Anda di halaman 1dari 17

Mikosis pada Manusia

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas Matakuliah Mikologi
yang dibina oleh Ibu Prof. Dr. Dra. Utami Sri Hastuti, M.Pd.

Oleh :
Kelompok 3
Offering B
Ananda Iza Mahendra (120341421955)
Putri Islamingtyas (120341421991)
Siti Nur Arifah (120341400022)
Whi Whan Wenda (120341421977)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
Maret 2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jamur adalah nama yang diberikan kepada sekelompok besar eukariota
termasuk organisme mikroskopis seperti ragi dan kapang ke kompleks, jamur
multiseluler. Ada ribuan spesies yang berbeda dengan karakteristik yang berbeda
yang berada di kelas ini. Salah satu cirinya yaitu terdiri dari dinding sel yang kaku
dan juga memiliki membran inti terikat. Organisme ini tidak dapat melakukan
fotosintesis karena tidak memiliki klorofil. Meskipun banyak jenis jamur yang
bermanfaat, ada spesies tertentu yang dapat menyebabkan beberapa penyakit pada
manusia.
Penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur disebut sebagai mikosis. Mikosis
cukup banyak diderita penduduk negara tropis dan dapat menyerang semua golongan
umur. Indonesia merupakan salah satu negara beriklim tropis yang memiliki suhu dan
kelembaban tinggi, merupakan suasana yang baik bagi pertumbuhan jamur, sehingga
jamur dapat ditemukan hampir di semua tempat. Penyakit ini kemudian
diklasifikasikan ke dalam kelompok yang berbeda tergantung pada sifat dari jaringan
yang terlibat dan cara masuk ke dalam host. Berdasarkan latar belakang tersebut,
penulis mengangkat judul makalah ini dengan “Mikosis pada Manusia”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah makalah
yaitu sebagai berikut.
1. Bagaimanakah patofisiologis dermatofitosis pada manusia?
2. Bagaimanakah patofisiologis kandidiasis pada manusia?
3. Bagaimanakah patofisiologis mikosis subkutan pada manusia?
4. Bagaimanakah patofisiologis mikosis sistemik pada manusia?
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui patofisiologis dermatofitosis pada manusia
2. Untuk mengetahui patofisiologis kandidiasis pada manusia
3. Untuk mengetahui patofisiologis mikosis subkutan pada manusia
4. Untuk mengetahui patofisiologis mikosis sistemik pada manusia
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dermatofitosis
Dermatofitosis adalah salah satu kelompok dermatomikosis superfisialis
yang disebabkan oleh jamur dermatofit, terjadi sebagai reaksi pejamu terhadap
produk metabolit jamur dan akibat invasi oleh suatu organisme pada jaringan
hidup. Dermatofitosis adalah penyakit jamur pada jaringan yang menjadi zat
tanduk, seperti kuku, rambut, dan sratum korneum pada epidermis yang
disebabkan oleh jamur dermatofita (Marwali, 2000). Dermatofitosis (Tinea)
adalah infeksi jamur dermatofit (spesies Microsporum, Trichophyton, dan
Epidermophyton) yang menyerang epidermis bagian superfisial (stratum
korneum), kuku dan rambut. Microsporum menyerang rambut dan kulit.
Trichophyton menyerang rambut, kulit dan kuku. Epidermophyton menyerang
kulit dan jarang kuku. Menurut Emmons, 1994 (dalam Djuanda, 2005)
dermatofita penyebab dermatofitosis. Golongan jamur ini bersifat mencernakan
keratin, dermatifita termasuk kelas fungi imperfecti. Gambaran klinik jamur
dermatofita menyebabkan beberapa bentuk klinik yang khas, satu jenis
dermatofita menghasilkan klinis yang berbeda tergantung lokasi anatominya.
Berikut ini merupakan bentuk-bentuk gejala klinis dermatofitosis.
1. Tinea Kapitis
Tinea kapitis adalah kelainan kulit pada daerah kepala rambut yang
disebabkan jamur golongan dermatofita. Penyakit ini disebabkan oleh spesies
dermatofita Trichophyton dan Microsporum. Gambaran klinik keluhan penderita
berupa bercak pada kepala, gatal sering disertai rambut rontok ditempat lesi.
Diagnosis ditegakkan berdasar gambaran klinis, pemeriksaan lampu wood dan
pemeriksaan mikroskopis dengan KOH, pada pemeriksaan mikroskopis terlihat
spora di luar rambut atau di dalam rambut. Pengobatan pada anak peroral
griseofulvin 10-25 mg/kg BB perhari, pada dewasa 500 mg/hr selama 6 minggu.
2. Tinea Favosa
Tinea favosa adalah infeksi jamur kronis terutama oleh Trychophiton
schoen lini, Trychophithon violaceum, dan Microsporum gypseum. Penyakit ini
mirip tinea kapitis yang ditandai oleh skutula warna kekuningan bau seperti tikus
pada kulit kepala, lesi menjadi sikatrik alopecia permanen. Gambaran klinik mulai
dari gambaran ringan berupa kemerahan pada kulit kepala dan terkenanya folikel
rambut tanpa kerontokan hingga skutula dan kerontokan rambut serta lesi menjadi
lebih merah dan luas kemudian terjadi kerontokan lebih luas, kulit mengalami
atropi sembuh dengan jaringan parut permanen. Diagnosis dengan pemeriksaan
mikroskopis langsung, prinsip pengobatan tinea favosa sama dengan pengobatan
tinea kapitis, hygiene harus dijaga.
3. Tinea Korporis
Tinea korporis adalah infeksi jamur dermatofita pada kulit halus (globurus
skin) di daerah muka, badan, lengan dan glutea. Penyebab tersering adalah T.
rubrum dan T. mentagrophytes. Gambaran klinik biasanya berupa lesi terdiri atas
bermacam-macam efloresensi kulit, berbatas tegas dengan konfigurasi anular,
arsinar, atau polisiklik, bagian tepi lebih aktif dengan tanda peradangan yang lebih
jelas. Daerah sentral biasanya menipis dan terjadi penyembuhan, sementara tepi
lesi meluas sampai ke perifer. Kadang bagian tengahnya tidak menyembuh, tetapi
tetap meninggi dan tertutup skuama sehingga menjadi bercak yang besar.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan lokalisasinya serta
kerokan kulit dengan mikroskop langsung dengan larutan KOH 10-20% untuk
melihat hifa atau spora jamur. Pengobatan sistemik berupa griseofulvin 500 mg
sehari selama 3-4 minggu, itrakenazol 100mg sehari selama 2 minggu, obat
topikal salep whitfield.
4. Tinea Imbrikata
Tinea imbrikata adalah penyakit yang disebabkan jamur dermatofita
misalnya T. concentricum, yang memberikan gambaran khas berupa lesi bersisik
yang melingkar dan gatal. Gambaran klinik dapat menyerang seluruh permukaan
kulit halus, sehingga sering digolongkan dalam tinea korporis. Lesi bermula
sebagai makula eritematosa yang gatal, kemudian timbul skuama agak tebal
terletak konsensif dengan susunan seperti genting, lesi tambah melebar tanpa
meninggalkan penyembuhan dibagian tangahnya. Diagnosis berdasar gambaran
klinis yang khas berupa lesi konsentris. Pengobatan sistemik griseofulvin 500 mg
sehari selama 4 minggu, sering kambuh setelah pengobatan sehingga memerlukan
pengobatan ulang yang lebih lama, ketokonazol 200 mg sehari, obat topikal tidak
begitu efektif karena daerah yang terserang luas.
5. Tinea Kruris
Tinea kruris adalah penyakit jamur dermatifita di daerah lipat paha,
genitalia dan sekitar anus, yang dapat meluas kebokong dan perut bagian bawah.
Penyebab penyakit ini yaitu E. floccosum, kadang-kadang disebabkan oleh T.
rubrum. Gambaran klinik lesi simetris di lipat paha kanan dan kiri mula-mula lesi
berupa bercak eritematosa, gatal lama kelamaan meluas sehingga dapat meliputi
scrotum, pubis ditutupi skuama, kadang-kadang disertai banyak vesikel kecil.
Diagnosis berdasar gambaran klinis yang khas dan ditemukan elemen jamur pada
pemeriksaan kerokan kulit dengan mikroskopis langsung memakai larutan KOH
10-20%. Pengobatan sistemik griseofulvin 500 mg sehari selama 3-4 minggu,
ketokonazol, obat topikal salp whitefield, tolsiklat, haloprogin, siklopiroksolamin,
derivat azol dan naftifin HCL.
6. Tinea Manus et Pedis
Tinea manus et pedis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi
jamur dermatofita di daerah kilit telapak tangan dan kaki, punggung tangan dan
kaki, jari-jari tangan dan kaki serta daerah interdigital. Penyebab tersering T.
rubrum, T. mentagrophytes, E. floccosum. Gambaran klinik ada 3 bentuk klinis
yang sering dijumpai yaitu:
a. Bentuk intertriginosa berupa maserasi, deskuamasi, dan erosi pada sela jari
tampak warna keputihan basah terjadi fisura terasa nyeri bila disentuh, lesi
dapat meluas sampai ke kuku dan kulit jari. Pada kaki lesi sering mulai dari
sela jari III, IV dan V.
b. Bentuk vesikular akut ditandai terbentuknya vesikula dan bila terletak agak
dalam di bawah kulit sangat gatal, lokasi yang yang sering adalah telapak kaki
bagian tengah melebar serta vesikulanya memecah.
c. Bentuk moccasin foot pada bentuk ini seluruh kaki dan telapak tepi sampai
punggung kaki terlihat kulit menebal dan berskuama, eritema biasanya ringan
terutama terlihat pada bagian tepi lesi. Diagnosis ditegakkan berdasar
gambaran klinik dan pemeriksaan kerokan kulit dengan larutan KOH 10-20%
yang menunjukkan elemen jamur. Pengobatan cukup topikal saja dengan obat
anti jamur untuk interdigital dan vesikular selama 4-6 minggu.
7. Tinea Unguium
Tinea unguium adalah kelainan kuku yang disebabkan infeksi jamur
dermatofita. Penyebab tersering yaitu T. mentagrophytes dan T. rubrum.
Gambaran klinik biasanya menyertai tinea pedis atau manus penderita berupa
kuku menjadi rusak warna menjadi suram tergantung penyebabnya, distroksi kuku
mulai dari dista, lateral, ataupun keseluruhan. Diagnosis ditegakkan berdasar
gejala klinis pada pemeriksaan kerokan kuku dengan KOH 10-20 % atau biakan
untuk menemukan elemen jamur. Pengobatan infeksi kuku memerlukan
ketekunan, pengertian kerjasama dan kepercayaan penderita dengan dokter karena
pengobatan sulit dan lama. Pemberian griseofulvin 500 mg sehari selama 3-4
bulan untuk jari tangan untuk jari kaki 9-12 bulan. Obat topical dapat diberikan
dalam bentuk losion atau crim.
Pembagian dermatofitosis berdasarkan lokasi infeksi atau ciri tertentu tercantum
dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Klasifikasi Dermatofitosis Berdasarkan Lokasi atau Ciri Tertentu dan Jamur
Penyebab
Nama Penyakit Lokasi infeksi atau ciri tertentu Jamur penyebab
Tinea kapitis Kulit dan rambut kepala Microsporum (beberapa spesies)
Trichophyton (beberapa speseies
kecuali T. consentricum)
Tinea favosa Secara klinis berbentuk skutula dan T. schoenleinii
berbau seperti tikus (mousy odor) T. violaceum (jarang)
M. gypseum (jarang)
Tinea barbae Dagu dan jenggot T. mentagrophytes, T. rubrum, T.
violaceum, T. verrucossum, T.
megininii, M. canis
Tinea korporis Pada permukaan kulit yang tidak T. rubrum, T. mentagrophytes, M.
berambut kecuali telapak tangan, audouinii, M. canis
telapak kaki, dan bokong
Tinea imbrikata Susunan skuama yang konsentris T. concentricum
Tinea kruris Bokong, genitalia, area pubis, perineal, E. floccosum, T. rubrum,T.
dan perianal mentagrophytes
Tinea pedis Kaki T. rubrum, T. mentagrophytes, E.
floccosum
Tinea manuum Tangan T. rubrum, E. floccosum, T.
mentagrophytes
Tinea unguium kuku jari tangan dan jari kaki T. rubrum, T. mentagro
Sumber: Siregar (2004)
B. Kandidiasis
Kandidiasis merupakan infeksi yang paling sering di antara seluruh infeksi
jamur, sebagian besar bersifat superfisial yang melibatkan kulit atau membran
mukosa. Pada umumnya infeksi jamur disebabkan oleh Candida albicans yang
hidup normal di dalam tubuh. Spesies ini dapat dideteksi kisaran 40-65% dalam
tinja manusia, 45%-65% anak yang sehat, dan 30%-45% orang dewasa sehat.
Meskipun merupakan flora normal tetapi pada keadaan tertentu candida dapat
menginfeksi tubuh (Oswari, 1995). Beratnya keterlibatan mukokutan bergantung
pada tingkat kekebalan tubuh dari pasien, Seperti pada infeksi sistemik dari
Candida biasanya terjadi pada pasien dengan kekebalan tubuh sangat lemah
dengan infeksi melalui jalur akses vena. Spesies yang kurang patogenik seperti
Candida tropicalis, Candida glabrata, atau Candida porapsilosis juga dapat
menyebabkan penyakit pada pasien dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah
(Thompson GR et al., 2010).

Gambar 2.2 Candida albicans


(sumber: Tortora, 2002)

Candida albicans merupakan jamur dimorfik karena kemampuannya


untuk tumbuh dalam dua bentuk yang berbeda yaitu sebagai sel tunas yang akan
berkembang menjadi blastospora dan menghasilkan kecambah yang akan
membentuk hifa semu. Perbedaan bentuk ini tergantung pada faktor eksternal
yang mempengaruhinya. Sel ragi (blastospora) berbentuk bulat, lonjong atau bulat
lonjong dengan ukuran 2-5 μ x 3-6 μ hingga 2-5,5 μ x 5-28 μ .
C. albicans memperbanyak diri dengan membentuk tunas yang akan terus
memanjang membentuk hifa semu. Hifa semu terbentuk dengan banyak kelompok
blastospora berbentuk bulat atau lonjong di sekitar septum. Pada beberapa strain,
blastospora berukuran besar, berbentuk bulat atau seperti botol, dalam jumlah
sedikit.
C. albicans dapat tumbuh pada variasi pH yang luas, tetapi
pertumbuhannya akan lebih baik pada pH antara 4,5-6,5. Jamur ini dapat tumbuh
dalam perbenihan pada suhu 28oC – 37oC. C. albicans membutuhkan senyawa
organik sebagai sumber karbon dan sumber energi untuk pertumbuhan dan proses
metabolismenya. Unsur karbon ini dapat diperoleh dari karbohidrat. Jamur ini
merupakan organisme anaerob fakultatif yang mampu melakukan metabolisme
sel, baik dalam suasana anaerob maupun aerob. Proses peragian (fermentasi) pada
C. albicans dilakukan dalam suasana aerob dan anaerob. Karbohidrat yang
tersedia dalam larutan dapat dimanfaatkan untuk melakukan metabolisme sel
dengan cara mengubah karbohidrat menjadi CO2 dan H2O dalam suasana aerob.
Sedangkan dalam suasana anaerob hasil fermentasi berupa asam laktat atau etanol
dan CO2. Proses akhir fermentasi anaerob menghasilkan persediaan bahan bakar
yang diperlukan untuk proses oksidasi dan pernafasan. Pada proses asimilasi,
karbohidrat dipakai oleh C. albicans sebagai sumber karbon maupun sumber
energi untuk melakukan pertumbuhan sel.
Kandidiasis diklasifikasikan menjadi beberapa penyakit, antara lain:
1. Kandidiasis Oro Faring, Kandidiasis mulut dan tenggorokan, juga dikenal
sebagai thrush atau kandidiasis orofaring, adalah infeksi jamur yang terjadi
ketika ada pertumbuhan berlebih dari jamur yang disebut Candida pada mulut
dan tenggorokan. Gejalanya adalah adanya thrus di mulut, langit-langit mulut
dan lidah disertai rasa sakit dan kesulitan saat menelan.
2. KandidiasisVulvaVagina, suatu keadaan dimana terjadi pertumbuhan
berlebihan dari jamur yang disebut Candida pada kelamin dan daerah
disekitarnya. Gejalanya adalah mengalami keluhan gatal kelamin atau
terbakar, dengan atau tanpa ditemukanya cairan abnormal yang menggumpal
seperti keju.
3. Kandidiasis Invasif , kandidiasis invasif adalah infeksi jamur yang terjadi
ketika spesies Candida masuk ke dalam darah, menyebabkan infeksi aliran
darah dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Salah satu bentuk kandidiasis
invasif adalah kandidemia (infeksi aliran darah Candida). Gejalanya adalah
Demam dan menggigil yang tidak membaik setelah terapi antibiotik.
4. Balanoposhitis, Infeksi Candida yang menyerang pada pria yang
menyebabkan peradangan pada gland penis. Pria dengan kandidiasis genital
mungkin mengalami peradangan pada gland penis disertai gatal-gatal dan
sakit pada saat berkemih.
Pada manusia, C. albicans sering ditemukan di dalam mulut, feses, kulit
dan di bawah kuku orang sehat. C. albicans dapat membentuk blastospora dan
hifa, baik dalam biakan maupun dalam tubuh. Bentuk jamur di dalam tubuh
dianggap dapat dihubungkan dengan sifat jamur, yaitu sebagai saprofit tanpa
menyebabkan kelainan atau sebagai parasit patogen yang menyebabkan kelainan
dalam jaringan. Penyelidikan lebih lanjut membuktikan bahwa sifat patogenitas
tidak berhubungan dengan ditemukannya C. albicans dalam bentuk blastospora
atau hifa di dalam jaringan. Terjadinya kedua bentuk tersebut dipengaruhi oleh
tersedianya nutrisi, yang dapat ditunjukkan pada suatu percobaan di luar tubuh.
Pada keadaan yang menghambat pembentukan tunas dengan bebas, tetapi yang
masih memungkinkan jamur tumbuh, maka dibentuk hifa. Kandidiasis di
permukaan alat dalam biasanya hanya mengandung blastospora dalam jumlah
besar, pada stadium lanjut tampak hifa. Hal ini dapat dipergunakan untuk menilai
hasil pemeriksaan bahan klinik, misalnya dahak, urin untuk menunjukkan stadium
penyakit. Kelainan jaringan yang disebabkan oleh C. albicans dapat berupa
peradangan, abses kecil atau granuloma (Calderone, 2002). Pada kandidiasis
sistemik, alat dalam yang terbanyak terkena adalah ginjal, yang dapat hanya
mengenai korteks atau korteks dan medula dengan terbentuknya abses kecil-kecil
berwarna keputihan.
Alat dalam lainnya yang juga dapat terkena adalah hati, paru-paru, limpa
dan kelenjar gondok. Mata dan otak sangat jarang terinfeksi. Kandidosis jantung
berupa proliferasi pada katup-katup atau granuloma pada dinding pembuluh darah
koroner atau miokardium. Pada saluran pencernaan tampak nekrosis atau ulkus
yang kadang-kadang sangat kecil sehingga sering tidak terlihat pada pemeriksaan.
Manifestasi klinik infeksi C. albicans bervariasi tergantung dari organ yang
diinfeksinya. Pada wanita, C. albicans sering menimbulkan vaginitis dengan
gejala utama fluor albus yang sering disertai rasa gatal. Infeksi ini terjadi akibat
tercemar setelah defekasi, tercemar dari kuku atau air yang digunakan untuk
membersihkan diri; sebaliknya vaginitis Candida dapat menjadi sumber infeksi di
kuku, kulit di sekitar vulva dan bagian lain (Crowley, 2001)

C. Mikosis Subkutan
Mikosis subkutan adalah infeksi oleh jamur yang mengenai kulit,
mengenai lapisan bawah kulit meliputi otot dan jaringan konektif (jaringan
subkutis) dan tulang. Penyakit ini dapat terjadi karena jamur masuk melalui luka
pada kulit misalnya dengan tusukan duri, ranting atau kayu lapuk. Selain itu,
mikosis subkutan dapat terjadi karena penyebaran dari penyakit jamur pada
permukaan kulit atau organ dalam lainnya. Mikosis subkutan yang akan dibahas
yaitu mycetoma, kromoblastosis, dan sporotrichosis.
1. Mycetoma (madura foot)
Misetoma adalah kelainan yang disebabkan oleh infeksi jamur pada
jaringan di bawah kulit (subkutan) sehingga menimbulkan pembengkakan,
kelainan bentuk (deformitas), abses dan fistel pada alat yang terkena. Penyakit ini
umumnya terjadi di daerah tropis, termasuk Indonesia, Afrika Utara terutama
Sudan, Asia Selatan, di Amerika dan subtropis seperti Meksiko. Misetoma
pertama kali ditemukan oleh Van Dyke Carter di India pada tahun 1842.
Organisme yang menyebabkan penyakit ini terdapat dalam tanah dan pada
tumbuhan. Oleh karena itu, orang yang tidak menggunakan alas kaki mempunyai
kemungkinan yang besar untuk terkena misetoma. Pembersihan luka yang tepat
dan pemekaian alas kaki merupakan upaya pengendalian dari penyakit ini.
Misetoma banyak ditemukan pada petani atau pekerja perkebunan yang sering
mendapat luka tusuk oleh duri atau ranting (Alam et al., 2009).
Berdasarkan penyebabnya, misetoma dibedakan menjadi 2 yaitu
actinomycetoma dan eumycetoma. Actinomycetoma disebabkan oleh sekelompok
bakteri berfilamen, misalnya Streptomyces madurae. Eumycetoma disebabkan
oleh jamur Allescheria boydii, Madurella griesia dan Madurella mycetomi.
Penyembuhan dari kedua penyakit ini berbeda sehingga perlu diagnosis yang
tepat.
Hifa jamur membentuk gumpalan yang disebut butir-butir jamur atau
“granula”, berwarna putih, kekuningan, tenggguli hitam atau warna lainnya
tergantung spesies jamurnya. Granula ini terdiri atas hifa halus dengan lebar < 1
mikron (actinomycetoma) atau hifa kasar dengan lebar > 1 mikron (eumycetoma).
Gejala klinis mycetoma ditandai dengan pembengkakan seperti tumor dan
adanya sinus yang bernanah. Jamur terlihat sebagai granula padat dalam nanah.
Jamur masuk ke dalam jaringan subkutan melalui trauma, terbentuk abses yang
dapat meluas sampai otot dan tulang. Bila sudah terbentuk abses, sewaktu-waktu
kumpulan nanah ini bisa pecah dan membentuk fistula. Fistula ini dapat
mengeluarkan butir-butir berwarna putih, kuning kemerahan, atau hitam yang
bercampur nanah. Warnanya tergantung pada jamur penyebabnya. Butiran
tersebut merupakan koloni jamur.
Actinomycetoma dapat disembuhkan dengan antibiotik yang tepat
sementara eumycetoma dapat diobati dengan pembedahan atau amputasi bagian
tubuh yang terinfeksi. Namun ada sebagian kasus yang responsif terhadap
antijamur dengan pemberian streptomisin, trimetropin-sulfametoksazol, dapson,
dan itraconazole atau amfoterisin B pada fase dini sebelum terjadi demorfitas. Jika
tidak diobati maka lesi akan menetap dan meluas ke dalam dan ke perifer
sehingga berakibat pada derormitas. Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu
dengan memakai sepatu pada saat beraktifitas di lingkungan terbuka (lapangan
tanah, sawah, kebun dll.).
2. Kromoblastosis
Kromoblastosis atau dengan nama lain kromomikosis merupakan infeksi
jamur kronik pada kulit dan jaringan subkutan yang disebabkan jamur berpigmen
yang menginvasi ke dalam dermis yang berasal dari lingkungan. Jamur berpigmen
yang dapat menyebabkan kromomikosis antara lain Fonsecaea pedrosoi,
Fonsecaea compacta, Phialophora verrucosa, Cladosporium carrionii (Melinda,
2011).
Jamur penyebab kromoblastosis terdapat di tanah, kayu dan tumbuhan
yang busuk. Infeksi terjadi karena spora masuk melalui luka atau lesi pada kulit.
Lesi awal dari infeksi biasanya ditemukan pada kaki, lutut, tangan dan tungkai
atas. Gambaran klinik bervariasi, lesi awal berupa papul yang menyebar secara
lambat selama beberapa bulan sampai tahun. Kemudian lesi ini akan membentuk
suatu plak dengan bagian tengah yang atropi. Bentuk yang agak sering berupa
verrucous menyebar secara lambat dan lokal. Penyebaran melalui pembuluh limfe
dan secara hematogen ke seluruh organ dan menjadi sistemik.
Infeksi jamur ini ditemukan di Amerika Selatan dan Amerika Tengah
sedikit jarang di Amerika utara. Selain itu juga ditemukan di Afrika, Australia,
dan Jepang. Infeksi ini sering terjadi terutama pada pekerja laki-laki di pedesaan.
Penyakit ini tidak fatal tetapi bila sudah meluas secara sistemik maka
pengobatan menjadi sulit dan sukar disembuhkan. Habitat jamur ini adalah di
daerah tropis dan subtropis. Jamur penyebab kromoblastosis terdapat di dalam
tumbuhan atau tanah, di alam berada dalam keadaan saprofit. Jamur tersebut
termasuk golongan Dematiaceae, berwarna gelap (hijau abu-abu, hijau kehitaman,
coklat atau coklat kehitaman) dan membentuk koloni filamen. Setiap spesies
membentuk sporulasi yang berbeda.
Gejala klinis kromoblastosis yaitu terbentuknya nodul verrucous atau
plaque pada jaringan subkutan. Jamur masuk melalui trauma ke dalam kulit
biasanya pada tungkai atau kaki, terbentuk pertumbuhan mirip kutil tersebar di
aliran getah bening.
Pengobatan yang dapat dilakukan yaitu pembedahan pada kasus lesi yang
kecil, sedangkan untuk lesi yang lebih besar dilakukan kemoterapi dengan
flusitosin atau itrakonazol. Pencegahan yang dapat dilakukan dengan memakai
sepatu pada saat beraktifitas di lingkungan terbuka (lapangan tanah, sawah, kebun
dll.).
3. Sporotrichosis
Sporotrichosis pertama kali dilaporkan oleh Schenck pada tahun 1898.
Sporotrichosis merupakan penyakit akibat infeksi Sporothrix schenckii, yang
merupakan jamur yang hidup pada tumbuhan atau kayu. Konidia atau fragmen
hifa Sporothrix schenckii masuk melalui kulit, kemudian menyebar melalui aliran
getah bening. Misalnya kasus yang disebabkan oleh kontak dengan lumut
sfagnum, duri mawar, kayu busuk, jerami cemara, rumput dari padang rumput dan
tumbuhan lain. Penyakit ini ditemukan di seluruh dunia termasuk Indonesia, kasus
terbanyak di Afrika Selatan pada pekerja tambang emas. Namun paling sering
terjadi pada pekerja pertanian dan sporotrikosis dianggap sebagai risiko pekerjaan
untuk penjaga hutan dan ahli holtikultura (Mahajan, 2014).
Gejala klinis sporotrichosis yaitu lesi awal biasanya terjadi di ekstremitas,
terbentuk abses atau tukak pada bagian yang terinfeksi, getah bening menjadi
tebal, hampir tidak dijumpai rasa sakit, terkadang penyebaran infeksi terjadi juga
pada persendian dan paru. Akibat secara histologi adalah terjadinya peradangan
menahun, dan nekrosis.
Pengobatan sporotrichosis pada beberapa kasus, infeksi dapat sembuh
dengan sendirinya walaupun menahun, meskipun demikian dapat juga diberikan
kalium iodida dalam susu secara oral selama beberapa minggu. Itrakonazol oral
dan azol merupakan pengobatan pilihan. Jika sudah sistemik, diberikan
amfoterisin B. Pencegahan yang dapat dilakukan berupa tindakan untuk
meminimalkan inokulasi yang tidak disengaja dan penggunaan fungisida untuk
menangani kayu.

D. Mikosis Sistemik
Mikosis sistemik adalah infeksi jamur yang mengenai organ internal dan
jaringan sebelah dalam. Seringkali tempat infeksi awal yaitu paru-paru, kemudian
menyebar melalui darah. Setiap jamur cenderung menyerang organ tertentu.
Semua jamur bersifat dimorfik, artinya mempunyai daya adaptasi morfologik
yang unik terhadap pertumbuhan dalam jaringan atau pertumbuhan pada suhu
37oC. Mikosis subkutan akut kerap kali juga berdampak pada terjadinya mikosis
sistemik melalui terjadinya infeksi sekunder. Penyakit yang termasuk mikosis
sistemik yaitu Parakoksidi mikosis, Kokodiodo mikosis, Hitoplasmosis dan
Blastomikosis.
Gejala dan Patogenesis
Kasusnya bervariasi dari ringan hingga berat, infeksi dapat terjadi melalui
inhalasi, pada kasus ringan biasanya dapat sembuh dengan sendirinya. Berbagai
gejala umum akibat mikosis ini tidak dapat dibedakan dengan infeksi pernafasan
bawah akut lain (demam, batuk, berkeringat malam) kompleks gejala tersebut
dikenal sebagai demam valley atau desert rheumatism. Jika terjadi penyebaran
maka dapat mengakibatkan timbulnya luka pada kulit di permukaan terbuka
(leher,muka, lengan dan kaki).
1. Histoplasmosis
Jamur penyebab histoplasmosis yaitu Histoplasma capsulatum yang hidup
pada tanah dengan kandungan nitrogen tinggi (tanah yang terkontaminasi dengan
kotoran unggas atau ternak). Infeksi terjadi melalui proses pernapasan. Konidia
yang terhirup diliputi oleh makrofag areolar akhir-nya berkembang menjadi sel-
sel bertunas. Meskipun infeksi dapat menyebar secara cepat namun 99% infeksi
bersifat asimtomatik. Gejala yang timbul berupa sindroma flu yang dapat sembuh
dengan sendirinya. Pada kasus penderita dengan defisiensi imun, hipoplasmosis
dapat berakibat pada terjadinya pembengkakan limpa dan hati, demam tinggi,
anemia. Selain itu, juga dapat terjadi tukak-tukak pada hidung, mulut lidah, dan
usus halus. Secara umum pengobatan untuk menangani penyakit ini dengan
mengkonsumsi obat amphotericin B.

Gambar 2.1. Bentuk Histoplasma capsulatum

(a) (b)
Gambar 2.2 (a). Sumberspora histoplasma bisa berasal dari kotoran ayam atau kelelawar.
(b). Proses masuknya spora hingga sampai pada organ dalam.
2. Kriptokokkosis
Kriptokokkosis adalah penyakit infeksi jamur yang disebabkan oleh
spesies jamur Cryptococcus neoformans. Penyakit ini menyerang individu dengan
status imun yang imuno kompromise. Jamur ini pertama kali diisolasi dari suatu
lesi kulit oleh Busse, seorang patolog Jerman pada tahun 1894. Kriptokokkosis
tersebar di seluruh dunia dengan insiden bervariasi pada setiap negara, dan dapat
mengenai semua ras dan jenis kelamin. Kriptokokkosis merupakan mikosis
sistemik terbanyak yang ditemukan pada pasien Aqcuired Immuno Defisiency
Syndrome (AIDS). Dengan meningkatnya pandemi AIDS di berbagai negara,
insiden kriptokokkosis juga meningkat.
Lesi kulit dapat berupa papula, pustula, nodul, plakat, abses atau ulkus.
papul ini seringkali keras, berbentuk kubah dan menyerupai moluskum
kontangiosum (54%), sedangkan tampilan plakat dapat ,menyerupai gambaran
selulitis, thrombophlebitis atau abses subkutan. Lesi kulit dapat terjadi beberapa
minggu atau beberapa bulan. Lokasi paling banyak pada kepala, leher, dan wajah.
Agen penyebab infeksi ini dapat ditemui dalam jumlah banyak pada
kotoran burung, namun juga bisa ditemui pada tanah, dan pada kulit manusia
normal 5,9 Spora jamur berbentuk sferis dan bereproduksi melalui tunas.
Organisme ini dapat berubah jadi bentuk miselium. Jamur memasuki tubuh
melalui inhalasi dan pertama kali menginfeksi paru, infeksi pada paru bersifat
asimptomatik dan hampir pada semua kasus akan sembuh tanpa meninggalkan
sequele. Infeksi dapat mengenai berbagai organ, penyakit diketahui biasanya
melalui gejala dan tanda yang ditimbulkan akibat penyebaran ke sistem saraf atau
penyebaran ke mukokutan. Terapi pasien kriptokokkosis dengan AIDS adalah
dengan pemberian amfoterisin B intravena dan Flukonazol.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Dermatofitosis adalah infeksi jamur dermatofit (spesies Microsporum,
Trichophyton, dan Epidermophyton) yang menyerang epidermis bagian
superfisial (stratum korneum), kuku dan rambut. Bentuk-bentuk gejala klinis
dermatofitosis yaitu tinea kapitis, tinea favosa, tinea unguium, tinea manuum,
tinea pedis, tinea kruris, tinea imbrikata, tinea korporis, tinea barbae.
2. Kandidiasis merupakan infeksi yang bersifat superfisial yang melibatkan kulit
atau membran mukosa. Pada umumnya infeksi jamur disebabkan oleh
Candida albicans. Kandidiasis diklasifikasikan menjadi beberapa penyakit,
yaitu kandidiasis oro faring, kandidiasisvulvavagina, kandidiasis invasif, dan
balanoposhitis.
3. Mikosis subkutan adalah infeksi oleh jamur yang mengenai kulit, mengenai
lapisan bawah kulit meliputi otot dan jaringan konektif (jaringan subkutis) dan
tulang. Mikosis subkutan dibagi menjadi 3, yaitu mycetoma, kromoblastosis,
dan sporotrichosis.
4. Mikosis sistemik adalah infeksi jamur yang mengenai organ internal dan
jaringan sebelah dalam. Penyakit yang termasuk mikosis sistemik yaitu
parakoksidi mikosis, kokodiodo mikosis, hitoplasmosis dan blastomikosis.

B. Saran
Salah satu cara paling mudah yang dapat dilakukan untuk mencegah
mikosis yaitu dengan menjaga kebersihan dan segera membersihkan luka bila ada
bagian tubuh yang terluka. Selain itu, pencegahan yang dapat dilakukan yaitu
dengan memakai sepatu pada saat beraktifitas di lingkungan terbuka (lapangan
tanah, sawah, kebun dll.). Namun bila sudah terinfeksi mikosis, obat yang dapat
diberikan yaitu obat anti jamur.
DAFTAR RUJUKAN

Alam K., Maheshwari V., Bhargava S., Jain A., Fatima U., and Haq E.U. 2009.
Histological Diagnosis of Madura Foot (Mycetoma): A Must for
Definitive Treatment. Journal of Global Infectious Diseases. 1(1): 64–67.

Caldarone, R.A. 2002. Candida and Candidiasis. Washington DC: ASM Press.

Crowlet, L.V. 2001. An Introduction to Human Disease Pathology and


Pathophysiology Correlation. Mississauga: Jone and Barlett Publisher Inc.

Djuanda, A. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed.4. Jakarta: FKUI.

Hastuti, U.S. 2014. Penuntun Praktikum Mikologi. Malang: UMM Press.

Mahajan, V.K. 2014. Sporotrichosis: An Overview and Therapeutic Options.


Hindawi Publishing Corporation.

Marwali, H. 2000. Ilmu penyakit kulit: Acne vulgaris. Jakarta: Hipokrates.

Melinda, V. 2011. Kromomikosis. Palembang: UNSRI.

Oswari, E. 1995. Penyakit dan Penanggulangan, 146-147. Jakarta: Gramedia


Pustaka.

Siregar, R.S. 2004. Penyakit Jamur Kulit Edisi kedua. Jakarta: EGC.

Tofrizal. 2010.Kriptokokksis. FK: Universitas Andalas Padang.

Tortora, G.J. 2002. Microbiology An Introduction. San Francisco: Pearson


Education.

Anda mungkin juga menyukai