengan-pemberian pelan intravena kalsium glukonat 10%
sebinyak 10 ml, disertai kalsium per-oral. Terjadinya hipoparatiroidism
p"trt in"rl bila kel.paratiroid terambil sebanyak 2 buah atau lebih, atau
ierjadi kerusakan vaskularisasinya. Insiden hipoparatiroidi tergantung
macam pembedaha pada tiroid. setelah tiroidektomi pada tonjolan
tiroid multipel yang b"tut, hipokalsemia temporer yang memerlukan
pemberiankalsium terjdipad20% penderita. Hal ini biasanya terjadi 36
1^a^ pasca-bedah. Kompli[asi
hipoparatiroid ini lebih sering terjadi pada
pembedahan M.Basedow dibanding pembedahan karsinoma tiroid
atau kelainan jinak lain dari tiroid. Kemungkinan karena adanya reaksi
14-15. Untuk mencegah
autoimun juga yang terjadi pada kel.paratiroid
hal ini Gann & Paone i6 menganjurkan meiakukan autotransplantasi
kel. paratiroid pada pembedahan M.Basedow. Autotransplantasi kel.
paraiiroid ini memiliki daya hidup yangtinggil7-Ie

Hiporiroidism
Insiden hipotiroidism setelah tiroidektomi subtotal berkisar 4,5- 42%,
biasanya di bawah 10% 20. Sugrue 21-22 mendapatkan hipotiroidis tahun
pasa bldah sebgsar 10% dan 10 tahun pasca bedah sebesar 18%, dan
+
mendapatkan hipotiroidism pada 30 tahun pasca bedah sebesar 20,5
2, 1% . Nampaknya hipotiroidism tidak tergantung jumlahsisa jaringan
tiroid yang ditinggalkan tapi dipengaruhi oleh adanya infiltrasi limfoid
"pada gariUututr--hirtopatologi, anti-tiroglobulin, dan titer antibodi
8,20 Bila hipotiroidism masih
antimifrosomal yang positip pra-bedah
berlangsung seteiah dbulan iikatakan suatu hipotiroidism permanen23-
z+ Wilkln dklkzs memberikan trijodotironin4x20 mikrogram/hr selama

l2bulanuntuk pencegahan hipotiroidism setelah tiroidektomi subtotal


pada M.Basedow.

Hipertiroidism rekuren
Insiden hipertiroidism rekuren sekitar 2-8%,biasanya timbul antara 14
tahun setelah pembedahan, dengan rata-rata pada tahun- ke 3. sugrue
27,22 me..dapuikun rekuren padi5 tahun pasca bedah sebesar 6% dan
pada 10 tahun pasca bedah sebesar \0%, dan mendapatkan rekuren

S ei -1 Endokin-Me tab olik


88
pada 30 tahun pasca bedah sebesar 15,6 + 2,4%. Terjadinya tidak
tergantung sisa jaringan tiroid yang ditinggalkan tapi cenderung lebih
sering terjadi pada anak bila dibandingkan orang tua I

KritF firoid
Krisis tiroid ini sekarang jarang terjadi, yaitu suatu eksaserbasi akut dari
hipertiroidism yang mengancam jiwa, terjadi pasca bedah bila penderita
tidak dipersiapkan dengan adekwat dan masih dalam keadaan toksis
dilakukan pembedahan. Faktor yang menyokong ialah manipulasi
kelenjar tiroid waktu operasi sehingga terjadi peiepasan hormon, bisa
juga adanya infeksi atau tirotoksikosis yang tak terdiagnose.
Gambaran klinisnya ialah distres berat, sesak napas, takikardia,
hiperpireksia, lemah, bingung, delirium, muntah dan diare. Pengobatan
terdiri dari suportif dan obat antitiroid-karbimasol 15-20 mg tiap
6 jam atau PTU 150-250 mg tiap 6 jam. Lugol 10 tetes tiap Sjam atau
Na] 1,5 g iv dalam waktu 24jam. Pengaruh adrenergik diobati dengan
memasukkan hati-hati propanolol 1,-2mg iv. Dosis ini dapat diulang
tiap setengah jam dengan monitor EKG. Kemudian dapat diteruskan
dengan Propanolol 40 mg tiap 8 jam. Pengobatan suportif berupa
rehidrasi dengan cairan infus, kompres dingin, oksigen, digoksin bila
perlu, sedatif, dan steroid- hidrokortison 500 mg iv 8
Data klinik penderita dengan tonjolan tiroid yang dirawat di Divisi
Bedah Kepala Leher SMF Ilmu Bedah RSU Dr Soetomo selama 5 tahun
(2001-200s)

TABEL 1.Distribusi kelainan tiroid di Divisi Bedah Kepala Leher SMF llmu Bedah
RSU Dr Soetomo selama 5 tahun (2001-2005)

kerja
Diagnosis Laki-laki Perempuan Jumlah Persentase
Struma : 60 435 495 51 .450/o
uninodosa
Struma 17 174 191 19.85%
multinodosa
M. Basedow 113 65 78 8.1'lo/"
tiroid
Karsinoma 5'8 140 198 20.58%
Total 814 lOOo/"

Aspek bedah pada penyakit tiroid 89


TABEL 2.Distribuasi umur dan jenis kelamin struma uninodosa di Divisi Bedah
Kepala Leher SMF llmu Bedah RSU Dr Soetomo selama 5 tahun (2001-2005)

Jenis Kelamin
Usia (tahun) Jumlah Persentase
Laki-laki Perempuan
1 - 10 1 1 2 0.40o/o
Xt-zo 0 31 31 6.26olo
21-30 I 117 125 25.25o/o
31-40 16 243 259 52.32o/o
41-50 15 83 9B 19.80%
51-60 15 48 63 12.73o/"
s1-70 11 15 3.03%
>70 2 '1
3 0.610/o

Total 60 495 100o/o

TABEL 3. Diskibusi umur dan jenis kelamin struma multinodosa di Divisi Bedah SMF
llmu Bedah RSU Dr.Soetomo (2001-2005)
Jenis Kelamin
Usia (tahun) Jumlah Persentase
Laki-laki Perempuan
1-10 '| 1 Q.52o/o
11-20 1 1 O.52o/"
21-30 3 36 39 20.42%
31-40 3 oz 65 34.03%
41-50 5 48 53 27.75%
51-60 5 18 23 12.O40/"
61-70 1 B I 4.71o/o
>74 0 0 0 Oo/o

Total 17 174 191 100%

?eaEL +.
Distribusi umur dan jenis kelamin M. Basedow di Divisi Bedah Kepala Leher
SMF llmu Bedah RSU Dr.Soetomo (2001-2005)

Jenis Kelamin
Usia (tahun) Jumlah Persentase
Laki-laki Perempuan
1 - 10 0 0 0 0%
11-20 2 6 I 10.25%
21-30 4 17 21 26.92o/o
31-40 4 25 29 37.18o/o
41-50 2 15 17 21 .80Vo
e 3.85%
5t-60 I 2
61-70 0 0 0 0%
>70 0 0 0 0%

Total 13 65 100%

90 Se i- 1 En d okin- Me t ab olik
TABEL 5.Distribuasi umur dan jenis kelamin karsinoma tiroid di Divisi Bedah Kepala
Leher SMF llmu Bedah RSU Dr Soetomo (2001-2005)

Jenis kelamin
Usia (tahun) Jumlah Persentase
Laki-laki perempuan

_1-10 2 1 3 1.51o/o
11-20 4 5 9 4.54o/"
21-30 2 27 29 14.650/o
31-40 4 J4 38 19.19o/o
41-50 16 23 39 19.70o/"
51 -60 15 ZJ 40 2A.20o/o
.- 61-70 B 17 28 14.14o/o
>70 7 o 15 7.58%
Total 58 140 198 lOOo/"

TABEL 6. Tindakan pembedahan pada struma uninodosa di SMF llmu Bedah RSU
Dr. Soetomo (2001 -2005)

Macam operasi Jumlah (o/o) Keterangan


lsmektomi 1 (0.21%)
Lobektomi subtotal 349 (73.47yo)
Lobektomi total 69 (14.53%) Karsinoma folikuler 5
Karsinoma papiler 1
Tiroidektomi subtotal 20 (4.21%) Karsinoma folikuler 1
Tiroidektomi hampir total 'I (1.8e%) Karsinoma papiler 1
Karsinoma folikuler 1
Tiroiditis Hashiinoto 2
Tiroidektomi total 26 (5.47T.) Karsinoma papiler 19
Karsinoma folikuler 7
Trakeostomi 1 (0.21./.)
475 (1O0%)

TABEL 7. Tindakan pembedahan pada struma multinodosa di SMF llmu Bedah RSU
Dr. Soetomo (2001 -2005)

Macam operasi Jumlah (%) Keterangan


Lobektomi subtotal 22 (12.57o/o)
Lobektomi total 15 (8.57%\ Karsinoma folikuler 3
Tiroidektomi subtotal 99 (56.57y") Karsinoma papiler 6
Tiroidektomi hampir total 16 (9.14%) Karsinoma folikuler 1
Tiroidektomi total 23 (13.14%) Karsinorha folikuler 2
mRND 1
Karsinoma papiler 6
FND 1
Tiroiditis Hashimoto I

Total 175 (100%)

Aspek bedah pada penyakit tiroid 91


'fABEL8. Tindakan pembedahan pada M. Basedow di SMF llmu Bedah RSU Dr.
Soetomo (2001-2005)
Macam operasi Jumlah (%) Keterangan
Tiroidektomi subtotal 63 (s6.e2%)
Lobektomi subtotal 1 (1.54V") Struma diffusa 1 lobus
Tiroideltlomi hampir total 1 (1.54"/.) Ada 1 nodul padat pada 1 lobus
Total 65 (100%)

TABEL 9" Tindakan pembedahan pada karsinoma tiroid di SMF llmu Bedah RSU Dr.
Soetomo (2001-2005)
Macam operasi Jumlah (%) Keterangan
Tiroidektomi total 113 (71,97%) FND 22, mRND 3, RND 3
Berry picking 3
Trakeostomi 3
Meninggal 2
Cornpletion total 6 (3,82/")
thyroideciomy
Tiroidektomi hampir total I (5, 09%)
RND 1 (0,64%)
Hemitiroidektomi 5 (3,18%) FND 1

Tiroidektomi subtotal 1 (0,64%)


Eksisi 5 (3,18%)
Biopsi 1 (0,64%)
Trakeostomi 11 V,Ao%) Meninggal 1
Tidak ada tindakan 6 (6, 36%) Meninggal 6
157 (100o/.)

TABEL 10. Komplikasi dari 962 operasi tiroid di SMF llmu Bedah RSU Dr Soetomo
{2001 -2005)

Macam komplikasi Jumlah Keterangan


Lesi n.laringikus superior 1 (0,10%)
Lesi n.rekuren 14 (1,45Y") Syaraf masuk dalam tumor 2
Hematoma 12 (1
,25"/")
Hipokalsemia 9 {0, e3%)
Edema laring 2 (0,20o/ol
Parese r.marginalis 1 (0,10%)
mandibula n.Vll
Pneumotoraks 2 (0,20%)
Emfisema subkutis 1 (0,10%)
Distress napas ,i 1 (0,1o%) Meninggal

Total 43 (4' 47o/"1

92 Se ri -1 En dokrin - M e t ab olik
. KEPUSTAKAAN
Klementschitsch P .et aI. Reemergence of thyroidectomy as treatment for Grave's disease.
Surg. Clin North Am 197 9 ; 59 : 35-43.
Halsted !VS. The operative story of goiter. Johns Hopkins Hosp Rep 1920;19:77
Farling PA. Thyroid disease. Br J Anaest 2000; 85: 15-28
Reksoprawiro S, Marmowinoto M. Aspek bedah pada M.Basedow. Warta Ikabi Cab.
Surabaya 1990;3:
Reksoprawiro S. What News in Head and Neck Surgery. The 2nd National Surgicai
Update, Surabaya, 2004
Reksoprawiro S. Endoscopic-assisted thyroid surgery. The 3'd National Surgical Update,
Surabaya,2006
Lacofte L, Gineste D, Karayan J ef al. Airway complications in thyroid surgery. Ann Otol
Rhinol Laryng o1 1993 ; 102:441, - 6
Wheeler M. The treatment of thyrotoxicosis. Surgery 1988;3:1480-1485.
thompson NW, Nishiyama RH, Harness JK. Thyroid carcinoma: current controversies.
Curr Prob.Surg 1978; \5:l-67
Nemiroff PM, Katz AD. Extralaryngeal divisions of the recurrent iaryngeal nerve: surgical
and clincal significance. Am J Surg 1982;144:446-9
Geelhoed GW. Tracheomalacia from compressing goiter: management after
thyroidectonly. Surgery 1988; 104:100-8
Green WE, Shepperd HW, Stevenson HM, Wilson W. Tracheal collapse after
thyroidectomy .Br J Sur g 1979 ; 66:554-7
Bexton MD, Radford R. An unusual case of respiratoryobstruction after thyroidectomy.
Anaesthesia 1982; 37 :596
Blanchard BM. Focal Hypocalcemic Seizures 33 Years After Thyroidectomy Arch Int Med
1962;11,0:154-7
Buckwalter JA ef al. Postoperative hypoparathyroidism. Surg Gyn Obst 1955; L01:657-66
Gann DS. Delayed hypocalcemia after thyroidectony for Grave's disease is prevented by
parathyroid autotransplantatibn. Ann. Surg 1979 ; 190:508-511
Toft AD et aL Temporary hypothyroidism after surgical treatment of thyrotoxicosis. The
Lancetl-976 817-8.
Wells SA, ct al. Transplantation of the parathyroid glands in rnary clinical indications and
resu I ts. SurBery 197 5 ; 7 8:34- 44.
, Wells SA, et aL Transplantation of the parathyrorid glands, current status. Surg Clin
North Am 1979 ;59:167-177
Thomas CG, Jr, Surgery treatment of hyperthyroidism In: The thyroid. Werner SC
and Ingbar SH (eds), 3rd ed., New York-Evanston-San Franscisco-London; Marpe
Publisher: L97L. pp.690-697
Sugrue D, McEvoy M, Feely J, Drury MI. Hyperthyroidism in the land of Graves: results
of treatment by surgery, radio-iodine and carbimazole in 837 cases. Q J Med 1980
Winter; 49:51-6I
Sugrue D, Drury MI, McEvoy M, Heffernan Sj, O'Malley E. Long term follow-up of
hyperthyroid patients treated by subtotal thyroidectomy. Br J Surg 1983 ;70:408-411,
Toft AD ef al. Temporary Hypothyroidism After Surgical Treatment of Thyrotoxicosis;
The Lancet 1976:817-8
Wilkin TJ.and Hedley AJ. Surgical treatment of thyrotoxicosis. The Lancet 1976:
1135-1136.
Wilkin TJ.ef al. Short term trijodothyroninein prevention of temporary hypothyroidism
after subtotal thyroidirtomy for Grave's disease.The Laneet 1979; 63-66..

Aspek bedah pada penyakit tiroid 93


Gondok Endemik, Diognosis dqn
Tqtqlqksqnq

Wohyu Promono, Sri Murtiwi


Endokrinologi don Metobolisme - Bogion llmu penyokit Dolom
_^Divisi
RSU Dr. Soetomo - Fokultos Kedokteron Universitos Airlonggo, Suroboyo

PENDAHUTUAN
Gondok endemik didiagnosis dan dideskripsikan sebagai kelainan
dengan ciri khas pembesaran dari kelenjar gondok yang mengenai
sebagian besar dari masyarakat dan secara umum dihubungkan
dengan kurangnya asupan yodium dalam makanan (Davis, 2001;
Delange, 2000). Defisiensi dari yodium, besi, dan vitamin A merupakan
3 masalah utama kekurangan mikronutrien di negara berkembang,
meskipun program yang terkontrol dan betul-betur diraksanakan dapit
berfungsi efektif (Elnour, 2000).
Di masa lalu gondok didefinisikan sebagai pembesaran kelenjar
tiroid 4 sampai dengan 5 kali dari besar normal, dan secara sederhana
dengan pembesaran kelenjar tiroid lebih dari phalang distar dari ibu jari
pemeriksa. saat ini pembesaran tiroid lebih banyak ditentukan dengan
pemeriksaan USG. Delange dkk. menganjurkan batas atas 16 ml uniuk
anak-anak laki-laki dan perempuan usia 15 th dan 5 ml untuk usia 6
tahun. Ukuran ini berlaku untuk daerah dengan ekskresi yodium urine
minimal 1,00 pg/\. Untuk dewasa batas atas berlaku 25 ml (Koutras,
2002, Delange, 1998).
Penyebab utama gondok endemik adalah kurangnya asupan
mikronutrien yaitu yodium. Di mana tidak ada mekanisme ,,renal
homeostatic" yung mengatur yodium inorganik plasma dalam batas
nilai normal, sehingga kadar yodium dalam plasma secara langsung
tergantung pada asupan yodium (Koutras, 2002).
Kekurangan asupan yodium ini saat ini dikenal dengan GAKY
(Gangguan Akibat Kekurangan Yodium) menggantikan konsep lama
gondok endemik. Di mana GAKY mempunyai spektrum klinii yang
luas dari gangguan kecerdasan dan mental, hipotiroidisme, gangguan

95
neurologis, gondok, kretin endemik serta gangguan pertumbuhan
dari yang amat ringan sampai gangguan yang berat, serta mengenai
semua segmen manusia darifetus, neonatus, anak, remaja, dan dewasa
dan hanya disebabkan oleh satu faktor yaitu kekurangan yodium
(Djokomoeljanto, 1998). Pada populasi yang terpapar defisiensi yodium
ierjadi peningkatan dari rata-rata aborsi, lahir mati, hipotiroidisme
neonatal singkat, neuropsikiatrik dan gangguan kognitif ringary serta
kretin (De Cimpora,2003). Meskipun program suplementasi yodium
sudah dilakukan sejak tahun \924, gangguan akibat kekurangan
yodiu.m masih merupakan masalah kesehatan dunia yang signifikan
(Boyages,1993).
'
buluttt konteks GAKY, gondok dan kretin endemik hanya
merupakan puncak dari gunung es di mana gambaran klinis laio
tidak dengan sendirinya kelihatan dengan jelas sekiranya tidak secara
khusus diperhatikan atau dicari dengan teliti (Djokomoeljanto, 1998,
Delange,2000).

EPIDEMIOTOGI
Gangguan akibat kekurangan yodium merupakan masalah kesehatan
masyirakat yang signifikan di 130 negara, yang mempunyai -akibat
langsung pada-740 juta penduduk. Sementara kemajuan dicapai
den[an pemberian garam beryodium, masih terdapat sedikitnya 50
juta penduduk diperkirakan mengalami gejala defisiensi yodium
dalarn berbagai derajat terkait kerusakan otak (WHO,1999).
Menurut WHO, UNtCnf, dan ICCIDD, sebuah daerah dikatakan
gondok endemik jika didapatkan lebih dari 5% dari anak-anakssia6-12
i'ahun menderita gondok. Proporsi 5 % dipilih karena dengan prevalensi
yang lebih tinggi biasanya berimplikasi pada faktor lingkungan, di
didapatkan
-uriu du"tuh dengan prevalensi beberapa persen umum
pada daerah yu.tg t"tin dapat dikontrol (Delange, 2000). Prevalensi
gondok r""uri u.n.tm lebih banyak terjadi pada wanita daripada laki-
l"aki, namun dengan bertambah beratnya endemik, perbedaan seks
tersebut hampir tidak ada (Kartono, 2001)'
Sebagian besar daerah pegunungan di dunia masih merupakan
daerah gondok endemik. Penyakit ini bisa di saksikan di pegunungan
Andes, Himalaya, di pegunungan Alpen di mana iodinasi profilaksis
tidak menjangiut .t utyurakat, di Yunani dan Eropa timur, China
dan daerah p"gnt.tttgtt di New Guinea. Juga terdapat daerah bukan

ei-1 En doki n-Me tab olik


96 S
pegunungan yang meniadi daerah endemik seperti di Cameroon, Zaire,
Afrika tengah dan perbatasan Uganda dan Rwanda, Belanda, Eropa
tengah, dan pedalamanBraziT. Juga di daerah Great Lake di Amerika
Utara dua generasi sebelumnya. Di daerah-daerah ini konsentrasi
yodium pada air minum sangat rendah (Delange, 2000).
Di Indonesia, gondok akibat kekurangan yodium diperkirakan
diderita 12 juta penduduk, dan 750 ribu menderita kretin dengan
berbagai tingkatan (Kartono, 1993). Total Gondok Rate pada anak usia
sekolah di 4 provinsi (]awa Barat, Jawa Tengah, DIJ, din Jawa Timur)
dari-hasil studi tahun 1980 di atas 29% pada semua provinsi. Hasil
studi tahun 1987 hanya di DIJ TGR menurun menjadi ( 5%, sementara
di provinsi yang lain masih tetap tinggi. Tetapi terjadi penurunan dari
kategori kegawatan gondok endemik (TGR < 30%) di semua provinsi
(Kartono, 1997).Suwey pada tahun 1980-1982pada9526 desa dari 26
provinsi di Indonesia didapatkan 3 2, 2% termasuk daerah nonendemik,
15,3% endemik ringan, 12,7% endemik sedang dan39,8% termasuk
endemik yang bebas dari gondok. Dari pemetaan terakhir 1987-1990
menunjukkan rata-rata prevalensi gondok total atau total gondok rate
(TGR) di Indonesia sebesar 27,7% (Yunarko, 2001). Surve;r terakhir
tahun 1998 yang meliputi 27 provinsi menemukan distribusi dari
populasi dalam suatu area berdasarkan prevalensi dari gondok yaitu:
non endemik, 142,5 juta, endemik ringan, 36,8 juta, endemik sedang,
8,2 juta, dan endemik berat, 8,8 juta penduduk. TGR pada anak usia
sekolah menurun menjadi 9,8%,lebihbaik dari target L8%, tetapi TGR
pada- wanita hamil pada daerah yang sama 16%. Rata-rata ekskresi
yodium urine.dari wanita hamil, sebanyak 72% sebesar l\\pg/liter,
dan 13% sebesar 50-99 1tg/liter. Rata-rata TSH pada wanita hamil
4.0 uU/ml, dan 30%nya 5.0 uU/ml. hanya 64% rumah tangga yang
mengkonsumsi cukup garam beryodium(>3O ppm) (Djokomoeljanto,
2003).

ETIOTOGI DAN PATOGENESA


Penyebab utama dari gondok endemik adalah kurangnya asupan
yodium (Koutras, 2002). Kebutuhan normal sehari-hari yodium
diperkirakan a-ntara 100-150 pg/hari.Intake yang lebih tinggi (> 200
$g/hafi) dianjurkan pada waniti hamil, disesuultutr a"ngut"t t"Lniuhutt
ibu, peningk atanrenal clearance, dalldiversi dariyodium untuk produksi
hormon tiroid bayi (Boyages, 1993). Kadar yodium urine rata-rala di

Gondok Endemik, Diagnosis dan Tatalaksana 97


populasi yang kurang dari 5,0 1tg/ dL mengindikasikan kekurangan
yodium (Boyages, 1993). Meskipun demikian ada 3 sebab yang menjadi
penyebab timbulnya gondok endemik, yaitu (Delan ge, 2004):

Defigjensi yodium
Pendapat yang menyokong defisiensi yodium sebagai penyebab ada
4, yaltu:

1. adanya hubungan yang erat antara rendahnya kadar yodium dalam


aif dan makanan dengan kejadian penyakit di masyarakat.
2. adanya penurunan yang tajam dari kejadian, jiia ditambahkan
yodiirm dalam diet.
3. adanya bukti yang menunjukkan bahwa metabolisme yodium
pada penderita dengan gondok endemik cocok dengan pola yang
diharapkan dari kekurangan yodium, dan membaik bila diberi
yodium.
4. defisiensi yodium menyebabkan perubahan dalam kelenjar tiroid
hewan, di mana kejadian serupa juga terjadi pada manusia.

Fqktor goitrogen
Meskipun hubungan antara gondok endemik dan defisiensi yodium
telah diketahui, ada beberapa faktor yang ikut berperan terjadinya
gondok endemik. Beberapa bahan kimia yang diduga dibagi menjadi
2 kelompok, yaitu:

.1. bekerja secara langsung pada kelenjar tiroid, dibagi menjadi:


a. penghambat transport yodida ke dalam tiroid yaitu: thiocyanate
dan isothiocyanate.
b. Penghambat oksidasi, organifikasi, dan proses coupling yaitu:.
kelompok phenol, disulfit dan goitrin.
c. Penghamfat proteolisis, dehalogenasi dan hormon release yaitu:
yodida dan lithium.
2. bekerja tidak langsung dengan meningkatkan metabolisme hormon
tiroid seperti dinitrophenol, polychlorinated dan polybrominated
biphenyls. Kacang kedelai sebagai sumber protein yang penting
menghamba t enter ohep atic cy cle daritiroid hormon dan menyebabkan
gondok bilamana intake yodium kurang. Bagaimanapun goitrogen
ini biasanya aktif jika asupan yodium kurang dan asupan goitrogen
berlangsung dalam. waktu lama.'

98 S ei-1 Endokin-Me tab olik


Asupon yodium yong berlebihon
Menyebabkan inhibisi hormogenesis pada proses yodinasi tironin
dan proses couplingnya, yang mengakibatkan hipotiroidi, selanjutnya
berakibat peningkatan sekresi TSH sehingga merangsang tiroid, yang
berakibat timbul gondok. Hal ini terjadi di daerah pantai Hokkaido,
Jepang utara di mana penduduk mengkonsumsi tumbuhan laut dengan
kandungan ]Odium yang tinggi (Delange, 2004). Di provinsi Jiangsu
Cina, di mana kadar yodium yang tinggi didapatkan pada air minum,
konsumsi yodium seharusnya tidak melebihi 300 pg/tpadaair minum
atau kadar di urine tidak lebih dari 1000 1tg/l (Zhao, 2000).
Ketika asupErn yodium di bawah normal, sekresi tiroid hormon
harus tetap dipertahankan dengan modifikasi aktivitas tiroid. proses
ini termasuk rangsangan dari proses trapping yodium oleh tiroid
seperti halnya tahap selanjutnya dari metabolisme intratiroidal yodium
kearah sintesis dan sekresi T3. Hal ini dipicu melalui peningkatan
sekresi rsH. Akibat dari pemanjangan rangsangan tirotropik ini tiroid
menjadi hiperplasia. Konsekuensi pertama dari defisiensi yodium
adalah peningkatan ambilan yodida oleh tiroid melalui transmembran
proteiry yaitu natrium iodide symporter. Terdapat hubungan yang
berlawanan antara suplai dan uptake dari yodida. peningkatan
ambilan bisa karena, atau sebagai akibat dari peningkatan serum level
dari.TSH. Peningkatan TSH teqadi pada kondisi defisiensi yodium
yang berat, dan jarang terjadi pada kondisi sedang dan ringan. Bisa jadi
hal ini karena sensitifitas tiroid terhadap TSH daripada kadar TSFi itu
sendiri yang bervariasi tergantung pada suplai yodida. Kadar TSH dan
sensitivitas terhadap TSH, tiroid terangsang dengan meningkatnya
sekresi dan peningkatan serum level dari tiroglobulin (Delange, 2004).
Untuk memberikan yodium yang adekuat terhadap tiroid, trapping
yodida harus beradu pia" dua ko.riisi, pertama pur,rrrrrrru. ekskresi
yodida di urine di mana disesuaikan dengan asuptrn yodium untuk
menjaga persediaan yodium. Kedua, akumulasi dalam tiroid dari
yodida per hari sedikitnya 100 pg/hari pada dewasa, atau asupan
yodium minimal 50 pg/hari. jika di bawah nilai ambang batas ini
membawa akibat timbulnya gondok (Marine, 1935).
Tiroid hiperplasia karena defisiensi yodium berhubungan dengan
perubahan dari "tiroid hormogenesis" di mana konfiguraii abnormal
dari "poorly iodinated tiroglobulin" dalam tiroid koloid bekerja sama
dengan peningkatan "poorly iodinated compounds,,, monoiodityrosine
(MIT) dan T3, dan penurunan daii diiodotyrosine (DIT) dan T4.

Gondok Endemik, Diagnosis dan Tatalaksana 99


Peningkatan dari MIT/DIT dan T3/T4 ratio berhubungan erat.dengan
pelepasan yodium dari kelenjar tiroid (Delange, 2004). Begitu juga
T3/T4 ratio dalam serum meningkat pada kondisi defisiensi yodium
kemungkinan karena sekresi T4 dan T3 dari tiroid karena adanya sekresi
T3 atau peningkatan konversi T4 menjadi T3 di perifer, Pergeseran
penirfrkatan sekresi T3 memainkan peranan penting pada proses
adaptasi defisiensi yodium karena T3 mempunyai potensi metabolic
4 kali T4, tetapi hanya membutuhkan 75% dari banyaknya yodium
untuk sintesis (Delange, 2004).
Terdapat kondisi adaptasi di mana defisiensi yodium tidak
menimbulkan gondok seperti halnya di daerah endemis di New Guinea
dan Congo. Kondisi ini terjadi pada"highiodide trapping capacity" tetapi
dengan sedikit pembesaran dari tiroid. Karakteristik dari kondisi ini,
ierjadi peningkatan parenkim, "high follicular epithelium", dan koloid
yang sedikit. Sebaliknya pada gondok yang besar, sebagian besar dari
kelenjar terdiri dari vesikel yang diisi oleh koloid dengan epitel yang
pipih. Mekanisme dari hal ini belum sepenuhnya diketahui. Hal'ini
bukan karena rangsangan yang meningkat dari TSH, kemungkinan
karena ketidakseimbangan antara sintesis thiroglobulin dan hidrolisis
(Delange,2004).
Pada kondisi ini yodida diencerkan ketika tiroglobulin berlebih,
mengakibatkan terjadinya sedikit iodisasi dari tiroglobulin, dan
mengakibatkan penurunan sintesis dan sekresi dari iodotironines.
Hidrotsis sebagian besar dari" poorly iodinated tiroglobulin" mengakibat-
kan kehilangan yang penting dari yodida oleh tiroid dan peningkatan
sekresi yodida di urine, lebih jauh mengakibatkan kondisi defisiensi
j'odium (Roche,196L).
Gondok endemik menggambarkan maladaptasi terhadap defisiensi
yodium, hal ini menyebabkan lingkaran setan dari yodium loss dan
defek tiroid hormon sintesis (Delange, 2004).

DIAGNOSIS
Diagnosis gondok endemik ditegakkan jika kausa diketahul atau
paling tidak kecurigaan adanya kadar yodium yang rendah dalam
air atau makanan. Kelenjar tiroid membesar dif:rs pada anak-anak
dan hampir selalu noduler pada dewasa (baik secara palpasi maupun
dengan ultrasonografi) dan didapatkannya tanda-tanda dan gejala
komplikasi. Apabila di daerah end.emik, diagnosis presumtif dapat

100 S e i-1. Endokin-Metab olik


ditegakkan, namun harus tetap waspada adanya kemungkinan
kelainan tiroiditis, tirotoksikosis, atau tiroid karsinoma (Delange,2004).
Pembesaran kelenjar tiroid ini secara survey epidemiologis didasarkan
atas klasifikasi dari WHO dan Pan American Health Organization (1986)
(Boyages,1993):

- S;a" 0: tidak teraba


- grade I: teraba dan terlihat hanya dengan kepala ditengadahkan
- grade I: mudah dilihat, kepala posisi biasa-
- grade III: terlihat dari jarak tertentu (10 m)
KarJna perubahan gondok pada fase awal perlu diwaspadai, maka
grading system, khususnya grade I dibagi lagi dalam 2 kelas, yaitu;

- grade Ia: tidak teraba, atau jika teraba tidak lebih besar dari kelenjar
tiroid normal
- grade Ib: jelas teraba dan membesar, tetapi umumnya tidak terlihat
meskipun kepala ditengadahkan.
Kelenjar tiroid tersebut ukurannya sama atau lebih besar dari falangs
distal ibu jari tangan penderita (Djokomoeljanto, 1998).
Secara laboratorium ditemukan adanya peningkatan radio iodine
tiroidal uptake (RAIU), nilai T4 dan FT4 normal atau rendah, T3
normal atau meningkat, TSH normal atau meningkat. RAIU akan
menurun dengan pemberian hormon Tiroid meskipun tidak selalu.
Antitiroglobulin atau tiroperoksidase antibodi biasanya negatif.
(Delange, 2004, Eastman, 1996). Saat ini pemeriksaan menggunakan
ultrasonografi merupakan cara yang terbaik dengan maksimum deviasi
,sebesar 10% (Davis, 2001, Delange,2004).

DAMPAK DARI GONDOK ENDEMIK


1. Akibat dari gondok itu sendiri, yang memberikan efek massa yang
tidak hanya memberikan masalah kosmetik. Gondokyang berukuran
besar memberikan penekanan pada trakea (Djokomoeljanto, 1998).
2. Gondok endemik dan kanker tiroid, kesan epidemiologis
menunjukkan prevalensi karsinoma tiroid anaplastik dan folikular
banyak dijumpai pada daerah gondok endemik (Djokomoeljanto,
1e9B).
3. Kretin endemik dan kelainan neurologis, biasanya terjadi jika ada
superimposed dari defisiensi selenium, di mana hormon tiroid yang

Gondok Endemik, Diagnosis dan Tatalaksana 101


diproduksi ibu hamil tidak mencukupi untuk perkembangan otak
janin, disamping itu hormon yang dihasilkan janin sendiri juga
tidak mencukup (Koutra s, 2002).
Hipotiroidisme, terjadi pada daerah endemik berat. Hipotiroidisme
yangterjadi sebelum umur3 tahun akanmengganggu perkembangan
sornatik. Sedangkan di atas 3 tahun hanya mengganggu
perkembangan biokimiawi maupun klinis (Djokomoeljanto, L998).
Saat ini hipotiroidisme menjadi problem kesehatan yang cukup
besar di Am'erika Serikat, di mana meliputi lebih dari 10% dan
pogulasi dan terjadi pada usia > 50 tahun (Shames, 2001).
Defisiensi tiroid- dan hubungannya dengan kesuburan, menstruasi
dan sebagainya. Pada hipotiroidisme terdapat gangguan kesuburan
dan kehamilan. Wanita hamil dengan PBI rendah lebih banyak
mengalami abortus. IQ anak yang lahir dari ibu dengan hormon
tiroid renda[ namun bila diberi substitusi akan lebih tinggi
dibanding dengan yang tidak diberi substitusi. Lahir mati pada
ibu dengan gondok lebih tinggi dari pada yang tanpa gondok
(Djokomoeljanto, 1998).

TATA TAKSANA
Tata laksana gondok endemik dengan memberikan yodium kepada
penderita defisiensi yodium, meskipun lebih banyak efektif pada yang
sudah menderita gondok. Demetrios dkk menemukan, hanya pada
penderita gondok difus usia muda terjadi pengecilan dari gondok nya,
dan biasanya hanya terbatas. Pada penderita dengan nodular gondok
yang lama, yodium dikontraindikasikan karena diduga menimbulkan
hipertiroidism (Koutras, 2002).
Di Indonesia program intervensi ini melalui model proses sosial
yang berdasarkhn pada studi epidemiologi gangguan kekurangan
yodium dan kelainan akibat kekurangan yodium khususnya pada
daerah yang parah. Departemen Kesehatan tahun 1990 menerapkan 3
strategr, yaitu (Djokomoeljanto, 2003) :

f . iodisasi garam konsumsi sebagai strategi jangka panjang,


2. injeksi minyak beryodium untuk beberapa daerah endemik, untuk
strategi jangka pendek
3. iodisasi air ui-rtuk wilayah tertentu dengan risiko tinggi

102 S e.i-1 En dokrin-Met abolik


TABEL1. Rekomendasi kebutuhan asupan Yodium per hari menurut WHO (Diet, 1998)

Asupan Yodium (mikrogram)


0 - 6 bulan 40
6 - 12 bulan 50
1 - l0tahun 70 - 120
1 1 - dewasa 120 - 150
lbu hamil 175
lbu menyusui 200

Tataf6ksana gondok endemik sendiri ada dua cara, yaitu:

Totolqksqnq secqrq medik


Dibagi menjadi 2yaitu
1. Suplementasi yodium
Hubungan asupan yodium dengan gejala klinik adalah keadaan
klinis normal apabila asupan yodium 100-300 pg/hari, gondok bila
25-50 Fg/har| dan kretin bila < 25 1tg/hari, berlebih bila >500 pg/
hari (Yunarko,2001).
Ada beberapa macam teknologi yodinasi (Delange, 2004), yaitu:
a. Yodinasi garam.
" Di Indonesia digunakan KIO3 (potassium iodide) 50 ppm,
dengan anggapan konsumsi guturn 1,0 g/hari, maka dimakan
440 pg KIO3, dan ini setara dengan /37 pg yodida. ]umlah ini
mencukupi baik untuk pencegahan maupun pengobatan. Cara
. ini menjadi cara yang terpilih untuk cara pencegahan jangka
panjang di Indonesia (Djokomulyanto, 1998). Dianjurkan
konsurnsi yodium dengan cara memberikan garam beryodium
setelah makanan dimasak, tidak dianjurkan garam diberikan
sebelum memasak, untuk menghindari hilangnya yodium dari
makanan (Biber,2004).
b. Minyak beryodium (lipiodol)
Cara ini dengan melarutkan yodium dalam minyak (lipiodol).
Ada dua macam sediaan, injeksi dan lipiodol kapsul per oral.
Penggunaan peroral ini memberikan keuntungan lebih mudah
dan dapat menghindari penularan penyakit seperti AIDS atau
hepatitis'B. Cara ini cukup efektif untuk 1-2 tahun (Delange,
2004). penggunaan injeksi murah, namun membutuhkan
sarana penyuntikan yang cermat. Dianjurkan diberikan pada

Gondok Endemik, Diagnosis dan Tatalaksana 103


semua orang sampai usia 20 tahun. Pada wanita sampai usia 40
tahun. Suntikan efektif dalam jangka waktu 3 sampai 5 tahun
(Djokomoeljanto, 1998).
c. Metode lain
Cara ini meliputi (Delange F 2004) yodinasi air minum, cara ini
-memberikan keuntungan yang lebih dibanding dengan garam
karena dapat menjangkau daerah yang luas dan terpencil. Ada
beberapa cara yaitu:
- yodida yang diberikan dalam saluran air dalam pipa
yodida yang diberikan dalam air yang mengalir
- penambahan yodida dalam sediaan air minum
2. Preparat tiroid
Pada gondok endemik peran TSH sebagai stimulator fungsi dan
pertumbuhan tiroid sangat besar. Dengan demikian diharapkan
supresi TSH dapat menanggulangi gondok (Djokomoeljanto R
1999). Pemberian yodium 400-1000 pg/hari efeknya sama dengan
150 pg thyroxin (T4) sehari, menyebabkan gondok mengecil 30-
38%, namun akan kembali ke semula jika terapi dihentikan. Terapi
supresi TSH dapat diberikan pada usia < 40th, jika > 40 th harus
dengan hati-hati, dan > 60 th sebaiknya tidak diberikan (Yunarko,
2001).

Pembedohon
Pembedahan dilakukan jika ada tanda-tanda penekanan (Koutras, 2002).
Atau didapatkan tanda-tanda ke arah keganasan, alasan kosmetik,
tan gondok substernal atau retrosternal. Prosedur yang paling sering
tiroidektomi bilateral subtotal. Jika didapatkan tanda-tanda hipotiroid
dapat diberikan thyroxin (Ta) pjokomoeljanto, 1998).

PENCEGAHAN
Strategi penanganan gondok endemik seharusnya ditekankan pada
pencegahan terjadinya gondok endemik itu sendiri. Pemberian yodium
profilaksis terbukti dapat mencegah terjadinya gondok endemik,
kretin endemik dan defisit neurologi yang terjadi karena kekurangan
yodium. Hal irii bisa diberikan dengan yodinasi garam, air, atau roti.
Pencegahan juga harus ditekankan kepada wanita usia subur dan
anak-anak (Boyages, 1993).

104 Se i -1. Endokin-Metab olik


RINGKASAN
Gondok endemik masih merupakan masalah di dunia, di mana
disebabkan oleh kurangnya asupan yodium. Di Indonesia masalah
gondok endemik ini masih menjadi masalah yang serius dan menjadi
perhatian pemerintah sampai saat ini. Diagnosis dari gondok endemik
ditegakkan dengan adanya kadar yodium yang rendah dalam air
dan makanan, adanya gejala klinis pembesaran kelenjar tiroid, baik
dengan pemeriksaan fisik maupun dengan USG, dan adanya kelainan
laboratorium. Tata laksana gondok endemik yang paling efektif dan
mudah dilakukan yaitu dengan pemberian asupan yodium yang dapat
dilakukan dengan penambahan yodium pada garam, air, ataupun
makanan lain disesuaikan dengan kondisi daerah.
Perlu adanya upaya pencegahan yang dapat dilakukan dengan
pemberian yodium profilaksis terutama pada daerah yang dicurigai
kekurangan asupan yodium.

DAFTAR PUSTAKA
Boyages C. Steven (1993). Iodine Deficiency Disordei, Clinical Review 49. J of Clin End.
and Metab. ;77; (3); 587-591.
Davis P J, Davis B F: Nontoxic Goiter. In Becker K L (eds): Principles and Practice of
Endocrinology and Metabolism 3'd Ed. Philadelphia, Lippincott William and Wilkins,
2Q01, pp.366-372.
De Campora, Lodato S, Pizzuti R (2003). A Simple Method for Monitoring Endemic
Goiter. BEN - Notizario ISS; 16; 1
Delange F (1998). Risks and Benefits of Iodine Supplementations. Lancet35l;923-924.
Deiange F: Iodine Defisiensi. In Braverman LE, Utiger RD. (eds): The Tiroid. A
, Fundamental and Clinical Text, Sth Ed. Philadelphia, Lippincott William and Wilkins,
2000, pp. 295-316.
Delange F, Hetzel B (2000). The Iodine Defisiensi Disorder. In: The Tiroid and its Diseases.
J. Clin. Endocr, 34; 891-895.
Delange F, Hetzel B (2004). The Iodine Deficiency Disorders. In: The Tiroid and its
Diseases. Last Revised 16 September 2004. Available at hllp:/ /www.tiroidmanager.
org Acessed 10 December 2004.
Djokomoeljanto R. (1998). Masalah Gangguan Akibat Kekurangan Iodium(GAKD Di
Indonesia. Dalam: Kumpulan Makalah Simposium Tiroidologi Klinik, Semarang;
I.1-I19.
Djokomoeljanto (1998). Gangguan akibat kekurangan iodium. Dalam Ilmu Penyakit
Dalam. Editor: Sjaifoellah N, Sarwono W, A Muin R, Lesmana, Djoko Harry I, Edisi
. 3, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hlm 749-756.
Djokomoeljanto R,'Satoto, Untoro R (2003). IDD Control in Indonesia. Beijing Summit
2003, pp.15-32.

Gondok Endemik, Diagnosis dan Tatalaksana 105


Elnour A, Hambraeus L, Eltom M, Dramaix M, Bourdoux P (2000). Gondok endemik
with iodine sufficiency: a possible role for the consumption of pearl rnillet in the
etiology of gondok endemik. Am J Clin. Nutr.; 71; 59-66
Eastman C J: The Pathophysiology of Iodine Deficiency Disorder. Dalam Djokomoeljanto,
Darmono, Tony S. (ed): Temu llmiah dan Simposium Nasional III Penyakit Kelenjar
Tiroid. Semarang, Badan Penerbit Undip, 1996,t1rr.27-38.
F, Zungut BIBE& Perihan UNAK Fatrna YURT (2004). I. Radioanal. Nucl. Chem. Lett':
300,']-.; 1073-1077 ,

Kartono D (1993). Garam Yodium dan Gondok Endemik. Medika: 8;354'1"


Kartono D (1997). Prevalensi Gondok pada Anak Sekolah di Daerah Endemik di P. Jawa.
Buletin Penelitian Kesehatan: ?5; %4.
Koukas A Demetrios (2002). Gondok endemik-an update. Hormons ;1; Q); 157-164
MarindD (1935). The Pathogenesis and Prevention of Simple or Gondok endemik. JAMA
104;23-34
Roche M, Perinetti H, Barbeito A (1961). Urinary Excretion of Stable Iodine in a Sma1l
Group of Isolated Venezuelan lndians. J. Clin. Endocrinol. Metab.: 21;1009-1012-
Rustama S. Diet (1998). Masalah Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKD Di
Indonesia. Dalam: Kumpulan Makalah Simposium Tiroidologi Klinik, Semarang;
hlm. III.1-ilL12.
Shames L. Richard, Shames H. Karilee (2001). Tiroid Power: 10 Steps To Total Health.
Fluoride: 4;267-268.
WHO (1999). World Health Organization Sets Out To Eliminate Iodine Deficiency
Disorder. IVHO Press Release, 17 (25May 1999).
Yunarko P (2001). Gondok akibat kekurangan yodium. Tinjauan Pustaka Ilmu Penyakit
Dalam FK Unair RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.
Zhao J, Wang P, Shang L, Sullivan M. KeviIr, Van der Haar F, Maberly G' (2000). Gondok
endemik Associated With High Iodine Intake. Am J Public Health ; 90;1633-\635.

106 S ei-1 En dokin- Metab olik


A Pstient with De Quervqin's Thyroiditis*

Wohyu Hendrodi, Sri Murtiwi

Dr. Soetomo Teoching Hospitol - Airlonggo [Jniversity School of Medicine, Suroboyo

INTRODUCTION
De Quervain's (subacute granulomatous) thyroiditis is a transient
inflammatory thyroid disease usually associated with pain and
tenderness of the gland, as well as generelized somatic symptoms,
which can cause great discomfort or even complete prostration for
weeks or months if left untreated. (Volpe, 1993).
It is almost certainly the result of a viral infection. Many viruses have
been implicated, including mumps, coxsackie, influenza, adenoviruses
and echoviruses, but attemps to identify the virus in an individual
patient are often unsuccessfull and do not inJiuence management.
(Wartofsky,1998).
In the US De Quervain's Thyroiditis occurs in less than 5% of
all patients with thyroid pathology. International frequency is
approximately the same as US frequency. As is the case for most thyroid
diseases, de Quervain thyroiditis appears more frequently in females,
with a female to male ratio of 3-5: 1. The peak incidence occurs at 30
to 50 years. It is rare in the first decade and relatively infrequent in
people older than 50 years, although it has been reported in extreme
a8e groups.
The diagnosis of subacute thyroiditis is often overlooked because
the symptoms can mimic pharyngitis (Wartofsky,1998).
De Quervain's thyroiditis is a benign self limited disease. Morbidity
is caused during the initial phase by pain, which usually prompts the
patient to consult a physician. Mild and transient hyperthyroidsm
occurs and in as many as 50 % of patients, hypothyroidism may occur
later. (Lingv ay, 2002).

* Laporan kasus

199
There is no definitive therapy for painful subacute thyroiditis, but
there is effective treatment that will ameliorate the symptoms and allow
the disease to run its spontaneous course in an asymptomatic fashion.
(Volpe, L993)
This article is a case report of a man with de Quervain's
Thyrdiditis.

CASE
A 37,years old man Mr. M, from Gresik, moslem, javanese, came to
outpatient clinic of endocrinology on July 21st 2003, because of tender
neck.

History of Present lllness


Two weeks before admission he has got fever and swollen on his
neck with pain, especially on swallowing. Than he went to primary
health care and got three kinds of medicine for three days. But this
symptoms were worst and discomfort, palpitation, sweating, headache
developed.
He was admitted to the surgery out patient departement of Dr. Soetomo
Hospital, and than performed FNA examination with conclusion de
Quervainls thyroiditis. And he was reffered to out patient Endocrinology
clinic.

History of Post lllness


\o history of diabetese, hypertension, cardiovascular disease and
struma.

Physicol Exqminqiion (July 21, 2OO3l


The general condition was good, GCS 4-5-6, blood presswe 1.40/
70 mmHg, pulse rate L00 beats/minute, respiratory rate 20 ttrnes/
minutes, axillary temperature 37,9"C. On head and neck examination:
there was mass on anterior neck region, had a measurement of 5 x 4
cm, difus, boundless and move with swallowing activation. There was
no exophtalmus, no anemia, no icterus, no cyqnosis, and no dispnoe.
Chest examination: percussion sounds were normal on both sides, on
auscultation the. heart sounds SL and 52 single, irreguler and there

200 S ei-1 Endakin-Metab olik


-' were no murmurs or gallop. Abdominal examination: there was no
abnormality detected. From extremity: warm and wet, there was tremor
and no edema.

Laboratory examinafion
Hemdglobin 12,8 g/ dl, leucocytes 6700/ mm3, platelet count 271000 /
mm3, ESR 120 mm/hotr, dtff count -/ -/1,/69/28/2.
Fasting blood glucoseglmg/ dl,2hpp blood glucosel29 mg/ dl, SGOT
34IJ /1, SGPT 23 U/1, BUN 7,1. mg/ dL, Sc 0,9 mg/dl.
T 4: 1/,5 ug / dl (N : 4,6-L L,9 ug / dl), T3: 2,8 ng / ml (N: 0,7-2,0 ng / ml),
TSHs:0,32IU/mL
ECG: Atrial Fibrilation with ventricel resPonse: 75-150 beats/
minute.
Wayne Index 23

The Histopofhology (FNAI Resutn (16-07-2003)


Macroscopic: There is a mass on anterior neck region, difus boundless,
move with swllowing activation.
Microscopic: there are many multinucleated giant cells, inflammatory
cells, llymphocytes and macrophage and to the amount of epithelioid
cell and colloid materials. Conclusion: Thyroid, FNA: DE QUERVAIN'S
THYROIDITIS.

Working Diagnosis: Subacute Thyroiditis (de Quervain's Thyroiditis)


Diagnostic Planning: TSHs, FreeT4 every month
Jherapy: - Propranolol3 x 20 mg (orally)
- Acetosal3 x 500 mg (orally)

A Phtient with De Quervainls Thyroiditis 201


Tabel 1. Progression of diseases

Tgl Wayne FT4 TSHS ESR Therapy


index (O,8-2, (0, 4-7, 0)
0)

1 1 -9-2003 13 3,9 <0, 1 Propranolol 3x10mg,


PTU 1 x 50 mg, Acetosal
3 x 500 mg (prn).
28-1 0-2003 10 2,4 <0, 1 50 tetap

9-1 2-2003 8 3, 1 0,2 PTU stop

27-1/-2004 1,9 0,9 Propranolol stop


23-3-2004 0,6 5, 1

27-4-2004 0,9 2,0 20


29-6-2004 1, 8 1,2

DtscussroN
A viral infection or a postviral inflammatory response is presumed to
cause de Quervain thyroiditis. Serial studies of viral antibody titers
have implicated many viruses (including coxsackievirus/ mumps/
measles, adenovirus, echovirus, and influenza, but the changes could be
attributed equally to non-spesific anamnestic responses. Viral inclusion
bodies are not observed in thyroid tissue (Luotola, 1998)"
A strong association exist with human leukocyte antigen (HLA)-
B35 in most ethnic groups. A proposed mechanism is that the disease
results from a viral infection that provides an antigen, either viral or
resulting from virus- induced host tissue damage, that uniquely binds
to HLA-B35 molecules on macrophages. The antigen HLA-B35 complex
activates cytotoxic T lymphocytes that damage thyroid follicular cells
because they have some structural similarity with the infection- related
antigen (Karlsson, 1986).
Destruction of folicular epithelium and loss of folicular integrity
are primary events in pathophysiology of de Quervain's thyroiditis.
Thyroglobulin (TGB), thyroid hormones, and other iodinated
compounds are released into the blood, often in quantities sufficient to
elevate the serum thyroxine (T4) and triiodothyronine (T3) concentration
and suppress TSH secretion. This state last until the stores of TGB are
exhausted or until healing occurs (Shigemasa 1987).

202: S e i - 1 En d okin - Me t ab ol ik
Some patients experience a flulike prodromal episode 1-3 weeks
prior to the onset of clinical disease. The natural course of the disease
can be divided into the following 4 phases that usually unfold over a
period of 3-6 months:
1. The acute phase, lasting 3-6 weeks, present primarily with pain.
Sytnptoms of hyperthyroidism also may be present.
2. The transient asymptomatic and euthyroid phase last 1-3 weeks.
.f. The hypothyroid phase lasts from weeks to months, and it may
become permanent in 5-L0% of patients.
4. Tle recovery phase is characterized by normalization of thyroid
structure and function (Hamburger , 1986 ; Lingvay, 2002).
The diagnosis is made based on clinical findings. Prodromal flulike
symptoms or known infectious diseases, such as pharyngitis, measles,
mumps, Q fever, or typhoid fever, may occur. Flowever, a history of
prodromal symptoms often cannot be obtained. Pain over the thyroid
area that is gradual or of sudden onset, that usually involves both lobes,
that radiates to the neck, ear, jaw, throat, or occiput, and is aggravated
by swallowing and head movement. Symptoms of hyperthyroidism
(palpitations, tremulousness, heat intolerance, sweating, nervousness)
occuring in the initial phase of the disease. Symptoms of hypotiroidism,
occuring in the late phase of the disease in as many as half the cases,
mostly mild or moderate. Transient hypotiroidismin90-95% of cases.
On physical examination thyroid tenderness is usually is symmetrical,
but occasionally it starts in one lobe and then involves the contralateral
lobe. Thyroid enlargement usually is symmetric and mild, occasionally
.with areas of localized firmness.Signs of hyperthyroidism consist of
tremor, tachycardia warm skin, and a rapid relaxation phase of tendon
reflexes (Hamburger, 1986; Emerson, 2000).
Usually, the diagnosis is made on clinical ground, and the only
laboratory studies needed initially are those to determine wheter
hyperthyroidism is present, including TSH and Free T4. If any doubt
as to wheter de Quervain thyroiditis is the correct diagnosis, two other
test (Erythrocyte sedimentation rate and serum thyroglobulin) may
be helpful. After the initial inflammatory phase subsides, TSH should
be monitored at intervals of 4-6 weeks for a few months to determine
wheter hypothyroidism occurs. In rare cases with systemic multiorgan
involvement, elevation of serum alkaline phosphatase, gamma-
glutamyl transpeptidase, aminotransferase, and pancreatic enzymes

A Patient with De Quervain's Thyroiditis 203


may occur. Glucose intolerance has been reported. Neither radioiodine
uptake (RAIU) nor thyroid scanning is indicated unless pain is mild or
absent, in which case Grave's disease might considered in differential
diagnoslq (Bartels, L987).
Ultrasound provides no useful information and not indicate for
diagnostic purposes.
Fine needle aspiration (FNA) rarely is needed. Most of the time,
the diagnosis of de Quewain thyroiditis can be made solely on clinical
grounds. Some authors advocate that FNA should be performed in all
patients with a tender thyroid to avoid misdiagnosis and inappropriate
management. It usually shows the specific histological features of de
Quervain thyroiditis. The criteria diagnosis from histological feature
is: L. multinucleate giant cells, large and numerous 2. Inflammatory
cells, macrophage and lymphocytes 3. Degenerating follicular cells;
p.aravacuolar granules 4. A dfuty background with debris; abundant
colloid 5. Epithelioid cells (Garcia, 1997; Orrel,1999).
In this case, the definitiae diagnosis based on the syrnptoms like feoer,
swallowing, and enlargunent of thyroid gland that accompanied with thyroid
tenderness and there are signs and symptoms of hyperthyroid. On laboratory
examination there were increasing of ESR, 74, T3, FT4 and decreasing of
TSHs. On FNA examination utas concluded as de Queroain thyroiditis. \
Management is directed towards 2 problems: pain and thyroid
dysfunction.
1. Management of pain:
- Some patients with mild pain require no treatment. Nonsteroidal
anti-inflamatory drugs(NSAIDs), such as ibuprofen (800-1200
mg/day in divided loies) or naproxen (1-1,i g/d in divided
doses), or aspirin Qa g/ d in divided doses) are used. Treatment
can be tapered as allowed by the patient's pain. Analgesic therapy
usually can be stoped atter 2-6 weeks.
- Steroids have no proven superiority to NSAIDs in de Quervain
thyroiditis and should be avoided. If NSAIDs provide insufficient
relief of pain within 3 days, then prednisone may be tried at
30-40 l;:rg/ d initially. The response to prednisone usually is
prompt (within 2-3 d), and if a prompt response does.not occur,
prednisone should be stopped. The dose of prednisone should
be tapered slowly; symptoms often recur upon withdrawal.
- If pain does not respons within 3 days, the diagnosis should be
reconsidered.

2M S ei-l Endokin- Metab olik


2. Management of Thyroid dysfunction
- In the initial phase of de Quervain thyroiditis, symptomic
hyperthyroidism can be treated with beta -blockade (propranolol
10-20 mg qid or atenolol 25-50 mg/ d), although mild symptoms
may not require treatment. Beta- blockade, if needed, usually can
* be withdrawn in 2-6 weeks. Antithyroid drugs are of no value
because the excess T4 and T3 resulti from relJase of preexisting
thyroid.hormone by follicular damage rather than from active
synthesis.
--- If hypothyroidism occurs during the late phase, it usually is
mild and transient. If symptoms are present or TSH is elevated,
the patient needs replacement therapy with levothyroxine..
Depending of the level TSH, the starting dose can be 25-100
mcg/ d and is adjusted for normalization of TSH (Emerson, 2000;
Lingvay, 2002 ; Y olpe, 1993).

Wetreatedthispatientwithaspiin4x 500mgorally,betablocker(propranolol)
andlow dose PTU (1 x 50 mg) orally. Eaut though antitltyroid drugs were not
recommended, we tied to giae him lout dose of PTU, because in one month
eaaluafion the hyperthyroid synptoms still obaious.

SUMMARY
Patients with chief complain of tender neck, swallowing and fever; On
physical and laboratory examination we found the signs and symptoms
of hyperthyroid. And on histopathology examination de Quervain
thyroiditis was concluded. After treatment with propranolol, aspirin
and low dose antithyroid drug, the improvement was achieved in nine
month.

REFERENCES
Bartels PC, Boer RO (1987). Subacute thyroiditis (de Quervain) presenting as painless
cold nodule. J Nucl Med 28 (9), 1488-90.
Bannedbaek FN, Hegedus L (1997). The value of ultrasonography in diagnosis and follow
up of subacute thyroiditis. Thyroid 7 (1),45-50.
Emerson CH, Farwell AP (2000). Sporadic Silent Thyroiditis, Post partum Thyroiditis, and
Subacuie thyroiditis. In: The Thyroid A Fundamental and Clinical Text, 8ft edition.
Editors: Braverman LE, Utiger RD. Lippincott Williams & Witkins, Philadelphia,
USA, pp 578-589,

A Patient with De Quervain's Thyroiditis 205


Garcia SJ, Gimenez BA, Sola PJ (1997). Fine needle aspiration of iiubacute granulomatous
thyroiditis (De Quervain thyroiditis): a clinico- cyiologik review of 36 cases. Diagn
Cytopatho!-1 6 (3), 274- 20.
Hamburger JI (1986), The various presentation of thyroiditis. Diagnostic considerations"
Ann Intern Med 104 (2),219-24.
Hegedus L (2001). Thyroid Ultrasound, Assesment of thyroid Function and disease. J
Eildocrinol Metab Clin 30 (2),73-81,.
Houghton Dj, Grray HW, macKenzie K. (1998). The tender neck: thyroiditis or thyroid
abcess? Clin Endocrinol 48(4), 521-4.
Karlsson FA, Totterman TH, jansson R (1986). Subacute Thyroiditis: activated HLA-DR
and interferon-ganuna expressing T cytotoxic/ suppressor cells in thyroid tissue and
pgripheral blood. Clin Endocrinol 25(5), 487-93.
Lingvay I (2002). DeQuervain Thy'roiditis. http: / / www. emedicine. com/ped/ topic
2247 .htrr' I accssesed june 29,2004].
Luotola K, Hyoty H, Salmi I (1998). Evaluation of inJectious etiology in subacute
thyroiditis-lack of association with coxsackievirus infection. APMIS 106(4). 5004.
Orell SR (1999). The thyroid gland. In: Manual and Atlas of Fine needle Aspiration
Cytology, 3'd ed. Editors: Orell SR, Sterrett GF, Walters MN, VVhitaker D. Har court
Brace and Cornpany Limited Churchill Livingstone, Londory pp109-144.
Shigemasa C, Abe K Taniguchi S (1987). Serum free thyroxine and thyroxine binding
globuline concentration in early phase of subacute thyroiditis. Endocrinol Jpn 34(6),
821-9.
Volpe R (1993). The management of subacute (de Quervain's) thyroiditis. Thyroid 3(3),
253-5.
Wartofsky L (1998), Diseases of the tiryroid. In: Harrison's Principles of Internal Medicine.
14th ed. Editors: Fauci, braunwald, Isseibacher, Wilsory Martin, Kasper, Hauser,
Longo. New york, Mc Graw Hill Inc, pp 2012-2034.

206 S e i - 1 End okin - M e t ab olik


lkterus podo Penderito Penyokit Grqve's*

Musofq Rusli, Gotot Soegiorto, Agung pronofo

RSU Dr. Soetomo - Fokultos Kedokteron Universitos Airlonggo, Suroboyo

PENDAHULUAN
Penyakit Grave's adalah suatu penyakit autoimun di mana terjadi
ikatan thyroid-stimulating hormon (TSH) receptor antibody pada kelenjar
tiroid. Ikatan ini akan menyebabkan hipertrofi kerenjar tiroid dan
merangsang peningkatan sekresi hormon tiroid. sekresi thyroxin
(74), triiodothyroinin (73), atau keduanya berlebihan menyebabkan
rnunculnya manifestasi klinis hipertiroidisme. Hipertiroidisme adaiah
suatu kondisi hipermetabolik akibat berlebihnya jumlah hormon
tiroid pada jaringan tubuh (Yeung, 2008; Lee,2004; Hershman, 2002;
Burman,2001).
_ Ikterus (aundis) adalah warna kekuningan pada jaringan yang
berasal dari penimbunan bilirubin. Penimbunan bilirubin biasanya
terjadi pada penyakit hati, kelainan pada saluran empedu, atau
kelainan hemolitik. Melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan penunjang yang lain dapat ditentukan tipe ikterus
(Pratt, 2004; Sherlo ck, 2002).
Bila pada penderita penyakit Grave's dijumpai adanya ikterus maka
harus dipikirkan beberapa kemungkinan, antara lain: infeksi virus
hepatitis yang secara kebetulan terjadi bersamaan, gangguan fungsi
hati akibat hipertiroidisme, hepatitis sitotoksik atciuaiobut-obutirt
yang digunakan oleh penderita, atau akibat penurunan fungsi pompa
jantung terkait penyakit Grave'snya.
Berikut ini kami laporkan kasus seorang wanita penderita penyakit
Grave's yang datang d".tgan keluhan ikterirs.

* Laporan kasus

131
KASUS
Seorang wanita, Ny R, 31 tahun, agama Islam, suku Madura, alamat
di Bangkalan, pekerjaan ibu rumah tangga, masuk rumah sakit (MRS)
di ruan$ Interna Wanita RSU Dr. Soetomo melalui Instalasi Rawat
Darurat (IRD), rujukan dari RS Karang Tembok Surabaya pada tanggal
28 April 2005 dengan keluhan mata kuning.
Dari anamnesis riwayat penyakit sekarang ditemukan bahwa
penderita mengalami mata kuning sejak 5 hari sebelum MRS. Mata
tuning semakin lama semakin pekat (penglihatan tidak terganggu).
Warnla kuning kemerahan (seperti teh) juga dijumpai pada air seninya.
Penderita juga mengeluhkan perut kembung sejak 5 hari sebelum
MRS, disertai mual, dan nafsu makan yang menurun' Berat badan
turun cepat dalam satu bulan terakhir; dari 55 kg menjadi 38 kg.
Penderita tidak mengeluhkan demam namun sering merasa gerah/
sumuk (bahasa Jawa = tidak tahan udara panas) sejak 6 bulan terakhir.
Tidak didapatkan riwayat gatal-gatal pada kulit setelah timbulnya
mata kuning. Didapatkan riwayat haid yang tidak teratur, dengan
jumlah yang sedikit. Buang air besar sering (lebih dari 2 kali per hari)
dan lembek sejak 6 bulan terakhir. Buang air kecil jumiah cukup
dan berwarna seperti teh sejak 5 hari sebelum MRS. Penderita juga
mengeluh badan mudah lelah dan sesak nafas jika berjalan agak jauh.
Kaki.membengkak sejak satu bulan sebelum MRS, dan berkurang bila
istirahat terlentang. Penderita kemudian berobat ke RS Karang Tembok
dengan keluhan tersebut di atas dan dirawat selama t hari, selanjutnya
dirujuk ke RSU Dr. Soetomo.
Dari riwayat.penyakit dahulu didapatkan keluhan dada berdebar
"sejak 6 bulan sebelum MRS. Penderita sudah berobat ke dokter dan
dikatakan sakit gondok, dan sejak itu diberi obat berupa tablet dan obat
tetes untuk dipakai tiap hari. Riwayat sakit kencing manis maupun
tekanan darah tinggi disangkal. Tidak didapatkan riwayat keluarga
dengan penyakit serupa ataupun dengan riwayat kelenjar gondok
membesar.

Pemeriksoqn Fisik
Pada pemeriksaan fisik tanggal 28 April2005 (hari pertama) didapatkan
penderita dengan kesadaran kompos mentis (GCS 4-5-6)' keadaan
umum lemah, BB 38 kg, TB 153 cm. Tekanan darah 110/60 mmHg,
nadi 108 x/menit ireguler, pernafasan 2g x f menit, suhu badan 37,3"C.

132 S e i -1 En dokin- Me tab olik


Penderita tampak anemis dan ikterik, tida( diiapatkan dispnea maupun
cyanosis. Mata tampak eksoftalmos. Tidak didapatkan pembesaran
kelenjar getah bening leher. Didapatkan peningkatan distensi vend
jugularis. Didapatkan pembesaran kelenjar tiroid, kenyal, difus, tidak
didapalkan bruit. Pada pemeriksaan thoraks didapatkan bentuk
simetris, pergerakan simetris, tidak didapatkan retraksi. Suara nafas
vesikuleri tidak didapatkan rhonki maupun zoheezing. Pemeriksaan
jantung menunjukkan iktus yang teraba pada ruang antariga/ICS
Y,2 cm lateral linea mid clsuicular sinistra. Tidak dtdapatkan thrill.
Pada auskultasi didapatkan suara 'L dan 2 tunggal, tidak didapatkan
*.tf*nr. Pada abdomen didapatkan bising usus meningkat, abdomen
supel. Hepar teraba 3 jari di bawah arcus c.ostarum (bac), tepi tajam,
kenyal, rata, tidak ada nyeri tekan. Lien tidak teraba. Pada ekstremitas
didapatkan akral hangat, kulit basah. Didapatkan tremor halus pada
jari-jari kedua tangan. Terdapat edema ringan pada kedua tungkai,
tidak didapatkan def ormitas.

Pemeriksqqn Loborqtoriu m
Dad lampiran pemeriksaan laboratqrium tanggal 25-4-2005 yang
dibawa penderita saat tiba di Instalasi Rawat Darurat didapatkan: FIb
9,7 g%, LED 15/jam, lekosit 8900/mm3, SGOT 147 TU /L,SGPT 96IU /
L. I.aboratorium tanggal2T-4-2005 menunjukkan: GDA 11'4 mg/dL,
bilirubin direk 18, 87 llr.g/ dL, bilirubin total25, 29 mg/ dL, SGOT 148
IU/L, SGPT 93IU/L, BUN 5, 8 mg/ dL, serum kreatinin 0,5 rng/ dL,
asam urat 3,37 mg/ dL, kolesterol total 33 mg/ dL, trigliserida 44 rng/ dL.
Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 28 April 2005 (hari pertama)
didapatkan: Hb 10, 6 g%, leukosit 4800/mm3, trombosit 126000/mm},
PCV 0, 29, GDA 96 mg/ dL, BUN 7 mg/ dL, serum kreatinin 0, 2 mg/
dL, K 2, 4 mEq/L, Na, 137 mEq/L. Urinalisis: glukosa (-), bilirubin
(+2), keton (-), SG 1-, 010, pH 6, 0, protein (-), urobilinogen (+), nitrit
(-), blood (-), leukosit (-); sedimen urine: eritrositl-3/lpb,leukosit 2-4/
lpb, epitel 1-3/lpb. Dari pemeriksaan USG abdomen didapatkan: hepar
membesar, intensitas echoparenchym meningkat, vena hepatika/vena
portal balk; gall bladder ukuran normal, dinding menebal, sludge (+);
lien ukuran membesar; ginjal tak tampak kelainan; buli-buli dan uterus
normal; tampak cairan bebas dalam cavum abdomen. Kesimpulan:
hepatitis, ik[erus non obstruktif, splenomegali; sludge gall bladder
dengan cholecystitisi ascites.

Ikterus pada Penderita Penyakit Grave's 133


Diognosis Kerio (initial assesmentl
Berdasarkan data-data tersebut di atas dapat disusun diagnosis kerja
(assessment awal) sebagai berikut:

o Strumi difusa hipertiroidi (Penyakit Grave's)


o De@mpensatio cordis (penyakit jantung tiroid)
o Ikterus dan gangguan faal hati pro evaluasi
o Hipokalemia
Terapi awal yang diberikan adalah: diet TKTP 2100 Kalori, KCI 50 mEq
drip drlam 500 cc Ringer Lactate habi s dalarn24 jam, tablet multivitamin
3 x 1, tablet KSR 1 x 1.

Periolonon Penyokit selomo Perqwqtqn


- Tanggal 29-4-2005
Penderita mengeluh perut kembung, badan lemah, jantung
berdebar-debar, BAB 4 x per hari, warna kuning lembek. Keadaan
umum lemah, GCS 4-5-6, tensi 135/65, nadi 121x / menit irreguler,
respirasi )$x f menit, temperatur (aksila) 37,3 oC. Didapatkan
eksoftalmos dan ikterus. Abdomen distensi ringan, hepar teraba 3
jari bac, lien tak teraba. Ekstremitas hangat kering, dijumpai tremor
halus jari-jari tangan, dan edema ringan di ekstermitas bawah.
Skbring: Indeks Burch= 55, Indeks Wayne= 24.
Assessment'. Penyakit Grave's dengan krisis tiroid + atrial fibrilasi
+ decompensatio cordis + hipokalemia dalam koreksi + ikterus pro
evaluasi.
" Terapi: Infus PZ + KCl75 meq/hari, PTU 6 x 200 mg, Lugol4 x 10
tts, Propranolol 4 x 10 mg, Dexametason 3 x L amp, diet TKTPRG.
Hasil konsul cito kardiologi: ECG irama AF respons ventrikel
B0-110x/m. Saran: Digoxin 1/z-0-0, Propranolol dapat dilanjutkan
3 x 20 mg po. Sejawat kardio berjanji mengikuti perkembangan
penderita. Selanjutnya penderita dipindahkan ke Ruang Perawatan
Intensif (RPI). Hasil laboratorium yang masuk berikutnya: albumin
4,29f dL, globulin 4,1.gf dL, alkalifosfatase20SU/L.
- Tanggal 30-4-2005
Penderita masih mengeluh perut kembung, mata kuning,
eksoftalmos, tidak merasa sesak. KU lemah, GCS 4-5-6, tensi 110/60
mmHg, nadi 88 x/menit, respirasi 2g xf mentt, temperatur 37 oC.

134 Se i -1 En dokin-Met ab olik


Abdomen distensi ringan, hepar teraba 2 Tari bac, lien tak teraba,
ascites minimal, edema ringan ekstremitas bawah. ECG: AF renspon
ventrikel60-80 x/menit. Hasil laboratorium: Na 158 mEq/L,K3,44
mEq/L, Free T4 2,6 ng/dl (normal: 0,71-'J', 85 ng/dl), TSHs 0,012
pIU/mL (normal: 0,4-41tIIJ/rnl), HbsAg negatif. Terapi: infus PZ
+KCl25 mEq/hari, diet tinggi kalori rendah iodium ti.tgg protein,
PTU 3 x 200 rn', propranolol 3 x 20 mg, dexametason 3 x 1 amP,
diazepam 0-0-5 mg, digoksin distop.
Tanggal2-5-2005
Penderita merasa perut kembungnya berkurang. BAB 3 xfhari
lembek. Matamasih kuning, dada masih terasa berdebar-bedar' KU
cukup, GCS 4-5-6, tensi 1L0/60 mmHg, nadi 80 x/menit, respirasi
20 x/menit, temperatur 37,3 oC. Abdomen: supel, hepar teraba
1, jaribac, edema ekstremitas bawah berkurang. Skoring Burch (suhu
37 oC = 5 poin; efek SSP tidak ada = 0 poin; efek GI: ikterus = 20
poin; efek jantung: edema kaki ringan = 5 poin; precipitant'.0 poin)
= 30 point, yang diinterpretasikan sebagai krisis tiroid membaik-
Hasil laboratorium: bilirubin direk 13,61 mg/ dL, SGOT 192IU /L,
SGPT 216 IU/L, serum kreatinin 1,3 rng/dL.
Assessment: Penyakit Grave's dengan ancaman krisis tiroid +
decompensatio cordis membaik (kelas I-I! + ikterus dengan dugaan
akibat kongesti liver. Terapi: Infus PZS)\cc/hari, PTU 3 x 100 m&
fropranolol3 x 20 mg, diazepam 0-0-5mg, digoxin dan dexametason
distop. Penderita kemudian dialih rawat ke Ruang Tropik Wanita.
Tanggal 3-5-2005
Penderita kadang masih merasa berdebar-debar, mata masih
kuning, nafsu makan belum pulih, BAB 3 xfhari sedikit-sedikit.
BAK sering, terasa panas dan nyeri. Ikterus dan eksoftalmos tetap.
Hepar tidak lagi teraba, tidak dijumpai edema ekstremitas bawah-
Hasil foto toraks PA: cor membesar dengan CTR 63%, pinggang
jantung melurus, pulmo tak tampak infiltrat, vaskularisasi paru
meningkat, kedua sinus frenikokostalis tajam. Assessment: Penyakit
Grave's tanpa tanda-tanda krisis tiroid + decompensatio cordis
kelas I-II + ikterus dengan dugaan akibat kongesti liver + dugaan
ISK. Terapi: infus PZ S}}cc/hari, PTU 3 x 100 mg, propranolol
3 x 20 rng, diazepam 0-0-5 mg, ciprofloxacin 2 x 500 mg tab. Penderita
tidak diikuti lagi oleh sejawat kardiologi.

Ikterus pada Penderita Penyakit Grave's 1"35


:

Tanggal 5-5-2005
Keluhan nyeri kencing berkurang, keluhan lain tetap. Tensi130/70
mmHg, nadi72 x /meni| temperatur 36,7 oC, respirasi 18 x/menit.
Penderita kemudian dialih rawat ke Ruang Interna Wanita. Terapi
tetap.
Ta*nggal 6-5-2005
Nyeri kencing sudah tidak dirasdkan, mata masih kuning dan
eksoftalmos masih ada. Hepar dan lien tidak teraba. Tidak dijumpai
edema ekstremitas. Hasil laboratorium: K 2,96 mEq/L. Urinalisis:
pH 6, berat jenis 1, 020, protein (-), glukosa (-), leukosit (-), bilirubin
(+3), urobilin (.), keton (-), nitrit (-), darah (-). Sedimen urine: eritrosit
2-3 / lpb, leukosit 6-9 / lpb, epitel 3-4/ lpb.
Assessment: Penyakit Grave's + decompensatio cordis (membaik)
+ ikterus + hipokalemia. Terapi tetap, ditambahkan KCI 50 mEq
dalam 12jam, KSR 3x1 tab. Karena ikterus tidak kunjung berkurang
walaupun secara klinis kongesti liver akibat decompensatio
cordisnya membail maka berdasarkan diskusi dan saran
supervisor dilakukan evaluasi ulang kadar bilirubin dan faal
hati, evaluasi untuk mencari kemungkinan lain penyebab ikterus
dengan memeriksakan seromarker untuk infeksi virus hepatitis dan
pemeriksaan USG abdomen.
Tanggal 10-5-2005
Keluhan minimal. Mata masih kuning. BUN 8, 3 mg/dL, serum
kreatinin 0,3 mg/ dL, asam urat 2mg/dL, bilirubin total36, 1,0 mg/
dL, bilirubin direk 21., 91 mg / dL, SGOT 194 IU / L, SGPT 17 0 IU / L,
alkali fosfat ase 239 U f L, protein total 5, 7 gl dL, albumin 2, 7 g/ dL,
globulin 3 g/ dL, K 3, L mmol/L, Na 133 mmol/L, Cl 99 mrnol/
L, Ca 8, 9 rng/ dL, P 3, 0 rr.g/ dL, Anti HCV non reaktif, Anti HBc
nonreaktif, Anti HAV IgM nonreaktif. Hasil review USG abdomen:
Tidak didapatkan pelebaran IHBD/EHBD, terdapat sludge pada gnll
blqdder, gaII bladder tidak membesar.
Assessment: Penyakit Grave's + decompensatio cordis (membaik) +
ikterus.
Karena penyebab ikterus lainnya telah dapat disingkirkan (in-feksi
virus hepatitis, sumbatan pada saluran empedu) sedangkan ikterus
tetap tidak berkurang walaupun kongesti liver yang diduga sebagai
penyebabny'a secara klinis sudah membaik maka kemungkinan ada
penyebab ikterus yang lain, antara lain sebagai efek samping obat
antitiroid (PTU).

't36 S ei- 1 En dokin- Me t abolik


Terapi tetap. Setelah konsultasi ke Divisi Endokrinologi pTU
kemudian dihentikan dan diganti dengan thiamazol 1 x 10 mg.
Tanggal 12-05-2005
Kelulan minimal, BAB sering lembek. Tensi 110/50 mmHg, nadi
9Q-x/menit, temperatur 36,8 "C, respirasi /g xf menit. Mata masih
tampak ikterus. Abdomen: supel, hepar/lien tidak teraba. Terapi
tetap, thiamszol diturunkan menjadi 1 x 5 mg.
Tanggal 13-5-2005
Kgluhan minimal. Tensi 105/50 rnmHg, nadi 84 x/rnenit,
temperatur 37,2 "C, respirasi 24 xf menit Secara klinis penderita
membaik walaupun mata masih tampak ikterus. Hasil laboratorium:
bilirubin direk 17,35 mg/ dL, bilirubin tota726,Si mg/ dL. penderita
dipulangkan dengan saran kontrol ke Poli Tiroid secara teratur.
Terapi saat keluar rumah sakit (KRS): Propranolol 3 x 20 rrrg,
tliamazol 1 x 5 mg.
Tanggal 26-10-2005
Penderita kontrol poli endokrin dengan keluhan mata kuning.
Keluhan lain tidak ada. Penderita tidak kontrol secara teratur dan
tidak minum thiamazol secara teratur. Hasil lab: bilirubin total20,6
mg/ dL, bilirubin direk 15,3 mg/ dL, SGOT 37IIJ, SGPT 26 IU. Hasil
ekokardiografi: mitral regurgitasi rin gan,EF 73,6% . Terapi: Thyrozol
1 x smg, propranolol 2 x 10 mg.
Tanggal 15-12-2005
Mata kuning menghilang. Keluhan lain tidak ada. Hasil lab: bilirubin
]
total2,3mg/dL,bilirubindirekl,2 mg/dL.

PEMBAHASAN
Ikterus (ja:undice) adalah warna kekuningan pada jaringan yang berasal
daripenimbunanbilirubin. Penimbunan ini dapatterjadi antara lain oleh
adanya penyakit hati, kelainan hemolitik, atau kelainan pada saluran
bilier. Terdapat tiga tipe ikterus: pre-hepatik, hepatik, dan kolestatik.
Sering terjadi overlap pada tipe hepatik dan kolestatik (Pratt, 2004;
Sherlock, 2002). Pada ikterus tipe pre.hepatik, terdapat peningkatan
beban bilirubin di hati (biasanya) akibat proses hemohsls. Se6agian
besar bilirubin adalah ienis unconjugated, sedangkan transaminase
serum. dan alkali fosfatase dalam batas normal. Ikterus tipe hepatik

Ikterus pada Penderita Fenyakit Grave's 137


berhubungan dengan kegagalan hati untuk mengekskresi conjugated
bilirubin ke dalam bilier, yang disebabkan oleh kegagalan transpor
melewati hepatosit dan membran kanalikular. Proses konjugasi masih
baik, sehingga terjadi refluks coniugated bilirubin ke dalam sirkulasi.
Ada4ya peningkatan transaminase serum menunjukkan adanya
p"nylbub-dasar seperti virus atau hepatitis karena obat. Jika terjadi
kerusakan hati yang parah, akan tampak tanda-tanda gagal hati dengan
ensefalopati, retensi air (edema dan ascites), lebam akibat gangguan
faal koagulasi, dan bila berlangsung lama, albumin serum akan
,n"nurrr.r. Ikterus tipe kolestatik disebabkan oleh adanya kegagalan
cairan empedu untuk mencapai duodenum, baik karena kegagalan
sekresi kanalikular atau adanya obstruksi fisik ke dalam saluran bilier.
Biasanya pasien dalam kondisi baik, dan yang khas adalah terjadinya
pruritus. Pada tipe ini terjadi peningkatan conjugated bilirub-in, alkali
iosf atase, y-GT, total kolesterol, dan st eatorrhoea (Sherlock, 2002)'
Penderitaini datang dengankeluhanmatakuning. Padapemeriksaan
fisik ditemukan ikterus yang tidak disertai pruritus, sedangkan dari
pemeriksaan laboratorium ditemukan hiperbilirubinemia dengan
dominasi conjugated bilirubin, peningkatan transaminase selum.
Dengan demikian ikterus pada penderita ini merupakan ikterus tipe
hepatik.
Penyakit Grave's adalah suatu penyakit autoimun di mana thyroid-
stimalating hormon (TSH) receptor antibody terikat pada kelenjar tiroid.
proses ikitan ini akan menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid dan
memicu peningkatan sekresi hormon tiroid, menyebabkan sekresi
berlebihan darl thyroxin (74), triiodothyronin (73) atau keduanya;
*serta
menyebabkan munculnya manifestasi klinis tirotoksikosis
(Yeung, 2005; Lee, 2004; Hersh man, 2002; Burman, 2001). Wanita lebih
banyak terkena; dengan rasio wanita: pria = 7-8:1. Kecenderungan
untuk menderita penyakit ini dipengaruhi oleh gen di regio HLA
pada kromosom 6 dan di CTLA4 pada band 2q33 (Yeung, ,2005; Lee,
ZOO+;. S""*a klinis diagnosis penyakit Grave's dapat ditegakkan
dengan ditemukannya trias: hipertiroidisme, goiter, dan eksoftalmos.
Hipertiroidisme ditentukan secara klinis dan laboratoris (dengan
pengukuran thyrotropin dan hormon tiroid). Adanya kelenjar tiroid
yatt[ -"-besar difus dan kenyal, oftalmopati, mixedema pretibial serta
akropaki dapdt lebih meyakinkan adanya penyakit Grave's. Terdapat
banyak kelainan lain yang menyerupai tirotoksiskosis, namun adanya
triad klasik penyakit Grave's bers4maan dengan adanya penurunan

138 S ei- 1 En d ok in - Me t ab olik


TSHs dan peningkatan FT4 menegakkan diagnosis ini (Burman, 2001;
Felz,1999).
Pada penderita ini ditemukan struma difus, eksoftalmos, tremor
halus jari-jari tangan, defekasi berlebihan, disertai penurunan TSHs dan
peningkatan FT4. Dengan demikian penderita didiagnosis menderita
penyH'kit Grave's. Selain itu pada penderita juga didapatkan atrial
fibrilasi, kardiomegali, pembesaran hepar dan edema tungkai yang di-
assess sebagai decompensatio cordis. Kondisi tersebut sangat mungkin
terkait dengan penyakit Grave'snya (penyakit jantung tiroid).
Tgrjadinya ikterus pada penderita penyakit Grave's bisa disebabkan
oleh komplikasi dari kondisi hipertiroid/tirotoksikosis, atau adanya
inflamasi hati oleh sebab lain yang mengganggu metabolisme bilirubin,
misalnya: infeksi (virus), gagal jantung kongestif, atau pengaruh obat-
obatan (Sellin, 2000). Ikterus dapat menjadi bagian dari gejala Krisis
Tiroid yang berupa kelainan gastrointestinal berat (sesuai Kriteria
Burch and W artofsky) (Tjokroprawiro, 2005).

lnteroksi Kelenior Tiroid dqn Holi (Hepor)


Telah lama diketahui adanya interaksi antara kelenjar tiroid dan hati
(Malik, 2002). Hormon tiroid mengatur laju metabolik basal berbagai
sel, termasuk sel hepatosit, dan dengan demikian dapat memengaruhi
fungsi hepar. Interaksi kelenjar tiroid-hati yang bisa terjadi antara lain:
kerusakan hati akibat efek sistemik hormon tiroid yang berlebihan, efek
toksik langsung hormon tiroid pada hati, keterkaitan antara penyakit
hati intrinsik dengan penyakit tiroid intrinsik melalui mekanisme
'autoimun, dan perubahan metabolisme hormon tiroid sekunder akibat
penyakit hati intrinsik (Sellin, 2000).
Gangguan fungsi hepar akibat tirotoksikosis relatif sering, dan
dapat dikelompokkan menjadi tipe hepatitik atau tipe kolestatik. Pada
tipe hepatitik dilaporkan terjadinya peningkatan SGOT (AST) dan
SGPT (ALT), masing-masing pada 27% dan37% penderita (Sola, 1991).
Sebagian besar penderita tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda lain
dari gangguan fungsi hepar (klinis maupun laboratoris). Mekanisme
gangguan fungsi hepar ini diduga karena hipoksia relatif pada daerah
perivenular akibat peningkatan kebutuhan oksigen jaringan hepar
yang tidak diikuti oleh peningkatan aliran darah ke hepar. Gambaran
klinis pada tipe ini menyerupai hepatitis yang dapat sembuh dengan
sendirinya walaupun beberapa penderita dilaporkan mengalami gagal

Ikterus pada Penderita Penyakit Grave's 139


hati fulminan. Salah satu pencetusnya adalah kegagalan jantung yang
sering diperberat oleh adanya aritmia (Chaudhary,1999).
Pada tipe kolestatik terjadi peningkatan alkali fosfatase serum (pada
64% penderita tirotoksikosis). Didapatkan pula peningkatan y-glutamyl
transpeptidase dan bilirubin. Gambaran histologis mirip kerusakan tipe
hepatttik, namun disertai adanya kolestasis intrahepatik sentrilobuler.
Ikterus umumnya tidak terlalu berat, namun jika dijumpai maka harus
disingkirkan adanya kemungkinan komplikasi tirotoksikosis sepeti
gagal jantung, sepsis/ atau penyakit hati intrinsik (Malik, 2002).
Wglaupun dibedakan tipenya, namun secara klinis tidak praktis
untuk memilah-milah penderita, karena kewaspadaan akan terjadinya
komplikasi dan pemberian terapi justru dianggap lebih penting. Di
masa lampau gangguan fungsi hepar merupakan akibat hipertiroidisme
yang tidak diobati. Dengan tersedianya terapi modern, gangguan
fungsi hepar ini bersifat reversibel bila penyakit dasarnya cepat diobati,
walaupun terapinya sendiri dapat menyebabkan komplikasi hepar
(Williams,1997).

Penyokit Jontung Tiroid don Kongesti Liver


Hormon tiroid memiliki beberapa efek terhadap jantung dan pembuluh
darah. Beberapa manifestasi klinis hipertiroidism disebabkan karena
penghruh hormon tiroid terhadap hemodinamik (Klein, 2001). Hormon
tiroid yang aktif (T3) mampu memengaruhi: frekuensi jantung, resistensi
pembuluh darah perifer, fraksi ejeksi ventrikel, curah jantung, waktu
relaksasi isovolumetrik otot jantung, dan volume darah (Graettinger
&it Klein, 2001). Pada tirotoksikosis komplikasi kardiovaskuler
"tip adalah takiaritmia atrial dan gagal jantung (Klein, 2001).
tersering
Sebanyak 5-1.5% penderita hipertiroidism mengalami aritmia berupa
fibrilasi atrial (Forfar dikutip Klein, 2001). Gagal jantung pada penderita
hipertiroid mekanismenya diduga melalui kardiomiopati hipertiroid
(Ho , 1.998; Polikar, 1993; F orf ar , 1982)
.

Gangguan faal hati dapat terjadi pada penderita gagal jantung


kanan atau kongestif, baik pada kondisi vang akut maupun kronis
(Reichen, 2001). Liver mendapatkan aliran darah yang jumlah/
persentasinya dari curah jantung relatif tetap. Adanya kongesti liver
dan melambatnya aliran darah sinusoid akibat kegagalan jantung akan
diimbangi (kompensasi) dengan.peningkatan ekstraksi oksigen. Hal ini
menyebabkan anoksia relatif yang mengakibatkan terjadinya nekrosis

140 S ei -1 En dokrin- Me t ab olik


pada daerah sentrizonal. Perbandingan hasil biopsi hati pada penderita
gagal jantung kongestif menunjukkan bahwa nekrosis hepatosit hanya
terjadi bila terdapat kongesti vena yang nyata dan/ atau hipoksemia.
Nekrosis dan gangguan faal hati berbanding lurus dengan penurunan
curah jantung (Andrew, 2004).
Secara klinis didapatkan ikterus dan hepatomegali yang disertai
nyeri tekan pada 95-99% penderita gagal jantung kanan/kongestif,
splenomegali (1,2-25%), dan ascites (7-64%). Kadar bilirubin jarang
sekali melebihi2.92mg/ dL, sedangkan transaminase hanya meningkat
ringan. Kadar transaminase akan sangat cepat kembali normal bila gagal
jantrfng kongestif diterapi (Reichen, 2001). Peningkatan transaminase
yang. sangat tinggi mengharuskan klinisi menyingkirkan penyebab
gangguan faal hati lainnya seperti hepatitis iskemik, hepatitis toksik,
atau infeksi virus (Andrew,2004; Reichen, 2001).

lnflqmosi hofi qkibqt infeksi (virus)


Infeksi virus merupakan penyebab lebih dari 50% kasus hepatitis
akut. Virus penyebabnya antara lain: virus hepatitis A, B, C, D, dan
E. Penyebab yang jarang dari hepatitis virus antara lain: adenovirus,
cytomegalovirus, Epstein-Barr virus, dan yang sangat jarang herpes
simplex virus. HAV merupakan penyebab paling sering dari hepatitis
akut (Wolf,2005).
Infeksi akut hepatitis virus dapat bermanifestasi subklinis atau
simtomatis yang self-limited maupun gagal hati fulminan. Gejala
prodromal hepatitis akut antara lain: badan lemah, demam ringan,
.anorexia, mual; muntah, dan diikuti dengan peningkatan transaminase
dan hiperbilirubinemia. Ikterus yang terjadi dapat berupa tipe
kolestatik; di mana terjadi peningkatan ALP yang tinggi. Infeksi
virus hepatitis akut atau kronis dapat diketahui dengan pemeriksaan
seromarker tertentu untuk masing-masing virus penyebab (Wolf, 2005).

Kerusqkqn Hqti okibcrt Efek Toksik Obqt-obqtqn


Kerusakan hati tidak jarang disebabkan oleh efek toksik obat-obatan,
termasuk obat-obat antitiroid. Propylthiouracil (PTU) dan methimazole
(MMI) merupakan terapi obat lini pertama untuk terapi penyakit Grave's
(Burman, 2001). Cukup banyak dilaporkan dalam literatur terjadinya
komplikasi gangguan faal hati akibat pemberian PTU maupun MMi

Ikterus pada Penderita Penyakit Grave's 141


(Mikhail, 200 4; Arab,1995;Y un,1993;Peter, 1991). Mekanisme kerusakan
hati akibat PTU belum banyak diketahui, namun diduga melalui
toksisitas langsung terhadap hati, reaksi idiosinkrasi, atau reaksi alergi
(Mete, 1993;Yun,1993). Toksisitas langsung PTU terhadap hati terjadi
pada 306/" penderita rata-rata setelah 2 bulan pengobatan, dan bersifat
dose-dependent. Pada kasus semacam ini kadang-kadang dijumpai
perbaikan kadar transaminase bil4 dosis PTU diturunkan (Yun, 1993).
Reaksi idiosinkrasi adalah respons tidak terduga terhadap suatu obat
yang menyerupai reaksi hipersensitivitas dan hanya terjadi pada
pendgrita tertentu, tetapi tidak terbukti melibatkan mekanisme alergi
(neidl, 2003). Sebaliknya pada reaksi alergi penderita menunjukkan
keluhan gatal, rash, atau artralgia, dengan waktu onset yang bervariasi
dan respons yang bersifat dose-independent (Kim,200\).
The International Consensus Meeting on drug-induced liaer disordet
membagi kerusakan hati akibat obat menjadi tiga kategori: tipe
hepatoseluler, tipe kolestatik, dan tipe campuran' Tipe hepatoseluler
bila terjadi peningkatan > 2x batas atas normal (BAN) pada SGPT
(ALT) saja, atau rasio (R) SGPT dibandingkan dengan alkali fosfatase
(ALP) >5. Tipe kolestatik bila terjadi peningkatan > 2x BAN dari ALP
saja atau R <2. Tipe campuran bila SGPT dan ALP meningkat < 2x
BAN dan 2<R<5. ALP bisa sedikit meningkat pada pasien hipertiroid
tanpa terjadi hepatitis karena terjadinya peningkatan isoenzyme dari
tulang (dikutip Kim, 2001).
Diagnosis kerusakan hati terkait dengan pemberian PTU harus
dibuat secara hati-hati. Hanson (dikutip dari Mete, 1993; Chan, 2003)
menyarankan kriteria praktis untuk diagnosis drug-induced hepatitis,
yaitu: (1) gejala klinis dan laboratorium yang menunjukkan disfungsi
hepatoseluler; (2) onset dari keluhan berkorelasi dengan waktu terapi
oUit; 1a; tidak ada bukti adanya infeksi virus hepatitis; (4) tidak ada
kerusakan hati akut seperti pada syok atau sepsis; (5) tidak ada bukti
adanyapenyakit hati kronis; (6) tidak ada obat hepatotoksik lain yang
digunakan. Onsetkeluhan dapat berkisar antafa 2 minggu hingga 6, 5
bulan setelah terapi PTU (Mete, 1993).
Pada penderita ini semula diduga penyebab iktdrus odalLh decompensatio
cordis dengan koigesti liaer. Namun faal hati yang tidak kunjung membaik
w aI aupun dekomp ensasiny a telah ter atasi menimb ulkan ke curi gnan
adany a
penyebab lain. Keluh&n ikterus timbul sekitqr 6 bulan setelnh mendapatkan
'teripi
nfU. Didapatkan peningkatan SGPT >2X'BAN, dengan nilai ALP
ngrmal (sesuai dengan kerusctkan hati tipe hepatoseluler). Telnh disingkirkan

142 Se i-l En dokirr- Me tab olik


adanya infeksi airus hepatitis (A, B, dan C). USG qbdomen menyingkirkan
adanya obstruksi biliar oleh sebab bstu atau infeksi di saluran empedu,
maupun penyakit hati kronis lainnya. Kadar bilirubin mulai menurun setelah
PTU dihentikan. Dengan demikian ikterus padapenderita ini sangat mungkin
disebabkan oleh efek hepatotoksik PTU karena memenuhi kriteria diagnostik
y an gdi aj ukan oI eh H an son.
Hanya sedikit terapi yang efektif untuk kerusakan hati akibat
efek toksik obat. Tata laksana aktif meliputi penghentian obat,
terapi simtomatis dan suportif (Farrel, 1998; Hendromartono, 2005).
Pada kasus yang parah, transplantasi hati dapat dipertimbangkan.
Kortikosteroid memiliki peran yang kecil dan hanya dicobakan untuk
kasus atipikal dan refrakter, khususnya yang disertai vaskulitis (Farrel,
199B). Penggantian PTU dengan MMI atau sebaliknya sebenarnya masih
menjadi bahan perdebatan, karena keduanya dapat menyebabkan
kerusakan hati yang serupa. Namun pada umumnya gambaran klinis
toksisitas akibat PTU lebih parah, ditandai dengan inflamasi dan
nekrosis yang lebih parah (Mikhall,2004). Efek samping penggunaan
MMI tampaknya bersifat dose-dependent. Oleh karena itu, penggunaan
MMI dosis rendah (5-10 mg/hari) memiliki efek samping minor yang
lebih sedikit dibandingkan dengan PTU dalam semua dosis (Cooper,
2003). Bila dalam evaluasi terjadi peningkatan kembali kadar bilirubin
dan transaminase maka pilihan terapi yang tersedia adalah pemberian
r adioio dine 131I (William s, 1997).
Pada penderita ini PTU dihentikan setelah dugaan penyebab
ikterus rnengarah pada efek hepatotoksik obat. PTU digantikan
dengan thiamazol (derivat MMI) dosis rendah. Sesudah itu kadar
'bilirubin mulai menurun. Keadaan klinis penderita membaik sampai
sampai akhir perawatan. Masih diperlukan evaluasi kadar bilirubin
dan transaminase selama penderita rawat jalan untuk memastikan
kesembuhan.
Setelah evaluasi selama 6 bulan, dari hasil pemeriksaan di poli
endokrin rawat jalan didapatkan: keluhan kuning di kulit dan mata
menghilang, bilirubin total 2, 3 mg/ dL, bilirubin direk 1, 2 mg/ dL,
SGOT 37 IU/L, SGPT 26 IU/L dan hasil ekokardiografi didapatkan
mitral regurgitasi ringan dengan ejection fraction 73%.

Ikterus pada Penderita Penyakit Grave's L43


SUMMARY
A 31 years-old woman presented to our hospital because of jaundice.
She had previously been diagnosed to suffer from Grave's disease and
received PTU for about six months. At presentation there were also
signs*and symptoms of atrial fibrillation and heart failure. Assuming
that the jaundice was due to congestive liver associated with heart
failure, initial treatment was directed to control that condition. But
controlling the heart failure did not alleviate the jaundice. Thorough
evaluations to exclude other possible causes led us to the conclusion
that propylthiouracil (PTU) was the culprit drug. We withdrew the
offending drug (PTU) and switch it to thiamazol. The patient got better
after several subsequent days.
If jaundice encountered in a patient with Grave's disease, one
should consider several possible causes i.e.: liver abnormality due
to thyrotoxicosis, congestive liver due to thyroid heart disease,
concomittant viral infection, billiary tract abnormality, or other chronic
liver diseases, and last but not least hepatotoxic effect of anti-thyroid
drugs.

DAFTAR PUSTAKA
Andrew AH (2004). Cardiac Chirrosis. Available from: Hltp / /www.emedicine.com.
Accessed at November 29,2005.
Arab DM, Malatjalian DA" Rittmaster RS (1995). Severe Cholestatic Jaundice in
Uncomplicated Hyperthyroidism Treated with Methirnazole. j Clin Endo Metab
80: 4.
.Burman KD (2001). Hyperthyroidism. In: Becker KL, Bilezikian JP, Bremner WJ, et aL,
" eds. Principle and Practice of Endocrinology and Metabolism 3rd Ed, Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins, pp.409428
Chan AOO, Ng IOL, Lam CL et al. (2003). Cholestatic jaundice caused by sequential
carbimazole and propylthiouracil treatment for thyrotoxicosis. Hong Kong Med J
qq
Chaudhary AM, Roberts I (1999), Thyroid Storm Presenting with Liver Failure. J Clin
Gastroenterol 29, 31 8
Cooper DS (2003). Antithyroid Drugs in The Management of Patients with Grave's
Disease: An Evidence-Based Approach to Therapeutics Controversies. ] Clin
Endocrinol Metab 88, 347 4
De Groot LJ (2005). Diagnosis and Treatment o{ Grave's Disease. Available from: Http:/ /
www.thlrroidmanager.orglchapterll/1.1-text.htm. Accessed at June 23rd, 2005
Farrell GC (1998). Liver disease caused by drugs, anesthetics, and toxins. In: Feldman M,
Scharschmidt BF, Sleisenger llidLl et al., Eds. Sleisinger and Fortran's Gastrointestinal
and Liver Disease 6th Ed. Philadelphia: WB Saunders, p.428

144 S ei-l. En dokin-Me tab olik


Felz MW, Stein PP (1999). The Many "Faces" of Grave's Disease. postgraduate Medicine
106,5
Fisher fN (2002). Management of Thyrotoxicosis. Available {rom: Http://www.
medscape.com/viewarticle/433855. Accessed at June 19th, 2005
Forfar JC, Muir AL, sawers sA, Toft AD (1982). Abnormal left ventricular function in
hyperthyroidism: evidence for possible reversible cardiomyopathy. N Engl J Med
3M,11,65
Hendromartono (2005). The Treatrnent Modality of Grave's Disease. prosiding workshop
on Diagnosis and Treatment Modalities of Thyroid Disease, Surabaya
Hershman JM (2002). Hypothyroidism and Hypothyroidism. In: Lavin N, ed. Manual of
Endocrinology and Metabolism 3rd Ed. Philadelphia: Lippincott williams & wilkins,
pp.396409
Ho SC, Ding SC, Fok ACK, Khoo DHC (1998). Thyroid Storm presenting as Jaundice and
Complete Heart Block. Med Ann Acad MedSingapore2T,T4B
Kim HJ, Kim BH, Han YS, et aI. (2007). The Incidence and Clinical Characteristics
of Symptomatic Propylthiouracil-Induced Hepatic Injury in patients with
Hyperthyroidism; A Single-Center Rehospective Study. The American Journal of
Gastroenterolo gy 96, 1"

Klein I, Ojamaa K (2001). Thyroid Hormone and The Cardiovascular System. N Engl J
Med344,7
Lee sL (2004). Hyperthyroidism. Available from: Http://www.emedicine.com. Accessed
at June 19th, 2005
Malik R, Hodgson H (2002). The relationship between ihe thyroid gland and the liver.
QJ Med 95,559
Mete Uo, Kaya M, Colakoglu s , et aI. (1993), ultra-structure of the liver in propylthiouracil
induced hepatitis. Journal of Islamic Academy of Sciences 6, 4
Mikhail NE (2004). Methimazole-Induced Cholestaiic Jaundice. South MedJ 97,178
Peter sA (1991). Propylthiouracil-associated hepatitis. Journal of the National Medical
Association 83, 75
Polikar R (1993). The Thyroid and The Heart. Circulation 8Z 1435
Pratt DS, Kaplan MM (2004). jaundice. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci A. et al., eds.
Harrison's Principles of Internal Medicine 16th Ed. New York: McGraw Hill,23B-
243
Reichen J (2001). The Liver in Congestive Heart Failure. Available from: Available from:
Http://www.ikp.unibe.ch/lab2lheartfailurs/hLrn.htm. Accessed at November 30,
2005
Riedl MA, Casillas AM. Adverse drug reactions: types and treatment options. Am Fam
Physician 68, 1781
sellin JH, sellin RV (2000). The Gastrointestinal rract and Liver in Thyrotoxicosis. In:
Braverman LE, Utiger RD eds. Werner & Ingbar's The Thyroid: A Fundamental and
Clinical Text Bth Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wiikins, pp.622-626
Sherlock S, Dooley I Q002). Diseases of The Liver and Biliary System. 11th Ed, Oxford:
Blackwell Science, pp. 205-217
Sola J, Pardo-Mindan FJ, Zozaya!, Quiroga J, Sangro B, Prieto J (1991). Liver changes in
patients with hyperthyroidism. Liver 11, 193
Tjokroprawiro A (2005). Thyroid Crisis: a Life-Threatening Thyrotoxicosis. prosiding
Workshop on Diagnosis and Treatment Modalities of Thyroid Disease, Surabaya

Ikterus pada Penderita Penyakit Grave's 't45


Williams KV, Nayak S, Becker D, Reyes j, Burmeister LA (199\.FntyYears of Experience
with Propylthiouracil-Associated Hepatotoxicity: What Have We Learned? J Clin
Endo Metab 8? 5
Wolf DC (2005). Virat Hepatitis. Available from: Hllp:/ /www.emedicine.com/rc/rcJ
i4/hepatitis.htm. Accessed at Dec 19, 2005
Yeung SJ (2005). Grave's Disease. Http://www.emedicine com Accessed at June 19th,
20€5
Yun FL, Uang M], Fan KD, Chen TJ (1993). Hepatic lnjury during Propylthiouracil
Therapy in Patients with Hyperthyroidsm: A Cohort Study The American College
of Physician 1,18,424

t46 Se i -1 E n dokin - M et abdik


Kosus Diobetes Mellitus
Sebogai Akibqt Hipertiroid*

Widyoningsih, Ari Sutiohio


Divisi Endokrinologi don Metobolisme - Bogion llmu Penyokit Dolom
RSU Dr. Soetomo - Fokultos Kedokteron Universilos Airlonggo, Suroboyo

PENDAHUTUAN
Diabetes mellitus merupakan penyakit metabolik (kebanyakan
herediter) sebagai akibat berkurangnya insulin efektif baik karena
adanya disfungsi pankreatik atau perifer, atau kedua-duanya (DMT2),
a*au"insulin absolut'(DMT1) ,di dalam tubuh, dengan tanda-tanda
hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan gejala-gejala klinis akut
(polidipsi, poliuria, penurunan berat badan), dan ataupun gejala kronis
atau kadang-kadang tanpa gejala; gangguan primer terletak pada
metabolisme karbohidrat dan sekunder pada metabolisme lemak dan
protein (Tjokroprawiro, 200L).
Klasifikasi diabetes mellitus menurut PERKENI sesuai dengan
anjuran klasifikasi diabetes mellitus Aruerican Diabetes Association
(ADA) 1998 yaitu (1) diabetes tipe L: kerusakan sel B-pankreas yang
pada umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut, dapat karena
autoimun atau idiopatk; (2) diabetes tipe 2: bervariasi mulai yang
terutama dominan resisten insulin relatif sampai defek sekresi insulin
disertai resisten insulin (3) diabetes tipe lain (contohnya diabetes
mellitus akibat hipertiroid) dan (4) diabetes mellitus gestasional
(Tjokropraw ir o, 2001).
Kasus diabetes mellitus yang disertai hipertiroid terbanyak adalah
jenis diabetes mellitus tipe 1 yang ditemukan sebagai proses autoimun
yaitu adanya antibodi terhadap kelenjar tiroid dan juga disertai
adanya antibodi terhadap kelenj ar pankreas (Zmir e, 1999 ; Block, 2001) .

* Laporan kasus

173
Adapun penyakit diabetes mellitus juga dapat ditemukan sebagai
akibat hipertiroid karena sebab apa pun tetapi yang sering dijumpai
.yaitu Graae (Santosa, 2002; Skyler,2002\.
Hipertiroid dan diabetes melitus jarang terjadi bersama-sama.
Dikatakan oleh Block dan Kozak bahwa penderita hipertiroid dapat
mend€rita diabetes mellitus atau beberapa penderita diabetes mellitus
ditemukan juga menderita hipertiroid dengan angka kejadian sebesar
2-3,5%. Di RSU Dr. Soetomo selama tahun 2002 didapatkan angka
kejadian penderita diabetes mellitus yang juga menderita hipertiroid
sebar;yak 3 orang dari 60 penderita hipertiroid, tetapi dari 3 penderita
tersebut tidak didapatkan catatan mengenai tipe diabetes mellitus, tipe
1 ataukah tipe lain (Data RSU Dr. Soetomo,2002).
Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus diabetes mellitus
yang timbul pada seorang penderita hipertiroid dan disampaikan
kemungkinan hubungan antara kedua penyakit tersebut.

KAsU5
Seorang penderita lakilaki Tn S 49 tahun, suku Jawa, agama Islam,
beriempat tinggal di Surabaya, MRS tanggal 18-10-2002 di Ruang
Interna 2 dengan keluhan utama panas badan.

Anomnesis
Panas badan dirasakan sejak 2 minggu sebelum MRS, panas tidak
.tinggi dan tidak naik turun disertai mual, tidak muntah, nafsu makan
menurun, mulut terasa kering sehingga sering minum dan berat badan
turun dari 47 kg menjadi 40 kg saat MRS. Sesak napas disertai dada
berdebar-debar sejak 3 bulan dan memberat 2 minggu sebelum MRS,
sesak bertambah dengan aktivitas sehari-hari dan berkurang dengan
istirahat. Sesak tidak dipengaruhi posisi duduk atau berbaring. Selama
2 minggu ini sering buang air kecil terutama malam hari sampai
5 x/hari.
Selama 3 bulan ini badan terasa lemas dan cepat lelah terutama jika
melakukan aktivitas agak berat, sering pusing, nyeri seluruh badan.
Penderita sering mengeluh "sumer-sumer", mudah gelisah, BuBuP,
sulit tidur dan kadang-kadang disertai dada berdebar-debar, rambut
penderita normal dan tidak mudah rontok, kulit berkeringat normal.

174 Se i -7 En dokin- Me tab olik


Penderita sering diare sebanyak rata-rata 3-5 x dalam sehari, rata-
rata segelas, cair bercampur ampas berwarna kuning tanpa darah dan
lendir. Saat MRS tidak ada keluhan BAB.
Riwayat Penyakit Dahulu: sebelumnya tidak ada riwayat penyakit
kencing manis, hipertensi, penyakit gondok maupun asma. Merokok
selarfia L5 tahun berhenti 1 tahun yang lalu.
Tanggal 8 Oktober 2002 penderita datang ke poli Jantung karena
keluhan sesak napas terutama jika aktivitas disertai berdebar-debar,
didapatkan auskultasi jantung murmur mid sistolik (+). Pemeriksaan
labolatorium didapatkan Hb :'1,0,7 g/ dl; leukosit: 6,4 x 10e /L; trombosit:
128 x 10e / L;PCVi 0,32; GD A: 17 5 mg / dl; SGOT: 34 U/ L; BUN: 15 mg / dl;
kreatinin serum: 0,52rng/ dl;K:3,2mEq/ l; Na; 140 mEq/\, dilanjutkan
pemeriksaan foto rontggn toraks PA dengan hasil normal; Tanggal 15
Oktober 2002 penderita kontrol ke poli Jantung dilakukan pemeriksaan
EKG didapatkan AFVR 72-1gg x / menit dan ekokardiografi didapatkan
hasil penilaian kualitatif normal, didiagnosis sebagai AFVR normal,
selanjutnya mendapat terapi digoxin 1 x 0,25 mg.
Riwayat Penyakit Keluarga: penderita anak pertama dari 7
bersaudara, anak ke-S menderita hipertiroid dan sudah berobat teratur
di Rumah sakit Tambak Rejo. Kedua orang tua dan semua saudara
penderita tidak ada yang menderita kencing manis.

Pemeriksoon Fisik
Tanggal L8 Oktober 2002 penderita MRS di Ruang Intema 2.
Pemeriksaan fisik didapatkan data sebagai berikut: kesadaran
'komposmentis, gizi kurang dan keadaan umum cukup baik. Tinggi
badan 160 cm, berat badan 40 kg (BBR: 66,67% dan BMI: 15,625).
Tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 120 x /menit tidak teratur, suhu
badan 36,5 oC, pernapasan2f x /menit. Pemeriksaan Kepala dan leher:
tidak didapatkan anemia, ikterus, sianosis maupun sesak napas. Pada
mata didapatkan eksopth4lmus ringan. Pupil bulat isokor dengan
refleks cahaya yang normal, tidak dijumpai adanya diplopia, visus
tidak menurun. Pada leher dijumpai sedikit pembesaran kelenjar
gondok, difus, kanan lebih besar daripada kiri (ukuran A 8 x 7 cm dan
6 x 6 cm), padat kenyal, yang nyata jika penderita menengadah dan
ikut bergerak'jika menelan. Tidak didapatkan nyeri tekan maupun
bruit (bising arteri). ]VP tidak meningkat. Pemeriksaan dada: jantung
besar normal, suara jantung 51 dan 52 tunggal dengan frekuensi

Kasus Diabetes Melitus Sebagai Akibat Hipertiroid 175


120 x / menit, tidak teratur, tidak terdapat bising jantung. Paru tampak
simetris, suara perkusi sonor, suara napas vesikuler, tidak dijumpai
ronkhi maupun rnheezing. Pemeriksaan abdomen tampak datar dan
supel, tidak dijumpai adanya massa maupun asites, hepar dan lien tak
teraba dan bising usus dalam batas normal. Pemeriksaan ekstremitas
didapatkan adanya tremor halus pada jari-jari tangan, tidak ada jari
tabuh, tidak didapatkan edema dan akral hangat.

Periolonon Penyokit
Tanggal 18 Oktober 2002, penderita datang ke bagian penyakit dalam
dengan keluhan panas badan, kemudian penderita MRS di ruang
Interna II. Dari hasil laboratorium didapatkan Hb: 15,0 g/dl; leukosit;
6,1x 1-0e /L; trombosit: 258 x 10e /L; PCV: 0,45; GDA: 697 mg/ dl; SGOT:
59 U/L; SGPT: 110 U/L; Bilirubin D: 1.,89 mg/dl; Bilirubin Indirek:
0,6L mg/ dl; albumin; 4,4 g/ dl; globulin: 3,2 g/ dl; HBsAg: t); BUN:
24 mg/dl; kreatinin serum: 1,07 mg/ dl; BGA didapatkan pH: 7,475,
pCO2: 25,8, pO2: 94,4, HCOS: 18,6: BE -5,0; Widal didapat tipe O:
T/100, tipe H: 1./200, tipe A:(-), tipe B: 1/100; Urinalisis didapatkan
eritrosit:0 - 8 plp,leukosit:1-3 plp, epitel2-4 plp; glukosa: +3, keton:
(-), bilirubin: (-), urobilin (-), protein: (-). EKG: AFVR 72-1.00 xf menit.
Problem diagnosis saat MRS yaitu DM belum teregulasi + peningkatan
transaminase+AFVR normal+alkalosis respiratorik. Terapi yar.g
diberikan Diet B1 2100 kalori, infus PZ 14 tetes per menit, regulasi cepat
insulin 5 x 4 IU (i.v.) selang satu jam. GDA ulangan setelah regulasi
cepat intravena 403 mg/ dl, dilanjutkan regulasi cepat insulin lagi
3 x 4IU (i.v.) selang satu jam didapatkan GDA 250 mg/ dl, dilanjutkan
maintenance 3 x 12 iu subkutan. Dari bagian jantung menambahkan
digoxin 1x 0,25rr.9.
Tanggal L9 Oktober 2002 didapatkan hasil pemeriksaan GDP: 400
rng/ dl;GD 2 jPP:300 mgldl; K:4,6mBq/ l; Na;133 mEq/l; Trigliserida:
80 mg/dl, Kolesterol total 94 mg/ dl, kolesterol HDL: 46 mg/ dl,
kolesterol LDL: 85 mg/ dt, SGOT: 26 U /L,SGPT: 28 U /L, kemudian
dilakukan regulasi cepat insulin 2 x 4 IU i.v. selang satu jam, selanjutnya
didapatkan hasil ulangan GDA: 1.60 mg/ dl, selanjutnya terapi insulin
diberikan maintenance 3 x 14 IU subkutan. Tanggal 21. Oktober 2002
didapatkan hasil GDS ulangan siang hari: 193 mg/ dl.
Tanggal 22 Oktober 2002: pederita tampak lebih gelisah, tidak bisa
tidur, sesak bertambah berat dengan dada berdebar disertai tremor,

176 S ei-1 Endokin- Metab olik


T: 130/80 mmHg, N: L20 x/menit tidak teratur, RR: ll xfmenit,
t:37 "C, penderita didapatkan perhitungan Indeks New Castle 49 dan
Indeks Wayne 26 yang mendukung diagnosis hipertiroid, kemudian
dilakulan pemeriksaan TSHs, FTa dan USG Colli. Tanggal23 Oktober
2002 didapatkan hasil pemeriksaan TSHs < 0,1 uIU/mL;FTa:6,0 ng/rnl
(Nonhal FTa:0,7-1,,8 ng/dl dan TSHs: 0,'J.-5,0 mU/L); GDS: 154 mg/
dl, kemudian penderita didiagnosis sebagai hipertiroid dan diabetes
mellitus selanjutnya mendapat terapi diet 81 2100 kalori, insulin 3 x
L6 IU s.c., PTU 3 x 200 mg, propanolol 2 x 20 mg, clobazam 2 x 10 mg.
Seteph dikonsulkan ulang ke bagian kardiologi, sejawat kardiologi
mendiagnosis sebagai penyakit jantung hipertiroid dengan saran terapi
digoksin L x 0,25 mg dilanjutkan.
Tanggal 25 Oktober 2002 didapatkan hasil pemeriksaan GDS: 90
rng/ dl, kemudian terapi insulin diturunkan menjadi 3 x 12 IU s.c.
dan terapi yang lain tetap. Tanggal 30 Oktober 2002 didapatkan hasil
pemeriksaan GDS: 82 mg/dl, kemudian insulin diturunkan menjadi 3 x
8 IU s.c. dan terapi yang lain tetap. Tanggal 31 Oktober 2002 didapatkan
hasil USG colli: struma diffusa bilateral, kanan lebih besar daripada
kiri. Tanggal 1 Oktober 2002 -didapatkan hasil ALC: 9,5%; C-peptide
puasa: 0,53 ngf ml, dilanjutkan C-peptide 1 jam setelah beban glukosa
75 gr:3 ng/ ml dan hasil pemeriksaan IgAb: (-). Tanggal 7 Oktober 2002
didapatkan hasil pemeriksaan Hb:13,7g/dl; leukosit: 9,11. x 1.0e/L;
trombosit: 227 x10e/L;LED:45 rnm/jam;K:4,2mEq/ l; Na; L32 mEq/l;
Tanggal 11 Oktober 2002 GDP: 138 rr.g/ dl. cDP 2 jam PP: 155 mgldl.
Insulin diberikan 3 x 6 iu subkutan.
Tanggal 12 Oktober 2002 penderita tidak tampak gelisah, T:130/70
"mmHg, N' 88 x/menit, RR: 20 x/menit teratur, t: 36'C, GDP: 159 mg/
dl; GDP 2JPP: 155 mg/ dl; saran dari bagian kardiologi, digoxin tetap
diberikan dan disarankan untuk kontrol ke poli jantung. Penderita
selanjutnya dipulangkan dengan diagnosis akhir pada penderita
tersebut adalah hipertiroid dan diabetes mellitus. Saat pulang baik
secara klinis maupun laboratorium didapatkan kemajuan pada
penderita, dengan berat badan naik menjadi 2 kg selama perawatan (40
kg menjadi a2kg). Pada waktu pulang penderita mendapatkan terapi
diet 81 2100 kalori, mixtard 12IU s.c. pagi, PTU 3 x 200, propranolol 2
x 10 mg, digoksin 1" x 0,25 mg dan roboransia 3 x 1 tablet, selanjutnya
kontrol ke poli.jantung dan poli endokrin.
Dalam evaluasi perkembangan berikutnya sampai dengan tan gga120
Februari 2003 keluhan-keluhan penderita berangsur-angsur berkurang

Kastrs Diabetes Melitus Sebagai Akibat Hipertiroid 177


dan berat badan meningkat 5 kg (dari 42 kg menjadi 47 kg), didapatkan
hasil pemeriksaan GDA 70 rng/ dl, terapi dari poli endokrin mixtard
L2 IU s.c. diganti dengan gliclazid 2 x 20 mg (pagi dan siang) dan PTU
3 x 100 mg.
Pada tanggal 20 Maret 2003 penderita kontrol ke poli endokrin
dengqn tidak ada keluhan, berat badan naik L kg $7 kg meniadi 48
kg) dan didapatkan hasil GDA 170 mg/ dt, T 130/80, N 80 x/menit,
RR 20 x/menit. Terapi dari poli endokrin gliclazid2 x 20 mg dan PTU
diganti dengan metimazol 1, x 20 mg. Pada tanggal 28lanuari 2004,
penderita mendapat metimazol L x 10 mg dan gliklazid 20 mg -0 - 0.
Didapatkan hasil pemeriksaan TSHs < 0,1 mu/ml (N: 0,4-7,0 mu/ml),
FT41,,7 ug/ dl (N: 0,8-2,0 ug/ dl), GDS: 120 mg/ dl, selanjutnya setelah
gliklazid dihentikan selama 1, minggu didapatkan hasil pemeriksaan
GDP 92mg/ dl dan 2jPP 172mg/dl.

PEMBAHASAN
Penyakit hipertiroid yang berhubungan dengan DM yang sering
dijumpai adalah Grave's. Sindrom ini terdiri dari salah satu atau lebih
dari (1) tirotoksikosis (2) goiter (3) optaimopati dan (4) dermopati/
miksedema pretibial. Penyakit ini dapat terjadi pada segala umur
dengan insiden puncak 20-40 tahun. Terdapat predisposisi genetik
yang mendasari'yaitu didapatkan L5% penderita Grnae's mempunyai
keluarga dekat dengan kelainan yang sama, namun tidak jelas apa
yang mencetuskan episode akut ini, diduga karena infeksi bakteri atau
virus sebelumnya (Greenspan, 2000; Weptman, 2000; Wartofsky, 2001;
Santosa,2002).
Gejala hipertiroid antara lain pembesaran kelenjar tiroid disertai
takikardia, palpitasi, tremor, tidak tahan paras, gelisah, hiperkinesia,
mudah lelah, diare, penurunan berat badan tanpa penurunan nafsu
makan, eksoftalmus, kelemahan otot sampai kelumpuhan. Pada usia
tua manifestasi kardiovaskuler lebih sering menonjol yaitu palpitasi,
sesak pada waktu aktivitas, tremor, gugup dan penurunan berat
badan.
Untuk menentukan status hipertiroid secara klinis dapat ditentukan
dengan menghitung Indeks New Castle dan Indeks Wayne sebagaimana
tertera pada Tabel L (Tjokroprawiro,1996).

178 S e i-1 En dokin- Me tab olik


Tabel L. Indeks tiroid
lndeks New Castle I lndeks Wavne Eutiroid: < 10
Eutiroid:-l1 ) +23 | Mungkinhipertiroid: +10) +20
Mungkin hipertiroid: +24 ) +39 | Hipertiroid: >20
Hipertirold:+40 ) +80

Diagnosis klinis penyakit Grave's sebagai berikut


(Tjokroprawtuo,l97)
Dx Dugaan I Diagnosis Klinis
1. Struma Difusa I t. Diagnosis dugaan + spesifik
2. Gdjala umum | (oftalmopati, dermopati,
3. Kardiovaskuler: Nadi basal > 9O/menit I acropaohy) atau
| 2. lWayne > +20
Diagnosis Pasti I I New Castle > +40
Diagnosis klinis + FT4 > 1, 8 dan TSHs <
0, 1

Diagnosis hipertiroid ditegakkan dengan peningkatan FT4 dan


penurunan TSHs. Biasanya ditemukan adanya autoantibodi yang
menstimulasi TSH-R Ab (Greenspan, 2000).
Pasien laki-Iaki berusia 49 tahun dengan gejala tirotoksikosis yang
ditemuksn dengan j elas p ada hari keenam set eluh MRS, didap atknn p emb esar an
kelenjar gondok tampak jika penderita menengadah, dtfuse, ksnan lebih besar
darip.adakiri, padat kenyal tanpa adanya optalmopati dan dermopnti. Terdapat
predisposisi genetik yang mendasnri yaitu mempunyai keluarga dekat (adik
kandung penderita) dengan kelainsn yang saffia. Padn pasien ini tidak jelas
apa yang mencetuskan episode skut ini. Sqat MRS didapatkan manifestasi
tcardioaaskuler yang lebih menonjol yaitu takikqrdia, palpitasi, sesak pada
waktu aktiaitas. Hsri keenam setelsh MRS gejala tirotoksikosis lebLh lampak
jelas antaralain ditemuken juga gelisah, hiperkinesia, tremor, gugup yanglebih
j el as dib an din g s eb elumny a, ti dak t ahan p an as, mu d ah I el ah, p enur un an b er at
badan tanpa penurunan nabsu makan. P ada pnsien ini didap atkan perhitungan
Indeks New Castle 49 dan Indeks Wayne 26 serta hasil pemerikswtn TSHs
yang rendah dan FTayang tinggi.

Diqbetes Melitus pqdo Hiperfiroid


Kasus diabetes mellitus bersama-sama hipertiroid yang terbanyak
adalah jenis diabetes mellitus tipe 1. Penyakit ini sering ditemukan
sebagai proses autoimun yaitu adanya antibodi terhadap kelenjar
tiroid dan juga disertai adanya antibodi terhadap kelenjar pankreas

Kasus Diabetes Melitus Sebagai Akibat Hipertiroid 179


(Block, 2001). Adapun penyakit diabetes mellitus juga dapat ditemukan
sebagai akibat hipertiroid sesuai kriteria ADA 1998 yang masuk dalam
klasifikasi diabetes tipe lain (Tjokroprawiro, 2001, Santos a,2002; Skyler,
2002).
Terjadinya DM pada hipertiroid dapat dijelaskan sebagai berikut.
Kelebihan hormon tiroid oleh sebab apa pun termasuk Grave's dapat
berpengaruh terhadap:
1. Hemostasis Metabolisme Glukosa
Pengaruh kelebihan hormon tiroid terhadap homeostasis
rdetabolisme glukosa melalui mekanisme sebagai berikut (Makono,
1999; Skyler,2002):
a. Peningkatan Absorpsi Glukosa Intestinal'
Kelebihan hormon tiroid menimbulkan peningkatkan absorpsi
glukosa di intestinal dan peningkatan pengosongan lambung.
Peningkatan kadar gula darah tersebut dengan cepat terjadi
setelah beban glukosa oral. Konsentrasi glukosa darah dapat
meningkat secara cepat dan lebih awal yaitu dalam 30-60 menit
(dapat lebih dari 200 mg/dl). Peningkatan penkyang lebih awal
sering menimbulkan glukosuria (Makono, 1999 ; Degroot, 2003).
b. Glikogenolisis dan Glikoneoogenesis Hati
Kegagalan metabolisme glukosa pada hipertiroid juga terjadi
. karena peningkatan sintesis glukosa melalui peningkatan
glikogenolisis dan glukoneogenesis dalam hepar dan
pengeluaran glukosa dari hepar secara berlebihan melalui
membran hepatosit. Peningkatan pengeluaran glukosa dari hepar
* disebabkan adanya peningkatan transporter glukosa (GLUT-
2) pada membran hepatosit yang dianggap memegang peran
penting pada gangguan metabolisme glukosa. Kadar GLUT-
2 yang meningkat secara bermakna pada membran hepatosit
menyebabkan peningkatan pengeluaran glukosa yang berlebihan
dari sel hepar yang selanjutnya memberikan peningkatan kadar
glukosa darah. Selain itu juga terjadi kegagalan sintesis glikogen
di hepar dan otot sehingga terjadi penurunan cadangan glukosa
(glikogen) di hepar dan otot (Makuno, 1999;Zmire,1999; Skyler,
2002).
2. Peningkatan Sekresi insulin, Resistensi Insulin dan Peningkatan
Kliren Insulin
Sebagai respons terhadap peningkatan absorpsi glukosa dari usus
yang berlebihan yang .disertai. peningkatan glikogenolisis dan

180' S ei-1 Endokin-Metab olik


glukoneogenesis, menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan
insulin. Pada pasien hipertiroid cenderung membutuhkan insulin
yang sangat tinggi sebelum hipertiroid terkontrol (Zmtre,1999).Hal
ini telah dibuktikan oleh penelitian Degroot dan O'merat, bahwa
padf penderita hipertiroid terjadi peningkatan produksi insulin
prtasa 2 kali nilai normal dan peningkatan produksi insulin setelah
makan (hiperinsulinemia) yang dapat dilihat dari marker C-peptide
yang dihasilkan sel p-pankreas, tetapi peningkatan konsentrasi
insulin ini lebih menggamba rkan proinsulin (O' mear at, 1 993). Beck
dan Degroot menyebutkan terjadi peningkatan produksi proinsulin
baik pada keadaan puasa maupun setelah makan (Beck, 1996;
Degroot, 2003). Beberapa penelitian melaporkan walaupun terjadi
peningkatan insulin tetapi terjadi penurunan kualitas insulin dan
dilaporkan terjadi penurunan sensitiuitas insulin di perifer (Kahn,
1994) dan terjadi penurunan kemampuan insulin untuk supresi
produksi glukosa dari hepar (Degroot 2003). Penurunan kualitas
insulin tersebut memberikan resistensi insulin, sehingga dapat
menyebabkan diabetes mellitus yang dapat hilang jika hipertiroid
segera diiterapi (Kahn, 1994; Bech, 1996; Skyler, 2002). Makuno
menjelaskan hipertiroid yang tidak segera diterapi menyebabkan
sel B-p4rrkreas tidak mampu lagi meningkatkan produksi insulin
dan dapat terjadi kelambatan produksi insulin (Beck, 1996; Makuno,
1999; Degroot, 2003).
Makuno menjelaskan bahwa pada hipertiroid jngu terjadi
peningkatan degradasi insulin plasma meningkat (Makuno, 1,999).
Peningkatan kecepatan klirens insulin tersebut terjadi pada 40%
penderita dengan hipertiroid.
J. Peningkatan Lipolisis
Pada hipertiroid dapat terjadi penurunan kepekaan insulin terhadap
efek antilipolitik sehingga terjadi penurunan cadangan lemak
tubuh (Riis, 1994; Hellstrom, 1997). Peningkatan lipolisis dengan
melepaskan asam lemak bebas dan gliserol juga dapat menimbulkan
gangguan kepekaan insulin dan gangguan toleransi glukosa
(Skyler,2002). Peningkatan respons lipolisis dalam sel lemak terjadi
karena peningkatan sejumlah besar reseptor B-adrenergik sehingga
terjadi peningkatan kepekaan terhadap rangsangan katekolamin
(Hellstrom, 1997 ; Liu, 2003). Walaupun terjadi peningkatan sintesis
kolesterol (lipogenesis hati), terjadi pula peningkatan klirens
trigliserida, LDL dan HDL sehingga kadarnya menurun dalam

Kasus Diabetes Melitus Sebagai Akibat Hipertiroid 18L


darah. Selanjutnya hipertiroid akan menyebabkan kehilangan berat
badan dan malnutrisi (Omearat, 1993; Feng, 2000; Cachefo, 2001;
Santosa, 2002; Skyler, 2002; Degroot, 2003) .

Pado pasien ini didapatkan diabetes mellitus yang kemungkinan sebagai


akiba,Lhipetiroid. Pada pasien didapatkan peningkatan glukosa darah puasa
dan gula darah sesaat kurang lebih 3 bulan setelah mendapat serang&n
hipertiroid. Didapatkan pula peningkatan C-peptide setelah makan yang
menunjukkan bahwa kebutuhan insulin meningkat sebagai respons terhadap
peningkatan kadar glukosa, tetapi walaupun fungsi sel beta pancreas masih
baik fetapi kualitas insulin menurun sehingga terjadi DM. Selain itu pada
penderita ini juga didapatkan penururum kolesterol dan kadar lemak darah
ynng kemungkinan karena peningkatan kliren kolesterol dan trigliserida
sebagai akibat kelebihan hormon tiroid.

Fibrilosi Afriql pqdc Hipertiroid


Selain menimbulkan diabetes mellitus, kelebihan hormon tiroid
menimbulkan peningkatan reseptor B-adrenergik miokard sehingga
meningkatkan kepekaannya terhadap katekolamin atau mirip
dengan stimulasi adrenergik (Hellstrom, \997) seperti peningkatan
denyut jantung, curah jantung, volume sekuncup, tekanan nadi dan
kontraktilitas ventrikel kiri. Biasanya pasien datang dengan keluhan
palpitasi, kelelahan, angina, gagal jantung, sinus takikardia sekitar
40% pasien, AF sekitar 75% pasien, bising midsistolik pada batas
kiri sternum. Pada pasien yang lebih tua biasanya datang dengan
AF yang resisten terhadap terapi sampai hipertiroid
"manifestasi
terkontrol (Klein, 2001,), Dikatakan bahwa sekitar 1% kasus AF yang
baru saja terjadi disebabkan karena hipertiroid terselubung, karena
itu perlu diperiksa hormon tiroid dan TSHs meskipun tidak dijumpai
gejala dan tanda klinis hipertiroid. Umumnya penderita datang dengan
keluhan sesak saat aktivitas sehari-hari disertai tanda gagal jantung,
penurunan respons terhadap latihan karena ketidakmampuan jantung
dalam meningkatkan frekuensi denyut jantung secara maksimal. Jika
berlangsung lama menyebabkan kontraktilitas yang jelek, curah jantung
yang rendah serta gejala dan tanda gagal jantung termasuk kongesti
pulmonum. Tanda-tanda gagal jantung tersebut urnumnya disertai
dengan sinus takikardia yang persisten atau AF (Karjono, 2002).
Peningkatan konsumsi oksigen dan produksi karbondioksida pada
hipertiroid menyebabkan peningkatan ventilasi permenit sebagai

182 S ei-1 En dokin- Metab olik


mekanisme homeostatik sehingga berpengaruh pada analisis gas darah
(Landenson PW,2000).
Pada pasien ini didapatkan peningkatan denyut jantung, peningkatan
nadi, palpitasi, tampak lelah. Pada awal perjalanan penyakit (sebelum MRS),
penderita tersebut dirawat oleh Ts jantung dengan AF yang belum membaik
dengan terapi digoksin sebelumhipertiroid terkontrol. Pada analisa gas darah
didapatkan alkalosis respiratoik karena pada pasim didapatkan hiperkapnea
saat datang.

Pendrqloksonqqn DM podo Hiperriroid


Hipertiroid akan menyulitkan regulasi gula darah. Pengobatan
hipertiroid akan rnemperbaiki kadar gula darah (Zmbe, 1999).
Terapi diabetes mellitus sebagai akibat hipertiroid ditujukan pada
pengendalian hipertiroid yaitu dengan obat antitiroid seperti PTU atau
metirhazol. Terapi PTU dimulai dengan dosis besar terbagi yaitu mula-
mula 100-150 mg tiap 6 jam kemudian dalam waktu 4-8 minggu dosis
diturunkan sampai 50-200 mg sekali atau dua kali. Bila t6lah meniadi
eutiroid terapi rumatan dapat dicapai dengan dosis tunggal yang lebih
kecil pada pagi hari. Dosis metimazol(D mg tiap pagi selama 1-2 bulan,
dosis ini kemudian diturunkan menjadi 5-20 mg tiap pagi sebagai
rumatan (Greensparg 2000; Hendromartono, 2002).
Pada hipertiroid dengan diabetes mellitus diperlukan insulin dengan
dosis yang lebih tinggi untuk mengontrol kadar gula darah menjadi
normal. Jika hipertiroid telah terkontrol terjadi perbaikan metabolisme
sehingga kebutuhan insulin menurun (Donald,2002). Walaupun pada
hipertiroid terjadi peningkatan kebutuhan insulin, insulin eksogen
masih efektif. Pada penelitian Degroot dkk menerangk& bahwa
pada pemberian insulin memberikan efek pembersihan glukosa dari
darah (Degroo! 2003). Pada penderita hipertiroid yang semula bukan
diabetes mellitus, gangguan toleransi glukosa dapat menetap pada
32% pendeita walau telah mendapat terapi obat antitiroid selama > 12
tahun (Kahn,1994).
Saat pulang pasien diterapi dengan Diet 81 21'00 kalori, mixtard 1' x L2
iu sc pagi, PTU 3 x 200 mg, propanolol 2 x 1.0 mg, digoksin 1 x 0,25 mg dan
roboransia 3 x 1.tablet. Disarankankontrolke poli endokron dan poli jantung.
Pada tanggal23 lanuaipenderita tersebut telah eutitoid dengan dosis rumatan
methimasol 1" x L0 mg. Semula diperlukan regulasi insulin dilanjutkan
kebutuhan rumatan 3 x 12 iu kemudian kebutuhan insulin menurun dengan

Kasus Diabetes Melitus Sebagai Akibat Hipertiroid


dosis terakhir 3 x 6 iu dan selanjutnyakadar gula darah dipertahankan dengan
mixtard 1.2 iu pagi, 4 bulan kemudian diswitch ke OHO dengan Gliclazid 20
mg pagi-siang. Selanjutnya diturunkan sampai dosis rumatan 20 mg pagi
sampai lgurang lebih setahun dan didapatkan diabetes mellitus yang teregulasi.
Setelah OHO dihentiknn selama seminggu didapatkan gan4Suan toleransi
glukosa (GDP 92mg/dl dan 2jPP 1.72 mg/dl).
Prognosis ditentukan (1) ukuran kelenjar tiroid kembali normal; (2)
pasien dapat dikontrol dengan antitiroid dosis yang relatif kecil; (3) Ab
tidak lagi terdeteksi dalam serum (Greenspan, 2000).
Plognosis pasien ini baik kqrena tidak didapatkan pembesarnn kelenjar
tiroid ynng menonjol dengan dosis rumatan metimazol 1 x L0 mg secara klinis
membaik dan pemeriksqqn autoantibodi yang negatip.

SUMMARY
A forty nine years old, male, who has admitted in Internal Word Second-
Dr. Soetomo hospital, complained fever since 2 weeks ago. This patient
also complained sort of breath on exertion since 3 months ago and
become worse in 2 week before admission. On physical examination,
it'was found that cardiovascular manifestation was prominent with
Atrial Fibrilation. On laboratory examination, the concentration of
plasma blood sugar and FTa was elevated and TSHs concentration was
decieased. The diagnosis of diabetes mellitus resulted hyperthyroid
should be considered in this patient because she had diabetes mellitus
aproximally 3 months after getting hyperthyroid. At first, It was
needed insulin in high dose, but after hyperthyroid has been controlled
" with antithyroid drug, the need of insulin would be decreasing step
by step until it was switched in oral diabetic agent. Atrial fibrilasi
was chanced in sinus rhythm after giving digoxin added antithyroid
drug. The prognosis of these patient was good, because there wasn't
autoantibody detected, the size of struma wasn't too enlargement, and
general condition become better with low dose antithyroid drug.

DAFTAR PUSTAKA
Bech K (1996). Beta Cell Function and Glucose and Lipid Oxidation in Grave'disease.Clin
Endocrinol tM (1),59,
Block CEM (2001). The Presence of Thyrogastric Antibodies in First Degree Relatives of
Type 1 Diabeiic Patients Is Associated with Age and Proband Antibody Status. J Clin
Endocrinal Metab 85 (9),4358.

184 S eri -1 Endokrin- Metab olik


Cachefo A (2001). Hepatic Lipogenesis and Cholesterol Synthesis in Hyperthyroid
Patients. J Clin Endocrinal Metab 86(11),5353.
Degroot LJ (2003).Graves'Disease and the Manifestations of Thyrotoxicosis.The Thyroid
and its Disease.December 10, 2003.
Donald CP (2002). Hyperthyroidism and Diabetes.Pets with Diabetes 1(1),2.
Feng X (2000).Thyroid Hormone Regulation of Hepatic Genes in Vivo detected by
Cornplementary.j Mol Endocrinal L4(7), 947.
Greenspan FS (2000). Kelenjar Tiroid.Endokrinologi Dasar dan Klinik.Ed: Greenspan FS,
Baxter JD.4thed. Penerbit Buku Kedokteran EGC.Jakarta ,hkn.207.
Hellstrom L (1997). Catecholamine-Induced Adipocyte Lipolysis in Human
Hyperthyroidism. J Clin Endocrinol Metab 82(1),159.
Hendromartono (2002).Rasionalisasi Pengobatan Penyekat-p pada Kardiomiopati
Di-abetik.Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XVII:I1mu Penyakit Dalam.Surabaya,
September 2002.
Kahn CR (1994). Secondary Forms of Diabetes.In:Joslin's Diabetes Mellitus.Ed:Kahn CR,
Weir GC.13tred. Lea and Fibiger.Philadelphia, p. 300.
Karjono J(2002).Penyakit Jantung Hipertiroid.Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan
XVII Ilmu Penyakit Dalam.Surabaya, Sepiember 2002.
Klein I (2001).Thyroid Hormon and The Cardiovasculer System.New Engll MedM4(27),
561.
Ladenson PW(2000).Diagnosis of Tyrotoxicosis.In:The Thyroid.Ed: Braverman LE, Utiger
RD.8thed.Lippincott Williams and Wilkins.Philadelphia, p.685.
Liu Y (2003).,4' Thyroid Hormone Receptor oGene Mutation (P393H) Is Associated with
Visceral Adiposity and Impaired Catecholamine-stimulated Lipolysis in Mice.J Bioi
Chem 278(40), 38913.
Makuno T (1999).Glucose Transporter 2 Concentrations in Hyper and Hypothyroid Rat
Liver.] Endocrinol 1"60(1), 285.
O'me4rat NM (1993). Alterations in the Kinetics of C-Peptide and Insulin Secretion in
Hyperthyroidism.J Clin Endocrinal Metab 7 6(1), 79.
Riis AlD(2002).Elevated Regional Lipolysis in Hyperthyroidism. J Clin Endocrinol
Metab 87(1.0), 4747 .
Santosa E (2002).Penafsiran Hasil dan Analisis Fungsi Tiroid.Pendidikan
, Berkesinambungan Patologi Klinik 2002.lakarta,4-6 Oktober 2002.
Skyler JS (2002).Thyrotoxicosisn.In: Atlas of Diabetes.Ed:Skyler JS.2nd ed. Lippincott
Williams and Wilkins.Philadelphia, p.191.
Tjokroprawiro A (1996).Penyakit Graves.Temu Iimiah dan Simposium Nasional III
Penyakit Tiroid.Badan Penerbit Universitas Diponegoro.Semarang, 2 Desember
T996.
Tjokroprawiro ,4(2001).Diabetes Mellitus.Garis Besar Kuliah untuk Mahasiswa Semester-
7 Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya, S Oktober 200L.
Wartofsky L (2001). Disease of the Thyroid.In: Harrison's Principles of Internal Medicine.
Ed:Fauci AS, Braundwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL, Hauser
SL, LongoDl.l5thed.Mc Grawn Hill USA, p.2144.
Weetman AP (2000).Graves'Disease. N Engl J Med 343(17),1235.
Zmire J (1999).Glycemia Regulation in Diabetic Patients with Thyroid Disease.
Diabetologia Croatica.June 3, 1999.

Kasus Diabetes Melitus Sebagai Akibat Hipertiroid 185


Krisis Tiroid dengon Riwoyot Asmq*

loksmi Scsiorini, Dioko Sontoso, Socbogiio Adi


Divisi Endokrinologi don Metobolisme - Bogion llmu Penyokit Dolom
- RSU Dr. Soetomo - Fokultos Kedokteron Universitqs Airlonggo, Suroboyo

PENDAHULUAN
Krisis tiroid merupakan eksaserbasi keadaan hipertiroidisme yang
mengancam jiwa yang diakibatkan oleh dekompensasi dari satu atau
lebih sistem organ. Angka kejadiannya sekitar kurang dari 10%, bahkan
ada yang mengatakan sekitar L%. Henneman melaporkan 21 kasus
krisis tiroid dari 2329 penderita tirotoksikosis, sedangkan Canizares
melaporkan kasus krisis tiroid pada 1-2% penderita tirotoksikosis.
Tanpa pengobatan, krisis tiroid bersifat fatal, dan walaupun telah
ada perbaikan dalam hal diagnosis dan penatalaksanaan, angka
kematiannya tetap tinggi, yaitu sekitar 20-30% (Made Bakta, 1998;
Canizares, 2001; Hanneman, 2001; Goldberg, 2003).
Patogenesis yang mendasari terjadinya krisis tiroid masih belum
diketahui dengan pasti. Namun progresiVitas tirotoksikosis menjadi
krisis tiroid disebabkan oleh adanya Taktor pencetus dan melibatkan
beberapa organ. Faktor pencetus tersebut dibedakan menjadi 2
kelompok, yakni yang berhuAungan dengan peningkatan kadar hormon
"tiroid yang cepat dan yang berhubungan kondisi nontiroid yang terjadi
secara akut atau subakut (Burch, 1993).
Diagnosis krisis tiroid dibuat berdasarkan gejala klinis, dan
tidak ada perangkat laboratorium yang spesifik untuk keadaan ini.
Mengingat begitu banyaknya gejala yang ditimbulkan, Burch dan
Wartofsky membuat skala nilai diagnosis untuk membedakan krisis
tiroid mengancam atau nyata secara semikuantitatif (Tabel 1). Jika
gejala krisis tiroid sudah tampak nyata, maka pengobatan harus segera
dimulai.

I Laporan kasus

r87
Manajemen terapi krisis tiroid sangat kompleks, dan umumnya
terbagi menjadi 4 komponen, yaitu terapi untuk menghambat sintesis
dan pelepasan hormon tiroid dengan obat-obatan golongan thiourea
dan iodine inorganik; terapi untuk menghambat efek hormon tiroid di
perifer dengan kortikosteroid, p-adrenergic blocker, dan removal
hormdne tiroid, terapi akibat dekompensasi sistemik, meliputi penanganan
hipertermia, memperbaiki keadaan dehidrasi dan status nutrisi, dan
terapi suportif, serta mencari dan menghilangkan faktor pencetus (Burch,
1993; Made Bakta, 1998; Goldberg,2003; Singhal, 2003).
Be;ikut ini dilaporkan seorang penderita krisis tiroid dengan
riwayat asma yang akhirnya meninggal dunia.

KASUS
Seorang penderita lakiJaki, usia 34 tahun, suku jawa, agama Islam,
tempat tinggal di Surabaya, datang ke RS pada tanggal 17 Maret2004
dengan keluhan utama mual, oleh dokter triage dikonsulkan ke Bagian
Penyakit Dalam dengan diagnosis dugaan hipertiroid dan anoreksia.

Pemeriksaan di IIdD Interna dan Ruang Interna 2 (17 Maret 2004)


Anamnesis
Muaf yang sangat mengganggu dikeluhkan sejak 1 minggu sebelum
MRS, sehingga nafsu makan menurun. Makan hanya 1-2 sendok
saja, muntah tidak didapatkan. Selain itu penderita juga mengeluh
diare dengan ampas sedikit-sedikit, lebih dari 5 kali/hari sejak 2 hari
pebelum MRS.
Dua minggu sebelum Mf{.S, penderita mengeluhflu/pilek dan saat
itu penderita hanya minum obat flu biasa. Satu minggu kemudian
penderita mengeluh sering sesak napas, baik saat istirahat maupun
beraktivitas ringan, berdebar-debar dan sering keluar keringat dingin.
Penderita tidur dengan posisi setengah duduk, dengan 3-4 bantal.
Hipertiroid sejak thn 2000 (pernah MRS L kali), berobat teratur
hanya selama 1 tahun dan obat yang diminum saat itu PTU 200 mg,
sekali sehari. Sejak tahun 2002 sampai sekarang saat MRS yang kedua,
penderita tidak pemah kontrol lagi ke poliklinik.
Keluhan yang sering dirasakan sejak sakit adalah sering berdebar-
debar dan sulit tidur. Riwayat asma sejak tahun 1998, bila sedang
kambuh napas berbunyi (ngik-ngik), dan keluhan berkurang bila
penderita minum nap4cin.

188: Se ri -1 En dokin- Metab olik


Pemeriksaan Fisik, Laboratorium, dan Konsultasi ke Bagian Lain
Keadaan umum tampak lemah, sadar, tekanan darah 1,40/100 mmHg,
denyut nadi112 x/menit, irregular, frekuensi pernapasan gg xf rrrenit,
suhu aksila 37 oC. Pada pemeriksaan kepala didapatkan dispnea,
peningkatan tekanan vena jugularis, dan eksopthalmus. Pemeriksaan
dad4 Jantung: S1S2 iregular dengan ekstrasistol, ictus cordis ICS V,
2 cm lateral MCL sinistra, Paru: suara napas vesikuler, didapatkan
rhonki di basal paru, z,uheezing tidak ada. Pemeriksaan abdomen; supel,
bising usus positif meningkat, hepar sulit dievaluasi. Pada pemeriksaan
ekstlemitas didapatkan edema pada kedua tungkai, akral hangat.

Hasil pemeriksaan laboratorium dan konsultasi di IRD:


Hemoglobin 14,4 g/dl, leUkosit 7400f mm3, trombosit 246.000/mm3,
hematokrit 43%. GDA183 mg/ dl, SGOT 58 p/1, BUN 15 mg/ dl, serum
kreatinin 1,09 mg/ dl, kalium 2,513 mEqf l, dan natrium 127 mEq/|.
Hasil konsultasi ke Bagian ]antung:
- EKG: irama atrial fibrilasi 120-150 x f merit, normal aksis
- Kesimpulan: Saat ini di bidang kardiologi didapatkan atrial fibrilasi
e.c hipertiroid

Saran:

- atasi hipertiroidnya
- Diltiazem 3 x 30 mg, ASA 1x100 mg, dan penderita rawat bersama
Indeks BURCH (total 45)
- t"37,0----5
Efek SSP (, -- 0
- Disfungsi Gl-hepar diare -'- 10
- Distungsi CV N 112----1.0
Gagal jantung kongestif ---- 10
AF (+; ----10
- Riw. Pencetus (?) -- 0 "

Penderita MRS ke Ruang Interna 2 dengan diagnosis Hipertiroid +


Krisis tiroid ? (Impending krisis tiroid) + AF + s. CHF + Hipokalemia.
Perencanaan diagnosis selanjutnya adalah fT4, TSHs, UL, foto toraks
PA (bila transportable).

KriSis Tiroid dengan ftiwayat Asma 189


- Perencanaan terapi:
02Z-Aliter/menit, diet TKTP rendah yodium, tirah baring, infus RL:
D5% = 2:1., drip KCl50 mEq/24jam, PTU 3 x 200 mg, Ranitidin 2 x L
amp, Diltiazem 3 x 30 mg, ASA 1 x 100 m& Diazepam 0-0-1

18 Milet2004
S: BAB (-), tidak bisa kentut
O: Keadaan umum: tampak sesak, sadar
oC
T = 130/90 N = 1L6 x/menit irregular RR = 32 x/menit t = 36,5
A: Hipertiroid + Krisis tiroid + AF + CHF
PDx: Elektrolit post koreksi
PTx:
- Oz2-4liter menit, diet TKT'P rendah yodium, infus RL 20 tts/mnt,
drip KCI dilanjutkan, PTU 6 x 200 mE, Solusio Lugol 4 x 8 tts (1
ja- setelah PTU), Dexamethasone 3 x 1 amp i.v, Furosemid 4 x II
amp i.v, Furosemid 10 amp/24 jam (pump), Captopril S x 12,5m8,
Cefotaxim 3 x 1 gtam i.v, Ranitidin 2 x 1 amp, Clopidogrel'1. x 75
mg, Metochlopramid 3 x 1 tablet, Diazepam 0-0 1., pasang kateter.
- Penderita diann rawat ke ruang perawatan intensif
Tx jantung:
- koreksi hipokalemia
- bila K> 3,5 ) Injeksi lanoxin L amp (diencerkan dlm 5 cc PZ) pelan
) evaluasi EKG 4 jam kemudian
- Diltiazem, ASA stop

1.9 Maret 2004


5: makan (-), sesak kadang-kadang
O: KU baik, sadar
T = L40/100 mmHg N = >120 x/mnt ireguler RR = 42 x/mnt
t=37,2oC
Produksi urine 1500 cc/24 jam
Lab:
pH 7,49 4, pCO2 29,9, pO2 59,7, HCOS 22,6, BE 0,1, 02 satur asi 93,7,
Fio20,2L,
AaDO255,2
ff4 4,2 (normal 0,7'1.-'1.,8 ng/dl) TSHs 0, 1' (normal 0,4-0,5 mUl)
Natrium 130, Kalium 4,2
A: Hipertiroid + Krisis tiroid + AF + s. CHF

L90 S ei-l En dokin-Metab olik


PTx:
- 02 masker 6-8 liter menit, diet TKTP rendah yodium, infus RL 20
tts/mnt, drip KCI dilanjutkan, PTU 6 x 200 m& Solusio Lugol4 x 8
tts (1jam setelah PTU), Dexamethasone 3 x 1 amp i.v, Furosemid 4
x II amp i.v, Furosemidl0 amp/24jam (pump), Captopril S x 12,5
mg Cefotaxim 3 x L gram i.v, Ranitidin2 x'J- amp, Clopidogrel 1 x
75 mg, Metochlopramid 3 x 1 tablet, Diazepam 0-0 1.
- Terapi dari Bagian Jantung ) injeksi lanoxin 1 amp (diencerkan
dlm 5 cc PZ) pelan ) evaluasi EKG 4 jam kemudian

20 Mriret 2004
S: BAB (-)
O: KU sedang, sadar
T 140/100 mmHg N = 92 x/mnt RR = 22 x/mnt t = 36,5'C
Lab: Natrium L29, Kalium 3,8
A: Hipertiroid+ Krisis tiroid membaik + AF + s. CHF
PDx: EKG, konsul ulang ke Bagian Jantung
PTx:
- 02 masker 6-8 liter menit, diet TKTP rendah yodium, infus RL 20
tts/mnt, drip KCI dilanjutkan, PTU 6 x 200 m& Solusio Lugol4 x 8
tts (1jam setelah PTU), Dexamethasone 3 x 1 amp i.v, Furosemid 4
x II amp i.v, Furosernidl0 amp/24jam (pump), Captopril 3 x 12,5
mg, Cefotaxim 3. x 1. gram i.v, Ranitidin? x 1- amp, Clopidogrel 1 x
75 mg, Metochlopramid 3 x 1 tablet, Diazepam 0-0 1.
- Terapi dari Bagian Jantung ) injeksi lanoxin 1 amp (diencerkan
dlm 5 cc PZ) pelan ) evaluasi EKG 4 jam kemudian
Jam 07.00 T 1,40/100 5 92 x/mnt RR 22 xf rrtntt37 "C GCS 456
Jam 13.00 T 100/70 N 80 x/mnt RR 36 x/mnt t37 "C GCS 456
Jam 14.00 T 100/palp RR 32xlmntccs2-2-2
Kejang
Lateralisasi t/1 (rencana konsul ke Bagian Syaraf)
Jam 15.00 T 80/palp )
Ca glukonas 1 amp
Jam 15.00 T 80/30 )
Ca glukonas L amp
Jam 16.10 Pasien dinyatakan meninggal dunia, dengan dugaan
penyebab kematian'suatu emboli otak.

Krisis Tiroid dengan Riwayat Asma tg't


PEMBAHASAN
Tirotoksikosis sering kali disebut sebagai status hipermetabolik yang
disebabkan oleh peningkatan kadar tiroksin bebas (free thyroxine = fT4),
triiodotironin bebas (free triiodothyronine = fI3) atau keduanya, yang
disebabkan oleh kenaikan biosintesis dan sekresi hormon tiroid yang
berkilanj utan oleh kelenj ar tiroid (Hendromartono, 2002) . Pr o gresivitas
tirotoksikosis menjadi krisis tiroid yang mengancam jiwa disebabkan
oleh adanya faktor pencetus dan melibatkan beberapa sistem organ/
seperti saraf, kardiovaskular, respirasi dan gastrointestinal (Made
Bakta, 1998; Goldberg, 2003; Singhal, 2003). Burch menggolongkan
faktor pencetus terjadinya krisis tiroid menjadi 2 kelompok, yakni:
1. Kondisi yang berhubungan dengan peningkatan hormon tiroid yang
cepat, meliputi pembedahan kelenjar tiroid, putus obat terapi "
antitiroid, terapi radioiodine, palpasi tiroid yang berlebihan, dan
bahan kontras yang mengandung iodine.
2. Kondisiyangberhubungan dengan p eny akit nontiroi d aku t qtau subakut,
meliputi pembedahan nontiroid, infeksi, CVA, tromboemboli paru,
parturitas, KAD, stres emosional, dan trauma (Burckr, 1993).
Selain kondisi di atas, Singhal menambahkan pengaruh obat-obatan
golongan pseudoefedrin, adrenergik, dan antikolinergik sebagai faktor
pencetus krisis tiroid. Pada beberapa individu faktor pencetus ini
kadhng sulit ditemukan, dan hal ini didukung oleh suatu penelitian
terdahulu yang menyebutkan bahwa pada 25-43% penderita, krisis
tiroid terjadi tanpa didahului faktor pencetus (Burch, 1993).
Pads penderita ini telah didapatkan adanya tanda-tanda hipertiroid
"kronis yakni riwayat hipertiroid yang tidak terkontrol dan opthalmopathy.
Faktor pencetus yang mengakibatkan timbulnya krisis tiroid kemungkinan
adslah riwayat ISPA dan penggunactn obat flu yang biasanya mengandung
pseudoefedrin. Gejala kardinal krisis tiroid melibatksn sistem kardioaaskuler
(qritmia/ atrialffurilasi (AF), gagal jantungkongestifl, respirasi (sesaknapas),
dan sistem gastrointestinal (mual, diare). BiIa digunakan indeks Burch mska
total skor nya adalah 45 (sangat mungkin suatu krisis tiroid).
Gej aI a y ang menonj oI p ada penderita ini adalah gej ala sistem kar diop askuler
Atrial fibrilasi adalah
berupa atrial fibrilasi dan gagal jantung kongestif.
denyutan atria yang tidak teratur yang ditandai dengan gelombang
P dan QRS y'ang tidak teratur. Dari beberapa literatur disebutkan
bahwa sekitar 10% penderita tirotoksikosis mengalami atrial fibrilasi,

792 S e i - 1 En dok in- Me t ab olik


dan pada penderita atrial fibrilasi yang belum jelas penyebabnya,l0%
diantaranya adalah penderita tirotoksikosis. Gagal jantung sendiri
dikatakan sebagai suatu sindroma klinik yang disebabkan oleh suatu
kelainan jantung sehingga jantung tidak mampu memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh. Pada penderita hipertiroid, terjadi peningkatan
curaf,jantung antara 50-300% dari normal. Keadaan ini disebabkan
mekanisme gabungan antara penurunan resistensi vaskuler sistemik
(sampai 50-60%), peningkatan denyut jantung istirahat, peningkatan
kontraktilitas ventrikel kiri dan ejection fraction, dan peningkatan
volurne darah. Akibat peni ngkatan prelo ad dan totalvolume darah, serta
peningkatan curah jantung dan fungsi kontraktilitas, maka terjadi juga
peningkatan kerja jantung dan hipertrofi otot-otot jantung. Keadaan ini
menyebabkan peningka tan a entricular filling pr essure dan tetladllah mil d
pulmonary and peripheral congestion, yang disebut sebagai high output
failure. Kondisi ini lebih sering menyerang penderita usia
muda dan
tanpa penyakit jantung lain yang mendasari (Fadel, 2000; Biondi,2002;
Osman, 2002). Diagnosis dapat dibuat berdasarkan sign (tanda -tanda
gagal jantung kanan dan kiri) dan symptom (dispnea, orthopnea, PND),
pemeriksaan laboratorium, EKG, pemeriksaan foto toraks, dan lain-lain
(Alpert, 2002). Diagnosis gagal jantung kongestif pnda penderita ini hanya
(ibuat berdasarkan tunda dqn gejala klinis yang tampak dan tidak dudukung
oleh pemeriksaan radiologis (foto toraks).. Gagal jantung pada- penderita
hipertiroid sendiri diduga berhubungan dengan kardiomyopati
hipertiroid. Tanda-tanda gagal jantung tersebut umumnya disertai
dengan sinus takikardia yang persisten atau atrial fibrilasi dan disebut
jugisebaga i rate-relstedheart failure (Davies, 2003; Klein, 2001).
Tidak ida kriteria laboratoriumyang spesifik untuk diagnosis krisis
tiroid. Yang ditunjukkan oleh penderita adalah tanda adanya tirotoksikosis,
seperti peniigkatan kadar T3 dan T4 (untuk mengetahui fungsi tiroid) dan
penekanan TSH (untuk mengetahui keria hormon tiroid). Pada pendetita ini
kadar fT4 adalah 4, 2 (normal 0, 71-1, 8 ng/dl) dan TSH 0, 1 (normal 0' 1-5,
0mU).
Penatalaksanaan krisis tiroid melipu ti ter api untuk menghamb at sintesLs
hormon tir oid dengan obat golongan thiourea (Propylthiouracil/ PTU),
diberikan 600-1000 mg sebagai dosis awal, selanjutnya diberikan 1200
mg/hari dalam 4-6 dosis ierbagi. Untuk menghambat pelepasan hormon
tir-oid yang telah terbentuk dan secara langsung menghambat pelepasan
hormoi tiioid darikelenjar tiroid, dlbutuhkan iodine inorganik dalam hal
ini solution lugol4-8 tetes per oral, 3 kali sehari. steroid (hydrocortisone

Krisis Tiroid dengan Riwayat Asma 193


atau dexamethasone) digunakan untuk menghambat atau menurunkan
sekresi hormon tiroid dan konversi T4 menjadi T3 di perifer. Obat lain
yang digunakan adalah golongan beta bloker(propanolol) dengan dosis
20-40 mg diberikan setiap 6 jam. Selain dapat menghambat aktivitas
hormon tiroid di perifer, beta bloker juga dapat digunakan untuk
men$rrangi gejala takikardia, hipertensi, dan gejala adrenergik akibat
tirotoksikosis. Calcium chnnnel-blocking (CCB) seperti diltiazem dapat
diberikan bila beta bloker menjadi kontraindikasi. Untuk mengatasi
kelebihanhormon tiroid di sirkulasi dapat dilakukan plasmapheresis dan
char-coal plasmaperfu sion. Terapi untuk mengatasi dekompensqsi sistemik
dapat berupa penanganan hipertermia dengan acetaminophen atau
teknik cooling. Untuk mengatasi keadaan dehidrasi dan memperbaiki
status gizi dapat diberikan cairan intravena baik yang mengandung
elektrolit maupun glukosa, dan pemberian vitamin. Terapi suportif
dapat berupa terapi untuk keadaan gagal jantung (digoxin, diuretik).
Terapi berikutnya adalah mencai dan menghilangkan faktor pencetus
(Burch, 1993; Davies,2003; Goldberg, 2003; Singhal, 2003).
Pada pendeita ini penatalaksanaan krisis tiroid meliputi terapi untuk
menghambat sintesis dan pelepasan hormon tiroid dengan PTU, solusio lugol,
dan steroid, sedangkan beta bloker yang juga dapat digunakan sebagai terapi
untuk menghambat efek hormon tiroid di peifer dalam hal ini tidak dapat
diberikan mengingat adanya riwayat asma pada penderita ini. Diltiazem dari
golohgan calcium channel-blocking juga tidak dapat diberikan mengingat
adanya gambaran klinis gagal jantung kongestif pada penderita. Calcium
channel blocker dikatakan memberi efek inotropik negatif yang dapat
memperburuk kondisi gagal jantung akibat disfungsi sistolik. Di lain
"pihak pada atrial fibrilasi, CCB dapat memperlambat respons ventrikel.
Terapi untuk mengatasi dekompensasi sistemik adalah dengan pemberian
oksigen, cairan intraaena, dan terapi suportf (Fuster, 2001; Alpert,2002).
Manajemen penderita dengan Atrial Fibrilasi (AF) bergantung
pada kecepatan respons ventrikel dan keadaan hemodinamik akibat
aritmia. Untuk AF dengan respons ventrikel antara 90-1,40 kali per
menit, strategi terapi digunakan untuk rate control. Ada 3 macam
pilihan obat yang dapat diberikan, yakni digitalis, calcium channel-
blocking, dan beta bloker. Obat-obatan tersebut diberikan sampai
respons ventrikel mencapai 70-80 kali per menit dan dipertimbangkan
pemberian antikoagulan untuk mencegah terjadinya emboli arteri.
Untuk pemberian antikoagulan, beberapa penulis menyebutkan bahwa
terapi ini tidak diperuntukkan bagi pbnderita usia muda dengan durasi

194 S ei-1 Endokin- Metab olik


AF kurang dari 2-3 bulan, dan tidak ada penyakit jantung lain yang
mendasari. Pemberian antikoagulan sendiri masih menjadi kontroversi
karena pertimbangan risiko perdarahan yang terjadi. Beberapa penulis
menyarankan pemberian antikoagulan minimal sampai tercapai kondisi
eutiroid. (Vinolas, \999 ; F adel, 2000; Davies, 2003; Alpert, 2002).
Aengan adany a riw ay at asma dan gagal j antun gkon ge stifp adap enderita ini,
maka terapi AF yang dipilih adalah digoksin. Namun digoxin juga tidak dtpat
sesegeraffiungkin diberikankarenapadapenderitaini didapatkan abnormslitas
serum elektrolit (hipokalemia) yang dapat menyebabknn terjadinya intoksikasi
digitnlis. Digaksin dapat diberikqn setelah serum elektrolit ftalium) mencapai
batas angka normal (tari kedua perawatan). Terapi anti tromboemboli
(antikoagulan) tidak diberikan pada penderita ini dan hanya diberikan anti
plateletagregasl. Semula dipilihASA sebagai anti plateletagregasi, namun
pada beberapa literatur disebutkan bahwa ASA menyebabkan ikatan
T3 dan T4 dengan TBG (Thyroid Binding Globulin) dan tranthyretin
terganggu, sehingga kadar hormon bebas meningkat. Di samping itu,
ASA dosis tinggi dapat meningkatkan kecepatan metabolik (Fadel,
2000; Davies,2003). Pemberian ASA dihentikan dengan pertimbangan
di atas dan selanjutnya diberikan clopidogrel. Clopidogrel dipilih sebagni
terapi antiagregnsi dengan pertimbangan tidak memeilukan pemantauan
hematologi y ang rutin dan rel.atif aman. CTopidogrel adalah antagonis kuat
terhadap reseptor ADP sehingga dapat menghambat aktivasi agregrasi
trombosit'atas. rangsangan ADP. Dengan demikian terjadi penurunan
ikatan dengan fibrinogen yang bermakna pula, sehingga agregrasi
trombosit dan pembentukan trombus dapat dihambat (Tjokroprawiro,
2001).
" Manajemen penderita krisis tiroid dikatakan berhasil bila terjadi
perbaikan klinis dalam "J.-2 hari dan terjadi recoaery dalam waktu 1
minggu.Pada penderita ini perjalanan penyakit semakin memburuk
dengan kondisi hipertiroid dan aritmia yang tidak teratasi. Pada hari
ke-4 perarnatan, penderita meninggal dunia setelah sebelumnya penderita
mengalami kejang dan didapatkan lateralisasi. Dugaan penyebab kematiqn
penderita kemungkinan suatu emboli otak. Beberapa peneliti melaporkan
bahwa pendeiita AF dengan latar belakang tirotoksikosis yang
disertai keadaan gagal jantung kongestif (dekompensasi) dikatakan
mempunyai risiko tinggi terjadi tromboemboli, meskipun mekanisme
yang mendas:iri pernyataan ini belum diketahui dengan pasti (Fuster,
2001).

Kribis Tiroid dengan Riwayat Asma 195


Beberapakendalayangmemengaruhi diagnosis danpenatalaksanaan
penderita ini adalah:
- tidak dilakukannya pemeriksaan radiologis (foto toraks)yang dapat
rnembantu diagnosis
- penatalaksanaan tampaknya kurang agresif diberikan pada
penderita dengan krisis tiroid dan aritmia (misalnya pemberian
antikoagulan)
- riwayat asma pada penderita yang menyebabkan terapi beta bloker
tidak dapat diberikan
- k6ndisi gagal jantung kongestif yang memperberat keadaan
penderita.

RINGKASAN
Telah dilaporkan seorang penderita laki-laki 34 tahun dengan riwayat
hipertiroid dan asma, dan akhirnya penderita jatuh pada keadaan
krisis tiroid. Gejala kardinal yang menyertai berupa gejala sistergt
kardiovaskuler (aritmia/AF, gagal jantung kongestif), respirasi (sesak
napas), dan sistem gastrointestinal (mual, diare). Bila digunakan indeks
Burch maka total skornya adalah 45 (sangat mungkin suatu krisis tiroid).
Beberapa kendala memengaruhi diagnosis dan terapi penderita. Pada
hari'ke-4 perawatan penderita meninggal dengan dugaan penyebab
kematian suatu emboli otak, karena sebelumnya penderita mengalami
kejang dan didapatkan lateralisasi.

DAFTAR PUSTAKA
Alpert J. Ewy G (2002). Anhythmias. In: Manual of Cardiovascular Diagnosis and
Therapy. Fifth Edition. Lippiricott Williams & Wilkins, Philadelphia, p.37
Bakta M. Suastika K'(1998). Krisis Tiroid. In: Gawat Darurat di Bldang Penyakit Dalam.
Edisi 1. Penerbit Buku Kedokteran EGC, |akarta, p.131
Biondi B, Palmieri E (2002). Effects of thyroid Hormone on Cardiac Function: The Relative
Importance of Heart Rate, Loading Conditions, and Myocardial Contractility in the
regulation of Cardiac Perfomance in Human Hyperthyroidism. J Clin Endocrinol
Metab 87(3),968
Burch H. Wartofsky L (1998). Life-Threatening Thyrotoxicosis. J Endocrinol and Metab
Clin of North Am22,2.
Davies T. Larsen P(2003). Thyrotoxicosis. In: William's Textbook of Endocrinology. 13rd
edition. WB Saunders, USA,p.374
Fadel B. Ellahham S (2000). Hyperthyroid Heart Disease. Clin Catdiol23,402

196 S ei -1 En dokin- Me tabolik


Fauci A. Braunwald E (2001). Congestive Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Harrison',s
Principles of Intemal Medicine. 15th edition' Mc Graw-Hill, Singapore, p.
Fuster ei al. (2001). ACC/AHA/ESC Guidelines for the Treatment of Patients with Atrial
Fibrillation. J Am Coll Cardiol 38
Goldberg P. Inzucchi S (2003). Critical Issue in Endocrinology. Clin Chest Med 24.4
Hendromartono (2003). Tirotoksikosis dan Hipertiroidisme' Trigonum II Malang
Klein l*Ojamaa K (2001). Thyroid Hormone and The Cardiovascular System. N Engl J

' Med344,7
osman F. Gammage M (2002). Cardiac Dysrhytmias and Thyroid Dysfunction: The
Hidden Menace ?. J Clin Endocrinol Metab 87(3\,963
Singhal A. Campbell D (2003). Thyroid Storm www.emedicine.com/ped/topic??47 htm
Tjokroprawiro A 1ZOOf 1. New Strategies in the Treatment of Atherothrombosis (The Roles
of{lopidogrel). PKB XVI, Surabaya
Vinolas X. Rodriquez E (1999). Atrial fibrillation and Flutter. In: Cardiology. McGraw-
Hill, England, p.2

Krisis Tiroid dengan Riwayat Asma r97


Lampiran 1.

KRITERIA DIAGNOSIS KRISIS TIROID


(Menurut Burch and Wartosfsky)

Disfu Sgsi Termoregulator Disfungsi Gastrointestinal-Hepatic


99-99, I 5 Tidak ada 0
100-100, I 10 Sedang diare, mual muntah 10
101-101,9 15 nyeri perut
102-',to2,9 20 lkterus 20
03.9 25
'"103-1.104 30 Efek Sistem Syaraf Pusat
Tidak ada 0
Disfungsi Kardiovaskular Ringan: Agitasi 't0
Takikardia Sedang: Delirium, Psikosis,
90-1 09 5 lethargi berat 20
110-119 10 Berat: Kejang, Koma 30
120-129 15
1 30-1 39 20 Riwayat Pencetus
>140 25 Tidak ada 0
Ada 10
Gagal jantung kongestif
Tidak ada 0 Skor
Ringan: edema kaki 5 > 45 sangat mungkin krisis tiroid
Sedang: ronki basal 10 25-44 krisis tiroid mengancam
Berat 15 < 25 bukan krisis tiroid

Atriai fibriasi 10

198 S ei-1 En dokin-Metab olik


Penqtoloksonoqn Penderitq Krisis Tiroid
dqn Serongon Asmo Bronkiole*

Suhorto, Sri Murtiwi


Divisi Endokrinologi don Metobolisme - Bogion llmu Penyokit Dolom
RSU Dr. Soetomo - Fokultos Kedokieron Universilos Airlonggo. Suroboyo

PENDAHULUAN
Krisis tiroid adalah suatu sindrom yang timbul akibat adanya
peningkatan hormon tiroid di dalam darah (Tjokroprawiro, 1996).
Krisis tiroid merupakan keadaan klinis yang berat dan mengancam
jiwa terutama bila terlambat diagnosis, lebih-lebih jika penanganan
yang tidak adekuat (McDougall, 1992). Angka kelangsungan hidup
pasien dengan krisis tiroid sangat rendah bila pengobatannya tidak
tepat. Sedangkan angka kematian pada krisis tiroid dengan pengobatan
yang adekuat masih berkisar 10-15% (Subekti, 2000).
Kriteria diagnostik yang spesifik untuk krisis tiroid belum ada,
sehiirgga penegakan diagnosis lebih didasarkan pada keadaan klinis
semata. Konsekuensi keadaan ini adalah tidak adanya data angka
kejadian krisis tiroid yang akurat (Wartofsky, 2000). Beberapa peneliti
menyebutkan angka kejadian krisis tiroid dari seluruh pasien yang
'dirawat karena hipertiroidisme berkisar antara \-2'/" (Wartofsky,
2000).
Asma merupakan penyakit in{Iamasi saluran napas yang ditandai
oleh penyempitan saluran napas spontan dan reversibel dengan
atau tanpa pengobatan serta meningkatnya kepekaan saluran napas
terhadap berbagai macam rangsangan fisiologik (Brightling, 2002;
McFadden, 2002; T aylor, 1998).
Pengaruh hipertiroid pada asma dilaporkan pertama kali oleh
Feinberg pada tahun 1944 (Omar, 1983). Menurut data di Unit
Epidemologi Klinik Universitas Oxford, sekitar 3 dari 1000 penderita
asma (0,3%) yang masuk rumah sakit (MRS) didapatkan terjadi

* Laporan kasus

107
bersamaan dengan hipertiroid. Angka ini mungkin akan lebih tinggi
jika para dokter lebih teliti bahwa kedua penyakit ini bisa terjadi
bersamaan (Settipane, 1,987).
Berikut ini kami laporkan seorang wanita muda yang menderita
krisis tiroid dengan serangan asma bronkiale.

KASUS
Seorang wanita Nn.F, 16 tahun, suku ]awa, Islam, pendidikan SLTA,
tinggal di Sidoarjo, datang di IRD tanggal 9 Juni 2002 dengan keluhan
utama: sesak (dikirim oleh RSUD Sidoarjo dengan diagnosis: Krisis
Tiroid).

Anqmnesis
Sesak dirasakan sejak t hari sebelum MRS (di RSDS) atau tepatnya
hari ke-2 perawatan di RS Sidoarj o,yang makin lama makin memberat
terutama setelah minum obat dari RSU Sidoarjo. Sesak disertai bunyi
"ngik-nglk". Obat yang diberikan adalah digoxin dan propranolol.
Penderita sempat dirawat 2 hari di Sidoarjo karena gelisah dan panas
tinggi yang dirasakan t hari sebelum MRS di Sidoarjo. Sebetulnya
penderita sudah punya riwayat sesak (asma) sejak SD tapi jarang
kambuh hanya L atau 2 kali dalam setahun. Tapi dalam 3 tahun
terakhir sesaknya sering kambuh 3 sampai 4 kali dalam setahun.
Selain itu juga sering berdebar, badan terasa lemah, banyak keringat,
mata membesar.seperti melotot, sedangkan nafsu makan bertambah 4
Sampai 5 kali sehari tetapi berat badan malah turun dari 45 kg menjadi
33 kg. Sejak 2 tahun terakhir dirasakan adanya benjolan di leher depan
yang makin lama bertambah besar tetapi tidak terasa sakit. Dan dalam
6 bulan terakhir hampir tiap bulan asmanya kambuh terutama kambuh
di malam hari. Selain sesak juga dada berdebar dan kedua tangan
gemetar disertai banyak keringat, dan kedua tungkai bawah bengkak
tapi sekarang berkurang. BAK lancar, BAB kadang 2 kali sehari tapi
tidak cair.
RPD:
- Alergi makanan (telur dan daging ayam) berupa kemerahan pada
kulit dan gatal.
- MRS 4 kali:

108 S ei -1 Endokin- Me tab olik


3 tahun yang lalu karena sesak dan mencret (Hipertiroid)
Kontrol tidak teratur di dokter praktik swasta
iI: 21/ztahunyang lalu karena sesak, batuk dan panas
IiI : 1 % tahun yang lalu karena sesak, batuk dan panas
IY' 6 bulan yang lalu karena berdebar, tapi tidak kontrol lagi.

Pemerikscrqn Fisik
Penderita tampak sesak, gelisah dan kurus, GCS 346 tekanan darah
170/p0 mmHg, nadi 154 kali/menit, pernapasan 34 kali/menit, suhu
aksiler 39,5 oC. Pada pemeriksaan kepala dan leher tidak didapatkan
baik anemi, ikterus, maupun sianosis, hanya didapatkan dispnea,
didapatkan retraksi kelopak mata, didapatkan lid lag, JVP tidak
meningkat, didapatkan eksoftalmus, pembesa-ran kelenjar tiroid difus
bilateral dengan tiroidbruit. Pada pemeriksaan dada: pada paru Inspeksi
didapatkan retraksi otot selaiga, ekspirasi yang memanjang, Palpasi
didapatkan gerak yang simetris, pada perkusi didapatkan hipersonor
bilateral, pada auskultasi didapatkan suara napas vesikuler bilateral,
tidak didapatkanrhonki, didapatkan rnheezing di kedua lapangan paru.
Batas jantung dalam batas normal, suara jantung 1 dan 2 tunggaT,
tidak didapatkan bising maupun gallop. Pada pemeriksaan perut hati
maupun limpa tidak membesar, tidak meteorismus, bising usus dalam
batds normal, tidak didapatkan asites. Pada anggota gerak didapatkan
edema non-pitting ringan pada kedua tungkai bagian bawah, akral
hangat, tidak didapatkan kelainan pada kuku. Hanya didapatkan kulit
lembab dan tremor halus kedua tangan. Indeks Burch = 60.

Pemeriksqqn Lqborqtorium
Tanggal 9 Juni 2002 (di IRD): Darah tepi: Hb = 10,8 g/dL, lekosit =
L4.800/mm3, trombosit = 252.A00/mm3, PCV = 32%. Urin Lengkap:
Sedimen: eritrosit = 5-7 plp,lekosit = 0-1 plp, epitel = 0-L plp, lain-lain
tidak dipapatkan. Urinalisis: SG = 1.005, pH = 6,0, darah = +1, lain-
lain tidak didapatkan. Kimia darah: BUN = 6 mg/ dL, kreatin serum
= 0,54 rng/ dL. Elektrolit: Kalium = 3,39 mEq/ L, Natrium = 140 mEe/
L. Analisa Gas Darah: pH = 7,338, pCO2 = 42, 6 mmHg, pO2= 59, 9
mmHg, HCO5 = 22, 4mmol/L, BE= (-) 3, 4 mmolf L, SaturasiO2=S9,
5%. TSHs = 0,107 plu/ml (normal: 0, 4 - 4,0 plu/ml) Free Ta= 8,028
ng/ dL (normal: 0, 7'L - 1, 85 ng/ dL).

Penatalaksanaan Penderita Krisis Tiroid dan Serangan Asma Bronkiale 109


EKG: Sinus Takikarda 150 kali/menit
Foto dada: Jantung besar dan bentuk normal. Paru didapatkan
gambaran bronkovaskuler kanan dan kiri tampak meningkat, kedua
hilus kanan dan kiri tampak menebal. Sinus frenikokostalis kanan dan
kiri tajam. Kesimpulan suspect Bronkitis
Kofisul Paru: disimpulkan suatu penderita dengan Emphysematous
Iung dan Asma dalam serangan. Disarankan pemberian: oksigen 2
liter/menit (nasal prong), Nebulizer (ventolin L ampul: atrovent L0
tetes: PZ 5 ml setiap 8 jam), antibiotik sesuai sejawat, dan penderita
dirawat bersama.
Konsul Jantung: disimpulkan suatu penderita dengan Hipertiroid
dan sinus takikardia 150 x/menit. Disarankan: Diet TKTP, Lanoxin
lz ampul diencerkan diikuti cek ulang EKG 2 jam kemudian, lain-lain
sesuai sejawat, penderita dirawat bersama.
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, laboratorium serta
pemeriksaan penunjang lainnya penderita didiagnosis: Krisis Tiroid
dan Asma Bronkiale dalam serangan.

Perqwqton
Tirah baring, Infus PZ:DS% = 1 :2 (21, tetes/menit), Diet TKTP Rendah
jodium pantang telur dan daging ayam, PTU 600 mg sebagai dosis awal
dilajtitkan 5 x200 mg, Larutan Lugol4 x 8 tetes (diberikan l jam setelah
PTU) selama 6 hari, Deksametason 3 x 1 ampul (iv), Ceftriaxon 2 x 1g
(iv), Diazepam 3 x 5 mg, kompres dingiru Parasetamol 3 x 500 mg
(K / P), Oksigen 2llter / menit, Atrovent 4 x puff II, Lanoxin 1/z ampul.

Periolonon penyokir selqmo perqwotqn


Tanggal L0 ]uni 2002. Keluhan sesak berkurang tapi masih berdebar.
Tensi150/80 mmHg, nadi1.44 x/menit, pernaPasan 26 x/menit, suhu
aksiler 3B,0oC. Hasil pemeriksaan laboratorium GDP = 76 mg/ dL,2iPP
= 118 mg/ dL, kolesterol = 209 rng/ dL, kreatinin serum = 0,6 mgf dL,
BUN = 8 mg/dL, bilirubin total = 0,68 mg/dL, bilirubin direct = 0,33
mg/dL, SGOT = 24 IJ /1, SGPT = 28 U /1, fosfatase alkali = 50 U /L,
albumin serum= 3,7 g/ dL, globulin = 2,8 g/ dL, asam urat = 2,0 m8/ dL.
Pengobatan: lanoxin injeksi stop diganti digoxin 1- x 1 tablet, aminofilin
tablet 3 x 100 mg, atrovent 4 x puff II (K/P), lain-lain tetap.

1L0 S eri-1 En dokin- Metab olik


Tanggal L1 Juni 2002. Keluhan sesak bertambah, pada pemeriksaan
fisik didapatkan sedikit sianotik, tensi 140/80 mmHg, nadi 148
xfmenit, pernapapan 34 x/menit, suhu aksiler 38,0oC, pada paru
wheezing + / +. Laboratorium I-{b= 11.,L g/ dL, lekosit= 11,.7 x 1.0 elL
(limfosit= 10,3%, monosit= 5,1.%, granulosit = 84,6%), trombosit = 361
x1"0t/L, PCV = 26,4%, analisa gas darah pH=7,39,pCO2= 50,2 mmHg,
pO2= 61.,0 mmHg, HCO3 = 29,7 mmol/L, BE= (+)4, 8 mmol/L, saturasi
C2= 90,9%. Pengobatan: oksigen 4liter/menit, Aminofilin oral diganti
injeksi 1/z arnpul iv pelan dalam 20 menit dilanjutkan drip 21/z ampul/
hari-lainJain tetap.
Tanggal 13 Juni 2002. Keluhan sesak berkurang, berdebar juga
berkurang. Tensi 140/80 mmHg, nadi 132 x/menit, pernapasan26 xf
menit, suhu aksiler 37,8"C. Pada pemeriksaan fisik sudah tidak tampak
sianotik, tidak didapatkan wheezing.
Pengobatan: oksigen 2 liter/menit, aminofilin stop diganti terbutalin
injeksi 4 xlz ampul (sc), lainJain tetap.
Tanggal 14Juni 2002. Keluhan sesak tidak ada hanya sedikit berdebar.
Tensi 140/80 mmHg, nadi \24 x/menit, pernapasan 20 x/menit, dan
suhu aksiler 36,8oC. Pada pemeriksaan fisik paru tidak didapatkan
wheezing. Pemeriksaan laboratorium: Hb= 11,2 g/ dL, lekosit= 9,4 x
10elL, dffirential count-/-/-/55/42/3, eosinophyl count = 325f mrn3,
TSH5 = < 0,1 pIU/mL, Free T4 = 3,L ng/dL. Penderita dipindahkan
ke ruang Interna wanita. Pengobatan yang diberikan:PTU 4 x 200 mg,
Ceftriaxon habis stop, terbutalin injeksi stop, atrovent 4 x puff II, lain-
lain tetap.
Tanggal 17 Juni 2002. Keluhan berdebar berkurang. Tensi = 1,30/90
mmHg, nadi = \12x/menit, pemapasan = 20 x/menit, suhu aksiler =
36,5oC. Pengobatan: PTU 3 x 200 mg, lainJain tetap.
Tanggal 19 ]uni 2002. USG Tiroid: lobus kanan-kiri: tampak
membesar, intensitas ekoparenkim meningkat heterogen. Tidak
tampak massa solid/kistik/kalsifikasi. Kesimpulan; struma difusa
bilateral, kanan lebih besar dari kiri. Tes Faal Paru: VC = 31.42 (34,2L%),
FVC = 37,63%, FEV1 = 2815 (34,36%), MCB = 81(28,53%). Kesimpulan:
Di bidang Paru kami dapatkan penderita Asma bronkiale tidak dalam
serangan dengan Faal Paru Obstruksi + Retriksi Berat.
Tanggal 21Juni 2002. Keluhan masih sedikit berdebar.Tensi 130/80
mmHg, nadi\12x/menit, pernapasan20xf menit, suhu aksiler 36,4oC,
auskultasi paru dalam batas normal. Pengobatan digoxin stop, lain-lain
tetap.

Penatalaksanaan Penderita Krisis Tiroid dan Serangan Asma Bronkiale 111


Tanggal 241um2002. Penderita dipulangkan dengan keluhan masih
sedikit berdebar, Tensi 130/80 mmHg, nadi 110 x/menit, Pernapasan
20 x/menit, suhu aksiler 36,4"C. Pengobatan yang diberikan: PTU 3 x
200 mg dan atrovent 3 x puff II. Saran kontrol poli Endokrin dan poli
Paru.
-
PEMBAHASAN
Seorang penderita umumnya dicurigai mengalami krisis tiroid apabila
didapratkan geiala dan tanda hipertiroid dengan kesadaran yang
-etutntt dan panas badan. Dapat juga dengan sistem skoring dari
Adapun sistem skoring
Burch apabila skor total nrencapai lebih dari 45.
dari Burch sebagai berikut.
Disfungsi termoregulator Suhu Skor
37,2 -37,7"C 5
37,8 -38,2"C 10
38,3 - 38,8oC 15
38,9 -39,3oC 20
39,4 -39,9"C 25
> 40,0oc 30
Pengaruh pada Sistem Saraf Pusat
. Tidak ada 0
Ringan: agitasi 10
Sedang: delirium, psikosis 20
Berat: kejang, koma 30
Disfu ngsi Gastrointestinal
Tidak ada 0
Sedang: diare, mual-muntah 10
Berat: ikterus 20
Disfungsi Kardiovaskuler
Takikardia: 99 -109 5
11.0- 119 10
120 -129 15
130 - 139 20
> 140 25

112 S ei-1 En dokrin-Metabolik


Gagal ]antung Kongestif
Tidak ada 0
Ringan:edema kaki 5
Sedang: ronkhi basal 10
Berat: edema paru 15
Fibrilasi Atrial
Tidak ada 0
Ada 10
Riwayat Pencetus
.Tidak ada 0
Ada . 10
Interpretasi:
skor 45 atau lebih: sangat mungkin krisis tiroid
skor 25 - 44: krisis tiroid mengancam
skor di bawah 25: bukan krisis tiroid (Burch, 1993).

Pada penderita ini didapatkan gejala umum hipertiroid berupa


sering merasa lelah, sering berdebar, nafsu makan meningkat tetapi
berat badan menurun, dan tanda spesifik hipertiroid ophthalmopati,
juga didapatkan kesadaran yang menurun dan panas badan serta
sistem skoring dari Burch yang mencapai skor total 60 (agitasi/gelisatu
suhu aksiler 39,5oC, nadi L54 x/menit, dan edema tungkai ringan)
sehingga diagnosis krisis tiroid dapat ditegakkan.
Krisis tiroid bisa disebabkan penyakit Grave's (penyebab tersering),
Toxic multinodular goiter, Toxic adenoma, lodine-induced (jodbasedow),
Trophoblastic tuffior, IncreasedTSH secretion, atatJ faktor hormon eksogen
(Wartofsky, 2000; Singer, 1995; Larsen, 1992).
Hipertiroid pada penderita ini sesuai dengan penyakit Graves, yaitu
didapatkan struma difusa, adanya gejala umum hipertiroid, dan tanda
spesifik hipertiroid (ophtalmopati). Penyakit Grave's pada penderita
ini dapat ditegakkan dengan adanya pemeriksaan laboratorium yaitu
TSH" yang rendah (<0,L pIUy'mL) dan Free Ta yang meningkat (3,1.n9/
dL) (Tjokroprawiro, 1996).
Krisis tiroid dapat dicetuskan oleh: keadaan hipertiroid yang tidak
diobati ataupun undertr e ate d, pembedahan, infeksi, trauma, pekerjaan,
melahirkan dan stres (Wartofsky, 2000). Pada penderita ini pencetus
krisis tiroid kemungkinan karena pengobatan yang tidak teratur atau
infeksi yang belum dapat disingkirkan.

Pendtalaksanaan Penderita Krisis Tiroid dan Serangan Asma Bronkiale 113


Asma bronkiale jika terjadi bersamaan dengan hipertiroid dapat
memperberat kondisi asma, dan kondisi asma akan menjadi lebih
baik jika penderita kembali dalam keadaan eutiroid (Goldberg, 2001;
Kendrick, 1988; Settipane,1987). Keadaan ini kemungkinan oleh karena
faktor: perubahan metabolisme kortikosteroid, kadar katekolamin,
aktivi{as nervus simpatis, dan efek potensiasi prostaglandin pada jalan
napas (Settipane, 1987 ; Goldberg, 2001).
Ada beberapa faktor yang dapat mencetuskan serargan asma
bronkiale antara lain: obat-obatan, lingkungan, pekerjaan, in'feksi,
aktivitas fisik, dan emosi (Fahrlander, 2002; McFadden, 2002). Obat
yang' sering sebagai pencetus serangan asma bronkiale adalah
penyekat beta (misalnya propranolol, timolol) dan aspirin (McFadden,
1991). Pada penderita ini sebagai pencetus serangan asma bronkiale
kemungkinan yaitu penyekat beta (propranolol) yang diperberat oleh
kondisi hipertiroidnya.

Penotqlqksqnqon Krisis Tiroid


Pengobatan Krisis tiroid meliputi empat komponen yaitu: obat anti
tiroid yang menghamat produksi dan sekresi serta konversi Ta menjadi
T3 di perifer, terapi suporti-f, memperbaiki aktivitas'hormon tiroid di
perifer, dan pengobatan factor pencetus (Wartofsky L, 2000).

OBAT ANTI TIROID


1,. Menghambat sintesis hormon tiroid
Propiltiourasil (PTU) dan metimazol (MMI).
' Obat pilihan adalah PTU karena selain menghambat sintesis hormon
tiroid juga mempunyai efek menghambat konversi Ta menjadi T3 di
perifer. PTU diberikan dengan dosis awal600 mg, kemudian diikuti
200-250 mg setiap 4 jam. Dosis MMI 20 mg per oral setiap 4 jam
(I//artofsky, 2000).
2. Menghambat sekresi hormon tiroid:
Inorganic lodide (kalium Iodid, larutan lugol) diberikan per oral 8
tetes setiap 6 jam. Bahan kontras radiologis (sodium ipodate, iopanoic
acid) diberlkan per oral dengan loading dose2gram, kemudian diikuti
1 gram per hari.
Semua bahdn tersebut di atas sebaiknya diberikan paling cepat satu
jam setelah PTU atau MMI.

fi'e, S ei-1 Endokrin -Me tab olik


Jika penderita alergi terhadap Iodide ataupun penderita yang
mengalami. reaksi toksik seperti hepatitis atau agranulositosis
terhadap PTU/MMI, sebagai alternatif adalah litium karbonat
dengan dosis 300 mg setiap 6 jam (Wartofsky, 2000).
3. Menghambat konversi Ta menjadi T3 di perifer:
PYU, Bahan kontras radiologis (sodium ipodnte, iopanoic acid),
penyekat beta dan Glukokortikoid. Hidrokortison dengan disis
awal 200-300 mg, kemudian diikuti dengan L00 mg setiap 8 jam
selama beberapa hari. Dapat juga diberikan deksametason atau
metilprednisolon dengan dosis yang ekuivalen (Wartofsky, 2000).
Pada penderita ini obat yang diberikan PTU 600 mg sebagai dosis
awal dilanjutkan 6 x 200 mg, larutan lugol 4 x 8 tetes (diberikan
L jam setelah PTU) selama 6 hari, dan deksametason 3 x 1 ampul
(i.".).

TERAPI SUPORTIF
1. Menurunkan panas badan
- Kompres dingin
- Antipiretil yang menjadi pilihan adalah asetaminofen dari
pada asetosal karena asetosal bersifat inhibisi kompetitif lebih
kuat terhadap Ta dan T3 pada protein serum.
2. Keseimbangan cairan dan elektrolit dengan cairan intravena.
3. Glukosa untuk enersi dan cadangan glikogen.
4. Vitamin
5. Oksigen
.6. Mengobati dekompensasi kordis dengan diuretik (furosemid,
hidroklorotiazid), penyekat beta, dan digoksin (Klein, 2001';
Wartofsky, 2000).
Pada penderita ini mendapatkan oksigen2L/ menit, infus PZ:DS%=
1:2, kompres dingin, parasetamol3 x 500 mg (K/P).

MEMPERBAIKI AKTIVITAS HORMON TIROID DI PERIFER


J. Propranolol atau penyekat beta yang lain. Dosis propranolol 40-120
mg per oral tiap 6 jam atau 2-5 mg (iv) bof us setiap 4 jam atau120-240
mg (iv) drip per 24 jam. Masalah yang timbul dalam perawatan
penderita ini adalah pemakaian penyekat leta sebagai antiaritmia
sekaligus penghambat konversi Ta menjadi T3 di jaringan perifer,
karena merupakan kontraindikasi pada asma (Deshpande, 1983).

Penatalaksanaan Penderita Krisis Tiroid dan Serangan Asma Bronkiale 115


Menurut suatu studi sebagai altemati{ pengganti dalam mengontrol
aritmia jika penyekat beta merupakan kontraindikasi adalah
penyekat saluran kalsium. Yang menjadi pilihan adalah diltiazem
karen3 verapamil dan nifedipin lebih merniliki efek vasodilator dan
inotropik negatif. Dosis diltiazem adalah 10 mg bolus (i.v.) pelan-
pethn, dilanjutkan dengan 5-10 mg/hari (maksimal 30 mg/hari)
sampai nadi di bawah 100 x/menit (Gabrielli, 200'1.; Applegate,
2000). Efek langsung diltiazem pada hantaran sistem simpatis masih
menjadi perdebatan, diperkirakan mempunyai efek hambatan
seqara simultan pada aktivitas baroreflek baik pada saraf simpatis
maupun saraf parasimpatis (Gabrielli, 2001). Pada penderita ini
belum diberikan diltiazem.
2. Menurunkan kadar hormon tiroid dalam serum secara langsung:
- Kolesteramin per oral untuk menghambat sirkulasi enterohepatik
Ta dan T3.
- Plasmafaresis/hemodialisis (Wartofsky, 2000).
Pada penderita ini tidak mendapatkan kolestiramin maupun
plasmaf aresis/ emodialisis.

MENGOBATI FAKTOR PENCETUS


Awalnya pada penderita ini yang diduga sebagai pencetus krisis
tiroid adalah suatu infeksi (sepsis) karena ada febris dan lekositosis,
dan diberikan antibiotik ceftriaxon 2x1' g (i.v"). Sebetulnya pada krisis
tiroid sering terjadi leukositosis dengan hitung jenis yang bergeser
ke kiri walaupun tanpa adanya infeksi (Wartofsky, 2000). Untuk
gnembuktikan adanya infeksi bisa dilakukan pemeriksaan CRP, namun
pada penderita ini tidak dilakukan.

Dengan cara penatalaksanaan seperti di atas kebanyakan penderita


membaik dalani waktu 12 sampai 24 jam, yaitu ditandai dengan
nadi mulai menurun, febris berkurang, dan perubahan status mental
(Wartofsky, 2000). Pada penderita ini klinis membaik pada hari ke-5
perawatan, yang ditandai keluhan berdebar yang sudah dirasakan
tidak mengganggu, tidak febris, tidak apatis, dan tidak sesak (raheezing
negatif).

116. S e i -'l En dokin-Me tab olik


RINGKASAN
Telah dilaporkan seorang penderita wanita 16 tahun yang menderita
krisis tiroid dengan Asma dalam serangan. Diagnosis krisis tiroid
berdasarkan adanya gejala dan tanda hipertiroid, panas badan dan
penq;:unan kesadaran juga kriteria Burch. Krisis tiroid dan Serangan
asma terjadi karena adanya faktor pencetus. Pada penderita ini diduga
sebagai pencetus krisis tiroid adalah pengobatan hipertiroid yang
tidak teratur atau mungkin infeksi, sedangkan yang diduga sebagai
pencetus serangan asma adalah propranolol yang diperberat oleh
kondisi hipertiroidnya.
Terapi ditujukan terhadap penurunan produksi dan sekresihormon
tiroid serta menghambat konversi Ta menjadi T3 di perifer, terapi
suportif, dan faktor pencetus.

DAFTAR PUSTAKA
Applegaie TE (2000). Atrial Arrhythmias, Prim Care 27(3), 677-708
Askandar Tjokroprawiro (1996). Penyakit Grave,s (Patogenesis, Diagnosis dan Terapi).
Dalam: Kumpulan Naskah Temu Ilmiah dan Simposium Nasional III penyakit
Kelenjar Tiroid, Penyunting: Djokomoeljanto R, Darmono, Suhartono T. Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hlm 255-27I
Brightling CE, Bradding P, Symon FA, Holgate ST, Wardlaw AJ and pavord ID (2002).
Mast Cell Infiltration of Airway Smooth Muscle in Asthma, N Engl J Med Za6Q2),
T699-1705
Burch HB and Wartpfsky L (1993), Life-threatening Thyrotoxicosis, Thyroid Storm,
Endocrinol Metab Clin Nofth Arn22,263-273
Deshpande DV (1983). Autonomic Dysfunctions in Asthma and Thyroroxicosis, JApI
37(5),2e9-302
"Fahrlander CB, Riedler J, Herz V and Eder W (2002), Environmental Expossure to
Endotoxin and Its Relation to Asthma in School-Age Children, N Engl J Me dZ47(I2),
869-877
Gabrielli A, Gallagher TJ, Caruso LJ, Bennett NT, and Layon AJ (2001). Diltiazem to treat
sinus tachycardia in critically ill patients: A four-year experience, Crit Care Med 29
(10),834-837
Goldberg P (2001). The Asthmatic with concomitant medical problems, Immunol Allerg
Clin North Am 21(3),208-213
Kendrick AH, O'Reilly JF and Laszlo G (1988). Lung Function and Exercise performance
in Hyperthyroidism Before and After Treatment, Quart J Med 68(256), 615-627
Klein I and Ojamaa K (2001). Thyriod Hormone and The Cardiovascular System, N Engl
J Med SSa(\,501-509
Larsen PR and Ingbar SH (1992). Thyrotoxicosis. In: William Textbook of Endocrinology,
8th ed, editors: Wilson JD and Foster DW, WB Soundets Company, Tokyo, pp 414-
419

Penatalaksanaan Penderita Krisis Tiroid dan Serangan Asma Bronkiale 1..17


McDougall IR (1992). Thyroid Storm. In: Thyroid Disease in Clinical Practice, Chapman
& Ha1l Medical, Londory pp1'42-1'62
McFadden ER (2002). Diseases of the Respiratory System: Asthma ln: Harrison's
Principles of Internal Medicine, 15th ed, pp1456-I463
Omar MAK, Asmal AC, and Rana NKj (1983). Thyrotoxicosis and asthma: A Case Report,
S Afr Med j &,834-835
Settipane GA and Hamolsky MW (1987). Status Asthmaticus Associated With
Hyperthyroidism, N Engl Reg Allergy Proc 8 (5), 323-326
Singer PA, Cooper DS, Levy EG, Ladenson PW, Bravermen LE, Daniels G, Greenspan
FS, McDougall IR, and Nikolai TS (1995). Treatment Guidelines for Patients with
Hyperthyroidism and Hypothyroidism, JAMA 273 (10), 808-812
Subekti I dan Suyono S (2000). Krisis Tiroid. Dalam: Penatalaksanaan Kedaruratan di
Bidang Ilmu i'enyakii Dalam, Pusat Penerbitan dan InJormasi Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FKUI, hlm 78-82
Taylor AJN (1998). Asthma and Allergy, BMJ 316, 997-999
wartofsky L (2000). Thyrotoxic storm. In: The Thyroid A Fundamental and Ciinical Text,
Bth ed, editors: Braverman LE and Utiger RD, Lippincott William & Wilkins, Tokyo,
pp 679-684

118 Sei-l En dokin-Metabol ik


Pengelolqqn Korsinomq Tiroid
Stqdium Loniut*

Sony Wibisono, Agung Pronofo


Divisi Endokrinologi don Metobolisme - Bogion lJmu Penyokit Dolom
RSU Dr. Soeiomo - Fokultos Kedokteron Universitos Airlonggo, Suroboyo

PENDAHUTUAN
Penyakit keganasan tiroid dapat menyerang hampir semua golongan
umur, tetapi yang paling sering pada usia tua. Beberapa karsinoma
tiroid mempunyai kecenderungan mematikan maka diagnosis definitif
harus jelas pada semua lesi kelenjar tiroid sehingga dapat diterapi
dengan tepat (Larsen et aI., 1992; Mansyur, 7998; Moelyanto, 1998;
Mansyur,1999).
Karsinoma tiroid merupakan hampir 90% dari semua keganasan
endokrin meskipun prevalensi rendah di antara keganasan lainnya
(Norton, 1989; Mansyur, 1999). Keganasan tiroid di Indonesia
meriempati urutan ke-9 (4,3%) dari sepuluh keganasan yang sering
dijumpai (Mansyur, 1999). Pada beberapa penelitian menunjukkan
usia merupakan faktor prognostik vang penting (Norton, 1989).
Evaluasi terhadap nodul kelenjar tiroid merupakan bagian penting
'untuk evaluasi klinik karsinoma tiroid karena prevalensi karsinoma
tiroid yang meningkat pada nodul tunggal maupun tiroid multinodul
(Larsen, 1992; Mo ely anto, \998 ; Mansyur, 1999).
Benjolan (nodul) di kelenjar tiroid dan daerah leher merupakan
gejala awal dari keganasan tiroid, oleh karena itu setiap nodul tiroid
perlu dievalusi dengan saksama. Yang perlu dicurigai bila nodul
disertai dengan suara serak, dispne atau disfagia yang menunjukkan
invasi pada saraf rekuren laringeus. Sebagian besar ditemukan
nodul secara kebetulan pada penderita yang asimtornatis. Pada
sebagian kecil ditemukan limfadenopati servikal tanpa keluhan di

* Laporan kasus

159
kelenjar tiroid. Harapan hidup penderita karsinoma tiroid dengan
diferensiasi baik cukup panjang, tanpa melihat jenis atau terapi yang
dikerjakan (Nortoo 1989; Mansyur, 1999). Oleh karena itu, sampai
sekarang masih ada kontroversi mengenai pengelolaannya. Saat ini
terdapat kecenderungan melakukan pembedahan yang lebih ekstensif
diikuti dengan terapi iodium radioaktif dan terapi supresi hormonal
pascabedah (terapi ajuvan) (Larsen, 1989, Mazzafei, 1993; Mansyur,
1998; Kariadl,1998).
Pada makalah ini akan dibahas penanganan medis karsinoma tiroid
papilar stadium lanjut pada seorang wanita tua di mana diketahui
setelah 10 tahun pascaoperasi nodul tiroid.

KASUS
Seorang wanita usia 59 tahun, suku Jawa, sudah berkeluarga, bertempet
tinggal di Surabaya, datang ke Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya
tanggal 26 Apr1l2000 dengan keluhan muntah-muntah. Pada anamnesis
dikatakan penderita menjalani operasi pengangkatan kelenjar gondok
di bagian bedah Rumah Sakit Dr. Soetomo pada 10 tahun sebelum
masuk rumah sakit. Pada saat itu dikatakan oleh dokter yang merawat
bahwa struma saja dan tidak ganas. Kemudian penderita merasa ada
benjolan yang tidak nyeri di leher sekitar bekas operasi dahulu 9 bulan
sebelum MRS (3 Juli 1999) dan penderita kontrol ulang di bagian
bedah Rumah sakit Dr. Soetomo pada dokter yang merawat dahulu.
Penderita disarankan untuk dilakukan biopsi benjolan di leher tersebut
dan hasil biopsi (2 Agustus L999) menunjukkan suatu keganasan dan
disarankan untuk dilakukan penyinaran. Penyinaran sudah dilakukan
oleh penderita sebanyak 3 kali. Setelah menjalani penyinaran penderita
mengeluh muntah-muntah. Muntah ini dirasakan sejak t hari sebelum
masuk rumah sakit (25 April 2000). Muntah 15 kali, volume kurang
lebih setengah gelas, terdiri cairan, makanan, tidak didapatkan darah
maupun cairan kehitaman. Selain itu penderita juga mengeluh mual,
nyeri ulu hati dan kembung. Tidak didapatkan panas badan dan kejang.
Buang air kecil maupun buang air besar tidak didapatkan keluhan.
Riwayat pemakaian obat-obatan tidak didapatkan.

Pemeriksoon Fisik
Tanggal 26 Aprll2000. Keadaan umum baik, kesadaran komposmentis,

150 S ei-1 En dokin- Me t abolik


kesan sakit sedang, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80 x/menit,
suhu 36,5 0C dan frekuensi napas 22 xf menit Pada pemeriksaan
kepala tidak didapatkan anemia, ikterus, sianosis, sesak maupun mata
cowong- Tidak didapatkan kaku kuduk. Pada leher didapatkan bekas
operasi gondok. Didapatkan pembesaran kelenjar supraklavikular di
ujunfluka sebelah kanan bekas operasi ukuran 2 x 2 x 1 cm, konsitensi
keras, tak nyeri, kemerahan tidak ada dan mudah digerakkan.
Kelenjar gondok tak didapatkan. Pada pemeriksaan daerah dada,
jantung didapatkan 51 dan 52 tunggal, tidak didapatkan suara bising
maupun gallop. Pada paru didapatkan bentuk semetris, gerak napas
semettis, fremitus normal kanan-kiri, sonor kanan-kiri, suara napas
vesikuler kanan-kiri. Tidak didapatkan suara ronkhi dan wheezing.
Pada pemeriksaan bagian perut, hepar maupun lien tidak teraba. Padi
ekstremitas tidak didapatkan pembesaran kelenjar.

Lqborqforium dqn Penuniong


Pemeriksaan biopsi kelenjar supraklavikula kanan di Patologi
anatomi RSU Dr. Soetomo tanggal 2 Agustus 1999 didapatkan hasil,
tampak kelompok sel-sel ganas berbentuk struktur papil, tampak
pula intranuklear incluslorz. Kesimpulan: Metastase karsinoma tiroid
papilar.
Pada tanggal 1,0 Agustus 1999lMole body scan dengan Nal13i 3mCI
intravena, dan dilakukan scan tanggal 10 Agustus 1999 didapatkan
uptake radiofarmaka pada tiroid bed: 4%, tak tampak uptake
radiofarmaka abnormal di tempat"lain. Dengan kesimpulan abalasi
tiroid dan dapat dilakukan terapi radiasi intemal dengan NaI131.
Pada tanggal 16 Agustus \999 dilakukan ablasi tiroid pertama
dengan diberikan NaJ131, 30 MCI per oral dan dilakukan scan tanggal
24 Agustus 1999 didapatkan hasil tampak uptake radiofarmaka pada
tiroid bed 5,6%, tak tampak uptake radiofarmaka di tempat lain. Ablasi
tiroid kedua pada tanggal 20 September 1999 didapatkan hasil tampak
uptqke radiofarmaka di tiroid bed 0,4% dan tak didapatkan uptake
ditempat lain. Pemberian NaI131 30mCI per oral yang ketiga pada
tanggal 7 Februari 2000 didapatkan hasil uptake radiofarmaka pada
tiroid bed 0,02% danuptake tempat lain tidak didapatkan.
Pada pemeriksaan faal tiroid tanggal 24 Januari 2000 didapatkan
TSHs 0,45 mU/ml (0,25-3,'1. mU/ml), free T4 3,4trtg/ d1(3,55-13, 6aVg/
dl),

Pengelolaan Karsinoma Tiroid Stadium Lanjut 't61


Tanggal26 April 2000, pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan
lremoglobin \2,i g/ dl,leukosit 11 x L0e /L, trombosit 300 x 10e /L. Gula
darah sesaat 139 rlrrg/ dl. BUN 4 :rr.g/dl, serum kreatinin 0,49 mg/dL'
SGOT g!IJlL, SGPT 28 U/L, albumin3,97 g/dl, globulin2,43 g/dl'
Pemeriksaan urine tak didapatkan albumiru keton urine, urobilin
dan bilirubin. Eritrosit [-2/lapang pandang, leukosit L-2/lapang
pandang dan tak didapatkan sel epitel, klistal maupun silender. Pada
pemeriksaan sputum BTA didapatkan hasil negatif.
Pada foto toraks tanggal 26 April2000 didapatkan hasil jantung
besa4dan bentuknya normal; pada paru tampak coarse nodul pada
kedua lapang paru, perselubungan pada para kardial kanan dengan
batas tegas, kedua sinus phrenicocostalis taiam. Kesimpulan, proses
nretastase ke paru danpocketed efusi pleura kanan.
Konsul bagian pulmonologi tanggal 26 Aprrl2000 didapatkan hasil
tumor paru metastase kemungkinan primer dari karsinoma tiroid.
Dengan saran FNAB ulang massa di supraklavikula kanAn, kodein
x'l tablet.
" Diagnosis penderita ini adalah karsinoma tiroid papilare stadium
lV (T0 N1 M1). Terapi yang diberikan infus D 1A%: RDS = 1 :220 tetesf
menit, metoklorpramide inieksi 3 x L ampul, levotiroksin 2x 100 mgpex
oral. Rencana pemeriksaan elektrolit, EKG dan konsul divisi hemato-
onkologi Lab/SMF Penyakit Dalam RSU Dr. Soetomo.

Periolonon Penyokir
tanggal 27 April 2000, keluhan muntah sudah berkurang dan
.penderita mengeluh batuk yang dirasakan berat penderita karena
rnengganggu tidurnya. Terapi yang diberikan infus Ringer Laktat 10
tetes/menit, metoklorpramide 3 x 1 ampul, levotiroksin 2 x 100 mg
dan dekstrometorfan 3 x 1 tablet.
Tanggal 28 April 2000, keluhan muntah masih ada demikian juga
batuk. Konsul divisi hematologi onkologi didapatkan hasil karsinoma
tiroid papilare metastase paru. Dengan saran direncanakan pemberian
Adriamycin 50 mg intravena.
Tanggal S Mei 2000, keluhan batuk dirasakan bertambah. Pemberian
obat antikanker masih pikir-pikir. Terapi yang diberikan levotiroksin
2 x 100 mg dan dekstrometorfan dihentikan dan diganti dengan kodein
3x1.

152 Se ri-7 En dok it t- Mct ab ol ik


Tanggal 10 Mei 2000, penderita minta pulang karena penderita
masih belum setuju diberi kemoterapi. Penderita disarankan kontrol di
Poli Hematologi-Onkologi Laboratorium Penyakit Dalam Rumah Sakit
Dr. Soetomo.
Tanggal 12 ]uni 2000, penderita setuju diobati dengan antikanker
dan penderita masuk rumah sakit lagi. Keluhan batuk masih belum
berubah. Pemeriksaan fisik didapatkan komposmentis, tekanan darah
120/70 mmHg, nadi 80 x/m, frekuensi napas 18 x/m dan suhu 325
"C. Hasil laboratorium Hemoglogin 1L,6 g/1, leukosit \4,6 x 10e/
L, trombosit 290 x 10e/L Kalium 4,7 rneqf l, natrium 137 meq/l dan
kalsium 9,\9 mg/ dl, TSHs 0,039 pIU/ml (0,25-3,1. mU/ml), FT4I2'J.,25
llg/ dl (3,55-13,64119/ dl). Terapi yang diberikan roborantia. Sementara
terapi levotiroksin dihentikan.
Tanggal 21 ]uni 2000 Hemoglobin 11 g/dl,leukosit 11,6 x 1,0efL,
trombosit 463 x1,0e /L dan hitung jenis sel-/ -/2/70/25/3. Terapi yang
diberikan (d10) doxorubicin I50 mg dalam 50 cc aquades diberikan per
drip selama 10 menit.
Tanggal 26 luni 2000 (d6 doxorubicin I) Hemoglobin 9,9 g/ dl,
leukosit 12,3 x 1.0e /L, trombosit 457 x 1,0e /L dan asam urat2,97 mg/ dl.
T anggal 29 Juni 2000 (d e doxorubicin I) Hemo globin9,6 g / dl, leukosit
7,3 x 10e /L, trombosit 377 x 10e /L dan asam urat 3,13 mg,/ dl. Toraks
foto: multiple cosrse nodul (metastase) dan efusi kanan. Dibandingkan
foto.sebelumnya saat ini secara radiologis lesinya lebih banyak.
Tanggal3 Juli 2000 (d 1a doxorubicin I) Hemoglobin 11g/dl,leukosit
11,6 x 1.0e /L, trombosit +63 x 10e /L.
Tanggal 6 Juli 2000 (d 17 doxorubicin I) Hemoglobin 11, g/ dl,luekosit
.1L,6 x 1,0e /L, trombosit 463 x 1,0e /L.
Tanggal 10 juli 2000 (d 21 doxorubicin I). Kelenjar supraklavukula 2
x 2 x L cm. Hemoglobin 1,1 g/dl, leukosit 11,6 * 10e /L, trombosit 463
x 1,0e/L. Foto thoraks: course nodul metastase dengan suspek massa
paru kanan posterior. Dibandingkan foto sebelumnya saat ini secara
radiologis lesinya lebih banyak. Usul CT/toraks lateral. Terapi yang
diberikan doxorubicin 60 mg (d1 doxorubicin II).
Tanggal 3 Agustus 2000 (d2s Doxorubicin II). Kelenjar supraklavukula
2 x 2 x 1 cm. Hemoglobin 9,4 g/ dl,leukosit 10,0 x 10e /L, trombosit
284 x 1.0e /L. Terapi yang diberikan doxorubicin 70 mg (d 1 doxorubicin
I.II)

Pengelolaan Karsinoma Tiroid Stadium Lanjut 1.63


PEMBAHASAN
Neoplasma tiroid berasal dari sel epitel, pada umumnya berasal dari
epitel folikuler dan parafolikuler (sel C). Meskipun jarang tumor
kelenjar tiroid lainnya ialah metastase tumor lain, fibrosarkoma atau
limphosarkoma (Larsen, 1997 ; Mansyur, 1998 ; Mansyur, 1999).
Karsinoma tiroid merupakan keganasan kelenjar endokrin yang
paling sering meskipun prevalensinya rendah dibandingkan dengan
keganasan lainnya (Mansyur, 1998; Mansyur, 1999). Di Amerika
Serikat tahun 1995 hanya 1,2% daril',Z5 jutakasus kanker baru (Larsen,
l992fionfarrdini, 1982; Moeljanto, 1998; Reynold, 1993). Lebih sering
ditemukan pada wanita daripada pria. Karsinoma tiroid lebih sering
didapatkan pada populasi daerah ring of fire (daerah gunung api aktif)
(Mofandini, 1982; Larcen, 1997). Pada umumnya karsinoma tiroid
didapatkan pada usia antara 25 dan 65 tahun, tetapi dapat juga pada
usia muda dan tua. Belum ada data epidemiologis mengenai kegtlnasan
tiroid di Indonesia (Mansyur, 1999).
WHO menyusun klasifikasi hitopatologis keganasan tiroid menjadi
karsinoma tiroid berdiferensiasi (papiler dan folikuler), karsinoma
tirod medulare dan karsinoma tidak berdiferensiasi atau anaplastik
serta keganasan lain yang jarang seperti limfoma, sarkoma (Pisi, 1993;
Moeljanto, 1.998; Mansy ur, 1999). Klasifikasi histopatologis neoplasma
tiroid menurut Regato dapat menerangkan terapi dan prognosis,
karsinoma tiroid dibagi menjadi jinak dan ganas (Norton, 1989; Pisi,
1ee8).
Pada karsinoma tiroid berdiferensiasi gejala yang sering adalah
podul tiroid asimtomatis, dapat juga karsinoma tiroid diketahui
setelah ada metastase kelenjar, tulang atau paru-paru. Geiala suara
parau, dispagia, batuk dan sesak merupakan gejala penyakit yang
lanjut (Reynolds, 1.993; Witter, 1995; Mansyur,1998; Mansyur, 1999;
Moeljanto, 1998).
Pada pemeriksaan fisik karsinoma tiroid sering merupakan nodul
single, berbatas tegas, bergerak sesuai gerakan menelan dan sulit
dibedakan dengan nodul jinak. Dugaan karsinoma tiroid pada nodul
tiroid bila timbulnya pada anak-anak, orang tua usia di atas 60 tahun
dan lakilaki usia 20-60 tahun. Selain itu karsinoma tiroid diduga bila
didapatkan nodul tiroid ireguler, konsistensi keras, keleniar ipsilateral
membesar atau didapatkan keluhan kompresi dan pembesaran ukuran
tiroid progresif. Hampir semua penderita karsinoma tiroid eutiroid

764 Se i -1 E n dokin - Me t ab olik


dan kadar serum thyrotropin normal (ftlumberger,1998). Pemeriksaan
biopsi jarum halus merupakan tes yang paling baik untuk skrining dan
langkah diagnostik awal yang lazim untuk membedakan nodul tiroid
jinak atau ganas (Mansyur,1998; Moeljanto, L998; Mansyurl999). Alat
diagnostik lainnya adalah sidikan radioaktif, sidikan ultrasound, sidik
tulan6dan kadar kalsitonin serum atau urine (untuk deteksi karsinoma
tiroid medulare) (Norton, 1989; Pisi, 1993; Mansyur, 1998; Mansyur,
1999; Pisi,1998).
Skema langkah-langkah diagnostik dan pengelolaan nodul tiroid
atau bila ada nodul yang dominan dari pembesaran kelenjar tiroid
adalJh sebagaimana terte[ pada Gambar 1. (Moeljanto, 1998, It4ansyur,
leee):

Nodul atau dominan

Tanpa riwayat radiasi


{---'---------- }
pengion Ada riwayat radiasi pengion
lt

curiga
tl
Karsinoma Jinak inadekuat

I I
Bedah sidik Tiroid terapi hormon tiroid, ulangi BJH
observasi, follow up
- (USG dan BJH)
Dinsin
"'r" t"
J
Observasi Operasi

Gambar 1. Skema langkah-langkah diagnostik dan pengelolaan nodul tiroid

Pada penderita didapatkankeluhan benjolan di leher yang dirasakan


setelah 10 tahun pascaoperasi. Tidaknyeri. Di sampingitu penderita juga
mengeluh muntah-muntah. Dan telah dilakukan pemberian I radioaktif
sebanyak 3 kali setelah dinyatakan tumor ganas. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan tumor leher di ujung luka bekas operasi berukuran 2 x
2 x 1cm, tak nyeri, kemerahan tak didapatkan dan mudah digerakan. F
T43,4ng/ dl, TSHs 0,45mU/ml Hasil biopsi jarum halus menunjukkan

Pengelolaan Karsinoma Tiroid Stadium Lanjut 165


karsinoma tiroid papiler metastase. Dilakukan sidik tubuh yang
pertama menunjukkan uptake radiofarmaka di jaringan tiroid 4% dan
tempat lain tidak ada. Dilakukan pemberian Iodium radioaktif Na 1131
3 kali. Sidik tubuh terakhir didapatkan uptake radiofarmaka0,A2% dan
tempat lain tidak ada. Hasil foto dada didapatkan metastase di jaringan
paru5ehingga berdasarkan data di atas diagnosisnya pada tanggal26
April 2000 adalah karsinoma tiroid papiler stadium IV (T0 N1 M1).
Terapi karsinoma tiroid berdasarkan aspek sarana pengobatan
(terapi) meliputi operasi, terapi iodium radioaktif dan terapi medis
(sup,rrsi dengan hormon tiroid dan kemoterapi) (Soebandiri, 1994;
Mansyur, 1998; Prsi, 1998).
Jenis pembedahan meliputi lumpektomi, tiroidektomi parsial,
tiroidektomi subtotal, tiroidektomi total, lobektomi dan. neqr total
thyroidectomy (Mazzaferi, 1993; Pisi, 1993; Reynolds, 1993; Mansyur,
1999; .Pisi, 1998). Terapi iodium radioaktif pada karsinoma tiroid
berdiferensiasi masih kontroversi. Pemberian iodium radioaktif pada
risiko rendah tidak mengubah perjalanan penyakit sedangkan pada
risiko tinggi memerlukan tindakan agresif . Iodium radioaktif digunakan
juga pada paska tiroidektomi total sebagai tiroablasi preventif yaitu
untuk menghilangkan foki mikroskopis. Dengan radiotiroabalsi dengan
I-131 selain digunakan untuk menghancurkan foki mikroskopis dapat
juga untuk mendeteksi kekambuhan, mendeteksi karsinoma tiroid di
iuirtiroid bed (Reynol ds, 1993;Witter, 1 995; Moelja nto, 1998; Man syur,
1999).Terapi hormon tiroid pada karsinoma tiroid selain digunakan
substitusi digunakan juga untuk supresi tumor. Dasarnya adalah
pertumbuhan karsinoma tiroid dapat dirangsang oleh tyrothropin
"stimulatinghormon (TSH). Hal ini terjadi karena karsinoma tiroid folikuler
dan papiler mempunyai reseptor TSH seperti pada jaringan tiroid
normal. Dosis tiroksin diberikan sedemikian rupa sehingga kadar TSH
ditekan serendah mungkin tanpa gejala klinis dan gejala tirotoksikosis
(2,2-2,8 xg/kgBB). Yang ideal bila kadar TSH dapat mencapai 0,1, xU /
ml dan kadar triiodothyronine bebas normal (Kariadi, 1998; Mansyur,
1998; Pisi, -998; Sclumberger, 1998; Mansyw, 1999). Respons terapinya
kemoterapi untuk karsinoma tiroid sampai sekarang masih belum baik
hasilnya (Mofandini, 1982; Witter, 1995; Pisi, 1998). Obat-obat yang
sud ah dicoba a dal ah BI o my sin, D o x o r ub i cin d an kombinasi D o x o r ub i cin
e

dan Cisplatinum. Dosis Doxorubicin 60-70 mg/.M2 permukaan tubuh,


intravena tiap 3-4 minggu. Respons rate doxorubicin 30-45% sedangkan
cisplatinum 22-30% (Norton et nl., 1989). Kombinasi Doxorubicin

166. S eri-1 En dok in- Metsbolik


dan Vincristine atau Doxorubicin dan Cisplatinum hasilnya lebih jelek
(Norton, 1987 ; Witter, 1995; Pisi, 1998).
Pilihan terapi keganasan tergantung jenis histopatologis, derajat
keganasan, dan stadiumnya (Soebandrri,1994). Para ahli berpendapat
bahwa pengelolaankarsinoma tiroid berdiferensiasi adalahmengangkat
selurdh jaringan tiroid (tiroidektomi total) berikut kelenjar getah
bening regional yang dicurigai karena secara histologik 30% sampai
82% karsinoma tiroid mengandung foki mikroskopis dan kekambuhan
pascalobektorni sebesar 5% sampai 24%. Disusul dengan pengobatan
iodiu_p radioaktif dan pemberian hormon tiroid (Mansyur, 1999). Salah
satu contoh protokol pengobatan karsinoma tiroid berdiferensiasi
dapat dilihat di lampiran. Pada penderita kami setelah diberi iodium
radioaktif pada jaringan tiroid sudah tidak didapatkan uptake tetapi
didapatkan metastase di paru. Pilihan terapi pada keganasan dengan
metastase adalah terapi medis yang meliputi terapi medis hormonal
dan kemoterapi (Reynolds, 1993 ; Soebandiri, 1994) . Maka pilihan terapi
pada penderita ini adalah terapi medis kemoterapi dan hormonal.
Terapi yang diberikan pada penderita ini adalah pada awalnya (26
April2000) hanya terapihormonalkarenakemoterapi dengan d oxorubicin
masih pikir-pikir (belum setuju kemoterapi). Beberapa minggu setelah
penderita pulang paksa, penderita setuju diberikan doxorubicin dengan
dosis 50 mg. Sedangkan terapi levotiroksin dihentikan karena FT4
tinggi. Hasil terapi doxorubicinlprogressiae disease (PD) karena hasil foto
ulangan menunjukkan bertambah parah. Efek samping obat derajat
nol. Pemberian doxorubicin masih dapat diberikan dengan dosis lebih
tinggi (70 mg) karena efek samping obatnya derajat nol.
' Prognosis penderita karsinoma tiroid berdiferensiasi dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu yang berhubungan dengan pasien,
penyakitnya dan pengobatannya. Dikenal beberapa skema untuk
mengelompokkan penderita sesuai dengan faktor risiko prognostik
yaitu AMES (Age, Metastase, Extent of primary tumor, Tumor size),
DAMES (modifikasi AMES), AGES (Age, Grade, Extent tumor, Size), dan
MACIS (metastasis, Age, Completeness of resection, inaasion, Size) (mansui,
1998). Penderita kami termasuk risiko tinggi menurut kreteria AMES.
Harapan hidup penderita ini menurut kategori AMES 54% (Mansyur,
1998; Mansyur, 1999). Tabel harapan hidup karsinoma berdasarkan
klasifikasi prognostik dapat dilihat di lampiran.

Pengelolaan Karsinoma Tiroid Stadium Lanjut 167


RINGKASAN
Telah dilaporkan penderita perempuan usia 59 tahun dengan keluhan
muntah-muntah. Muntah ini dikeluhkan penderita setelah menjalani
penyinaran. Penyinaran dilakukan karena adanya tumor kelenjar
gondgk yang diketahui 9 bulan sebelum MRS. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan tumor di ujung bekas operasi, keras tak nyeri, tak
kemerahan dan mudah digerakkan. Pada foto toraks didapatkan
metastase paru. Hasil FNAB menunjukkan suatu karsinoma tiroid
papilare. Pada sidik seluruh tubuh paska radioabalsi 1131 3 kali, tak
didt'patkan uptake radiofarmaka pada paru. Diagnosis penderita
karsinoma tiroid papilare stadium IV sehingga terapi yang diberikan
adalah kemoterapi. Adriamycin diberikan pada penderita tetapi hasil
terapi tidak bagus Qtrogressizte disease).

DAFTAR PUSTAKA
Kariadi SHK(1998). Penggunaan hormon tiroid di dalam klinik. Kumpulan Makalah
Simposium Tiroidologi Klinik 1 Agustus 1998 Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Cabang Bandung.
LarsenPR,IngbarSH. ThyroidNeoplasms (1992).InWilliamsTextbookof Endocrinology.S
ft ed. Editor WilsonJD, Foster DW. WB Saunder Co Philadelphia,pp 466-475.
Mansyur JS(1998). Pengelolaan Terpadu karsinoma tiroid berdiferensiasi. Kumpulan
Makalah Simposium Tiroidologi Klinik 1 Agustus 1998 Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia Cabang Bandung.
Mansyur JS (1999). Keganasan pada kelenjar tiroid. Naskah lengkap Pespektif baru dan
kecenderungan perkembangan endokrinologi dalam melineum III Yokyakarta, 8-9
Oktober 1999, ?37-248,
Mazzalerri EL (1993). Management of solitary thyroid nodule. N Eng J Med 328, 553-
559.
Moeljanto D (1998). Pengelolaannodul tiroid. KumpulanMakalahSimposiumTiroidologi
Klinik 1 Agustus 1.998 Perkumpulan Endokrinologi Indonesia Cabang Bandung.
Monfandini (1982). Endocrine organ tumours. In Manual of cancer chemoiherapy. 3th
ed. Editor: Morfardini S, Brunner K, Crowther D, Olive, MacDonald J, Eckhart S,
Whitehouse. UICC Geneva, pp 159-160.
Norton JA, Doppman JL, Jensen RT(1989). Cancer of the endocrine system. In Cancer
Principles & Practice of Oncology. 3 th ed, Editors De Vita, Hellman S and Rosenberg
SA. LippicotFRavery Philadelphia, pp 1269 - 1284.
Pisi (1998). Pengelolaan Bedah Karsinoma Tiroid.. Kumpulan Makalah Simposium
Tiroidologi Klinik 1 Agustus 1998 Perkumpulan Endokrinologi Indonesia Cabang
Bandung.
Pisi L (1993). Terapi tumor tiroid. Kumpulan Naskah lengkap Kongres Nasional III
Perkeni Semar ang 2I-24 November 1993, 377 -395.
Reynolds JEF(1993). Morphine. In Martindale the Extra Pharmacopoeia. 13thed. Editors
James EF, Reynolds. London, p 1087.

168 Se ri - L En dokr i n - Me t ab olik


Sclumberger, MI(1998). Papilarry and Follicular thyroid carsinoma. N Eng J Med, 338,
297-305.
Soebandiri(1994). Terapi medik kanker yang rasional. PKB IX, 23 -24ldi11994.Editor:
Soebandiri, PG Konthen, Gina H Santoso, Boediwarsono dan Poernomo Boedi
Setiawan. Lab. UPF Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR RSUD Dr. Soetomo Surabaya,
35,51.
Wittel$E, Macdonald jS (i.995). Endocrine System. In Manual of Oncologic Therapeutics.
3 th ed. Editor: Macdonald IS, Haller DG, Mayer RJ. JB Lippicoott Co. Philadelphia,
pp237-241.

Pengelolaan Karsinoma Tiroid Stadium Lanjui 169


tampiran L: Protokol pengobatan karsinoma tiroid berdiferensiasi
(Mansyur,1998)

-6 minggu paska operasi

Positif

Radioablasi I-131

i sunresi hormon tiroid

24 minggu kemudian

Radioablasi I-

Terapi supresi hormon tiroid


24 min

Teraoi suoresi honnon

170 S ei -1 En dokin- Metab alik


Lampiran 2: Kategori faktor risiko
(dikutip Johan, 1998)

AMES: age, ffietastases, extent of primary cancer, tumor size


Low*isk/high risk
Age: male< 41 y, females <51y/rnales>41y, females > 50y
Metastases: no distant metastases/distant metastases
Extent: intrathyroidal papillary or follicular with major invasion.
Size:5 cm/> 5cm
Lov/risk patients are (1) any low risk age group without metastases,
or (2) high risk age without metastases and with low risk extent and
size.
High risk patibnts are (1) any patient with metastases, or'(2) high risk
age with either higrisk extent of size.
DAMES: AMES systemmodifudby tumor ceII DNA content measuredby

Low risk AMES + euploid =Iow risk


Low risk AMES + aneuploid = intermediate risk
Highrisk AMES + aneuploid = high risk
AGES: ages, tumor grade, tumor extent, tumor size
i
Prognostic score (PS) 0, 05 x age in years (except patients < 40 y =
0), + 1(grade 2) or + 3 (grade 3 or 4); + 1 (if extra thyroidal) or+ 3 (if
distant metastases), + 0,2x tumor size in cm (maximum diameter).
PS range: 0 - 11, 65, median 2, 6
Risk catagories: 0 - 3, 99; 4 -4, 99; 5 - 5, 99; >6
MACIS: metastases, age, completeness of resection, inztasion, size.
PS -- 3, 1 {ae, 39 y) or 0, 08 x age (if age >40), + 0, 3 x tumor size in cm, +1 (iJ
incompletely resected), + 1 (if locally intsasiue), +3 (if distsnt metastases).
PS risk categories:0 -5, 99; 6 - 6, 99;7 - 7,99; > 8

Pengelolaan Karsinoma Tiroid Stadium Lanjut 171


- Lampiran 3: Harapan hidup penderita karsinoma tiroid berdeferensiasi
baik berdasarkan katagori prognostik
(dikutip Mansyur, 1998)

AMES Risk
Group Low high
Overall survival rate 98 % 54 %
Disease free survival rcte 95 %
DAMES Risk
Group Low Inteimediate High
Disease free survival rate 92 % 45 % 0%
AGESPS<44-55-6>6
20 years survival rate99 % 80 % 33 % 13 %

MACISPS66-7<7-8>8
o/
20 years survival rate 99 % 89 % 56 % 2,4 /o

772 Se i -1 Endokin- Met ab olik


Seorong Penderitq Artritis Remotoid dqn
Penyokit Grqveos*

. M Vitonoto Arfiyonto, Ari Suriohio


Divisi Endokrinologi don.Mefobolisme - Bogion llmu Penyokit Dolom
RSU Dr. Seetomo - Fokultos Kedokteron Universitos Airlonggo, Suroboyo

PENDAHUTUAN
Autoimunitas adalah reaktivitas imun yang didapat terhadap
otoantigen yang menimbulkan kerusakan jaringan. Penyakit Grave's
dan arthritis rematoid (AR)adalah suatu penyakit autoimun. Penyakit
otoimun dapat merupakan organ spesifik misalnya: tirotoksikosis/
penyakit Grave's (Tiroid sebagai organ sasaran) atau Diabetes mellitus
tipe 1 (Pankreas sebagai organ sasaran) atau yang sistemik (non-organ
spesifik) seperti Lupus eritematosus sistemik dan artritis rematoid
(Karnen, 2002; Roitt, 2002).
Penyakit autoimun dapat dianggap sebagai segolongan penyakit
yang kalau disusun berurutan membentuk suatu spektrum. Ada
kecenderungan bahwa pada seseorang dapat dijumpai lebih dari satu
penyakit otoimun dan biasanya penyakit-penyakit itu dalam satu
golongan, tetapi bisa juga bukan satu golongan meskipun jarang.
Bahkan sering kali terjadi tumpang tindih antara hasil pemeriksaan
serologis (Roitt, 2002; Kresno, 2004).
Mekanisme kerusakan imunopatologi, bergantung pada letak
penyakit tersebut dalam spektrum. Bila antigen terlokalisasi pada
satu organ maka reaksi hipersensitivitas tipe 2 (reaksi imun seluler)
merupakan patogenesis terpenting. Pada otoimunitas tidak spesifik
organ maka pengendapan kompleks imun menimbulkan inflamasi
melalui berbagai mekanisme termasuk aktivasi komplemen dan
rekrutmen fagosit (Roitt, 2002; Kresno, 2004).

* Laporan kasus

119
Penyakit otoimun yang bersamaan seperti Artritis rematoid dan
penyakit Tiroid sangat jarang terjadi. Prevalensi penyakit AR sendiri
adalah 1% (0,3-2,1).Di Amerika, penyakit Grave's adalah bentuk
hipertir:oidisme yang paling sering ditemukan. Sekitar 60-80%
dari kasus tirotoksikosis disebabkan oleh penyakit Graves. Insiden
tahufrannya adalah 0,5 kasus setiap L000 orang dalam periode 20 tahun,
dengan umur puncak 20-40 tahun. Dilaporkan 15-20% penderita AR
juga mempunyai penyakit autoimun tiroid. Hubungan mekanisme
kedua penyakit tersebut sangat menarik tetapi masih sulit untuk
dipahami (Mackay, 2001; Hendromartono, 2002; Y aidy a, 2002).

KASUS
Seorang wanita berusia 53 th datang pertama kali ke poli endokrin
tanggal 27 September 2002 dengan keluhan utama benjolan di leher.
Benjolan di dua sisi leher yang lunak, tidak nyeri tekan, tidak mengeras
dan tidak didapatkan gangguan menelan tersebut diketahui penderita
sejak tahun 1996 (kurang lebih 6 tahun). Keluhan tersebut sudah pernah
dibawa ke puskesmas dan dokter umum tapi tidak mendapatkan hasil
yang memuaskan. Suara parau tidak ada, panas badan kadang-kadang,
berat badan menurun tidak didapatkan, nafsu makan tidak meningkat
juga tidak menurun, buang air besar rata-rata 2x/hari tidak mencret,
sering berkeringat dan banyak, juga mudah lelah dirasakan sejak 2
tahun terakhir dan kadang-kadang berdebar-debar, haid sering tidak
teratur sejak kurang lebih 4-5 tahun, sesak ada kadang-kadang, batuk
pilek tidak ada, nyeri dada tidak ada.
'Riwayat penyakit dahulu: diabetes mellitus, hipertensi disangkal.

Pemeriksqqn fisik
Penderita kompos mentis GCS 456 tekanan darah 150/90 mmhg
nadi 90x/menit pernapasan 20xf menit, suhu aksiler 37,5"C. Pada
pemeriksaan kepal dan leher tidak didapatkan sesak, anemi, sianosis
maupun ikterus, Didapatlan retraksi kelopak mata, didapatkan lid
lag, jVP tidak meningkat, tidak didapatkan eksoftalmus, pembesaran
kelenjar tiroid difus bilateral dengan tiroid bruit. Pada pemeriksaan
dada: pada paru inspeksi tidak didapatkan retraksi otot dan ekspirasi
yang memanjang, palpasi didapatkan gerak yang simetris, pada
perkusi didapatkan sonor bilateral.pada auskultasi didapatkan suara

120 S ei-1 En dokrin-Me t ab olik


napas vesikuler bilateral, tidak didapatkan ronkhi maupun wheezing.
Batas jantung normal, suara jantung 1 dan 2tunggal, tidak didapatkan
bising maupun gallop. Pada pemeriksaan perut hati maupun limpa
tidak membesar, tidak meteorismus, bising usus dalam batas normal,
tidak didapatkan asites. Pada ekstremitas didapatkan akral hangat dan
tidakdidapatkan edema. Indeks wayne didapatkan 24.

Pemeriksqqn lqborqforium
GDP = 111mg/ dlzjpp = 11,8 mg/ dl. BUN = 11rng/ dlkeratin serum =
0,54 {ng/ dl T3 total = 1.,8 ng/ dlT4 free = 2,0 ng/ dl (0,71,-1,85) TSHs =
0,4 pIU /ml (0,7'1.-1.,85).
Konsul jantung: didapatkan gambaran EKG irama sinus 68x/
menit RBBB inkomplet dan hipertensi stage 1 (iNC VI). Saran terapi
propanolol bisa diteruskan. USG thyroid disimpulkan suatu struma
diffusa bilateral. Diagnosis kerja saat itu didapatkan suatu hipertiroid
dengan struma diffusa suatu penyakit Graves'.
Terapi yang diberikan saat itu adalah: neo mercasole 3 x 5 mg dan
propanolol3 x 10 mg. Penderita kontrol rutin teratur di poli endokrin
sampai eutiroid tanpa obat. Pada tanggal 7 Oktober 2004 dikonsulkan
ke poli Rematologi oleh karena adanya keluhan di sendi lutut dan
tangan. Saat itu di poli Rematologi di diagnosa sebagai RA dengan
dasar adanya: nyeri dan kaku sendi pagi hari > 1jam, nyeri sendi lebih
dari 3 area sendi, simetris, kelainan radiologis yang khas lebih dari 6
minggu. Penderita itu mendapatkan methotrexat dimulai dengan dosis
minggu.
:,U^ftiap
PEMBAHASAN
Otoimunitas adalah respons imun terhadap antigen jaringan sendiri
yang disebabkan oleh hilangnya toleransi. Menurut mekanismenya
penyakit autoimun dibagi menjadi menjadi 5 (Karnen, 2003):
1. Penyakit otoimun melalui antibodi (misal: Anemia hemolitk
otoimun, Miastenia, penyakit Graves, Tirotoksikosis).
2. Penyakit otoimun melalui komplek imun (misal: SLE, Artritis
rematoid, skleroderma dll).
Good pasture syndrome,
3. Penyakit otbimun melalui sel T (misal: Slerosis multiple, Goiter,
Sindrom Guilain Barre, dan lainJain).

Seorang Penderita Artritis Rematoid dan Penyakit Graves 121


4. Penyakit otoimun melalui faktor humoral dan seluler (misal: DM
tipe I, Tiroiditis kronis/Hashimoto, Polimiositis-dermatomiositis,
dan lainJain).
5. Penyakit otoimun melalui komplemen (misal SLE).
Menur ut p emb agian p eny akit menuru t meksnisme maka p en derit a ini t ermasuk
melaluikompleks imun(AR) dan melalui antibodi (penyakit Graaes).
Penyakit Grave's yang juga merupakan penyakit autoimun
menunjukkan manifestasi dengan gejala utama hiperaktifitas kelenjar
tiroid (tirotoksikosis) dan bisa didapat pada semua umur tetapi paling
sering terjadi antara umur 30-40 tahun. Penyakit ini lebih sering
terdapat pada wanita daripada lelaki, dalam perbandingan 7 : L.
Faktor-faktor genetik mengambil peranan penting. Pada orang barat
frekuensi kejadian bertambah untuk mereka dengan haplotipe HLA-
88 dan HLA-DRw3, sedangkan pada orang Jepang dengan HLA-8w36
dan pada orang Cina dengan HLA-8w46. Ada suatu predisposisi
familier untuk mendapat penyakit Graves, penyakit Grave's kemudian
bisa menjelma sebagai penyakit Hashimoto. Penderita penyakit
primary myxedema kemudian juga bisa menjelma menjadi hipertiroid.
Karena penyakit Graves, penyakit Hashimoto dan primary myxedema
masing-masing bisa berubah manifestasinya maka ketiga penyakit ini
dianggap sebagai penyakit tiroid autoimun yang saling berhubungan.
Penderita penyakit ini menghasilkan otoantibodi IgG antireseptor TSH
(Ihyroid stimulating hormon). Otoantibodi tersebut akan merangsang
reseptor TSH seperti apabila TSH yang dihasilkan oleh hipofise
mengikat reseptor pada permukaan sel-sel folikel sehingga dihasilkan
hormon tiroid secara berlebihan. Kelenjar tiroid pada penyakit Grave's
juga diinfiltrasi oleh sel-sel limfosit fh -O+ yang aia"gu membantu sel
B untuk memproduksi otoantibodi. Terdapat tiga autoantigen tiroida
utama: tiroglobulin (Tg), peroksidase tiroidal (TPO), dan reseptor
TSH[SH-R). Otoantibodi terhadap antigen ini berguna sebagai
marker adanya penyakit tiroid autoimun. Patogenesis dari penyakit
tiroid mungkin melibatkan sensitisasi limfosit terhadap antigen ini.
Reseptor TSH sendiri adalah reseptor hormon polipeptida yang dapat
berperan secara efektif sebagai Otoantigen. Reseptor TSH mengalami
pembelahan posttranslasi dan membentuk suatu 2 struktur sub unit.
Bila sub unit A membelah dan diangkut oleh MHC, peptide reseptor
TSH kemudian terpresentasi dalam konteks molekul MHC class II.
Hal ini akan mengaktivasi sel T CD4+ yang spesifik antigen di mana
sel tersebut lepas dari pelacakan seleksi negati-f timus dan berada di

122 S ei-1 En dokrin-Metab olik


perifer. Aktivasi ini akan merusak self tollerance terhadap resptor
TSH. Mekanisme lainya adalah masuknya CTLA-4 yang melakukan
down modulafe respons imun. Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan
untuk menelan antigen (contohnya: tiroglobulin) dan jika dirangsang
oleh sitokin seperti interferon gama, akan mengeluarkan molekul
perrmrkaan sel kelas II (contohnya DR4) untuk menyajikan antigen ini
pada limfosit T. Penyelidikan sedang berlangsung untuk mengetahui
apakah proses ini diawali atau ditingkatkan oleh antigen eksternal
yang menyebabkan respons antibodi seluler melalui reaktivitas
silaqg dengan antigen kelenjar tiroid atau melalui ketidakseimbangan
imunologis primer atau sekunder. Faktor genetik memainkan suatu
peranan besar dalam proses autoimun. Insiden yang tinggi untuk
penyakit Grave's yaitu: HLA-B8 dan HLA-DR3 pada orang kaukasia,
HLA-Bw46 dhn HLA-85 pada orang cina dan HLA -817 padakulit hitam.
Adanya cacat genetik yang ditimbulkan antigen spesifik dalam limfosit
supresor T dapat merupakan dasar untuk penyakit tiroid autoimun.
Faktor lingkungan dapat juga memainkan peranan dalam patogenesis
dari penyakit autoimun tiroid. Virus-virus yang menginfeksi biakan
sel tiroid manusia menimbulkan ekspresi DR4 pada permukaan sel
folikel, kemungkinan sebagai suatu efek dari suatu sitokin seperti
interferon alfa. Peningkatan insiden dari penyakit autoimun pada
wanita pascapubertas dan premenopause, demikian juga tiroiditis
paseapartum menunjukkan adanya suatu peranan dari hormon seks
dalam penyakit tiroid autoimun (Greenspan,1995; Wiyono, 2005).
Diagnosis dari Penyakit Grave's dengan uji imunologi dilakukan
untuk menunjukkan otoantibodi yang terdapat pada masing-masing
' jenis penyakit tiroid. Pada penyakit Grave dapat ditemukan antibodi
LATS (long acting *ryroid stimulating) dalam 50% penderita dan TSI
(thyroid stimulatin g imuno globulun) dalarn 90 % penderita (Greenspan,
2004).
Tjokroprawiro, membuat 3 kriteria diagnostik penyakit Graves,
yaitu:.
1. Diagnosis dugaan penyakit Graves: struma, gejala umum, gejala
kardiovaskuler.
2. Diagnosis klinis penyakit Graves: diagnosis dugaan dengan Indeks
Wayne > 20 atau indeks New Castle > 40.
3. Diagnosis pasti penyakit Graves: diagnosis klinis ditambah FT4 > 1,
8 dan TSHs < 0, 1

Seorang Penderita Artritis Rematoid dan Penyakit Graves 123


Penderita ini memenuhi kriteria penyakit Graae's disease berdassrkan:
Indeks xlayne didapatkan 24, T3 totnl= 1,8 ng/dl, T4 free = 2,0 ng/dl (0,71-
1,85), TSHs = 0,4 pILI/ml (0,71-1.,85)
Penatalaksanaan penyakit Grave's disease(Greenspan 2004)
1. ob41 antitiroid (PTU, metimazol)
2. terupibedah
3. terapi iodine radioaktif
4. terapi medis lain (propanolol, nutrisi, barbiturat, natrium ipodat)'
Pafo kasus ini, untuk penyakit Grave-nya mendapatkan neo mercqsole
3 5 mg dan propanolol 3 L0 mg. Penderita kontrol rutin teratur di poli
endokrin samptai eutiroid tanpa obnt. Pada tanggal T oktober 2004 dikonsulkan
ke poti rematologi karena adanya keluhan di sendi lutut dan tangan'
'AR
merupikan penyakit inflamasi autoimun sistemik, kronis
dan eksaserbatif yang menyerang persendian dengan target jaringan
sinovia. Prevalensi AR berkisar antara 0,3-0,5%, di MalangJawa Timur
prevalensi AR pada penduduk desa dan kota dilaporkan sebanyak
0,5+0,6%. Pengaruh genetik dalam etiologi AR dipastikan oleh
pembuktian iduttyu asosiasi dengan produk gen kompeks
hirtoko-putibilitas mayor kelas II HLA-DR4. hampir 70% pasien
AR mengekspresikan HLA-DR4. Sebagai penyakit multifaktor dan
poligenik, agen spesifik penyebab AR belum dapat dipastikan, tetapi
lelas ada int-eraksi faktor genetik dengan faktor
lingkungan, hormon
estrogery sosial ekonomi rendah dan merokok juga merupakan faktor
risiko AR. Beberapa gen yang terkait patogenesis AR:

; MHC kelas II: HLA-DR, HLA-DQ, HLA-DP, HLA-DM'


. MHC kelas III: TNFq, C4, heat-shock protein 70.
q Gen hormon: prolactin, estrogen synthase.
. Gen respons imun non-MHC: T cell receptor, imunoglobulin G heaay
chain, imunoglobulin light chain, chemokine receptor CCR5.

Faktor lingkungan yang dianggap paling relevan pada patogenesis


AR adalah keberadaan dari virus dan bakteri atau produknya. Diduga
4da antigen eksogen yang mirip HLA kelas II yang mencetus AR'
Antigen tersebut diproses dan dipresentasi oleh APC kepada
"krog".,
sel TLDa+ autoreaktif. sel TCD+ autoreaktif yang teraktivasi kemudian
memengaruhi makrofag melalui iFNy untuk.memproduksi sitokin
proinflinasi seperti IL:L, IL-6,IL-18, TNF', PG, molekul adesi dan
blrl CSf. Berbagai sitokin proinflamasi mgningkatkan produksi NO,

124 S ei-1 Endokrin -Me tab olik


COX-2. MMP yang berperan pada proses keradangan, resorpsi tulang
dan destruksi sendi sel TCD4+ juga memengaruhi sel B menghasilkan
berbagai autoantibodi termasuk RF. Pembentukan kompleks imun
oleh RF akan mengaktivasi kaskade komplemen, kemudian merekrut
sel PMN, melepas molekul efektor untuk menimbulkan inflamasi dan
desffuksi sendi.
Manifestasi pokok pada AR yaitu adanya radang sendi yang
biasanya mengenai banyak sendi (poliartritis) secara bersama-sama
atau bergantian. Persendian AR mengalami kerusakan sehingga
meryqakibatkan deformitas. Radang pada AR tidak terbatas pada
sendinya, namun karena adanya uuik.rlitir yang disebabkan oleh
pengendapan kompeks imun, dapat melibatkan jaringan kulit, mata
dan paru-paru (ACR, 2002; Smolen,2003; Soeroso, 2004).

GEJATA KLINIS AR
Gejala khas AR adalah kaku sendi pada waktu bangun pagi, artritis
simetris, kebanyakan pada jari tangan. Pada fase lanjut bisa menyerang
sendi kaki, sendi bahu dan vertebra. Bisa manifestasi ekstraartikuler
seperti nodul rematoid, vaskulitis dan menyerang organ vital seperti
nefritis.

DIAGNOSIS
Diagnosis AR ditegakkan melalui kriteria ACR 1987 yang direvisi
sebagai berikut.
1. Kaku pagi: kaku sekitar sendi paling sedikit selama 1 jam pada
waktu pagi.
2. Artritis pada 3 atau lebih area sendi yang ditentukan dokter secara
simultan. Terdapat pembengkakan jaringan lunal dan efusi, bukan
hanya penulangan berlebihan. AdaL4 area sendi yaitu: interfalangs
proksimal, metakarpofalangeal, pergelangan tangan, siku, lutut,
pergelangan kaki dan metatarsofalangeal masing-masing kanan
dan kiri.
3. Artritis sendi tangan dan sekitarnya: pergelangan tangan,
metakarpofalangeal, interfalangs proksimal.
4. Artritis simetris: pada area sendi yang sama kanan dan kiri.
5. Nodul rematoid: nodul subkutan di atas penonjolan tulang, daerah
ekstensor, daerah juksta artikuler yang ditentukan oleh dokter.

Secirang Penderita Artritis Rematoid dan Penyakit Graves 125


6. Faktor rematoid serum: faktor rematoid yang positif dengan metode
apa pun. Hasil yang positif juga terdapat pada kurang dari 5%
kontrol orang normal.
7. Perubahan radiologi: kelainan khas pada tangan dan pergelangan
tangan berupa erosi dan dekalsifikasi pada sendi atau di dekatnya.
Butir i sampai 4 harus sudah berlangsung lebih 6 minggu. Untuk
menegakkan diagnosis AR perlu minimal4 butir kriteria. Kriteria ini
mempunyai sensitivitas 9'1.% dan spesihtas 7 4%.
Pada penderita ini telah memenuhi kriteria AR berdasarkan: nyeri
dan kaku sendi pagi hari > 1 jam, nyeri sendi lebih dari 3 area sendi,
simetris, kelainan iadiologis yang khas.

PENATALAKSANAAN RA (ACR, 2OO2;Smolen, 2OO3;


Soeroso,2OO4).

L. Non Farmakologi (Tim multidisiplin, Edukasi, perawatan di RS)


2. Terapi Farmakologi
. Analgetika
. OAINS
. DMARDs
. Kortikosteroid
.' Imunoterapi
Pada kasus ini, untuk AR-nya, penderita mendapatkan terapi non-
farmakologi dan farmakologi. Untuk farmakologi mendapat NSAID
(OAINS) dan DMARDs (methotrexat mulai 7,5 rng).
Hubungan antara penyakit tiroid dan penyakit autoimun yang
lain seperti AR, SLE, Sjogren, Cholangitis telah lama diungkap. Para
peneliti banyak menjumpai yang ada secara bersamaan di antara 2
atau lebih penyakit autoimun. Adapun keterkaitan itu diungkap oleh:
Shiroky melakukan penelitian terhadap 91 wanita yang terdiagnosis
AR dan dievaluasi dengan melakukan pemeriksaan fisik, tiroksin
serum, triidotironin, thyroid stimulating hormon, antinuclear antibody dan
rheumatoid factor. Tiga puluh persen penderita didapatkan disfungsi
tiroid. Kejadian tiroid pada AR 3x lebih banyak daripada penyakit OA
dan fibromialgia. Disfungsi tiroid tersebut tergantung pada umur, RF
dan antinuclear antibody dan lamanya penyakit' Penelitian oleh Chan
pada 64 penderita AR didapatkan 10, 9% dengan disfungsi tiroid.

126 S ei -1 En dokin- Metab olik


Pada 69 pasien SLE didapatkan24,6% dengan disfungsi tiroid. Pyne
rnenemukan 7% penyakittiroid denganl4% adanya tiroid autoantibodi
pada 300 penderita SLE. Weetman menemukan 51% adanya antibodi
tiroid pada 41 pasien SLE. Tunc melakdkan penelitian terhadap pasien
dengan sindrom Syogren, AR, AR bersamaan penyakit Syogren
dan autoimun tiroiditis. Disitu didapatkan \7% tiroid antibody pada
pasien AR dan 94% pada penyakit autoimun tiroiditis serta 11%
pada penyakit Syogren. Dugaan oleh Wellby tentang peran sitokin
IL-6 pada penderita AR dengan keterkaitan terhadap penurunan
T3 tidak terbukti. Brownstein mengungkapkan adanya pengaruh
infekSi yang meny€babkan terjadinya artritis pada penyakit autoimun
dengan dasar pada penyakit autoimun mudah terjadi infeksi dan
pernah ditemukanya Mycoplasms bacterium pada sendi penderita
AR. Tektonidou melakukan penelitian terhadap 168 pasien dengan
penyakit autoimun tiroid (120 dengan penyakit Hashimoto dan 48
dengan penyakit Grave's dan dievaluasi anarnnesis, fisik diagnostik,
darah lengkap, fungsi ginjal, fungsi hati dan pemeriksaan imunologi
seperti: anti dsDNA, antibody nuclear antigen (Ro/SSA, La/SSB, RNP,
Sm) dan antibodi anticardiolipin.
ANA positif ditemukan pada 58 pasien (35%). Dari yang ANA
positif tersebut 12% anti-dsDNA positif dan 12% anticardiolipin
positif (Tektonidou 2004). Anthony dkk. menemukan adanya kadar
free thyroxine yang tinggi karena keberadaan dari faktor rheumatoid.
Keterkaitan antara AR dan penyakit tiroid diduga terdapat pada
polimorfisme CTLA4 (The cytotoxic T lymphocyte antigen 4) eksonl.
CTLA-4 adalah molekul kostimulator yang terekspresi pada aktivitas
Limfosit T. CTLA-4 merupakan regulator negatif yang berperan penting
pada aktivasi sel T. CTLA-4 terekspresikan dengan kadar rendah atau
tidak terdeteksi pada sel T tidak aktif (resting). Gen CTLA4 yang lokasi
kromosomnya2q33 merupakan lokus dari penyakit AR dan penyakit
autoimun yang lain. Lokus ini juga menunjukkan adanya keterkaitan
dengan gangguan autoimun yang lain seperti halnya penyakit tiroid
autoimun. Pada studi kohort polimorfisme alel G dari CTLA4 (CTLA4/
G) mempunyai asosiasi dengan alel G dari autoimun tiroid. CTLA4
mempunyai asosiasi dengan HLA subgrub dari AR yaitu alel dari
HLA DR3 dan DR4 dengan penyakit autoimun tiroid (Vaidya,2002).
Deighton meneryrukan adanya kesamaan sexed sibships antara AR dan
penyakit tiroid pada 249 pasien AR dibandingkan kelompok kontrol
dengan melihat tipe HLA. Silman melakukan penelitian terhadap 504

Seor.ang Penderita Artritis Rematoid dan Penyakit Graves 127


anggota keluarga dari 58 penderita AR, ditemukan 6% mempunyai
penyakit tiroid, 20% adanya antibodi mikrosomal tiroid, 16% antibody
tiroglobulin. Penyakit autoimun multipel berkembang pada suatu
individu atau keluarga dengan gen tertentu seperti gen yang mengatur
autoimun termasuk autoimun poliendokrinopati sindrom tipe 1'.

Deteksi genetik yang unik dengan latar belakang DNA mungkin dapat
dengan mudah untuk mendeteksi polimorfisme atau mutasi termasuk
deteksi terhadap HLA, sitokin dan molekul imunoregulator pada
kandidat autoimun. Dengan melakukan deteksi genetik maka, pada
masg yang akan datang mungkin akan lebih memudahkan pengertian
tenting patofisiolologi autoimun dan desain terapi berdasarkan profil
genetik (Koga,2001).

PROGNOSIS
Penyakit Grave's dalam perjalanannya ditandai oleh remisi dan
eksaserbasi untuk jangka waktu yang lama (1-5 tahun). Penderita
penyakit Grave's bisa tetap eutiroid untuk jangka waktu yang lama
setelah terapi, bahkan ada yang menjadi hipotiroid. Pada penderita usia
lebih 40 tahun prognosis sangat tergantung pada keadaan jantungnya.
Penderita penyakit Grave's tanpa pengobatan yang efektif mempunyai
tendensi terjadinya krisis tiroid dikarenakan problem jantung.
Mortalitas karena penyakit inJeksi cukup besar, maka evaluasi seumur
hidup meruphkan indikasi untuk semua pasien penyakit Graves.
Prognosis A& bisa dilihat dari beberapa gambaran yang memiliki
makna prognostik. Pasien dengan titer faktor rematoid yang tinggi,
. CRP tinggi, haptoglobulin, nodus subkutis, bukti radiografis adanya
erosi mempunyai prognosis yang buruk. Remisi umumnya terjadi
pada tahun pertama. Kerusakan sendi terberat biasanya pada tahun
pertama. Angka mortalitas meningkat terutama pada penyakit sendi
yang berat dan mungkin sebagian besar disebabkan oleh in-feksi dan
perdarahan saluran cerna (Eisenb arth, 2004; Greenspan, 2004; Soeroso,
2004).
Pada kasus ini, penderita penyakit Grave's memerlukan evaluasi
seumur hidup meskipun sudah eutiroid. Gambaran penyakit Artritis
Rematoid penderita ini didapatkan erosi yang awal dan faktor rematoid
yang negatif. Pada penderita ini harus dievaluasi ketat terutama pada
1 tahun pertama supaya mendapatkan terapi yang adekuat sehingga
bisa tercapai remisi dan menurunkan mortalitas.

128 S ei-1- Endoki n-Met ab olik


DAFTAR PUSTAKA
Andres E, Limbach F, Goichot 8(2002). Silent thyroiditis associated with etanercept in
rheumatoid arthritis.Ann Rheum Dis 61:565-568.
Chan AT. A1 Shaffar Z, Bucknall RC (2001).Thyroid disease in systemic lupus
erythematosus and rheumatoid arthritis.Rheumatology 40:353-354.
Deighttrn CM, Fay A, Walker DJ$992). Rheumatoid artfuitis in thy'roid disease positive
and negative same-sexed sibships. Rheumatology 31,: \3-17.
Granel B, Serratrice J, Chaudier 8(2001). Multinoduler goiter with giant cell vasculitis of
thyroid arteries in a woman with temporal arteritis. Ann Rheum Dis50:811-812.
Greenspan FS(2004) The Thyroid Gland in: Basic and Clinical Endocrinology editor
Greenspan FS, Gardner DG Mcgraww Hill Companies inc New York pp 215-294
Harsini:n 5(2005) Tiroiditis dalam:Temu ih-dah dan s1'rnposiurn nasional IV penyakit
kelenjar Tiroid 23-24 april Semarang editor: Djokomoeljanto, Darmono, Suhartono
hlm 99-103
Hendromartono (2002).Pengalaman Klinis dalam Tatalaksan Hipertiroidisme dalam
Pendidikan kedokteran berkelanjutan XVIII Ilmu Penyakit Dalam Surabaya 7-8
September 2002 editor: Soebagijo Adi, Gatot Soegiarto, Ari Suijahyo hlm 146-151
KogaY, kuromari R, TakadaH(2001). Juvenile idiopathic arthritis associatedwithautoimml'ne
thyroid disorder and autoimmune cholangitis.Rheumatology 40:942-943.
Kresno siti Boedina (2003) Perryakit autoimun dalam: Imunologi: Diagnosis dan prosedur
laboratorium edisi keempat penerbit FK UI jakarta hlm 286-304
Mackay IR, Rosen FS (2001). Autoimmune disease:advance in Immunology.N Engi i Med
345(5):340-350.
Pyne D, Isenberg DA (2002).Autoimmune thyroid disease in systemic lupus erytematosus'
Ann Rheum Dis 61,:70-72..
Roitt ivan(2004). Imunologi/pengarang, Ivan Roitt; alih bahasa, Alida Harahap...(et al)
' Ed.8-Jakarta: Widya medika, hlm362-383
Sakaguchi S, Sakaguchi N((1990).Thymus and autoinrmune: Capacity of the Normal
Thymus to produce pathogenic self-reactive T cells and condition required for iheir
induction of autoimmunity disease. J Exp Med 172:537-545.
Shilman AJ, Ollier WE, Bubbel MA(1989). Autoimmune thyroid disease and thyroid
, autoantibodies in rheurnatoid arthritis patients and their families.Br J Med28:19-27.
Shiroky JB, Cohen M, Ballachey ML(1993). Thyroid dysfunction in rheumatoid arthritis:
a controlled prospective survey. Ann Rheum Dis 52:454-456.
Soeroso J(2004). Terapi DMARDs pada Artritis Reumatoid.dalam Pendidikan kedokteran
berkelanjutan XVIII Ilmu Penyakit Dalam Surabaya 17-18 Juli 2004 editor: Soebagijo
Adi, Herry Purbayu, Ari Sutjahyo hlm 51-69
Teknidou MG, Anapliotou M, Vlachoyiannopoulos P(2004). Presence of systemic
autoimmune disorders in patients with autoimmune thyroid disease. Ann Rheum
Dis 63:1159-1161.
Tjokroprawiro A (1997).Penyakit Grave's (Patogenesis, Diagnosis dan Terapi) dalam
kumpulan naskah Temu ilmiah & symposium Nasional II Penyakit kelenjar Tiroid,
editor; moejjono RD, Darmono, Suhartono, hlm255-271.
Tunc R, Gonen MS, Acbay O (2004).Autoimmune thyroiditis and thyroid antibodies in
primary Sjogreh's syndromee: a case control study. Ann Rheum Dis 63:575-577.
Vaidya B, Pearce SHS, Chrlton 5(2002). An Association between the CTL A4 exon 1
polymorphism and early rheumatoid artfuitis with autoimmune endocrinopathies.
Rheumatology 41:180-1.83.

Seorang Penderita Artritis Rematoid dan Penyakit Graves 129


Weerman AP, Walport MJ (1987). The association of autoimmune thyroiditis with
systemic lupus erythematosus.Br J Med 26:359-36L.
Wellby ML, Kennedy jA, Pile K(2001). Serum interleukin-6 and thyroid hormones in
rheumatoid arthritis. Metabolsm 50( 4):463-467
.

Withrington RH, seifert MH (1981).Hypothyroidism associated with mixed connective


tissue disease and its response to steroid therapy. Ann Rheum Dis 40: 315-316.
Wiyoilo P(2005)Patogenesis penyakit Grave's dalam Temu ilmiah dan symposium
nasional lV penyakit kelenjar Tiroid 23-24 april Semarang editor: Djokomoeljanto,
Darmono, Suhartono hlm 49-52

130 Sei-1 En dokin-Metabolik


Seorong Penderitq Tirotoksikosis dengon
Periodik Porqlisis*

Jongky Hendro P, Agung Pronoto


Divisi Endokrinologi don Metobolisme - Bogion llmu Penyokit Dolom
RSU Dr. Soetomo - Fokultos Kedokteron Universitos Airlonggo, Suroboyo

PENDAHUTUAN
Manifestasi klinis yang utama dan paling sering dijumpai dari suatu
kondisi hipokalemia adalah manifestasi pada sistem neuromuskuler.
Namun hipokalemia dapat juga melibatkan organ-organ lain seperti
sistem pencernaan dan kardiovaskuler. Penderita dengan kelainan
hipokalemia sering kali datang dengan keluhan kelemahan anggota
badan, terutama pada ekstremitas bawah. Pada kondisi hipokalemia
yang lebih berat sering terjadi kelemahan pada keempat ekstremitas,
bahkan sampai berakibat fatal dengan terjadinya kelemahan pada otot-
otot.pernapasan atau otot jantung (Ahlawat, 1999).
Meskipun banyak sekali penyebab dari hipokalemia, namun
kelainan Tirotoksikosis Periodik Paralitik (TPP) adalah kelainan
yang cukup sering dijumpai sebagai penyebabnya. Di negarabarat,
periodik paralitik sering kali terkait dengan kelainan familial. Namun
'di kawasan Asia, khuzusnya untuk ras=Mongoloid, TPP sering kali
ditemukan sebagai penyebabnya. Namun kelainan ini juga terjadi pada
ras kaukasiary dan ras kulit hitam, walaupun insidennya jauh lebih
kecil, yakni sekitar 1,,8-8,8% di kawasan Eropa dibandingkan dengan
di Asia yang insidennya mencapaig0%. Khususnya diJepang dan Cina
angka kejadiannya berkisar antara 1.,9-8,ff/o pertahun. TPP lebih sering
terjadi pada pria dibandingkan wanita, dengan perbandingan 20 :1,.
Untuk onset usia penderita sering kali dijumpat pada usia penderita
antara 20-40 tahun. Hal ini sesuai dengan onset usia untuk penyakit
Grave's (Wimmer, 2001; Hsieh, 2004).

* Laporan kasus

1.47
Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu TPP dibutuhkan
anamnesis serta pemeriksaan fisik serta data penunj ar.gyang baik dan
teliti. Berikut ini akan kami laporkan seorang penderita tirotoksikosis
yang mengalami kelemahan pada keempat anggota geraknya terkait
dengan kondisi hipokalemia yang berat.
n

KASUS
Seorang penderita, Tn.N, 40 tahun, suku ]awa, bekerja sebagai buruh
pabrik di Surabaya, datang dengan keluhan utama kelemahan pada
keempat anggota badan. Dari anamnesis didapatkan bahwa kelemahan
keempat anggota badan terjadi sejak 7 jam sebelum masuk rumah sakit,
terjadi saat penderita bangun tidur di pagi hari. Sebelumnya penderita
membetulkan kandang ayam dan beraktivitas biasa tanpa keluhan
lemah anggota badan. Tidak didapatkan nyeri kepala, mual, muntah,
demam maupun kejang sebelumnya. Keluhan lemah badan juga
disertai dengan dada berdebar. Akhir-akhir ini penderita mengeluh
sulit tidur, gelisah, lemas, penat, gemetar dan sering berkeringat. Dari
riwayat penyakit dahulu didapatkan bahwa penderita pernah MRS
di RSUD Dr. Soetomo karena hipertiroid 1 tahun yang lalu, ke poli
endokrin RSUD Dr. Soetomo karena hyperthyroidnya dan kontrol
tidak teratur. Obat yang diberikan dari poli endokrin: PTU 3 x 200m9,
dan Propranolol3 x 20mg.
Dua minggu terakhir tidak rninum obat, obat habis belum sempat
kontrol. Tidak ada riwayat DM dan hipertensi serta kelainan jantung
pada penderita. Tidak ada riwayat stroke sebelumnya.
" Dari data pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum yang
kompos mentis, dengan GCS 4 5 6. tekanan darah 130/80, dengan nadi
88 kali permenit reguler, isi cukup, dengan frekuensi pernapasan 20
kali per menit. Suhu axiler 37,3 oC. Pada pemeriksaan kepalaleher
didapatkan eksoptalmus bilateral dengan pupil bulat isokor, dengan
refleks cahaya yang positif normal, tidak didapatkan anemis, ikterus,
sianosis maupun sesak napas. Pembesaran kelenjar tiroid yang difus
kanan dan kiri, kenyal, mobile. Dari toraks didapatkan suara jantung
S1S2 tunggal, tanpa adanya suara tambahan. Dari paru-paru suara
napas vesikulerfvesikuler, tanpa danya ronkhi maupun zuheezing.
Abdomen: flat, soepoel, hepar tidak teraba, lien tidak teraba, nyeri
tekan @, bising usus + normal, ekstremitas: akral hangat, berkeringat,
tidak didapatkan sianosis, Motorik:.ekstremitas atas 3f 3, ekstremitas

148 S ei -1 En dokin- Met abolik


bawah2f sensorik dalam batas normal. Refleks fisiologis: BPR: +1/ +1,
2,
KPR +1/+1, APR +1/+1. Refleks patologis: Babinsky-/-, Chaddock-/-
Indeks Wayne: 22. didapatkan dari adanya keluhan tremot, gelisah,
berkeringat, berdebar, lemah, dan eksopthalmus.
Laboratorium; Darah lengkap: Fl.b; 11,, 3 gr/ dL,leukosit ; 10, 200/
mm3TtrombosiU 323.000, HCT; 0,34, GDA; 153 g/ dL, SGOT: 22 p./L,
BUN: 31 tngl dL, serum kreatinin: 1,2 mgl dL, Kalium: 1.,53 mEq/L,
Natrium L40 rr.Eq/L. Analisis gas darah: p}{: 7,45; pCO2: 38 mmHg;
pO2: 1.02 mmHg; HCO3: 24; BE:-I, 8. Elektrokardiografi: Irama sinus
99 x/menit, aksis normal, AV Blok derajat satu. Foto Thoraks:
Tidat ditemukan kelainan. Dari data-data di atas dibuat diagnosis:
Tirotoksikosis Periodik Paralitik Hipokalemia. Terapi: Tirah baring,
koreksi hipokalemia dengan KCL 50 mEq/1,2 jam dalam 500 ml RL.
Diet tinggi protein 1900 kalori, ekstrabuah dan kaldu. PTU 3 x 200 mg
p.o. dan KSR 2 x 1 tab p.o.

Hari Ke-2, tglT-5-2005


Keluhan: tangan dan kaki sudah dapat digerakkan, namun masih
belum kembali kuat seperti biasanya, tidak berdebar, tidak gelisah,
tidur nyenyak, nafsu makanbaik, tidak ada mual dan muntah: Keadaan
umum kompos mentis. tanda vital baik, ekstremitas atas motorlk 4f 4,
ekstremitas bawah motorik 4f 4, rcfleks APR dan KPR normal.
Perneriksaan laboratorium didapatkan : Darah ler"r gkap : Hb : 1L,9 L:10,9
T:117PCV:24,5%. Elektroli| K+postkoreksi: 2,4mBqf L, Na:138
^Eq/
L, GDP: 85 g/-dL,2JPP:123 g/dL Cholesterol total: 11.9,5K:0,9 mgf dL,
BUN: 24,9 mg/ dL, SGOT: 20 1:./L, SGPT: 15 p./L. TSHs: 0,1 (0,4-0,7);
'FT4:3,27 (0,8-2,0).
Pemeriksaan Jantung ECG: irama sinus 80 x/menit, nksis normsl.
Diagnosis Tirotoksikosis Periodik Paralitik Hypokalemia membaik.
Terapi: Tirah baring, diet tinggi protein 1900 kal, ekstrabuah, drip KCL
50 rnEq/24jam, KSR 2 x 1 tablet. p.o. PTU 3 x 200 mg p.o. propranolol
2x20mg.po.

Hari Ke-3, tgl8-5-2005


Keluhan: penderita merasa kekuatan tangan dan kaki sudah lebih kuat
dari sebelumnya. Tidak ada keluhan berdebar, gelisah dan penderita
dapat tidur nyenyak.
Keadaan Umum: kompos mentis, tanda vital baik, ekstremitas motorik
atasSf 5, ekstremitas motorik bawah: 5/5, refleks KPR/APR normai.

Seorang Penderita Tirotoksikosis dengan Periodik Paralisis 149


Laboratorium: K: 2,9 mEq/ L, Na:142 mEq/ L.
Diagnosis: Tirotoksikosis Periodik Paralitik Hipokalemia membaik.
Terapi: diet tinggi proteiry 1900 kalori, ekstrabuah. KSR 2 x L tablet.
PTU 3 x 200 mB p.o. propranolol2 x 20 mg. p.o.

Hari Ke-5, tgl 10-5-2005


Keluhan: Penderita sudah pulih, sudah dapat berjalan bolak-balik ke
kamar mandi, nafsu makan baik, tidak ada keluhan berdebar, tidak
gelisah, penderita dapat tidur nyenyak.
Keadgan umum:kompos mentis, tanda vital baik, ekstremitas motorik
atas 5 f 5, motorik'baw ah 5 / 5, refl eks-refl eks fisiologis normal.
Laboratorium: K*: 3,9 mEq/L; Na: 139 mEq/L; Ca 10,4 mg/ dL (9-12);
P:3,4mg/dL (2-5).
Penderita dipulangkan, kontrol ke poli endokrin dan poli saraf.
Terapi Pulang: PTU 3 x 200 mg; Multivit: 2 x 1 tablet. Propranolol2 x
20 mg. p.o.

PEMBAHASAN
Tirotoksikosis adalah suatu sindrom klinis hipermetabolisme yang
disebabkan oleh peningkatan kadar hormon tiroksin bebas (free tyroksin /
FTa), triodotironin bebas (free triiodotlryronin/F\) atau keduanya. Efek
hipeimetabolik dari tirotoksikosis memengaruhi semua sistem organ,
hormon tiroid dalam keadaan berlebih menyebabkan peningkatan laju
metabolisme yang merupakan tanda-tanda klinis dari tirotoksikosis.
Gejala utama dari tirotoksikosis adalah dijumpainya keluhan berdebar,
lelisatr, berkeringat, hiperdefekasi, dan tidak tahan dengan cuaca panas.
Pada pemeriksaan fisik sering dijumpai adanya takikardia, penurun€u:l
berat badan walaupun nafsu makan meningkat; menurunnya gerakan
kelopak mata, tremor halus dan kelemahan otot. Pada sistem saraf
pusat, tirotoksikosis sering kali menimbulkan manifestasi klinis
berupa peningkatan sistem saraf simpatis berupa kegelisahan, tremor
serta takikardia (Ginsber g, 2003). Untuk menegakkan diagnosis secara
klinis berdasarkan keluhan serta tanda-tanda klinis yang dijumpai
pada penderita sering kali digunakan indeks Wayne ataupun indeks
new castle (Hendromartono, 2002). Pada kasus yang meragukan,
atau subklinis,'pemeriksaan faal thyroid TSH dan FT4 diperlukan
untuk menegakkan diagnosis. Diagnosis tirotoksikosis ditegakkan
bila didapatkan tanda-tanda klinis. yang disertai nilai TSHs < 0,1

150 S ei-1 Endokin- Met ab olik


serta peningkatan FTa. Sedangkan menurut Tjokroprawiro, penyakit
Grave dapat ditegakkan dengan memenuhi kriteria sebagai berikut
(Tjokroprawho,1997).
1- Diagnosis dugaan penyakit Grave: adanya struma, gejala umum,
gqiala kardio-vaskuler
2. Dignosis klinis penyakit Grave: diagnosis dugaan, indeks Wayne >
20 atau indeks new castle > 40
3. Diagnosis pasti penyakit Grave: diagnosis klinis ditambah nilai FT4
> 1,8 dan TSHs < 0,1.

Pads'kasus ini diagnosis tirotoksikosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis


yang dijumpai, yaitu adanyakeluhanberdebar,berkeringat, gelisah, sulit tidur,
eksoptalmus, kelemahan anggota bqdan, tremor halus, pembesaran kelenjar
tiroid serta telapak tanganyangberkeringat, sedangkan dnrihasilpemeriksaan
Iabor(ftorium didapntkan nilai TSHs < 0,1 dan peningkatnn kadar FTa.

Kelemahan sistemik akut adalah keluhan yang paling sering


dijumpai di unit-unit gawat-darurat. Dari sini dapat dibuat diagnosis
bandingyang luas. Paralisis hipokalemi sebagai salah satu diagnosisnya
patut dipertimbangkan apabila dijumpai penderita dengan onset
kelemahan ekstremitas yang mendadak, murni kelemahan motorik,
tanpa gangguan refleks, tanpa disertai gangguan kesadaran, gangguan
spinehter dan pada pemeriksaan laboratorium didapatkan gambaran
hipokalemi (Akhlawat, 1999; Barnabe, 2004). Pada populasi negara
Asia, hipokalemi periodik paralisis dijumpai sebagai penyebab kondisi
hipokalemi yang disertai dengan kelemahan anggota gerak. Insidennya
,berkisar 75% dari seluruh kasus (Dixon,2002; Hirudaraj, 20p3).
Periodik paralisis hipokalemia dapat dibagi menjadi periodik
paralisis primer dan periodik paralitik sekunder. Periodik paralisis
primer adalah periodik paralisis hipokalemia yang disebabkan oleh
kelainan genetik atau Familial Periodic Paralysis, yaitu suatu kelainan
autosomal dominan, penderita biasanya mengalami pada usia muda,
sering kali terjadi pada ras Caucasian dan jarang sekali terjadi pada
usia di atas 25 tahun. Serangan sering kali dipicu oleh riwayat diet
tinggi karbohidrat, ataupun aktivitas fisik yang melelahkan dan
diikuti dengan periode istirahat. Diagnosisnya ditegakkan dengan
hasil pemeriksaan kalium darah yang rendah pada saat serangan akut
paralisis terjadi, sering kali terjadi pada dewasa muda, adanya riwayat
keluarga yang menderita keluhan serupa dan dengan menyingkirkan

Seorang Penderita Tirotoksikosis dengan Periodik Paralisis 151


penyebab-penyebab periodik paralisis sekunder yang lain (Ahlawat,
1999; Hsieh,2004).
Tirotoksikosis merupakan penyebab tersering dari periodik paralisis
sekundqr, terutama di kawasan Asia. Gambaran klinis dan laboratoris
suatu paralisis periodik terkait tirotoksis (TPP) menunjukkan
gamhran yang mirip dengan familial periodik paralisis kecuali adanya
keterkaitan dengan kondisi hipertiroid. Gambaran klinis yang sering
dijumpai adalah adanya kelemahan otot ekstremitas yang mendadak,
tanpa disertai gangguan kesadaran dan gangguan sensorik. Terjadi
penu/unan refleks-refl eks tendon. I(eterlibatan otot-otot bulbar, okuler
dan pernapasan jarang sekali didapatkan, meskipun pada beberapa
kasus dilaporkan terjadi. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
kondisi hipokalemi yang sering kali disertai hypophospatemia dan
hip oma gne s emi a. P ada pemeriksaan rekam j antung d apat menunj ukkan
gambaran yang sangat bervariasi, mulai gambaran gelombang U,
prolong QT, sinus takikardia, atrial fibrilasl sampai gambaran AV blok.
Beberapa faktor dapat memicu terjadinya TPP, seperti diet tinggi
karbohidrat, aktivitas fisik yang meningkat dan diikuti dengan
istirahat, paparan dengan suhu dingin dan konsumsi alkohol. Kejadian
TPP cenderung terjadi pada cuaca panas dan insidennya meningkat
pada akhir minggu. Hal ini terkait dengan konsumsi minuman dingin
dan manis pada-.kondisi cuaca panas, dan aktivitas fisik yang berlebih
serta pola makan tinggi karbohidrat serta alkohol pada akhir minggu
(Hirudaraj, 2003; Hsieh, 2004; Phakdeekicharoen, 2004).
Pada kasus ini pendeita jatuh dalam kondisi paralisis pada ke-4 ekstremitas
,tanpa disertai gangguankesadaran, didapatkanpenurunan refleks dari tendon,
serta tidak didapatkannya gangguan saraf sensoris.

Konsentrasi elektrolit tubuh tidak sama antara intra dan ekstrasel.


Agar zat-zat elektrolit tersebut senantiasa dalam suatu keseimbangan,
maka diperlukan suatu sistem transportasi yang dapat memindahkan
elektrolit keluar masuk sel secara berkesinambungan. Perpindahan
zar terlarut melalui sebuah membran sel yang melu*a.t perbedaan
konsentrasi dan muatan listrik disebut sistem transpor aktif. Sistem
transpor ini berbeda dengan sistem transpor pasif yang hanya
mengandalkan atas perbedaan konsentrasi, muatan listrik dan tekanan
antara kedua sisi membran sel. Pada transpolaktif diperlukan energi
berupa adenosin tripospate (ATP). Sistem transport aktif yang umum

152 S ei-1 En dokin- Me tab olik


terjadi adalah sistem transpor yang diaktivasi oleh Na-K (pompa
sodium-kalium): Sistem ini memindahkan kalium dan natrium
keluar masuk ke dalam sel melewati membran sel dengan bantuan
suatu protein atau lippoprotein dengan bantuan energi berupa ATP
(Fontaine, 2000). Konsentrasi kadar kalium darah ditentukan oleh
kaliuin eksternal (total body potassium content) kadar kalium dan
kalium internal (redistribusi kalium tubuh). Kadar kalium ekstemal
dipengaruhi oleh ekskresi kalium di ginjal, kehilangan melalui
saluran cerna, serta kulit. Sedangkan keseimbangan kalium internal
dipengaruhi oleh kerja fisik, kadar insulin, serta aktivitas dari pompa
sudium-kalium (Fontaine, 2000). Mekanisme hipokalemi salah satunya
terjadi karena adanya perpindahan kalium yang mendadak ke dalam
otot karena meningkatnya aktivitas pompa natrium-kalium. Kondisi
Hipokalemia adalah suatu kondisi di mana nilai kalium serum yang
lebih rendah dari 3,5 mmol/I. Sering kali tanpa keluhan bila nilai
kalium masih berkisar 3-3,5 mmol/1. Namun pada kondisi hipokalemi
yang lebih berat di mana nilai kalium serum < 2,5 mmolf L, sering kali
menimbulkan keluhan pada penderita, dan kelemahan ekstremitas
adalah salah satunya. Hipokalemi dapat disebabkan oleh keluarnya
kalium tubuh dan perpindahan kalium serum masuk ke dalam sel.
Hilangnya kalium melalui ginjal dan saluran cerna adalah penyebab
tersering kondisi hipokalemi (Raste gar, 2001. ; Lin, 2001).
Pnda penderita ini jatuh pada kondisi hipo-K* tanpa disertai tanda-tqnda
kehilangan K* melalui ginjal ataupun saluran cerna, sehingga hipo K* yang
terjadi disebabkqn oleh redistibusi K* ke dalam intrasel

Pada penderita tirotoksikosis terjadi peningkatan ikatan dari


csthecolamines, dan aktivitasnya pada reseptor-reseptor jaringan.
Peningkatan aktivitas cathecolamine ini menyebabkan peningkatan
rangsangan pada reseptor P-2 adrenergic di sel-sel otot yang
mengakibatkan peningkatan aktivitas dari sodium-kalium ATP-ase
yang berujung pada kondisi hipokalemia dan penurunan kemampuan
sel-sel otot untuk berdepolarisasi dan berkontraksi saat menerima
rangsangan. Aktivitas ini terjadi pada penderita yang disertai atau
tanpa disertai periodik paralisis, namun hanya pada individu-individu
yang memiliki kecenderungan untuk terjadi periodik paralisis
hipokalemi, peningkatan aktifitas sodium-kalium ATP-ase-nya lebih
tinggi walaupun pada kondisi derajat hipertiroid yang sama. Pada

Seorang Penderita Tirotoksikosis dengan Periodik Paralisis L53


kondisi hipertiroid terjadi kepekaan jaringan terhadap rangsangan/3-
'. adrenergik, yang juga akan berakibat terhadap meningkatnya aktivitas
Na*-K*-ATPase. (Fontain e, 2000; Wimmer, 2001).
Dari beberapa laporan dikatakan bahwa terdapat kelainan genetik
yang mendasari terjadinya TPP. Hal ini pula yang menjelaskan
mengnpa TPP terjadi lebih banyak pada golongan etnik dan jenis
kelamin tertentu. Seperti halnya yang dilaporkan oleh suatu penelitian
di |epang bahwa HLA-DRw8 5 ditemukan lebih sering pada populasi
penderita TPP, namun hal ini dibantah oleh penelitian di Amerika
Selatan, di mana jumlah l{LAB46/840 atau HLA DRw8 5 ditemukan
lebih tinggi pada orang Meksico tanpa kelainan TPP dibandingkan
dengan yang disertai TPP. Di tengah ketidakpastian mengenai mutasi
genetik penyebab dari TPP, penelitian terakhir yang dilakukan oleh Dias
da Silva berhasil mengidentifikasikan mutasi yang terjadi di gen sub
unil channel potassium (RB3H-KCNE3) yang bertugas menyandi untuk
channel potassium di muskulo-skeletal pada penderita TPP, sehingga
dapat dikatakan terjadi channelopathy pada penderita-penderita TPP
(Hsieh, 2004; Phakdeekitcharoen, 2A04).
Periodik paralisis hipokalemia terkait tirotoksikosis dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan yang cermat dan teliti mulai dengan
anamnesis mengenai keluhan kelemahan otot yang bersifat mendadak
terutama dijumpai pada ekstremitas atas, murni kelemahan motorik,
tanpa gangguan refleks, tanpa disertai gangguan kesadaran, umunya
ras Asia, laki-laki, tidak ada riwayat anggota keluarga yang menderita
kelainan serupa. Juga anamnesis mengenai keluhan-keluhan
tirotoksikosisnya sekaligus melakukan skoring sesuai dengan indeks
-Wayne.
Untuk menyingkirkan penyebab lain dari kondisi hipokalemi,
perlu juga untuk disingkirkan adanya riwayat diare, muntah, ataupun
' kemungkinan 4danya gangguan ginjal. Dari pemeriksaa fisik mungkin
dapat dijumpai adanya struma, kelemahan motorik dari ekstremitas,
tanpa disertai munculnya refleks-refleks patologis. Sedangkan pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan gambaran hipokalemi, serta
nilai TSHs < 0,1 dan FT4. > 1,8 (Manoukran,1999; Akhlawat, 1999;
Barnabe,2004).
Gambaran EKG seperti ST depresi, gelombang-Tf U, sefta AV-blok
derajat satu, menguatkan diagnosis TPP dengan sensitifitas sebesar
97% dan spesivitas sebesar 65% (Barnabe,2004;.Loh, 2005s).
Pada penderita ini diagnosis TPP ditegakkan dengan adanya kelemahan ke'
4 anggota gerak ynng mtndadak tanpa'gangguan kessdaran, didahului oleh

154 S ei-1 Endokin- Metab olik


aktiaitas fisik, tidak ada riwayat kelunrga yang menderita kelainan serupa,
adanya tands-tanda tirotoksikosis, serta pemeriksqan kadsr kqlium yang lebih
rendah dari batas bawah normal.

Penanganan TPP ditujukan pada kondisi hipertiroidnya, faktor-


faktor yang memicu terjadinya TPP seperti diet tinggi karbohidrat,
aktivitas fisik yang berlebihan, serta konsumsi alkohol yang berlebihan
harus dihindari. Namun pada kondisi akut dan mengancam jiwa, atau
kadar K* < 2,5 pemberian asupan kalium intravena sangatlah diperlukan,
mes$pun harus dengan pengawasan yang ketat untuk menghindari
hiperkalemia yang disebabkan oleh efek rebound phenomena. Koreksi
hipokalemia yang ringan asupan kalium diberikan dengan dosis 90-130
meq dalam 24 jam, diberikan dalam dosis terbagi. Untuk menghindari
serangan berikutnya, dapat dipertimbangkan untuk diberikan sediaan
penyekat-B yang memiliki efek anti-hiperadrenergik. Pemberian
preparat propranolol 3 mg/kg BB dalam dosis tunggal dapat menekan
efek perpindahan kalium dan fosfat ke intrasel dan menghentikan
gejala neuromuskuler pada2 jam pertama (Hua Lin, 2000; Wimmer,
2001.; Lin, 2001).

Pada penderits ini koreksi hipokalemia intrsaena dengan sedinan KCI 50


meq/12 jam diberikan karena adanya kondisi hipokalemia berat (K*: 1, 53)
yang menimbulkan gangguan jantung (AV blok derajat-1.) yang mengancam
jiwa, dilanjutkan dengan pemberian sediaan tsblet kalium. Di samping itu
diberikan pieparat propranolol 2 x 20ffi9 untuk menghambat perpindahan K*
ke intrasel. Pemberian PTU 3 x 200 mS untuk koreksi kondisi hipertiroidnya.
.Pemberian nutrisi diberikan asupan diet tinggi protein, cukup kalori dengan
pertimbangan untuk mengkoreksi hipokalemia dan menghindari faktor
pencetus terladinya serangan PPT ulang.

SI,MMARY
It has been reported, a male 40-years old- javanese who came to the
emergenqr unlt with weakness on the upper and lower extremity. It
was appear in the moming after he did some physical activity and took
a sleep at night. He also got a history of tirotoksikosis and regulary
control to endqcrinology out patient department for the last two years,
and got PTU 3 x 200 mg and propranolol3 x L0 mg for the medication.-
From the scoring of Wayne's index was 2Z.Physical examination were

Seorang Penderita Tirotoksikosis dengan Periodik Paralisis 155


found diffuse enlargment of thyroid gland, exopthalmus, and flacid
paralysis on fourth of his extremity, tendon reflex was decreased,
without any disturbance in sensoric test. From laboratory result showed
decrease in TSHs and increasing FT4, severe hypokalemia'. 1,53, and
hypophospatemia. From electrocardiography showed left ventrikel
hypeltrophy and first degree AV block. Based on the data, we conclude
that the-patient got thotoksikosis periodic paralysis hypokalemia
which was getting better with the therapy of PTU 200 mg three times
daily, propranolol 20 mg two times daily, rapid potassium correction
withjntravenous KCI 50 meq for 12 hours. And oral potassium two
times daily. The rebound hyperkalemia didn't occure in this patient.
the patient discharge from the hospital after got 5 days treatment in
neurology ward.

DAFTAR PUSTAKA
Ahlawat. SK Sachdev A (1999), Hypokalemic Paralysis. Postgrad MedJ;75:193-197
Barnabe C (2004), Acute Generazide Weakness Due to Tirotoksikosis Periodic Paralysis,
CMAI;172:4-6
Dixon AN, Jones R (2002), Tirotoksikosis Periodic Paralysis In A White Woman. Postgrad
MedJ;78:687-688
Fontaine B, Chauveau D (2000), Acquired and Genetic Periodic Paralysis in The Kidney
Physiology & Pahophysiology, ed: Selden D W, 3th ed. Giebisch G. Phyladelphia:
Lipincott William & Wilkins, 170L-17L0
Ginsberg J (2003). Diagnosis and Managenent of Grave's disease. CMAI; 168: 575-584.
Hendromartono, (2002). Pengalaman Klinis Dalam Tatlaksana Hiperiroidisme dalam
Pendidikan Kedokteran Berkelanjuian XVII Itmu Penyakit Dalam Surabaya 7-8
September 2002, editors: Soebagjo Adi, Gatot Soegiarto, Ari Soetjahjo: L46-1,57
B P, Baig MW (2003), Tirotoksikosis Periodic Paralysis on Unusual Presentation
rllirudaraj
of Weakness.Emerg Med J; 20:L8-20
Hsieh HC Kun SW et.al (1999), Tirotoksikosis Periodic Paralysis: an overview. Ann
Saudi Med 2004;24 (6):418-4?2
Hua L, Feng Lin Y, (2001), Propranolol Rapidly Reverses Paralysis Hypokalemia and
hypophospaternia in Tirotoksikosis Periodic Paralysis Hypokalemia. American
Journal of Kidney Disease;37:. , .. .
.

Lin SH, Lin Y F, Halperin M L (2001). Hypokalemia and Paralysis, Q I med; 94:113-139
Loh KC. Pinheiro L. Ng IG, (2005), Tirotoksikosis Periodic paralysis Complicated by
Near Fatal Ventricular Arrhythmias. Singapore rned journal; 46:88-89
Manoukian MA, Foote JA. et.al (1999), Clinical and Metabolic Features of Tirotoksikosis
Periodic Paralysis in 24 episodes, Arch Intern Med;159 601.-606
Phakdeekitcharoen B, Ruangraksa C, Radinahamed P (2004), Hypokalemia and Paralysis
in Thai Population, Nephrol Dial Transplant ; 19 : 2013-10L8
Sibernagl S, Lang F, (2000), Abnormality of Potassium Balance in Color atlas of
Pathophysiology, Thieme New York,333 seventh avenue. USA

x56 Se i - 1 En dokrin - Me t ab olik


Tengan C H, Anfunes A C et.al, (2004). The Exercisetest as a monitor of disease status in
hypokalemic periodic paralysis. J Neurol Neurosurg Psychiatry; 75:497499
Tjokroprawiro A (1997).Penyakit Grave's (pathogenesis Diagnosis dan Terapi) dalam
kumpulan naskah Temu ilmiah & Symposium Nasiorral II Penyakit kelenjar Thyroid,
editor: Moeljono RD, Darmono, Suhartono hal 255-271.
Wilson LM (1992) Acid-Base Disturbance in Pathophysiology, Clinical Concepts of
Djsease ProcesSes. 4thed, Editors: Sylvia P, Lorraine MW. Mosby year book, Inc
WimmerPJ, MonovAE, BredenbergAE (2001). TirotoksikosisPeriodicParalysis. Hospital
Physician 69: 51-57

Seotang Penderita Tirotoksikosis dengan Periodik Paralisis 1.57

Anda mungkin juga menyukai