Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH KUTAN DERMATOSITOSIS

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Mikologi

Disusun oleh :

Amelia Amanda Putri

NIM : P17334119536

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN BANDUNG
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
2020
KATA PEGANTAR

Puji dan syukur Kami ucapkan kepada Allah SWT atas berkat serta

bimbingan-Nya kepada kami sehingga kami mampu menyelesaikan makalah ini

dengan baik.

Pada Makalah ini kami membahas tentang “KUTAN DERMATOSITOSIS”

Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Mikologi di

Politeknik Kesehatan Bandung.

Kami mengharapkan semoga makalah ini dapat membawa manfaat yang baik

bagi para pembaca sekalian. Kami juga menyadari bahwa makalah ini belum

sempurna sehingga kritik dan saran dari para pembaca sekalian sangat diharapkan.

Ban

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................i

DAFTAR ISI .......................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................iii

1.1 Latar Belakang..............................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................2

1.3 Tujuan Penulisan ..........................................................................................3

1.4 Manfaat Penulisan ........................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................4

2.1 Mikosis Kutan .............................................................................................4

2.2 Dermatofita .................................................................................................4

2.3 Dermatofitosis..............................................................................................5

2.4 Jamur Trichophytton rubrum ......................................................................8

2.5 Jamur Trichophytton mentagrophytes .........................................................9

2.6 Jamur Microsporum canis ............................................................................10

2.7 Jamur Microsporum gypseum ......................................................................10

2.8 Jamur Trichophyton concentricum ...............................................................12

2.9 Jamur Epidermophyton flocossum...............................................................13

BAB III PENUTUP.............................................................................................16

3.1 Kesimpulan .....................................................................................................16

3.2 Saran ...............................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................1

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan sehari-hari kebersihan merupakan hal yang sangat penting

dan harus diperhatikan karena kebersihan akan mempengaruhi kesehatan dan

psikis seseorang. Kebersihan kulit merupakan mekanisme utama untuk

mengurangi kontak dan transmisi terjadinya infeksi, salah satunya infeksi jamur.

Infeksi jamur kulit cukup banyak ditemukan di Indonesia, yang merupakan negara

tropis beriklim panas dan lembab, apalagi bila higiene juga kurang sempurna

(Madani A, 2000).

Dermatofit berkembang pada suhu 25-28"C dan timbulnya infeksi pada

kulit manusia didukung oleh kondisi yang panas dan lembab. Dermatofit

tersebar di seluruh dunia dan menjadi masalah terutama di Negara berkembang.

Mikosis superfisial mengenai lebih dari 20% hingga 25% populasi sehingga

menjadi bentuk infeksi yang tersering. Di berbagai negara saat ini terjadi

peningkatan bermakna dermatofitosis. Tinea kruris, Tinea pedis dan jenis spesies

lainnya yang banyak ditemukan. Di Indonesia, dermatofitosis merupakan 52%

dari seluruh dermatomikosis dan tinea kruris dan tinea korporis merupakan

dermatomikosis terbanyak (Larson E, 2001).

Istilah dermatofitosis harus dibedakan di sini dengan dermatomikosis.

Dermatofitosis ialah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk,

misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku yang disebabkan

1
2

golongan jamur dermatofita. Penyebabnya adalah dermatofita yang mana

golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin. Dermatofita termasuk

kelas fungi imperfecti yang terbagi dalam genus, yaitu microsporum,

trichophyton, dan epidermophyton. Selain sifat keratolitik masih banyak sifat

yang sama di antara dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis, antigenik,

kebutuhan zat makanan untuk pertumbuhannya, dan penyebab penyakit

(Budimulja, 2002).

Manifestasi klinis bervariasi dapat menyerupai penyakit kulit lain sehingga

selalu menimbulkan diagnosis yang keliru dan kegagalan dalam

penatalaksanaannya. Diagnosis dapat ditegakkan secara klinis dan identifikasi

laboratorik. Pengobatan dapat dilakukan secara topikal dan sistemik. Pada masa

kini banyak pilihan obat untuk mengatasi dermatofitosis, baik dari golongan

antifungal konvensional atau antifungal terbaru. Pengobatan yang efektif ada

kaitannya dengan daya tahan seseorang, faktor lingkungan dan agen penyebab.

Prevalensi di Indonesia, dermatosis akibat kerja belum mendapat perhatian khusus

dari pemerintah atau pemimpin perusahaan walaupun jenis dan tingkat

prevalensinya cukup tinggi (Budimulja, 2002).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka didapatkan rumusan

masalah dalam penulisan ini sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan kutan?

2. Apa yang dimaksud dengan dermatofita?.


3

3. Apa yang dimaksud dengan Dermatositosis?.

4. Apa yang dimaksud dengan Jamur Trichophytton rubrum?.

5. Apa yang dimaksud dengan Jamur Trichophytton mentagrophytes?.

6. Apa yang dimaksud dengan Jamur Microsporum canis?.

7. Apa yang dimaksud dengan Jamur Microsporum gypseum?.

8. Apa yang dimaksud dengan Jamur Trichophyton concentricum?.

9. Apa yang dimaksud dengan Jamur Epidermophyton flocossum?.

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan dari penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan kutan?

2. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan dermatofita?.

3. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Dermatositosis.

4. Untuk mengetahui pengertian Jamur Trichophytton rubrum.

5. Untuk mengetahui pengertian Jamur Trichophytton mentagrophytes.

6. Untuk mengetahui pengertian Jamur Microsporum canis.

7. Untuk mengetahui pengertian Jamur Microsporum gypseum.

8. Untuk mengetahui pengertian Jamur Trichophyton concentricum.

9. Untuk mengetahui pengertian Jamur Epidermophyton flocossum.

1.4 Manfaat Penulisan

Menambah wawasan mengenai mikosis kutan. Menambah wawasan

mengenai jenis jamur penyebab kutan dan cara pencegahannya.


4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Mikosis Kutan

Mikosis adalah infeksi jamur. Dermatomikosis adalah penyakit jamur yang

menyerang kulit. Mikosis dibagi menjadi empat kategori yaitu: superfisialis,

kutaneus, subkutaneus, sistemik dan oportunistik (Clayton, 2006).

Mikosis kutan, adalah infeksi yang disebakan oleh jamur yang menyerang

pada daerah superfisial yang terkeratinisasi , yaitu kulit, rambut, kuku. Tidak ke

jaringan yang lebih dalam (Clayton, 2006).

Berdasarkan lokasi anatomi tubuh yang dikenai, dermatofitosis terbagi lagi

atas tinea kapitis,tinea barbae, tinea korporis, tinea kruris, tinea manus, tinea

pedis, tinea unguium. (Clayton, 2006).

2.2 Dermatofita

Definisi dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial disebabkan oleh

dermatofita yang memiliki kemampuan untuk melekat pada keratin dan

menggunakannya sebagai sumber nutrisi, dengan menyerang jaringan berkeratin,

seperti stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku (Verma, 2008).

Dermatofita merupakan kelompok taksonomi jamur kulit superfisial. Yang

terdiri dari 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton

(Djuanda, 2010). Kemampuannya untuk membentuk ikatan molekuler terhadap

5
6

keratin dan menggunakannya sebagai sumber makanan menyebabkan mereka

mampu berkolonisasi pada jaringan keratin (Koksal, 2009).

Dermatofitosis tersebar diseluruh dunia dengan prevalensi berbeda-beda pada

tiap negara (Abbas, 2012). Penelitian World Health 9 Organization (WHO)

terhadap insiden dari infeksi dermatofit menyatakan 20% orang dari seluruh dunia

mengalami infeksi kutaneus dengan infeksi tinea korporis merupakan tipe yang

paling dominan dan diikuti dengan tinea kruris, pedis, dan onychomycosis

(Lakshmipathy, 2013).

2.3 Dermatofitosis

Dermatofitosis Infeksi yang terjadi pada kulit kepala dan kuku ini disebabkan

oleh kelompok jamur yang disebut Dermatophyte yang memanfaatkan keratin

sebagai sumber nutrisi karena jamur ini mempunyai enzim keratinase.

Dermatophyte merupakan jamur yang hidup dan penyebarannya tergantung pada

hospes (hewan atau manusia) yang diinfeksinya dermatofitosis dapat terjadi

karena beberapa faktor, yaitu karena jamur menghasilkan produk metabolisme

yang merangsang terjadinya alergi dan respon keradangan eksimatus oleh hospes.

Tipe dan beratnya respon hospes tergantung spesies dan strain dermatophyte

penyebab infeksi (Soedarto, 2015).

Infeksi dermatofita bermula di kulit setelah trauma dan kontak. Terdapat

bukti bahwa kerentanan penjamu dapat meningkat akibat kelembaban, udara yang

panas, kondisi kulit tertentu, keringat, usia muda, pajangan berat, dan predisposisi
7

genetik. Insiden lebih tinggi pada iklim panas, lembab, dan di tengah lingkungan

hidup yang padat (Jawet; dkk, 2008).

Gejala dermatofitosis terjadi karena jamur mengadakan kolonisasi pada kulit,

kuku dan rambut. Gambaran klinis bervariasi bergantung pada lokasi kelainan,

respon imun seluler penderita terhadap penyebab serta jenis spesies. Spesies jamur

antrofilik umunya menyebabkan kelainan yang tenang tanpa peradangan

menahun. Sedangkan spesies zoofilik dan geofilik pada manusia memberikan

gambaran lebih akut dengan peradangan (Sutanto; dkk, 2013).

Secara etiologis dermatofitosis disebabkan oleh tiga genus dan penyakit yang

ditimbulkan sesuai dengan penyebabnya. Diagnosis etiologi ini sangat sukar oleh

karena harus menunggu hasil biakan jamur dan ini memerlukan waktu yang agak

lama dan tidak praktis. Disamping itu kadang-kadang satu gambaran klinis dapat

disebabkan oleh beberapa spesies dematofita sesuai dengan lokalisasi tubuh yang

diserang.

Dermatofitosis disebabkan jamur golongan dermatofita yang terdiri dari tiga

genus yaitu genus: Mikrosporon, Trikofiton dan Epidermofiton. Enam spesies

penyebab utama dermatofitosis di Indonesia ialah Trichophyton rubrum,

Trichophytton mentagrophytes, Microsporum canis, Microsporum

gypseum,Trichophyton concentricum, Epidermophyton floccosum (James, et al,

2006).

Dermatofita berdasarkan habitatnya:

 Zoofilik merupakan kelompok spesies dermatofita yang menular ke manusia

melalui hewan. Kucing, anjing, kelinci, babi, unggas, kuda, binatang ternak,
8

dan binatang lainnya merupakan sumber infeksi pada umumnya. Penularan

dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan tersebut atau secara tidak

langsung melalui rambut hewan terinfeksi. Area terbuka seperti kulit kepala,

janggut, wajah, dan lengan menjadi tempat infeksi tersering. Misalnya :

Microsporum canis dan Trikofiton verukosum.

 Geofilik merupakan fungi yang menyebabkan infeksi saat manusia kontak

langsung dengan tanah misalnya Mikrosporon gypseum.

 Antropofilik merupakan kelompok spesies dermatofita yang hanya

berkembang pada host manusia dan transmisi secara kontak langsung. Kulit

yang terinfeksi atau rambut pada pakaian, topi, sisir, kaus kaki, dan handuk

juga dapat menjadi sumber reservoir. misalnya Mikrosporon audoinii dan

Trikofiton rubrum.

Dermatofitosis disebut juga dengan istilah infeksi “tinea” yang

dikelompokkan lebih lanjut berdasarkan lokasi infeksinya, yaitu :

a. Tinea Kapitis : dermatofitosis pada kulit kepala dan rambut kepala

b. Tinea Barbe : dermatofitosis pada dagu dan jenggot

c. Tinea Kruris : dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong,

dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah

d. Tinea Pedis et Manum : dermatofitosis pada kaki dan tangan

e. Tinea Unguium : dermatofitosis pada jari tangan dan kaki

f. Tinea Korporis : dermatofitosis pada bagian lain yang tidak termasuk bentuk 5

diatas (Djuanda, 2010).


9

2.4 Jamur Trichophytton rubrum

Klasifikasi :

Phylium : Askomykota
Class : Eurityomycetes
Ordo : Onygenales
Family : Arthrodermataceae
Genus : Trichophyton
Spesies : Trichophyton rubrum

Secara mikroskopis, Trichophyton sp. memiliki hifa dengan beberapa

percabangan, umumnya cabang-cabang yang dimiliki pendek dan merupakan hasil

dari pertunasan hifa. Hifa atau miselium tersebut umumnya tidak bersekat, kecuali

pada hifa yang akan membentuk atau menghasilkan konidia. Konidia yang

dimiliki Trichophyton sp. dapat berbentuk makrokonidia maupun mikrokonidia.

Makrokonidia yang dimiliki berbentuk pensil dan terdiri dari beberapa sel,

sedangkan mikrokonidia berbentuk lonjong dan berdinding tipis. Jamur

Trichophyton sp. pada media pertumbuhan memperlihatkan hifa miselium yang

halus berwarna putih dan tampak seperti kapas, meskipun kadang dapat juga

berwarna lain tergantung dari pigmen yang dimilikinya (Saputra, 2014).


10

Koloni tipikal Trichophyton rubrum mempunyai permukaan seperti kapas

yang berwarna putih dan mempunyai pigmen tidak dapat berdifusi berwarna

merah pekat bila dilihat dari sisi koloni sebaliknya. Selain itu, Trichophyton

rubrum memiliki hifa halus mikrokonidianya kecil, berdinding tipis dan berbentuk

lonjong. Makrokonidia berbentuk pensil (Jawet; dkk, 2008).

2.5 Jamur Trichophytton mentagrophytes

Klasifikasi :

Kingdom : Fungi
Division : Ascomycotina
Kelas : Eurotiomycotina
Ordo : Onygenales
Family : Arthrodermataceae
Genus :Trichophyton
Spesies :Trichophyton mentagrophytes

Koloni Trichophyton mentagrophytes dapat berbentuk seperti kapas sampai

granular kedua tipe memperlihatkan kelompok mikrokonidia sferis yang

berbentuk seperti anggur yang banyak dicabang terminal. Mikrokonidia

Trichophyton mentagrophytes berbentuk bulat dan jamur ini banyak membentuk

hifa spiral. Makrokonidia juga berbentuk pensil (Jawet; dkk, 2008).


11

2.6 Jamur Microsporum canis

Mikrosporum canis termasuk ke dalam organisme fungi dermatoifit zoofilik

yaitu organisme fungi yang menyerang kulit (terutama kulit kepala dan rambut)

dan merupakan fungi yang umumnya hidup dan tumbuh pada hewan (kucing dan

anjing). Penyebarannya meluas di seluruh dunia. Microsporum canis ini

merupakan fungi yang memiliki hifa yang bersepta, dan makrokonidia serta

mikrokonidia sebagai alat reproduksinya.

B. Mikroskopis KOH
A. Kultur
A. Gambar Kultur Microsporum canis dan B. Gambaran Mikroskopis KOH
Microsporum canis.

2.7 Jamur Microsporum gypseum

Klasifikasi (Wicaksana, 2008) :


Kingdom : Fungi
Filum : Ascomycota
Kelas : Eurotiomycetes
Ordo : Onygenales
Famili : Arthrodermataceae
Genus : Microsporum
12

Spesies : Microsporum gypseum


Secara makroskopis koloni berwarna kekuning-kuningan sampai kecoklat-

coklatan. Jamur ini sering menginfeksi kulit dan rambut (Jawetz, 1986). Secara

mikroskopis pada jamur Microsporum gypseum, makrokonidia dihasilkan dalam

jumlah yang besar. Dindingnya tipis dengan ketebalan 8-16 X 20 μ, kasar dan

memiliki 4-6 septa, dan berbentuk oval. Makrokonidia terdiri dari 4-6 sel.

Mikrokonidia juga dapat nampak, meskipun jarang dihasilkan, terkadang pula

mudah tumbuh pada subkultur setelah beberapa kali berganti media pada

laboratorium. Mikrokonidianya memiliki ciri-ciri antara lain berukuran 2,5-3,0 x

4-6 μ (Rippon,1974). Morfologi jamur Microsporum gypseum dapat dilihat pada

gambar dibawah ini:

A. Kultur B. Mikroskopis KOH


A. Gambaran Kultur Microsporum gypseum dan
B. Gambaran Mikroskopis KOH Microsporum gypseum

Koloni dari M. gypseum tumbuh dengan cepat, menyebar dengan permukaan

yang mendatar dan sedikit berserbuk merah coklat hingga kehitam-hitaman

(Brooks et al, 2005) terkadang dengan warna ungu. Serbuk yang berada di

permukaan koloni mengandung makrokonidia (Rippon, 1974). Makrokonidia

dihasilkan dalam jumlah yang besar. Dindingnya tipis dengan ketebalan 8-16 x 20

µm, kasar dan memiliki 4-6 septa, dan berbentuk oval. Makrokonidia terdiri dari
13

4-6 sel. Mikrokonidia juga dapat nampak, meskipun jarang dihasilkan, terkadang

pula mudah tumbuh pada subkultur setelah bebrapa kali berganti media pada

laboratorium (Rippon, 1988).

Microsporum gypseum merupakan jamur imperfecti (jamur tidak sempurna)

atau deuteromycotina karena perkembangbiakannya hanya secara aseksual.

Microsporum gypseum merupakan cendawan keratophilik geofilik. Kelembapan,

pH, dan kontaminasi faeces menjadi faktor yang mempengaruhi pertumbuhannya.

Kemampuan dermatofita untuk terikat dan menginvasi jaringan keratin pada

binatang dan manusia serta memanfaatkan produk degradasi untuk menjadi

sumber nutrisi pada infeksi fungi superfisial di kulit, rambut, dan kuku,

dinamakan dermatofitosis (Rippon,1974).

Invasi jamur Microsporum gypseum dapat menimbulkan kelainan pada

penyakit kulit, pemakan zat tanduk atau keratin, serta merusak kuku dan rambut.

Jamur Microsporum gypseum dapat ditularkan secara langsung. Penularan

langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut-rambut yang mengandung jamur

baik dari manusia, binatang atau dari tanah (Jawetz et al, 1986).

2.8 Jamur Trichophyton concentricum

Klasifikasi :
Kingdom    : Fungi
Phylum       : Ascomycota
Class          : Euascomycetes
Order          : Onygenales
Family        : Arthrodermataceae
Genus        : Trichophyton
14

Trichophyton adalah suatu dermatofita yang hidup di tanah, binatang atau

manusia. Berdasarkan tempat tinggal terdiri atas anthropophilic, zoophilic, dan

geophilic. Trichophyton concentricum adalah endemic pulau Pacifik, Bagian

tenggara Asia, dan Amerika Pusat. Trichophyton adalah satu penyebab infeksi

pada rambut, kulit terutama Kutu air (Tinea pedis), dan infeksi pada kuku

manusia.[1] Trichophyton merupakan salah satu parasit di antara dermatofit.

Pada preparat , banyak bercabang, tidak teratur, kadang terdapat segmen ,

septate hifa yang mungkin memiliki "tanduk" menyerupai T. schoenleinii.

Chlamydoconidia sering ditemukan pada kultur yang lama. Microconidia dan

macroconidia biasanya tidak diproduksi, meskipun beberapa isolat akan

menghasilkan clavate sesekali untuk piriformis microconidia. Khas dari

T.concentricum terdapat chlamydoconidia bentuk seperti balon

2.9 Jamur Epidermophyton floccosum

Epidermophyton folccosum merupakan satu-satunya patogen pada genus ini,

yang menghasilkan makrokonidia, yang berdinding halus, berbentuk gada, bersel

dua sampai empat dan tersusun dalam dua atau tiga kelompok. Mikrokonidia

biasanya tidak ditemukan. Koloni ini biasanya rata atau seperti beludru dengan
15

warna coklat sampai kuning kehijauan. . Jamur ini tidak menginfeksi rambut

(Jawet; dkk, 2008).

A. Kultur B. Mikroskopis KOH


A. Gambaran Kultur Epidermatophyton floccusom dan
B. Gambaran Mikroskopis KOH Epidermatophyton floccusom.

A. Cara penularan

Pada penyebab dermatofita, penularan terjadi akibat kontak langsung dengan

sumber penularan, baik orang atau binatang yang sakit, atau lingkungan seperti air

dan tanah yang mengandung spora jamur misalnya kamar mandi yang dipakai

secara bersama-sama. Kelainan pada kuku kaki berawal sebagai Tinea pedis atau

langsung pada kuku (Budimulja, 2001).

B. Diagnosis

Bahan yang diperiksa adalah kerokan kuku. Pada pemeriksaan langsung

dengan larutan KOH 10%, tampak jamur sebagai hifa atau spora. Untuk

menentukan spesies jamur penyebab, dilakukan biakan pada agar sabouraud

(SDA) dengan ditambahkan antibiotik kemudian diperiksa koloni yang tumbuh

(Sutanto, 2013).

C. Pengobatan
Penatalaksanaan Tinea unguium mencangkup obat topikal, oral, atau

penggunaan alat. Pengobatan Tinea unguium membutuhkan waktu yang panjang


16

dan kedisiplinan penderita prinsip pengobatan dengan menghilangkan faktor

predisposisi dan pemberiaan terapi farkologis. Obat anti jamur oral secara umum

lebih baik dari topikal namun memiliki efek samping sistemik dan interaksi obat

yang lebih berbahaya. Terapi obat oral diantaranya yaitu:

- Griseofulvin, Obat ini bekerja pada inti sel jamur, menghambat mitosis dan

tampak konfigurasi metaphase abnormal. Bersifat fungistatis, efektif hanya

terhadap golongan dermatofita yaitu: Tricophyton, Microsporum dan

Epidermophyton. Efek samping biasanya ringan berupa sakit kepala, nausea,

dan reaksi hipersensifitas seperti urtikaria dan erupsi kulit.

- Ketokonazol, adalah obat antijamur golongan imidazo, sangat efektif dan

obat antijamur sistemik dengan spektrum luas, bersifat fungistatik, sterol

utama yang berfungsi mempertahankan intergritas membrane sel jamur,

dengan menginhibisi enzim sitikrom P450 14-α-demetilasi lanosterol, enzim

esensial dalam sintesis ergosterol membran sel jamur.

- Terbinafin, merupakan obat antijamur golongan allamine, bersifat

fungisidal, bekerja pada membrane sel jamur dengan cara menghambat

sintesis ergosterol melalui enzim epoksidase skualen, meningkatkan skualen

yang bersifat toksik bagi sel jamur.

- Flukonazol, merupakan obat antijamur golongan triazol, bekerja

menghambat enzim 14-α-demetilase, suatu enzim sitokrom P-450 yang

terdapat pada membrane sel jamur (Budimulja, 2001).


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dermatofitosis adalah penyakit yang disebabkan oleh golongan jamur

dermatofit Berdasarkan sifat makro dan mikro, dermatofita dibagi menjadi:

microsporum, tricopyton, dan epidermophyton.

Dermatofitosis umumnya dapat diatasi dengan pemberian griseofulvin yang

bersifat fungistatik. Secara umum, griseofulvin dalam bentuk fine particle dapat

diberikan dengan dosis 0,5 – 1 gram untuk orang dewasa dan 0,25 – 0,5 gram

untuk anak-anak sehari atau 10 – 25 mg per kg BB. Lama pengobatan bergantung

pada lokasi penyakit, penyebab penyakit, dan keadaan imunitas penderita.

3.2 Saran

Diharapkan makalah ini dapat membuat kita mengerti tentang berbagai

macam jamur yang berbahaya bagi keidupan kita sehari-hari. Serta diharapkan

dengan adanya makalah tentang “Kutan Dermatositosis” ini dapat berguna dan

menambah pengetahuan pembaca tentang jamur-jamur yang dapat menimbulkan

penyakit.

17
DAFTAR PUSTAKA

Brooks, G. 2007. Medical Microbiology 24th Ed. Mc Graw Hill. Pp 642-


5Cemizares.

Budimulja, U., 2006. Mikois. Dalam : Djuanda, A., Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin, editor Hamzah Mochtar, Aisah Siti. Ed.5. Jakarta. pp:92

Herman R.R.M. Clinical tropical Dermatology. Edisi ke 2. Boston: Blackwell


Scientific, 1992.

Clayton YM, Moore MK. Superficial fungal infection. Dalam : Harper J, Oranje
A dan Prose N editor. Textbook of Pediatric Dermatology edisi ke 2.
Massachusetts : Blackwell Publishing 2006 : 542-569.

Crissey J.Th., Lang H., Parish L.C. Manual of Medical Mycology. Massachusetts:
Blackwell Science, 1995. D.H. Medically important fungi. A guide to
identification. Edisi ke 2. New York: Elsevier, 1987. Richardson M.D and
Warnock D.W. Fungal Infection. Edisi ke 3. Oxford: Blackwell Scientific
Publications, 2003.

Gandahusada S., Ilahude D. H., Pribadi W. 2006. Parasitologi Kedokteran edisi


ketiga.  Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.asitologi Kedokteran, 284-
285, UI Press, Jakarta.

Hay R.J. Ashbee H.R. Mycology. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N,


Griffiths C. editor. Rook’s Textbook of Dermatology. Edisi ke 8. Oxford :
Wiley-Blackwell, 2010: 36.14 – 36.15.

Jawet, Melnick, Adelberg. 2005.Mikologi Kedokteran. Dalam: Sjabana D editor.


Mikrobiologi Kedokteran. 1st ed. Jakarta: Salemba Medika;. p. 313-59.

Madani A, Fattah., 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Penerbit Hipokrates.

Mendoza N, Arora A, Arias C.A, Hernandez C.A, Madkam V, Tyring S.K.


Cutaneous and Subcutaneous Mycosis. Dalam : Anaissie E.J., McGinnis
M.R., Pfaller M.A. editor. Clinical Mycology. Edisi ke-2. USA : Churchill
Livingstone Elsevier 2009 : 509-523.

Rippon J.W. Medical Mycology, Edisi ke 3. Philadelphia: WB Saunders Co,


1988.

Sawitri, Zulkarnain I, Suyoso S. Tinea Nigra Palmaris, A case report. Dalam


Abstracts The 15th Congress of The Asia Pacific Society for Medical

18
19

Mycology. Bali, 1997: 114. 11. James WD, Berger TG & Elston DM.
Andrews’Diseases of the skin. Clinical Dermatology. Edisi ke 10
Philadelphia : Saunders Elsevier, 2006.

Sutton D.A, Rinaldi M.G, Sanche S.E. Dematiaceous fungi. Dalam: Anaissie E.J,
McGinnis M.R, Pfaller M.A.editor. Clinical Mycology.Edisi ke-2. USA:
Churchill Livingstone Elsevier 2009: 334-335, 347.

Verma S & Heffernan MP. Superficial fungal infection : Dermatophytosis,


onychomycosis, Tinea nigra, Piedra. Dalam ; Wolff K, Goldsmith LA. Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS & Leffell DJ, editor. Fitzpatrick’s Dermatology
in General Medicine. Edisi ke 7. New York : Mc Graw Hill 2008 : 1807
-1821.

Anda mungkin juga menyukai