Anda di halaman 1dari 31

Referat

Dermatofitosis

Oleh:

Fitra Alfani

NIM. 2230912310103

Pembimbing:

Dr. dr. Dwiana Savitri, Sp. KK, FINSDV, FAADV

SMF/DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN ULM-RSUD MOCH. ANSARI SALEH

BANJARMASIN

September, 2023
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ............................................................................. i

DAFTAR ISI .......................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1

A. Latar Belakang .................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................... 2

C. Tujuan Penulisan ................................................................. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................... 4

A. Definisi ............................................................................... 4

B. Etiologi ................................................................................ 4

C. Epidemiologi dan Faktor Resiko ......................................... 5

D. Patogenesis.......................................................................... 5

E. Klasifikasi dan Gambaran Klinis ....................................... 8

F. Diagnosis.......................................................................... ... 17

G. Tatalaksana.......................................................................... 19

H. Prognosis.......................................................................... ... 23

BAB III PENUTUP ............................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 27

ii
Universitas Lambung Mangkurat
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dermatofitosis merupakan penyakit infeksi jamur superfisial yang

disebabkan oleh jamur kelompok dermatofita yang terdiri dari Trichophyton sp.,

Epidermophyton sp. dan Microsporum sp.1 Dalam prosesnya, dermatofita akan

mengikat dan menginvasi jaringan keratin pada manusia ataupun hewan serta

memanfaatkan produk degradasi untuk menjadi sumber nutrisi pada infeksi jamur

superfisial di kulit, rambut, dan kuku. Dermatofita yang menginfeksi manusia dapat

diklasifikasikan berdasarkan habitat mereka yaitu antropofilik (manusia), zoofilik

(hewan), dan geofilik (tanah).3 Dermatofitosis diklasifikasikan menurut lokasi yaitu

tinea kapitis (kulit dan rambut kepala), tinea barbae (dagu, jambang, kumis dan

jenggot), tinea kruris (daerah genitokrural, sekitar anus, bokong, dan kadang-

kadang sampai perut bagian bawah), tinea pedis (kaki), tinea manus (tangan), tinea

unguium (kuku jari tangan dan kaki), tinea korporis (leher atau badan), tinea

imbrikata (seluruh tubuh dengan memberi gambaran klinik khas susunan skuama

yang konsentris), dan tinea inkognito (bentuk klinis tidak khas karena telah diobati

dengan steroid topikal kuat).1

Dermatofitosis sebagai infeksi jamur superfisial yang umum terjadi di seluruh

dunia, memiliki angka kejadian yang lebih tinggi kejadian di negara tropis dan

subtropis karena tingginya kelembaban dan suhu lingkungan.3 Penyakit infeksi

jamur di kulit mempunyai prevalensi tinggi di Indonesia, dengan manifestasi klinis

1
Universitas Lambung Mangkurat
2

yang bervariasi. Perpindahan manusia dapat dengan cepat memengaruhi

penyebaran endemik dari jamur. Pemakaian bahan-bahan material yang sifatnya

oklusif, adanya trauma, dan pemanasan dapat meningkatkan temperatur dan

kelembaban kulit meningkatkan kejadian infeksi tinea. 3 Pada kondisi individu

dengan sistem imun yang lemah (immunocompromized), cenderung mengalami

dermatofitosis yang berat atau menetap, pemakaian kemoterapi, obat-obatan

transplantasi dan steroid membawa dapat meningkatkan kemungkinan terinfeksi

oleh dermatofit non patogenik.11

B. Rumusan Masalah

1. Apa definsi dari dematofitosis?

2. Apa etiologi dari dematofitosis?

3. Bagaimana epidemiologi dari dematofitosis?

4. Apa saja faktor resiko dari dematofitosis?

5. Bagaimana patogenesis dermatofitosis?

6. Apa saja klasifikasi dari dermatofitosis dan bagaimana gambaran klinisnya?

7. Bagaimana mendiagnosis dermatofitosis?

8. Bagaimana tatalaksana dermatofitosis?

9. Apa prognosis dari dermatofitosis?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui definsi dematofitosis

2. Mengetahui etiologi dematofitosis

3. Mengetahui epidemiologi dematofitosis

Universitas Lambung Mangkurat


3

4. Mengetahui faktor resiko dematofitosis

5. Mengetahui patogenesis dermatofitosis

6. Mengetahui klasifikasi dari dermatofitosis dan gambaran klinisnya

7. Mengetahui diagnosis dermatofitosis

8. Mengetahui tatalaksana dermatofitosis

9. Mengetahui prognosis dermatofitosis

Universitas Lambung Mangkurat


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Dermatofitosis merupakan penyakit infeksi jamur superfisial yang

disebabkan oleh jamur kelompok dermatofita.1 Terminologi “tinea” atau ringworm

menggambarkan infeksi dermatofita dan dibedakan berdasarkan lokasi anatomi

infeksi.2 Dalam prosesnya, dermatofita akan mengikat dan menginvasi jaringan

keratin pada manusia ataupun hewan serta memanfaatkan produk degradasi untuk

menjadi sumber nutrisi pada infeksi jamur superfisial di kulit, rambut, dan kuku.3

B. Etiologi

Dermatofitosis disebabkan oleh kelompok jamur dermatofita yang terdiri dari

Trichophyton sp., Epidermophyton sp. dan Microsporum sp.1 Dermatofita yang

menginfeksi manusia dapat diklasifikasikan berdasarkan habitat mereka yaitu

antropofilik, zoofilik, dan geofilik. Antropofilik merupakan kelompok spesies

dermatofita yang hanya berkembang pada host manusia dan transmisi secara kontak

langsung serta telah beradapatasi pada respon non inflamasi tubuh manusia. Kulit

yang terinfeksi atau rambut pada pakaian, topi, sisir, kaus kaki, dan handuk juga

dapat menjadi sumber reservoir. Zoofilik merupakan kelompok spesies dermatofita

yang menular ke manusia melalui hewan. Kucing, anjing, kelinci, babi, unggas,

kuda, binatang ternak, dan binatang lainnya merupakan sumber infeksi pada

umumnya. Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan tersebut

4
Universitas Lambung Mangkurat
5

atau secara tidak langsung melalui rambut hewan terinfeksi. Geofilik merupakan

fungi yang menyebabkan infeksi saat manusia kontak langsung dengan tanah.3

C. Epidemiologi dan Faktor Resiko

Dermatofitosis sebagai infeksi jamur superfisial yang umum terjadi di seluruh

dunia, memiliki angka kejadian yang lebih tinggi kejadian di negara tropis dan

subtropis karena tingginya kelembaban dan suhu lingkungan.3 Penyakit infeksi

jamur di kulit mempunyai prevalensi tinggi di Indonesia, dengan manifestasi klinis

yang bervariasi. Prevalensi infeksi dermatofita pada laki-laki lima kali lebih banyak

dari wanita. Tinea kapitis yang disebabkan tinea tonsurans lebih sering pada wanita

dewasa dibandingkan laki-laki dewasa. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh

kebersihan perorangan, lingkungan yang kumuh dan padat, serta status sosial

ekonomi dalam penyebaran infeksinya.10 Perpindahan manusia dapat dengan cepat

memengaruhi penyebaran endemik dari jamur. Pemakaian bahan-bahan material

yang sifatnya oklusif, adanya trauma, dan pemanasan dapat meningkatkan

temperatur dan kelembaban kulit meningkatkan kejadian infeksi tinea.3 Pada

kondisi individu dengan sistem imun yang lemah (immunocompromized),

cenderung mengalami dermatofitosis yang berat atau menetap, pemakaian

kemoterapi, obat-obatan transplantasi dan steroid membawa dapat meningkatkan

kemungkinan terinfeksi oleh dermatofit non patogenik.11

D. Patogenesis

Dermatofita memiliki enzim seperti keratinolytic protease, lipase dan lainnya

yang berperan sebagai faktor virulensi terhadap invasi ke kulit, rambut, kuku, dan

Universitas Lambung Mangkurat


6

juga memanfaatkan keratin sebagai sumber nutrisi untuk bertahan hidup. Fase

penting dalam infeksi dermatofita adalah terikatnya dermatofita dengan jaringan

keratin yang diikuti oleh invasi dan pertumbuhan elemen myocelial. Terlepasnya

mediator proinflamasi sebagai konsekuensi dari degradasi keratin membuat tubuh

host ikut merespon dengan timbulnya gejala inflamasi.11

Dermatofita melewati berbagai tahapan dari sistem pertahanan tubuh host

sebelum hifa mulai berkembang pada jaringan keratin. Tahap pertama adalah

penempelan dari arthroconidia, spora aseksual yang terbentuk oleh fragmentasi

hifa, ke permukaan dari jaringan keratin. Proses penetrasi menghasilkan sekresi

proteinase, lipase, dan enzim musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi jamur.

Diperlukan waktu 4–6 jam untuk germinasi dan penetrasi ke stratum korneum

setelah spora melekat pada keratin.11

Dalam upaya bertahan dalam menghadapi pertahanan imun yang terbentuk,

jamur patogen menggunakan beberapa cara yaitu: 1) Penyamaran, antara lain

dengan membentuk kapsul polisakarida yang tebal, memicu pertumbuhan filamen

hifa, sehinggga glucan yang terdapat pada dinding sel jamur tidak terpapar oleh

dectin-1, dan dengan membentuk biofilamen, suatu polimer ekstra sel, sehingga

jamur dapat bertahan terhadap fagositosis. 2) Pengendalian, dengan sengaja

mengaktifkan mekanisme penghambatan imun pejamu atau secara aktif

mengendalikan respons imun mengarah kepada tipe pertahanan yang tidak efektif.

3) Penyerangan, dengan memproduksi molekul yang secara langsung merusak atau

memasuki pertahanan imun spesifik dengan mensekresi toksin atau protease. Jamur

mensintesa katalase dan superoksid dismutase, mensekresi protease yang dapat

Universitas Lambung Mangkurat


7

menurunkan barrier jaringan sehingga memudahkan proses invasi oleh jamur, dan

memproduksi siderospore (suatu molekul penangkap zat besi yang dapat larut) yang

digunakan untuk menangkap zat besi untuk kehidupan aerobik.11

Pertahanan non spesifik atau juga dikenal sebagai pertahanan alami terdiri

dari:1) Struktur, keratinisasi, dan proliferasi epidermis, bertindak sebagai barrier

terhadap masuknya dermatofit. Stratum korneum secara kontinyu diperbarui

dengan keratinisasi sel epidermis sehingga dapat menyingkirkan dermatofit yang

menginfeksinya. Proliferasi epidermis menjadi benteng pertahanan terhadap

dermatofitosis, termasuk proses keradangan sebagai bentuk proliferasi akibat reaksi

imun yang dimediasi sel T.2) Adanya akumulasi netrofil di epidermis, secara

makroskopi berupa pustul, secara mikroskopis berupa mikroabses epidermis yang

terdiri dari kumpulan netrofil di epidermis, dapat menghambat pertumbuhan

dermatofit melalui mekanisme oksidatif. 3) Adanya substansi anti jamur, antara lain

unsaturated transferrin dan 2-makroglobulin keratinase inhibitor dapat melawan

invasi dermatofit. Lokasi infeksi dermatofit yang superfisial tetap dapat

membangkitkan baik imunitas humoral maupun cell-mediated immunity (CMI).

Pembentukan CMI yang berkorelasi dengan Delayed Type Hypersensitivity (DTH)

biasanya berhubungan dengan penyembuhan klinis dan pembentukan stratum

korneum pada bagian yang terinfeksi. Kekurangan CMI dapat mencegah suatu

respon efektif sehingga berpeluang menjadi infeksi dermatofit kronis atau

berulang.11

Universitas Lambung Mangkurat


8

E. Klasifikasi dan Gambaran Klinis

Dermatofitosis diklasifikasikan menurut lokasi yaitu tinea kapitis (kulit dan

rambut kepala), tinea barbae (dagu, jambang, kumis dan jenggot), tinea kruris

(daerah genitokrural, sekitar anus, bokong, dan kadang-kadang sampai perut bagian

bawah), tinea pedis (kaki), tinea manus (tangan), tinea unguium (kuku jari tangan

dan kaki), tinea korporis (leher atau badan), tinea imbrikata (seluruh tubuh dengan

memberi gambaran klinik khas susunan skuama yang konsentris), dan tinea

inkognito (bentuk klinis tidak khas karena telah diobati dengan steroid topikal

kuat).1

1. Tinea Kapitis

Infeksi dermatofita pada skalp, menyebabkan kerontokan rambut dan skuama

dengan berbagai derajat respon inflamasi.1 Penyakit ini terutama disebabkan oleh

spesies dermatofita Microsporum dan Trichophyton. Tinea capitis adalah penyakit

dermatologis yang umum. Tinea kapitis ditemukan hampir di seluruh dunia dan

dapat menyerang anak laki-laki maupun perempuan. Tinea kapitis lebih banyak

menyerang anak-anak dibandingkan orang dewasa.5

Rambut biasanya terinfeksi melalui salah satu dari tiga cara utama yaitu: 1)

Endothrix, dimana jamur mempengaruhi batang rambut - contoh jenis ini:

Trichophyton tonsurans; 2) Ectothrix, dimana jamur mempengaruhi selubung luar

akar – contoh jenis ini: Microsporum canis; 3) Favus dimana terjadi reaksi

peradangan, pengerasan kulit atau scutula, dan rambut rontok – contoh jenis ini:

Trichophyton schoenleinii.6 Sebagian besar bentuk tinea kapitis bermula dari satu

atau beberapa bercak bulat berskuama atau alopesia. Lesi primer berupa plak,

Universitas Lambung Mangkurat


9

papul, pustul atau nodus pada skalp (umumnya di oksipital). Lesi sekunder yaitu

skuama, alopesia (biasanya reversibel), eritema, eksudat, dan edema. Terdapat

pruritus di skalp. Pada anamnesis, keluhan pasien beisa berupa kepala gatal, kulit

kepala berisisik, ataupun kebotakan. Pada lesi inflamasi, pasien dapat mengeluhkan

demam, nyeri, dan limfadenopati (kelenjar retroservikal).4 Tinea kapitis dapat

dibagi menjadi beberapa tipe yaitu:

a. Noninflammatory Type (Seborrheic Form, Tipe “Gray Patch”)

Paling sering disebabkan oleh organisme antropofilik Microsporum audouinii

atau M. ferrugineum. Lesi berupa skuama dengan batas jelas. Artrokonidia

akan membentuk selubung di sekitar rambut yang terkena, sehingga rambut

berwarna abu-abu, mudah patah di atas permukaan skalp. Lesi bisa soliter

atau multipel, kadang-kadang beberapa lesi bergabung membentuk satu lesi

yang lebih besar.1,7 Alopesia tidak jelas terlihat, tetapi pada kasus yang lebih

meradang dapat berupa bercak eritematosa berbatas tegas, berskuama

(biasanya di area oksipital), alopesia nonsikatrisial, dan rambut yang mudah

patah (“gray patch” type). Apabila mengenai ektotriks, rambut yang terinfeksi

akan berfluoresensi hijau pada pemeriksaan lampu Wood.1

b. “Black Dot”

Disebabkan oleh organisme antropofilik Trichophyton tonsurans dan T.

violaceum. Pada tipe ini, rambut mudah patah pada permukaan skalp,

meninggalkan kumpulan titik hitam pada bercak alopesia berbentuk poligonal

dengan pinggiran seperti jari. Kadang masih terdapat sisa rambut normal di

antara alopesia. Skuama difus umum ditemui. 1

Universitas Lambung Mangkurat


10

c. Inflammatory type

Biasanya disebabkan oleh patogen zoofilik atau geofilik seperti M. canis, M.

gypseum, dan T. verrrucosum akibat reaksi hipersensitivitas. Spektrum klinis

berupa folikulitis pustular, furunkel atau kerion. Inflamasi yang hebat

menyebabkan alopesia sikatrisial. Keluhan lain berupa gatal, nyeri, dan

terdapat limfadenopati servikalis posterior.1,7

d. Favus

Infeksi kronis terutama disebabkan oleh T. schoenleinii, kejadiannya lebih

jarang dibandingkan tipe yang lain, dan bersifat sporadis. Awalnya berupa

papul kuning kemerahan kemudian menjadi krusta tebal berwarna

kekuningan berbentuk cangkir (skutula). Skutula dapat berkonfluens

membentuk plak besar dengan mousy odor. Plak akan meluas meninggalkan

area sentral yang atrofi dan alopesia sikatrisial.1,2

Diagnosis banding dari tinea kapitis adalah dermatitis seborrheic, dermatitis

atopik, impetigo, pustular atau plak psoriasis, foliculitis decalvans.

2. Tinea Barbae

Tinea barbae adalah infeksi dermatofita yang menyerang kulit, rambut, dan

folikel rambut di daerah wajah, unilateral, lebih sering mengenai area janggut

daripada kumis dan bibir bagian atas.1 Tinea barbae disebabkan oleh dermatofit

zoofilik dan antropofilik. Trichophyton verrucosum, Trichophyton mentagrophytes,

dan Trichophyton rubrum adalah organisme penyebab yang paling sering

dilaporkan dalam literatur. Organisme penyebab lain yang didokumentasikan

adalah Trichophyton violaceum, Trichophyton megninii, Trichophyton

Universitas Lambung Mangkurat


11

schoenleinii, Trichophyton tonsurans, Trichophyton interdigitale, Trichophyton

ernacei, Microsporum canis, Microsporum nanum, Mycroscporum gypseum, dan

Epidermophyton floccosum. Karena tinea barbae adalah infeksi pada rambut dan

folikel rambut di area janggut dan kumis, penyakit ini hanya terjadi pada remaja

laki-laki remaja dan dewasa, namun tidak menutup kemungkinan terjadi pada

wanita yang memiliki rambut di wajah.12

Tinea barbae dapat dibagi menjadi 2 tipe yaitu:

a. Tipe Superfisial

Tipe ini disebabkan oleh jamur antropofilik T. violaceum. Inflamasi minimal,

menyerupai tinea korporis atau folikulitis akibat bakteri. Bagian tepi yang

aktif terdiri atas papul folikular dan pustul multipel disertai eritema ringan.

Jika terdapat alopesia, biasanya reversibel.1,2

b. Tipe Inflamatori

Disebabkan oleh jamur zoofilik T. interdigitale, T. verrucosum atau T.

mentagrophytes. Tipe ini merupakan bentuk klinis yang paling umum.

Analogis dengan bentuk kerion pada tinea kapitis berupa plak berkrusta,

basah dan sekret seropurulen. Rambut kusam, rapuh, mudah dicabut, tampak

massa purulent di sekitar akar. Pustul perifolikular multipel dapat bergabung

membentuk kumpulan pus menyerupai abses, traktus sinus, dan alopesia

sikatrisial.1.2

Diagnosis banding dari tinea barbae adalah sikosis barbe/vulgaris, perioral

dermatitis, candida folikulitis, dermatitis kontak, dan acne vulgaris.

3. Tinea Fasialis

Universitas Lambung Mangkurat


12

Tinea fasialis adalah infeksi dermatofita superfisial yang jarang terjadi dan

terjadi pada daerah halus di wajah dan dapat menyerang kedua jenis kelamin dan

semua kelompok umur. Dermatofita penyebabnya yaitu M. canis, T.

mentagrophytes dan T. rubrum.13 Pada anamnesis, pasien mengeluhkan bercak

merah meninggi yang gatal di wajah. Pada pemeriksaan fisik ditemukan plak

eritematosa anular atau sirsinar, tepi meninggi, dan adanya central healing. Pada

anak-anak dan perempuan dewasa, dapat ditemukan pustul, tanpa central healing,

sedangkan pada laki-laki dewasa ditemukan lesi eritematosa, bentuk anular atau

serpiginosa, tepi meninggi dengan central healing, biasanya di daerah dahi.

Kadang-kadang lesi tidak jelas, hanya berupa skuama tanpa tanda-tanda

peradangan.14 Diagnosis banding dari tinea fasialis yaitu osasea, dermatitis

seboroik, dermatitis kontak, dermatitis perioral, lupus eritematosa, akne vulgaris,

psoriasis anular (anak-anak).

4. Tinea Korporis

Tinea korporis merupakan dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut

pada daerah badan dan leher, serta tidak termasuk dari daerah tangan, kaki, kuku,

kulit kepala, daerah berjanggut, dan selangkangan. Tinea korporis paling sering

disebabkan oleh Trichophyton rubrum, T. tonsurans, dan Microsporum canis. T.

interdigitale telah menggantikan T. rubrum sebagai yang paling umum penyebab

tinea korporis di Asia Tenggara. Tinea korporis paling banyak terjadi sering terjadi

pada anak-anak pasca pubertas dan dewasa muda.15

Pada anamnesis, pasien biasanya mengeluhkan ruam yang gatal di badan

dan ekstermitas tapi tidak mengenai telapak tangan atau kaki. Pada pemeriksaan

Universitas Lambung Mangkurat


13

fisik, dapat ditemukan lesi berbatas tegas, berbentuk bulat atau lonjong (ringworm-

like), polisiklik dengan tepi aktif yang polimorf terdiri dari eritema, skuama, kadang

dengan vesikel dan papul, bagian tengah tampak normal (central healing).1 15

Diagnosis banding dari tinea korporis yaitu pitiriasis rosea, psoriasis vulgaris,

morbus hansen tipe tuberculoid.

5. Tinea Imbrikata

Tinea imbrikata disebabkan oleh Trichophyton concentricum. Varian dari

tinea korporis yang dimulai dengan papul berwarna coklat, yang perlahan-lahan

menjadi besar. Stratum korneum bagian tengah ini terlepas dari dasarnya dan

melebar. Proses ini, setelah beberapa waktu mulai lagi dari bagian tengah, sehingga

terbentuk lingkaran-lingkaran skuama yang konsentris. Pada permulaan infeksi

penderita dapat merasa sangat gatal, akan tetapi kelainan yang menahun tidak

menimbulkan keluhan pada penderita. Pada kasus menahun, lesi kulit kadang-

kadang dapat menyerupai iktiosis.2 15 Diagnosis banding dari tinea imbrikata yaitu

tinea korporis.

6. Tinea Kruris

Tinea kruris adalah dermatofitosis pada kulit daerah genitokrural, sekitar

anus, bokong, dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah. T. rubrum

dilaporkan sebagai dermatofit penyebab tinea cruris yang paling sering, tapi tidak

menutup kemungkinan disebabkan oleh dermatofit lainnya. Dermatofit ini

mempengaruhi struktur keratin seperti rambut dan stratum korneum epidermis

sehingga menimbulkan ruam yang khas. Daerah intertriginosa merupakan

lingkungan yang ramah bagi jamur, dengan keringat, maserasi, dan pH basa yang

Universitas Lambung Mangkurat


14

bertanggung jawab atas kecenderungan infeksi pada selangkangan. 16 Pada

anamnesis, pasien mengeluhkan ruam yang gatal pada daerah genitokrural seperti

inguinal sampai lipat paha bagian dalam, daerah pubis, perianal, bokong dan perut

bagian bawah.17 Pada pemeriksaan fisik, didapatkan lesi plak eritema berbentuk

anular berbatas tegas dengan tepi yang meninggi dan skuama yang serupa dengan

tinea korporis, dapat terjadi unilateral atau bilateral. Pada tepinya bisa terdapat

papul, vesikel, atau pustule, bisa disertai nyeri bila ada maserasi atau infeksi

sekunder.1 15 17 Diagnosis banding dari tinea kruris adalah Eritrasma, kandidiasis

kutis, psoriasis, dermatitis intertriginosa, dermatitis kontak, liken simplek kronis,

folikulitis, dermatitis seboroik.

7. Tinea Pedis

Tinea pedis merupakan infeksi jamur superfisial pada kulit kaki yang

disebabkan oleh dermatofita. Agen etiologi yang paling umum adalah Trichophyton

rubrum dan Trichophyton interdigitale. Dermatofita yang mendominasi dapat

bervariasi menurut geografis lokasi (terkait dengan karakteristik iklim dan social

faktor) dan berubah seiring berjalannya waktu. Penyebab lain yang kurang umum

termasuk Epidermophyton floccosum, Trichophyton tonsurans, Trichophyton

soudanense, Trichophyton violaceum dan Microsporum audouinii.18 Pada

umumnya gejala yang dikeluhkan berupa gatal di kaki terutama sela-sela jari. Kulit

pada kaki dapat berupa ruam bersisik, basah dan mengelupas. Tinea pedis

dibedakan menjadi beberapa tipe berdasarkan variasi gambaran klinisnya yaitu:

a. Tipe Interdigital

Universitas Lambung Mangkurat


15

Tipe ini merupakan bentuk klinis tinea pedis yang paling umum ditemukan.

Gejala awal biasanya berupa ruam kemerahan disertai skuama, maserasi pada

area interdigiti dan subdigiti pada kaki, terutama diantara digiti III dan IV

serta antara digiti IV dan V pedis. Penyebaran infeksi bisa terjadi ke area

telapak kaki, punggung kaki serta kuku. Adanya oklusi dan koinfeksi dengan

bakteri seperti Pseudomonas, Proteus, Staphylococcus aureus dapat

menyebabkan erosi pada kulit, gatal disertai bau tidak sedap yang biasanya

disebut dengan athlete foot.1,17

b. Tipe Kronis Hiperkeratotik (Moccasin)

Bentuk klinis dari tipe ini berupa patch eritem yang difus pada area telapak

kaki, serta area medial dan lateral dari kaki sehingga disebut juga tipe

moccasin atau bentuk kering (dry type). Penyebab yang paling umum adalah

T. rubrum diikuti oleh E. floccosum dan strain antropofilik T. interdigitale.

Tinea pedis dapat disertai dengan tinea manum karena kontak pada saat

menggaruk kaki. Tinea manum unilateral yang menyertai tinea pedis

mengakibatkan kelainan yang disebut two feet one hand syndrome.1,17

c. Tipe Vesikobulosa

Tipe ini biasanya disebabkan oleh spesies jamur zoofilik, yaitu T.

interdigitale. Gejala klinis berupa vesikel atau bula tegang berdiameter ≥ 3

mm, vesikopustul pada area plantar dan periplantar pedis. Vesikel yang pecah

meninggalkan skuama kolaret.1,17

d. Tipe Ulseratif Akut

Universitas Lambung Mangkurat


16

Tipe ini adalah bentuk yang paling jarang. Gejala klinis berupa vesikel,

pustule dan ulkus purulent pada area plantar pedis, karena adanya

superinfeksi dengan bakteri gram negatif. Sering dikaitkan dengan demam,

limfadenopati, limfangitis dan selulitis. Spesies penyebab umumnya dari

golongan jamur zoofilik, yaitu T. interdigitale.1,17

Diagnosis banding dari tinea pedis yaitu Eritrasma, koinfeksi bakteri

(Pseudomonas, Micrococcus, Acinetobacter), kandidiasis kutis.

8. Tinea Manus

Tinea manus merupakan dermatofitosis yang menyerang telapak tangan dan

sela-sela jari tangan. Tinea manus disebabkan oleh dermatofita T. rubrum (yang

paling sering), T. mentagrophytes, dan E. floccosum. Gambaran klinis dari tinea

manus meliputi lesi di telapak tangan dan sela-sela jari tangan. Lesi biasanya non-

inflamatorik dengan skuama difus dan garis tangan menjadi semakin jelas. Vesikel,

pustul, dan eksfoliasi dapat dijumpai terutama pada kasus dermatofita zoofilik.

Tinea manus umumnya berkaitan dengan tinea pedis tipe mokasin dan

onikomikosis.1 17 Diagnosis banding dari tinea manus yaitu psoriasis, candidiasis,

bakteri pyodermal, dan dyshydrosis.

9. Tinea Unguium

Tinea unguium merupakan dermatofitosis pada kuku jari tangan dan kaki.

Sekitar 90% tinea unguium kuku jari kaki dan 75% kuku jari disebabkan oleh

dermatofita terutama Trichophyton mentagrophytes dan Trichophyton rubrum.

Infeksi dermatofita yang lain bisa disebabkan oleh Epidermophyton floccosum,

spesies Microsporum, Trichophyton verrucosum, Trichophyton tonsurans,

Universitas Lambung Mangkurat


17

Trichophyton violaceum, Trichophyton soundanense, Trichophyton krajdenii, dan

Trichophyton equinum.19 Pada tinea unguium muncul sebagai perubahan warna

kuku menjadi putih atau kuning kecokelatan. Manifestasi klinis lainnya termasuk

hiperkeratosis subungual, terlepasnya kuku dari dasar kuku (onikolisis) dan

penebalan lempeng kuku (onychauxis). Secara umum, tinea unguium pada kuku

kaki 7-10 kali lebih sering dibandingkan kuku tangan. Umumnya, beberapa kuku

kaki terkena yang terkena disertai dengan tinea pedis.20 Diagnosis banding dari tinea

unguium adalah kandidiasis kuku, psoriasis yang menyerang kuku, dan

akrodermatitis persisten.

10. Tinea Inkognito

Tinea inkognito merupakan infeksi jamur superfisialis pada kulit berambut

halus (glabrosa) yang memberikan gambaran klinis tidak khas sebagai infeksi

dermatofita oleh karena pemberian kortikosteroid sistemik ataupun topikal

sebelumnya. Gambaran klinisnya berupa batas lesi tidak tegas, skuama dan

inflamasi minimal, terdapat perubahan warna menjadi kecoklatan, bisa terdapat

concentric rings dengan eritema, adanya atrofi dan telangiektasi seiring dengan

makin bertambahnya pertumbuhan jamur sehingga lesi semakin meluas.2 17

F. Diagnosis

Pemeriksaan dalam menentukan diagnosis infeksi dermatofitosis terdiri dari

pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pemeriksaan langsung dengan

pengambilan specimen dimulakan dengan membersihkan lokasi lesi dengan

alcohol/spiritus 70%. Untuk pengambilan spesimen pada kulit tidak berambut (kulit

glabrosa) pengerokan dilakukan dari bagian tepi lesi sampai ke bagian sedikit di

Universitas Lambung Mangkurat


18

luar kelainan sisik kulit menggunakan skapel tumpul steril. Untuk pengambilan

spesimen di kulit berambut, rambut pada kulit yang mengalami kelainan dicabut

dan kulit di bagian itu dikerok untuk mengumpulkan sisik kulit dan pus. Dalam

pengambilan spesimen di kuku, spesimen diambil dari permukaan kuku yang sakit

dan dipotong sedalam-dalamnya sehingga mengenai seluruh tebal kuku dan bahan

di bawah kuku diambil.21

Pemeriksaan mikroskopis dimulai dengan penyediaan slide, bahan diletakan

di atas gelas alas kemudian di tambah 1-2 tetes larutan KOH. Konsentrasi larutan

KOH untuk sediaan rambut adalah 10%, untuk kulit 20% dan untuk kuku 30%.

Setelah sediaan dicampurkan dengan larutan KOH, sediaan ditunggu 15-20 menit

untuk melarutkan jaringan. Untuk mempercepatkan proses pelarutan dapat

dilakukan pemanasan sediaan basah dia atas api kecil sehingga berlaku penguapan.

Untuk melihat elemen jamur ditambahkan zat pewarna pada sediaan KOH, tinta

parker blue-black. Elemen jamur dapat diperhatikan di bawah mikroskop cahaya

dengan pembesaran 100x dan 400x. Pada sediaan kuku dan kulit dapat dilihat hifa

sebagai garis sejajar terbahagi oleh sekat lengkap dan bercabang. Terlihat juga

spora berderet (artrospora). Pada sediaan rambut terlihat spora kecil (mikrospora)

dan spora besar (makrospora). Spora yang kelihatan bisa tersusun di luar rambut

(ektotriks) atau di dalam rambut (endotriks). Kadang-kadang dapat terlihat hifa

pada sediaan rambut.21

Pemeriksaan pembiakan dapat dilakukan untuk menyokong pemeriksaan

sediaan langsung dan menentukan spesies dermatofita. Pemeriksaan ini dilakukan

dengan menanam bahan klinis dalam media buatan, medium agar dekstrosa

Universitas Lambung Mangkurat


19

Sabouraud. Pada medium ditambahkan antibiotic kloramfenikol untuk

menghindarkan kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan.21

Dengan pemeriksaan lampu Wood akan terlihat fluoresensi kuning-hijau pada

batang rambut yang terinfeksi Microsporum canis, M. Audouinii, M. distortum, dan

M. ferrugineum. Pada infeksi favus dengan penyebab T. Schoenleinii akan

berfluoresensi birukeabuan.1 17 Pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan PAS

dan methenamine perak Grocott untuk mendeteksi elemen jamur dalam bagian

jaringan. Tampak hifa di sekitar dan di dalam batang rambut. Pada lesi kerion,

jamur penyebab dapat tidak tampak karena respon pejamu yang kuat

menghancurkan organisme tersebut. Bisa juga dilakukan pemeriksaan

dermoskopi/trikoskopi dengan mengevaluasi skuama perifolikular dan 3 gambaran

rambut distrofi (comma hair, black dot, short-broken hair). Pada infeksi T.

tonsurans tampak multiple comma-shaped hairs sedangkan infeksi M. canis tampak

distrofi skalp dan elbow-shaped hairs, dan berbagai tingkat ketinggian rambut yang

patah. Jika hasil kultur tidak dapat dinilai dapat dipertimbangkan pemeriksaan

Polimerase Chain Reaction (PCR).17

G. Tatalaksana

1. Tinea kapitis

Terapi topikal hanya sebagai terapi ajuvan terhadap terapi sistemik dan tidak

disarankan pemberian terapi topikal saja. Rambut dicuci dengan sampo selenium

sulfida 1% atau 2,5% atau sampo ketokonazol 2% 2-3 kali/minggu selama 2-4

minggu.4

Universitas Lambung Mangkurat


20

Pilihan obat untuk terapi sistemik antara lain: Griseofulvin 20-25 mg/kg/hari,

selama 6-8 minggu; Terbinafin 250 mg/hari, selama 2-8 minggu; Itrakonazol 5

mg/kgBB/hari, selama 2-4 minggu; Flukonazol 6 mg/kgBB/hari, selama 3-6

minggu.1 17 Sementara pilihan obat untuk terapi sistemik pada anak antara lain 17:

o Griseofulvin, per hari selama 6-8 minggu

- Usia 1 bulan – 2 tahun: 10 mg/kg/hari

- Usia ≥ 2 tahun: 20-25 mg/kg/hari (mikro)

- Usia ≥ 2 tahun: 10-15 mg/kg/hari (ultramikro)

o Terbinafin, per hari, selama 2-4 minggu

- Berat <20 kg: 62,5 mg/hari

- Berat 20 – 40 kg: 125 mg/hari

- Berat > 40 kg: 250 mg/hari

o Itrakonazol

- 3-5 mg/kg/hari, selama 2-4 minggu

- 5 mg/kg/hari, selama 1 minggu/bulan selama 2-3 bulan

Kortikosteroid sistemik pada 1 minggu pertama bermanfaat pada kasus

inflamasi berat.1

2. Tinea barbae

Terapi topikal disini hanya sebagai terapi ajuvan dari terapi sistemik. Zinc

pyrithione 1% atau 2%; Povidone-iodine 2,5%.1 Sementara untuk terapi sistemik

terdiri dari: Griseofulvin 1 g/hari selama 6 minggu; Terbinafin 250 mg/hari selama

2-4 minggu; Itrakonazol 200 mg/hari selama 2-4 minggu; Flukonazol 200 mg/hari

Universitas Lambung Mangkurat


21

selama 4-6 minggu. Kortikosteroid sistemik pada 1 minggu pertama bermanfaat

pada kasus inflamasi berat.1 17

3. Tinea fasialis

Terapi topikal terdiri dari: golongan alilamin (terbinafin) sekali sehari, selama

3-4 minggu; golongan azol (mikonazol, ketokonazol, klotrimazol) dua kali sehari,

selama 4-6 minggu.2 Untuk terapi sistemik diberikan jika dengan pengobatan

topikal tidak memberikan perbaikan atau sesuai indikasi: Terbinafin oral 1x250

mg/hari (hingga klinis membaik dan hasil pemeriksaan laboratorium negatif)

selama 2-6 minggu, untuk anak-anak 3-6 mg/KgBB/hari selama 2 minggu;

Itrakonazol 100-200 mg/hari selama 1 minggu, untuk anak-anak 5 mg/KgBB/hari

selama 1 minggu; Flukonazol 150-300 mg/minggu selama 4-6 minggu. Perlu

diperhatikan lama pemberian disesuaikan dengan temuan klinis dan laboratorium.

Terbinafin hanya untuk anak usia di atas 4 tahun.2 17

4. Tinea korporis dan Tinea kruris

Terapi topikal yang bisa diberikan berupa golongan alilamin (krim terbinafin)

1-2 kali sehari selama 1-2 minggu. Obat alternative meliputi: golongan imidazol

(krim mikonazol, ketokonazol, klotrimazol, ekonazol) 2 kali sehari selama 4

minggu; Tolnaftat, 2 kali sehari selama 2-4 minggu; Butenafin (sintetik alilamin),

1-2 kali sehari selama 1-4 minggu; Siklopirok (menghambat DNA, RNA, dan

sintesis protein) 2 kali sehari; Gentian violet (antifungal, antibiotik) 1-2 kali sehari,

dapat mengotori kulit dan pakaian.

Sedangkan untuk terapi sistemik dapat diberikan bila lesi kronik, luas, atau

sesuai indikasi dengan obat pilihan Terbinafin oral 1x250 mg/hari (hingga klinis

Universitas Lambung Mangkurat


22

membaik dan hasil pemeriksaan laboratorium negatif) selama 2-4 minggu atau 3-6

mg/kg/hari selama 2 minggu. Untuk obat alternative terdiri dari: Itrakonazol 100

mg/hari selama 1 minggu atau 5 mg/kg/hari selama 1 minggu; Flukonazol 150-300

mg/hari selama 4-6 minggu; Griseofulvin oral 500 mg/hari atau 10-25

mg/kgBB/hari selama 2-4 minggu.2 17

5. Tinea imbrikata

Pilihan terapi sistemik yang dapat digunakan yaitu terbinafin 250 mg/hari

(125 mg/ hari pada anak-anak) selama 4 minggu atau dengan Griseofulvin 1 gr/hari

selama 4-6 minggu.15

6. Tinea inkognito

Terapi topikal yang diberikan sesuai dengan tinea korporis namun jika

terdapat penebalan perlu ditambahkan asam salisil 3-6%. Untuk terapi sistemik

yang digunakan adalah Terbinafin 250 mg/hari selama 4 minggu atau bisa juga

dengan Itrakonazol 200-400 mg/hari selama 4-6 minggu.17

7. Tinea pedis

Terapi topikal yang dapat diberikan adalah golongan alilamin (krim

terbinafin) sekali sehari selama 1-2 minggu. Untuk obat alternatifnya meliputi:

golongan azol (misal krim mikonazol, ketokonazol, klotrimazol) 2 kali sehari

selama 2-6 minggu; Siklopiroksolamin (ciclopirox gel 0,77% atau krim 1%) 2 kali

sehari selama 4 minggu untuk tinea pedis dan tinea interdigitalis. Untuk terapi

sistemik dapat diberikan Terbinafin 250 mg/hari selama 2 minggu, untuk anak-anak

3-6 mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Obat alternative yang dapat digunakan

Universitas Lambung Mangkurat


23

meliputi: Itrakonazol 100-200mg/hari selama 1-4 minggu; Flukonazol 150

mg/minggu selama 3-4 minggu.1 16

8. Tinea manus

Terapi topikal yang dapat diberikan adalah golongan alilamin (krim

terbinafine) sekali sehari selama 1-2 minggu.1,23 Golongan obat yang bisa jadi

alternatif yaitu golonngan azol: misalnya, krim mikonazol, ketokonazol,

klotrimazol 2 kali sehari selama 2-6 minggu. Untuk terapi sistemik dapat diberikan

Terbinafin 250 mg/hari selama 2 minggu, untuk anak-anak 3-6 mg/kgBB/hari

selama 2 minggu. Golongan obat yang bisa jadi alternatif yaitu; Itrakonazol 100-

200mg/hari selama 1-4 minggu; Flukonazol 150 mg/minggu selama 3-4 minggu.1
16

9. Tinea unguium

Terapi antijamur oral dianggap sebagai standar emas untuk tinea unguium

baik pada anak-anak maupun orang dewasa karena pengobatan yang lebih singkat

dan tingkat kesembuhan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan terapi

antijamur topikal. Agen antijamur oral yang digunakan untuk pengobatan tinea

unguium: Terbinafin 250 mg/hari selama 2 minggu, untuk anak-anak 3-6

mg/kgBB/hari selama 2 minggu; Itrakonazol 100-200mg/hari selama 1-4 minggu;

Flukonazol 150 mg/minggu selama 3-4 minggu.20

H. Prognosis

Perkembangan penyakit dermatofitosis dipengaruhi oleh gambaran klinis dan

penyebab penyakitnya disamping faktor-faktor yang memperberat atau

Universitas Lambung Mangkurat


24

memperingan penyakit. Apabila faktor-faktor yang memperberat penyakit dapat

dihilangkan, umumnya penyakit ini dapat hilang sempurna.1

- Quo ad vitam : bonam

- Quo ad functionam : bonam

- Quo ad sanactionam : bonam

Universitas Lambung Mangkurat


25

BAB III

PENUTUP

Dermatofitosis merupakan penyakit infeksi jamur superfisial yang

disebabkan oleh jamur kelompok dermatofita yang terdiri dari Trichophyton sp.,

Epidermophyton sp. dan Microsporum sp.1 Terminologi “tinea” atau ringworm

menggambarkan infeksi dermatofita dan dibedakan berdasarkan lokasi anatomi

infeksi.2 Dalam prosesnya, dermatofita akan mengikat dan menginvasi jaringan

keratin pada manusia ataupun hewan serta memanfaatkan produk degradasi untuk

menjadi sumber nutrisi pada infeksi jamur superfisial di kulit, rambut, dan kuku.

Dermatofita yang menginfeksi manusia dapat diklasifikasikan berdasarkan habitat

mereka yaitu antropofilik (manusia), zoofilik (hewan), dan geofilik (tanah). 3

Dermatofitosis diklasifikasikan menurut lokasi yaitu tinea kapitis (kulit dan rambut

kepala), tinea barbae (dagu, jambang, kumis dan jenggot), tinea kruris (daerah

genitokrural, sekitar anus, bokong, dan kadang-kadang sampai perut bagian

bawah), tinea pedis (kaki), tinea manus (tangan), tinea unguium (kuku jari tangan

dan kaki), tinea korporis (leher atau badan), tinea imbrikata (seluruh tubuh dengan

memberi gambaran klinik khas susunan skuama yang konsentris), dan tinea

inkognito (bentuk klinis tidak khas karena telah diobati dengan steroid topikal

kuat).1

Dermatofitosis sebagai infeksi jamur superfisial yang umum terjadi di

seluruh dunia, memiliki angka kejadian yang lebih tinggi kejadian di negara tropis

dan subtropis karena tingginya kelembaban dan suhu lingkungan. 3 Penyakit infeksi

Universitas Lambung Mangkurat


26

jamur di kulit mempunyai prevalensi tinggi di Indonesia, dengan manifestasi klinis

yang bervariasi. Perpindahan manusia dapat dengan cepat memengaruhi

penyebaran endemik dari jamur. Pemakaian bahan-bahan material yang sifatnya

oklusif, adanya trauma, dan pemanasan dapat meningkatkan temperatur dan

kelembaban kulit meningkatkan kejadian infeksi tinea. 3 Pada kondisi individu

dengan sistem imun yang lemah (immunocompromized), cenderung mengalami

dermatofitosis yang berat atau menetap, pemakaian kemoterapi, obat-obatan

transplantasi dan steroid membawa dapat meningkatkan kemungkinan terinfeksi

oleh dermatofit non patogenik.11

Pemeriksaan untuk membantu menegakkan diagnosis melalui pemeriksaan

KOH 10-20%. serta pemeriksaan pembiakan untuk mengetahui spesies jamur.

Perkembangan penyakit dermatofitosis dipengaruhi oleh gambaran klinis dan

penyebab penyakitnya disamping faktor-faktor yang memperberat atau

memperingan penyakit. Apabila faktor-faktor yang memperberat penyakit dapat

dihilangkan, umumnya penyakit ini dapat hilang sempurna.1

Universitas Lambung Mangkurat


DAFTAR PUSTAKA

1. Craddock LN, Schieke SM. Superficial fungal infection. Dalam: Sewon K,


Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ et al, editors.
Fitzpatrick’s dermatology. 9th edition. New York. McGraw Hill Education;
2019, p.2925-51

2. Hay RJ, Ashbee HR. Fungal infections. Dalam: Griffiths CEM, Barker J,
Bleiker T, Chalmers R, Creamer D, editors. Rook’s textbook of fermatology.
9th edition. West Sussex: John Wiley & Sons, Ltd; 2016.

3. Jartarkar SR, Patil A, Goldust Y, Cockerell CJ, Schwartz RA, Grabbe S,


Goldust M. Pathogenesis, Immunology and Management of Dermatophytosis.
J. Fungi 2022, 8, 39. https://doi.org/ 10.3390/jof8010039

4. World Health Organization. International Classification of Diseases (ICD)-11


for Mortality and Morbidity Statistics (version: 05/2021) [Internet]. 2021
[cited 2021 Oct 10]. Available from:https://icd.who.int/browse11/l-m/en

5. Souissi A, Ben Lagha I, Toukabri N, Mama M, Mokni M. Morse code-like


hairs in tinea capitis disappear after successful treatment. Int J
Dermatol. 2018 Dec;57(12):e150-e151.

6. Barlow J. Observations on the Mode of Curing the Tinea Capitis. Med Phys
J. 1805 Dec;14(82):496.

7. Gupta PS, Mbuyi N, Rivera A. Tinea capitis. Dalam: Fred FF. Ferri’s clinical
advisor 2022. 1484-85.

8. Gupta AK, Drummond-Main C. Meta-analysis of randomized, controlled


trials comparing particular doses of griseofulvin and terbinafine for the
treatment of tinea capitis. Pediatric Dermatology. 2013; 30(1): 1-6.

9. Mayser P, Nenoff P, Reinel D, Abeck D, Brasch J, Daeschlein G et al., S1


guidelines: tinea capitis. J Dtsch Dermatol Ges.2018; 18(2): 161-179. doi:
10.1111/ddg.14026.

10. Putri AI, Astari L. Profil dan evaluasi pasien dermatofitosis. Jurnal Berkala
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. 2017;29(5):135-41.

27
Universitas Lambung Mangkurat
28

11. Kurniati RC. Etiopatogenesis dermatofitosis. Jurnal Berkala Ilmu Kesehatan


Kulit dan Kelamin. 2008;20(3):243-50.

12. Duarte B, Galhardas C, Cabete J. Adult tinea capitis and tinea barbae in a
tertiary Portuguese hospital: A 11-year audit. Mycoses. 2019
Nov;62(11):1079-1083. [PubMed: 31441119]

13. Ansari S, Ahmadi B, Tabatabaeifar SN, et al. Familial cases of Trichophyton


benhamiae infection transmitted from a guinea pig in Iran. Mycopathologia.
2021;186(1):119–125.

14. Pragya K, Rameshwari T, Harish K, Kalsi AS. Clinical manifestations and


diagnostic challenges of tinea faciei. Int.J.Curr.Microbiol.App.Sci.
2017;6(12):1286-94

15. Leung AKC, Lam JM, Leong KF, Hon KL. Tinea corporis: an updated
review 2020

16. Sahoo AK, Mahajan R. Management of tinea corporis, tinea cruris, and tinea
pedis: A comprehensive review. Indian Dermatol Online J. 2016 Mar-
Apr;7(2):77-86.

17. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin (PERDOSKI). Panduan


Praktik Klinis: Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia.
Jakarta: PERDOSKI; 2017.

18. Nigam PK, Saleh D. Tinea pedis. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island,
FL: StatPearls Publishing; 2022.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470421/.

19. Youssef A.B., Kallel A., Azaiz Z., Jemel S., Bada N., Chouchen A., et al.
Onychomycosis: Which fungal species are involved? Experience of the
Laboratory of Parasitology-Mycology of the Rabta Hospital of Tunis. J.
Mycol. Med. 2018;28(4):651–654. doi: 10.1016/j.mycmed.2018.07.005.

20. Lipner S.R., Scher R.K. Onychomycosis: Clinical overview and diagnosis. J.
Am. Acad. Dermatol. 2019;80(4):835–851. doi: 10.1016/j.jaad.2018.03.062.

21. Bramono, Suyoso dkk. 2013. Dermatomikosis Superfisialis. Edisi kedua.


Badan Penerbit FKUI. Jakarta. Hal. 9-23, 50-69,154.

Universitas Lambung Mangkurat


29

Universitas Lambung Mangkurat

Anda mungkin juga menyukai