Disusun Oleh:
Muhammad Fitrizal
Pembimbing:
Dr. dr. Joni Anwar, SpP
2018
HALAMAN PENGESAHAN
Referat
Pseudo – Croup Acute Epligotitis
Oleh :
Muhammad Fitrizal, S.Ked
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang Periode
Palembang,
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepadaTuhan atas berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat dengan judul “Pseudo – Croup Acute Epligotitis” sebagai salah satu
syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Joni Anwar,
SpP. selaku pembimbing yang telah membantu dalam menyelesaikan referat ini. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan dokter muda dan semua pihak yang
telah membantu dalam menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan. Oleh sebab itu, segala saran dan kritik yang bersifat membangun
sangat kami harapkan. Demikianlah penulisan laporan ini, semoga bermanfaat.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
Gejala-gejala kelompok paling sering lebih buruk dan lebih buruk lagi, anak itu tenang
atau gelisah. Biasanya, gejalanya berumur pendek, dengan sekitar 60% anak-anak mengalami
resolusi batuk besar selama 48 jam dan kurang dari 2.% dari gejala bertahan selama lebih dari
5 malam. Berdasarkan review data dari pediatrik dan umum gawat darurat di Alberta,
setidaknya dua pertiga dari anak-anak dengan kelompok memiliki gejala ringan pada
presentasi (pengamatan pribadi). Data berbasis populasi menunjukkan bahwa 1% –5% anak-
anak yang masuk rumah sakit, 8-10 dan, dari mereka yang mengaku, kurang dari 3%
menerima intubasi.11–14 Kematian tampaknya jarang terjadi; Berdasarkan data dari beberapa
laporan, kami memperkirakan kematian terjadi tidak lebih dari 1 dalam 30.000 kasus.
Epiglottitis adalah peradangan akut dari epiglottis atau supraglottis yang dapat
menyebabkan timbulnya obstruksi jalan nafas yang mengancam jiwa secara cepat dan
dianggap sebagai darurat otolaringologis. Karena implementasi luas vaksin konjugat untuk
Haemophilus influenzae tipe b (Hib) hampir 2 dekade yang lalu, kejadian epiglottitis telah
menurun secara signifikan pada anak-anak. Mengamankan jalan napas harus dilakukan segera
dalam pengaturan yang terkontrol. Komunikasi yang terkoordinasi antara ahli THT, ahli
anestesi, dan intensiv sangat penting untuk perawatan yang diberikan kepada pasien yang
sakit kritis ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Laring
Anatomi
Epligotitis
a. Definisi
Epligotitis adalah infeksi sangat serius yang disebabkan Hemopilus influenza tipe b
mengenai struktur supraglotis mengakibatkan obstruksi jalan napas kuat yang
menyebabkan kematian jika tidak diobati. Penyakit ini termasuk jarang akan tetapi
khusus anak” harus diperhatikan jika terdapat gejala sesak hebat stridor dan
penampilan yang toksik (Desoto H, 1998).
b. Epidemiologi
Penyakit ini ditandai dengan demam tinggi mendadak dan berat, nyeri tenggorokan,
sesak napas, diikuti dengan gejala obstruksi saluran respiratori yang progresif. Pada
anak yang lebih besar, biasanya didahului dengan nyeri tenggorok dan disfagia,
pasien lebih suka posisi duduk, badan membungkuk ke depan dengan mulut terbuka
dan leher ekstensi (sniffing position)(Low YM, 2003).
Pada anak kecil keadaan umum awalnya baik kemudian anak terbangun di malam
hari dengan panas tinggi, afonia, lidah terjulur disertai gawat napas sedang hingga
5
berat dan stridor inspirasi. (Rahajoe N, 2008)
Karakteristik Epligotitis
Usia Semua Usia
Awitan Mendadak
Lokasi Supraglotis
Suhu Tubuh Demam Tinggi
Disfagia Berat
Dispnea Ada
Drooling Ada
Batuk Jarang
Gambaran radiologis Positive thumb sign
e. Diagnosis
Ciri ciri dari diagnosis epiglotis yang membesar bengkak dan warna merah seperti
6
ceri dari pemeriksaan langsung maupun laringoskopi. Pada pemeriksaan
laringoskopi terdapat radang epligotis yang berat terkadang disertai peradangan di
daerah sekelilingnya, termasuk sritenoid dan lipatan ariepiglotis, plika vokalis, dan
daerah subglotis. Pada pemeriksaan radiologis dapat terlihat gambaran thumb sign.
Khusus anak yang menderita epiglotitis, pemeriksaan dengan menggunakan
spatula lidah harus dihindari karena akan menimbulkan refleks laringospasme dan
obstruksi total akut, aspirasi sekret, serta henti kardiorespirasi(McEwan, 2003).
f. Tatalaksana
Croup
a. Definisi
7
Croup atau biasa disebut Laringotrakeobronkitis Akut adalah terminologi umum
yang mencakup suatu grup penyakit heterogen yang mengenai laring, infra/subglotis,
trakea dan bronkus. Karakteristik sindrom croup adalah batuk menggonggong, suara
serak , stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan napas(Cherry JD,
2004).
Croup di bagi 2 kelompok :
Viral croup : ditandai oleh gejala prodormal infeksi respiratori;
gejala obstruksi saluran respiratori berlangsung selama 3 – 5 hari. Kelompok ini
biasa dikenal Laringoktrakeobronkitis (Fitzgerald DA, 2003).
Spasmodic croup : atau spasmodic cough, terdapat faktor atopik,
tanpa gejala prodormal; anak dapat tiba-tiba mengalami gejala obstruksi saluran
respiratori, biasanya pada waktu malam menjelang tidur; serangan terjadi
sebentar, kemudian normal kembali (Gina M, 2002).
Tabel 2: Perbandingan Viral croup dan Spasmodic croup
b. Epidemiologi
Croup lebih sering terjadi pada umur 6 bulan – 6 tahun. Penyakit ini lebih sering
terjadi pada anak laki laki daripada anak perempuan, dengan rasio 3:2. Angka
kejadina menjadi meningkat sangat drastis pada musim dingin dan musim gugur
(Knutson D, 2004).
c. Etiologi
Virus penyebab tersering sindrom croup adalah Human Parainfluenza type 1 (HPIV-
1), HPIV- 2,3, dan 4, virus influenza A dan B, Adenovirus, Respiratory Synctial virus
(RSV), dan virus campak. Meskipun jarang, pernah juga ditemukan Mycoplasma
pneumonia (Levine SD, 1993).
d. Patogenesis
Infeksi virus pada laringotrakeitis, laringotrakeobronkitis, dan
laringotrakeobronkopneumonia dimulai dari nasofaring dan menyebar ke epitelium
trakea dan laring. Peradangan difus, eritema, dan edema yang terjadi pada dinding
trakea dan laring. Peradangan difus, eritema, dan edema yang terjadi pada dinding
trakea menyebabkan terganggunya mobilitas pita suara serta area subglotis
mengalami iritasi. Hal ini menyebabkan suara pasien menjadi serak (parau). Aliran
9
udara yang melewati saluran respiratori-atas mengalami turbulensi sehingga
menimbulkan stridor, diikuti dengan retraksi dinding dada (selama inspirasi).
Pergerakan dinding dada dan abdomen yang tidak teratur menyebabkan pasien
kelelahan serta mengalami hiposia dan hiperkapnea. Pada keadaan ini dapat terjadi
gagal nafas atau bahkan henti nafas (Louis V, 2004).
e. Manifestasi klinis
Manifestasi biasanya didahului dengan demama yang tidak begitu tinggi selama 12 –
72 jam, hidung berair, nyeri menelan, dan batuk ringan. Kondisi ini akan berkembag
menjadi batu yang nyaring, suara menjadi parau dan kasar. Gejala sistemik yang
menyertai seperti demam, malaise. Bila keadaan berat terjadi sesak nafas, stridor
inspiratorik yang berat, retraksi, dan anak tampak gelisah, dan akan bertambah berat
pada malam hari. Gejala puncak terjadi pada 24 jam pertama. Biasanya perbaikan
akan tampak dalam waktu satu minggu. Anak akan sering menangis, rewwl dan akan
merasa nyaman jika duduk di tempat tidur atau digendong (Malhotra A, 2001).
f. Diagnosis
Diagnosis klinis ditegakkan berdassrkan gejala klinis yang timbul. Pada
pemeriksaan fisis ditemukan suara serak, hidung berair, peradangan faring, dan
frekuensi napas yang sedikit meningkat. Kondisi pasien bervariasi sesuai dengan
derajat stress pernapasan yang diderita.
Pemeriksaan langsung area laring pada pasien croup tidak terlalu diperlukan. Akan
tetapi, bila diduga terdapat epligotitis (serangan akut, gawat nafas/respiratory
distress, disfagia, drooling), maka pemeriksaan tersebut sangat diperlukan(Guidline
for the diagnosis and management of croup, 2003).
g. Tatalaksana
Tatalaksana utama bagipasien croup adalah mengatasi obstruksi jalan nafasnya.
Sebagian besar pasien croup tidak perlu dirawat di RS, melainkan cukup dirawat di
rumah. Pasien dirawat di RS bila dijumpai salah satu dari gejala-gejala berikut: anak
berusia dibawah 6 bulan, terdengar stridor progresif, Stridor terdengar ketika sedang
10
beristirahat, terdapat gejala gawat nafas, hipoksemia, gelisah, sianosis, gangguan
kesadran, demam tinggi, anak tampak toksik, dan tidak ada respon terhadap terapi
(NSW Health Departement, 2004).
1. Terapi Inhalasi
Pemakaiana uap dingin lebih baik daripada uap panas, karena kulit akan
melepuh akbat paparan uap panas. Uap dingin akan melembabkan saluran
respiratori, meringankan inflamasi, mengencerkan lendir pada saluran
respiratori, sekaligus memberikan efek yang nyaman dan menenangkan bagi
anak.
Meskipun terapi uap bisa menjadi pilihan praktis dalam pengobatan croup,
kelembaban yang ditimbulkan oleh uap dapat memperberat keadaan anak
dengan bronkospasme yang disertai dengan mengi, seperti
laringotrakeobronkiolitis atau pneumonia (Phelan PD, 1994).
Epinefrin
Sindrom croup biasanya sudah cukup hanya di atasi dengan terapi uap saja,
tetapi kadang kadang membutuhkan farmakoterapi. Nebulisasi epinefrin telah
digunakan untuk mengatasi sindrom croup selama hampir 30 tahun, dan
pengobatan dengan epinefrin ini menyebabkan trakeostomi hampir tidak
diperlukan.
Nebulisasi epinefrin akan menurunkan permeabilitas vaskular epitel bronkus
dan trakea, memperbaiki edema mukosa larimg, dan meningkatkan laju udara
pernapasan.
2. Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema pada mukosa laring melalui mekanisme
antiradang. Uji klinik menunjukkan adanya perbaikan pada pasien
laringotrakeitis ringan-sedang yang diobati dengan steroid oral atau parenteral
dibandingkan dengan plasebo.
Deksametason
Deksametason diberikan dengan dosis 0,6 mg/kgBB per oral/intramuskular
sebanyak satu kali, dan dapat diulang dalam 6 – 24 jam. Efek klinis akan
tampak 2 – 3 jam setelah pengobatan. Tidak ada penelitian yang menyokong
keuntungan penambahan dosis.
Keuntungan pemakaian kortikosteroid adalah sebagai berikut:
Mengurangi rata – rata tindakan intubasi
4. Kombinasi Oksigen-Helium
Terapi ini hanya digunakan oleh beberapa sentra untuk mengatasi sindrom
croup.Helium bersifat inert, tidak beracun, serta mempunyai densitas dan
viskositas yang rendah. Hal ini sangat membantu mengurangi obstruksi jalan
nafas, yaitu dengan meningkatkan aliran gas dan mengurangi kerja otot – otot
respiratori. Bila helium dikombinasikan dengan oksigen, maka oksigenasi darah
akan meningkat.
13
5. Antibiotik
h. Komplikasi
Pada 15% kasus melapor terjadinya berbagai variasi komplikasi, misalnya otitis
media, dehidrasi, dan pneumoniae. Kemungkinan gagal jantung dan gagal nafas
dapat terjadi pada pasien dengan pengobatan dan perawatan tidak adekuat (Phelan
PD, 1994).
i. Prognosis
BAB III
KESIMPULAN
Epligotitis adalah infeksi sangat serius yang disebabkan Hemopilus influenza tipe b
14
Croup atau biasa disebut Laringotrakeobronkitis Akut adalah terminologi umum
yang mencakup suatu grup penyakit heterogen yang mengenai laring, infra/subglotis,
yang sering timbul, stridor inspirasi yang terdengar jelas ketika pasien
15
DAFTAR
PUSTAKA
1. Desoto H. Epligotitis and croup i arway obstruction in children. Anesthesiol Clin North Am 1998
16 853-68
2. Felter R. Pediatrics: epiglotitis 2001.
3. Garpenholt. Epiglotitis in sweden before and after introduction of vaccination against
Haemophilus
influenza type B . Paediatr Infect Dis J 1999;18:490- 3
4. Low YM, Leong JL, Tan HKK. Paediatric acute epiglotitis re-visited case report. Singapore Med J
2003;44(10):539-41.
5. McEwan J, dkk. Paediatric acute epiglotitis: not a disappering entity. International Journal of
Pediatric Otorhinolaryngology 2003;67:317-21
6. Roosevelt EG. Acute inflammatory upper airway obstruction. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM
Jenson HB , Philadelphia Saunders; 2004. H.1405-8
7. Shen-Hao. Noninfectious epiglotitis in children two cases report. International Journal of Pediatric
Otorhingolaryngology 2000;55:57-60
8. Tanner G, Fitzsimmons ED, Carrol TJ. Haemophilus influenzae type B epligotitis as cause of acute
upper airways obstruction in children. BMJ 2002;7372:1099-1101.
9. Cherry JD. Croup (laryngitis, laryngotracheitis, spasmodic croup, laryngotracheobronchitis,
bacterial tracheitis, and laryngotracheobronchopneumonitis). Philadelphia: WB Saunder Co; 2004, h.
252-65.
10. Fitzgerald DA, Kilham HA, Croup assesment and evidence-based management. MJA 2003;
179;372-7
11. Gina M, dkk. Clinical investigations: a randomized controlled trial of mist in the acute treatment of
moderate croup. Acad Emerg Med 2002 Sep;9(9).
12. Guideline for the diagnosis and management of croup. The Alberta Clinical Practice Guideline
Program. 2003 July
13. Knutson D, Aring A, Viral croup, American Family Physician, 2004;69(3).
14. Levine SD, Springer MA. Croup and epiglotitis. Dalam: Hilman BC, penyunting. Pediatric
respiratory disease. Diagnosis and treatment, Philadelphia: WB Saunder Co; 1993. H. 238-40.
15. Louis V, Allen AM. Oral dexamethasone for mild croup, N Engl J Med 2004;35:26.
16. Malhotra A, Leonard RK, Viral croup, American Family Physician, 2004;69(3).
17. NSW Health Departement. Acute management of infants and children with croup: clinical practice
guidelines. 2004 Dec 21.
18. Phelan PD, Olinsky A, Robertson CF. Clinical patterns of acute respiratory infections.
Melbourne:Blackwell scientific publications;1994. H. 52-93
19. Rizwan S, Michael F. Role of glucocorticosteroid in treating croup. Canadian Family Physician.
2001 Apr;47
20. Roosevelt, GE, Acute inflammatory upper airway obstruction. Philadelphia: WB Saunder Co;
2004, h. 1405-9.
1