Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI

MIKOLOGI (MIKOSIS SUPERFISIAL) DAN


MYCOBACTERIUM LEPRA

Disusun oleh :
Fadhilah Eka Pratiwi
( 2015.043.0031)

PRODI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
1

Makalah

Praktikum

Mikrobiologi

Mikologi

(Mikosis

Superfisial)

dan

Mycobacterium Leprae dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya.


Dan juga kami berterima kasih pada Liza Yudistira Yusan, S.Farm., M.Farm-Klin.,
Apt. selaku dosen mata kuliah Praktikum Biokimia Universitas Hang Tuah
Surabaya yang telah memberikan tugas ini kepada saya.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Mikologi (Mikosis Superfisial) dan
Mycobacterium Leprae. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah
kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang
akan datang.

Surabaya,

Desember 2016

Penyusun

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL 1

KATA PENGANTAR ..... 2


DAFTAR ISI .. 3
BAB I PENDAHULUAN .......... 5
1.1 Latar Belakang ... 5
1.2 Rumusan Masalah .. 6
1.3 Tujuan Makalah... 7
BAB II PEMBAHASAN 8
2.1 Pengertian Mikosis Superfisial............. 8
2.2 Definisi Dermatofita 8
2.3 Etiologi Dermatofita.8
2.4 Taksonomi Dermatofita....9
2.5 Morfologi Dermatofita..... .10
2.6 Pembagian / Lokasi jamur..11
2.7 Cara Penularan Dermatofita.. 12
2.8 Gejala Dermatofita.....13
2.9 Diagnosa Dermatofita.... 13
2.10 Pengobatan Dermatofit.... 14
2.11 Definis Non-Dermatofit.. 14
2.12 Pengertian dan Sejarah Kusta. 23
2.13 Epidemiologi Mycobacterium leprae........24
2.14 Etiologi Mycobacterium leprae.....24

2.15 Morfologi Mycobacterium leprae.....25


2.16 Koloni dan Sifat Pertumbuhan......25
2.17 Struktur sel Mycobacterium leprae...26
2.18 Macam-macam penyakit kusta.....26
2.19 Patologi Mycobacterium leprae....27
2.20 Pemeriksaan Laboratorium Mycobacterium leprae..29
2.21 Gejala klinis Mycobacterium leprae.....30
2.22 Pengobatan dan Pencegahan Kusta. 32
BAB III PENUTUP 35
DAFTAR PUSTAKA.. ...37

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam kehidupan sehari-hari kebersihan merupakan hal yang sangat penting
dan harus diperhatikan karena kebersihan akan mempengaruhi kesehatan dan
psikis seseorang. Kebersihan kulit merupakan mekanisme utama untuk
mengurangi kontak dan transmisi terjadinya infeksi, salah satunya infeksi jamur.
Infeksi jamur kulit cukup banyak ditemukan di Indonesia, yang merupakan
Negara tropis beriklim panas dan lembab, apalagi bila higiene juga kurang
sempurna.
Mikosis adalah penyakit yang disebabkan oleh jamur. Penyakit jamur atau
mikosis yang mempunyai insidensi cukup tinggi ialah mikosis superfisialis.
Penyakit yang termasuk mikosis superfisialis adalah dermatofitosis dan
nondermatofitosis, yang terdiri atas berbagai penyakit diantaranya

Pityriasis

versicolor (PV), yang lebih dikenal sebagai penyakit panu (Budimulja, 2002).
Dermatofit berkembang pada suhu 25-28"C,dan timbulnya infeksi pada kulit
manusia didukung oleh kondisi yang panas dan lembab. Dermatofit tersebar
di seluruh dunia dan menjadi masalah terutama di Negara berkembang. Mikosis
superfisial mengenai lebih dari 20% hingga 25% populasi sehingga menjadi
bentuk infeksi yang tersering.Di berbagai negara saat ini terjadi peningkatan
bermakna dermatofitosis. Tinea kruris, Tinea pedis dan tinea yang terbanyak
ditemukan. Di

Indonesia,

dermatofitosis

merupakan

52%

dari seluruh

dermatomikosis dan tinea kruris dan tinea korporis merupakan dermatomikosis


terbanyak.
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium Leprae yang bersifat intrasellular obligat. Penyakit lepra atau
kusta ini disebabkan oleh adanya infeksi kronis, bersifat menular dan
menyebabkan cacat, terutama pada hidung, jari-jari tangan dan kaki serta kulit.
Penyebab penyakit ini adalah Mycobacterium leprae.

Kusta merupakan penyakit tertua yang sampai sekarang masih ada. Kusta
berasal dari bahasa India kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi.Kusta
5

merupakan penyakit yang sangat ditakuti oleh masyarakat karena dapat


menyebabkan ulserasi, mutilasi dan deformitas. Penderita kusta tidak hanya
menderita akibat penyakitnya saja tetapi juga karena dikucilkan masyarakat
sekitarnya. Oleh sebab itu, penulis akan membahas penyakit kusta lebih
mendalam dalam makalah ini.
Jumlah kusta diseluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun 85
% disebagian besar negara atau wilayah endemis. Kasus yang terdaftar pada tahun
1997 kurang lebih 890.000 penderita. Walaupun penyakit ini masih problem
kesehatan masyarakat di 55 negara atau wilayah, 91 % dari jumlah kasus berada
di 16 negara, dan 82 % nya di lima negara yaitu Brazil, India, Indonesia,
Myanmar, dan Nigeria. Di indonesia, jumlah kasus kusta yang tercatat pada akhir
Maret 1997 adalah 31.699 orang, distribusi juga tidak merata,yang tertinggi antara
lain di Jawa Timur, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Prevalensi di Indonesia per
10.000 penduduk adalah 1,57.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan mikosis superfisisalis?
2. Bagaimana klasifikasi dari mikosis superfisialis?
3. Jamur apa saja yang menyebabkan mikosis superfisialis?
4. Bagaimana gejala klinis,diagnosis,dan pengobatannya ?
5. Apakah pengertian Mycobacterium leprae?
6. Bagaimana Epidemiologi Mycobacterium leprae?
7. Bagaimana Etiologi Mycobacterium leprae?
8. Bagaimana ciri-ciri Penyakit kusta atau lepra?
9. Bagaimana Patologi klinis Mycobacterium leprae yang terjadi?
10. Bagaimana pemeriksaan laboratorium Mycobacterium leprae yang terjadi?
11. Bagaimana gejala klinis penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae?
12. Bagaimana cara pengobatannya?
1.3 Tujuan Makalah
Makalah ini disusun dengan harapan memberikan kegunaan baik secara
teoritis maupun praktis. Secara teoritis makalah ini berguna sebagai informasi
kepada konsumen untuk mengetahui Penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae dan Mikosis.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Mikosis Superfisialis
Mikosis superficial adalah penyakit jamur yang menginfeksi lapisan
permukaan kulit,yaitu stratum korneum,rambut dan kuku. Ada dua golongan
jamur yang

menyebabkan mikosis superfisialis yaitu Dermatofita dan Non

Dermatofita.
2.2 Definisi Dermatofita

Dermatofitosis ialah mikosis superfisialis pada jaringan yang mengandung zat


tanduk(keratin) ,yakni kuku,rambut dan stratum pada kulit yang disebabkan oleh
golongan jamur dermatofita.
Dermatofitosis telah dikenal sejak jaman yunani kuno. Orang yunani
menamakannya herpes oleh karena bentuk kelainan merupakan lingkaran yang
makin lama makin besar (ring). Orang romawi menghubungkan kelainan ini
dengan larva cacing, dan menamakannya tinea. Perpaduan antara herpes
dengan tinea dalam bahasa inggris melahirkan istilah ring worm.
2.3 Etiologi Dermatofita
Dermatofitosis merupakan kelompok jamur yang memiliki kemampuan
untuk melekat pada keratin dan menggunakannya sebagai sumber nutrisi yang
memungkinkan

jamur tersebut

untuk berkoloni

pada

jaringan

yang

mengandung keratin, seperti stratum komeum epidermis, rambut dan kuku.


Dermatofitosis

disebabkan jamur golongan dermatofita yang terdiri dari tiga

genus yaitu genus: Mikrosporon, Trikofiton dan Epidermofiton. Enam spesies


penyebab utama dermatofitosis di Indonesia ialah Trichophyton rubrum,
Trichophytton

mentagrophytes,

Microsporum

canis,

Microsporum

gypseum,Trichophyton concentricum, Epidermophyton floccosum.


Dermatofita berdasarkan habitatnya:

Zoofilik merupakan kelompok spesies dermatofita yang menular


ke manusia melalui hewan. Kucing, anjing, kelinci, babi, unggas,
kuda, binatang ternak, dan binatang lainnya merupakan sumber
infeksi pada umumnya. Penularan dapat terjadi melalui kontak
langsung dengan hewan tersebut atau secara tidak langsung melalui
rambut hewan terinfeksi. Area terbuka seperti kulit kepala, janggut,
wajah, dan lengan menjadi tempat infeksi tersering.. Misalnya :

Microsporum canis dan Trikofiton verukosum.


Geofilik merupakan fungi yang menyebabkan infeksi saat manusia
kontak langsung dengan tanah misalnya Mikrosporon gypseum.

Antropofilik merupakan kelompok spesies dermatofita yang hanya


berkembang pada host manusia dan transmisi secara kontak
langsung. Kulit yang terinfeksi atau rambut pada pakaian, topi,
sisir, kaus kaki, dan handuk juga dapat menjadi sumber reservoir.
misalnya Mikrosporon audoinii dan Trikofiton rubrum.

2.4 Taksonomi Dermatofita


2.4.1 Tricophyton
Phylum

: Ascomycota

Class

: Eurotiomycetes

Order

: Onygenales

Family

: Arthrodermataceae

Genus

: Trichophyton

Species

:Trichophyton

rubrum,

Trichophyton

Trichophyton
2.4.2 Microsporum
Kingdom

: Fungi

Phylum

: Ascomycota

Class

: Eurotiomycetes

Ordo

: Onygenales

Family

: Arthrodermataceae

Genus

: Microsporum

Spesies

: Microsporum gypseum, Microsporum canis

2.4.3 Epidermophyton

mentagrophytes,

Kingdom

: Fungi

Phylum

: Ascomycota

Class

: Euascomycetes

Order

: Onygenales

Family

: Arthrodermataceae

Genus

: Epidermophyton

Spesies

: Epidermophyton floocosum

2.5 Morfologi Dermatofita


1. Epidermophyton :
Mempunyai makrokonidia berbentuk tongkat/gada, berdiniding
tebal dan terdiri atas 2-4 sel dan tersusun pada satu konidiofora.beberapa
makrokonidia ini tersusun pada satu konidiofor mempunyai bentuk hifa
yang lebarnya biasanya mikrokonidia tidak ditemukan. Pada gambaran
mikroskopis bentuk hifa lebar,dan tersusun pada satu konidiofora.
Memiliki dinding halus sekitar 1-1,5 mikrometer dengan kurang dari 10
dinding bagian dalam macroconidia tersebut.
2. Trichophyton :
Pada umumnya genus trikopiton membentuk makrokonidia
berbentuk panjang menyerupai pensil dan semua dermatofita dapat
membentuk hifa spiral.
Hifa T. rubrum halus. Jamur ini membentuk banyak mikrokonidia.
Mikrokonidia kecil,berdinding tipis dan berbentuk lonjong. Mikrokonidia
ini terletak pada konidiosfor yang pendek, dan tersusun secara satu per
satu pada sisi hifa(en tyrse) atau berkelompok (en grappe). Makrokonidia
berbentuk

pensil

dan

terdiri

dari

beberapa

sel.

Mikrokonidia

T.megantrophytes berbentuk bulat dan membentuk banyak hifa spiral.


Makrokonidia T.megantrophytes ini juga seperti pensil.
3. Microsporum

10

M.canis mempunyai makrokonidia berbentuk lonjong dan tidak


khas. Berbentuk kumparan yang berujung runcing dan terdiri atas 6 sel
atau lebih. Makrokonidia ini berdinding tebal. Makrokonidia M.gypseum
juga berbentuk kumparan terdiri atas 4-6 sel,dan dindingnya lebih tipis.
Makrokonidia M.gypseum berbentuk lonjong dan tidak khas.
2.6 Pembagian / Lokasi Jamur
Secara etiologis dermatofitosis disebabkan oleh tiga genus dan penyakit
yang ditimbulkan sesuai dengan penyebabnya. Diagnosis etiologi ini sangat sukar
oleh karena harus menunggu hasil biakan jamur dan ini memerlukan waktu yang
agak lama dan tidak praktis. Disamping itu sering satu gambaran klinik dapat
disebabkan oleh beberapa jenis spesies jamur, dan kadang-kadang satu gambaran
klinis dapat disebabkan oleh beberapa spesies dematofita sesuai dengan lokalisasi
tubuh yang diserang.
Istilah Tinea dipakai untuk semua infeksi oleh dermatofita dengan
dibubuhi tempat bagian tubuh yang terkena infeksi, sehingga diperoleh pembagian
dermatofitosis sebagai berikut :
1. Tinea kapitis : bila menyerang kulit kepala clan rambut
2. Tinea korporis : bila menyerang kulit tubuh yang berambut (globrous skin).
3. Tinea kruris : bila menyerang kulit lipat paha, perineum, sekitar anus dapat
meluas sampai ke daerah gluteus, perot bagian bawah dan ketiak atau aksila
4. Tinea manus dan tinea pedis : Bila menyerang daerah kaki dan tangan, terutama
telapak tangan dan kaki serta sela-selajari.
5. Tinea Unguium : bila menyerang kuku
6. Tinea Barbae : bila menyerang daerah dagu, jenggot, jambang dan kumis.
7. Tinea Imbrikata: bila menyerang seluruh tubuh dengan memberi gambaran
klinik yang khas.
11

2.7 Cara Penularan Dermatofita


Cara penularan jamur dapat secara langsung dan secara tidak langsung.
Penularan langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut-rambut yang mengandung
jamur baik dari manusia, binatang atau dari tanah. Penularan tak langsung dapat
melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, barang-barang atau pakaian, debu
atau air. Disamping cara penularan tersebut diatas, untuk timbulnya kelainankelainan di kulit tergantung dari beberapa faktor :
1. Faktor virulensi dari dermatofita
Virulensi ini tergantung pada afinitas jamur itu, apakah jamur Antropofilik,
Zoofilik atau Geofilik. Selain afinitas ini masing-masing jenis jamur ini berbeda
pula satu dengan yang lain dalam afinitas terhadap manusia maupun bagianbagian dari tubuh Misalnya : Trikofiton rubrum jarang menyerang rambut,
Epidermatofiton flokosum paling sering menyerang lipat pada bagian dalam.
2. Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil, lebih susah untuk terserang jamur.
3. Faktor-suhu dan kelembaban
Kedua faktor ini sangat jelas berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak
pada lokalisasi atau lokal, di mana banyak keringat seperti lipat paha dan sela-sela
jari paling sering terserang penyakit jamur ini.
4. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan
Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur di mana terlihat
insiden penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah,
penyakit ini lebih sering ditemukan dibanding golongan sosial dan ekonomi yang
lebih baik.
5. Faktor umur dan jenis kelamin

12

Penyakit Tinea

kapitis

lebih

sering ditemukan

pada

anak-anak

dibandingkan orang dewasa, dan pada wanita lebih sering ditemukan infeksi
jamur di sela-sela jari dibanding pria dan hal ini banyak berhubungan dengan
pekerjaan. Di samping faktor-faktor tadi masih ada faktor-faktor lain seperti faktor
perlindungan tubuh (topi, sepatu dan sebagainya) , faktor transpirasi serta
pemakaian pakaian yang serba nilan, dapat mempermudah penyakit jamur ini.
2.8 Gejala Dermatofita
Umumnya dermatofitosis pada kulit memberikan morfologi yang khas
yaitu bercak-bercak yang berbatas tegas disertai efloresensi-efloresensi yang lain,
sehingga memberikan kelainan-kelainan yang polimorf, dengan bagian tepi yang
aktif serta berbatas tegas sedang bagian tengah tampak tenang. Gejala objektif ini
selalu disertai dengan perasaan gatal, bila kulit yang gatal ini digaruk maka papelpapel atau vesikel-vesikel akan pecah sehingga menimbulkan daerah yang erosit
dan bila mengering jadi krusta dan skuama. Kadang-kadang bentuknya
menyerupai dermatitis (ekzema marginatum), tetapi kadang-kadang hanya berupa
makula yang berpigmentasi saja (Tinea korporis)dan bila ada infeksi sekunder
menyerupai gejala-gejala pioderma (impetigenisasi).
2.9 Diagnosia Dermatofit
Kerokan kulit atau kuku ditambah 10% KOH pada gelas obyek akan
menunjukkan adanya hifa bila dilihat dengan mikroskop. Kultur pada agar
Saboraud dalam suhu ruang akan menunjukkan hifa dan kondida spesifik.
Pengecatan dari kultur menggunakan Lactophenol Cotton Blue.
2.10 Pengobatan Dermatofita
Dermatofitosis umumnya dapat diatasi dengan pemberian griseofulvin
yang bersifat fungistatik. Secara umum, griseofulvin dalam bentuk fine particle
dapat diberikan dengan dosis 0,5 1 gram untuk orang dewasa dan 0,25 0,5
gram untuk anak-anak sehari atau 10 25 mg per kg BB. Lama pengobatan
bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit, dan keadaan imunitas

13

penderita. Setelah sembuh klinis dilanjutkan 2 minggu agar tidak residif. Untuk
mempertinggi absorpsi obat dalam usus, sebaiknya obat dimakan bersama-sama
makanan yang banyak mengandung lemak. Untuk mempercepat waktu
penyembuhan, kadang-kadang diperlukan tindakan khusus atau pemberian obat
topikal tambahan.
Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu ketokonazol
yang bersifat fungistatik. Pada kasus-kasus resisten terhadap griseofulvin dapat
diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg per hari selama 10 hari 2 minggu pada
pagi hari setelah makan. Ketokonazol merupakan kontraindikasi untuk penderita
kelainan hepar.
Pada masa kini, selain obat-obat topikal konvensional, misalnya asam
salisil 2-4%, asam benzoate 6-12%, sulfur 4-6%, vioform 3%, asam undesilenat 25%, dan zat warna (hijau brilian1% dalam cat castellani) dikenal banyak obat
topikal baru. Obat-obat baru ini diantaranya tolnaftat 2%, tolsiklat, haloprogin,
derivate-derivat imidazol, siklopiroksamin, dan naftiline masing-masing 1%.
2.11 Definisi Non-Dermatofita
Infeksi non-dermatofitosis pada kulit biasanya terjadi pada kulit yang
paling luar. Hal ini disebabkan jenis jamur ini tidak dapat mengeluarkan zat yang
dapat mencerna keratin kulit dan tetap hanya menyerang lapisan kulit yang paling
luar. Yang masuk ke dalam golongan ini adalah dibawah ini
1. Pityriasis Versicolor / Tinea Versicolor
Tinea versikolor / Pityriasis versikolor adalah infeksi ringan yang sering
terjadi disebabkan oleh Malasezia furfur. Penyakit jamur kulit ini adalah penyakit
yang kronik dan asimtomatik ditandai oleh bercak putih sampai coklat yang
bersisik. Kelainan ini umumnya menyerang badan dan kadang- kadang terlihat di
ketiak, sela paha,tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala.

Morfologi

14

Pertumbuhannya pada kulit (stratum korneum) berupa kelompok sel-sel


bulat, bertunas, berdinding tebal dan memiliki hifa yang berbatang pendek dan
bengkok, biasanya tidak menyebabkan tanda-tanda patologik selain sisik halus
sampai kasar. Bentuk lesi tidak teratur, berbatas tegas sampai difus dan ukuran
lesi dapat milier,lentikuler, numuler sampai plakat. Ada dua bentuk yang
sering dijumpai :

Bentuk makuler :
Berupa bercak-bercak yang agak lebar, dengan sguama halus diatasnya

dan tepi tidak meninggi.


Bentuk folikuler : Seperti tetesan air, sering timbul disekitar rambut
Patogenesis
Mallasezia furfur, merupakan organisme saprofit pada kulit normal.

Bagaimana perubahan dari saprofit menjadi patogen belum diketahui. Organisme


ini merupakan "lipid dependent yeast". Timbulnya penyakit ini juga dipengaruhi
oleh faktor hormonal, ras, matahari,peradangan kulit dan efek primer
pytorosporum terhadap melanosit.

Patogenesis
Timbul

bercak

putih

atau

kecoklatan

yang

kadang-kadang

gatal

bila,berkeringat. Bisa pula tanpa keluhan gatal sama sekali, tetapi penderita
mengeluh karena malu oleh adanya bercak tersebut.
Pada orang kulit berwarna, lesi yang terjadi tampak sebagai bercak
hipopigmentasi, tetapi pada orang yang berkulit pucat maka lesi bisa berwarna
kecoklatan ataupun kemerahan. Di atas lesi terdapat sisik halus.
Folikulitis:
Merupakan bentuk klinis yang lebih berat, Malasezia furfurdapat tumbuh
dalam jumlah banyak pada folikel rambut dan kelenjar sebasea. Pada pemeriksaan
histologis organisme tersebut terlihat dilobang folikel bagian infudibulum saluran

15

sebasea dan sering disekitar dermis. Folikel berdilatasi akibat sumbatan dan terdiri
dari debris keratin.Secara klinis lesi terlihat eritem, papula folikular atau pustula
dengan ukuran 2-4 mm, distribusinya dipunggung, dada kadang-kadang dibahu,
dengan leher dan rusuk. Bentuknya yang lebih berat disebut Acneifonn folliculitis.
Dacriosis obstructif :
Malasezia furfur dapat membentuk koloni pada kelenjar lakrimalis,
menyebabkan pembengkakan dan obstruksi. Pada beberapa kasus terbentuk
dakriolit, terjadi inflamasi dan mengganggu produksi air mata.

Diagnosa
Selain mengenal kelainan-kelainan yang khas yang disebabkan oleh Melasezi

fulfur diagnosa pitiriasis versikolor harus dibantu dengan pemeriksaan


pemeriksaan sebagai berikut :
Pemeriksaan langsung dengan KOH 10%.
Bahan-bahan kerokan kulit di ambil dengan cara mengerok bagian kulit
yang mengalam lesi. Sebelumnya kulit dibersihkan dengan kapas alkohol 70%,
lalu dikerok dengan skalpel steril dan jatuhannya ditampung dalam lempenglempeng steril pula. Sebagian dari bahan tersebut diperiksa langsung dengan KOH
% yang diberi tinta Parker Biru Hitam, Dipanaskan sebentar, ditutup dengan gelas
penutup dan diperiksa di bawah mikroskop. Bila penyebabnya memang jamur,
maka kelihatan garis yang memiliki indeks bias lain dari sekitarnya dan jarakjarak tertentu dipisahkan oleh sekat-sekat atau seperti butir-butiir yang
bersambung seperti kalung. Pada pitiriasis versikolor hifa tampak pendek-pendek,
lurus atau bengkok dengan disana sini banyak butiran-butiran kecil bergerombol.
a. Pembiakan.
Organisme penyebab Tinea versikolor belum dapat dibiakkan pada media
buatan.

16

b. Pemeriksaan dengan sinar wood, dapat memberikan perubahan warna pada


seluruh daerah lesi sehingga batas lesi lebih mudah dilihat. Daerah yang

terkena infeksi akan memperlihatkan fluoresensi warna emas sampai orange.


Pengobatan
Tinea versikolor dapat diobati dengan berbagai obat yang manjur pakaian,

kain sprei, handuk harus dicuci dengan air panas. Kebanyakan pengobatan akan
menghilangkan bukti infeksi aktif (skuama) dalam waktu beberapa hari, tetapi
untuk menjamin pengobatan yang tuntas pengobatan ketat ini harus dilanjutkan
beberapa minggu.
Perubahan pigmen lebih lambat hilangnya. Daerah hipopigmentasi belum
akan tampak normal sampai daerah itu menjadi coklat kembali. Sesudah terkena
sinar matahari lebih lama daerah-daerah yang hipopigmentasi akan coklat
kembali.
Meskipun terapi nampak sudah cukup, bila kambuh atau kena infeksi lagi
merupakan hal biasa, tetapi selalu ada respon terhadap pengobatan kembali. Tinea
versikolor tidak memberi respon yang baikterhadap pengobatan dengan
griseofulvin.
Obat-obat anti jamur yang dapat menolong misalnya salep whitfield, salep
salisil sulfur (salep 2/4), salisil spiritus, tiosulfatnatrikus (25%). Obat-obat baru
seperti selenium sulfida 2% dalam shampo, derivatimidasol seperti ketokonasol,
isokonasol, toksilat dalam bentuk krim atau larutan dengan konsentrasi 1-2%
sangat berkhasiat baik.
2

Piedra
Merupakan infeksi jamur pada rambut sepanjang corong rambut yang

memberikan benjolan-benjolan di luar permukaan rambut tersebut. Ada dua


macam :
Piedra putih : penyebabnya Piedraia beigeli
Piedra hitam : penyebabnya Piedraia horlal
Piedra Beigeli
17

Merupakan penyebab piedra putih, terdapat pada rambut. Jamur ini dapat
ditemukan ditanah, udara,dan permukaan tubuh.

Etiologi
Piedra Beigeli (Trikosporon beigeli) terutama terdapat didaerah subtropis,

daerah dingin, (di Indonesia belum ditemukan).

Morfologi
Jamur ini mempunyai hifa yang tidak berwarna termasuk moniliaceae.

Secara mikroskopis jamur ini menghasilkan arthrokonidia dan blastoconidia.

Patogenesis
Biasanya penyakit ini dapat timbul karena adanya kontak langsung dari

orang yang sudah terkena infeksi.

Diagnosa Laboratorium
Diagnosa ditegakkan atas dasar :
gejala kllinis
pemeriksaan laboratorium dengan KOH dan kultur pada agar
Sabauroud.
Pengobatan
Rambut dicukur atau dikeramas dengan sublimat 1/2000 (5 %0) dalam

spiritus dilutus.
Piedra Hortae
Merupakan jamur penyebab piedra hitam (infeksi pada rambut berupa
benjolan yang melekat erat pada rambut, berwarna hitam). Penyakit ini umumnya
terdapat di daerah-daerah tropis dan subtropis. Terutama terdapat pada rambut
kepala, kumis atau jambang, dan dagu.

Morfologi

18

Askospora berbentuk seperti pisang. Askospora tersebut dibentuk dalam


suatu kantung yang disebut askus. Askus-askus bersama dengan anyaman hifa
yang padat membentuk benjolan hitam yang keras dibagian luar rambut. Dari
rambut yang ada benjolan, tampak hifa endotrik (dalam rambut) sampai
ektotrik (diluar rambut) yang besarnya 4-8 um berwarna tengguli dan
ditemukan spora yang besarnya 1-2 um.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan atas dasar :
1. Gejala klinis : Objektif rambut lebih suram, benjolan bila disisir terasa
seperti logam kasar.
2. Laboratorium
a. Langsung dengan KOH 10-20% dari rambut yang ada benjolan tampak
hifa endotrik (dalam rambut pada lapisan kortek) sampai ektotrik (di luar
rambut) yang besar 4-8 mu berwarna tengguli dan ditemukan spora yang
besarnya 1-2 u
b. Kultur rambut dalam media Saboutound tampak koloni mula-mula
tumbuh sebagai ragi yang berwarna kilning, kemudian dalam 2-4 hari akan

berubah menjadi koloni filamen.


Pengobatan
Sebaiknya rambut dicukur, dapat juga dikeramas dalam larutan sublimat :

1/2000 dalam alkohol dilutus (spiritus 70%) hasil pengobatan akan tampak
dalam 1 minggu.
3. Otomikosis
Otomikosis adalah infeksi jamur pada liang telinga bagian luar. Jamur
dapat masuk ke dalam liang telinga melalui alat-alat yang dipakai untuk
mengorek-ngorek telinga yang terkontaminasi atau melalui udara atau air.
Penderita akan mengeluh merasa gatal atau sakit di dalam liang telinga. Pada liang
telinga akan tampak berwarna merah, ditutupi oleh skuama, dan kelainan ini ke
bagian luar akan dapat meluas sampai muara liang telinga dan daun telinga
sebelah dalam. Tempat yang terinfeksi menjadi merah dan ditutupi skuama halus.
Bila meluas sampai ke dalam, sampai ke membrana timpani, maka daerah ini
19

menjadi merah, berskuama, mengeluarkan cairan srousanguinos. Penderita akan


mengalami gangguan pendengaran. Bila ada infeksi sekunder dapat terjadi otitis
ekstema. Penyebab biasanya jamur kontaminasi yaitu Aspergillus, sp Mukor dan
Penisilium.

Diagnosa
Diagnosa didasarkan pada :
1. Gejala klinik : Yang khas, terasa gatal atau sakit diliang telinga dan
daun telinga menjadi merah, skuamous dan dapat meluas ke dalam
liang telinga sampai 2/3 bagian luar.
2 . Pemeriksaan Laboratorium
a. Preparat langsung: Skuama dari kerokan kulit Jiang telinga diperiksa
dengan KOH 10% akan tampak hifa-hifa lebar, berseptum dan kadangkadang dapat ditemukan spora-spora kecil dengan diameter 2-3 u.
b. Pembiakan: Skuama dibiak pada media Sabauroud dekst ditemukan
dekstrosa agar dan dikeram pada temperatur kamar. Koloni akan tumbuh
dalam satu minggu berupa koloni filamen berwarna putih. Dengan
mikroskop tampak hifa-hifa lebar dan pada ujung-ujung hifa dapat
ditemukan sterigma dan spora berjejer melekat pada permukaannya.

Pengobatan
Pengobatan ditujukan menjaga agar liang telinga tetap kering jangan

lembab dan jangan mengorek-ngorek telinga dengan barang-barang yang


kotor seperti korek api, garukan telinga atau kapas. Kotoran- kotoran telinga
harus selalu dibersihkan. Larutan timol 2% dalam spiritus dilutus (alkohol
70%) atau meneteskan larutan burowi 5% satu atau dua tetes dan selanjutnya
dibersihkan dengan desinfektan biasanya memberi hasil pengobatan yang
memuaskan. Neosporin dan larutan gentien violet 1-2% juga dapat menolong.
4. Tinea nigra

20

Tinea nigra ialah infeksi jamur superfisialis yang biasanya menyerang kulit
telapak kaki dan tangan dengan memberikan warna hitam sampai coklat pada kulit
yang terserang. Makula yang terjadi tidak menonjol pada permukaan kulit, tidak
terasa sakit dan tidak ada tanda-tanda radang. Kadang-kadang makula ini dapat
meluas sampai ke punggung, kaki dan punggung tangan, bahkan dapat menyebar
sampai dileher, dada dan muka.Gambaran efloresensi ini dapat berupa polosiklis,
arsiner dengan warna hitam atau coklat hampir sama seperti setetes nitras argenti
yang diteteskan pada kulit.
Penyebabnya adalah Kladosporium wemeki dan jamur ini banyak menyerang
anak-anak dengan higiene kurang baik dan orang-orang yang banyak berkeringat.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
1.Gejala klinis yang khas
2. Pemeriksaan laboratorium
a. Preparat langsung : kerokan kulit dengan KOH 10% akan menunjukkan
adanya hifa dan spora yang tersebar di dalam gel-gel epitel, besar hifa
berkisar 3-5 u dan spora berkisar 1-2u.
b. Pembiakan : Pembiakan skuama pada media Sabauroud glukosa agar
(SGA), dikeram pada temperatur kamar. Dalam 1-2 minggu akan tumbuh
koloni menyerupai ragi, berwarna hijau dan pada bagian tepinya tumbuh
daerah yang filamentous berwarna coklat. Pada pemerikasaan mikroskopis

tampak hifa halus bercabang, mengkilat dan spora-spora yang lonjong.


Pengobatan
Pengobatan dengan obat-obat anti jamur banyak menolong. Salep

whitfield I dan II atau salep sulfursalisil juga dapat menolong. Obat-obat anti
jamur, preparat-preparat imidazol seperti isokotonasol, bifonasol, klotrirnasol
juga berkhasiat baik. Umumnya baik bila faktor-faktor predisposisi dapat
dieliminer dengan baik

21

2.12 Pengertian dan Sejarah Kusta


Penyakit Hansen atau Penyakit Morbus Hansen yang dahulu dikenal
sebagai penyakit kusta atau lepra adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang
sebelumnya, diketahui hanya disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae,
hingga ditemukan bakteri Mycobacterium lepromatosis oleh Universitas Texas
pada tahun 2008, yang menyebabkan endemik sejenis kusta di Meksiko dan
Karibia, yang dikenal lebih khusus dengan sebutan diffuse lepromatous leprosy.
Sedangkan bakteri Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ilmuwan
Norwegia bernama Gerhard Henrik Armauer Hansenpada tahun 1873 sebagai
patogen yang menyebabkan penyakit yang telah lama dikenal sebagai lepra. Saat
ini penyakit lepra lebih disebut sebagai penyakit Hansen, bukan hanya untuk
menghargai jerih payah penemunya, melainkan juga karena kata leprosy dan leper
mempunyai konotasi yang begitu negatif, sehingga penamaan yang netral lebih
diterapkan untuk mengurangi stigma sosial yang tak seharusnya diderita oleh
pasien kusta.
Lepra (penyakit Hansen) adalah infeksi menahun yang terutama ditandai
oleh adanya kerusakan saraf perifer (saraf diluar otak dan medulla spinalis), kulit,
selaput lendir hidung, buah zakar (testis) dan mata.
Mycobacterium leprae adalah penyebab dari kusta. Sebuah bakteri yang
tahan asam M. leprae juga merupakan bakteri aerobik, gram positif, berbentuk
batang, dan dikelilimgi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesies
Mycobacterium sp., M. leprae belum dapat dikultur pada laboratorium.
Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal
oleh peradaban Tiongkok kuna, Mesir kuna, dan India. Pada 1995, Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang
cacat permanen karena kusta. Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita
dengan masyarakat dirasakan kurang perlu dan tidak etis, beberapa kelompok
penderita masih dapat ditemukan di berbagai belahan dunia, seperti India dan
Vietnam.

22

2.13 Epidemiologi Mycobacterium leprae


Masalah epidemiologi yang disebabkan penyakit ini belum bisa
dipecahkan, karena cara penularannya sendiri belum diketahui dengan pasti,
hanya berdasarkan anggapan yang klasik ialah melalui kontak langsung antar kulit
yang lama dan erat. Penyebaran penyakit kusta dari suatu benua, negeri dan
tempat; ke benua, negeri dan tempat lain sampai tersebar ke seluruh dunia
disebabkan oleh perpindahan orang-orang yang telah terkena penyakit tersebut.
Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman mencpai permukaan kulit
melalui folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu ( jarang didapat). Dalam
urin dan sputum dapat banyak mengandung M. leprae yang berasal dari traktus
respiratorus atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama.
Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa.
Di seluruh dunia, dua hingga tiga juta orang diperkirakan menderita kusta.
India adalah negara dengan jumlah penderita terbesar, diikuti oleh Brasil dan
Myanmar.
2.14 Etiologi Mycobacterium leprae

Gambaran Mycobacterium leprae dari lesi kulit.


Klasifikasi Ilmiah Mycobacterium leprae :
Kingdom

: Bacteria

23

Filum

: Actinobacteria

Ordo

: Actinomycetales

Subordo

: Corynebacterneae

Genus

: Mycobacterium

Spesies

: Mycobacterium leprae

2.15 Morfologi Mycobacterium leprae

Mycobacterium leprae berbentuk basil atau batang dengan ukuran 3-8 m


x 0,5 m, merupakan bakteri tahan asam dan alcohol dan merupakan Gram postif.
Bakteri ini tidak terlalu mudah menular dan memiliki waktu inkubasi yang lama.
DNA Plasmid Mycobacterium Leprae dapat menginfeksi sel syaraf manusia.
Plasmid ini dapat hidup terpisah dari kromosom bakteri dan tubuh bakteri itu
sendiri ketika menginvasi sel tubuh manusia. Kurang dari 5 persen orang yang
terinfeksi M. Leprae terkena penyakit kusta. Hal ini disebabkan oleh factor imun
respon pada masing-masing individu.
2.16 Koloni dan Sifat Pertumbuhan
Micobakteria adalah bakteri aerob obligat. Energi didapat dari oksidasi senyawa
karbon yang sederhana. CO2 dapat merangsang pertumbuhan. Aktivitas
biokimianya tidak khas, dan laju pertumbuhannya lebih lambat dari bakteri lain,

24

waktu pembelahan adalah sekitar 18 jam. Suhu pertumbuhan optimum 37 C.


Koloni cembung, kering dan kuning gading.
2.17 Struktur Sel Mycobacterium leprae

Penelitian dengan mikroskop electron tampak bahwa M. leprae


mempunyai dinding yang terdiri atas 2 lapisan, yakni lapisan padat terdapat pada
bagian dalam yang terdiri atas peptidoglikan dan lapisan transparan pada bagian
luar yang terdiri atas lipopolisakarida dan kompleks protein-lipopolisakarida.
Dinding polisakarida ini adalah suatu arabinogalaktan yang diesterifikasi oleh
asam mikolik dengan ketebalan 20nm.
2.18 Macam-macam Penyakit Kusta
Manifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun terutama mengenai
kulit, saraf, dan membran mukosa. Pasien dengan penyakit ini dapat
dikelompokkan lagi menjadi kusta tuberkuloid (Inggris: paucibacillary), kusta
lepromatosa (penyakit Hansen multibasiler), atau kusta multibasiler (borderline
leprosy).
Kusta multibasiler, dengan tingkat keparahan yang sedang, adalah tipe
yang sering ditemukan. Terdapat lesi kulit yang menyerupai kusta tuberkuloid
namun jumlahnya lebih banyak dan tak beraturan; bagian yang besar dapat
mengganggu seluruh tungkai, dan gangguan saraf tepi dengan kelemahan dan

25

kehilangan rasa rangsang. Tipe ini tidak stabil dan dapat menjadi seperti kusta
lepromatosa atau kusta tuberkuloid.
Kusta tuberkuloid ditandai dengan satu atau lebih hipopigmentasi makula
kulit dan bagian yang tidak berasa (anestetik).

Kusta lepormatosa dihubungkan dengan lesi, nodul, plak kulit simetris,


dermis kulit yang menipis, dan perkembangan pada mukosa hidung yang
menyebabkan penyumbatan hidung (kongesti nasal) dan epistaksis (hidung
berdarah) namun pendeteksian terhadap kerusakan saraf sering kali terlambat.
Tidak sejalan dengan mitos atau kepercayaan yang ada, penyakit ini tidak
menyebabkan pembusukan bagian tubuh. Menurut penelitian yang lama oleh Paul
Brand, disebutkan bahwa ketidakberdayaan merasakan rangsang pada anggota
gerak sering menyebabkan luka atau lesi. Kini, kusta juga dapat menyebabkan
masalah pada penderita AIDS.
2.19 Patologi Mycobacterium leprae
Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis
telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Selain
manusia, hewan yang dapat tekena kusta adalah armadilo, simpanse, dan monyet
pemakan kepiting. Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh
kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan,
setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di
keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang

26

berbeda pada setiap individu. Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan
faktor penyebab.
Penyakit ini sering dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak
antara orang yang terinfeksi dan orang yang sehat. Dalam penelitian terhadap
insidensi, tingkat infeksi untuk kontak lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per
1000 per tahun di Cebu, Philipina hingga 55,8 per 1000 per tahun di India Selatan.
Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah
kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa
menunjukkan adanya sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimanapun masih
belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan
kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan asam di epitel
deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan
bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan
adanya sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di
penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa
organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat.
Pentingnya mukaosa hidung telah dikemukakan oleh Schffer pada 1898.
Jumlah dari bakteti yang berasal dari mukosa hidung di kusta lepromatosa,
menurut Shepard antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri.
Pedley

melaporkan

bahwa

sebagian

besar

pasien

lepromatosa

memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung mereka. Davey dan Rees


mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi
10.000.000 organisme per hari.
Pintu masuk dari M. leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya.
Saat ini diperkirakan bahwa kulit dan saluran pernapasan atas menjadi gerbang
dari masuknya bakteri. Rees dan McDougall telah sukses mencoba penularan
kusta melalui aerosol di mencit yang ditekan sistem imunnya. Laporan yang
berhasil juga dikemukakan dengan pencobaan pada mencit dengan pemaparan
bakteri di lubang pernapasan. Banyak ilmuwan yang mempercayai bahwa saluran
27

pernapasan adalah rute yang paling dimungkinkan menjadi gerbang masuknya


bakteri, walaupun demikian pendapat mengenai kulit belum dapat disingkirkan.
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa
peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum
dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi
muda. Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporan
berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah
endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Secara umum, telah
disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.
2.20 Pemeriksaan Laboratorium Mycobacterium leprae

Pemeriksaan Bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakan


diagnosis dan pengamatan pengobatan, sediaan dibuat dari keretakan kulit atau
mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam,
antara lain dengan ZIEHL NEELSEN. Bakterioskopik negative pada seorang
penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung m. leprae.
Cara pengambilan bahan ialah dengan menggunakan scalpel steril setelah
tempat tersebut didesinfeksikan, lalu diusahakan agar tempat tersebut, dengan
jalan dipijit, menjadi Iskemik agar kerokan jaringan itu mengandung sesedikit
mungkin darah yang akan mengganggu gambaran sedian. Irisan yang dibuat harus
sampai di dermis melampaui Sub epiderma clear zone agar mencapai jaringan
yang diharapkan banyak mengandung sel Virchow (sel lepra) yang didalamnya

28

mengandung basil M.Lepra. jaringan itu dioleskan digelas asal, difiksasi diatas
api, kemudian diwarnai dengan pewarnaan yang klasik, yaitu ZIEHI NEELSEN.
Untuk perawatan ini dapat digunakan modifikasi ZIEHI NEELSEN dan cara
lain dengan segala kelebihan & kekurangannya disesuaikan dengan keadaan
setempat.
Cara lain mengambil bahan kerokan dengan alat semacam scalpel kecil
tumpul atau bahan olesan dengan kapas lidi. Sebaiknya diambil dari daerah
Septum nasi, selanjutnya dikerjakan seperti biasa.
Pada pemeriksaan Histopatologik, Makrofag dalam jaringan yang berasal dari
Monosit di dalam darah ada yang mempunyai nama khusus, antara lain sel
Kupffer dari hati, sel Alveolar dari paru, sel Glia dari otak, dan yang dari kulit
disebut Stiosit. Salah satu tugas makrofag adalah melakukan Fagositetis.
Granuloma

adalah

akumulasi

makrofag

dan

atau

derivate-

derivatnya.gambaaran histopalogik bagi tipe tuberkoloid adalah kerusakan saraf


yang lebih nyata, tidak ada hasil atau hanya sedikit non-solid. Bagi lepromatosa
terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone) ialah suatu daerah
langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik, ada sel vircho
dengan banyak hasil.
2.21 Gejala klinis Mycobacterium leprae

Lesi pada paha

29

Bakteri penyebab lepra berkembangbiak sangat lambat, sehingga


gejalanya baru muncul minimal 1 tahun setelah terinfeksi (rata-rata muncul pada
tahun ke-5-7).Gejala dan tanda yang muncul tergantung kepada respon kekebalan
penderita.
Setelah basil M.Leprae masuk kedalam tubuh, bergantung pada kerentanan
orang tersebut, kalau tidak rentan tidak akan sakit dan sebaliknya jika rentan
setelah masa tunasnya dilampaui akan timbul gejala penyakitnya. Untuk
selanjutnya tipe apa yang akan terjadi pada derita C.M.I (Cellmediated Immunity)
penderita terhadap M.Leprae yang Intraseluler Obligat itu, kalau C.M.I tinggi
kearah Lepromatosa, agar proses selanjunya lebih jelas.
Kusta terkenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena Deformitar atau
cacat tubuh orang awampun dengan mudah dapat menduga kearah penyakit kusta.
Yang penting bagi kita sebagai dokter dan ahli kesehatan lainnya, bahkan barang
kali para ahli kecantikan, adalah dapat mendiagnosis, setidaknya menduga kearah
penyakit kusta terutama bagi kelainan kulit yang masih berupa Makula yang
Hipopigmentasi, hiperpigmentasi, dan Eritematosa. Kelainan kulit yang tanpa
komplikasi pada penyakit kusta dapat hanya berbentuk Makula saja, Infiltrat saja,
atau keduanya. Harus berhati-hati dan buatlah diagnosis banding dengan banyak
pennyakit kulit lainnya yang hampir menyerupainya. Sebab penyakit kusta ini
mendapat julukan The Greatest Immitator pada ilmu penyakit kulit. Penyakit kulit
lain yang harus diperhatikan sebagai diagnosis banding antara lain adalah :
Dermatofitosis, Tinea, versikolor, Pitiriasisrosea, Pitiriasisalba, dermatitis
seboroika, Granuloma Anulare, Xantomatosis, Skleroderma, Leukomia Kutis,
Tuberkolosis Kutis Verukosa, dan BirthMark.
Reaksi kusta adalah interupsi dangan episode akut pada perjalanan penyakit
yang sebenarnya sangat kronik. Reaksi imun itu dapat menguntungkan, tetapi
dapat pula merugikan yang disebut reaksi imun patologik, dan reaksi kusta ini
tergolong didalamnya.

30

Gejala klinis reaksi reversal ialah penambahan atau perluasan lesi yang ada,
tetapi bukan modus, tanpa atau dengan gejala neuritis dari yang ringan sampai
yang berat. Gejala neoriris ini penting diperhatikan, oleh karena sangat
menentukan pemberian pengobatan dengan korpis teroid, perlu tidaknya,serta
dosisnya, sebab tanpa gejala neuritis

tidak perlu pengobatan dengan

kortikosteroid.
2.22 Pengobatan dan Pencegahan Kusta
Untuk pencegahannya sendiri, dulu perubahan bentuk anggota tubuh akibat
lepra menyebabkan penderitanya diasingkan dan diisolasi. Pengobatan dini bisa
mencegah atau memperbaiki kelainan bentuk, tetapi penderita cenderung
mengalami masalah psikis dan sosial. Tidak perlu dilakukan isolasi. Lepra hanya
menular jika terdapat dalam bentuk lepromatosa yang tidak diobati dan itupun
tidak mudah ditularkan kepada orang lain.
Selain itu, sebagian besar secara alami memiliki kekebalan terhadap lepra dan
hanya orang yang tinggal serumah dalam jangka waktu yang lama yang memiliki
resiko tertular. Dokter dan perawat yang mengobati penderita lepra tampaknya
tidak memiliki resiko tertular.
Obat anti kusta yang banyak dipakai saat ini adalah DOS (Diamino Difenil
Sulfom ) lalu Klofazimin dan Rifampisin,DDS mulai dipakai sejak 1948 dan pada
tahun 1952 di Indonesia, jadi sudah lebih dari 30 tahun pemakaian, klofazimin
dipakai sejak 1962 oleh Brown dan Hogerzeil dan rifampisin sejak tahun 1970.
Pengertian relapse atau kambuh pada kusta ada 2 kemungkinan, yaitu relapse
sensitive (persistent) dan relase resisten, pada relase sensitive, decara klinis,
bakteriokopik, histopatologik, dapat dinyatakan, penyakit sekonyong konyong
aktif kembali dengan timbulnya lesi batu dan bakterioskopik positif kembali.
Resitensi terhadap DOS ada yang sekunder dan ada yang primer,resitansi
sekunder terjadi karena :
1. Monoterapi DOS.
31

2. Dosis terlalu rendah.


3. Memakan obat tidak teratur.
4. Pengobatan terlalu lama, setelah 4-24 tahun.
Hanya terjadi pada kusta Multibasilar, tetapi tidak pada Pausibasilat , oleh
karena S.I.S penderita tinggi dan pengobatannya relative singkat. Resistensi
primer, bila orang ditulari oleh M.Lepra yang telah resistensi,yang manifestasinya
dapat dalam segala tipe (TT, BT, BB, BL, LL) bergantung pada S.I.S penderita
derajat resistensi yang rendah masih dapat diobati dengan dosis DDS yang lebih
tinggi, sedang pada derajat resistensi yang tinggi DDS tidak dapat dipakai lagi,
adanya M.D.T ini adalah sebagai usaha untuk :
a. mencegah dan mengobati resistensi.
b. Memperpendek masa pengobatan.
c. Mempercepat pemutusan mata rantai penularan.
Dalam penyusunan kombinasi obat itu perlu diperhatikan antara lain :
- Efek terapeutik obat.
- Efek samping obat.
- Harga obat.
- Kemungkinan penerapannya.
Kalau kombinasinya terlalu kompleks, terlalu mahal, tidak dapat dilaksanakan
dan sebaliknya jika kombinasinya terlalu sederhana dan terlalu murah, akan
mengundang resistensi baru. Pengertian MDT pada saat ini ialah DDS sebagai
obat dasar ditambah dengan obat-obat lain. Dosis DDS ialah 1-2 mg/kg berat
badan setiap hari. Mengenai efek sampingnya lihat pengobatan Dermatitis
Herpetifurmis.

32

Protionamid / etionamid Dosisnya 5-10 mg/kg berat badan setiap hari. Di


Indonesia obat ini tidak atau jarang dipakai. Mengenai beberapa sifat lebih lanjut
obat-obat tersebut dapat dilihat pada tabel 10-5. oleh karena distribusi klofarimin
dalm jaringan tidak merata MIC-nya sukar dicari.
MDT dengan beberapa alternatifnya telah ditetapkan pada rapat konsultasi
kusta nasional (RKKN) yang kiranya sesuai dan dapat ditetapkan.
Di Indonesia , untuk kusta multibasilar (LL, BL, BB) adalah sebagai berikut :
1. Rifampisin 600 mg setiap bulan.
2. DDS 100 mg setiap hari.
3. Klofazimin 300 mg setiap bulan, diteruskan 50mg sehari atau 100mg
sehari atau 3x100 mg setiap minggu. Kombinasi obat ini diberikan 2 tahun sampai
3 tahun denagn syarat bakteri eskopis masih positif, pengobatan harus dilanjutkan
sampai bakteriokopis negative. Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara
klinis setiap bulan ,dan secara bakteriokopis minimal setiap tiga bulan. Jadi besar
kemungkinan pengobatan kusta multibasilet ini hanya selama 2-3 tahun. Hal ini
adalah waktu yang relative sangat singkat dan dengan batasan waktu yang tegas,
jika dibandingkan dengan cara sebelumnya yang memerlukan waktu minimal 10
thn sampai seumur hidup.
Kalau susunan MDT tersebut tidak dapat dilaksanakan, dapat diberikan MDT
alternative, yang bermacam-macam, baik macam obat, dosis, dan cara
pemberiannya. Kalau MDT alternatifpun tidak dapat dilaksanakan terpaksa
dilakukan monoterapi dengan DDS saja, sambil menunggu tiba saatnya untuk
MDT

bagi

yang

melaksanakan

MDT

alternative,

kalau

keadaannya

memungkinkan baru berpindah ke MDT rekomendasi, salah satu contoh MDT


alternative adalah :
- Rifampisin 1200 mg sebagai dosis tunggal sekali saja.
- DDS 100mg setiap hari untuk seterusnya

33

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Mikosis superficial adalah penyakit jamur yang menginfeksi lapisan
permukaan kulit,yaitu stratum korneum,rambut dan kuku. Ada dua golongan
jamur yang menyebabkan mikosis superfisialis yaitu Dermatofita dan Non
Dermatofita.
2. Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat
tanduk,misalnya stratum korneum pada epidermis,rambut dan kuku yang
disebabkan jamur golongan dermatofita. Dermatofitosis dibagi berdasarkan
lokasi bagian tubuh manusia yang diserang. Yang termasuk dari dermatofitosis
adalah tinea kapitis, tinea favosa, tinea korporis, tinea kruris, tinea manus et
pedis, tinea unguium, tinea barbae, dan tinea imbrikata.
3. Non-Dermatofitosis pada kulit biasanya terjadi pada kulit yang paling luar.
Hal ini disebabkan jenis jamur ini tidak dapat mengeluarkan zat yang dapat
mencerna keratin kulit dan tetap hanya menyerang lapisan kulit yang paling
luar. Yang termasuk dari non-dermatofitosis adalah tinea versikolor, piedra
hitam, piedra putih dan tinea nigra.
4. Pengobatan untuk dermatofita adalah griseofulvin, ketokonazol, tolnaftat 2%,
tolsiklat, haloprogin, derivate-derivat imidazol, siklopiroksamin, dan naftiline
masing-masing 1%.
5. Mycobacterium leprae adalah penyebab dari kusta. Sebuah bakteri yang tahan
asam M. leprae juga merupakan bakteri aerobik, gram positif, berbentuk
batang, dan dikelilimgi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari
spesies Mycobacterium sp. M. leprae belum dapat dikultur pada laboratorium.
6. Mycobacterium Leprae ditemukan pertama kali oleh seseorang
ilmuwan Norwegia yang bernama Gerhard Henrik Armauer Hansen pada
tahun 1873 sebagai patogen yang menyebabkan penyakit yang telah lama
dikenal sebagai lepra. Saat ini penyakit lepra lebih disebut sebagai penyakit
Hansen, bukan hanya untuk menghargai jerih payah penemunya, melainkan
34

juga karena kata leprosy dan leper mempunyai konotasi yang begitu negatif,
sehingga penamaan yang netral lebih diterapkan untuk mengurangi stigma
sosial yang tak seharusnya diderita oleh pasien kusta.
7. Pemeriksaan Bakterioskopik digunakan untuk membantu

menegakan

diagnosis dan pengamatan pengobatan, sediaan dibuat dari keretakan kulit


atau mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan
asam, antara lain dengan ZIEHL NEELSEN. Bakterioskopik negative pada
seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung M. leprae.
Dan pemeriksaan Histopatologik, Makrofag dalam jaringan yang berasal dari
Monosit di dalam darah yang dapat menyebabkan Granuloma, yaitu akumulasi
makrofag dan atau derivate-derivatnya. Gambaran histopalogik bagi tipe
tuberkoloid adalah kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada hasil atau
hanya sedikit non-solid.
8. Gejala klinis reaksi reversal ialah penambahan atau perluasan lesi yang ada,
tetapi bukan modus, tanpa atau dengan gejala neuritis dari yang ringan sampai
yang berat. Gejala neoriris ini penting diperhatikan, oleh karena sangat
menentukan pemberian pengobatan dengan korpis teroid, perlu tidaknya,serta
dosisnya, sebab tanpa gejala neuritis tidak perlu pengobatan dengan
kortikosteroid.
9. Obat anti kusta yang banyak dipakai saat ini adalah DOS (Diamino Difenil
Sulfom ) lalu Klofazimin dan Rifampisin, DDS mulai dipakai sejak 1948 dan
pada tahun 1952 di Indonesia, jadi sudah lebih dari 30 tahun pemakaian,
klofazimin dipakai sejak 1962 oleh Brown dan Hogerzeil dan rifampisin sejak
tahun 1970.

DAFTAR PUSTAKA
Adhi, N. Dkk, 1997. Kusta, Diagnosis dan Penatalaksanaan, FK UI, Jakarta.

35

Arnold, Odum, James.Andrew's :Desease of the skin, .8th ed ,London.


WBSounders Co., 1989 : 347-349.
Budi mulja, U : Mikosis. Dalam ilmu penyakit kulit dan kelamin, Jakarta FK UI.
1987 : 84-88
Emmons. CW , Binford. CH, Utz, JP & Kwon Chung: Medical Mycology, 3 rd ed.
Philadelphia, Lea & Febiger. 1977
Harahap, M. 1997. Diagnosis and Treatment of Skin Infection, Blackwell Science,
Australia
Jawetz, Melnick & Adelberg : Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 20, EGC Jakarta
1996.
Kuswadji : Dermatimikosis. Budimulja U, Sunoto, Tjokronegoro A . Penyakit
Jamur, Jakarta FKUI. 1983
Rippon.J : Superfisialis Infections.in Medical Mycology, second ed Tokyo, WB
saunders Co. 1988
Siregar. S: Penyakit Jamur Kulit. EGC Jakarta.1982
Gandahusada, srisasi. dkk. 1998. Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Balai penerbit
FKUI
Graber,Mark A,1998,Buku Saku Kedokteran university of IOWA,EGC,Jakarta
Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media
Aeuscualpius, Jakarta.
36

37

Anda mungkin juga menyukai