Anda di halaman 1dari 9

Makalah Hari/tanggal : Senin, 21 Oktober 2019

Penyakit Bakterial Mikal Nama Dosen : drh Agustin


Kelompok : 7 (Tujuh)

MAKALAH KELOMPOK
TRICHOPHYTON RUBRUM

Anggota kelompok:

1. Neka Putri Pratama B04160046


2. Harits Abdullah M B04160047
3. Desi Puspita Sari B04160049

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN KESEHATAN


MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
IPB UNIVERSITY
2019
A. PENGERTIAN

Cendawan atau jamur merupakan organisme yang bersifat heterotropik


atau tumbuhan berinti, memiliki spora dan tidak berklorofil serta mempunyai
benang-benang bercabang yang disebut hifa. Melalui dinding dari selulosa
ataupun kitin, jamur berkembangbiak secara aseksual (tidak kawin) maupun
secara seksual, Karena tidak memiliki klorofil, jamur mencari makanannya
dengan mengambil zat-zat yang sudah dihasilkan oleh organisme lain. Sifat inilah
yang membuat jamur tersebut digolongkan ledalam tumbuhan heterotrofik
(Djarijah dan djarijah 2001).

B. TAKSONOMI

Trichophyton sp. merupakan jamur yang termasuk ke dalam golongan


Deuteromycetesatau jamur tidak sempurna (fungi imperfect) karena selama
hidupnya hanya memiliki fase vegetative (aseksual) saja, yaitu melalui
pembentukan konidia. Fase generatifnya (fase seksual) tidak ditemukan (Zaias
dan Rebell 1996). Trichophyton dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Fungi
Filum : Ascomycota
Kelas : Eurotiomycetes
Ordo : Onygenales
Familia : Arthrodermataceae
Genus : Trichophyton
Spesies : Trichophyton rubrum

C. MORFOLOGI

Secara mikroskopis, jamur Trichophyton rubrum membentuk banyak


mikrokonidia kecil, berdinding tipis, dan berbentuk lonjong. Mikrokonidia
terletak pada konidiofora yang pendek yang tersusun satu persatu pada sisi hifa
(en thyrse) atau berkelompok (en grappe). Makrokonidia berbentuk seperti pensil
dan terdiri atas beberapa sel. Beberapa strain dari Trichophyton rubrum secara
mikroskopis dapat dibedakan berupa tipe halus dan tipe granuler. Tipe halus
dicirikan mikrokonidia clavate yang tipis dalam jumlah kecil hingga sedang dan
tidak memiliki makrokonidia. Sedangkan tipe granuler dicirikan adanya jumlah
sedang hingga banyak mikrokonia berbentuk clavate dan piriformis dan jumlah
sedang hingga banyak pada makrokonidia yang berbentuk seperti cerutu dan
berdinding tipis (Gandahusada dan Herry 2003).

Dimorfisme Trichophyton rubrum. Ada dua jenis T. rubrum yang biasa


ditemukan yaitu downy type dan granular type (Zhan et al. 2018).
 Downy type dapat digambarkan memiliki struktur ramping, clavate atau
club shape-microconidia dan tidak membuat macroconidia di bawah
mikroskop.
 Granular type dicirikan memiliki sejumlah besar clavate microconidia
(bagian tebal) ke pyriform (berbentuk buah pir) dan sedikit untuk moderat
macroconidia. Macroconidia biasanya absen, tapi begitu hadir, koloninya
halus, berdinding tipis multiseptate, ramping dan silindris, bacillus-shape.

Gambar 1. Penampakan T. rubrum dalam mikroskop (Zhan et al. 2018)

D. HABIBAT
Trichophyton rubrum merupakan jamur dermatofita. Dermatofita dibedakan
menjadi tiga menurut habitat primer, yaitu antropofilik, zoofilik, dan geofilik.
Trichophyton rubrum termasuk dalam kategori jamur antropofilik dan yang
tersering menyebabkan penyakit kronis (Chandra et.al 2006).

E. PENYAKIT YANG DISEBABKAN OLEH TRICHOPHYTON


Trycophyton merupakan kausa umum infeksi kulit dan rambut pada anjing,
kucing, kambing, dan beberapa hewan lainnya. Salah satu spesies dari genus
Trichophyton adalah Trichopython rubrum, cendawan ini termasuk spesies
antropofilik, biasanya mendiami tanah untuk mendekomposisi zat tanduk
(keratin). Kasus dermatofitosis oleh cendawan dapat dibedakan berdasarkan
lokasi infeksinya, yaitu :

a) Tinea Kapitis : dermatofitosis pada kulit kepala dan rambut kepala


b) Tinea Barbe/Sycosis : dermatofitosis pada leher, dagu dan jenggot
c) Tinea Kruris : dermatofitosis pada daerah genitokrural,sekitar anus, perineal,
dan kadang – kadang sampai perut bagian bawah
d) Tinea Pedis et Manum : dermatofitosis pada kaki dan tangan
e) Tinea Unguium : dermatofitosis pada jari tangan dan kaki
f) Tinea Korporis : dermatofitosis pada bagian lain yang tidak termasuk bentuk 5
diatas (Djuanda 2010).

Trichopyton rubrum diketahui dapat menyebabkan beberapa infeksi kulit


atau kuku dermatofitosis seperti: onychomicosis, tinea korporis, tinea sicosis,
tinea pedis, dan tinea kruris. Tinea kruris merupakan jenis dermatofitosis pada
area lipatan paha, daerah perineum, dan sekitar anus. Penyebab utama dari tinea
kruris diketahui sebagai berikut: Trichopyhton rubrum (90%) dan
Epidermophython fluccosum, Trichophyton mentagrophytes (4%), Trichophyton
tonsurans (6%) (Sobera & Elewski 2008) Kelainan ini dapat bersifat akut atau
menahun, bahkan pada beberapa kasus dapat menjadi penyakit yang berlangsung
seumur hidup (Djuanda et.al 2010).

Penyakit ini memiliki banyak nama lain seperti eczema marginatum,


epidermophytosis cruris, and jock itch. Tinea kruris merupakan penyakit
terbanyak yang ditemukan di daerah inguinal, yaitu sekitar 65-80% dari semua
kasus penyakit kulit di inguinal, sehingga beberapa kepustakaan menyatakan
inguinal intertrigo sebagai sinonim dari tinea kruris (Adiguna 2011). Seperti
kebanyakan cendawan pada umumnya, faktor predisposisi tinea kruris oleh T.
rubrum adalah kondisi kelembaban yang tinggi (sehingga sering ditemukan kasus
pada musim panas atau iklim hangat), usia tua (berkaitan dengan terbatasnya
mobilitas), serta kondisi immunosuppresi.

Onychomycosis merupakan contoh kedua yang diakibatkan oleh


dermatophyta T. rubrum. Kejadian onychomycosis merupakan kelainan pada
kuku akibat infeksi T. rubrum (salah satunya). Penyakit ini dapat mempengaruhi
satu kuku atau lebih, kejadian ini dapat hadir dalam satu atau beberapa pola yang
berbeda.

 Onikomikosis lateral : munculnya opaque putih atau kuning muncul di


satu sisi kuku.
 Hiperkeratosis subungual : Persisikan yang terjadi di bawah kuku.
 Distal onycholysis : bagian ujung kuku terangkat, tepian kuku crumble.
 Onikomikosis putih superfisial : bercak putih bersisik dan lubang muncul
di bagian atas kuku.
 Proal Onikomikosis : bintik kuning muncul lunula.
Gambar 2. Lesio pada kuku pada kasus onychomicosis (Oakley 2003).

F. PATOGENESA DAN GEJALA KLINIS

Patogenesa umum kejadian dermatofitosis oleh T. rubrum sebagai cendawan


keratinophilic dimulai dari kontak langsung atau pun secara tidak langsung
melalui tanah atau pun peralatan yang terkontaminasi. Setelah itu T. rubrum akan
menghasilkan dan mensekresi enzim proteolitik sebagai faktor penting virulensi.
Hal ini menunjukkan bahwa protease ini memiliki kemampuan untuk mencerna
keratins dalam jaringan seperti kuku dan lapisan kulit yang berkerut menjadi
peptida pendek dan asam amino untuk proses asimilasi T. rubrum dan sebagai
fasilitator untuk invasi ke jaringan keratin (Zhan et al. 2018). Karena T. rubrum
sangat sensitif terhadap kondisi pH lingkungan, sekresi protease tergantung pada
kandungan pH keratins dan akan optimal dalam kondisi asam. Selain itu, lebih
dari setengah dari urutan genom T. rubrum terdiri dari protease, sebagian besar
keratinases.

Trichophyton rubrum cenderung tumbuh pada lingkungan yang hangat,


serta iklim yang lembab. Penjalaran penyakit tinea kruris dimulai pada saat T.
rubrum meninfeksi jaringan dan menggunakan-mendekomposisi keratin sebagai
sumber gizi. Target cendawan ini ada pada keratin di stratum korneum, adapun
lesio jaringan sekitarnya biasanya merupakan hasil dari respon host alergi atau
peradangan terhadap kehadiran cendawan. Adiguna (2011) menjelaskan,
manifestasi klinis oleh T. rubrum sering memberikan efek pruritus (sesuai
keparahan kasus) gambaran lesi yang bergabung dan meluas sampai ke pubis,
perianal, pantat, dan bagian abdomen bawah. Tidak terdapat keterlibatan pada
daerah genitalia.
Gambar 3. Lesio pada kulit oleh T. rubrum (Farlex 2012)

G. DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis pada umumnya dilakukan secara klinis, dapat diperkuat
dengan pemeriksaan mikroskopis, kultur, dan pemeriksaan dengan lampu wood
pada spesies tertentu. Pada pemeriksaan dengan pemeriksaan KOH 10–20%,
tampak dermatofit yang memiliki septa dan percabangan hifa. Pemeriksaan kultur
dilakukan untuk menentukan spesies jamur penyebab dermatofitosis (Verma et.al
2008).

Koloni: putih bertumpuk di tengah dan maroon pada tepinya berwarna merah
cheri pada PDA. Gambaran mikroskopik: beberapa mikrokonida berbentuk
airmata, sedikit makrokonidia berbentuk pensil (Kurniati dan Rosita 2008).

H. DIAGNOSA BANDING

Adiguna (2011) menjabarkan beberapa diagnosis banding untuk tinea kruris


adalah kandidosis intertrigo, eritrasma, psoriasis, dan dermatitis seboroik. Pada
kandidosis intertrigo lesi akan tampak sangat merah, tanpa adanya central healing,
dan lesi biasanya melibatkan area genital serta berbentuk satelit. Eritrasma sering
ditemukan pada lipat paha dengan lesi berupa eritema dan skuama tapi dengan
mudah dapat dibedakan dengan tinea kruris menggunakan lampu wood dimana
pada eritrasma akan tampak fluoresensi merah (coral red). Lesi pada psoriasis
akan tampak lebih merah dengan skuama yang lebih banyak serta lamelar.
Ditemukannya lesi pada tempat lain misalnya siku, lutut, punggung, lipatan kuku,
atau kulit kepala akan mengarahkan diagnosis kearah psoriasis. Pada dermatitis
seboroik lesi akan tampak bersisik dan berminyak serta biasanya melibatkan
daerah kulit kepala dan sternum.

I. PENGOBATAN, PENCEGAHAN, DAN PENGENDALIAN

Pengobatan
Langkah-langkah terapeutik harus mencakup kombinasi pengobatan
sistemik dan topikal. Durasi pengobatan yang tepat harus dihormati. Perawatan
topikal dengan enilconazole, polyene dan miconazole memiliki aktivitas antijamur
yang konsisten. Enilconazole tidak boleh dibilas dari mantel rambut dan waktu
kontak 10 menit untuk shampo, miconazole direkomendasikan untuk kemanjuran
(Miller et.al 2013). Perawatan sistemik konvensional bergantung pada obat
antijamur oral seperti, griseofulvin; itraconazole dan terbinafine adalah agen
antijamur sistematis yang efektif. Kombinasi pengobatan sistemik dan topikal
harus dipertahankan selama setidaknya 10 minggu (Chermette et.al 2008).

Lesi kerion mungkin memerlukan debridemen atau perawatan lokal


lainnya, dan penggunaan agen antibakteri dapat diindikasikan untuk mengobati
infeksi sekunder. Steroid seperti prednison dapat menyebabkan penurunan
inflamasi yang signifikan (Weitzman and Summerbell 1995). Ferreira et.al (2006)
menggunakan pengobatan topikal untuk kerion pada anjing dengan miconazole,
gentamicin dan betametazone, dua kali sehari. Dalam 45 hari, lesi pulih
sepenuhnya. Lufenuron adalah senyawa fenol benzil-urea yang menghambat
sintesis kitin dan digunakan sebagai insektisida. Kemanjurannya dalam terapi
dermatofitosis pada anjing dan kucing dievaluasi dalam beberapa studi klinis,
dengan hasil yang bertentangan. Zur dan Elad (2006) menyimpulkan bahwa
lufenuron tidak memiliki aktivitas penghambatan pada dermatofit in vitro atau in
vivo dan penggunaan klinisnya sebagai agen antijamur dipertanyakan.

Pencegahan dan Kontrol


Peluang besar infeksi terjadi ketika kontak dengan hewan yang terinfeksi
atau lingkungan yang terkontaminasi. Jadi cara terbaik untuk menghindari infeksi
adalah dengan menghambat kontak ini. Strategi profilaksis akan sangat sederhana
jika hewan-hewan ini menunjukkan tanda-tanda klinis yang jelas (Mignon and
Monod 2011). Selalu menjaga keaseptisan atau kebersihan lingkungan, serta
mengurangi kemungkinan paparan kontak langsung dengan penderita menjadi
salah satu upaya pencegahan. Ada penelitian yang melaporkan penggunaan vaksin
jamur pada kucing untuk mencegah dermatofitosis. Vaksin dermatofit yang
terbunuh untuk pengobatan M. canis pada kucing tersedia (Fel-O-Vax, Fort
Dodge Laboratories). Produk ini berlisensi dan digunakan untuk pengobatan dan
pencegahan lesi, tetapi tidak untuk penyakit.
Dalam penelitian lain, percobaan dilakukan dengan menggunakan
kombinasi vaksin dermatofit hidup yang tidak aktif dan vaksin dermatofit yang
tersedia secara komersial dievaluasi untuk kekebalan profilaksis dan manfaat
terapeutik. Baik vaksin mencegah infeksi maupun memberikan penyembuhan
yang lebih cepat bila dibandingkan satu sama lain atau dengan kontrol yang tidak
diobati. Namun, vaksinasi dikaitkan dengan keparahan infeksi awal yang sedikit
berkurang bila dibandingkan dengan kontrol. Ketertarikan pada vaksinasi sebagai
pengobatan atau profilaksis terus menjadi bidang penelitian yang intens (Moriello
2004).

DAFTAR PUSTAKA

Adiguna MS. 2001. Update Treatment In Inguinal Intertrigo And Differential.


Bali (ID) : Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana. Hlm.309-333.
Chandra K, Khurana VK, Gupta RK, Pant L, Jain S, Sharma Y. 2011.
Trichophyton rubrum onychomycosis in an 8-week-old infant. IJDVL.77:
625.
Chermette R, Ferreiro L, Guillot J. 2008. Dermatophytoses in Animals.
Mycopathologia. 166(5-6): 385-405).
Djarijah. Nunung Marlina dan Abbas Siregar Djarijah. 2001. Jamur Tiram.
Yogyakarta (ID) : Kaninus.
Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. 2010. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi
ke-6. Jakarta (ID): Departemen Ilmu Kedokteran Kulit dan Kelamin FK
UI.
Farlex. 2012. Tinea corporis [Internet : Diakses pada tanggal 20 Oktober 2019].
https://medical-dictionary.thefreedictionary.com/tinea+corporis.
Ferreira, Machado RR, da Silva ML, Spanamberg, Ferreiro A, Laerte. 2006.
Quérion causado por Microsporum gypseumem um cão. Acta Scientiae
Veterinariae. 34(2): 179-182.
Gandahusada S, Herry D. 2003. Parasitologi Kedokteran, edisi ke-3. Jakarta(ID):
Balai Penerbit FKUI.
Kurniati, Rosita C. 2008. Etiopatogenesis dermatofitosis. Berkala Ilmu Kesehatan
Kulit & Kelamin. 20(3): 243-250.
Mattei AS, Beber MA, Madrid IM. 2014. Dermatophytosis in Small Animals. SOJ
Microbiol Infect Dis. 2(3): 1-6.
Mignon B, Monod M. 2011. Zoonotic Infections with Dermatophyte Fungi. In:
Palmer SR. Oxford Textbook of Zoonoses. New York: Oxford
University Press.
Miller WH, Craig EG, Campbell KL, Muller GH, Scott DW. 2013. Muller &
Kirk’s Small animal dermatology. 7th ed. St. Louis: Elsevier.
Moriello KA. 2004. Treatment of dermatophytosis in dogs and cats: review of
published studies. Vet Dermatol. 15(2): 99-107.
Oakley A. 2003. Fungal nail infections. [Internet : Diakses pada tanggal 20
Oktober 2019]. https://www.dermnetnz.org/topics/fungal-nail-infections/
Sobera JO, Elewski BE. 2008. Superficial mycoses, Edisi ke-2. New York (US):
McGraw Hill. p.1135-64.
Verma S, Hefferman MP. 2008. Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis,
Onichomycosis, Tinea Nigra, Piedra. In: Wolff K, Goldsmith L, Katz S,
Gilchrest B, Paller A, Leffell O, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill. p. 1807–21.
Weitzman I, Summerbell R. 1995. The Dermatophytes. Clinical Microbiology
Reviews. 8(2): 240–259.
Zaias N, Rebell G. Chronic Dermatophytosis Syndrome due to Tricophyton
rubrum. Int J of Dermatol. 35(9); 614-7.
Zhan P, Dukik K, Li D, Sun J, Stielow JB, Ende BG, Brankovics B, Menken SBJ,
Mei H, Bao W, Lv G, Liu W, Hoog GS, 2018. Phylogeny of
dermatophytes with genomic character evaluation of clinically distinct
Trichophyton rubrum and T. violaceum. Studies in Mycology. 2018, 89:
153-175.
Zur G, Elad D. 2006. In vitro and in vivo Effects of Lufenuron on Dermatophytes
Isolated from Cases of Canine and Feline Dermatophytoses. J. Vet Med B
Infect Dis Vet Public Health. 53(3): 122-125.

Anda mungkin juga menyukai