Anda di halaman 1dari 13

REFERAT

PATOFISIOLOGI TERJADINYA SINUSITIS AKUT

Disusun oleh:
Vania Christy
112017261

Pembimbing:
dr. Erwinantyo Budi K, Sp. THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN THT

RS PANTI WILASA Dr. CIPTO

SEMARANG
PENDAHULUAN

Penyakit sinusitis merupakan salah satu penyebab gangguan kesehatan yang sering
dijumpai pada praktek sehari – hari. Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal. Sinus
Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus
sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap rongga sinus ini dilapisi lapisan mukosa yang
merupakan lanjutan mukosa rongga hidung dan bermuara di rongga hidung melalui ostium
masing-masing. Pada kondisi anatomi dan fisiologis normal, sinus terisi udara. Deviasi dari
struktur anatomi normal maupun perubahan fungsi lapisan mukosa dapat menjadi predisposisi
penyakit sinus.

ANATOMI HIDUNG

Hidung secara anatomi dibagi menjadi dua bagian yaitu hidung bagian luar (nasus
eksterna) dan rongga hidung (nasus interna) atau kavum nasi.

Bagian hidung yang paling menonjol ke depan disebut ujung hidung (apex nasi), pangkal
hidung disebut radiks nasi. Bagian hidung dari radiks hingga apex nasi disebut dorsum nasi.
Lubang hidung yang dipisahkan oleh sekat yang disebut kolumela. Di sebelah lateral nares
dibatasi oleh ala nasi kanan dan kiri.1

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis maksila
dan prosesus nasalis os frontal sedangkan tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan
yang terletak di bagian bawah hdung yaitu sepasang kertilago nasalis lateralis superior, sepasang
nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor dan tepi anterior kartilago
septum.2

Rongga hidung atau kavum nasi dibagi menjadi dua, kanan dan kiri yang dibatasi oleh
septum nasi yang sekaligus menjadi dinding medial rongga hidung. Kerangka septum dibentuk
oleh lamina prependikularis, kartilago kuadrangularis, tulang vomer, dan krista maksila dan
krista palatina yang menghubungkan septum dengan dasar rongga hidung. Ke arah belakang
rongga hidung berhubungan dengan nasofaring melalui sepasang lubang yang disebut koana
berbentuk lonjong.1

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares
anterior, yaitu vestibulum nasi. Vestibulum ini dilapisis oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4
buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior, dan superior. Dinding medial hidung adalah
septum nasi. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada
bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.2

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah
konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah konka
inferior dan yang terkecil adalah konka suprema yang biasanya rudimenter.. Di antara konka-
konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. BErdasarkan
letaknya, ada tiga meatus yatu meatus inferior, media, superior.2

FISIOLOGI HIDUNG

1. Penghidu
Nervus olfaktorius atau saraf kranial melayani ujung organ pencium. Serabut-serabut
saraf ini timbul pada bagian atas selaput lender hidung, yang dikenal sebagai bagian
olfaktorik hidung. Nervus olfaktorius dilapisi sel-sel yang sangat khusus, yang
mengeluarkan fibril-fibril halus untuk berjalin dengan serabut-serabut dari bulbus
olfaktorius. Bulbus olfaktorius pada hakekatnya merupakan bagian dari otak yang
terpencil, adalah bagian yang berbentuk bulbus (membesar) dari saraf olfaktorius yang
terletak di atas lempeng kribiformis tulang ethmoid. Dari bulbus olfaktorius, perasaan
bergerak melalui traktus olfaktorius dengan perantaraan beberapa stasiun penghubung,
hingga mencapai daerah penerimaan akhir dalam pusat olfaktori pada lobus temporalis
otak, dimana perasaan itu ditafsirkan.3

2. Saluran Pernapasan
Rongga hidung dilapisi selaput lendir yang sangat kaya akan pembuluh darah, dan
bersambung dengan lapisan faring dan dengan selaput lendir semua sinus yang
mempunyai lubang masuk ke rongga hidung. Daerah pernapasan dilapisi dengan
epithelium silinder dan sel epitel berambut yang mengandung sel cangkir atau sel lender.
Sekresi dari sel itu membuat permukaan nares basah dan berlendir. Diatas septum nasalis
dan konka selaput lender ini paling tebal, yang diuraikan di bawah. Adanya tiga tulang
kerang (konkhae) yang diselaputi epithelium pernapasan dan menjorok dari dinding
lateral hidung ke dalam rongga, sangat memperbesar permukaan selaput lendir
tersebut. Sewaktu udara melalui hidung, udara disaring oleh bulu-bulu yang terdapat di
dalam vestibulum, dan arena kontak dengan permukaan lender yang dilaluinya maka
udara menjadi hangat, dan oleh penguapan air dari permukaan selaput lender menjadi
lembab.3

3. Resonator
Ruang atas rongga untuk resonansi suara yang dihasilkan laring, agar memenuhi
keinginan menjadi suara hidung yang diperlukan. Bila ada gangguan resonansi, maka
udara menjadi sengau yang disebut nasolalia.3

KOMPLEKS OSTEOMEATAL (KOM)

Kompleks osteomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi
oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah
prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus
frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari
sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmmoid anteriordan frontal. Jika
terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, makan akan terjadi perubahan patologis yang
signifikan pada sinus-sinus yang terkait.2

SINUS PARANASAL4
Sinus paranasal adalah udara yang terdapat pada lubang-lubang tulang tengkorak tertentu. Ada
empat pada setiap sisinya. Sinus paranasal klinis telah dibagi menjadi dua kelompok.

Kelompok Anterior: adalah ethmoidal anterior, maksilaris, dan frontal. Mereka semua berada di
meatus media.

Kelompok Posterior: yaitu sinus ethmoidal posterior yang berada di meatus superior, dan sinus
sphenoid yang ada di reses spheno-ethmoidal.

SINUS MAXILARIS
Adalah sinus paranasal terbesar dan terletak di maksila. Sinus maksilaris berbentuk piramidal
dengan dasar ke arah dinding lateral hidung dan apex mengarah pada lateral ke dalam prosessus
zygomaticus . Rata-rata, sinus maksilaris memiliki kapasitas 15 ml pada orang dewasa.

SINUS FRONTAL
Sinus frontal terletak di antara bagian dalam dan luar tulang frontal di atas margin supra orbital.
Sinus frontalis dapat bervariasi dalam bentuk dan ukuran dan sering dilokalisasi. Dua sinus
frontal sering asimetris.

SINUS ETHMOIDALIS
Sinus ethmoidal adalah rongga udara berdinding tipis pada massa lateral tulang ethmoid.
Jumlahnya bervariasi dari 3 hingga 18. Ethmoidal menempati ruang antara sepertiga atas dinding
hidung lateral dan dinding medial orbita. Sel ethmoidal secara klinis dibagi menjadi grup
ethmoid anterior yang membuka ke meatus media dan grup ethmoid posterior yang membuka ke
meatus superior.

SINUS SPHENOID
Sinus sphenoid terletak pada os sphenoid. Dibagi menjadi duayang jarang simetris dan
dipisahkan oleh septum tulang tipis. Ostium dari sinus sphenoid terletak di bagian atas dinding
anterior dan mengalir ke reses sphenoethmoidal.

SINUSITIS
Sinusitis ditandai dengan peradangan pada lapisan sinus paranasal. Sinusitis dapat
diklasifikasikan berdasarkan anatomi (rahang atas, ethmoidal, frontal, sphenoidal), organisme
patogen (virus, bakteri, jamur), adanya komplikasi (orbital, intrakranial), dan faktor terkait
(poliposis hidung, imunosupresi, varian anatomi).5

ETIOLOGI

Agen etiologi sinusitis dapat berupa virus, bakteri atau jamur. Sinusitis virus biasanya
terjadi selama infeksi saluran napas atas; virus yang lazim menyerang hidung dan nasofaring
juga menyerang sinus. Mukosa sinus.paranasalis berjalan kontinu dengan mukosa hidung, dan
penyakit virus yang rnenyerang hidung perlu dicurigai dapat meluas ke sinus.6
Pada sinusitis bakteri, edema dan hilangnya fungsi silia nornral pada infeksi virus
menciptakan suatu lingkungan yang ideal untuk perkembangan infeksi bakteri. Infeksi ini
seringkali rnelibatkan lcbih dari satu baktcri. Organisme penyebab sinusitis akut mungkin sama
dengan penyebab otitis media. Yang scring ditemukandalam frekuensi yang makin menurun
adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, bakteri anerob, Branhamella
catarrhalis, streptokok alfa, Stoplrylococcus oureus, danStreptococcus pyogenes. Selama suatu
fase akut, sinusitis kronik dapat disebabkan oleh bakteri yang sama seperti yang menyebabkan
sinusitis akut.6
Namun, karena sinusitis kronik biasanya berkaitan dengan drainase yang tidak adekuat
ataupun fungsi mukosiliar yang terganggu, maka agen infeksi yang terlibat cenderung
oportunistik, di mana proporsi terbesar merupakan bakteri anaerob. Akibatnya, biakan rutin tidak
memadai dan diperlukan pengambilan sampel secara hati-hati untuk bakteri anaerob. Bakteri
aerob yang sering ditemukan dalarn frekuensi yang makin menurun antara lain Staphylococcus
aureus, Streptococcus viridans, Haemophilus influenzae, Neisseria flavus, Staphylococcus
epidermidis, Streptococcus pneumoniae, dan Escherichia coli. Bakteri anaerob termasuk
Peptostreptococcus, Corynebacterium, Bacteroides, danVeillonella. Infeksi campuran antara
organisme aerob dan anaerob seringkali terjadi.6

PATOFISIOLOGI
Sinus biasanya steril dalam kondisi fisiologis. Sekresi yang dihasilkan di sinus mengalir
oleh aktivitas silia melalui ostia dan mengalir ke rongga hidung. Pada individu yang sehat, aliran
sekresi sinus selalu searah (yaitu, menuju ostia), yang mencegah kontaminasi kembali sinus.
Pada kebanyakan individu, sinus maksilaris memiliki ostium tunggal (diameter 2,5 mm, 5 mm2
di area cross-sectional) yang berfungsi sebagai satu-satunya saluran keluar untuk drainase.
Saluran tipis ini menduduki sebagian besar dinding medial rongga sinus dalam posisi tidak
bergantung. Kemungkinan besar, edema mukosa pada 1- hingga 3-mm ini menjadi sesak dengan
beberapa cara (misalnya alergi, virus, iritasi kimia) yang menyebabkan obstruksi stasis saluran
keluar dari sekresi dengan tekanan negatif, yang menyebabkan infeksi oleh bakteri.5
Lendir yang tertahan, ketika terinfeksi, menyebabkan sinusitis. Mekanisme lain
berhipotesis bahwa karena sinus bersambungan dengan rongga hidung, bakteri yang
terkolonisasi di nasofaring dapat mengontaminasi sinus steril lainnya. Bakteri ini biasanya
dikeluarkan dengan pembersihan mukosiliar; dengan demikian, jika pembersihan mukosiliar
diubah, bakteri dapat diinokulasi dan infeksi dapat terjadi, yang menyebabkan sinusitis.5
Patofisiologi rinosinusitis terkait dengan 3 faktor:5
 Obstruksi saluran drainase sinus (sinus ostia)
 Kerusakan silia
 Perubahan kuantitas dan kualitas lendir

Obstruksi Drainase Sinus


Obstruksi ostia sinus mencegah drainase lendir yang normal. Ostia dapat diblokir oleh
pembengkakan mukosa atau penyebab lokal (misalnya, trauma, rhinitis), serta oleh gangguan
sistemik dan gangguan kekebalan terkait peradangan tertentu. Penyakit sistemik yang
mengakibatkan penurunan pembersihan mukosiliar, termasuk fibrosis kistik, alergi pernapasan,
dan primary ciliary dyskinesia (sindrom Kartagener), dapat menjadi faktor predisposisi untuk
sinusitis akut dalam kasus yang jarang. Pasien dengan defisiensi imun (misalnya,
agammaglobulinemia, gabungan imunodefisiensi variabel, dan imunodefisiensi dengan
penurunan imunoglobulin G [IgG] - dan imunoglobulin A [IgA] -seluruh sel) juga terdapat
peningkatan risiko yang mengembangkan sinusitis akut.5
Obstruksi mekanis karena polip hidung, benda asing, septum deviasi, atau tumor juga dapat
menyebabkan penyumbatan ostial. Secara khusus, variasi anatomi yang mempersempit kompleks
ostiomeatal, termasuk deviasi septum, membuat area ini lebih sensitif terhadap obstruksi
terhadap peradangan mukosa. Biasanya, tepi mukosa edematosa terlihat bergerigi, tetapi pada
kasus yang parah, lendir mungkin sepenuhnya mengisi sinus, sehingga sulit untuk membedakan
proses alergi dari sinusitis infeksi. Secara karakteristik, semua sinus paranasal terpengaruh dan
turbinat nasal yang berdekatan membengkak. Hipoksia di dalam sinus yang terobstruksi diduga
menyebabkan disfungsi siliaris dan perubahan dalam produksi lendir, yang semakin merusak
mekanisme normal untuk pembersihan lendir.5

Gangguan Fungsi Silia


Bertentangan dengan model sebelumnya dari fisiologi sinus, pola drainase sinus paranasal
tidak bergantung pada gravitasi tetapi pada mekanisme transpor mukosiliar. Koordinasi
metakronus dari sel epitel kolumnar bersilia mendorong isi sinus ke arah ostia sinus. Setiap
gangguan fungsi silia menyebabkan akumulasi cairan di dalam sinus. Fungsi silia yang buruk
dapat terjadi akibat hilangnya sel epitel silia; aliran udara yang tinggi; virus, bakteri, atau
ciliotoxins lingkungan; mediator inflamasi; kontak antara 2 permukaan mukosa; bekas luka; dan
sindrom Kartagener. Aktivitas silia dapat dipengaruhi oleh faktor genetik, seperti sindrom
Kartagener. Sindrom Kartagener berhubungan dengan silia yang lumpuh dan karenanya retensi
sekresi dan predisposisi terhadap infeksi sinus. Fungsi silia juga berkurang dengan adanya pH
rendah, anoxia, asap rokok, racun kimia, dehidrasi, dan obat-obatan (misalnya, obat
antikolinergik dan antihistamin).5
Paparan racun bakteri juga dapat mengurangi fungsi siliaris. Sekitar 10% kasus sinusitis
akut dihasilkan dari inokulasi langsung sinus dengan sejumlah besar bakteri. Abses gigi atau
prosedur yang menghasilkan komunikasi antara rongga mulut dan sinus dapat menghasilkan
sinusitis oleh mekanisme ini. Selain itu, aktivitas silia dapat terpengaruh setelah infeksi virus
tertentu. Beberapa faktor lain dapat menyebabkan gangguan fungsi siliaris. Udara dingin
dikatakan “menyengat” epitel siliaris, menyebabkan gangguan gerakan siliaris dan retensi sekresi
di rongga sinus. Sebaliknya, menghirup udara kering mengeringkan lapisan mukosa sinus, yang
menyebabkan berkurangnya sekresi. Setiap lesi massa dengan saluran udara hidung dan sinus,
seperti polip, benda asing, tumor, dan pembengkakan mukosa dari rinitis, dapat memblokir ostia
dan mempengaruhi sekresi yang ditahan dan infeksi berikutnya. Trauma wajah atau inokulasi
besar dari berenang dapat menghasilkan sinusitis juga. Minum alkohol juga dapat menyebabkan
mukosa hidung dan sinus membengkak dan menyebabkan gangguan drainase mukosa.5

Kualitas dan Kuantitas Lendir yang Berubah


Sekresi sinonasal memainkan peran penting dalam patofisiologi rinosinusitis. Mukosa yang
melapisi sinus paranasal mengandung mucoglycoproteins, imunoglobulin, dan sel-sel inflamasi.
Mukosa ini terdiri dari 2 lapisan: (1) lapisan serosa dalam (yaitu, fase sol) di mana silia pulih dari
gerakan aktif mereka dan (2) lapisan luar, lebih kental (yaitu, fase gel), yang diangkut oleh
gerakan silia. Keseimbangan yang tepat antara fase sol dalam dan fase gel luar adalah sangat
penting untuk pembersihan mukosiliar normal.5
Jika komposisi lendir berubah, sehingga lendir yang dihasilkan lebih kental (misalnya,
seperti pada cystic fibrosis), transportasi menuju ostia melambat secara signifikan, dan lapisan
gel menjadi lebih tebal. Ini menghasilkan kumpulan lendir tebal yang disimpan di sinus untuk
berbagai periode. Berkurangnya sekresi atau hilangnya kelembaban di permukaan yang tidak
dapat dikompensasi oleh kelenjar lendir atau sel goblet, lendir menjadi semakin kental, dan fase
sol dapat menjadi sangat tipis, sehingga memungkinkan fase gel untuk memiliki kontak intens
dengan silia dan menghalangi aktivitas mereka. Overproduksi lendir dapat membanjiri sistem
pembersihan mukosiliar, menghasilkan sekresi yang ditahan di dalam sinus.5

Sinusitis Akut dalam Pengaturan Perawatan Intensif


Sinusitis akut pada populasi perawatan intensif adalah perwujudan yang berbeda, terjadi
pada 18-32% pasien dengan periode intubasi yang lama, dan biasanya didiagnosis selama
evaluasi demam yang tidak dapat dijelaskan. Kasus di mana penyebabnya adalah obstruksi
biasanya jelas dan dapat mencakup adanya intubasi nasogastrik atau nasotrakeal yang
berkepanjangan. Selain itu, pasien dalam pengaturan perawatan intensif umumnya lemah,
membuat predisposisi mereka untuk komplikasi septik, termasuk sinusitis.5

MANIFESTASI KLINIK
Gejala rinosinusitis bakteri akut termasuk yang berikut:5
 Nyeri atau tekanan pada wajah (terutama unilateral)
 Hyposmia/anosmia
 Hidung tersumbat
 Drainase hidung
 Postnasal drip
 Demam
 Batuk
 Kelelahan
 Nyeri gigi maksila
 Telinga penuh

PEMERIKSAAN FISIK
Inspeksi
Yang diperhatikan ialah adanya pembengkakan pada muka. Pembengkakan di pipi sampai
kelopak mata bawah yang berwarna kemerahan mungkin menunjukkan sinusitis maksila akut.
Pembengkakan di kelopak mata atas mungkin menunjukkan sinusitis frontal akut. Sinusitis
etmoid akut jarang menyebabkan pembengkakan di luar, kecuali bila telah terbentuk abses.2

Palpasi
Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan adanya sinusitis maksila. Pada
sinusitis frontal terdapat nyeri tekan di dasar sinus frontal yaitu pada bagian medial atap orbita.
Sinus etmoid menyebabkan rasa nyeri tekan di daerah kantus medius.2

Transiluminasi
Transiluminasi mempunyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk memeriksa
sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologi tidak tersedia. Bila pada
pemeriksaan transiluminasi tampak gelap di daerah orbita, mungkin berarti antrum terisi oleh pus
atau mukosa antrum menebal atau terdapat neoplasma di dalam antrum.2
Bila terdapat kista yang besar di dalam sinus maksila, akan tampak terang pada
pemeriksaan transiluminasi, sedangkan pada foto rontgen tampak adanya perselubungan berbatas
tegas di dalam sinus maksila.2
Transiluminasi pada sinus frontal hasilnya lebih meragukan. Besar dan bentuk kedua sinus
ini seringkali tidak sama. Gambaran yang terang berarti sinus berkembang dengan baik dan
normal, sedangkan gambaran yang gelap mungkin berarti sinusitis atau hanya menunjukkan
sinus yang tidak berkembang.2
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Radiologi
Bila dicurigai adanya kelainan di sinus paranasal, maka dilakukan pemeriksaan radiologi.
Posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters, PA dan lateral. Posisi Waters terutama untuk
melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi postero-anterior untuk
menilai sinus frontal dan lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid, etmoid. Metode mutakhir
yang lebih akurat untuk melihat kelainan sinus paranasal adalah pemeriksaan CT Scan. Potongan
CT Scan yang rutin dipakai adalah koronal dan aksial. Indikasi utama CT Scan hidung dan sinus
paranasal adalah sinusitis kronik, trauma dan tumor.2

Sinoskopi
Pemeriksaan ke dalam sinus maksila menggunakan endoskopi. Endoskopi dimasukkan
melalui lubang yang yang dibuat di meatus inferior atau fosa kanina. Dengan sinoskopi dapat
dilihat keadaan di dalam sinus, apakah ada secret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau
kista, bagaimana keadaan mukosa dan apakah ostiumnya terbuka.2

PENATALAKSANAAN
Pengobatan harus berupa terapi infeksi dan faktor-faktor penyebab infeksi secara
berbarengan. Disamping terapi obat-obatan yang memadai dengan antibiotik dan dekongestan,
juga perlu diperhatikan predisposisi kelainan obstruktif dan tiap alergi yang mungkin ada.6
Tindakan bedah sederhana pada sinusitis maksilaris kronik adalah membuat suatu lubang
drainase yang memadai. Prosedur yang paling lazim adalah nasoantrostomi atau pembentukan
fenestra nasoantral. Sepotong dinding medial meatus inferior dilcpaskan guna memungkinkan
drainase gravitasional dan ventilasi, dan dengan demikian mernungkinkan pula regenerasi
membrana mukosa yang sehat dalam sinus maksilaris. Suatu prosedur yang lebih radikal
dinamakan menurut dua ahli bedah yang mempopulerkannya- operasi Caldwell-Luc. Pada
prosedur bedah ini, epitel rongga sinus maksilaris diangkat seluruhnya dan pada akhir prosedur
dilakukan antrostomi untuk drainase sesuai cara yang dijelaskan sebelumnya. Hasil akhir
memuaskan karena membran mukosa yang sakit telah diganti oleh mukosa nonnal atau terisi
dengan jaringan parut lambat. Pembedahan sinus endoskopik, merupakan suatu teknik yang
memungkinkan visualisasi yang baik dan magrifikasi anatomi hidung dan ostium sinus nonnal
bagi ahli bedah, teknik ini menjadi popular akhir-akhir ini.6

PROGNOSIS
Sinusitis tidak menyebabkan kematian yang signifikan. Namun, sinusitis dengan
komplikasi dapat menyebabkan morbiditas dan, dalam kasus yang jarang, kematian. Sekitar 40%
kasus sinusitis akut sembuh secara spontan tanpa antibiotik. Obat spontan untuk sinusitis virus
adalah 98%. Pasien dengan sinusitis akut, ketika diobati dengan antibiotik yang tepat, biasanya
menunjukkan perbaikan yang cepat. Tingkat kambuh setelah pengobatan yang berhasil adalah
kurang dari 5%.5
Dengan tidak adanya respons dalam waktu 48 jam atau perburukan gejala, evaluasi kembali
pasien. Rinosinusitis yang tidak diobati atau tidak diobati dapat menyebabkan komplikasi seperti
meningitis, tromboflebitis sinus kavernosa, selulitis orbital atau abses, dan abses otak.5
Pada pasien dengan rinitis alergi, pengobatan agresif dari tanda-tanda edema mukosa, yang
dapat menyebabkan obstruksi saluran keluar sinus, dapat menurunkan sinusitis sekunder. Jika
adenoid terinfeksi secara kronis, menghilangkan adenoid untuk mengurangi infeksi dan dapat
menurunkan infeksi sinus.5

KESIMPULAN
Sinusitis adalah penyakit yang di daerah sinus. Sinus itu sendiri rongga udara yang terdapat
di area wajah yang terhubung dengan hidung. Sinusitis merupakan salah satu penyakit atau
kelainan pada sinus paranasal yang terjadi karena aktivitas silia yang terganggu sehingga tidak
dapat membersihkan rongga-rongga sinus dari bakteri dan virus. Dampak yang di timbulkan oleh
penyakit ini bervariasi, mulai dari yang ringan sampai dengan yang berat. Betapapun ringannya
dampak yang ditimbulkan, penyakit ini selalu menyebabkan penurunan kualitas kualitas hidup
penderitanya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Herawati S, Rukmini S. Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok untuk
mahasiswa kedokteran gigi. Jakarta: EGC; 2015. h. 8-11.
2. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorok kepala&leher. Edisi ke-7. Jakarta: FKUI; 2012. h. 96-130.
3. Pearce EC. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta: Gramedia; 2009.
4. Dhingra PL, Dhingra S. Diseases of ear, nose, and throat & head-neck surgery. 6th
edition. New Delhi: Elsevier; 2014. p. 187-210.
5. Brook I. Acute sinusitis. 2018. Diunduh dari
https://emedicine.medscape.com/article/232670 pada tanggal 8 Juni 2018.
6. Boies A. Buku ajar penyakit tht. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2015. h. 171-260.

Anda mungkin juga menyukai