Anda di halaman 1dari 25

Pendahuluan

Latar Belakang

Disfonia merupakan istilah umum untuk setiap gangguan suara yang disebabkan kelainan
pada organ-organ fonasi, terutama laring, baik yang bersifat organic maupun fungsional.
Disfonia bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan gejala penyakit atau kelainan pada
laring.1

Keluhan gangguan suara tidak jarang ditemukan dalam klinik. Gangguan suara atau
disfonia ini dapat berupa suara parau yaitu suara terdengar kasar (roughness) dengan nada lebih
rendah dari biasanya, suara lemah (hipofonia), hilang suara (afonia), suara tegang dan susah
keluar (spastic), suara terdiri dari beberapa nada (diplofonia), nyeri saat bersuara (odinofonia)
atau ketidakmampuan mencapai nada atau intensitas tertentu.1

Setiap keadaan yang menimbulkan gangguan dalam getara, gangguan dalam ketegangan
serta gangguan dalam pendekatan (aduksi) pita suara kiri dan kanan akan menimbulkan
disfonia.1

1
Isi

ANATOMI LARING

Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran napas bagian atas. Bentuknya
menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar daripada bagian bawah.
Batas atas laring adalah aditus laring, sedangkan batas bawahnya ialah batas kaudal kartilago
krikoid.1

Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hioid, dan beberapa
buah tulang rawan. Tulang hioid berbentuk sepertu huruf U, yang permukaan atasnya
dihubungkan dengan lidah, mandibula dan tengkorak oleh tendo dan otot-otot. Sewaktu menelan,
kontraksi otot-otot ini akan menyebabkan laring tertarik ke atas, sedangkan bila laring diam,
maka otot-otot ini bekerja untuk membuka mulut dan membantu menggerakkan lidah.1

Kartilago Laring

Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago tiroid, kartilago krikoid, kartilago
aritenoid, kartilago kornikulata, kartilagi kuneiformis dan kartilago epiglottis.1, 2

Kartilago laring terbagi atas dua kelompok, yaitu:1, 2

1. Mayor

 Kartilago tiroidea, 1 buah


 Kartilago krikoidea, 1 buah
 Kartilago aritenoidea, 2 buah

2. Minor

 Kartilago kornikulata, 2 buah


 Kartilago keneiformis, 2 buah
 Kartilago epiglottis, 1 buah

2
I. Kartilago tiroid merupakan kartilago hialin. Kartilago ini berbentuk seperti perisai yang
bagian depannya menonjol disebut laryngeal prominence, adam’s apple. Dibalik ini,
terletak korda vokalis. Kartilago ini merupakan kartilago yang terbesar.1, 2

II. Kartilago krikoid merupakan kartilago hialin. Dihubungkan dengan kartilago tiroid
oleh ligamentum krikotiroid. Bentuk kartilago krikoid berupa lingkaran / cincin stempel
(signet ring). Kartilago ini merupakan bagian terbawah dari dinding laring.1, 2

III. Kartilago aritenoid merupakan kartilagi hialin. Terdapat 2 buah (sepasang) yang
terletak dekat permukaan belakang laring, dan membentuk sendi dengan kartilago
krikoid, disebut artikulasi krikoaritenoid.1, 2

IV. Kartilago kornikulata (kiri dan kanan) merupakan kartilago fibroelastis. Sepasang
kartilago ini melekat pada kartilago aritenoid di daerah apeks di dalam plika
ariepiglotika.1, 2

V. Kartilago kuneiformis merupakan kartilago fibroelastis. Sepasang kartilago ini


terdapat didalam lipatan ariepiglotik.1, 2

VI. Kartilago epiglottis. Bentuk kartilago epiglotis seperti bet pingpong dan membentuk
dinding anterior aditus laringeus.1, 2

Persendian Laring

Pada laring terdapat 2 buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan artikulasi
krikoaritenoid.1, 2, 3

I. Artikulasio krikotiroidea

Merupakan sendi antara kornu inferio kartilagi tiroidea dengan bagian posterior kartilago
krikoidea. Sendi ini diperkuat oleh 3 ligamenta, yaitu, ligamentum krikotiroidea anterior,
posterior, dan inferior. Sendi ini berfungsi untuk pergerakan rotasi pada bidang tiroidea,
oleh karena itu kerusakan atau fiksasi sendi ini akan mengurangi efek m. krikotiroidea
yaitu untuk menegangkan pita suara.1, 2, 3

3
II. Artikulasio krikoaritenoidea

Merupakan persendian antara fasies artikulasio krikoaritenoidea dengan tepi posterior


cincin krikoidea. Letaknya di sebelah kraniomedial artikulasio krikotiroidea dan
mempunyai fasies artikulasio yang mirip dengan kulit silinder, yang sumbunya mengarah
dari mediokraniodorsal ke laterokaudoventral serta menyebabkan gerakan menggeser
yang sama arahnya dengan sumbu tersebut. Pergerakan sendi tersebut penting dalam
perubahan suara dari nada rendah menjadi nada tinggi.1, 2, 3

Ligamentum

I. Membran Tirohyoid
Membran ekstrinsik yang menghubungkan kartilago tiroidea pada tulang hyoid, sehingga
memperkuat laring. Dipisahkan dari permukaan posterior tubuh hyoid oleh bursa. Tebal
bagian median disebut ligamentum tirohyoid medial dan bagian lateral disebut ligamen
tirohyoid lateral. Ligamen lateral yang menghubungkan ujung tanduk superior dari kartilago
tiroid ke ujung tanduk yang lebih besar dari tulang hyoid.2

II. Ligamentum krikotiroid dan krikotrakeal


Ligamen ini menghubungkan lengkungan kartilago krikoid dengan kartilago tiroid dan cincin
trakea. Ligamentum krikotiroid yang berserat pada bagian medial menghasilkan soft spot
inferior pada kartilago tiroid. Pada titik ini, jalan napas yang paling dekat dengan kulit dan
paling dapat diakses.2

III. Ligamentum vokal


Ligamentum vokal elastis memanjang dari persimpangan dari lamina kartilago tiroid anterior
untuk proses vokal dari posterior tulang rawan aritenoid. Ligamen vokal membentuk
kerangka plika vokalis dan bagian tepi bebas dari elasticus konus (ligamen krikotiroid), yang
merupakan membran elastis yang memanjang superior dari kartilago krikoid pada
ligamentum vokal.2

4
IV. Membran quadrangular dan ligamentum vestibular
Merupakan lembaran tipis jaringan ikat submukosa. Memanjang dari kartilago aritenoid ke
kartilago epiglottis. Ligamentum krikotiroid dan membran quadrangularis, meskipun terpisah
oleh interval antara ligamentum vokal dan vestibular disebut sebagai membran fibroelastik
laring.2

V. Ligamentum epiglotis
Epiglotis melekat pada tulang hyoid oleh ligamentum hyoepiglottic. Bagian posterior lidah
oleh lipatan glossoepiglottic median. Untuk sisi faring oleh lipatan glossoepiglottic lateral.
Untuk kartilago tiroid oleh ligamentum thyroepiglottic. Selaput lendir yang menutupi
epiglottis dipantulkan ke bagian posterior lidah sebagai salah satu lipatan medial dan dua
glossoepiglottic lateral. Antara lipatan terdapat bagian yang rendah disebut valleculae
epiglottic.2

Otot

Otot-otot laring terbagi dalam 2 kelompok besar yaitu otot-otot ekstrinsik dan otot-otot
intrinsik yang masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda.1, 2

I. Otot ekstrinsik, merupakan otot yang memiliki fungsi untuk menghubungkan laring
dengan struktur disekitarnya. Kelompok otot ini menggerakkan laring secara
keseluruhan. Letak otot ekstrinsik dibagi menjadi 2 yaitu suprahioid (diatas tulang hyoid)
dan infrahioid (dibawah tulang hyoid).1, 2

Otot-otot ekstrinsik laring suprahioid berfungsi menarik laring kebawah, sedangkan yang
infrahioid menarik laring ke atas.2

Otot-otot suprahioid / otot-otot elevator laring yaitu:1, 2

1. M. Stiloihioideus
2. M. Milohioideus
3. M. Geniohioideus
4. M. Digastrikus

5
5. M. Genioglosus
6. M. Hioglosus

Otot-otot infrahioid / otot-otot depressor laring yaitu:1,2

1. M. Omohioideus
2. M. Sternokleidomastoideus
3. M. Tirohioideus

II. Otot intrinsik, merupukan otot yang menghubungkan kartilago satu dengan yang
lainnya. Berfungsi untuk menggerakkan struktur yang ada di dalam laring terutama untuk
suara dan bernapas. Otot-otot pada kelompok ini berpasang kecuali m. interaritenoideus
yang serabutnya berjalan transversal dan oblik. Fungsi otot ini dalam proses
pembentukkan suara, proses menelan dan bernapas. Bila m. interaritenoideus
berkontraksi, maka otot ini akan bersatu di garis tengah sehingga menyebabkan adduksi
pita suara.1,2

Otot-otot intrinsik dibagi lagi menjadi 3 yaitu otot-otot adductor yang berfungsi untuk
menutup pita suara, otot-otot abductor yang berfungsi untuk membuka pita suara, dan
otot-otot tensor yang berfungsi untuk menegangkan pita suara.1,2

Otot-otot adductor yaitu:1,2

1. M. Interaritenoideus transversal dan oblik


2. M. Krikotiroideus
3. M. Krikotiroideus lateral

Otot-otot abductor yaitu:1,2

1. M. Krikoaritenoideus posterior

6
Otot-otot tensor yaitu:1,2

1. Tensor internus : M. Tiroaritenoideus dan M. Vokalis


2. Tensor eksternus : M. Krikotiroideus

Rongga Laring

Batas atas rongga laring (cavum laryngis) ialah aditus laring, batas bawahnya ialah
bidang yang melalui pinggir bawah kartilago krikoid. Batas depannya ialah permukaan belakang
epiglotis, tuberkulum epiglotik, ligamentum tiroepiglotik, sudut antara kedua belah lamina
kartilago tiroid dan arkus kartilago krikoid. Batas lateralnya ialah membran kuadrangularis,
kartilago aritenoid, konus elastikus dan arkus kartilago krikoid, sedangkan batas belakangnya
ialah m.aritenoid transversus dan lamina kartilago krikoid.1

Dengan adanya lipatan mukosa pada ligamentum vokale dan ligamentum ventrikulare,
maka terbentuklah plika vokalis (pita suara asli) dan plika ventrikularis (pita suara palsu). Bidang
antara plika vokalis kiri dan kanan, disebut rima glotis, sedangkan antara kedua plika
ventrikularis, disebut rima vestibuli. Plika vokalis dan plika ventrikularis membagi rongga laring
dalam 3 bagian, yaitu vestibulum laring, glotik dan subglotik.1

Vestibulum laring ialah rongga laring yang terdapat di atas plika ventrikularis. Daerah ini
disebut supraglotik. Antara plika vokalis dan plika ventrikularis, pada tiap sisinya disebut
ventrikulus laring Morgagni.1

Rima glotis terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian intermembran dan bagian interkartilago.
Bagian intermembran ialah ruang antara kedua plika vokalis, dan terletak di bagian anterior,
sedangkan bagian interkartilago terletak antara kedua puncak kartilago aritenoid, dan terletak di
bagian posterior.1

Daerah subglotik adalah rongga laring yang terletak di bawah plika vokalis.1

7
Persarafan Laring

Laring dipersarafi oleh cabang saraf vagus yaitu saraf Laringeal Superior dan saraf
Laringeal Inferior. Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan sensorik. Nervus
laringeal superior mempersarafi m.krikotiroid, sehingga memberikan sensasi pada mukosa laring
di bawah pita suara. Nervus laringeal inferior merupakan lanjutan dari saraf rekuren setelah
bercabang. Nervus rekuren merupakan cabang dari n.vagus. (Nn. Laringeal Rekuren) kiri dan
kanan.1, 2, 4

I. Nn. Laringeal Superior.1, 2, 4

Meninggalkan N. vagus tepat di bawah ganglion nodosum, melengkung ke depan dan medial
di bawah A. karotis interna dan eksterna yang kemudian akan bercabang dua, yaitu :

Cabang Interna  bersifat sensoris, mempersarafi vallecula, epiglotis, sinus pyriformis


dan mukosa bagian dalam laring di atas pita suara sejati.

Cabang Eksterna  bersifat motoris, mempersarafi m. Krikotiroid dan m. Konstriktor


inferior.

II. Nn. Laringeal Inferior (N. Laringeus Rekuren).1, 2, 4

Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring tepat di belakang
artikulasio krikotiroidea. N. laringeal yang kiri mempunyai perjalanan yang panjang dan
dekat dengan Aorta sehingga mudah terganggu.

Merupakan cabang N. vagus setinggi bagian proksimal A. subklavia dan berjalan membelok
ke atas sepanjang lekukan antara trakea dan esofagus, selanjutnya akan mencapai laring tepat
di belakang artikulasio krikotiroidea dan memberikan persarafan :

Sensoris  mempersarafi daerah subglotis dan bagian atas trakea.

Motoris  mempersarafi semua otot laring kecuali M. Krikotiroidea.

8
Vaskularisasi

Pendarahan untuk laring terdiri dari 2 cabang, yaitu a.laringis superior dan a.laringis
inferior.1, 2

I. Arteri laringis superior merupakan cabang dari a.tiroid superior. Arteri laringis superior
berjalan agak mendatar melewati bagian belakang membran tirohioid bersama-sama
dengan cabang internus dari n.laringis superior kemudian menembus membran ini untuk
berjalan ke bawah di submukosa dari dinding lateral dan lantai dari sinus piriformis,
untuk mempendarahi mukosa dan otot-otot laring.1, 2

II. Arteri laringis inferior merupakan cabang. dari a.tiroid inferior dan bersama-sama
dengan n.laringis inferior berjalan ke belakang sendi krikotiroid, masuk laring melalui
daerah pinggir bawah dari m.konstriktor faring inferior. Di dalam laring arteri itu
bercabang-cabang, mempendarahi mukosa dan otot serta beranastomosis dengan
a.laringis superior.1, 2

Pada daerah setinggi membran krikotiroid a.tiroid superior juga memberikan cabang yang
berjalan mendatari sepanjang membran itu sampai mendekati tiroid. Kadang-kadang arteri ini
mengirimkan cabang yang kecil melalui membran krikotiroid untuk mengadakan anastomosis
dengan a.laringis superior. Vena laringis superior dan vena laringis inferior letaknya sejajar
dengan a.laringis superior dan inferior dan kemudian bergabung dengan vena tiroid superior dan
inferior.1, 2

Histologi Laring

Mukosa laring dibentuk oleh epitel berlapis silindris semu bersilia kecuali pada daerah
pita suara yang terdiri dari epitel berlapis gepeng tak bertanduk. Diantara sel-sel bersilia terdapat
sel goblet.2

9
FISIOLOGI LARING

Laring memiliki fungsi yaitu fonasi, respirasi, proteksi, menelan dan sirkulasi.1, 4, 5

Fonasi

Suara dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya interaksi
antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan udara
pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi seperti rongga mulut,
udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Terdapat dua teori mengenai pembentukan
suara yaitu :4, 5

I. Teori Myoelastik – Aerodinamik.

Selama ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis dan secara tidak langsung
menggetarkan plika vokalis. Akibat kejadian tersebut, otot-otot laring akan
memposisikan plika vokalis (adduksi, dalam berbagai variasi) dan menegangkan plika
vokalis. Selanjutnya, kerja dari otot-otot pernafasan dan tekanan pasif dari proses
pernafasan akan menyebabkan tekanan udara ruang subglotis meningkat, dan mencapai
puncaknya melebihi kekuatan otot sehingga celah glotis terbuka. Plika vokalis akan
membuka dengan arah dari posterior ke anterior. Secara otomatis bagian posterior dari
ruang glotis yang pertama kali membuka dan yang pertama kali pula kontak kembali
pada akhir siklus glotal. Setelah terjadi pelepasan udara, tekanan udara ruang subglotis
akan berkurang dan plika vokalis akan kembali ke posisi saling mendekat (kekuatan
myoelastik plika vokalis melebihi kekuatan aerodinamik). Kekuatan myoelastik
bertambah akibat aliran udara yang melewati celah sempit menyebabkan tekanan negatif
pada dinding celah (efek Bernoulli). Plika vokalis akan kembali ke posisi semula
(adduksi) sampai tekanan udara ruang subglotis meningkat dan proses seperti di atas akan
terulang kembali.4, 5

10
II. Teori Neuromuskular.

Teori ini sampai sekarang belum terbukti, diperkirakan bahwa awal dari getaran plika
vokalis adalah saat adanya impuls dari sistem saraf pusat melalui N. Vagus, untuk
mengaktifkan otot-otot laring. Menurut teori ini jumlah impuls yang dikirimkan ke laring
mencerminkan banyaknya / frekuensi getaran plika vokalis. Analisis secara fisiologi dan
audiometri menunjukkan bahwa teori ini tidaklah benar (suara masih bisa diproduksi
pada pasien dengan paralisis plika vokalis bilateral).4, 5

Respirasi

Fungsi respirasi dari laring ialah dengan mengatur besar kecilnya rima glottis. Bila m.
krikoaritenoid posterior berkontraksi akan menyebabkan prosesus vokalis kartilagi aritenoid
bergerak ke lateral, sehingga rima glottis terbuka (abduksi).1

Proteksi dan Menelan

Laring berfungsi untuk proteksi adalah mencegah makanan dan benda asing masuk ke
dalam trakea, dengan jalan menutup aditus larng dan rima glottis secara bersamaan. Terjadinya
penutupan aditus laring ialah karena pengangkatan laring ke atas akibat kontraksi otot-otot
ekstrinsik laring.1

Sirkulasi

Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan peninggian tekanan


intratorakal yang berpengaruh pada venous return. Perangsangan dinding laring terutama pada
bayi dapat menyebabkan bradikardi, kadang-kadang henti jantung. Hal ini dapat karena adanya
reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor dari reflek ini adalah baroreseptor yang terdapat di
aorta. Impuls dikirim melalui N. Laringeus Rekurens dan Ramus Komuikans N. Laringeus

11
Superior. Bila serabut ini terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut
jantung.1, 4

ANAMNESIS

Evaluasi pasien dengan disfonia dimulai dengan anamnesa yang cermat. Anamnesa yang
rinci sangat membantu untuk menggambarkan secara spesifik karakteristik suara dan faktor
sosial dan medis yang berkontribusi. Hampir setiap sistem tubuh dapat menyebabkan keluhan
suara; karena itu, anamnesa harus menyelidiki seluruh bidang. Persepsi pasien mengenai suara
serak sebagai perubahan dalam kualitas suara mungkin sama sekali berbeda dari pemahaman
dokter mengenai gejala tersebut. Minta pasien untuk menggambarkan perubahan kualitas suara
sespesifik mungkin, karena kualitas vokal mungkin menunjukkan etiologi spesifik. Pastikan
onset, durasi, dan waktu perubahan suara, serta apakah ada fluktuasi vokal dan kelelahan suara.
Gejala akut lebih mungkin terkait dengan penyalahgunaan vokal, infeksi atau inflamasi, atau
cedera akut.1, 6, 7, 8

Menanyakan informasi mengenai segala obat atau zat yang dapat berkontribusi untuk
pengeringan selaput lendir saluran vokal adalah penting. Zat-zat ini termasuk antihistamin,
diuretik, obat psikotropika, tembakau, produk yang mengandung kafein (kopi, teh, soda, dan
cokelat), alkohol, dan dosis tinggi vitamin C. Selain itu, obat anti-inflamasi nonsteroidal
(NSAID) seperti ibuprofen atau aspirin dapat berkontribusi untuk terjadinya perdarahan pita
suara karena sifat antikoagulan dari agen ini.1, 6, 7, 8

Tanyakan mengenai gejala lain yang menyertai seperti nyeri, sulit menelan, batuk atau
sesak napas, gejala gastroesophageal reflux, seperti rasa asam di mulut di pagi hari; penyakit
sinonasal yang berkaitan (rhinitis alergi atau sinusitis kronis). Pasien juga harus ditanya tentang
riwayat operasi di kepala dan leher sebelumnya atau operasi lain yang membutuhkan intubasi 1, 6,
7, 8
.

12
PEMERIKSAAN KLINIK DAN PENUNJANG

Pemeriksaan klinik meliputi pemeriksaan umum (status generalis), pemeriksaan THT


termasuk pemeriksaan laringoskopi tak langsung untuk melihat laring melalui kaca laring atau
dengan menggunakan teleskop laring baik yang kaku (rigid telescope) atau serat optik (fiberoptic
telescope). Penggunaan teleskop ini dapat dihubungkan dengan alat video (video laringoskop)
sehingga akan memberikan visualisasi laring (pita suara) yang lebih jelas baik dalam keadaan
diam (statis) maupun saat bergerak (dinamis). Selain itu juga dapat dilakukan dokumentasi hasil
pemeriksaan untuk tindak lanjut hasil pengobatan. Visualisasi laring dan pita suara secara
dinamis akan lebih jelas dengan menggunakan stroboskop (video stroboskopi) dimana gerakan
pita suara dapat diperlambat (slowmotion) sehingga dapat terlihat getaran (vibrasi) pita suara dan
gelombang mukosanya (mucosal wave). Dengan bantuan alat canggh ini diagnosis anatomis dan
fungsional menjadi lebih akurat.1

Selain secara anatomis fungsi laring dengan pita suara juga dapat dinilai dengan
menganalisa produk yang dihasilkannya yaitu suara. Analisis suara dapat dilakukan secara
perceptual yaitu dengan mendengarkan suara dan menilai derajat (grade), ekasaran (roughness),
keterengahan (breathiness), kelemahan (astenisitas) dan kekakuan (strain). Saat ini juga telah
berkembang analisis akustik dengan menggunakan program computer seperti CSL
(computerized speech laboratory), multyspeech, ISA (intelegence speech analysis) dan MDVP
(multy dimensional voice programe). Hasil pemeriksaan analisis akustik ini berupa nilai
parameter-parameter akustik dengan spektogram dari gelombang suara yang dianalisis.
Parameter akustik dan spectrogram ini dapat dibandingkan antara suara normal dan suara yang
mengalami gangguan. Alat ini juga dapat digunakan untuk menilai tindak lanjut (follow up) hasil
terapi.1

Terkadang diperlukan pemeriksaan laring secara langsung (direct laringoscopy) untuk


biopsy tumor dan menentukan perluasannya (staging) atau bila diperlukan tindakan (manipulasi)
bagian-bagian tertentu laring seperti aritenoid, plika vokalis, plika ventrikularis, daerah komisura
anterior atau subglotik. Laringoskopi langsung dapat menggunakan teleskop atau mikroskop
(mikrolaringoskopi).1

13
Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan meliputi pemeriksaan laboratorium,
radiologi, elektromiografi (EMG), mikrobiologi dan patologi anatomi.

DIAGNOSIS

Evaluasi penilaian suara serak meliputi penilaian faktor anatomi, fisiologis, dan perilaku
yang mempengaruhi produksi vokal secara keseluruhan. Penilaian dimulai dengan deskripsi dari
suara, simtomatologi, dan riwayat medis dan sosial. Visualisasi laring diperlukan untuk
menentukan status dari pita suara. Secara umum, pemeriksaan laring harus dilakukan setiap kali
suara serak berlangsung lama lebih dari 2 minggu. Pada kasus-kasus khusus, prosedur diagnostik
yang lebih canggih dapat diindikasikan.6

Kualitas vokal dapat dideskripsikan menggunakan berbagai istilah subjektif termasuk


serak, parau , keras, atau desah. Namun, tidak ada dari seluruh istilah ini merupakan diagnostik.
Sebaliknya, tingkat keparahan disfonia dapat dinilai dengan mengamati abnormalitas pada pitch,
kenyaringan, atau fluktuasi dalam kualitas vokal.6

ETIOLOGI

Disfonia bukan merupakan suatu penyakit, namun merupakan suatu gejala penyakit atau
kelainan laring. Disfonia dapat disebabkan oleh beberapa penyakit yang disebutkan sebelumnya.
Dalam melakukan anamnesis harus lengkap dan terarah sesuai dengan penyakit yang dapat
menyebabkan disfonia. Berikut adalah beberapa yang dapat menyebabkan disfonia, disertai
gejala-gejala yang menyertai :1

1. Radang
Radang laring dapat akut atau kronis, radang akut dapat disebabkan karena laryngitis akut,
gejala seperti suara parau sampai tidak dapat bersuara lagi (afoni), nyeri ketika menelan atau
berbicara, demam, malaise, dan dapat disertai batuk kering yang lama kelamaan disertai
dahak. Sedangkan radang kronis nonspesifik dapat terjadi pada laryngitis kronis yang

14
biasanya disebabkan karena sinusitis kronis, deviasi septum yang berat, polip hidung,
bronchitis kronis, dan dapat disebabkan karena penyalahgunaan suara pada seseorang.1, 2
Gejala
Gejala yang timbul seperti suara parau yang menetap, rasa tersangkut di tenggorok, sehingga
pasien sering mendeham tanpa mengeluarkan secret, karena mukosa yang menebal. Radang
kronis yang spesifik dapat disebabkan karena laryngitis tuberculosis, gejala nya seperti rasa
kering, panas dan tertekan didaerah laring, suara parau selama berminggu-minggu dan dapat
berlanjut menjadi afoni, hemoptisis, nyeri menelan yang sangat hebat, batuk kronis, berat
badan menurun, dan keringat pada malam hari.1, 2

2. Neoplasma
Gejala
Terdapat tumor jinak laring yaitu nodul pita suara yang dapat disebabkan penyalahgunaan
suara dalam waktu yang sangat lama, dengan gejala suara parau dan kadang-kadang disertai
batuk. Polip pita suara juga termasuk lesi jinak laring dengan gejala suara parau. Kista pita
suara termasuk kista kelenjar liur minor laring, terbentuk akibat tersumbatnya kelenjar
tersebut, faktor iritasi kronis, refluks gastroesofageal diduga berperan sebagai faktor
predisposisi, dengan gejala suara parau. Selain itu bisa disebabkan oleh papiloma laring,
hemangioma saluran nafas, limphangioma saluran nafas.1, 2

3. Paralisis otot laring


Gejala
Gejala kelumpuhan pita suara adalah suara parau, stridor atau bahkan disertai kesulitan
menelan yang tergantung pada penyebabnya. Jika penyebabnya lesi intrakranial, maka akan
muncul gejala kelainan neurologik. Jika penyebabnya adalah perifer, seperti tumor tiroid,
penyakit jantung, maka gejalanya akan disertai gejala yang sesuai dengan penyebabnya.1, 2

15
4. Trauma Laring

Ballanger membagi penyebab trauma laring atas:1, 2

1. Trauma mekanik eksternal (trauma tumpul, trauma tajam, komplikasi trakeostomi atau
krikotirotomi) dan mekanik internal (akibat tindakan endoskopi, intubasi endotrakea atau
pemasangan pipa nasogaster).
2. Trauma akibat luka bakar oleh panas (gas atau cairan panas) dan kimia (cairan alkohol,
amoniak, natrium hipoklorit dan lisol) yang terhirup.
3. Trauma akibat radiasi pada pemberian radioterapi tumor ganas leher.
4. Trauma otogen akibat pemakaian suara yang berlebihan (vocal abuse) misalnya akibat
menjerit keras, atau bernyanyi dengan suara keras.

Gejalanya tergantung pada berat ringannya trauma. Pada trauma ringan gejalanya dapat berupa
nyeri pada waktu menelan, batuk, atau bicara. Di samping itu mungkin terdapat suara parau,
tetapi belum terdapat sesak nafas. Pada trauma berat dapat terjadi fraktur dan dislokasi tulang
rawan serta laserasi mukosa laring, sehingga menyebabkan gejala sumbatan jalan nafas (stridor
dan dispnea), disfonia atau afonia, hemoptisis, hematemesis, disfagia, odinofagia serta emfisema
yang ditemukan di daerah muka, dada, leher, dan mediastinum.1, 2

EPIDEMIOLOGI

Di dunia barat, sekitar sepertiga penduduk yang bekerja menggunakan suaranya untuk
bekerja, di Inggris sekitar 50.000 pasien per tahun dirujuk ke bidang THT karena bermasalah
dengan suaranya.9

16
DIAGNOSIS BANDING

Laringitis Akut

Radang akut laring, pada umumnya merupakan kelanjutan dari rhinofaringitis (common
cold). Pada anak laryngitis akut ini dapt menimbulkan sumbatan jalan napas, sedangkan pada
orang dewasa tidak secepat pada anak. Sebagai penyebab radang ini adalah bakteri yang
menyebabkan radang local atau virus yang menyebabkan peradangan sistemik.1

Pada laringitis akut terdapat gejala radang umum, seperti demam, malaise, serta gejala
local seperti suara parau sampai tidak bersuara sama sekali (afoni), nyeri ketika menelan atau
berbicara, serta gejala sumbatan pada laring. Selain itu terdapat batuk kering dan lama kelamaan
disertai dengan dahak kental.1

Pada pemeriksaan tampak mukosa laring hipermis, membengkak, terutama di atas dan
bawah pita suara. Biasanya terdapat juga tanda radang akut di hidung atau sinus paranasal atau
paru.1

Laringitis Kronis

Radang kronis laring sering disebabkan oleh sinusitis kronis, deviasi septum yang berat,
polip hidung atau bronchitis kronis. Mungkin juga disebabkan oleh penyalahgunaan suara (vocal
abuse) seperti berteriak-teriak atau biasa berbicara keras. Pada peradangan ini seluruh mukosa
laring hiperemis dan menebal, dan kadang-kadang pada pemeriksaan patologik terdapat
metaplasi skuamosa.1

Gejalanya ialah suara parau yang menetap, rasa tersangkut di tenggorok, sehingga pasien
sering mendehem tanpa mengeluarkan secret, karena mukosa yang menebal.1

Pada pemeriksaan tampak mukosa menebal, permukaanya tidak rata dan hiperemis. Bila
terdapat daerah yang dicurigai menyerupai tumor, maka perlu dilakukan biopsi.1

17
Nodul Pita Suara

Nodul pita suara merupakan kelainan yang biasanya disebabkan oleh penyalahgunaan
suara dalam waktu yang lama, seperti pada seorang guru, penyanyi, dan sebagainya. Kelainan ini
juga disebut “singer’s node”1

Pada kelainan ini terdapat suara parau, kadang-kadang disertai batuk. Pada pemeriksaan
terdapat nodul di pita suara sebesar kacang hijau atau lebih kecil, berwarna keputihan. Predileksi
nodul terletak di sepertiga anterior pita suara dan sepertiga medial. Nodul biasanya bilateral
banyak dijumpai pada wanita dewasa muda. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan laring
tak langsung / langsung1

Nodul tersebut terjadi akibat trauma pada mukosa pita suara karena pemakaian suara
berlebihan dan dipaksakan.1

Polip Pita Suara

Polip pita suara biasanya bertangkai. Lesi bias terletak di sepertiga anterior, sepertiga
tengah bahkan seluruh pita suara. Lesi biasanya unilateral, dapat terjadi pada segala usia
umumnya orang dewasa. Gejalanya sama seperti pada nodul yaitu suara parau.1

Terdapat 2 jenis polip yaitu mukoid dan angiomatosa. Polip terjadi akibat proses
peradangan menahun dari lapisan subepitel. Factor merokok dan penggunaan suara berlebihan
diduga turut berperan. Polip mukoid berwarna keabu-abuan dan jernih sedangkan polip
angiomatosa berwarna merah tua karena perbedaan tingkat vaskularisasinya.1

Kista Pita Suara

Kista pita suara pada umumnya termasuk kista retensi kelenjar liur minor laring,
terbentuk akibat tersumbatnya kelenjar tersebut. Factor iritasi kronis, refluks gastroesofageal dan

18
infeksi diduga berperan sebagai factor predisposisi. Kista terletak di dalam lamina propria
superfisialis, menempel pada membrane basal epitel atau ligamentum vokalis. Ukurannya
biasanya tidak besar sehingga jarang menyebabkan sumbatan jalan napas atas. Gejala utamanya
adalah suara parau.1

Tumor Jinak Laring

Tumor jinak laring tidak banyak ditemukan, hanya kurang lebih 5% dari semua jenis
tumor laring. Tumor jinak laring dapat berupa papiloma laring (terbanyak frekuensinya),
adenoma, kondroma, mioblastoma sel granuer, hemangioma, lipoma, neurofibroma.1

Gejala papiloma laring yang utama ialah suara parau. Kadang-kadang terdapat pula
batuk. Apabila papiloma telah menutup rima glottis maka timbl sesak napas atau stridor.1

Tumor Ganas Laring

Keganasan di laring bukanlah hal yang jarang ditemukan dan masih merupakan masalah,
karena penganggulanganya mencakup berbagai segi. Etiologi karsinoma laring belum diketahui
dengan pasti. Dikatakan oleh para ahli bahwa perokok dan peminum alcohol merupakan
kelompok orang-orang dengan resiko tinggi terhadap karsinoma laring.1

Serak adalah gejala utama karsinoma laring, merupakan gejala paling dini tumor pita
suara. Hal ini disebabkan karena gangguan fungsi fonasi laring. Kualitas nada sangat dipengaruhi
oleh besar celah glotik, besar pita suara, ketajaman tepi pita suara. Adanya tumor di pita suara
akan mengganggu gerak maupun getara kedua pita suara tersebut. Serak menyebabkan kualitas
suara menjadi kasar, mengganggu, sumbang, dan nadanya lebih rendah dari biasa. Dispnea dan
stridor adalah gejala yang disebabkan oleh sumbatan jalan napas dan dapat timbul pada tiap
tumor laring.1

19
Kelumpuhan Pita Suara

Kelumpuhan pita suara adalah terganggunya pergerakan pita suara karena disfungsi saraf
ke otot-otot laring. Hal ini merupakan gejala suatu penyakit dan bukan diagnosis. Kelumpuhan
ini dapat congenital dan didapat.1

Pada kelumpuhan pita suara congenital gejala tersering adalah stridor. Kelainan ini tidak
selalu disertai kelainan bawaan lainnya. Akan tetapi hidrosefalus sering dikaitkan dengan
keadaan ini. Penyebab pasti kelumpuhan pita suara congenital belum diketahui secara pasti
diduga kelainan pada batang otak atau trauma kepala pada proses kelahiran.1

Kelumpuhan pita suara didapat bisa disebabkan oleh keganasan pada paru, esophagus
atau tiroid. Penyebab lain adalah tindakan pembedahan tiroid. Trauma leher atau kepala juga
dapat menjadi penyebab kelainan ini. Selain itu aneurisma arkus aorta, pembesaran jantung kiri
dan dilatasi arteri pulmonalis dapat menjadi penyebab, tuberculosis paru bias menjadi penyebab
kelumpuhan pita suara karena keterlibatan kelenjar atau jaringan parut di mediastinum. Kelainan
di sentral seperti penyakit serebrovaskuler dapat menyebabkan kelumpuhan pita suara. Pada
banyak kasus penyebab tidak diketahui (idiopatik).1

Gejala kelumpuhan pita suara didapat adalah suara parau, stridor atau bahkan disertai
kesulitan menelan tergantung pada penyebabnya. Pemeriksaan laringoskop diperlukan untuk
menentukan pita suara sisi mana yang lumpuh serta gerakan aduksi dan abduksinya. Selain itu
pemeriksaan laryngeal electromyography (LEMG) untuk mengukur arus listrik pada otot laring.
Pemeriksaan lain seperti foto toraks, tomografi computer atau MRI dilakukan tergantung pada
dugaan penyebabnya.1

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan disfonia sesuai dengan kelainan atau penyakit yang menjadi


etiologinya. Terapi dapat medikamentosa, vocal hygiene, terapi suara dan terapi bicara juga
tindakan operatif1

20
1. Radang akut
Istirahat berbicara dan bersuara selama 2-3 hari. Menghirup udara lembab. Menghindari
iritasi pada laring dan faring misalnya merokok, makan makanan yang pedas, atau minum
es. Antibiotik dapat diberikan, bila terdapat sumbatan laring dapat dilakukan pemasangan
pipa endotrakea atau trakeostomi.1

2. Radang kronis
Dapat diberikan pengobatan sesuai dengan penyebabnya, misal pada TBC,
maka diberikan antituberkulosis primer dan sekunder. Atau penyebabnya sinusitis, maka
dapat diberikan antibiotik, analgetik, mukolitik.1

3. Neoplasma
Seperti pada nodul pita suara dapat dilakukan penanggulangan awal yaitu istirahat bicara
dan terapi suara. Tindakan bedah mikro dapat dilakukan apabila ada
kecurigaan keganasan atau lesi fibrotik, nodul dapat diperiksa ke bagian
patologi anatomi. Sedangkan pada polip pita suara dilakukan penanganan standar yaitu
bedah mikro laring dan pemeriksaan patologi anatomi. Juga pada kista pita suara
dilakukan bedah mikro laring. Pada tumor jinak, dilakukan beda mikro atau juga dengan
sinar laser, oleh karena sering tumbuh lagi, maka tindakan ini diulangi berkali-kali.
Sedangkan pada tumor ganas, dapat diberikan obat sitostatika dan dilakukan terapi
radiasi, serta pembedahan ataupun kombinasi daripadanya.1

4. Paralisis pita suara


Pengobatan pada kelumpuhan pita suara adalah terapi suara dan bedah pita suara. Pada
umumnya terapi suara dilakukan terlebih dulu, sedangkan tindakan bedah pita suara dapat
dilakukan tergantung pada beratnya gejala, kebutuhan suara pada pasien,
posisi kelumpuhan pita suaradan penyebab kelumpuhan tersebut.1

21
5. Penatalaksanaan luka terbagi atas luka terbuka dan luka tertutup.
 Luka terbuka
Penatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama ditujukan pada perbaikan saluran
nafas dan mencegah aspirasi darah ke paru. Tindakan segera yang harus dilakukan adalah
trakeotomi dengan menggunakan kanul trakea yang memakai balon, sehingga tidak
terjadi aspirasi darah. Setelah trakeostomi barulah dilakukan eksplorasi untuk mencari
dan mengikat pembuluh darah yang cedera serta menjahit mukosa dan tulang rawan yang
robek. Untuk mencegah infeksi dan tetanus dapat diberikan antibiotika dan serum anti-
tetanus1

 Luka tertutup (closed injury)


Tindakan trakeostomi untuk mengatasi sumbatan jalan nafas tanpa memikirkan
penatalaksanaan selanjutnya akan menimbulkan masalah di kemudian hari, yaitu
kesukaran dekanulasi. Olson berpendapat bahwa eksplorasi harus dilakukan dalam waktu
paling lama 1 minggu setelah trauma. Eksplorasi yang dilakukan setelah lewat seminggu
akan memberikan hasil yang kurang baik dan menimbulkan komplikasi di kemudian hari.
Keputusan untuk menentukan sikap, apakah akan melakukan eksplorasi atau konservatif,
tergantung pada hasil pemeriksaan laringoskopi langsung atau tidak langsung, foto
jaringan lunak leher, foto toraks, dan CT scan.1
Indikasi untuk melakukan eksplorasi adalah:1
1. Sumbatan jalan nafas yang memerlukan trakeostomi.
2. Emfisema subkutis yang progresif.
3. Laserasi mukosa yang luas.
4. Tulang rawan krikoid yang terbuka.
5. Paralisis bilateral pita suara.

Eksplorasi laring dapat dicapai dengan membuat insisi kulit horizontal. Tujuannya ialah
untuk melakukan reposisi pada tulang rawan atau sendi yang mengalami fraktur atau dislokasi,
menjahit mukosa yang robek dan menutup tulang rawan yang terbuka dengan gelambir (flap)
atau tandur alih (graft) kulit. Untuk menyanggah lumen laring dapat digunakan stent atau mold
dari silastik, porteks atau silicon, yang dipertahankan selama 4 atau 6 minggu.1

22
PENCEGAHAN1

 Mengistirahatkan suara dengan cara berbisik atau tidak berbicara


 Mengonsumsi banyak cairan dan istirahat
 Mengevaluasi apakah memiliki infeksi jamur atau tidak, khususnya pada orang
dengan sistem kekebalan tubuh lemah atau menggunakan inhaler kortikosteroid
untuk asma
 Mengatasi jumlah asam berlebih di perut jika akibat acid reflux
 Belajar teknik bernapas, berbicara dan bernyanyi yang tepat
 Menghindari rokok, asap rokok dan alcohol
 Mengurangi kontak atau paparan iritasi seperti debu atau uap dari zat kimia

23
Penutup

Kesimpulan

Disfonia merupakan istilah umum untuk setiap gangguan suara yang disebabkan kelainan
pada organ-organ fonasi, terutama laring, baik yang bersifat organic maupun fungsional.
Disfonia bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan gejala penyakit atau kelainan pada
laring. Dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang yang baik, diagnosis
kelainan disfonia dapat ditemukan penyebabnya sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan yang
tepat.

Daftar Pustaka

1. Hermani B, Hutauruk SM. Disfonia. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Ternggorok Kepala & Leher. 6th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007

2. Ballenger, J.J. Anatomy of the larynx. In : Diseases of the nose, throat, ear, head, and
neck. 13th ed. Philadelphia, Lea&Febiger; 1993

3. Graney, D. and Flint, P. Anatomy. In: Cummings C,W. Otolaryngology-Head and Neck
Surgery. 2nd ed. St Louis: Mosby; 1993

4. Hollinshead, W.H. The pharynx and larynx. In: Anatomy For Surgeons. Volume 1: Head
and Neck. A hoeber-harper international edition; 1996

5. Lee, K.J. Cancer of the larynx. In: Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 8th
ed. Connecticut. McGraw-Hill; 2003

6. Feierabend RH, Malik SN. Hoarseness in Adults [Internet]. 2009 [updated 2009 August
15, cited 2016 July 10]. Available from: www.aafp.org/afp/2009/0815/p363.html

7. Lundy SD, Casiano RR. Diagnosis and Management of Hoarseness. 1999. [dikutip 2016
July 10]. Available from: http://www.turner-white.com/pdf/hp_oct99_hoarse.pdf.
24
8. Rosen CA, Deborah A, Thomas M. Evaluating Hoarseness: Keeping Your Patient's
Voice Healthy [Internet]. 1998 [Updated 1998 June 1, Cited 2016 July 10]. Available from:
www.aafp.org/afp/1998/0601/p2775.html

9. Doerr S. Hoarseness. www.medicinet.com. Diakses pada tanggal 12 Juli 2016.

25

Anda mungkin juga menyukai