DERMATITIS NUMULARIS
Pembimbing:
Disusun Oleh:
Segala puji syukur alhamdulillah saya panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah melimpahkan nikmat, taufik, serta hidayah-Nya yang sangat luar biasa
sehingga saya mampu menyelesaikan penulisan referat yang berjudul Dermatitis
Numularis ini disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin Rumah Sakit Umum Pusat dr. Sitanala. Shalawat serta salam tak lupa saya
curahkan bagi baginda besar Nabi Muhammad shallalahu’alaihi wa sallam beserta
keluarga, sahabat, serta seluruh umatnya.
Penulis menyadari bahwa penulisan referat ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat dibutuhkan agar
kedepannya dapat memberikan manfaat yang lebih di masa mendatang. Semoga referat
yang penulis sajikan mampu memberikan tambahan pengetahuan bagi pembaca dan
mampu membawa manfaat dalam rangka meningkatkan perkembangan ilmu
pengetahuan.
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Dermatitis numularis adalah inflamasi kulit yang bersifat kronis, ditandai
dengan lesi papul dan papulovesikel yang berkonfluensi membentuk plak mata uang (koin)
atau agak lonjong, berbatas tegas, dengan kruta dan skuama serta mudah pecah
sehingga membasah (oozing).
2.2 EPIDEMIOLOGI
Dermatitis numularis lebih sering ditemukan pada orang dewasa dan lebih
sering terjadi pada pria dibandingkan wanita. Usia puncak awitanpada kedua jenis
kelamin berkisar antara 55-65 tahun. Pada perempuan, terdapat usia puncak
kedua, yaitu terjadi pada usia 15-25 tahun. Dermatitis numularis jarang ditemukan
pada bayi dan anak.
2.3 ETIOPATOGENESIS
Patogenesis dermatitis numularis belum diketahui. Sebagian besar pasien
dermatitis numulais tidak memiliki riwayat atopi, baik pada diri maupun keluarga,
walaupun plak numular dapat ditemukan pada dermatitis atopik. Berbagai faktor
diduga turut berperan dalam kelainan ini, seperti xerosis, reaksi dengan kontak
alergen, peningkatan pertumbuhan Staphylococcal, higenitas, lingkungan dan
kelembapan. Terjadi pelepasan sitokin IFN- dan IL-17 yang meningkatkan
rekrutmen sel T, sel dendritik, dan sel Langerhans sehingga terjadi hiperplasia
epidermal dan terjadi lesi pada kulit. Pada pasien berusia lanjut dengan dermatitis
numularis didapatkan kelembaban kulit yang menurun. Suatu studi menemukan
fokus infeksi internal, meliputi infeksi gigi, saluran napas atas, dan saluran napas
bawah pada 68% pasien dermatitis numularis.
Dilaporkan titer antibodi antistreptolysin (ASTO) meningkat pada pasien
dermatitis numularis dibandingkan kelompok kontrol. Peranan allergen
lingkungan, misalnya tungau, debu rumah dan Candida albicans, juga telah diteliti.
Dermatitis numularis dilaporkan terjadi pada pasien yang mendapat terapi
isotretinoin dan emas. Defisiensi nutrisi, dermatitis kontak, alergi dan iritan, serta
stress emosional juga diduga menjadi penyebab kelainan ini.
5
2.4 DIAGNOSIS
2.4.1. GAMBARAN KLINIS DAN PEMERIKSAAN FISIK
Penderita dermatitis numularis umumnya mengeluh sangat gatal yang
bervariasi dari ringan sampai berat. Lesi akut berupa plak eritematosa berbentuk
koin dengan batas tegas yang terbentuk dari papul dan papulovesikel yang
berkonfluens. Lambat laun vesikel pecah dan terjadi eksudasi berbentuk pinpoint.
Selanjutnya eksudat mengering dan menjadi krusta kekuningan. Pada tepi plak
dapat muncul lesi papulovesikular kecil yang kemudian berkonfluens dengan plak
tersebut sehingga lesi meluas. Diameter plak biasanya berukuran 1-3 cm. Kulit di
sekitar lesi biasanya normal, namun bisa juga kering. Penyembuhan dimulai dari
tengah sehingga menyerupai lesi dermatomikosis dengan bentuk anular.
6
Dalam 1-2 minggu lesi memasuki fase kronik berupa plak dengan skuama
dan likenifikasi. Jumlah lesi dapat hanya satu atau multipel dan tersebar pada
ekstremitas bilateral atau simetris. Distribusi lesi yang klasik adalah pada aspek
ekstensor ekstremitas. Pada perempuan, ekstremitas atas termasuk punggung
tangan lebih sering terkena. Selain itu kelainan dapat pula ditemukan di badan
yang dapat berpotensi meluas hingga generalisata. Lesi dapat muncul setelah
trauma (fenomena Koebner). Sel mast ditemukan berdekatan dengan serabut saraf
pada lesi. Selain itu ditemukan pula neuropeptidasubstance P (SP) dan calcitonin
gene-related peptide (CGRP) yang meningkat pada lesi. Sel mast dapat
menyebabkan inflamasi neurogenik melalui aktivasi oleh SP dan CGRP.
Peningkatan SPICGRP dalam epidermis lesi dermatitis numularis dapat
menstimulasi keratinosit untuk melepaskan sitokin yang mempengaruhi berbagai
sel sehingga inflamasi meningkat.
2.4.2. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Histopatologi
Perubahan histopatologi yang ditemukan bergantung pada fase lesi saat
biopsi dilakukan. Pada lesi akut ditemukan spongiosis, vesikel intraepidermal,
serta sebukan sel radang limfosit dan makrofag di sekitar pembuluh darah. Pada
lesi sub akut, terdapat parakeratosis, scale-crust, hiperplasi epidermal, dan
spongiosis epidermis. Selain itu ditemukan pula sel infiltrat campuran di dermis.
Pada lesi kronik didapatkan hyperkeratosis dan akantosis. Gambaran ini
menyerupai liken simpleks kronik.
7
Gambar 1.3. Histopatologi dermatitis numularis
Pemeriksaan laboratorium
Tes tempel dapat berguna pada kasus kronik yang rekalsitran terhadap
terapi. Tes ini berguna untuk menyingkirkan kemungkinan adanya dermatitis
kontak. Pada suatu laporan di India, dari 50 pasien dermatitis numularis, didapatkan
hasil tes tempel yang positif pada setengah jumlah pasien yang diteliti. Hasil tes
tempel yang didapatkan positif terhadap colophony, nitrofurazon, neomisin sulfat,
dan nikel sulfat. Kadar imunoglobulin E dalam darah dilaporkan normal.
2.6. KOMPLIKASI
Komplikasi dermatitis numularis adalah infeksi sekunder oleh bakteri
terutama bakteri Staphylococcus aureus dengan lesi berupa impetigo yang disertai
krusta kekuningan.
9
BAB III
KESIMPULAN
10
DAFTAR PUSTAKA
11