Anda di halaman 1dari 11

Laboratorium Ilmu Dermatologi & Venereologi Journal Reading

Fakultas Kedokteran

Universitas Mulawarman

Tinea Pedis

Oleh

Faradiba Maulidina

1810029006

Pembimbing

dr. Vera Madonna L, M.Kes, M.Ked (DV) Sp.DV

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang selalu
melimpahkan rahmat, anugrah, dan karunianya sehingga kami bisa menyelesaikan
makalah ini dengan baik dan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Kami
mengucapkan terima kasih kepada
1. dr. Vera Madonna L., M. Kes, M. Ked (DV), Sp. DV selaku Kepala
Laboratorium Dermatologi dan Venereologi FK Unmul dan Dokter
Pembimbing Klinik
2. Rekan-rekan Dokter Muda Laboratorium Dermatologi dan Venereologi atas
kerjasamanya.

Penulis menyadari bahwa penulisan tugas journal reading ini masih


terdapat ketidaksempunaan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari para pembaca agar kedepannya penulis dapat
memperbaiki dan menyempurnakan tulisan ini.
Penulis berharap agar tugas journal reading yang sudah ditulis ini berguna
bagi pembaca terutama Dokter Muda FK Unmul dan dapat digunakan sebaik-
baiknya sebagai sumber informasi.Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.

Samarinda, Februari 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... 1
KATA PENGANTAR.................................................................................... 2
DAFTAR ISI................................................................................................... 3
BAB 1 IDENTITAS JURNAL....................................................................... 4
BAB 2 LITERATUR REVIEW..................................................................... 5

3
BAB 1

IDENTITAS JURNAL

Ditulis oleh : Alexander K.C. Leung dan Benjamin Barankin


Institusi : Departemen anak, Universitas Calgary, Konsultan anak, Rumah sakit
anak Alberta Children, Canada;
Dermatologist, Direktus Medis dan Pendiri, Toronto Dermatology
Centre, Canada
Penerbitan Jurnal : Aperito Journal of Dermatology tahun 2015. Volume 2 No 1

4
BAB 2

LITERATUR REVIEW

Abstrak:
Tinea pedis, atau dikenal juga dengan nama "kaki atlet", adalah suatu
infeksi jamur pada kaki yang kebanyakan disebabkan oleh dermatofit. Tinea pedis
kebanyakan disebabkan oleh Trichypton rubrum dan T. interdigitale.
Diperkirakan 10-15% dari populasi dunia mempunyai tinea pedis. Prevalensinya
lebih tinggi pada orang dewasa dibanding anak-anak. Usia yang paling banyak
pada 16-45 tahun. Tinea pedis lebih sering terjadi pada lelaki dibanding
perempuan. Manusia bisa terinfeksi melalui kontak dengan orang yang sudah
terinfeksi, hewan, benda mati yang terkontaminasi dengan agen infeksius, atau
dari tanah. Transmisi dari tinea pedis dibantu oleh lingkungan yang hangat dan
lembab serta penggunaan sepatu yang sempit dan tertutup. Ada 3 bentuk
manifestasi klinis dari tinea pedis, yaitu interdigital, moccasin, dan vesicobullous.
Diagnosisnya biasanya bersifat klinis, terutama bila lesinya terlihat. Jika perlu,
diagnosis dapat dipastikan dengan pemeriksaan pewarnaan kalium hidroksida
dengan mengikis kulit pada batas aktif lesi. Tinea pedis yang superficial dan
terlokalisasi biasanya berespons terhadap pemberian terapi antifungal topikal 2
kali sehari selama 2-4 minggu. Pengobatan sistemik diindikasikan bila lesinya
banyak, kronis, rekuren, dan resisten terhadap antifungal topikal atau jika
pasiennya memiliki kelainan sistem imun, dan apabila terdapat pada bagian kuku
jari.

Kata kunci: Trichphyton rubrum; Trichphyton interdigitale; Interdigital;


Moccasin; Vesiculobullous

Pendahuluan
Tinea pedis, atau dikenal juga dengan nama kaki atlet, adalah infeksi
jamur superfisial pada kaki yang biasanya disebabkan oleh dermatofit. Tinea
pedis merupakan infeksi jamur superfisial yang paling sering terjadi pada kulit
[8].

5
Etiologi
Tinea pedis paling sering disebabkan oleh Trichophyton rubrum dan T.
Interdigitale (sebelumnya dikenal dengan nama T. Mentogrophytes), diikuti oleh
Epidermophyton floccosum. Dermatofit lainnya yang dapat menyebabkan tinea
pedis yaitu T. Tonsurans dan Microsporum spp [7]. Jamur nondermarofit seperti
Scytalidium hyalinum, S. Dimidiatum, dan Scopulariopsis brevicaulis dan spesies
kandida juga dapat menyebabkan tinea pedis [6,7].

Epidemiologi
Diperkirakan 10-15% dari populasi dunia mengidap tinea pedis [2,6].
Prevalensi lebih tinggi pada orang dewasa (17%) dibanding anak-anak (4%) [2].
Kondisinya lebih sering terjadi pada remaja dibanding anak prapubertas [1].
Puncak usia yang paling banyak adalah umur 16-45 tahun, dimana aktivitas kerja
dan rekreasi paling banyak dilakukan [9]. Tinea pedis lebih sering terjadi pada
lelaki dibanding perempuan [6]. Manusia bisa terinfeksi melalui kontak dengan
orang yang sudah terinfeksi, hewan (terutama hewan peliharaan), benda mati yang
terkontaminasi dengan agen infeksius, atau dari tanah [2]. Transmisi antar anggota
keluarga merupakan cara penularan yang paling sering; anak-anak sering
terinfeksi oleh spora atau terkena serpihan kulit yang terinfeksi di rumah [2].
Autoinfeksi oleh dermatofit di bagian tubuh lain juga bisa terjadi [2]. Transmisi
dari tinea pedis dibantu oleh lingkungan yang hangat dan lembab dan penggunaan
sepatu yang sempit dan tertutup [1]. Penyakit ini lebih sering pada atlet dan
pekerja kasar [4,12]. Imunodefisiensi, diabetes melitus, dermatitis atopik,
hiperhidrosis, kaki yang tidak terawat, dan obesitas merupakan faktor predisposisi
[6,12].

Patogenesis
Organisme penyebab tinea pedis dapat memproduksi enzim seperti
protease yang dapat menghancurkan keratin dan keratinase yang dapat menembus
jaringan berkeratin [11]. Hifa jamur kemudian dapat menginvasi stratum corneum

6
dan keratin, dan kemudian menyebar dari tengah menuju keluar. Infeski biasanya
hanya terbatas pada jaringan kutan dan hanya terbatas pada lapisan bertanduk
yang telah mati, karena jamurnya tidak dapat menembus jaringan lebih dalam
pada pasien yang imunokompeten [11]. Kemudian akan timbul kulit bersisik
karena meningkatnya pergantian epidermal yang disebabkan inflamasi.

Manifestasi Klinis
Ada tiga bentuk tinea pedis yang dikenali, yaitu interdigital, moccasin, dan
vesicobullous [4,6,12]. Tinea pedis interdigital, bentuk yang paling sering, muncul
dengan plak eritema dan area keputihan yang lembek antara jari kaki, terutama
antara jari keempat dan kelima [6]. Biasanya juga terdapat sisik dan fisura pada
bagian perifer. Kondisi ini sering timbul gatal. Penyakitnya dapat menyebar ke
bagian telapak, samping, dan punggung kaki. Infeksi bakteri sekunder pada
daerah antarjari dapat menyebabkan erosi, bau kaki, dan koreng.
Bentuk moccasin ditandai dengan plak halus bersisik berwarna silver
dengan berbagai tingkat eritema pada bagian tumit, telapak kaki, dan aspek lateral
kaki [4]. Biasanya tipe ini asimtomatis dan cukup resisten terhadap pengobatan
[4,12].
Tinea pedis vesiculobullous, bentuk yang paling jarang, muncul dengan
vesikel dan/atau bula, biasanya pada punggung kaki [4] Kondisinya sangat gatal
[12].
Erupsi sekunder yang terjadi bersamaan dapat muncul pada sisi tubuh
yang jauh mungkin karena reaksi imunologis terhadap jamur [5]. Hal ini disebut
sebagai reaksi dermatofitid [5].

7
Gambar 1. Tinea pedis pada anak laki-laki berusia 8 tahun yang melibatkan
punggung kaki kanan.

Diagnosis
Diagnosis sering dapat dibuat secara klinis, terutama jika lesinya khas.
Namun, diagnosisnya bisa sulit jika ada penggunaan obat sebelumnya seperti
kortikosteroid atau penghambat kalsineurin. Tinea incognito mengacu pada
dermatofitosis yang telah kehilangan ciri khas morfologisnya karena penggunaan
kortikosteroid atau penghambat kalsineurin. Jika diagnosis sulit dilakukan,
pemeriksaan pewarnaan kalium hidroksida dengan mengikis kulit pada tepi lesi
yang aktif atau pada atap vesikel sebaiknya dilakukan [6]. Satu tetes kalium
hidroksida 10-20%, dengan atau tanpa dimetil sulfoksida, diberikan ke kikisan
kulit. Spesimen kemudian dipanaskan dengan perlahan untuk mempercepat
penghancuran sel skuamosa jika tidak ada dimetil sulfoksida yang ditambahkan.
Kalium hidroksida melarutkan jaringan epitel, meninggalkan sekat hifa yang
mudah dilihat. Namun, hasil negatif tidak selalu berarti infeksi dermatofit
dihilangkan dari kemungkinan, terutama pada kasus-kasus inflamasi [12].

8
Walaupun kultur jamur merupakan gold standar untuk diagnosa, kultur
biasanya jarang dilakukan, kecuali jika diagnosisnya meragukan, infeksinya
parah, menyebar luas, atau resisten terhadap pengobatan. Kultur biasanya mahal
dan memakan waktu 7-14 hari untuk mendapatkan hasil. Media kultur yang paling
sering digunakan adalah agar Sabouraud’s peptone-glucose. Super-infeksi dengan
bakteri gram negatif bisa berakibat menurunnya sensitivitas dari kultur.
Pemeriksaan lampu wood biasanya tidak terlalu berguna karena lesi dari tinea
tidak berflurosensi dibawah lampu Wood. Biopsi kulit untuk pemeriksaan
histopatologi dapat berguna jika diagnosisnya meragukan.

Diagnosa Banding
Diagnosa banding dari tinea pedis antara lain dermatitis kontak, dermatitis
alergik, dermatitis atopik, xerosis, dyshidrotic eczema, erythrasma, kandidiasis,
psoriasis, dan pityriasis rubra pilaris [1,6].

Komplikasi
Komplikasinya antara lain yaitu infeksi bakteri sekunder dan penyebaran
jamur ke bagian tubuh lain seperti kuku (onychomycosis), selangkangan (tinea
kruris), wajah (tinea facei), area berjenggot (tinea barbae), dan tangan (tinea
manuum).

Pengobatan
Tinea pedis yang muncul di permukaan atau terlokalisir biasanya
berespons terhadap antifungal topikal, 2 kali sehari selama 2-4 minggu.
Antifungal topikal yang sering digunakan antara lain ciclopirox, econazole,
clotrimazole, ketoconazole, butenafine, naftifine dan terbinafine [12]. Dalam uji
banding pengobatan campuran (uji coba head-to-head dan uji coba dengan
pembanding umum) meta-analisis yang melibatkan 14 obat antifungal topikal,
tidak ada perbedaan yang signifikan antara obat-obat antifungal [10]. Terbinafin
mungkin bisa menjadi strategi terbaik untuk mempertahankan keadaan sembuh
[10]. Nystatin tidak efektif terhadap pengobatan tinea pedis [5]. Antifungal topikal
biasanya bereaksi baik dan jarang menimbulkan efek samping, kecuali untuk
beberapa kasus langka bisa menyebabkan dermatitis kontak. Kebanyakan

9
kekambuhan terjadi karena ketidakpatuhan pasien. Dalam kasus ini, antifungal
topikal seperti terbinafine, sertaconazole, dan econazole dapat digunakan sekali
sehari untuk meningkatkan kepatuhan [4,12]. Karena jamur berkembang paling
baik di lingkungan yang hangat dan lembab, pasien harus disarankan untuk
memakai kaus kaki dan sepatu yang tidak sempit, bersih, dan mengeringkan kaki
setelah mandi [6]. Bedak antijamur dapat ditempatkan di sepatu setiap hari [6].
Sepatu juga dapat disterilkan dengan perangkat berbasis ultraviolet-C (UVC).
Pengobatan sistemik diindikasikan jika lesinya luas, kronis, berulang,
resisten, atau tidak sembuh dengan pengobatan antijamur topikal, jika pasien
memiliki kelainan imun, atau jika adanya tanda infeksi pada kuku [3]. Obat
antifungal oral yang digunakan untuk pengobatan tinea pedis antara lain
itrakonazol, flukonazol, ketoconazole, terbinafine, dan butenafine [2]. Pada meta-
analisis dari 15 uji coba terkontrol secara acak (n = 1438) antifungal oral, tidak
ada perbedaan signifikan yang terdeteksi antara terbinafine dan itrakonazol,
flukonazol dan itrakonazol, dan flukonazol dan ketokonazol [2]. Ditemukan
bahwa terbinafine lebih efektif daripada griseofulvin, yang sekarang jarang
digunakan. Terapi kombinasi antara antifungal topikal dan oral dapat
meningkatkan angka kesembuhan.

Prognosis
Prognosisnya baik dengan pengobatan yang tepat. Jika tidak diobati, lesi
akan bertahan dan berkembang [5].

Daftar Pustaka

1. Andrews MD, Burns M. Common tinea infections in children. Am Fam


Physician 2008; 77:1415-1420
2. Bell--Syer SE, Khan SM, Torgerson DJ. Oral treatments for fungal infections
of the skin of the foot. Cochrane Database Syst Rev 2012;Oct 17;10:CD003584.
3. Ely JW, Rosenfeld S, Stone MS. Diagnosis and management of tinea
infections. Am Fam Physician 2014;90: 702-710.
4. Field LA, Adams BB. Tinea pedis in athletes. Int J Dermatol 2008; 47:486-492.
5. Goldstein AO, Goldstein BG. Tinea pedis. In: Post TW, ed. UpToDate.
Waltham, MA. (Accessed on February 18, 2015)
6. Gupta AK, Chow M, Daniel CR, et al. Treatments of tinea pedis. Dermatol Clin
2003; 21:431-462.

10
7. Mistik S, Ferahbas A, Koc A, et al. What defines the quality of patient care in
tinea pedis? J Eur Acad Dermatol Venereol 2006;20:158-165.
8. Parish LC, Parish JL, Routh HB, et al. A randomized, double-blind, vehicle-
controlled efficacy and safety study of naftifine 2% cream in the treatment of
tinea pedis. J Drugs Dermatol. 2011; 10: 1282-1288.
9. Pau M, Atzori L, Aste N, et al. Epidemiology of tinea pedis in Cagliari, Italy. G
Ital Dermatol Venereol 2010; 145:1-5.
10. Rotta I, Ziegelmann PK, Otuki MF, et al. Efficacy of topical antifungals in the
treatment of dermatophytosis: a mixed-treatment comparison meta-analysis
involving 14 treatments. JAMA Dermatol 2013; 149(3):341-349.
11. Surendran KA, Bhat RM, Boloor R, et al. A clinical and mycological study of
dermatophytic infections. Indian J Dermatol 2014; 59(3):262-267.
12. Weinberg JM, Koestenblatt EK. Treatment of interdigital tinea pedis: once-
daily therapy with sertaconazole nitrate. J Drugs Dermatol 2011; 10(10):1135-
1140.

11

Anda mungkin juga menyukai