Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PRAKTIKUM PENYAKIT INFEKSIUS I (IPH 323)

IDENTIFIKASI KAPANG DERMATOFITA PADA SAMPEL KEROKAN KULIT


KUCING

Oleh:
Kelompok D10
Nuzula Ramadian (B04130131)
Dhea Kharisma Putri (B04130135)
Khansa Mahdiyah Tresnajaya (B04130146)

BAGIAN MIKROBIOLOGI MEDIK


DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN KESEHATAN
MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Insiden mikosis superfisial sangat tinggi di Indonesia. Sedangkan mikosis
profunda jarang ditemukan. Mikosis superfisial terbagi menjadi dua kelompok, yaitu
dermatofitosis dan non-dermatofitosis. Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial
disebabkan oleh dermatofita yang memiliki kemampuan untuk melekat pada keratin
dan menggunakannya sebagai sumber nutrisi,dengan menyerang jaringan
berkeratin, seperti stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku (Verma &
Heffernan 2008).
Penyakit ini disebabkan oleh jamur dermatofita yang umumnya berupa
Microsporum, Trycophyton atau Epidermophyton. Penyebab infeksi dermatofita yang
paling dominan adalah Tricophyton diikuti Epidermophyton dan Microsporum,
dimana yang paling banyak adalah spesies Tricophyton rubrum diikuti
T.mentagrophytes, M. Canis dan T.tonsurans. Penyakit ini dapat menyerang semua
umur. Infeksi jamur superfisial relatif sering pada negara tropis pada populasi dengan
status sosioekonomi rendah yang tinggal di lingkungan yang sesak dan hygiene
yang rendah. Hal tersebut dikarenakan dermatofita berkembang baik pada suhu 2528C dan timbulnya infeksi pada kulit manusia didukung oleh kondisi yang panas
dan lembab. Distribusi, spesies penyebab, dan bentuk infeksi yang terjadi bervariasi
pada daerah geografis,lingkungan dan budaya yang berbeda.
Umumnya dermatofitosis pada kulit memberikan morfologi yang khas yaitu
bercakbercak yang berbatas tegas disertai efloresensiefloresensi yang lain,
sehingga memberikan kelainankelainan yang polimorf, dengan bagian tepi yang
aktif serta berbatas tegas. Gejalagejala ini selalu disertai dengan rasa gatal, bila
kulit gatal ini digaruk maka papulapapula atau vesikelvesikel akan pecah sehingga
menimbulkan daerah erosit dan bila mengering jadi krusta dan skuama. Penularan
dari dermatofitosis ini dapat terjadi akibat kontak fisik dengan kulit yang terkena
dermatofitosis atau peralatan yang terkontaminasi. Cairan yang keluar dari vesikel
yang pecah juga dapat menjadi media penularan. Kerugian dari dermatofitosis ini
akan mengakibatkan kerugian secara ekonomis karena penyakit ini dapat bersifat
tahunan atau seumur hidup. Dari segi kesehatan, dermatofitosis dapat mengganggu
kenyamanan dalam beraktifitas akibat gejala klinis yang ditimbulkan.
B. Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengidentifikasi sampel kerokan kulit
hewan yang di duga mengalami dermatofitosis.
C. Tinjauan Pustaka

Dermatofita merupakan kelompok taksonomi jamur kulit superfisial. Yang terdiri


dari 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton (Djuanda,
2010). Perbedaan antara ketiga genera tersebut didasarkan pada penampilan spora
dan hifa. Ketiga jamur ini dapat ditularkan dari manusia ke manusia (antropofilik),
dari binatang ke manusia (zoofilik), atau dari tanah ke manusia (geofilik) (Price et al.,
2005). Infeksi Epidermophyton hanya ditularkan oleh manusia sedangkan berbagai
spesies Trichophyton dan Microsporum dapat berasal dari sumber manusia dan juga
bukan manusia (Madani 2000). Microsporum menyerang rambut dan kulit.
Trichophyton menyerang rambut, kulit dan kuku. Epidermophyton menyerang kulit
dan jarang pada kuku (Madani 2000; Siregar 2004).
Dermatofita merupakan segolongan jamur yang mampu mencernakan keratin.
Dari tanah dapat diisolasikan banyak jamur yang keratolitik. Sejumlah dermatofita
antropofilik merupakan penyebab umum penyakit kurap, yang agak sulit hidup di
tanah dan bergantung pada manusia/hewan atau benda yang dipakainya untuk
penyebarannya. Jamur inilah yang menimbulkan penyakit pada manusia/hewan
(Budimulja 1983).
Dermatofita tumbuh pada jaringan mati yang mengalami keratinisasi
menyebabkan eritema, vesikel, dan pruritus (Jawetz et al. 2007). Kemampuannya
untuk membentuk ikatan molekuler terhadap keratin dan menggunakannya sebagai
sumber makanan menyebabkan mereka mampu berkolonisasi pada jaringan keratin
(Koksal 2009). Golongan dermatofita bersifat mencerna keratin, dermatofita
termasuk kelas fungi imperfecti. Gambaran klinis dermatofita menyebabkan
beberapa bentuk klinis yang khas, satu jenis dermatofita menghasilkan klinis yang
berbeda tergantung lokasi anatominya (Budumulja 2007; Siregar 2004).
Dermatofita menggunakan keratin sebagai sumber nutrisi dan juga berkoloni
pada lapisan kulit, kuku, dan rambut yang telah mati. Mereka juga memicu
kehancuran sel-sel yang hidup dengan mengaktifkan sistem imun. Meskipun jamur
yang terlibat dalam infeksi kutaneus dan sub-kutaneus hidup di tanah, penyakit yang
mereka timbulkan tidak sama dengan infeksi jamur superfisial lainnya karena
infeksinya membutuhkan lesi terlebih dahulu pada lapisan kulit yang lebih dalam.
(Siregar 2004).
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.
Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial disebabkan oleh dermatofita yang
memiliki kemampuan untuk melekat pada keratin dan menggunakannya sebagai
sumber nutrisi, dengan menyerang jaringan berkeratin, seperti stratum korneum
pada epidermis, rambut, dan kuku (Verma 2008).
Di dalam bidang veteriner, hanya genus Trichophyton dan Microsporum yang
berperanan penting untuk kesehatan hewan. Jumlah spesies yang telah diketahui
dari masing-masing genus, yaitu Trichophyton (26 spesies), Microsporum (14
spesies), dan Epidermophyton (1 spesies). Diantaranya hanya 23 spesies dikenal
sebagai patogen baik pada hewan maupun manusia, yaitu 15 spesies Trichophyton
sp., 7 spesies Microsporum sp. dan Epidermophyton floccosum (hanya menginfeksi
manusia) (Al-Doory 1980). Beberapa speses Trichophyton antara lain T. ajelloi, T.

concentricum, T. equinum, T. fiavescens, T. georgiae, T. gloriae, T. gourvilii, T.


longifusus, T. phaseoliforme, T. rubrum, T. schoenleinii, T. simii, T.soudanense, T.
terrestre, T.tonsurans, T. verrucosum, T. violaceum, T. yaoundei (Premlatha 2013).
Secara mikroskopis, struktur Trichophyton verrucosum menunjukkan tidak
terdapat makrokonidia kecuali jika pada media pertumbuhannya ditambahkan
penyubur koloni berupa thiamin dan inositol. Mikrokonidia berbentuk lonjong atau
oval seperti tetesan embun, biasanya terdapat pada koloni var ochraceus terutama
yang permukaannya berbulu (downy). Klamidospora berjumlah banyak, sebagai cirri
spesifik dari spesies, berbentuk bulat membesar pada ujung (soliter) miselium atau
rantai (Jungerman dan Schwartzman 1972).
Pada Sabouraud Dextrose Agar, koloni T. verrucosum akan tumbuh lambat,
kecil, berbentuk tombol, putih krem, dan pinggiran datar yang pertumbuhan menjorok
ke dalam. Hifa yang luas dan tidak teratur mengandung terlalu banyak
chlamydospores terminal. Chlamydospores sering dalam rantai. Ujung hifa yang luas
dan kadang-kadang dibagi, yang disebut "tanduk", ketika ditanam pada thiamineenriched media, strain menghasilkan clavate untuk pyriform mikrokonidia sepanjang
hifa. Makrokonidia hanya jarang diproduksi, tetapi jika hadir akan memiliki ekor khas
atau berbentuk kacang. (Premlatha 2013)
D. METODOLOGI
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah scalpel, gelas objek, cover
glass, ose dan jarum, cawan petri, dan mikroskop. Sedangkan bahan-bahan yang
digunakan adalah KOH 10%, Lactophenol Cotton Blue (LPCB), aquades, selotape,
media biakan SDA (Sabouraud Dextrose Agar), dan sampel kulit. Hewan
sebelumnya diduga menderita dermatofitosis dengan gejala klinis berupa kebotakan
dengan batas yang jelas pada daerah leher. Sampel kulit dikerok dengan scalpel
yang steril dan dimasukkan ke dalam plastik bersih yang berpenutup dan di bawa ke
laboratorium untuk pemeriksaan lanjut.
Metode
Pemeriksaan pertama yang dilakukan adalah pemeriksaan langsung dengan
menempelkan sampel dari kerokan kulit pada gelas objek. Kemudian sampel ditetesi
larutan KOH 10% dan ditunggu sekitar 15 menit. Larutan KOH 10% ini adalah untuk
melisiskan jaringan sehingga dapat terlihat hifa dan makrokonidia. Selanjutnya
sampel diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran objektif 40x .

Identifikasi berikutnya yaitu menanam sampel kerokan kulit pada media biakan
SDA yang diberi antibiotik, kemudian diinkubasikan pada suhu kamar selama 7 hari.
Hasil biakan tersebut kemudian diamati baik secara makroskopis dengan mengamati
morfologi

koloni

dan

secara

mikroskopis

dengan

mengamati

morfologi

mikroskopisnya. Pengamatan morfologi mikroskopis dilakukan secara natif, yaitu


dengan menggunakan selotape yang ditempelkan ke gelas objek yang ditetesi LPCB
dan dibuat slide culture dengan teknik Riddel. Penentuan kapang dilakukan dengan
mengidentifikasi berdasarkan morfologi hifa, konidia dan konidiosporanya.

BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL
1. Pemeriksaan makroskopik
1.1 Hasil Pengamatan
Hasil Biakan pada Media SDA

Koloni yang tumbuh berwarna

koloni akan tumbuh lambat, kecil,

putih dengan kontaminan yang

berbentuk tombol, putih krem,

tumbuh menyebar hitam

dan

pinggiran

datar

yang

pertumbuhan menjorok kedalam.

Hasil Pengamatan pada Slide Culture Riddle

Makrokonidia hanya jarang diproduksi,


tetapi jika hadir akan memiliki ekor
khas atau berbentuk kacang.

B. PEMBAHASAN
Kapang dermatofita merupakan kelompok kapang yang menyebabkan
dermatofitosis pada hewan dan manusia. Pada praktikum ini sampel diambil dari
seekor kucing yang diduga terserang dermatofitosis. Pengambilan sampel
dilakukan di laboratorium dengan mengambil kerokan kulit pada bagian lesio

yang diduga bekas dermatofitosis. Selanjutnya sampel diperiksa dengan


menggunakan mikroskop pada perbesaran 400 X. Sampel yang akan diperiksa
sebelumnya diteteskan dengan KOH 10%. KOH 10% berfungsi untuk melisiskan
jaringan-jaringan yang ada pada sampel, sehingga diharapkan kapang dapat
terlihat di bawah mikroskop.
Hasil pengamatan yang didapatkan menunjukkan bahwa sampel yang
diperiksa merupakan dermatofitosis. Hal ini dibuktikan dengan adanya
makrokonidia pada sampel yang diperiksa. Namun hasil yang didapatkan ini
belum bisa digunakan untuk memastikan jenis kapang yang ada. Untuk itu
pemeriksaan lanjutan diperlukan.
Pemeriksaan dilanjutkan dengan melakukan kultur pada media. Media yang
digunakan dalam praktikum ini adalah SDA (Sabouraud Dextrose Agar), yaitu
media umum yang digunakan untuk menumbuhkan kapang. Setelah itu
pengamatan dilakukan terhadap koloni yang tumbuh pada media. Koloni yang
tumbuh berwarna putih dengan kontaminan yang tumbuh menyebar hitam.
Berdasarkan koloni yang didapatkan, praktikan menduga bahwa kapang yang
didapatkan termasuk ke dalam genus adalah Trichophyton. Quinn et al. (2006)
menjelaskan bahwa umumnya kapang-kapang penyebab dermatofitosis memiliki
warna kecokelatan dengan warna putih di tengah.

Untuk memastikan lebih lanjut, koloni yang telah didapatkan diamati di


bawah mikroskop perbesaran 400X dengan pewarnaan LCB (lacthopenol
cotton blue) dan Slide Culture Riddle. Hasil pengamatan memperlihatkan
adanya makrokonidia yang memiliki ekor khas atau berbentuk kacang. Hal ini
semakin memperkuat bahwa kapang yang didapatkan adalah Trichophyton
verrucosum.
Trichophyton verrucosum merupakan dermatofit yang infeksius, karena
dermatofitosis adalah penyakit yang dapat menular dari sapi ke hewan lain
seperti kuda, domba, kelinci, kucing, tikus dan juga manusia. Spora T.
Verrucosum yang menginfeksi pada sapi, bertunas dan menyerang pangkal dari
rambut, serat-serat rambut, sehingga terjadi kerusakan rambut, dan akhirnya
terjadi kebotakan (alopecia). Pada lapisan permukaan kulit, terutama stratum
corneum, akan terjadi eksudat dan keluar merembas dari kulit yang rusak dan
bercampur dengan sisa-sisa dari kulit dan rambut membentuk lapisan kerak.
Lapisan kerak berwarna putih keabuan tampak menonjol disekitar kulit
(MICHAEL dan MARK, 2002). Peradangan yang diakibatkan oleh T.verrucosum
tampak ringan, kasar, bersisik, warna merah muda, tetapi tidak terdapat
penebalan kulit. Sebagai perbandingan, infeksi buatan dengan T.
Mentagrophytes tampak terjadi penebalan kulit, bersisik, bentuk bulat dan warna
merah tua. Untuk menguatkan terjadinya infeksi oleh isolat yang diuji, re-isolasi
harus dilakukan, yaitu dengan pengambilan sampel kerokan kulit dari hewan
yang diinfeksi buatan.
Pada Sabouraud Dextrose Agar, koloni akan tumbuh lambat, kecil, berbentuk
tombol, putih krem, dan pinggiran datar yang pertumbuhan menjorok kedalam.
Hifa yang luas dan tidak teratur mengandung terlalu banyak chlamydospores
terminal. Chlamydospores sering dalam rantai. Ujung hifa yang luas dan kadangkadang dibagi, yang disebut "tanduk", ketika ditanam pada thiamine-enriched

media, strain menghasilkan clavate untuk pyriform mikrokonidia sepanjang hifa.


Makrokonidia hanya jarang diproduksi, tetapi jika hadir akan memiliki ekor khas
atau berbentuk kacang.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
Al-doory Y. 1980. Laboratory Medical Mycology. Lea & Febiger, Philadelphia.
Budi mulja U. 1987. Mikosis. Dalam ilmu penyakit kulit dan kelamin, Jakarta: FK
UI.
Budimulja U. 2007. Morfologi dan Cara Membuat Diagnosis.Dalam Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKUI.
Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. 2010. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi ke6. Jakarta: Departemen Ilmu Kedokteran Kulit dan Kelamin FK UI.
Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. 2007. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz,
Melnick, & Adelberg, Ed.23, Translation of Jawetz, Melnick, and Adelbergs
Medical Microbiology, 23thEd. Alih bahasa oleh Hartanto H, et al. Jakarta: EGC.
Jungerman PF, Schwartzman RM. 1972. Veterinary Medical Mycology. Lea &
Febiger, Philadelphia.
Koksal F, Er E, Samasti M. 2009. Causative Agents of Superficial Mycoses in
Istanbul. Turkey: Mycopathologia. 168(3):117-23.
Madani A, Fattah., 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Penerbit Hipokrates.

MICHAEL,S. and MARK,W. 2002. Ringworm Vaccine. United States Patent 6428789.
http://www. freepatentsonline.com/6428789.html (2 Mei 2016).
Price SA, Wilson LM. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
6th ed. Jakarta: EGC.
Siregar RS, 2004. Penyakit Jamur Kulit, editor, Huriawati Hartanto. Ed.2. Jakarta:
EGC.

Verma,S., Heffernan, M.P., 2008. Superfisial Fungal Infection: Dermatophytosis,


Onychomycosis, Tinea Nigra, Piedra. Dalam: Wolff, K. (eds). Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. Vol.II. Ed.7. United States: Mcgraw-Hill,18071821

Anda mungkin juga menyukai