Anda di halaman 1dari 18

PRAKTIKUM MIKOLOGI

“Tricophyton, Epidemiphyton dan


Microsporum”

OLEH

Nama : Ni Putu Denia Sari

NIM : P0734018011

Kelas : 2A

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR

JURUSAN TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS

2020
A. Trichophyton sp.
1. Pengertian
Trichophyton sp. merupakan jamur yang termasuk dalam golongan
Deuteromycetes atau jamur tidak sempurna (fungi imperfecti), karena
selama hidupnya hanya memiliki fase vegetatif (fase aseksual) saja,
yaitu melalui pembentukan konidia. Fase generatifnya (fase seksual)
tidak ditemukan (Prianto, 2001).
Menurut Frobisher and Fuert’s (1983) Trichophyton sp, dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
 Kingdom : Fungi
 Filum : Ascomycota
 Kelas : Eurotiomycetes
 Ordo : Onygenales
 Familia : Arthrodermataceae
 Genus : Trichophyton
 Spesies : Trichophyton rubrum

Genus Trichophyton memproduksi banyak mikrokonidia dengan


karakteristik berbentuk piriform sampai clavate dengan ukuran 2-3 x
2-4 mm dan sedikit atau tidak ada makrokonidia yang memiliki
karakteristik berdinding tipis dan halus, berbentuk clavate sampai
fusiform dengan ukuran 4-8 x 8-50 mm in size (Wolff et al, 2008)

2. Morfologi Trichophyton

Secara mikroskopis, Trichophyton sp. memiliki hifa dengan


beberapa percabangan, umumnya cabang-cabang yang dimiliki pendek
dan merupakan hasil dari pertunasan hifa. Hifa atau miselium tersebut
umumnya tidak bersekat, kecuali pada hifa yang akan membentuk atau
menghasilkan konidia. Konidia yang dimiliki Trichophyton sp. dapat
berbentuk makrokonidia maupun mikrokonidia. Makrokonidia yang
dimiliki berbentuk pensil dan terdiri dari beberapa sel, sedangkan
mikrokonidia berbentuk lonjong dan berdinding tipis. Jamur
Trichophyton sp. pada media pertumbuhan memperlihatkan hifa atau
miselium yang halus berwarna putih dan tampak seperti kapas,
meskipun kadang dapat juga berwarna lain tergantung dari pigmen
yang dimilikinya (Saputra, 2014).

3. Jenis-jenis Trichophyton

a. Trichophyton mentagrophytes

Trichophyton mentagrophytes adalah dermatofita sangat


umum diteliti di laboratorium di seluruh dunia. Trichophyton
berbeda dari Microsporum dan Epidermophyton, yaitu dengan
memiliki ciri silinder, clavate. Untuk yang berbentuk cerutu,
berdinding tipis atau berdinding tebal, dan makrokonidia halus.
Sebuah kombinasi karakteristik (makroskopik dan mikroskopis)
dari masing-masing media diperlukan untuk identifikasi dan tidak
ada satu tes tunggal sempurna Morfologi mikroskopis pada
Trichophyton Mentagrophytes, septate hifa dapat dilihat.
Mikrokonidia di dalam selubung, bubuk kultur hadir menghasilkan
banyak bulatan, pada konidiofor bercabang 2 dan bergerombol
seperti anggur. Kultur microconidia dengan ciri bulu halus lebih
kecil, berbentuk air mata, dan jumlahnya lebih sedikit. Berbeda
dari T. Rubrum yang tidak terdapat makrokonidia. Namun, jika
ada, makrokonidia ditemukan dalam kultur primer awal sekitar
berusia 5 sampai 10 hari. Makrokonidia adalah jamur berbentuk
cerutu, berdinding tipis dan mengandung 1 sampai 6 sel.
Makrokonidia yang menempel hifa dengan cara sempit. Morfologi
koloni tiga varietas utama T. Mentagrophytes adalah serbuk-
granular, berbentuk beludru dan berbulu halus. Khusus strain
berbentuk kapas terkait dengan manusia dapat menginfeksi
seluruh bagian permukaan tubuh dan umumnya agen penyebab
Athlete’s foot. Trichophyton mentagrophytes adalah tumbuh
secara moderat yang matur pada 7 sampai 10 hari. Hasil kultur
dapat bervariasi dalam manifestasi dari kapas, berbulu halus dan
berwarna putih untuk serbuk, granular dan buff. Koloni mungkin
muncul berwarna merah muda atau kuning. Sebaliknya, mungkin
warna kultur tidak berwarna, kuning, coklat atau merah. Media
agar garam Sabouraud adalah tes yang sangat baik untuk
membedakan T. mentagrophytes dari T. Rubrum. Sebagai koloni
T. Mentagrophytes tumbuh dengan sangat baik pada media agar
ini dibandingkan T. Rubrum. Pada media agar ini dan biasanya
menghasilkan warna pigmen khas coklat gelap kemerahan.
Sebaliknya, T. Mentagrophytes akan menghasilkan warna kuning-
coklat sampai merah muda-coklat pada tiap pigmen dengan media
agar Lactritmel dan Trichophyton. Pada agar pepton 1%, T.
mentagrophytes variasi interdigitale memiliki permukaan seperti
berbulu halus. Sedangkan T. Mentagrophytes variasi
mentagrophytes memiliki karakteristik seperti granular (Sousa, et
al,. 2013).

Makroskopis: Koloni berwarna putih krem dengan


permukaan seperti gundukan. Dasar tidak berwarna hingga coklat.
Mikroskopis: Dijumpai banyak mikrokonidia bulat yang
bergerombol, jarang yang berbentuk cerutu, terkadang dijumpai
hifa spiral.
Gambar1. Makroskopis
( Microsporum
mentagrophytes)

Gambar 2.
Mikroskopis
( Microsporum
mentagrophytes)
b. Trichophyton rubrum

Trichophyton rubrum (T. rubrum) adalah dermatofit yang


berperan paling dominan yang menyebabkan sebagian besar infeksi
jamur superfisial di seluruh dunia (Madrid, et al,. 2011). Dermatofit
adalah bagian dari jamur yang memiliki kemampuan untuk menyerang
jaringan keratin, seperti kulit, rambut, dan kuku (Bressani, et al,. 2012).

Sekelompok jamur dapat menyebabkan infeksi di mana saja pada


kulit. Namun, mereka paling sering menyerang pada bagian kaki, daerah
inguinal, ketiak, kulit kepala, dan kuku. Hasil infeksi pada gejala ringan
sampai sedang gejala dermatologis, dengan berbagai tingkat keparahan
infeksi. Variasi tersebut diyakini akibat dari respon imun tubuh untuk
melawan mikroorganisme. Respon ini ditimbulkan oleh keratinosit, yang
merupakan garis pertahanan pertama terhadap mikroorganisme, seperti
T. rubrum. Beberapa reseptor Toll-like, seperti TLR2, TLR4, TLR6, dan
Manusia Beta defensin (HBD) -1, HBD-2, IL-1B, dan IL-8, dinyatakan
sebagai bagian dari pertahanan tuan rumah awal (Madrid, et al,. 2011).
Manifestasi dari T. rubrum, seperti tinea pedis, tinea cruris, dan tinea
corporis, penyakit manusia kulit yang paling umum tampak di seluruh
dunia. Sekitar 80% dari pasien dengan respon dermatofitosis akut, baik
terhadap pengobatan anti jamur topikal. Namun, kemudian 20% sisanya
ke dalam keadaan kronis dermatofitosis, yang resisten terhadap
pengobatan antijamur (Waldman, et al,. 2010).

Ciri khas dari respon imun terhadap T. rubrum adalah bahwa ia


memiliki kapasitas untuk menginfeksi baik secara langsung disebut
Immediate (IH) atau respon tidak langsung disebut Delayed Type
Hypersensitivity (DTH). Ini tergantung pada tubuh, dan paparan
sebelumnya dari antigen. Umumnya, respon DTH dikaitkan dengan
infeksi akut, dengan peningkatan jumlah inflamatori. Respon IH
dikaitkan dengan infeksi dermatofitosis kronis. Gejalanya, tanpa durasi
adalah ciri khas dari respon DTH.
Makroskopis: Koloni berwarna putih bertumpuk di tengah dan
aroon pada tepinya, berwarna maroon pada bagian dasar. Mikroskopis:
Beberapa mikrokonida berbentuk seperti tetesan air, dan makrokonidia
berbentuk pensil jarang di jumpai.

Gambar 3.
Makroskopis
Trichophyton
rubrum

Gambar 4.
Mikroskopis
Trichophyton
rubrum
c. Trichophyton schoenleinii

Makroskopis: Koloni berupa tumpukan tidak beraturan dengan


warna putih kekuningan hingga coklat. Mikroskopis: Dijumpai hifa
dengan knob berbentuk tanduk rusa, dan dijumpai banyak
klamidokonidia

Gambar 5. Makroskopis Gambar 6. Mikroskopis


Trichophyton schoenleinii Trichophyton schoenleinii

d. Trichophyton tonsurans

Makroskopis: bentuk dan warna koloni bervariasi. Dapat


berbentuk seperti tepung sampai beludru. Dapat berwarna putih, krem,
kuning,coklat atau maroon. Warna dasar biasanya merah. Mikroskopis:
Banyak mikrokonidia beraneka bentuk dan kadang makrokonidia
berbentuk cerutu.

Gambar 7. Makroskopis Trichophyton tonsurans


Gambar 8. Mikroskopis
Trichophyton tonsuran
e. Trichophyton verrucosum

Makroskopis: Koloni kecil dan bertumpuk, kadang datar, warna


putih hingga abu kekuningan. Mikroskopis: Rantai klamikonidia pada
SDA. Makrokonidia yang panjang dan tipis seperti “ekor tikus”.

Gambar 9. Makroskopis Gambar 10. Mikroskopis


Trichophyton verrucosum Trichophyton verrucosum

f. Trichophyton violaceum

Makroskopis: Seperti lilin dan bertumpuk, warna merah violet.


Dengan warna dasar violet. Mikroskopis: hifa irreguler dengan
klamikonidia di antaranya. Pada SDA tidak ada mikro atau
makrokonidia.

Gambar 11. Makroskopis Gambar 12. Mikroskopis


Trichophyton violaceum Trichophyton violaceum
B. Epidemiphyton
1. Pengertian
Epidermophyton adalah genus jamur yang menyebabkan dangkal dan kulit
mikosis, termasuk E. floccosum, penyebab tinea corporis (kurap), tinea cruris
(gatal-gatal), tinea pedis (kaki atlet), dan onikomikosis atau tinea unguium, infeksi
jamur kuku. Sebagaimana umumnya jamur, maka jamur jamur penyebab kurap ini
berkembang biak dengan spora. sangat mudah menular dan menyebar. Genus
Epidermophyton memiliki karakteristik berdinding halus, memproduksi 2-4 sel
makrokonidia. Tidak menghasilkan mikrokonidia (Winn, 2006)
 Kingdom   : Fungi
 Phylum     : Ascomycota
 Class         : Saccharomycetes
 Order        : Saccaharomycetaceles
 Family      : Saccharomycetaceae
 Genus       : Epidermophyton
 Spesies      : Epidermophyton floccosum, Epidermophyton stockdalae

2. Jenis Epidermophyton
Jenis Epidermophyton terdiri dari dua jenis; Epidermophyton floccosum dan
Epidermophyton stockdaleae. E. stockdaleae dikenal sebagai non-patogenik,
sedangkan E. floccosum satu-satunya jenis yang menyebabkan infeksi pada
manusia. E. floccosum adalah satu penyebab tersering dermatofitosis pada
individu tidak sehat.
Menginfeksi kulit (tinea corporis, tinea cruris, tinea pedis) dan kuku
(onychomycosis). Infeksi terbatas kepada lapisan korneum kulit luar. koloni E.
floccosum tumbuh cepat dan matur dalam 10 hari. Diikuti inkubasi pada suhu
25°C pada agar potato-dextrose, koloni kuning kecoklat-coklatan (Anonymous,
2011)
a. Epidermophyton floccosum
Epidermophyton floccosum memiliki gambaran makroskopis
berbentuk seperti bulu dengan warna kuning kehijauan pada permukaan dan
kuning kecoklatan pada bagian dasar sedangkan gambaran mikroskopis tidak
ada dijumpai mikrokonidia tetapi dijumpai banyak makrokonidia berbentuk
gada. berdinding tipis dan halus.
Gambar 13. Makroskopis Gambar 14. Mikroskopis
Epidermophyton floccosum Epidermophyton floccosum

C. Microsporum
1. Pengertian
Microsporum adalah genus jamur yang menyebabkan tinea capitis,
tinea corpus, kurap,dan dermatophytoses lain infeksi jamur pada kulit.
Bentuk Microsporum kedua macroconidia struktur reproduksi aseksual
besar) dan microconidia (struktur reproduksi aseksual lebih kecil) pada
konidiofor pendek Genus Microsporum memproduksi banyak
makrokonidia yang mempunyai karakteristik multisepta, berdinding
tebal, dinding sel echinulate atau verrucose yang tebal dengan ukuran
7-20 x 30-160 µm dan sedikit atau tidak ada mikrokonidia yang
berbentuk seperti tetesan air atau elips, terikat langsung ke sisi hipa
dengan ukuran 2,5 - 3.5 x 4 -7 µm (Frey et al, 1985)
 Kingdom : Fungi
 Division : Asmomycota
 Class : Eurotiomycetes
 Orde : Onygenales
 Family : Arthrodermataceae
 Genus : Microsporum
 Spesies : Microsporum audouinii, Microsporum
canis, Microsporum cookie, Microsporum equinum, Microsporum
ferrugineum, Microsporum fulvum, Microsporum gallinae,
Microsporum gypseum, Microsporum nanum, Microsporum
persicolor.
2. Jenis Microsporum
a. Microsporum audouinii
Makroskopis : Bentuk koloni datar dan berwarna putih
keabuan pada permukaan dan kecoklatan pada bagian dasar.
Mikroskopis : Dapat dijumpai terminal klamidokonidia dan hifa
berbentuk seperti sisir.
Gambar 15. Gambar 16. Mikroskopis
Makroskopis Microsporum audouinii
Microsporum audouinii
b. Microsporum canis

Makroskopis: Bentuk koloni datar berwarna putih kekuningan, dengan


alur-alur radial yang rapat. Pada bagian dasar berwarna kekuningan.
Mikroskopis: Terdapat beberapa mikrokonidia dan banyak makrokonidia
berdinding tebal dan bergerigi dengan knob pada ujungnya.

Gambar 17. Makroskopis Gambar 18. Mikroskopis


Microsporum canis Microsporum canis

c. Microsporum gypseum

Makroskopis: Koloni berbentuk granuler dengan pigmen coklat


kekuningan. Mikroskopis: Ditemukan beberapa mikrokonidia dan sejumlah
makrokonidia berdinding tipis tanpa knob.

Gambar 2.7. Makroskopis Gambar 2.8. Mikroskopis

Microsporum gypseum Microsporum gypseum


DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2011. Teknik dan Cara Budidaya Jamur Kuping (Online),

http//www.Sragen.go.id

Bressani, V.O., Santi, T.N., Domingues-Ferreira, M., Almeida, A., Duarte, A.J.S.,

(2013 May) Characterization of the cellular immunity in patients


presenting extensive dermatophytoses due to Trichophyton rubrum.
Mycoses. 2013 May : 56(3):281-8.

Frey, D., Oldfield, & R.J., Bridger, R.C., 1985. A Colour Atlas of Phatogenic

Fungi. Holland: Smeets-Weert.

Frobisher and Fuert’s. 1983. Mikrobiology in Health and Disease (14th edn).

Blackwell Scientific Publication. Osford:London

Garcia-Madrid, L.A,. Huizar-López, M.D.R,. Flores-Romo, L,. Islas-Rodríguez,

A.E (2011). Trichophyton rubrum manipulates the innate immune


functions of human keratinocytes. Cent. Eur. J. Biol. 6, 902–910.

Husni, H., Asri, E., & Gustia, R. (2018). Identifikasi Dermatofita Pada Sisir

Tukang Pangkas Di Kelurahan Jati Kota Padang. Jurnal Kesehatan


Andalas, 7(3), 331. https://doi.org/10.25077/jka.v7.i3.p331-335.2018

Prianto, J. 2001. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta : PT Gramedia Pustaka

Utama.

Saputra, R. 2014. Pengaruh Jenis Pelarut terhadap Jumlah Ekstrak dan Daya

Antifungi Daun Ketepeng Cina (Cassia alata L.) terhadap Jamur


Trichophyton sp. Tesis. UIN Sultan Syarif Kasim, Riau
Sousa MGT, Santana GB, Criado PR and Benard G (2015) Chronic widespread

dermatophytosis due to Trichophyton rubrum: a syndrome associated with


a Trichophyton-specific functional defect of phagocytes. Front. Microbiol.
6:801. doi: 10.3389/fmicb.2015.00801

Waldman, A,. Segal, R,. Berdicevsky, I. Gilhar, A. (2010). CD4+ and CD8+ T

cells mediated direct cytotoxic effect against Trichophyton rubrum and


Trichophyton mentagrophytes. Int. J. Dermatol. 2010, 49, 149–157.

Wolff K., Goldsmith L.A., Katz S.I., Gilchrest B.A., Paller A.S., Leffel D.J.

(2008). Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th Edition. New


York : The Mc Graw Hill Companies. p: 1811.

Winn, R. T. dan G. T. Lane. 2006. Aflatoxin Production on High Moisture Corn

and Sorghum with a Limited Incubation. Journal of Dairy Science 61: 762-
764

Anda mungkin juga menyukai