Anda di halaman 1dari 56

Serial Case

MEDIASTINITIS

Oleh :

dr. Muhammad Firdauz


dr. Srigunda Arisya Fadilla
dr. Ihsan
dr. Mulfa Satria Asnel

Pembimbing :
dr. M. Riendra, Sp.B-TKV (K) VE
dr. Aulia Rahman, Sp.BTKV
dr. Ardiansyah, Sp.BTKV

i
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. MDJAMIL PADANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan kurnia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
serial case ini yang berjudul Mediastinitis.
Serial case ini ditulis dengan tujuan agar dapat menambah wawasan dan
pengetahuan penulis dan pembaca mengenai Mediastinitis, selain itu juga untuk
memenuhi salah satu syarat dalam menjalani stase di Bagian Ilmu Bedah di
RSUP dr. M. Djamil, Padang Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan serial case ini, terutama kepada pembimbing
yang telah meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan, saran dan
perbaikan kepada penulis.
Dengan demikian, penulis berharap agar serial case ini dapat bermanfaat
dalam menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai Mediastinitis.

Padang, Desember 2022

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar belakang...........................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan.......................................................................................2
1.3 Batasan Masalah........................................................................................2
1.4 Metode Penulisan......................................................................................3
BAB II TINAJUAN PUSTAKA..............................................................................4
2.1 Definisi......................................................................................................4
2.2 Anatomi Mediastinum...............................................................................4
2.3 Epidemiologi.............................................................................................9
2.4 Etiologi dan Faktor Resiko......................................................................10
2.5 Patogenesis..............................................................................................12
2.6 Manifestasi Klinis....................................................................................13
2.7 Diagnosis.................................................................................................14
2.8 Tatalaksana..............................................................................................18
2.9 Komplikasi..............................................................................................22
2.10 Prognosis.................................................................................................22
BAB III LAPORAN KASUS................................................................................24
BAB IV DISKUSI.................................................................................................43
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................47

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Mediastinitis merupakan inflamasi atau infeksi yang melibatkan
mediastinum. Mediastinum adalah ruang didalam rongga thoraks yang dibatasi
oleh pleura dibagian lateral, thoracic outlet dibagian superior, dan diafragma
dibagian inferior. Didalam mediastinum terdapat banyak struktur vital, yaitu
jantung, aorta, trakea, bronkus utama, esofagus, nervus frenikus, nervus vagus,
dan duktus thorasikus.1
Prevalensi mediastinitis pada pria 6 kali lebih tinggi dibandingkan wanita,
yang biasanya terjadi pada usia sekitar 30-50 tahun, dengan tingkat mortalitas
berkisar 19-47%. Walaupun mediastinitis jarang terjadi, namun mediastinitis
dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis banding jika terdapat infeksi yang
melibatkan organ vital di mediastinum, karna dapat mengancam jiwa dan
memerlukan tindakan segera.2,3
Terdapat berbagai subtipe mediastinitis, diantaranya adalah postoperative
mediastinitis, descending necrotizing mediastinitis yang terjadi secara akut serta
fibrosing mediastinitis yang terjadi secara kronik.1 Mediastinitis akut merupakan
proses infeksi yang menyebar secara cepat ke mediastinum. Biasanya infeksi
berawal dari cervical lalu meluas kebawah atau ke mediastinum yang disebut juga
dengan Descending Necrotizing Mediastinitis. Tindakan pembedahan juga dapat
menyebabkan mediastinitis atau disebut juga dengan postoperative mediastinitis.
Hal ini terjadi akibat proses infeksi selama intraoperatif sternotomi (post-
sternotomy mediastinitis) atau infeksi dari luka bekas operasi yang dapat
menyebar ke mediastinum (deep sternal wound infections). Sedangkan penyebab
mediastinitis kronik dapat berupa infeksi atau proses kronik yang menyebabkan
fibrosis dengan atau tanpa granulasi. Biasanya proses ini disebabkan oleh
tuberkulosis atau histoplasmosis.1,4
Tanda dan gejala mediastinitis akut diantaranya adalah demam, nyeri dada,
disfagia, gagal nafas, dan adanya krepitasi subkutan pada daerah servikal dan
thoraks bagian atas. Pada kasus yang berat, dapat terjadi sepsis, terganggunya

1
hemodinamik, bahkan kematian. Sedangkan, reaksi granulasi pada mediastinitis
kronik sebagian besar tidak menimbulkan gejala atau tanda. Namun pada
penderita fibrosis karena mediastinitis kronik menunjukkan tanda penyempitan
dan obstuksi trakeobrankial, atau pada kasus yang lebih jarang dapat
menyebabkan penekanan pada vena pulmonalis, arteri pulmonalis, dan esofagus.4,5
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah rontgen. Gambaran
rontgen yang mungkin terlihat pada mediastinitis berupa empiema dirongga
pleura atau emfisema di jaringan mediastinum dan leher. Pada mediastinitis
kronik dapat terlihat bayangan massa, sedangkan pada mediastinitis akut sering
tanpa gambaran radiologik yang jelas. Pemeriksaan CT scan perlu dilakukan
untuk mengetahui penyebaran dan merupakan pendekatan terbaik untuk
dilakukanya drainase.4,5
Setelah diagnosis ditegakkan, pengobatan harus dilakukan secara cepat.
Terapi yang diberikan diantaranya resusitasi cairan yang memadai, antibiotik, dan
bila terdapat udara di mediastinum atau nanah di rongga pleura harus segera
dikeluarkan. Mediastinitis akut merupakan keadaan darurat bedah yang harus
segera ditatalaksana dan ditujukan untuk mentatalaksana sumber infeksinya,
seperti perforasi esofagus, abses orofaringeal ataupun infeksi yang sudah
menyebar ke mediastinum, leher, pleura, ataupun organ lainnya. Sebagian besar
kasus mediastinitis memerlukan tindakan bedah untuk menegakkan diagnosis dan
membebaskan penyempitan organ yang terkena. Oleh karena itu perlu
ditingkatkan kecurigaan yang tinggi pada setiap pasien dengan infeksi yang dapat
berhubungan dengan kompartemen pada mediastinum.1,4,5

1.2 Tujuan Penulisan


Penulisan Serial Case ini bertujuan untuk mengetahui definisi,
epidemiologi, klasifikasi, patofisiologi, kelainan yang timbul, pemeriksaan
penunjang, penatalaksanaan, dan komplikasi mediastinitis.

2
1.3 Batasan Masalah
Penulisan Serial Case ini membahas tentang definisi, epidemiologi,
klasifikasi, patofisiologi, kelainan yang timbul, pemeriksaan penunjang,
penatalaksanaan, dan komplikasi mediastinitis.
1.4 Metode Penulisan
Penulisan Serial Case ini menggunakan tinjauan kepustakaan yang merujuk
kepada berbagai literatur.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Mediastinitis merupakan inflamasi atau infeksi yang terjadi pada
mediastinum. Mediastinum merupakan ruang didalam rongga thoraks yang
dibatasi oleh pleura dibagian lateral, thoracic outlet dibagian superior, dan
diafragma dibagian inferior. Organ vital yang terdapat didalam mediastinum
antara lain jantung, aorta, trakea, bronkus utama, esofagus, nervus frenikus,
nervus vagus, dan duktus thorasikus.1,2
Terdapat berbagai subtipe mediastinitis, diantaranya adalah postoperative
mediastinitis, descending necrotizing mediastinitis, dan fibrosing mediastinitis.
Pada era modern, kasus yang paling sering dijumpai adalah postoperative
mediastinitis dan descending necrotizing mediastinitis karena subtipe tersebut
merupakan kondisi akut yang terjadi tiba-tiba dan merupakan kondisi yang berat.
Sedangkan pada subtipe fibrosing mediastinitis merupakan kondisi yang kronik.1
Mediastinitis akut adalah infeksi jaringan ikat ruang mediastinum
intrapleural dan sekitarnya. Infeksi menyebar melalui ruang servikal ke
mediastinum melalui tekanan negative intratoraks dan gravitasi. Sumber infeksi
dapat berasal dari infeksi odontogenic, infeksi jaringan lunak faring, sinusitis, atau
trauma servikal. Mediastinitis akut dikaitkan dengan angka kematian yang tinggi
kecuali jika didiagnosis dan diobati dengan segera.6

2.2 Anatomi Mediastinum


Mediastinum merupakan struktur yang terletak di bagian tengah rongga
thoraks, berada diantara pleura parietal dekstra & sinistra. Mediastinum dibatasi
oleh sternum dibagian ventral sampai columna vertebralis II -XII di bagian dorsal.

4
Disebelah cranial nya dibatasi oleh apertura thoracis superior dan dibagian caudal
nya dibatasi oleh diafragma.7
Organ-organ yang terdapat di mediastinum terdiri dari thymus, jantung,
trakea, serta arteri dan vena besar. Mediastinum juga merupakan saluran untuk
esofagus, ductus thoracicus, dan sistem nervus saat struktur tersebut melintasi
rongga thoraks menuju abdomen.7

Gambar 2.1 Batas-batas mediastinum pada thoraks7


Mediastinum dibagi menjadi 2 bagian secara horizontal berdasarkan garis
lurus pada angulus sternum dan vertebrae thorakal IV (horizontal plane), yaitu
mediastinum superior dan mediastinum inferior, dimana mediastinum inferior
terbagi lagi menjadi mediastinum anterior, mediastinum medium, dan
mediastinum posterior.4

Gambar 2.2 Pembagian mediastinum7


Mediastinum superior merupakan bagian mediastinum diatas perikardium,
batas bagian bawah adalah garis khayal yang menghubungkan angulus sterni dan

5
diskus vertebralis antara vertebra torakal IV. Mediastinum superior terbagi
menjadi 3 bagian, yaitu:4
 Superfisial : terdapat kelenjar timus, vena brachiocephalica kiri, vena
brachiocephalica kanan, dan vena cava superior
 Intermediet : terdapat arkus aorta dan 3 cabang nya (arteri brachiocephalica
kanan, arteri carotis komunis kiri, dan arteri subklavia kiri)
 Profunda : terdapat trakea, esofagus, dan ductus thoracicus

C
Gambar 2.3 A. Mediastinum superior superfisial; B. Mediastinum Superior
intermediet; C. Mediastinum superior profunda8
Mediastinum inferior merupakan ruangan pada mediastinum yang terletak
dibawah angulus sternum dan vertebrae thorakal IV, dimana mediastinum
inferior terbagi menjadi 3 bagian:7,8
• Mediastinum anterior, dibatasi oleh horizontal plane di bagian superior,
diafragma dibagian inferior, processus xiphoideus dan sternum dibagian
anterior, jantung di bagian posteior, dan pleura di bagian lateral. Terdapat
kelenjar timus dan kelenjar getah bening.

6
• Mediastinum medium, dibatasi oleh anterior dan posterior dari
mediastinum. Terdapat jantung & pericardium, aorta asenden, trunkus
pulmonal, vena cava superior & inferior, vena pulmonalis kanan & kiri,
nervus frenikus kanan & kiri, kelenjar getah bening
• Mediastinum posterior, dibatasi oleh horizontal plane dibagian superior,
diafragma dibagian inferior, jantung di bagian anterior, vertebrae thorakal
V-VII di bagian posterior, dan pleura di bagian lateral. Terdapat esofagus,
sistem azigos vena, trunkus torakal simpatikus kanan dan kiri, kelenjar
getah bening mediastinal, nervus vagus, duktus thorasikus, dan aorta

desenden.
Gambar 2.4 Mediastinum anterior, Mediastinum medium, dan Mediastinum
posterior8
Persyarafan yang melewati mediastinum diantaranya adalah nervus
frenikus yang keluar dari cervical III,IV,V melewati mediastinum superior dan
mediastinum medium. Nervus frenikus kanan turun melewati sisi kanan vena
cava superior dan jantung, sedangkan nervus frenikus kiri turun melewati sisi
kiri jantung dan keduanya melewati dan menginervasi diafragma. Nervus
tersebut akan bercabang untuk mensyarafi motorik dan sensorik dari diafragma
dan sensorik pada pleura dan perikardium. Selain itu juga terdapat nervus vagus
yang keluar dari nervus kranialis X, melewati bagian mediastinum superior &
posterior (dekat dengan trakea dan sisi medial dari nervus frenikus). Nervus
vagus kanan turun melewati sisi kanan dari trakea, membentuk pleksus esofagus
posterior dan berlanjut ke abdomen menjadi nervus gaster posterior, sedangkan

7
nervus vagus kiri turun ke antara arteri karotis komunis dan arteri subklavia kiri
(tidak melalui trakea), membentuk pleksus esofagus anterior dan berlanjut ke
abdomen menjadi nervus gaster anterior.7,8

Gambar 2.5 Persyarafan yang melewati mediastinum7


Pembuluh darah yang melewati mediastinum diantaranya adalah aorta
asenden yang mensuplai darah ke mediastinum media. Aorta tersebut keluar dari
orificium aorta pada ventrikel kiri dan berlanjut menjadi arkus aorta (pada T4)
yang mensuplai mediastinum superior dan berlanjut menjadi aorta desenden pars
thorakalis (pada T4) yang mensuplai mediastinum posterior dan berlanjut
menjadi aorta pas abdominal setelah melewati diafragma di T12.7

Gambar 2.6 Pembuluh darah pada mediastinum7


Duktus thoracicus pada mediastinum dimulai dari kelanjutan dari cisterna
chyli pada L1 yang melewati aorta pars diafragma, lalu berlanjut ke mediastinum
posterior (melalui posterior dari esofagus) dan mediastinum superior (melalui sisi
kiri esofagus) dan berakhir pada vena brachiocephalica kiri. Aliran tersebut

8
menerima limfatik dari seluruh tubuh kecuali sisi kanan thoraks, ekstremitas
kanan atas, dan sisi kanan kepala dan leher.7,8

Gambar 2.7 Aliran limfatik pada mediastinum7

2.3 Epidemiologi
Prevalensi mediastinitis pada pria lebih tinggi dibandingkan wanita, ratio 6 :
1, yang biasanya terjadi pada usia 30-50 tahun, dengan tingkat mortalitas dari
mediastinitis berkisar 19-47%. Insiden dan prevalensi pada mediastinitis secara
keseluruhan dan descending necrotizing mediastinitis serta fibrosing mediastinitis
secara umum belum ada. Namun, postoperative mediastinitis mempunyai insiden
yang rendah, yaitu sekitar 0,3-5% dengan rata-rata 1-2% kejadian pada
kebanyakan rumah sakit.1 Angka kejadian yang lebih tinggi dihubungkan dengan
operasi transplantasi jantung, coronary artery bypass graft (CABG) dengan
pembedahan pada aorta, thoraks, dan katup.2
Sebanyak 70% dari kejadian mediastinitis adalah descending necrotizing
mediastinitis, namun seiring kemajuan teknologi dalam pencitraan dan antibiotik,
maka angka kejadiannya pun semakin menurun. Sedangkan pada fibrosing
mediastinitis, terdapat hubungan dengan subtipe granulomatosa yang lebih sering
ditemukan di Amerika Utara, dimana terjadi peningkatan prevalensi histoplasma
capsulatum.2,3

9
2.4 Etiologi dan Faktor Resiko
Faktor risiko mediastinitis secara umum dibagi menjadi tiga, yaitu
preoperatif, intraoperatif, dan postoperatif. Faktor risiko preoperatif meliputi usia
lanjut, diabetes mellitus, obesitas, riwayat sternotomi, penyakit paru obstruktif
kronik, penyakit vaskular perifer, gagal ginjal yang memerlukan hemodialisis, dan
riwayat endocarditis. Indeks Massa Tubuh (IMT) >30 memiliki risiko 2,2–6,5 kali
lebih besar untuk mengalami mediastinitis. Peningkatan risiko tersebut
disebabkan karena multifaktorial dan melibatkan peningkatan kesulitan saat
operasi, waktu operasi yang lebih lama, meningkatkan resiko perdarahan, dan
antibiotik preoperatif menjadi tidak adekuat. Faktor risiko dari jenis kelamin
hingga saat ini masih belum jelas.
Faktor risiko intraoperatif yang telah diidentifikasi antara lain seperti
operasi transplantasi jantung, penggunaan salah satu atau kedua arteri thorasika
interna pada CABG, waktu operasi bypass cardiopulmoner yang lebih lama, suhu
tinggi (>38℃) pada operasi bypass cardiopulmoner, dan penggunaan antibiotik
profilaksis pada waktu yang salah. Sedangkan untuk faktor risiko postoperatif
antara lain yaitu pada pasien yang membutuhkan re-eksplorasi untuk mengontrol
perdarahan, memerlukan waktu yang lebih lama untuk dirawat di ICU,
membutuhkan ventilasi mekanik yang lebih lama (>48 jam), pasien dengan
trakeostomi, kurangnya kontrol gula darah saat perioperative dan postoperatif,
infeksi miokard postoperatif, dan transfusi produk darah.9
Terdapat 3 etiologi yang paling sering ditemukan, yaitu deep sternal would
infection (DSWI), perforasi esofageal, dan descending necrotizing mediastinitis
(DNW). 10
a) Deep Sternal Wound Infection (DSWI)
Terminologi DSWI mendeskripsikan suatu proses dimana mediastinum
mengalami infeksi sekunder karena adanya infeksi luka dalam setelah
dilakukannya sternotomi. CDC mendefinisikan DSWI dengan adanya manifestasi
klinis demam, nyeri dada atau instabilitas sternal dengan salah satu gejala berikut:
nanah yang muncul dari luka operasi; pelebaran mediastinum pada pencitraan;
teridentifikasinya mikroorganisme dari kultur jaringan atau cairan mediastinum;

10
atau bukti histopatologi yang menyatakan mediastinitis dari jaringan
mediastinum.
Klasifikasi terbaru dari DSWI berdasarkan kedalaman dan luasnya infeksi dibagi
menjadi 4 yang berkorelasi dengan beratnya derajat infeksi. Infeksi pada tipe 1
terjadi hanya pada kulit dan jaringan subkutan, tipe 2 terjadi pada sternum
dan/atau iga, tipe 3 adanya bone loss dari sternum dan/atau iga, tipe 4 adalah
ketika mediastinum terinfeksi.
Faktor risiko DSWI bisa berasal dari pasien ataupun selama operasi. Faktor
risiko yang berhubungan dengan pasien yang dapat meningkatkan risiko DSWI
antara lain adalah usia lanjut, obesitas, peningkatan kreatinin preoperatif, penyakit
vaskular perifer, diabetes mellitus, hiperglikemi pada pasien non diabetes,
penyakit paru obstruktif kronis, merokok, dan gagal jantung. Faktor risiko yang
berhubungan pada saat operasi adalah operasi transplantasi, waktu operasi yang
lebih lama, dan trakeostomi.
b) Perforasi Esofagus
Perforasi esofagus dapat menyebabkan mediastinitis karena pada esofagus
terjadi kolonisasi mikrooganisme komensal dan hospital. Sekitar 60% dari
penyebab perforasi esofagus iatrogenic disebabkan oleh prosedur endoskopi, 8-
33% disebabkan oleh perforasi spontan (termasuk sindrom boerhaave), 17%
perforasi esofagus disebabkan akibat traumatik dan perforasi. Angka kejadian
perforasi esafagus dilaporkan jarang terjadi yaitu 3.1 per satu juta populasi dengan
mortalitas 20%.
Perforasi esofagus juga dapat terjadi akibat kegagalan anastomosis pada
pembedahan. Angka terjadinya komplikasi postoperative yang mengancam nyawa
adalah sebanyak 2-30% dari anastomosis esofagus dengan tingkat mortalitas 2-
12%. Kebocoran anastomosis dapat dibagi menjadi berikut: derajat 1 ditemukan
bukti radiologis tanpa adanya tanda klinis; derajat 2 ditemukan tanda klinis minor;
derajat 3 ditemukan tanda klinis mayor; dan derajat 4 terjadinya nekrosis.
c) Descending Necrotizing Mediastinitis (DNM)
Descending necrotizing mediastinitis (DNM) adalah proses infektif yang
berasal dari teliga, hidung, atau tenggorokan dan menyebar secara inferior ke
mediastinum melalui jaringan ikat. DNM juga didefinisikan dengan adanya

11
infeksi orofaring yang parah dengan tanda radiologis yang menunjukan
mediastinitis. DNM dapar diklasifikasikan menjadi beberapa tipe yaitu tipe I
(terlokalisasi), tipe IIa (difus, menyebar ke anterior bawah mediastinum), dan tipe
IIb (difus, menyebar ke anterior dan posterior bawah mediastinum).
DNM disebabkan oleh infeksi odontogenic (36-47%), infeksi faringeal (33-
45%), atau infeksi servical (15%) dan pada 6% kasus sumber infeksi tidak
diketahui. Faktor risiko DNM yang paling sering ditemukan adalah fungsi imun
tubuh yang terganggu, diabetes, penggunaan glukokortikoid oral, penurunan
oksigenasi jaringan akibat gagal jantung, insufisiensi respiratori, dan penyakit
oklusi arteri perifer. Pada 13% kasus DNM tidak didapatkan penyakit komorbid
pada pasien. Mortalitas DNM cukup tinggi dan dilaporkan sebanyak 15-30%
dengan risiko kematian lebih tinggi apabila terjadi diagnosis yang terlambat,
drainase mediastinum yang tidak adekuat, usia lanjut, dan derajat DNM yang
lebih parah.11,12
d) Acute Hematogenous Mediastinitis
Penyebab yang jarang ditemukan pada mediastinitis adalah mediastinitis
primer akibat infeksi yang menyebar dengan cara hematogen. Meskipun dapat
ditemukan pada pasien yang dirawat di ICU, hanya sedikit laporan pasien yang
dapat menjelaskan proses penyakit ini. Oleh karena itu, etiologi ini belum
dimengerti dan modalitas pengobatan masih belum terelaborasi dengan jelas.10

Gambar 2.8 Faktor Risiko Mediastinitis10

12
2.5 Patogenesis
Mediastinitis disebabkan oleh infeksi pada struktur mediastinum akibat
cedera langsung atau sekunder akibat proses infeksi akut. Mediastinitis pasca
operasi telah dikaitkan dengan kontaminasi intraoperatif, meskipun penyebaran
infeksi dapat terjadi pasca operasi dari luka operasi yang terinfeksi ke dalam
mediastinum. Sebagian besar kasus disebabkan oleh bakteri gram positif, terutama
Staphylococcus aureus dan staphylococcus koagulase-negatif yaitu 60%-80%
kasus. Infeksi yang terkait dengan S. aureus seringkali disebabkan oleh
kontaminasi intraoperatif dari ahli bedah atau staf bedah yang merupakan karier
atau secara endogen dari nares pasien. Staphylococcus koagulase-negatif
merupakan flora kulit normal, sehingga memungkinkan untuk menginfeksi luka
post operasi. Meskipun S. aureus dan Staphylococcus koagulase-negatif adalah
penyebab paling umum, bakteri gram positif lainnya, bakteri gram negatif, dan
jamur (jarang) adalah agen penyebab lain dari mediastinitis.
Descending necrotizing mediastinitis adalah penyebaran infeksi dari faring,
odontogenik, atau cervical yang berlanjut ke mediastinum. Infeksi dapat menyebar
ke fasia dalam dan mediastinum, paling sering ke mediastinum posterior. Infeksi
polimikrobial mencapai sekitar 58% kasus, dan sisanya hanya organisme gram
positif termasuk streptococcus atau anaerob. Pada pasien dengan diabetes,
Klebsiella dan enterobakteria gram negatif lainnya dapat menjadi agen penyebab.1
Sumber infeksi setelah operasi jantung terbuka tidak diketahui pada
kebanyakan pasien. Beberapa sumber percaya bahwa proses dimulai dari daerah
terisolasi osteomyelitis sternum yang akhirnya mengarah ke pemisahan sternum.
Pendapat lain menyebutkan bahwa ketidakstabilan sternum merupakan faktor
pemicu, kemudian bakteri akan bermigrasi ke jaringan yang lebih dalam. Drainase
mediastinum yang tidak adekuat di ruang operasi juga dapat berkontribusi pada
perkembangan infeksi dada yang lebih dalam.
Flora normal di kulit pasien dan bakteri di area pembedahan juga
merupakan sumber infeksi. Karena beberapa kontaminasi bakteri pada luka
operasi tidak dapat dielakkan, faktor risiko inang mungkin penting dalam
mendorong terjadinya infeksi aktif.13

13
2.6 Manifestasi Klinis
Manifestasi mediastinitis memiliki spektrum yang luas, dari pasien subakut
hingga pasien kritis yang membutuhkan intervensi segera untuk mencegah
kematian. Manifestasi klinis dari mediastinitis tidak spesifik dan bergantung dari
penyebab mediastinitis itu sendiri.
Sekitar dua pertiga pasien datang dalam waktu 14 hari setelah operasi.
Meskipun pasien bisa saja datang berbulan-bulan setelah operasi, tanda atau gejala
biasanya berkembang dalam 1 bulan setelah operasi. Pasien pasca operasi
biasanya datang dengan keluhan yang khas seperti demam, menggigil, takikardi,
dan gejala sugestif infeksi luka sternum (misalnya, ketidakstabilan sternum).
Dapat ditemukan trismus pada pasien yang mengalami infeksi telinga, hidung atau
tenggorokan. Pasien juga mengeluhkan nyeri sternum yang meningkat sejak
pembedahan, drainase dari lokasi luka, bunyi klik yang terdengar karena nonunion
sternum, dan kemerahan progresif selama periode yang bervariasi.10,13
Tanda dan gejala tergantung pada etiologi yang mendasari mediastinitis.
Descending necrotizing mediastinitis dan mediastinitis karena perforasi esofagus
ditandai dengan demam, sakit tenggorokan, odinofagia, disfagia dan
pembengkakan jaringan lunak leher. Karakteristik lain yang ditemukan adalah
pneumokolum. Hal ini disebabkan oleh gas di jaringan lunak leher yang berasal
dari metabolisme bakteri atau perforasi esofagus.
Gejala spesifik mediastinitis karena infeksi odontogenik atau peritonsillar
adalah sulitnya menelan atau membuka mulut. Saat infeksi sedang berlangsung,
kita dapat menemukan trismus otot pengunyahan atau stridor yang disebabkan
akibat iritasi saraf laring berulang. Jika perforasi berada di bagian tengah
esofagus, retrosternal pain atau nyeri di epigastrium dapat terjadi. Perforasi dekat
gastroesophageal persimpangan dapat menyebabkan peritonitis. Kemajuan pesat
dan perkembangan pesat syok septik umum terjadi pada semua jenis
mediastinitis.14

2.7 Diagnosis
Manifestasi klinis mediastinitis tidak spesifik dan tergantung pada etiologi
yang mendasarinya. Manifestasi klinis dimulai dari proses penyebab infeksi yaitu

14
demam, menggigil dan takikardia. Meskipun rasa nyeri sering disangkal pada
pasien yang dirawat di ICU, jika ada sering dapat membantu untuk
mengidentifikasi lokasi dan penyebab infeksi. Dapat ditemukan trismus jika
terdapat infeksi pada telinga, hidung atau tenggorokan. Sindrom respon inflamasi
sistemik sering berkembang secara tiba-tiba walaupun kecepatan onset tergantung
pada etiologi yang mendasari dan karakteristik pasien. Diagnosis dini
mediastinitis sangat penting, karena memungkinkan pemberian terapi antibiotik
lebih awal dan intervensi bedah dapat segera dilakukan.15
a) Temuan laboratorium
Temuan laboratorium tidak spesifik, dapat ditemukan peningkatan jumlah
leukosit, protein C-reaktif dan kadar prokalsitonin. Selain itu, trombositopenia
progresif dapat menggambarkan sepsis yang memburuk.15
b) Pencitraan
CT-Scan dengan kontras pada leher dan dada adalah modalitas pencitraan
pilihan untuk mengkonfirmasi diagnosis bila ditemukan kecurigaan mediastinitis
pada pasien. Selain untuk mengidentifikasi penyebab mediastinitis, CT scan juga
dapat menilai proses tingkat infeksi. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk
merencanakan intervensi bedah potensial.2 Meskipun CT scan memiliki
sensitivitas yang tinggi, dapat ditemukan tantangan dalam mendiagnosis DSWI
akibat perubahan inflamasi yang terjadi setelah pembedahan. Dalam situasi ini,
CT scan dan/atau skintigrafi berulang mungkin berguna dalam menilai bukti
perkembangan penyakit.16

Gambar 2.9. Temuan pencitraan mediastinitis16


c) Mikrobiologi

15
Selain pencitraan cross-sectional, diagnosis mikrobiologi mediastinitis
sangat penting untuk pemilihan terapi antimikroba yang sesuai. Kultur darah
idealnya harus diambil dan sampel jaringan atau cairan harus diperoleh sebelum
memulai terapi antibiotik. Ini memerlukan aspirasi dari rongga abses yang dalam
atau debridemen jaringan sternum atau mediastinum yang terinfeksi. 17,18 Pada
kasus yang lebih parah, cairan pleura atau sekresi bronchoalveolar juga mungkin
diperlukan.19 Jika diambil sendiri, kultur luka superfisial harus diinterpretasikan
hati-hati karena mereka mungkin mewakili kolonisasi luka daripada infeksi dan
menyebabkan terapi antibiotik yang tidak tepat.17
Epidemiologi Mikrobiologi :
- Mediastinitis setelah operasi jantung
Mayoritas individu dengan mediastinitis pasca operasi mengalami infeksi
monomikroba. Dalam sebuah penelitian di Prancis yang melibatkan 309 orang
yang dirawat di ICU untuk mediastinitis pasca operasi jantung, sebanyak 262
(84,7%) orang menderita infeksi monomikroba.20 Bakteri yang paling umum
diantaranya adalah Methicillin-rentant Staphylococcus aureus (31,9%),
Enterobacteriaceae (25,8%), Stafilokokus koagulase-negatif (18,7%),
Streptococcus sp. (8,5%), Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (6,9%) dan
bakteri Gram-negatif non-fermentasi (1,9%). Dalam sebuah penelitian kohort di
Cina yang serupa, organisme yang diisolasi adalah bakteri Gram-negatif (55,4%),
Methicillin-rentant Staphylococcus aureus (20,4%), koagulase-negatif
Stafilokokus (14%), Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (5,7%) dan
jamur (3,8%).21
Di antara bakteri gram negatif, Acinetobacter baumannii, Pseudomonas
aeruginosa dan Enterobacter cloacae menunjukkan 100%, 15% dan 0% resistensi
terhadap ceftazidime, masing-masing 100%, 22,5% dan 40% resistensi terhadap
piperacillin-tazobactam, dan masing-masing 80%, 17,5% dan 0% resistensi
terhadap carbapenem.21 Dalam penelitian di Brasil termasuk 92 orang dengan
mediastinitis pasca operasi jantung (35,8%), terinfeksi carbapenem-resistant
Enterobacteriaceae di antaranya 15 (45%) juga resisten terhadap colistin.21,22
Wabah sporadis organisme tak terduga, seperti Kandida spp. dan Legionella
spp. juga ditemukan menyebabkan DSWI setelah operasi jantung.

16
Mikroorganisme Nocardia spp., Mycoplasma hominisdan Mycobacterium
tuberculosis, Mycobacterium chimaera sebagai agen penyebab, diperkirakan
berasal dari pemanas yang terkontaminasi perangkat dingin yang digunakan dalam
operasi bypass.23
- Mediastinitis sekunder akibat perforasi esophagus
Mikroorganisme yang bertanggung jawab pada mediastinitis sekunder
akibat perforasi esofagus bergantung pada beberapa faktor, diantaranya lokasi
perforasi, status klinis pasien, penggunaan nutrisi enteral dan supresi asam
lambung, derajat imunosupresi, dan riwayat paparan antibiotik baru-baru ini. Pada
orang dewasa sehat yang tidak diintubasi yang belum lama ini menerima
antibiotik, organisme di esofagus bagian atas pada dasarnya identik dengan yang
ada di orofaring dan termasuk streptokokus (termasuk Streptococcus salivarius,
Streptococcus mutans, Streptococcus mitis, Streptococcus sanguinis dan
Streptococcus anginosus), Neisseriaspp., Haemophilus spp. dan anaerob seperti
Prevotella spp. Atau Fusobacterium spp.24 Pada pasien dengan sakit kritis dan
telah terpapar terapi antibiotik baru-baru ini, menyebabkan flora normal rongga
mulut cepat digantikan oleh bakteri gram negatif aerobic S.aureus dan Kandida
spp.25
- Descending Necrotizing Mediastinitis
Berbeda dengan infeksi monobakteri pada DSWI, mediastinitis yang
disebabkan oleh DNM biasanya bersifat polimikrobial dan terdiri dari flora
normal yang ditemukan pada permukaan mukosa rongga mulut, saluran
pernapasan bagian atas, telinga, dan mata. Namun, pada pasien yang menderita
sakit kritis dengan infeksi odontogenik, hanya <25% yang ditemukan kultur darah
dan jaringan yang positif.26 Ini mungkin mencerminkan temuan bahwa pasien
yang dirujuk ke rumah sakit dengan infeksi odontogenik kemungkinan besar telah
menerima antibiotik sebelum mereka masuk.
Patogen yang ditemukan pada infeksi odontologi umumnya termasuk
Streptococcus spp., S. aureus, P. aeruginosa dan Escherichia coli. 27 Sebagian besar
abses gigi juga mengandung anaerob oral termasuk Peptostreptokokus spp.,
Fusobacterium nucleatum, Prevotella spp. dan Actinomycesspp.28

17
Infeksi yang timbul dari faring sering disebabkan oleh mikroorganisme
anaerob dari mulut, seperti Fusobacterium Necrophorum dan streptokokus
fakultatif termasuk Streptococcus pyogenes, Haemophilus juga dapat ditemukan
pada abses parafaringeal atau retrofaringeal. Infeksi otogenik sering melibatkan
streptokokus, anaerob obligat, S.aureus dan P.aeruginosa. Infeksi yang timbul dari
sinusitis supuratif kronis cenderung melibatkan Streptococcus pneumoniae, H.
influenzae, Moraxella catarrhalis, S. aureusdan anaerob obligat.29
2.8 Tatalaksana
Penatalaksanaan mediastinitis bergantung pada etiologi yang mendasarinya.
Mediastinitis adalah infeksi berat yang sering berkembang menjadi syok septik.
Pada pasien dengan DNM, terdapat korelasi antara waktu masuk ICU dan skor
keparahan ICU saat masuk ke unit dengan mortalitas keseluruhan. Selain itu, syok
septik merupakan prediktor kematian yang independent.15
Kompromi jalan napas harus diantisipasi sejak dini, terutama pada kasus
yang melibatkan leher dan mediastinum atas. Karena trismus dan pembengkakan
lokal, baik visualisasi laringoskopi dan akses anterior ke jalan nafas dapat
terganggu. Keterlibatan ahli otolaringologi dan/atau ahli bedah maksilofasial
dalam merencanakan intubasi dianjurkan dan para ahli tersebut juga harus hadir
pada saat intubasi jika upaya intubasi endotrakeal gagal.27
1) Terapi Antibiotik
Pengobatan antimikroba mediastinitis harus mengikuti prinsip praktik
yang baik dari terapi antimikroba empiris pada pasien ICU. 21 Sampel
mikrobiologi idealnya dikumpulkan sebelum pemberian antibiotik meskipun
pengobatan tidak boleh ditunda.30,31
Tabel 1. Terapi antibiotik yang disarankan untuk mediastinitis menurut etiologi
penyakit
Jenis DSWI Descending Perforasi Esofagus
Infeksi Necrotizing
Mediastinitis
Lini Piperacilin/Tazobactam Sefalosporin Piperacilin/Tazobactam
Pertama atau Sefalosporin Generasi atau Sefalosporin
Generasi Ketiga Ketiga Generasi Ketiga

18
Glikopeptida atau Metronidazole Metronidazole
Linezolid
Opsional - Antifungals
Pada mediastinitis sekunder akibat DSWI, terapi antimikroba empiris harus
mencakup methicillin rentan S.aureus, komensal kulit dan bakteri gram negatif
gastrointestinal. Kami merekomendasikan spektrum luas b-laktam penisilin,
seperti piperacillin/tazobactam, dengan penambahan glikopeptida atau
oxazolidinone jika methicillin resisten S.aureus atau strain stafilokokus
koagulase-negatif yang resisten methicillin.32
Pada pasien dengan mediastinitis setelah perforasi esofagus, antibiotik
spektrum luas intravena harus mencakup bakteri aerob dan anaerob yang
umumnya ditemukan di saluran pencernaan bagian atas dan mungkin termasuk
piperacillin/tazobactam atau sefalosporin generasi ketiga dengan metronidazole.33
Kami menyarankan bahwa perawatan ini harus dilanjutkan setidaknya 7 hari
setelah drainase akumulasi cairan dan perbaikan/penyembuhan perforasi. Pada
infeksi yang lebih parah atau pasien yang kompleks, meskipun tidak didukung
oleh data dari studi acak, kami menyarankan untuk mempertimbangkan
penggunaan antijamur empiris. Secara khusus, kami merekomendasikan memulai
echinocandin jika ada tiga dari empat kriteria berikut: syok septik; jenis kelamin
wanita; operasi saluran cerna atas sebelumnya; dan terapi antimikroba baru-baru
ini yang berlangsung lebih dari 48 jam.34
Pada mediastinitis sekunder akibat DNM, terapi antimikroba empiris harus
mencakup bakteri aerob dan anaerob yang umumnya terkait dengan infeksi
telinga, hidung, dan tenggorokan. Meskipun tidak ada rejimen standar yang
dijelaskan dalam literatur akademik, sefalosporin generasi ketiga dengan
metronidazole atau kombinasi piperacillin/ tazobactam dan clindamycin dapat
disarankan.34
Setelah sampel mikrobiologi telah diperoleh, terapi antimikroba spektrum
luas dapat dimulai sampai dapat disesuaikan dengan temuan mikrobiologi
berikutnya.35 Durasi terapi ideal antimikroba pada mediastinitis tidak ditentukan
dengan baik. Namun demikian, literatur secara konsisten menunjukkan bahwa
pengobatan jangka panjang yang berlangsung antara 14 dan 21 hari diperlukan. 33,34

19
Pemberian selama 6 minggu direkomendasikan ketika ada benda asing, seperti
kabel sternotomi.36 Meskipun penggunaan pencitraan CT serial dan penanda
infeksi biokimia dapat membantu dalam memantau keberhasilan terapi antibiotik,
tingkat bukti yang mendukung pendekatan ini masih terbatas.37 Oleh karena itu,
pasien memerlukan observasi ketat dengan perubahan dosis, durasi dan rejimen
terapi antimikroba sesuai kebutuhan.

2) Operasi
Pengendalian sumber infeksi dan debridemen jaringan yang terkena adalah
dasar dari perawatan bedah mediastinitis. Strategi bedah ditentukan berdasarkan
penyebab dan luasnya penyakit yang mendasari. Ini dapat diapresiasi dengan baik
pada pencitraan cross-sectional. Keterlambatan antara diagnosis dan intervensi
bedah dikaitkan dengan hasil yang buruk, oleh karena itu tidak boleh melebihi 24
jam.33
Intervensi operatif dini diperlukan untuk DSWI, untuk debridemen jaringan
nekrotik dan pengangkatan kabel sternum. Jika terdapat ketidakstabilan sternum
dan stok tulang yang sehat kurang, penutupan bedah pada akhirnya dapat
dilakukan dengan menggunakan flap otot atau omentum. 33 Pada DNM dan
perforasi esofagus, prioritas diberikan untuk merawat lesi penyebab dengan
drainase servikal dan mediastinum yang bersamaan menunjukkan drainase klasik
yang diperlukan untuk DNM.
Manajemen endoskopi perforasi esofagus atau kebocoran anastomosis
dengan stent telah dijelaskan dalam literatur dan merupakan pilihan yang dapat
diterima jika keahlian tersedia.33
Dalam situasi tertentu, terapi luka tekanan negatif yang ditempatkan secara
endoskopi telah menunjukkan hasil yang menjanjikan.38 Namun, karena studi
kohort yang dipelajari masih kecil dan heterogenitas klinis pasien yang disertakan,
tidak ada strategi pengobatan berbasis bukti yang dapat disusun berdasarkan
literatur yang ada. Untuk infeksi lokal pada leher dan mediastinum atas, bidang
fasia sering dapat dibuka dengan baik melalui cervicotomy. Jika mediastinum
anterior perlu dilakukan debridemen, mungkin diperlukan sternotomi median.

20
Namun, untuk mencegah osteomielitis sternum berikutnya, torakotomi
anterolateral bilateral mungkin lebih tepat. Jika keahlian lokal tersedia, bedah
toraks berbantu video juga telah digunakan secara efektif.39 Jika pasien
membutuhkan debridemen yang lebih drastis, torakotomi clamshell menawarkan
pemaparan yang sangat baik ke seluruh mediastinum serta kedua rongga pleura.
Jika mediastinum posterior perlu diakses, torakotomi posterolateral mungkin lebih
tepat. Tanda-tanda perburukan klinis atau biokimia apa pun harus diidentifikasi
sejak dini karena ini mungkin menunjukkan perlunya intervensi bedah berikutnya.
3) Tatalaksana Suportif
Beberapa tindakan suportif yang terkait dengan pengobatan mediastinitis
sangat penting dan dijelaskan dalam Tabel 2. Mengenai DSWI, dekolonisasi rutin
S.aureus di hidung pra-operasi bermanfaat dan termasuk dalam pedoman
internasional sebagai bagian dari bundel perawatan profilaksis pra-operasi untuk
pasien yang menjalani operasi toraks.40 Jika debridemen mengakibatkan luka yang
tidak dapat diperbaiki dengan pembedahan, terapi luka tekanan negatif sekarang
dikenal dengan baik dan digunakan secara luas untuk penutupan luka sternum
yang rumit yang mungkin masih terinfeksi. Strategi ini aman dan efektif untuk
DSWI Tipe I dan Tipe II dan mungkin juga berperan mencegah perkembangan
penyakit menyebabkan mediastinitis berat.24 Penggunaan dressing terbuka dengan
gula pasir dan pengobatan dengan terapi oksigen hiperbarik juga telah dijelaskan,
tetapi kualitas bukti yang mendukung pendekatan ini rendah atau sangat rendah.41
Tabel 2. Tatalaksana suportif berdasarkan etiologi
Etiologi Tindakan Pengelolaan
DSWI Pencegahan Antibiotik profilaksis sebelum
operasi
Rutin eradikasi S. Aureus
Managejemn Luka Kontrol Glikemik Perioperatif
Negative pressure wound
therapy
Perforasi Nutrisi Jika memungkinkan, nutrisi
Esofagus enteral dini
Jika diperlukan, nutrisi

21
Farmakologis parenteral total
Intervensi PPI
Manajemen endoskopi
Negative pressure wound
therapy
Descending Manajemen jalan napas Trakeostomi dini
Necrotizing
Mediastinitis
Asupan kalori yang cukup sangat penting untuk mencegah keadaan
katabolik dan berkaitan erat dengan keberhasilan penyembuhan luka. Namun,
karena pasien dengan perforasi esofagus atau kebocoran anastomosis sering nihil
melalui mulut untuk jangka waktu yang lama, selang makanan naso-jejunal yang
ditempatkan secara endoskopik atau radiologis atau jejunostomi bedah formal
harus digunakan untuk pemberian makanan enteral pada pasien yang stabil. Jika
nutrisi enteral dikontraindikasikan untuk jangka waktu lama, nutrisi parenteral
total harus digunakan. Kami juga merekomendasikan terapi inhibitor pompa
proton intravena antara 2 dan 3 minggu.33
Ukuran pendukung utama DNM adalah manajemen jalan napas. Karena
sifat jalan nafas yang sulit pada subset pasien ini, pedoman nasional dan lokal
mengenai manajemen jalan nafas yang sulit harus diikuti secara menyeluruh.
Tracheostomy awal harus dipertimbangkan dan keduanya berguna untuk
mengamankan jalan napas serta membuka bidang fasia leher. 33 Dukunga jalan
nafas dini juga menguntungkan karena rata-rata pasien akan membutuhkan lebih
dari tiga prosedur bedah selama perjalanan penyakit mereka.34

2.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada mediastinitis dan membutuhkan intervensi
segera, yaitu:42–44
 Perkarditis
 Pneuminia Berulang
 Obstriksi jalan nafas
 Perdarahan hebat atau Hemoptisis

22
 Cor Pulmonale
 Kegagalan Multiorgan
 Komplikasi dari perawatan Bedah atau debridement

2.10 Prognosis
Posturgical dan descending necrotizing mediastinitis, keduanya berkaitan
dengan morbiditas dan mortalias yang tinggi jika tidak ditangani secara dini.
Keduanya dianggap sebagai kondisi yang mengancam nyawa dengan descending
necrotizing mediastinitis memiliki angka kematiann 20-40%, meskipun dengan
perawatan saat ini.3,33 Dengan kemajuan Teknik manajemen bedah dan evaluasi
yang lebih baik dengan rejimen pengobatan, angka kematian mediastinitis pasca
operasi saat ini telah dilaporkan sebanyak 1%-14% hingga 12%-50%.45
Prognosis fibrosing mediastinitis unilateral terbukti memiliki hasil yang
lebih baik daripada bilateral.22 Meskipun perkembangannya relative lambat,
pasien sering mengalami pneumonia berulang atau penyakit jantung paru yang
terkait dengan mediastinitis fibrosa.43

23
BAB III
LAPORAN KASUS

PASIEN PERTAMA
1. Identitas Pasien
 No. MR : 01.15.50.61
 Nama : Tn. RP
 Umur : 40 tahun
 Jenis Kelamin : LK
 Pekerjaan : Wiraswasta
 Alamat : Payakumbuh Timur

2. Anamnesis
A. Keluhan Utama
Nyeri pada leher, dada, dan punggung sejak 3 hari smrs.

B. Riwayat Penyakit Sekarang


 Nyeri leher, dada, dan punggung sejak 3 hari smrs.
 Awalnya pasien mengeluhkan bengkak pada bawah rahang kanan sejak 4
hari smrs. Bengkak dirasakan semakin membesar hingga tampak kemerahan
pada leher dan dada.
 Sukar membuka mulut ada sejak 4 hari smrs dan membaik 2 hari smrs.
 Nyeri menelan dan sukar menelan. Saat ini sudah terpasang NGT
 Sesak nafas ada.
 Demam hilang timbul.

24
 Rasa asin asin pada mulut tidak ada.
 Riwayat sakit gigi sebelumnya ada.
 Riwayat dirawat sebelumnya dengan Suspek B20.
 Riwayat penggunaan obat secara bersama-sama ada.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


• Riwayat Hipertensi (-)
• Riwayat DM (-)
• Riwayat Penyakit Jantung (-)
• Riwayat Keganasan (-)

D. Riwayat Penyakit Keluarga


• Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien.

E. Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan


• Pasien merupakan seorang wiraswasta
• Riwayat kebiasaan merokok tidak diketahui, riwayat mengkonsumsi alkohol
dan obat-obatan terlarang tidak diketahui.

F. Riwayat Alergi
Pasien tidak ada alergi makanan, obat, atau cuaca.

3. Pemeriksaan Fisik
A. Status Generalis
 Keadaan Umum : sakit sedang
 Kesadaran : CMC
 TD : 130/90 mmHg
 HR : 88x/i
 RR : 20x/i
 Suhu : 36,5 oC
 SpO2 : 98%
 Skala Nyeri :5

25
 Kulit : Sawo matang, ikterik (-)
 Kepala : status lokalis
 Mata : Konjungtiva anemis (+/+), Sklera ikterik (-/-)
 Telinga : Liang telinga lapang, nyeri tekan tragus (-), nyeri ketok
mastoid (-), MT intak, RC (+), sekret (-)
 Hidung : Septum deviasi (-), sekret (-), konka inferior tidak
hiperemis
 Tenggorokan : Status lokalis
 Gigi dan Mulut : Tidak ada kelainan
 Leher : Status lokalis
 Thorak : Status lokalis
 Paru
Inspeksi : Normochest, simetris, dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : Pergerakan dinding dada simetris, fremitus melemah dada
kanan dan dada kiri
Perkusi : Redup pada kedua lapang paru terutama pada bagian basal
paru
Auskultasi : Suara nafas melemah, ronki (+/+), wheezing (-/-)
 Jantung
Inspeksi : Ictus kordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS
Perkusi : Batas-batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen
Inspeksi : distensi (-),
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : perabaan supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan
(-),
nyeri lepas (-), defans muscular (-)
Perkusi : timpani pada seluruh lapangan abdomen
 Punggung : tidak ada kelainan.

26
 Genitalia : tidak diperiksa.
 Anus : tidak diperiksa.
 Anggota Gerak : akral hangat, crt <2 detik, edema tungkai (-/-)

B. Status Lokalis
 Regio Submandibula Dextra
Inspeksi : bengkak (+), hiperemis (+), fluktuatif (+).
Palpasi : nyeri tekan (+), krepitasi (-).
 Regio Tenggorokan : Trismus (+) 2,8 cm, arkus faring simetris, uvula
ditengah, tidak tampak pendorongan lateral ataupun dinding posterior
faring.
 Regio Colli Dextra et Sinistra
Inspeksi : bengkak (-), tampak hiperemis (+), fluktuatif (-)
Palpasi : nyeri tekan (-), krepitasi (+)
 Regio Sternal dan Thorak
Inspeksi : bengkak (-), hiperemis (+), fluktuatif (-)
Palpasi : nyeri tekan (+), krepitasi (-)
Foto Klinis:

4. Pemeriksaan
Penunjang
A. Laboratorium
(25-10-2022)
 Hb
: 13,8 g/dL
 Leukosit
: 14.730
103/mL

27
 Trombosit : 447.000 103/mL
 Ht : 40%
 DC : 0/0/85/11/4
 PT : 11,4 detik
 APTT : 23,9 detik
 INR : 24,3 detik
 SGOT : 33 U/L
 SGPT : 44 U/L
 Ureum : 75 mg/dL
 Kreatinin : 0,7 mg/dL
 Na/K/Cl : 135/4,7/101
 pH : 7,467
 pCO2 : 33,8
 pO2 : 78,4
 HCO3- : 24,7 mmol/L
 BE : 2,0
 SO2% : 96,6
 Anti HIV : Non Reaktif
Kesan: Leukositosis dengan neutrofilia, trombositopenia, SGPT meningkat,
Ureum meningkat, Natrium menurun, anti HIV non reaktif.

B. Pencitraan
• RO Toraks

28
Kesan : Suspek Massa Mediastinum kanan dan kiri lancip.
Pleura effuse minimal bilateral
• CT Scan Toraks

Kesan : gambaran gas-forming infection (sugestif abses) melibatkan masticator


space kiri, parapharyngeal space bilateral, parapharyngeal mucosal space kanan,
perivertebral space kanan, buccal space kiri, sublingual space bilateral,
submandibular space bilateral, visceral space, posterior cervical space bilateral
hingga mediastinum.

5. Diagnosis
 Descending Necrotizing Mediastinitis
 Abses Submandibula dextra dengan Suspek Perluasan ke Paratrakea dan
Mediastinum
 Efusi pleura minimal bilateral

6. Tatalaksana
 IVFD RL 8 jam/kolf
 Drip Ketorolac 3x1 amp

29
 Infus Metronidazole 3x500 mg iv
 Inj. Dexametason 3x5 mg iv
 Inj. dexamethasone2x50 mg iv

7. Rencana
Debridement sampai osteotomi dan evakuasi efusi pleura

8. Follow up
 11 November 2022
S/ Terintubasi (+), demam (-)
O/ KU sedang
Kesadaran DPO (sedacum, morphin)
TD: 116/57 mmHg, HR: 113x/menit, RR: on ventilator SIMV 50%, PEEP 5, T:
36,5oC
Status lokalis: Hemitoraks:
Inspeksi: luka tertutup dressing (+), rembesan (-) Produksi WSD kanan: 0cc/24
jam
Produksi WSD kiri: 260cc/24 jam, serous hemoragik, undulasi (+)
NGT hijau
Hasil laboratorim Hb : 12,4
Leukosit : 15.850
Trombosit : 217.000
PT : 13.0
APTT : 28.0
Albumin : 2,0
SGOT : 28
SGPT : 39
Ureum : 96
Kreatinin : 0,7
GDS : 153
Natrium : 137
Kalium : 5,3

30
Klorida: 104 AGD:
pH: 7,449
PCO2: 32,9
PaO2: 97,3
BE: -1,2 HCO3-:23,2
Satt: 98,2
A/ Post Sternotomy Debridement Evakuasi Pus + Timectomy ai Descending
Necrotizing Mediastinum Type IIB POD 1
Hipoalbuminemia
P/ Transfusi Plasbumin 20% Tunda Tes Feeding
Terapi lain sesuai tatalaksana Anestesi dan THT-KL Terapi BTKV:
- IVFD Triofusin E1000 1850/24 jam
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
- Inj. Metronidazole 2x500 mg
- Inj. Omeprazole 2x40 mg
- Inj. Kalnex 3x500 mg
- Inj. Vit. K 3x10 mg
- Inj. Ketorolac 3x30 mg
- Inj. Ranitidin 2x50 mg

 12 November 2022
S/ Terintubasi (+), demam (+)
O/ KU sedang
Kesadaran DPO (sedacum, morphin, fentanyl)
TD: 122/66 mmHg, HR: 127x/menit, RR: on ventilator SIMV 50%, PEEP 5, T:
37,8℃
Status lokalis: Hemitoraks
Inspeksi: luka tertutup dressing (+), rembesan (-)
NGT bersih
Produksi WSD kanan: 200cc/24 jam, serous hemoragik, undulasi (+) Produksi
WSD kiri: 350cc/24 jam, serous hemoragik, undulasi (+)
Hasil laboratorium:

31
Hb : 12,3
Leukosit : 14.770
Trombosit : 347.000
Albumin : 2,0
Ureum : 88
Kreatinin : 0,7
GDS : 159
Natrium : 149
Kalium : 8,7
Klorida : 103
AGD :
pH : 7,458
PCO2 : 38,1
PaO2 : 91,7
BE: 3,2 HCO3-:27,2
Satt: 97,6
A/ Post Sternotomy Debridement Evakuasi Pus + Timectomy ai Descending
Necrotizing Mediastinum Type IIB POD 2
Hipoalbuminemia Hiperkalemia
P/ Transfusi Plasbumin 20% 2 kolf
D40% 2 flakon + 10 IU Insulin/30 menit Tes Feeding D5% 3x25 cc
Terapi lain sesuai tatalaksana Anestesi dan THT-KL
Terapi BTKV:
 IVFD Triofusin E1000 2100/24 jam
 Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
 Inj. Metronidazole 2x500 mg
 Inj. Levofloxacine 1x750 mg
 Inj. Omeprazole 2x40 mg
 Inj. Kalnex 3x500 mg
 Inj. Vit. K 3x10 mg
 Inj. Ketorolac 3x30 mg
 Inj. Ranitidin 2x50 mg

32
- 13 November 2022
S/ Terintubasi (+), demam (+)
O/ KU: berat Kesadaran DPO (sedacum, morphin, fentanyl)
TD: 127/71 mmHg, HR: 127x/menit, RR: on ventilator SIMV 60%, PEEP 6, T:
37,6oC
Status lokalis: Hemitoraks
Inspeksi: luka tertutup dressing (+), rembesan (-) Produksi WSD kanan:
100cc/24 jam, serous hemoragik, undulasi (+) Produksi WSD kiri:
450cc/24 jam, serous hemoragik, undulasi (+)
NGT bersih
Hasil laboratorim
Hb : 12,2
Leukosit : 11.430
Trombosit : 308.000
Albumin : 2,2
Ureum : 47
Kreatinin : 0,7
GDS : 146
Natrium : 139
Kalium : 5,0
Klorida : 104

AGD
pH : 7,29
PCO2 : 45
PaO2 : 79
BE : -5,0
HCO3-:21,6
Satt: 94
A/ Post Sternotomy Debridement Evakuasi Pus + Timectomy ai Descending
Necrotizing Mediastinum Type IIB POD 3

33
Hipoalbuminemia
P/ Transfusi Plasbumin 20% 2 kolf Tes Feeding D5% 3x25 cc
Terapi lain sesuai tatalaksana Anestesi dan THT-KL Terapi BTKV:
- IVFD Triofusin E1000 2100/24 jam
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
- Inj. Metronidazole 2x500 mg
- Inj. Levofloxacine 1x750 mg
- Inj. Omeprazole 2x40 mg
- Inj. Kalnex 3x500 mg
- Inj. Vit. K 3x10 mg
- Inj. Ketorolac 3x30 mg
- Inj. Ranitidin 2x50 mg

PASIEN KEDUA
1. Identitas Pasien
 No. MR : 01.15.22.86
 Nama : Tn. S
 Umur : 55 tahun
 Jenis Kelamin : LK
 Pekerjaan : buruh
 Alamat : Padang Pariaman

34
2. Anamnesis
A. Keluhan Utama
Bengkak pada pipi sebelah kanan

B. Riwayat Penyakit Sekarang


• Bengkak pada pipi sebelah kanan sejak 2 hari smrs
• Bengkak di leher kanan yang membesar sejak 3 hari smrs
• Awalnya pasien mengeluhkan bengkak bawah rahang kanan sejak 9 hari
smrs makin lama makin membesar sejak 3 hari smrs. Sebelumnya pasien
berobat ke RS swasta dan dirawat selama 7 hari
• Riwayat sakit gigi ada sejak 5 hari smrs, gigi geraham bawah kanan, pasien
belum berobat
• Sukar membuka mulut ada sejak 3 hari smrs
• Nyeri dan sukar menelan ada 3 hari smrs
• Air ludah terkumpul dimulut ada
• Rasa asin-asin dimulut tidak ada
• Air ludah bercampur darah tidak ada
• Suara sengau ada
• Nyeri dada tidak ada
• Sesak napas tidak ada
• Demam ada hilang timbul sejak 4 hari smrs
• Batuk dan pilek ada

C. Riwayat Penyakit Dahulu


• Riwayat Hipertensi (-)
• Riwayat DM (-)
• Riwayat Penyakit Jantung (-)
• Riwayat Keganasan (-)

D. Riwayat Penyakit Keluarga


• Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien.

35
E. Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan
• Pasien merupakan seorang wiraswasta
• Riwayat kebiasaan merokok tidak diketahui, riwayat mengkonsumsi alkohol
dan obat-obatan terlarang tidak diketahui.

F. Riwayat Alergi
Pasien tidak ada alergi makanan, obat, atau cuaca.

3. Pemeriksaan Fisik
G. Status Generalis
 Keadaan Umum : sakit sedang
 Kesadaran : Compopsmentis
 TD : 172/82 mmHg
 HR : 68x
 RR : 20
 Suhu : 37
 SpO2 : 99%
 Skala Nyeri :5
 Kulit : Sawo matang, ikterik (-)
 Kepala : Normochepal
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
 Telinga : Liang telinga lapang, nyeri tekan tragus (-), nyeri ketok
mastoid (-), MT intak, RC (+), sekret (-)
 Hidung : Septum deviasi (-), sekret (-), konka inferior tidak
hiperemis
 Tenggorokan : Arkus faring simetris, uvula ditengah
 Gigi dan Mulut : Tidak ada kelainan
 Leher : Status lokalis
 Paru
Inspeksi : Normochest, simetris, dada kanan sama dengan kiri

36
Palpasi : Pergerakan dinding dada simetris, fremitus dada kanan
dan dada kiri sama
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronki (+/+), wheezing (-/-)
 Jantung
Inspeksi : Ictus kordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS
Perkusi : Batas-batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen
Inspeksi : distensi (-),
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : perabaan supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan
(-),
nyeri lepas (-), defans muscular (-)
Perkusi : timpani pada seluruh lapangan abdomen
 Punggung : tidak ada kelainan.
 Genitalia : tidak diperiksa.
 Anus : tidak diperiksa.
 Anggota Gerak : akral hangat, crt <2 detik, edema tungkai (-/-)

H. Status Lokalis
 Regio Submandibula Dextra
Inspeksi : oedema (+), hiperemis (+), fluktuatif (+) pus (+) 12 cc
Palpasi : nyeri tekan (+), krepitasi (-), angulus mandibula tidak teraba,
trismus (+) 2.0
 Regio Submental
Inspeksi : oedema (-), hiperemis (-), fluktuatif (-)
Palpasi : nyeri tekan (-)
 Regio Coli Sinistra
Inspeksi : oedema (-), hiperemis (-), fluktuatif (-)
Palpasi : nyeri tekan (-)

37
 Regio Infraclavicula Dextra
Inspeksi : Oedema (+), hiperemis (+), fluktuatif (+) pus (+) 1 cc

4. Pemeriksaan Penunjang
A. Laboratorium (25-10-2022)
 Hb : 12,0 g/dL
 Leukosit : 12.630 /mL
 Trombosit : 360.000 /mL
 Ht : 32 %
 Eritrosit : 3.940.000
 MCV : 82 fl
 MCH : 31pg
 MCHC : 37 %
 RDW-CV : 13,0 %
 DC : 0/0/82/6/12
 PT : 11,4 detik
 APTT : 22,8 detik
 INR : 1,23 detik
 Total protein : 4,8 gr/dl
 Albumin : 2,2 gr/dl
 Globulin : 2,6 gr/dl
 SGOT : 17 U/L
 SGPT : 18 U/L
 Ureum : 36 mg/dL
 Kreatinin : 0,7 mg/dL
 GDS : 138
 Na/K/Cl : 135/4,4/102
Kesan: leukositosis, limfopenia, monositosis, hipoalbuminemia
Foto klinis

38
B. Pencitraan
• RO Toraks

Kesan : pneumonia kanan, emfisema subkutis jaringan lunak supraclavicular


kanan

5. Diagnosis
- Mediastinitis descenden necrotizing endo hasegane grade 3
- Abses Submandibula dextra dengan Perluasan ke Parafaring
- Pneumonia

39
- Emfisema subkutis
ICU :
Respiratory failure acute, alkalosis metabolik, hipoalbuminemia, hiponatremia,
anemia, sepsis ec klebsiella pneumonia, alkalosis respiratorik, trombositopenia,
hipokalemia
Tulip :
Respiratory failure akut, Syok sepsis, hipoglikemia, anemia, hipoalbuminemia,
hiperkalemia, alkalosis metabolik, asidosis respiratorik

6. Tatalaksana
 IVFD RL 8 jam/kolf
 Inj Ceftriaxone 2x1 gram
 Drip Ketorolac 3x1 amp
 Infus Metronidazole 3x500 mg iv
 Inj. Dexametason 3x5 mg iv
 Inj. Ranitidin 2x50 mg iv
 Ketoprofen Supp

7. Rencana
 Insisi eksplorasi dan drainage
 Sternotomy + cervicotomy ai desenden necrotizing mediastinitis

8. Follow up
 30 Oktober 2022
S/ nyeri dada kanan (+), kemerahan (+), pus (+)
O/ KU : sedang Kesadaran : CM
TD: 123/67 mmHg, HR: 82x/menit
Status lokalis: thorak : hematom (+), pus (+)
A/ Descenden Necrotizing Mediastinitis
P/ Rencana Cervicotomi + sternotomy
Persiapan 4 PRC dan 2 FFp
Booking ICU/ROI

40
Terapi lain sesuai THT-KL

 31 Oktober 2022
S/ nyeri dada kanan (+), kemerahan (+), pus (+)
O/ KU : sedang Kesadaran : CM
TD: 123/67 mmHg, HR: 82x/menit
Status lokalis: hematom (+), nyeri (+)
A/ Descenden Necrotizing Mediastinitis
P/ Pro Cervicotomi + sternotomy
Terapi lain sesuai THT-KL

 1 November 2022
S/ Terintubasi (+)
O/ KU : Sedang Kes : DPO (sedacum, morphin, fentanyl)
TD: 126/70 mmHg, HR: 69x/menit, RR: on ventilator
Status lokalis: Hemitoraks: Inspeksi: luka tertutup dressing (+), Drain (-), pus (-),
perdarahan aktif (-)
Hasil laboratorium:
 Hb : 9,5 gr/dL
 Ht : 26%
 Leukosit : 10.330
 Trombosit : 87.000
 AGD
pH/pCO2/pO2/BE/HCO3/SaO2 :7,52/35/106/5,5/28,9/99
(PaO2/FiO2=106/40%=265)
pH/pCO2/pO2/BE/HCO3/SaO2 :7,47/32/133/-0,4/23,8/99
 Alb : 1,7
 Na : 129
 PCT : 2,22
 K : 3,3
 Kultur urin : enterococcus faecalis

41
 Pemeriksaan gram : ditemukan bakteri gram negatif
 Kultur sputum : pseudomonas aeruginosa
 Kultur darah : klebsiella pneumonia
 Kultur pus : klebsiella pneumonia
A/ Post Sternotomy Debridement ai Descenden Necrotizing Mediastinitis H+1
P/ Redressing perhari
Terapi lain sesuai tatalaksana Anestesi dan THT-KL
Terapi BTKV:
- Inj. Meropenem 3x1 gr
- Inj. Metronidazole 3x500 mg
- Inj. Keterolac 3x30 mg
- Inj. Vit K 3x10 mg
- Inj. Kalnex 3x500 mg
- Inj. Omeprazol 2x40 mg

 2 November 2022
S/ Terintubasi (+), demam (-)
O/ KU: Sedang Kesadaran : DPO (sedacum, morphin, fentanyl)
TD: 117/64 mmHg, HR: 55x/menit, RR: on ventilator
Status lokalis:
Regio Coli : Inspeksi : luka post op baik (+), rembesan (-), pus (-)
Regio Thorak : Inspkesi : luka post op tertutup perban (+), rembesan (-)
Drain (+), Undulasi (+), bubble (+)
A/ Post Sternotomy Debridement + chervicotomy ai Descenden Necrotizing
Mediastinitis H+2
Anemia
Hipoalbumin
Hiponatremia
P/ Awasi KU/VS/produksi drain
Redressing setiap hari
Terapi lain sesuai tatalaksana Anestesi dan THT-KL
Terapi BTKV:

42
- Inj. Meropenem 3x1 gr
- Inj. Metronidazole 3x500 mg
- Inj. Keterolac 3x30 mg
- Inj. Vit K 3x10 mg  AFF
- Inj. Kalnex 3x500 mg  AFF
- Inj. Omeprazol 2x40 mg

BAB IV
DISKUSI

Pasien pertama seorang laki-laki berumur 40 tahun datang ke RSUP Dr. M.


Djamil Padang dengan keluhan utama nyeri pada leher, dada, dan punggung sejak

43
3 hari sebelum masuk rumah sakit. Awalnya pasien mengeluhkan bengkak pada
bawah rahang kanan sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Bengkak dirasakan
semakin membesar hingga tampak kemerahan pada leher dan dada. Pasien juga
mengeluhkan sukar membuka mulut, nyeri dan sukar menelan, sesak nafas,
demam hilang timbul, adanya riwayat sakit gigi.
Pasien kedua seorang laki-laki berumur 55 tahun datang ke RSUP Dr. M.
Djamil Padang dengan keluhan utama bengkak pada pipi sebelah kanan sejak 2
hari smrs. Bengkak di leher kanan yang membesar sejak 3 hari smrs. Awalnya
pasien mengeluhkan bengkak di bawah rahang kanan sejak 9 hari smrs yang
semakin membesar sejak 3 hari smrs. Sebelumnya pasien berobat ke rumah sakit
swasta dan telah dirawat selama 7 hari. Riwayat sakit gigi ada sejak 5 hari smrs,
pada gigi geraham bawah kanan, dan pasien belum berobat. Pasien mengeluhkan
sukar membuka mulut sejak 3 hari smrs. Nyeri dan sukar menelan sejak 3 hari
smrs. Air ludah terkumpul dimulut ada, suara sengau ada, demam hilang timbul
sejak 4 hari smrs disertai batuk dan pilek.
Keluhan yang dialami oleh kedua pasien mengarah kepada infeksi leher
dalam dimana kemungkinan terjadi abses leher dalam yang terbentuk pada ruang
potensial antara fasia leher sebagai akibat perjalanan infeksi dari berbagai sumber
seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Abses
leher berdasarkan lokasinya dibagi menjadi abses peritonsil, abses parafaring,
abses retrofaring, abses submandibula. Pada pasien pertama dan kedua dapat
dicurigai menderita abses submandibular karena lokasi bengkak pada kedua
pasien yaitu di bawah rahang kanan. Berdasarkan epidemiologi, abses
submandibula paling sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan
dengan rasio 3:1. Ruang submandibular adalah lokasi yang paling sering ditemui
pada infeksi ruang leher dalam.46,47
Dari pemeriksaan fisik, pada pasien pertama ditemukan pada regio
submandibular dextra terdapat bengkak, hiperemis, fluktuatif, dan nyeri tekan
yang positif, serta adanya trismus. Pada pasien kedua, pada regio submandibular
dextra ditemukan bengkak, hiperemis, fluktuatif, nyeri tekan yang positif, serta
adanya trismus. Pada regio infraclavicular dextra juga tampak oedema, hiperemis,
fluktuatif dan pus. Hal ini disebabkan oleh adanya proses inflamasi. Trismus yang

44
dialami kedua pasien tersebut berupa limitasi pergerakan membuka mulut akibat
mobilitas mandibula yang berkurang, salah satunya disebabkan oleh infeksi.46
Trismus merupakan salah satu gejala spesifik mediastinitis berkarena infeksi
odontogenik atau peritonsillar. Saat infeksi sedang berlangsung, kita dapat
menemukan trismus otot pengunyahan Dengan temuan ini, kecurigaan bahwa
kedua pasien menderita abses submandibular semakin kuat.14
Sumber infeksi kedua pasien tersebut berasal dari penjalaran infeksi
odontogenik gigi molar bawah kanan. Pada abses leher dalam, ditemukan
prevalensi yang bermakna dimana infeksi pada leher dalam lebih dari 40%
disebabkan oleh infeksi gigi. Nekrosis pulpa karena karies dalam yang tidak
terawat dan periodontal pocket dalam merupakan jalan bakteri untuk mencapai
jaringan periapical. Odontogen dapat menyebar melalui jaringan ikat, pembuluh
darah, dan pembuluh limfe. Limfadenopati dapat menyebabkan nanah dan
kemudian pembentukan abses fokal. Yang paling sering terjadi adalah
perkontinuitatum langsung antara jaringan di leher karena adanya celah atau ruang
diantara jaringan yang berpotensi sebagai tempat berkumpulnya pus.12,47
Perjalanan infeksi pada rahang atas dapat membentuk abses palatal, abses
submucosa, abses gingiva, thrombosis sinus kavernosus, abses labial, dan abses
fasial. Sedangkan untuk perjalanan infeksi pada rahang bawah dapat membentuk
abses sublingual, submental, submandibular, submaseter, dan angina Ludovici.
Ujung akar molar kedua dan ketiga terletak dibelakang bawah linea milohioid
yang terletak di aspek dalam mandibular, sehingga jika molar kedua dan ketiga
terinfeksi dan membentuk abses, pus dapat menyebar ke ruang submandibular dan
dapat meluas ke ruang potensial leher yang paling sering menyebar yaitu ke
mediastinum.11,47
Mediastinitis merupakan inflamasi atau infeksi yang terjadi pada
mediastinum. Terdapat berbagai subtipe pada mediastinitis, diantaranya adalah
postoperative mediastinitis, descending necrotizing mediastinitis (DNM), dan
fibrosing mediastinitis. Mediastinitis yang paling sering terjadi adalah
postoperative mediastinitis dan DNM. Postoperative mediastinitis merupakan
mediastinitis yang terjadi akibat adanya infeksi sekunder postoperasi, contohnya
seperti deep sternal wound infection (DSWI), dimana DSWI didefinisikan sebagai

45
infeksi pada mediastimun setelah dilakukannya sternotomi. Sedangkan DNM
adalah proses infektif yang berasal dari teliga, hidung, atau tenggorokan dan
menyebar secara inferior ke mediastinum melalui jaringan ikat. DNM juga
didefinisikan dengan adanya infeksi orofaring yang parah dengan tanda radiologis
yang menunjukan mediastinitis. Manifestasi klinis DNM ditandai dengan demam,
sakit tenggorokan, odinofagia, disfagia dan pembengkakan jaringan lunak leher.
Selain itu juga ditemukan pneumokolum yang disebabkan oleh gas di jaringan
lunak leher yang berasal dari metabolisme bakteri.11,48
Dari pemeriksaan penunjang yaitu laboratorium yang dapat memperkuat
diagnosis abses submandibula dan mediastinitis adalah didapatkannya hasil
leukositosis yang menunjukan adanya proses infeksi yang terjadi pada kedua
pasien. Pada rontgen toraks pasien pertama didapatkan kesan suspek massa
mediastinum kanan dan kiri, serta efusi pleura minimal bilateral. Sedangkan pada
pasien kedua didapatkan kesan infiltrate pada paru kanan (pneumonia kanan) dan
emfisema subkutis jaringan lunak supraclavicular kanan. Adanya gambaran efusi
pleura dan emfisema subkutis pada rontgen thorak meningkatkan kecurigaan
bahwa telah terjadi infeksi mediastinum pada kedua pasien. 4 Gambaran CT Scan
pasien pertama menunjukkan kesan gambaran gas-forming infection (sugestif
abses) melibatkan masticator space kiri, parapharyngeal space bilateral,
parapharyngeal mucosal space kanan, perivertebral space kanan, buccal space kiri,
sublingual space bilateral, submandibular space bilateral, visceral space, posterior
cervical space bilateral hingga mediastinum. Pada pasien kedua dilakukan
pemeriksaan kultur, diantaranya: hasil pemeriksaan kultur urin ditemukan adanya
enterococcus faecalis, pemeriksaan gram ditemukan bakteri gram negative, kultur
sputum ditemukan pseudomonas aeruginosa serta kultur darah dan pus ditemukan
klebsiella pneumonia.
Maka dari itu, berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang maka pasien pertama didiagnosa dengan Descending Necrotizing
Mediastinitis (DNM), abses submandibula dextra dengan suspek perluasan ke
paratrakea dan mediastinum, dan efusi pleura minimal bilateral. Diagnosis pada
pasien kedua yaitu Descending Necrotizing Mediastinitis (DNM), abses
submandibula dextra dengan suspek perluasan ke parafaring, pneumonia dan

46
emfisema subkutis. Tatalaksana yang diberikan pada pasien berupa IVFD RL 8
jam/kolf, drip ketorolac 3x1 amp, infus metronidazole 3x500 mg iv, injeksi
dexametason 3x5 mg iv, injeksi ranitidin 2x50 mg iv, dan ketoprofen supp. Pada
pasien kedua ditambah dengan inj ceftriaxone 2x1 gram. IVFD RL diberikan
untuk memenuhi kebutuhan cairan pasien. Drip ketorolac diberikan untuk
mengurangi keluhan nyeri pada pasien. Metronidazol dan ceftriaxone diberikan
sebagai pilihan antibiotik lini pertama untuk kasus DNM.29 Dexametason
diberiksan sebagai antiinflamasi, sedangkan ranitidine diberikan untuk
mengurangi efek samping pemberian NSAID yaitu ketorolac.
Pada pasien pertama direncanakan tindakan debridement sampai osteotomi
dan evakuasi efusi pleura. Pada pasien kedua direncanakan tindakan insisi
eksplorasi dan drainage untuk infeksi lokal pada submandibular dextra. Untuk
mediastenitis, bidang fasia sering dapat dibuka dengan baik melalui cervicotomy.
Jika mediastinum anterior perlu dilakukan debridemen, dapat dilakukan
sternotomy pada pasien. Jika mediastinum posterior perlu diakses, torakotomi
posterolateral dapat dilakukan. Tindakan ini bertujuan untuk mengendalikan
sumber infeksi dimana hal ini adalah dasar dari perawatan bedah mediastinitis.33,39

DAFTAR PUSTAKA

1. Kappus S, King O. Mediastinitis. StatPearls. 2022.


2. van Wingerden J, de Mol B, van der Horst C. Defining post-sternotomy
mediastinitis for clinical evidence-based studies. Asian Cardiovasc Thorac
Ann. 2016;24(4):355–63.
3. Doddoli C, Trousse D, Avaro J, Djourno X, Giudicelli R, Fuentes P, et al.
Acute mediastinitis except in a context of cardiac surgery. Rev Pneumol
Clin. 2010;66(1):71–80.

47
4. Katie N, Ganim R, Luketich J. Chest Wall, Lung, Mediastinum, and Pleura.
In: Schwartz’s Principles of Surgery. 11th ed. United States: Mc Graw Hill
Education; 2019. p. 726–36.
5. Prasmono A, D.I Busroh I, Rachmad K. Trakea, Mediastinum, dan Paru. In:
Sjamsuhidayat JD, editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. 5th ed. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2010. p. 516–8.
6. Putra A, Satria G, Umar A, Nugraha A. Characteristics of Patients of
Descending Necrotizing Mediastinitis Thoracic, Cardiac and Vascular
Surgery Subsection Thoracic in Dr. Mohammad Hoesin General Hospital.
Vol. 4, Sriwijaya Journal of Surgery. 2019.
7. Drake R, Vogl A, Mitchell A. Regiones Pectorales. In: Gray’s Basic
Anatomy. 2nd ed. United States: Elsevier; 2013. p. 58–129.
8. Paulson W. Viscera of The Thorax. In: Paulson W, editor. Sobotta Atlas of
Human Anatomy - Internal Organs. 15th ed. Germany: Elsevier; 2011. p. 4–
62.
9. John E, Bennett M. MandellDouglas, and Bennett’s Principles and Practice
of Infectious Disease. Science Direct. 2020;
10. Pastene B, Cassir N, Tankel J, Einav S, Fournier PE, Thomas P.
Mediastinitis in the intensive care unit patient: a narrative review. Europian
Society of Clinical Microbiology and Infection Disease. 2020;26:26–34.
11. Hu CY, Lien KH, Chen SL, Chan KC. Risk Factors of Descending
Necrotizing Mediastinitis in Deep Neck Abscesses. Medicina (Kaunas).
2022 Nov 30;58(12).
12. Ochi N, Wakabayashi T, Urakami A, Yamatsuji T, Ikemoto N, Nagasaki Y,
et al. Descending necrotizing mediastinitis in a healthy young adult. Ther
Clin Risk Manag. 2018;14:2013–7.
13. Mueller D, Dacey M, Talavera F, Karwande S, Mancini M, Roe B.
Mediastinitis. Medscape; 2022.
14. Skala M, Sebek J, Vodicka J, Safránek J, Geiger J. The Diagnostics and
Treatment of Acute Mediastinitis – Single Institute Experiences. Clin Surg.
2021;6:30–42.

48
15. Prado-Calleros H, Jime´nez-Fuentes E, Jime´nez-Escobar I. Descending
necrotizing mediastinitis: systematic review on its treatment in the last 6
years, 75 years after its description. Head Neck. 2016;38:2275–83.
16. Rouzet F, de Labriolle-Vaylet C, Trouillet JL, Hitzel A, Benali K, Lebtahi
R. Diagnostic value of 99mTc-HMPAO-labeled leukocytes scintigraphy in
suspicion of post-sternotomy mediastinitis relapse. of post-sternotomy
mediastinitis relapse J Nucl Cardiol Off Publ Am Soc Nucl Cardiol.
2015;22:123–9.
17. Benlolo S, Mate´o J, Raskine L, Tibourtine O, Bel A, Payen D. Sternal
puncture allows an early diagnosis of poststernotomy mediastinitis. J Thorac
Cardiovasc Surg. 2003;125:611–7.
18. Gottlieb G, Fowler V, Kong L, McClelland R, Gopal A, Marr K.
Staphylococcus aureus bacteremia in the surgical patient: a prospective
anal- ysis of 73 postoperative patients who developed Staphylococcus
aureus bacteremia at a tertiary care facility. J Am Coll Surg. 2000;190:50–7.
19. Hoffmann M, Kujath P, Vogt FM, Laubert T, Limmer S, Mulrooney T.
Outcome and management of invasive candidiasis following oesophageal
perforation. mycosis. 2013;56:173–8.
20. Charbonneau H, Maillet J, Faron M, Mangin O, Puymirat E, le Besnerais P.
al. Mediastinitis due to Gram-negative bacteria is associated with increased
mortality. Clin Microbiol Infect Off Publ Eur Soc Clin Microbiol Infect Dis.
2014;20:197–202.
21. Ma JG, An JX. Deep sternal wound infection after cardiac surgery: a com-
parison of three different wound infection types and an analysis of antibiotic
resistance. J Thorac Dis. 2018;10:377–87.
22. Abboud C, Monteiro J, Stryjewski M, Zandonadi E, Barbosa V, Dantas D.
Post-surgical mediastinitis due to carbapenem-resistant Enterobacteri-
aceae: clinical, epidemiological and survival characteristics. Int J
Antimicrob Agents. 2016;47:386–90.
23. Arıkan A, Omay O, Kanko M, Horuz E, Yag˘lı G, Kag˘an E. Treatment of
Candida sternal infection following cardiac surgeryda review of literature.
Infect Dis Lond Engl. 2018;1–11.

49
24. Norder Grusell E, Dahle´n G, Ruth M, Ny L, Quiding-Ja€rbrink M,
Bergquist H. Bacterial flora of the human oral cavity, and the upper and
lower esophagus. Dis Esophagus Off J Int Soc Dis Esophagus. 2013;26:84–
90.
25. Safdar N, Crnich C, Maki D. The pathogenesis of ventilator-associated
pneumonia: its relevance to developing effective strategies for prevention.
Respir care. 2005;50:725–41.
26. Exarhos D, Malagari K, Tsatalou E, Benakis S, Peppas C, Kotanidou A.
Acute mediastinitis: spectrum of computed tomography findings. Eur
Radiol. 2005;15:1569–74.
27. Frerk C, Mitchell V, McNarry A, Mendonca C, Bhagrath R, Patel A.
Difficult Airway Society 2015 guidelines for management of unanticipated
difficult intubation in adults. Br J Anaesth. 2015;827–48.
28. Brook I. Current management of upper respiratory tract and head and neck
infectiona. infections Eur Arch Oto-Rhino-Laryngol Off J Eur Fed Oto-
Rhino-Laryngol Soc EUFOS Affil Ger Soc Oto-Rhino-Laryngol d Head
Neck Surg. 2009;315–23.
29. Ehlers Klug T, Rusan M, Fuursted K, Ovesen T. Fusobacterium
necrophorum: most prevalent pathogen in peritonsillar abscess in Denmark.
clin infect dis off publ infect dis soc am. 2009;49:1467–72.
30. Perrault L, Kirkwood K, Chang H, Mullen J, Gulack B, Argenziano M. A
prospective multi-institutional cohort study of mediastinal infections after
cardiac operations. Ann Thorac Surg. 2018;461–8.
31. Pastene B, Duclos G, Martin C, Leone M. Antimicrobial therapy in patients
with septic shock. Presse Med. 2016;45.
32. Abdelnoor M, Vengen O, Johansen O, Sandven I, Abdelnoor A. Latitude of
the study place and age of the patient are associated with incidence of
mediastinitis and microbiology in open-heart surgery: a systematic review
and meta-analysis. Clin Epidemiol . 2016;151–63.
33. Abu-Omar Y, Kocher G, Boscoa P, Barbero C, Waller D, Gudbjartsson T.
European Association for Cardio-Thoracic Surgery expert consensus

50
statement on the prevention and management of mediastinitis. Eur J Cardio-
Thorac Surg Off J Eur Assoc Cardio-Thorac Surg. 2017;10–29.
34. Montravers P, Dupont H, Leone M, Constantin J-M, Mertes P-M, Laterre P-
F. Guidelines for management of intra-abdominal infections. Anaesth Crit
Care Pain Med. 2015;34:117–30.
35. McDanel J, Perencevich E, Diekema D, Herwaldt L, Smith T, Chrischilles
E. EA, et al. Comparative effectiveness of b-lactams versus vanco- mycin
for treatment of methicillin-susceptible Staphylococcus aureus blood-
stream infections among 122 hospitals. Clin Infect Dis Off Publ Infect Dis
Soc Am. 2015;361–7.
36. Yusuf E, Chan M, Renz N, Trampuz A. Current perspectives on diagnosis
and management of sternal wound infections. Infect Drug Resist.
2018;11:961–8.
37. Zhang T, Wang Y, Yang Q, Dong Y. Procalcitonin-guided antibiotic
therapy in critically ill adults: a meta-analysis. BMC Infect Dis.
2017;17:514.
38. Bludau M, Hoelscher AH, Herbold T, Leers JM, Gutschow C, Fuchs H.
Management of upper intestinal leaks using an endoscopic vacuum-assisted
closure system (E-VAC). Surg Endosc. 2014;28:896–901.
39. Son HS, Cho JH, Park SM, Sun K, Kim KT, Lee SH. Management of
descending necrotizing mediastinitis using minimally invasive video-
assisted thoraco- scopic surgery. Surg Laparosc Endosc Percutan Tech.
2006;16:379–82.
40. Engelman R, Shahian D, Shemin R, Guy TS, Bratzler D, Edwards F.
Workforce on evidenceThe society of thoracic surgeons practice guideline
series: antibiotic prophylaxis in cardiac surgery, part II: antibiotic choice.
Ann Thorac Surg. 2007;1569–76.
41. Cross MR, Greenwald MF, Dahhan A. Esophageal Perforation and Acute
Bacterial Mediastinitis: Other Causes of Chest Pain That Can Be Easily
Missed. Medicine (Baltimore). 2015;94(32):1232.
42. Patel M, Lu F, Hannaway M, Hochman K. Fibrosing mediastinitis: a rare
complication of histoplasmosis. BMJ Case Rep. 2015;

51
43. el Oakley RM, Wright JE. Postoperative mediastinitis: classification and
management. Ann Thorac Surg. 1996;61(3):1030–6.
44. Krüger M, Decker S, Schneider JP, Haverich A, Schega O. Surgical
treatment of acute mediastinitis. Chirurg. 2016;87(6):478–85.
45. Santosa A. Abses Submandibula dengan Komplikasi Mediastinitis. WMJ.
2017;2(2):77–81.
46. Thiagarajan B. Trismus an Overview. ENT Scholar. 2014;
47. McDowell R, hyser M. Neck Abscess. Trasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2022. 1–5 p.
48. Pastene B, Cassir N, Tankel J, Einav S, Fournier PE, Thomas P, et al.
Mediastinitis in the intensive care unit patient: a narrative review. Vol. 26,
Clinical Microbiology and Infection. Elsevier B.V.; 2020. p. 26–34.

52

Anda mungkin juga menyukai