Anda di halaman 1dari 20

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK PKMRS

FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER 2023


UNIVERSITAS HASANUDDIN

LIMFADENITIS TB

OLEH :
Melani Erty Barung
C014222139

Pembimbing :
dr. Dina Fadhilah Monika
dr. Nancy Pongsibidang

Supervisor Pembimbing :
dr. Amiruddin L, Sp.A (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :


Nama : Melani Erty Barung
NIM : C014222139
Judul PKMRS : Limfadenitis TB
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.

Makassar, September 2023

Residen Pembimbing I Residen Pembimbing


II

dr. Dina Fadhilah Monika dr. Nancy


Pongsibidang

Supervisor Pembimbing

dr. Amiruddin L, Sp.A (K)

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...............................................................................................................ii

HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................... i

BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 3


1. Anatomi Sistem Limfatik ..................................................................................... 4
2. Definisi .................................................................................................................. 4
3. Etiologi .................................................................................................................. 5
4. Epidemiologi ......................................................................................................... 6
5. Patofisiologi .......................................................................................................... 7
6. Gejala Klinis ......................................................................................................... 7
7. Diagnosis ............................................................................................................. 11
8. Tatalaksana .......................................................................................................... 13
9. Komplikasi .......................................................................................................... 14
10. Prognosis. ............................................................................................................ 15

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama
menyerang penyakit parenkim paru.. Tb paru ini bersifat menahun dan
secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan
nekrosis jaringan. Tb paru dapat menular melalui udara, waktu seseorang
dengan Tb aktif pada paru batuk, bersin atau bicara.6-7
Tuberkulosis dibagi menjadi dua, TB paru dan ekstra paru. Salah satu
TB ekstra paru adalah limfadenitis TB. Limfadenitis TB merupakan
penyakit radang kelenjar getah bening yang disebabkan oleh infeksi
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Limfadenitis TB terjadi karena
bakteri TB yang menyebar dari bagian paru ke kelenjar getah bening
melalui sistem limfatik 5.
Hal tersebut merupakan suatu reaksi mikroorganisme yang terbawa
oleh limfa dari daerah yang terinfeksi ke kelenjar limfa regional yang
membengkak.. Peradangan tersebut akan menimbulkan hiperplasia
kelenjar getah bening hingga terasa membesar secara klinik. Kemunculan
penyakit ini ditandai dengan gejala munculnya benjolan pada saluran getah
bening misalnya ketiak, leher dan sebagainya. Kelenjar getah bening yang
terinfeksi akan membesar dan biasanya teraba lunak dan nyeri. Kadang-
kadang kulit di atasnya tampak merah dan teraba hangat. 7 Limfadenitis
terbagi limfadenitis akut dan limfadenitis kronis. limfadenitis kronis
sendiri masih dibagi menjadi menjadi dua macam yaitu limfadenitis kronis
spesifik dan non spesifik atau limfadenitis tuberkulosis. 4
Upaya pencegahan dan pengendalian terjadinya limfadenitis.dilakukan
dengan memodifikasi faktor risiko yaitu mencegah infeksi, seperti
menggunakan masker pada mereka yang terinfeksi. Selain itu, melakukan
kontrol penyakit yang bersifat imunokompromais, seperti keganasan dan
HIV, perlu dilakukan untuk mencegah kemungkinan komplikasi

1
limfadenitis. Pencegahan infeksi dengan melakukan imunisasi dan
vaksinasi, seperti vaksinasi BCG juga perlu dilakukan.4,7
Limfadenitis TB terlihat pada hampir 35% kasus TB ekstra paru. Di
antara kasus limfadenitis TB, kelenjar getah bening servikalis adalah
tempat yang paling umum terlibat dengan dapat berkisar dari 60% hingga
90%, kemudian diikuti oleh kelenjar mediastinal, aksilaris, mesentrikus,
portal hepatikus, perihepatik dan kelenjar inguinalis Laporan ini bertujuan
untuk melaporkan manajemen limfadenitis tuberculosis.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. ANATOMI SISTEM LIMFATIK

Gambar 1.1. Anatomi Sistem Limfatik


Sistem limfatik adalah suatu jalur tambahan dimana cairan dapat
mengalir dari ruang interstisial kembali ke aliran darah 7. Melalui sistem
ini, zat-zat dengan molekul besar seperti protein dan lemak yang tidak
dapat diserap secara langsung dari slauran cerna dapat diangkut. Saluran
limfe dari sistem limfatik ini juga sangat permeable terhadap pathogen-
patogen seperti bakteri, virus, parasit dan sel kanker sehingga melalui jalur

3
ini pathogen tersebut akan di keluarkan dalam bentuk hancur karena salah
satu fungsi dari sistem ini adalah sebagai sistem pertahanan tubuh.

Yang termasuk dalam sistem lifatik adalah pembuluh limfatik serta


jaringan dan organ limfatik. a.pembuluh limfatik Pembuluh Limfe mulai
dari yang kecil yaitu kapiler limfe, yang ada pada semua jaringan kecuali
CNS, bone marrow dan jaringan yang tidak ada pembuluh darahnya seperti
cartilago, epidermis, dan cornea. Kelompok pembuluh limfe superficial
ada di dalam dermis dan hipodermis, sedangkan yang profunda ada di
saluran tulang, otot, viscera, dan struktur dalam lainnya.

2. DEFINISI
Limfadenitis tuberculosis adalah peradangan pada kelenjar limfe
atau getah bening yang disebabkan oleh mikobakterium tuberculosis, dan
Limfadenitis merupakan manifestasi paling sering dari TB ekstraparu.
Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini
TB masih tetap menjadi problem kesehatan dunia yang utama.
Penyakit ini menyebar ketika seseorang yang terkena TB paru
mengeluarkan bakteri ke udara contohnya ketika batuk. 1 Tuberkulosis
ekstraparu (TBEP) dapat terjadi pada semua bagian tubuh seperti kelenjar
getah bening (KGB), pleura, abdomen, kulit, tulang, sendi, saluran
kencing, dan sebagainya. Limfadenitis TB merupakan TBEP yang paling
umum di dunia sebanyak 30‒40%.2–4

3. ETIOLOGI
Untuk menggali etiologi, penting ditanyakan kepada penderita onset
terjadinya limfadenitis. Berdasarkan durasinya, limfadenitis dapat terbagi
menjadi 3, antara lain: Akut, yaitu terjadi kurang dari 2 minggu Subakut,
yaitu terjadi selama 2–6 minggu Kronis, yaitu terjadi lebih dari 6
minggu.2,4,7
Faktor risiko juga perlu digali dengan menanyakan riwayat seksual,
perjalanan, gigitan serangga, konsumsi daging yang tidak diolah dengan
baik, kontak dengan hewan, riwayat infeksi, serta riwayat imunisasi. 2,4,7
Etiologi limfadenitis berdasarkan onsetnya dibagi menjadi limfadenitis

4
akut yang kebanyakan disebabkan oleh bakteri dan virus, serta limfadenitis
subakut dan kronis yang dapat disebabkan oleh infeksi maupun keganasan.
Limfadenitis akut memiliki durasi <2 minggu, dengan penyebab paling
banyak adalah bakteri dan virus. Pada pasien anak dengan limfadenitis
yang bersifat unilateral, 80% kasus disebabkan oleh Streptococcus
pyogenes dan Staphylococcus aureus. Selain itu, limfadenitis juga dapat
disebabkan oleh bakteri anaerob, seperti Fusobacterium spp.,
Peptostreptococcus spp., dan Porphyromonas spp. Fokus infeksi dari gigi
merupakan sumber tersering infeksi bakteri anaerob tersebut.1,3,7
Limfadenitis yang bersifat subakut atau kronis paling banyak
disebabkan oleh Bartonella henselae yang ditularkan melalui cakaran
kucing di ekstremitas atas atau batang tubuh. Selain itu, Toxoplasma
gondii, Nocardia brasiliensis, dan mycobacterium non–tuberkulosis
maupun tuberkulosis juga umum dijumpai. Sebanyak 30–40% kasus
tuberkulosis ekstra paru bermanifestasi sebagai limfadenitis. 3,7

Faktor risiko terjadinya limfadenitis, antara lain:


- Memiliki hewan peliharaan atau sering kontak dengan hewan,
seperti kucing, ayam, atau kutu binatang
- Indeks massa tubuh (IMT) ≥30 kg/m2
- Kondisi imunokompromais, seperti HIV dan keganasan
- Pelancong atau setelah bepergian ke negara endemis, seperti India
dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia
- Konsumsi daging yang tidak dimasak atau mentah
- Sedang mengalami kondisi infeksi lain, seperti infeksi saluran
napas atas atau ileitis[4,7,10,11,12]

4. EPIDEMIOLOGI
Data epidemiologi menunjukkan bahwa limfadenitis merupakan
gambaran klinis tuberkulosis ekstra paru yang paling sering ditemukan. Di
Indonesia, data epidemiologi nasional terkait limfadenitis belum tersedia.
Namun demikian berdasarkan data tahun 2020 didapatkan bahwa. Kota
Makassar mencatat kasus tuberkulosis tertinggi dengan 5.993 kasus,

5
diikuti oleh Kabupaten Gowa dengan 2.280 kasus, dan Kabupaten Bone
dengan 2.195 kasus. Ini menunjukkan bahwa Makassar merupakan pusat
penularan tuberkulosis tertinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya
di Sulawesi Selatan.
Menurut data WHO pada tahun 2011 yang menyatakan bahwa angka
kematian akibat tuberkulosis sebagaian besar berada di negara yang relatif
miskin1,5 . Dalam 15-20% kasus aktif, adanya penyebaran infeksi hingga
ke luar organ pernapasan dan menyebabkan TBEP 1 .
Dari 50% pasien yang mempunyai tuberkulosis aktif ditemukannya
penyakit TBEP dan 25% dari pasien yang mempunyai riwayat tuberkulosis
dengan terapi yang tidak adekuat 5,6 .
TB limfadenitis lebih sering terjadi pada wanita dari pada pria. Terdapat
penelitian, terhadap 69 pasien TB limfadenitis didapat 48 orang wanita dan
21 orang pria dengan rentang usia (14 – 60 tahun) 17. Selain itu,
penyebaran kuman dapat melalui konsumsi susu mentah, maka dari itu
prevalensi anak-anak juga banyak yang terkena rata-rata usia berkisar 8
sampai 9 tahun dengan anak perempuan (61,3%) lebih banyak dari laki-
laki (38,7%).1,8

5. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi limfadenitis berhubungan dengan reaksi sistem imun
terhadap patogen yang dikenali oleh sel dendritik melalui struktur
polisakarida, glikolipid, lipoprotein, asam nukleat, dan nukleotida, yang
kemudian membentuk kompleks. Kompleks ini ditransportasikan menuju
ke nodus limfe terdekat.

Gambar 5.1. Patofisiologi Limfadenitis TB

6
Pertama adalah fase tuberkulosis primer. Setelah masuk ke paru, basil
berkembang biak tanpa menimbulkan reaksi pertahanan tubuh. Sarang
pertama ini disebut efek pridi hilus paru dan menyebabkan limfadenitis
regionalis. Reaksi yang 15 khas adalah terjadinya granuloma sel epiteloid
dan nekrosis pengejuan di lesi primer dan di kelenjar limfe halus. Afek
primer dan limfedenitis regional ini disebut kompleks primer yang bisa
mengalami resolusi dan sembuh tanpa meninggalkan cacat, atau
membentuk fibrosis dan kalsifikasi.1,8

6. GEJALA KLINIS
Gejala klinis limfadenitis berbeda tergantung etiologi dan lokasi nodus
limfe yang terkena. Pada umumnya, penderita mengalami pembesaran
nodus limfe disertai eritema, nyeri lokal, demam, dengan atau tanpa mual
dan muntah. Limfadenitis juga bisa asimptomatik.2,4

Gambar 6.1. Penderita Limfadenitis TB


7. DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis limfadenitis adalah dari klinis ditemukan adanya
pembesaran kelenjar limfe disertai tanda inflamasi, seperti nyeri dan
eritema, tetapi pada keadaan tertentu dapat bersifat asimtomatik.
Pemeriksaan penunjang bermanfaat untuk menunjang temuan klinis,
menyingkirkan diagnosis banding, membantu menentukan etiologi, dan
mengevaluasi keparahan penyakit.

 Anamnesis

7
Penderita limfadenitis bisa asimptomatik. Akan tetapi, pada
umumnya pasien akan mengeluhkan pembesaran nodus limfe yang
dapat diraba oleh pasien sendiri dengan eritema, nyeri lokal, dan
demam. Keluhan juga dapat disertai menggigil, mual, diare, atau
anoreksia.
Pasien juga dapat menunjukkan gejala infeksi di sekitar regio nodus
limfe yang meradang, misalnya infeksi saluran napas atas, nyeri
tenggorokan, nyeri telinga, konjungtivitis, atau leukorrhea. 2,4,7,10
Pada kasus keganasan, pasien juga akan mengeluhkan penurunan
berat badan, adanya massa selain pada kelenjar getah bening, dan
keluhan lain sesuai jenis keganasan yang dialami. Pada pasien
tuberkulosis, bisa ditemukan keluhan keringat malam hari, penurunan
berat badan, batuk lama, riwayat paparan dengan pasien tuberkulosis,
dengan atau tanpa riwayat tidak vaksin BCG. Keluhan juga dapat
timbul sesuai lokasi limfadenitis.
Pada limfadenitis yang terjadi di intraabdomen, seperti mesenterika
atau retroperitoneal, penderita bisa mengeluhkan nyeri abdomen dan
perubahan pola buang air besar. Pada limfadenitis yang terjadi di
mediastinum atau retrofaring, penderita akan mengalami disfagia,
stridor, maupun dispnea.

 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada kasus limfadenitis bertujuan untuk
membantu penegakan diagnosis, menentukan etiologi, serta derajat
keparahan penyakit yang mempengaruhi pemberian tata laksana. 1,2
Biopsi Pemeriksaan histopatologi umum dilakukan pada kasus yang
sulit ditegakkan karena merupakan pemeriksaan baku emas pada kasus
limfadenitis. Terdapat beberapa cara pengambilan sampel jaringan,
antara lain aspirasi dengan fine needle (FNAB), core needle, maupun
dengan cara eksisi. Metode tersebut dapat dilakukan bersama dengan
ultrasonografi (USG) sebagai pemandu pengambilan jaringan. 1,2,3
Adapun gambaran pemeriksaan jaringan pada penderita
limfadenitis, antara lain : Hiperplasia dan peningkatan jumlah folikel

8
sel B pada bagian germinal center yang disertai dengan ekspansi
korteks Ekspansi parakortikal yang disebabkan oleh hiperplasia limfosit
T Hiperplasia sinus yang ditunjukkan dengan adanya sel histiosit pada
sinus medulari dan kortikal Gambaran granuloma histiositik pada
korteks dan parakorteks, terutama pada limfadenitis oleh tuberkulosis
dan sarkoidosis Hiperplasia folikular dan infiltrasi sel polimorfonuklear
dengan jumlah yang bervariasi.1,3
Pada fase awal, limfadenitis akut memberikan gambaran
hiperseluler, disertai dengan latar jaringan nekrotik dan berbagai sel
inflamasi seperti limfosit, neutrofil, debris, dan materi purulen. Seiring
dengan progresivitas penyakit, makrofag dan sel plasma dapat
ditemukan pada jaringan.1

Gambar 7.1. PA Sel Datia Langhans pembesaran 1000x


Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang
ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi
oleh limfosit. Granuloma tersebut mempunyai karakteristik perkijuan
atau area nekrosis kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas
lainnya adalah ditemukannya multinucleated giant cell (sel datia
Langhans). Diagnosis histopatologi dapat ditegakkan dengan
menemukan perkijuan (kaseosa), sel epiteloid, limfosit, dan sel datia
Langhans. Kadang dapat ditemukan juga BTA
Pemeriksaan pencitraan, terutama USG, banyak digunakan sebagai
pemeriksaan penunjang pada limfadenitis. Selain dapat digunakan
sebagai pemandu pengambilan jaringan untuk keperluan biopsi, USG
dapat digunakan untuk mengevaluasi ukuran, jumlah, bentuk, batas,

9
dan keterkaitan nodus limfe dengan organ lainnya. Walaupun demikian,
USG tidak dapat mengidentifikasi etiologi penyebab. Pemeriksaan
rontgen thorax, CT scan, dan MRI berguna untuk menilai keterlibatan
paru, organ di daerah thorax, serta rongga abdomen dan pelvis. 1,2,3

Gambar 7.2. X-Ray TB Paru

Gambar 7.3. CT-Scan TB Paru

 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk mengevaluasi etiologi
penyebab limfadenitis. Pemeriksaan laboratorium awal adalah
pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Peningkatan
leukosit biasa terjadi pada penderita limfadenitis, terutama yang
disebabkan oleh infeksi, serta pada leukemia dan limfoma. Peningkatan
CRP merupakan penanda terjadinya inflamasi yang non spesifik.
Pemeriksaan lain dilakukan berdasarkan kecurigaan etiologi
limfadenitis. Pada kasus yang dicurigai disebabkan oleh bakteri,

10
pemeriksaan kultur, gram, dan resistensi antibiotik, juga dapat
dilakukan.
Pemeriksaan serologis, seperti antibodi anti–HIV, IgM toxoplasma,
atau pemeriksaan serologis lain digunakan untuk membantu identifikasi
etiologic.2,3
Pemeriksaan tuberkulin atau interferon-gamma release assays
(IGRA) umum dikerjakan pada penderita yang dicurigai mengalami
limfadenitis tuberkulosis. Pemeriksaan fungsi hati akan menunjukkan
peningkatan AST dan ALT pada kasus limfadenitis yang disebabkan
oleh mononukleosis infeksiosa.2,3

8. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana tuberkulosis dengan pemberian OAT (obat anti
tuberkulosis). Yaitu dengan kombinasi 4 macam OAT. Isoniazid,
rifampisin, pirazinamid, dan etambutol diberikan selama 2 bulan (fase
intensif) dilanjutkan dengan isoniazid dan rifampisin selama 10 bulan (fase
lanjutan) dengan dosis seperti pada tabel dibawah.

Tabel 8.1. : Dosis OAT untuk Anak


Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisisn, dosis isoniazid
tidak boleh melebihi 10 mg/kgBB/hari. Atau dapat juga diberikan obat
KDT dengan dosis seperti tabel berikut :

11
Tabel 8.2. : Paduan OAT dan lama pengobatan TB pada Anak
Penatalaksanaan limfadenitis adalah observasi dan pemberian
antibiotik berdasarkan pemeriksaan kultur. Pada kasus yang dicurigai
sebagai keganasan, kemoterapi dan radioterapi dapat dilakukan. Tindakan
aspirasi, baik dengan jarum maupun operatif diindikasikan pada
limfadenitis supuratif.2,6,7
Observasi dapat dipertimbangkan pada penderita limfadenitis
bilateral dengan onset kurang dari 2 minggu, ukuran kurang dari 3 cm,
bersifat mobile, dan tidak menunjukkan adanya gejala. Pada limfadenitis
akibat virus, yang umum terjadi pada anak, keluhan akan swasirna tanpa
diperlukan intervensi khusus.2,7
Penelitian menunjukan bahwa terapi observasi efektif pada kasus
limfadenitis mikobakterium non–tuberkulosis. Walaupun demikian, dapat
timbul komplikasi ringan seperti bekas luka, pigmentasi, dan permukaan
kulit tidak rata. 2
Terapi medikamentosa diberikan berdasarkan etiologi. Antibiotik
dapat dipertimbangkan pada nodus lebih dari 3 cm, unilateral, tampak
eritema, dan nyeri saat ditekan. Pemberian antibiotik empiris sebaiknya
ditargetkan untuk patogen yang umum, termasuk S. aureus dan group A
Streptococcus.
Terapi empiris dengan clindamycin patut dipertimbangkan.
Kotrimoksazol umumnya efektif untuk infeksi methicillin-resistant
S.aureus (MRSA), tetapi tidak efektif untuk infeksi group A
Streptococcus. Durasi pemberian antibiotik umumnya 7–10 hari.2,7
Apabila penderita mengalami gejala selulitis, pilihan antibiotiknya
adalah nafsilin, cefazolin, dan clindamycin. Ampicillin merupakan terapi

12
yang direkomendasikan pada limfadenitis yang disebabkan oleh
Streptococcus grup B.
Pada limfadenitis TB, pemberian regimen tata laksana tuberkulosis
sesuai tuberkulosis ekstraparu dapat dipertimbangkan bila diagnosis sudah
ditegakkan. Infeksi Francisella tularensis dapat diterapi dengan
streptomycin, doxycycline, dan ciprofloxacin. Infeksi bakteri anaerob
dapat diobati dengan clindamycin dan metronidazole.
Pada kasus yang disebabkan oleh keganasan, kemoterapi dan
radioterapi diberikan sesuai pedoman tata laksana keganasan yang
diderita. 2,4,7
Tindakan Operatif Pada beberapa kasus, tindakan operatif dapat
dilakukan apabila pemberian medikamentosa tidak memberi respon
adekuat.
Tindakan insisi drainase dilakukan pada kasus limfadenitis yang
sudah mengalami supurasi. Kondisi ini paling banyak disebabkan oleh
etiologi bakteri, terutama Streptococcus pyogenes dan Staphylococcus
aureus.
Teknik aspirasi dilakukan pada kasus limfadenitis supuratif yang
berukuran <3 cm dan apabila tata laksana tersebut gagal, tindakan eksisi
dapat dipilih. Pada kasus yang disebabkan oleh mikobakterium non–
tuberkulosis, eksisi nodus limfe merupakan terapi pilihan meskipun
berisiko menyebabkan cedera pada nervus fasial. 2,4,6,7
Radiasi dan Kemoterapi, Tindakan ini dilakukan pada kasus
limfadenitis yang disebabkan oleh keganasan. Dasar penegakan diagnosis
keganasan adalah temuan klinis yang dikonfirmasi dengan hasil biopsi.
Kemoterapi juga diindikasikan pada penderita limfadenitis karena
mycobacterium non–tuberkulosis yang tidak dapat menjalani operasi
karena lokasi nodus limfe yang dekat dengan pembuluh darah atau nervus
fasialis. Durasi kemoterapi yang direkomendasikan pada kasus ini adalah
selama 6–12 bulan. 2,7

9. KOMPLIKASI

13
Pada kasus yang jarang, limfadenitis dapat menekan struktur organ
yang dekat dengan nodus limfe yang membesar, misalnya menekan
esofagus dan menyebabkan disfagia. Limfadenitis juga bisa menimbulkan
sindrom vena cava superior, selulitis, sepsis, dan trombosis vena. Tindakan
eksisi juga dapat menimbulkan komplikasi pada pasien limfadenitis.
Komplikasi dapat berupa cedera saraf, infeksi luka operasi, maupun
pembentukan skar.3-7

10. DIAGNOSIS BANDING


Limfadenitis dibedakan dengan beberapa diagnosis banding yang
dapat memberikan gambaran klinis serupa, antara lain neuroblastoma,
limfoma Hodgkin, dan tiroiditis.1,2
Neuroblastoma adalah tumor yang sering dialami oleh anak usia 1–5
tahun dan berasal dari jaringan embrionik simpatoadrenal pial neural.
Gambaran klinis neuroblastoma berupa massa atau pembengkakan pada
leher, disertai dengan nyeri dan gangguan pernapasan.
Pada pemeriksaan histopatologi, neuroblastoma menunjukkan adanya
gambaran neuroblast dengan nukleus berukuran besar, sitoplasma yang
lebih sedikit, dengan atau tanpa disertai sel pleomorfik.2-4
Limfoma Non Hodgkin adalah memiliki keluhan limfadenopati
persisten yang tidak nyeri. Gejala konstitusional lainnya yang dapat
dialami pasien adalah demam persisten, keringat pada malam hari,
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan, pruritus, dan
kelelahan. Kondisi ini dibedakan dengan limfadenitis melalui pemeriksaan
biopsi yang tidak menunjukkan gambaran khas dari limfoma Non Hodgkin
yaitu berupa sel multinuklei besar atau biasa disebut sebagai sel Reed-
Sternberg.2-6
Tiroiditis adalah kondisi inflamasi kelenjar tiroid yang dapat
menyebabkan kondisi hipotiroid atau hipertiroid pada tubuh. Kondisi ini
dapat disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, autoimun, maupun obat–
obatan. Pasien umumnya mengeluhkan nyeri dan pembengkakan pada
leher, serta gejala sistemik seperti demam, menggigil, dan malaise.

14
Pada pemeriksaan fisik, penderita tiroiditis dapat menunjukkan adanya
gejala hipertiroid, seperti fasikulasi lidah, peningkatan nadi, dan tremor.
Pada penderita yang mengalami hipotiroid, akan didapatkan nadi yang
melambat, kulit yang dingin, serta terhambatnya relaksasi refleks tendon.
Pemeriksaan penunjang berupa fungsi tiroid, yaitu TSH dan FT4
memberikan hasil abnormal.2,7,9

11. PROGNOSIS
Prognosis limfadenitis umumnya baik pada nodul jinak yang hanya
memerlukan observasi maupun pada limfadenitis infeksi dengan
penatalaksanaan definitif yang tepat. Prognosis limfadenitis ditentukan
oleh etiologi dan tata laksana yang dilakukan pada penderita. 8,9
Limfadenitis yang disebabkan oleh mycobacterium non–tuberkulosis
dan diterapi dengan eksisi saja memberikan angka kesembuhan sebesar
45%. Sementara itu, kasus yang dikombinasi dengan kemoterapi
memberikan angka kesembuhan sebesar 61%. Pada anak, limfadenitis
sering disebabkan virus. Limfadenitis yang disebabkan virus, seperti
adenovirus dan rhinovirus, dapat sembuh sendiri tanpa memerlukan terapi
khusus.8,9
Pemberian antibiotik pada kasus limfadenitis bakteri mampu
memberikan respon cukup efektif. Sebanyak 86,9% penderita dapat
berobat jalan dan hanya 7,9% yang membutuhkan tindakan operatif. 8,9
Selain etiologi dan tata laksana, faktor yang dapat mempengaruhi
prognosis limfadenitis, antara lain: Koinfeksi dengan penyakit lain, seperti
HIV Berusia kurang dari 5 tahun Riwayat penggunaan antibiotik
sebelumnya . 3-7

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Zeppa P, Cozzolino I. Cytopathology of Lymph Nodes and Extranodal


Lymphoproliferative Processes : Lymphadenitis and Lymphadenopathy.
Monogr Clin Cytol. 2017;23:19-33.
2. Patridge E. Lymphadenitis: Background, Pathophysiology.
Emedicine.medscape.com. 2019.
https://emedicine.medscape.com/article/960858-overview
3. Prudent E, La Scola B, Drancourt M, Angelakis E, Raoult D. Molecular strategy
for the diagnosis of infectious lymphadenitis. European Journal of Clinical
Microbiology & Infectious Diseases. 2018;37(6):1179-1186.
4. Helbling R, Conficconi E, Wyttenbach M, Benetti C, Simonetti G, Bianchetti
M et al. Acute Nonspecific Mesenteric Lymphadenitis: More Than “No Need
for Surgery”. BioMed Research International. 2017;2017:1-4.
5. Jaggi P, Walz P, Hecht S. Pediatric Cervical Lymphadenitis. Journal of
Pediatric Infectious Diseases. 2018;14(02):063-068.
6. Gaddey H, Riegel A. Unexplained Lymphadenopathy: Evaluation and
Differential Diagnosis. Am Fam Physician. 2016;94(11):896-903.
7. Nakazawa A, Haga C, Ohira M, Okita H, Kamijo T, Nakagawara A. Correlation
between the International Neuroblastoma Pathology Classification and genomic
signature in neuroblastoma. Cancer Science. 2015;106(6):766-771.
8. Louis C, Shohet J. Neuroblastoma: Molecular Pathogenesis and Therapy.
Annual Review of Medicine. 2015;66(1):49-63.
9. Irwin M, Park J. Neuroblastoma. Pediatric Clinics of North America.
2015;62(1):225-256. 25. Ansell S. Hodgkin Lymphoma: Diagnosis and
Treatment. Mayo Clinic Proceedings. 2015;90(11):1574-1583.
10. Mauz-Körholz C, Metzger M, Kelly K, Schwartz C, Castellanos M, Dieckmann
K et al. Pediatric Hodgkin Lymphoma. Journal of Clinical Oncology.
2015;33(27):2975-2985.
11. Pyzik A, Grywalska E, Matyjaszek-Matuszek B, Roliński J. Immune Disorders
in Hashimoto’s Thyroiditis: What Do We Know So Far?. Journal of
Immunology Research. 2015;2015:1-8.

16
12. Ajjan R, Weetman A. The Pathogenesis of Hashimoto’s Thyroiditis: Further
Developments in our Understanding. Hormone and Metabolic Research.
2015;47(10):702-710.
13. Hoffman R. Thyroiditis Workup: Laboratory Studies, Imaging Studies,
Procedures. Emedicine.medscape.com. 2018.
https://emedicine.medscape.com/article/925249-workup#c5
14. Mohseni S, Shojaiefard A, Khorgami Z, Alinejad S, Ghorbani A, Ghafouri A.
Peripheral Lymphadenopathy: Approach and Diagnostic Tools. Iran J Med Sci.
2014;39(2):158-170.
15. Zeppa P, Cozzolino I: Lymph Node FNC. Cytopathology of Lymph Nodes and
Extranodal Lymphoproliferative Processes. Monogr Clin Cytol. Basel, Karger,
2018, vol 23, pp 19-33. https://doi.org/10.1159/000478879

17

Anda mungkin juga menyukai