Anda di halaman 1dari 13

Dermatomikosis Dermatomikosis adalah penyakit pada kulit, kuku, rambut, dan mukosa yang disebabkan

infeksi jamur (Madani, 2000). Dermatomikosis mempunyai arti umum, yaitu semua penyakit jamur yang
menyerang kulit (Buldimulja, 2007). Faktor yang mempengaruhi dermatomikosis adalah udara yang
lembab, lingkungan yang padat, sosial ekonomi yang rendah, adanya sumber penularan disekitarnya,
obesitas, penyakit sistemik, penggunaan obat antibiotik, steroid, sitostatika yang tidak terkendali.
Dermatomikosis terdiri dari dermatomikosis superfisialis, intermedia dan profunda. Macam – macam
dermatomikosis superfisialis adalah : 2.1.1. Dermatofitosis Jamur golongan dermatofitosis terdiri dari 3
genus yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Microsporum menyerang rambut dan
kulit. Trichophyton menyerang rambut, kulit dan kuku. Epidermophyton menyerang kulit dan jarang pada
kuku (Madani, 2000; Siregar, 2004). Golongan dermatofita bersifat mencerna keratin, dermatofita
termasuk kelas fungi imperfecti. Gambaran klinis dermatofita menyebabkan beberapa bentuk klinis yang
khas, satu jenis dermatofita menghasilkan klinis yang berbeda tergantung lokasi anatominya (Budumulja,
2007; Siregar, 2004).

2.1.1.1 Definisi Dermatofitosis adalah infeksi jaringan yang mengandung zat tanduk (keratin) misalnya
stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita
(Madani, 2000; Budimulja, 2002).

2.1.1.2 Epidemiologi: Dermatofita adalah tergolong jamur contagious. Berspora dan memiliki hifa
sepanjang sel kulit dan rambut yang mati, merupakan serpihan dari orang yang terinfeksi, membuat
infeksi berulang menjadi sering. Infeksi sub-kutaneus yang jarang yang disebabkan jamur ini dapat terjadi
pada pasien AIDS. Dermatofita yang menginfeksi manusia diklasifikasikan berdasarkan habitat mereka
antara lain sebagai berikut : a. Antrophophilic dermatophyta sering dikaitkan dengan manusia dan
ditransmisikan baik melalui kontak langsung atau melalui muntahan yang terkontaminasi b. Zoophilic
dermatophyta sering dikaitkan dengan hewan-hewan, jamur ini ditransmisikan kepada manusia baik
melalui kontak langsung dengan hewan tersebut misalnya hewan peliharaan dan melalui produksi hewan
tersebut seperti wool. c. Geophilic dermatophyta addalah jamur tanah yang ditransmisikan kepada
manusia melalui paparan langsung ke tanah atau ke hewan yag berdebu.

2.1.1.3 Etiologi Dermatofitosis disebabkan oleh jamur golongan dermatofita yang teridiri dari tiga genus,
yaitu genus Microsporum, Trichophyton, dan Epidermofiton. Dari 41 spesies dermatofita yang sudah
dikenal hanya 23 spesies yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan binatang, yang terdiri
dari 15 spesies Trichophyton, 7 spesies Microsporum dan satu spesies Epidermofiton. Selain sifat
keratinofilik, setiap spesies dermatofita mempunyai afinitas terhadap hospes tertentu. Dermatofita yang
zoofilik terutama menyerang binatang, dan kadang- kadang menyerang manusia, misalnya Microsporum
canis dan Trichophyton verrucosum. Dermatofita yang geofilik adalah jamur yang hidup di tanah dan
dapat menimbulkan radang yang moderat pada manusia, misalnya Microsporum gypseum.

Umumnya gejala-gejala klinik yang timbulkan oleh golongan zoofilik dan golongan geofilik pada manusia
bersifat akut dan sedang serta lebih mudah sembuh. Dermatofita yang antropofilik terutama menyerang
manusia karena memilih manusia sebagai hospes tetapnya. Golongan jamur ini dapat menyebabkan
perjalanan penyakit menjadi menahun dan residif karena reaksi penolakan tubuh yang sangat ringan.
Contoh jamur yang antropofilik ialah Microsporum audouinii dan Trichophyton rubrum (Siregar, 2004). a.
Trichophyton (Frey, et al., 1985; Hutabarat, 1999; Rippon, 1988) Mikokonidia banyak, tumbuh
bergerombol atau satu-satu sepanjang hifa. Sedangkan makrokonidia jarang atau tidak dibentuk sama
sekali. 1) T. mentagrophytes Makroskopis : Membentuk 2 jenis koloni. Koloni Cottony berwarna putih
seperti wol. Koloni powder seperti serbuk warna merah anggur. Mikroskopis : Mikrokonidia sangat
banyak berkelompok berbentuk bulat/ menyerupai sekelompok buah anggur pada cabang-cabang
terminalnya dan banyak terdapat hifa yang menyerupai spiral.

(Image Courtesy of www.doctorfungus.org., 2005) Morfologi mikroskopis Trichophyton


mentagrophytes Kultur Trichophyton mentagrophytes Gambar 2.1 Gambar 2.2

2) T. rubrum Makroskopis : Pertumbuhan koloni lambat, koloni berbentuk kapas. Warna depan putih
sampai merah muda dan dasar koloni warna merah. Mikroskopis : Mikrokonidia banyak, berkelompok
atau satu-satu sepanjang hifa.

(Image Courtesy of www.doctorfungus.org., 2005)

3) T. verrucosum Makroskopis : Pertumbuhan sangat lambat, bentuk verrucous warna abu- abu.
Mikroskopis : Makrokonidia dan mikrokonidia jarang.

(Image Courtesy of www.doctorfungus.org., 2005)

4) T. concentricum Makroskopis : Pertumbuhan koloni lambat, permukaan licin dan berlipat- lipat, warna
ditengah coklat dan pinggir coklat muda.

Morfologi mikroskopis Trichophyton rubrum

Kultur Trichophyton rubrum

Morfologi mikroskopis T. verrucosum.

Kultur Trichophyton verrucosum

Gambar 2.3 Gambar 2.4

Gambar 2.5 Gambar 2.6

Mikroskopis : Makrokonidia dan mikrokonidia tidak ada. Ditemukan branching hifa.

(Image Courtesy of www.doctorfungus.org., 2005)

5) T. tonsuran Makroskopis : Pertumbuhan koloni lambat, permukaan datar/ berbenjol- benjol. Bentuk
bubuk sampai beledru. Warna bervariasi cream, abu-abu, kuning, dan merah coklat dengan dasar kuning
sampai merah. Mikroskopis : Mikrokonidia banyak sepanjang sisi hifa dan makrokonidia jarang.

(Image Courtesy of www.doctorfungus.org., 2005)


6) T. violaceum Makroskopis : Pertumbuhan koloni lambat, permukaan menonjol dan verrukosa. Warna
violet.

Morfologi mikroskopis Trichophyton concentricum

Kultur Trichophyton concentricum

Morfologi mikroskopis Trichophyton tonsurans

Kultur Trichophyton tonsurans

Gambar 2.7 Gambar 2.8

Gambar 2.9 Gambar 2.10

Mikroskopis : Makrokonidia/ mikrokonidia jarang. Terlihat hifa irreguler dan klamidospora.

(Image Courtesy of www.doctorfungus.org., 2005)

7) T. schoenleinii Makroskopis : Pertumbuhan koloni lambat, bagian tengah berlipat dan lebih tinggi dari
pinggir. Mikroskopis : Makrokonidia/ mirokonidia tidak ada. Banyak ditemukan hifa Favchandeliers.

(Image Courtesy of www.doctorfungus.org., 2005)

b. Microsporum (Frey, et al., 1985; Rippon, 1988) Makrokonidia adalah spora yang paling banyak
ditemukan dan terbentuk pada ujung-ujung hifa, sedangkan mikrokonidia sedikit.

Morfologi mikroskopis Trichophyton violaceum

Kultur Trichophyton violaceum

Morfologi mikroskopis Trichophyton schoenleinii

Kultur Trichophyton schoenleinii

Gambar 2.11 Gambar 2.12

Gambar 2.13 Gambar 2.14

1) M. canis Makroskopis : Pertumbuhan koloni cepat, permukaan halus sampai bergranuler. Warna
depan coklat muda, sedangkan dasar koloni merah coklat. Mikroskopis : Makrokonidia banyak dijumpai.
Ukurannya besar, ujung rucing, dinding tebal serta kasar dan ada tonjolan-tonjolan kecil. Karakteristik
dijumpai adanya klamidospora, bisa juga dijumpai racquet hifa, pectine bodies dan nodular bodies.

(Image Courtesy of www.doctorfungus.org., 2005)

2) M. gypseum Makroskopis : Pertumbuhan cepat, warna kuning sampai coklat ada jalur jalur radier.
Mikroskopis : Makrokonidia besar, bentuk bujur telur, dinding tipis dan bergerigi kecil.

(Image Courtesy of www.doctorfungus.org., 2005)


Morfologi mikroskopis zoophilic dermatophyte Microsporum canis.

Kultur Microsporum canis

Kultur Microsporum gypseum

Morfologi mikroskopis Microsporum gypseum

Gambar 2.15 Gambar 2.16

Gambar 2.17 Gambar 2.18

3) M. audouinii Makroskopis : Pertumbuhan lambat, permukaan datar. Warna koloni abu- abu kuning
sampai coklat keputihan, dan dasar koloni merah coklat. Mikroskopis : Makrokonidia jarang dan bentuk
tidak teratur. Sedangkan mikrokonidia sangat jarang dan ditemukan adanya racquet hifa.

(Image Courtesy of www.doctorfungus.org., 2005)

c. Epidermophyton (Frey, et al., 1985; Hutabarat, 1999; Rippon, 1988) Hanya ditemukan makroonidia,
ukurannya besar dan berbentuk gada. E. Floccosum Makroskopis : Pertumbuhan koloni lambat,
bergranuler warna putih dan berjalur-jalur sentral warna kuning kehijauan. Mikroskopis : Makrokonidia
lebar-lebar seperti gada atau berbentuk bunga, ujung bulat dinding halus dan tipis. Mikronidia tidak ada.

(Image Courtesy of www.doctorfungus.org @ 2005)

Morfologi mikroskopis Microsporum audouinii

Kultur Microsporum audouinii

Morfologi mikroskopis Epidermophyton floccosum

Kultur Epidermophyton floccosum

Gambar 2.19 Gambar 2.20

Gambar 2.21 Gambar 2.22

2.1.1.4 Patogenesis dan cara penularan Dermatofita menggunakan keratin sebagai sumber nutrisi dan
juga berkoloni pada lapisan kulit, kuku, dan rambut yang telah mati. Mereka juga memicu kehancuran
sel-sel yang hidup dengan mengaktifkan sistem imun. Meskipun jamur yang terlibat dalam infeksi
kutaneus dan sub-kutaneus hidup di tanah, penyakit yang mereka timbulkan tidak sama dengan infeksi
jamur superfisial lainnya karena infeksinya membutuhkan lesi terlebih dahulu pada lapisan kulit yang
lebih dalam. Kebanyakan dermatfitosis tinggal menetap pada lapisan dermis dan hipodermis sehingga
sangat jarang menyebabkan infeksi yang sistemik. Cara penularan jamur dapat secara langsung dan
secara tidak langsung Penularan langsung dapat melalui fomit, epitel, dan rambut-rambut yang
mengandung jamur baik dari manusia atau dari bianatang, dan tanah. Penularan tak langsung dapat
melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, barang-barang atau pakaian, debu, atau air (Siregar, 2004).
2.1.1.5 Faktor yang mempengaruhi Disamping cara penularan, timbulnya kelainan-kelainan di kulit
bergantung pada beberapa faktor : a. Faktor virulensi dari dermatofita Virulensi ini bergantung pada
afinitas, jamur, apakah jamur Antropofilik, Zoofilik, atau Geofilik. Selaian afinitas ini, masing- masing
jenis jamur tersebut berbeda pula satu dengan yang lain dalam afinitas terhadap manusia maupun
bagian-bagian tubuh, misalnya Trichophyton rubrum jarang menyerang rambut, Epidermophyton
floccosum yang paling sering menyerang lipat paha bagian dalam. Faktor yang terpenting dalam
virulensi ini ialah kemampuan spesies jamur menghasilkan keratinasi dan mencerna keratin di kulit. b.
Faktor trauma Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil, lebih susah untuk terserang jamur. c. Faktor suhu dan
kelembaban

Kedua faktor ini sangat jelas berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada lokalisasi atau lokal;
tempat yang banyak keringat seperti lipat paha dan sela-sela jari paling sering terserang penyakit jamur
ini. d. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi
jamur. Insiden panyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah lebih sering
ditemukan dari pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih baik. e. Faktor umur dan jenis kelamin
Penyakit tinea kapitis lebih sering ditemukan pada anak-anaak dibandingkan pada orang dewasa. Pada
wanita lebih sering ditemukan infeksi jamur di sela-sela jari dibandingkan pada pria, dan hal ini banyak
berhubungan dengan pekerjaan. Di samping faktor-faktor tadi masih ada faktor-faktor lain, seprti faktor
perlindungan tubuh, (topi, sepatu, dan sebagainya), faktor transpirasi serta penggunaan pakaian yang
serba nilon dapat memudahkan timbulnya penyakit jamur ini.

Beberapa jamur yang tumbuh di kulit memiliki gejala klinis yang disebut dengan lesi kutaneus.
Dermatofitosis adalah infeksi kutaneus yang disebabkan oleh dermatofita, yaitu jamur yang dapat
tumbuh di kulit, kuku, rambut, dan merangsang respon sel-sel imun yang dapat menghancurkan jaringan
yang lebih dalam. Hal inilah yang membedakan dermatofitosis dengan infeksi jamur superfisial lainnya.
2.1.1.6. Tanda dan gejala Di waktu yang lalu dermatofitosis sering disebut sebagai ring worm atau tinea,
yang merupakan kata latin dari cacing karena dermatophytosis menghasilkan tempelan melingkar,
bersisik yang membuat pemeriksa berpikir ada cacing terletak dibawah permukaan kulit. Meskipun
penyakit ini sering disalah tanggapkan karena cacing tidak terlibat dan terminologi fita menyatakan
tumbuhan bukan jamur tetapi istilah ini masih digunakan.

Kebanyakan dermatofitosis secara klinis dapat dibedakan karena mereka secara langsung dapat dikenal
sebagai contoh athlete’s foot adalah dermatofitosis. Dermatofitosis dapat memiliki berbagai gejala klinis.
2.1.1.7. Diagnosis, tatalaksana, dan pencegahan

Observasi klinis pada umumnya cukup untuk mendiagnosa infeksi dermatofita. Persiapan KOH di kulit
atau kerokan kuku atau sampel rambut dapat menampilkan hifa dan atau konidia (spora aseksual),
dimana diperlukan untuk konfirmasi diagnosis. Saat diinginkan penentuan intentitas spesifik dari
dermatofita membutuhkan pemeriksaan mikroskopis berupa kultur, yang akan memakan waktu
berminggu-minggu karena jamur ini sangat lambat tumbuh di laboraturium. Infeksi terbatas dapat
diobati secara efektif dengan menggunakan obat- obat anti fungal topikal, tetapi untuk infeksi yang
menyebar luas pada kulit kepala atau kulit demikian juga pada infeksi kuku harus diobati dengan anti
fungal oral. Terbinafine, diberikan secara oral selama 6-12 minggu, sangat efektif pada sebagian besar
kasus. Kasus kronik atau kasus yang menetap diobati dengan griseofulvin sampai sembuh (Bauman, et
al., 2009).
Bentuk – bentuk gejala klinis dermatofitosis adalah: 2.1.1.8. Tinea kapitis Tinea kapitis adalah kelainan
kulit pada daerah kepala, rambut yang disebabkan jamur golongan dermatofita. Disebabkan oleh species
dermatofita Trichophyton dan Microsporum. Gambaran klinis keluhan penderita berupa bercak pada
kulit kepala, sering gatal disertai rambut rontok ditempat lesi. Diagnosis ditegakkan berdasar gambaran
klinis, pemeriksaan lampu wood dan pemeriksaan mikroskopis dengan KOH. Pada pemeriksaan
mikroskopis terlihat spora diluar rambut (ectotric) atau didalam rambut (endotric). Pengobatan pada
anak-anak peroral griseofulvin 10-25 mg/kg BB perhari, pada dewasa 500 mg/hr selama 6 minggu.
(Siregar, 2004) Berdasarkan bentuk khas, tinea kapitis dibagi dalam empat bentuk, yaitu:

a. Gray patch ring worm Penyakit ini dimulai dengan papul merah kecil yang melebar ke sekitarnya dan
membentuk bercak yang berwarna pucat dan bersisik. Warna rambut jadi abu-abu dan tidak mengkilat
lagi, mudah patah, dan terlepas dari akarnya sehingga menimbulkan alopesia setempat. Dengan
pemeriksaan dengan sinar wood tampak flouresensi kekuning- kuningan pada rambut yang sakit melalui
batas “Gray patch” tersebut. Jenis ini biasanya disebabkan oleh species Microsporum dan Trichophyton.
b. Black dot ring worm Terutama disebabkan oleh T. tonsurans, T. violaceum, dan T. mentagrophytes.
Infeksi jamur terjadi diluar rambut (ectotric) atau didalam rambut (endotric) yang menyebabkan rambut
putus tepat pada permukaan kulit kepala. Ujung rambut tampak seperti titik-titik hitam diatas
permukaan kulit yang berwarna kelabu sehingga tampak seperti gambaran “black dot”. Biasanya bentuk
ini terdapat pada orang dewasa dan lebih sering pada wanita. Rambut sekitar lesi juga tidak bercahaya
lagi karena kemungkinan sudah terkena infeksi. Penyebab utamanya adalah T. tonsurans dan T.
violaceum. c. Kerion Bentuk ini adalah bentuk serius karena disertai dengan radang yang hebat bersifat
lokal sehingga pada kulit kepala tampak bisul-bisul kecil yang berkelompok dan kadang-kadang ditutupi
sisik-sisik tebal. Rambut di daerah ini putus-putus dan mudah dicabut. Bila kerion ini menyembuh akan
meninggalkan suatu daerah yang botak permanen karena terjadi sikatriks. Bentuk ini terutama
disebabkan oleh M. canis, M. gypseum, T. tonsurans, dan T. violaceum. d. Tinea favosa Kelainan di kepala
dimulai dengan bintik-bintik kecil di bawah kulit yang berwarna merah kekuningan dan berkembang
menjadi krusta yang berwarna cawan (skutula), serta memberi bau busuk seperti bau tikus “moussy
odor”. Rambut di atas skutula putus-putus dan mudah lepas serta tidak mengkilat

lagi. Bila penyakit itu sembuh akan meninggalkan jaringan parut dan alopesia yang permanen. Penyebab
utamanya adalah T. schoenleinii, T. violaceum, dan T. gypseum. Karena tinea kapitis ini sering
menyerupai penyakit kulit yang menyerang daeerah kepala, penyakit ini harus dibedakan dengan
penyakit-penyakit bukan oleh jamur, seperti Psoriasis vulgaris, Dermatitis seboroika dan Trikotilomania
(Siregar, 2004).

2.1.1.9. Tinea korporis Tinea korporis adalah infeksi jamur dermatofita pada kulit halus (globurus skin) di
daerah muka, badan, lengan dan glutea. Penyebab tersering adalah T. rubrum dan T. mentagropytes.
Gambaran klinis biasanya berupa lesi terdiri atas bermacam macam efloresensi kulit, berbatas tegas
dengan konfigurasi anular, arsinar, atau polisiklik, bagian tepi lebih aktif dengan tanda peradangan yang
lebih jelas. Daerah sentral biasanya menipis dan terjadi seperti penyembuhan, sementara tepi lesi
meluas sampai ke perifer. Kadang bagian tengahnya tidak menyembuh, tetapi tetap meninggi dan
tertutup skuama sehingga menjadi bercak yang besar. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis
dan lokalisasinya serta kerokan kulit dengan mikroskop langsung dengan larutan KOH 10-20% untuk
melihat hifa atau spora jamur. Pengobatan sistemik berupa griseofulvin 500 mg sehari selama 3-4
minggu, itrakonazol 100 mg sehari selama 2 minggu, obat topikal salep whitfield.

2.1.1.10. Tinea imbrikata Tinea imbrikata adalah penyakit yang disebabkan jamur dermatofita yang
memberikan gambaran khas tinea korporis berupa lesi bersisik yang melingkar- lingkar dan gatal.
Disebabkan oleh dermatofita T. concentricum. Gambaran klinis dapat menyerang seluruh permukaan
kulit halus, sehingga sering digolongkan dalam Tinea korporis. Lesi bermula sebagai makula eritematosa
yang gatal, kemudian timbul skuama agak tebal terletak konsensif dengan susunan seperti genting, lesi
bertambah melebar tanpa meninggalkan penyembuhan dibagian

tengahnya. Diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan kulit dengan KOH dan kultur, gambaran
klinis yang khas berupa lesi konsentris. Pengobatan sistemik griseofulvin 500 mg sehari selama 4 minggu,
sering kambuh setelah pengobatan sehingga memerlukan pengobatan ulang yang lebih lama,
ketokonazol 200 mg sehari, obat topikal tidak begitu efektif karena daerah yang terserang luas (Madani,
2000; Siregar, 2002).

2.1.1.11. Tinea kruris Tinea kruris adalah penyakit jamur dermatofita didaerah lipat paha, genitalia dan
sekitar anus, yang dapat meluas kebokong dan perut bagian bawah. Penyebab E. floccosum, kadang-
kadang disebabkan oleh T. rubrum. Gambaran klinik lesi simetris dilipat paha kanan dan kiri mula-mula
lesi berupa bercak eritematosa, gatal lama kelamaan meluas sehingga dapat meliputi scrotum, pubis
ditutupi skuama, kadang-kadang disertai banyak vesikel kecil-kecil. Diagnosis berdasar gambaran klinis
yang khas dan ditemukan elemen jamur pada pemeriksaan kerokan kulit dengan mikroskopis langsung
memakai larutan KOH 10-20%. Pengobatan sistemik griseofulvin 500 mg sehari selama 3-4 minggu,
ketokonazol, obat topikal salep whitefield, tolsiklat, haloprogin, siklopiroksolamin, derivat azol dan
naftifin HCL (Madani, 2000).

2.1.1.12. Tinea manus et pedis Tinea manus et pedis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi
jamur dermatofita didaerah kulit telapak tangan dan kaki, punggung tangan dan kaki, jari-jari tangan dan
kaki serta daerah interdigital. Penyebab tersering T. rubrum, T. mentagrophytes, E. floccosum (Madani,
2000; Siregar, 2002).

2.1.1.13. Tinea unguium Tinea unguium adalah kelainan kuku yang disebabkan infeksi jamur dermatofita.
Penyebab tersering adalah T. mentagrophites, T. rubrum. Gambaran klinik biasanya menyertai Tinea
pedis atau manus penderita berupa kuku menjadi

rusak warna menjadi suram tergantung penyebabnya, distroksi kuku mulai dari dista, lateral, ataupun
keseluruhan. Diagnosis ditegakkan berdasar gejala klinis pada pemeriksaan kerokan kuku dengan KOH
10-20 % atau biakan untuk menemukan elemen jamur. Pengobatan infeksi kuku memerlukan ketekunan,
pengertian kerjasama dan kepercayaan penderita dengan dokter karena pengobatan sulit dan lama.
Pemberian griseofulvin 500 mg sehari selama 3-4 bulan untuk jari tangan untuk jari kaki 9-12 bulan. Obat
topical dapat diberikan dalam bentuk losio atau krim (Madani, 2000). 2.1.2. Non Dermatofitosis
2.1.2.1.Pitiriasis versikolor Pitiriasis versikolor (panu) adalah penyakit jamur superfisial yang kronik
biasanya tidak memberikan keluhan subjektif berupa bercak skuama halus warna putih sampai coklat
hitam, meliputi badan kadang-kadang menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka,
kulit kepala yang berambut. Menurut Ballon 1889 (dalam Juanda 2005) Disebabkan oleh malassezia
furfur robin. Gambaran klinik kelainan terlihat bercak-bercak warna warni, bentuk teratur sampai tidak
teratur batas jelas sampai difus kadang penderita merasa gatal ringan. Diagnosis pada sediaan langsung
kerokan kulit dengan larutan KOH 20 % terlihat campuran hifa pendek dan spora-spora bulat yang dapat
berkelompok. Pengobatan harus dilakukan menyeluruh tekun dan konsisten. Obat yang dapat dipakai
suspensi selenium sulfida (selsun) dipakai sebagai sampo 2-3x seminggu. Obat lain derivat azol misal
mikonazole, jika sulit disembuhkan ketokonazole dapat dipertimbangkan dengan dosis 1x 200 mg sehari
selama 10 minggu. Umumya keluhan yang muncul adalah timbul bercak putih ataupun kecoklatan yang
kadang gatal bila berkeringat. Pada orang dengan kulit berwarna, lesi yang terjadi biasanya tampak
sebagai bercak hipopigmentasi, tetapi pada orang dengan kulit pucat lesi bisa berwarna coklat
kemerahan. Di atas lesi terdapat sisik halus. Ada 2 bentuk yang sering didapat, yaitu makular dan
folikular (Arnold, et al., 2000; Siregar, 2004; Krisanty, et al., 2008).

2.1.2.2. Piedra Piedra adalah infeksi jamur pada rambut ditandai dengan benjolan (nodus) yang keras
sepanjang batang rambut. Ada 2 bentuk, yaitu : a. Piedra Putih Penyakit ini disebabkan Trichosporon
beigellii terutama di daerah subtropis dan beriklim sedang. Gejalannya berupa adanya benjolan warna
coklat muda yang tidak begitu melekat pada batang rambut kepala, kumis, janggut dan tidak
memberikan gejala-gejala subjektif (Arnold, et al., 2000; Budimulja, 2007). b. Piedra Hitam Penyakit ini
disebabkan oleh piedra hortae dan lebih sering ditemukan pada daerah rambut kepala serta jarang pada
rambut dada dan dagu. Piedra hitam merupakan infeksi asimtomatik. Pada batang rambut dada dan
dagu. Piedra hitam merupakan infeksi asimtomatik. Pada batang rambut teraba kasar, granular, terdapat
nodul yang keras, berukuran kecil, berwarna hitam dan bisa tunggal atau multipel. Nodul melekat erat
pada batang rambut, sukar dilepas, bila disisir dengan logam maka akan terdengar bunyi geseran logam
(Arnold, et al., 2000; Elgart & Warren, 1992).

2.1.2.3. Otomikosis Otomikosis adalah infeksi jamur pada liang telinga bagian luar. Liang telinga akan
tampak berwarna merah, ditutupi skuama dan dapat meluas ke bagian luar sampai muara liang telinga
dan daun telinga sebelah dalam. Bila meluas sampai ke membran timpani daerah ini akan menjadi
merah, berskuama dan mengeluarkan cairan serosanguinos dan penderita akan mengalami gangguan
pendengaran. Penyebab infeksi biasanya jamur kontaminan, yaitu Aspergillus sp., Mukor dan Penisilium
(Budimulja, 2007; Siregar, 2004).

2.1.2.4. Tinea nigra palmaris Tinea nigra palmaris adalah infeksi jamur superfisial yang biasanya
menyerang kulit telapak tangan dan kaki dengan memberikan warna hitam sampai coklat pada kulit yang
terserang. Penyebabnya adalah Cladosporium werneckii. Makula yang terjadi tidak menonjol dari
permukaan kulit, tidak terasa sakit dan tidak ada tanda-tanda radang. Kadang-kadang dapat meluas
sampai di punggung kaki bahkan sampai menyebar ke leher, dada dan muka (Budimulja, 2007; Siregar,
2004).

2.2. Tinea pedis 2.2.1. Definisi Tinea pedis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur
dermatofita di daerah kulit telapak kaki, punggung kaki, jari-jari kaki, serta daerah interdigital. Tinea
pedis atau yang disebut juga dengan Athlete’s foot, atau orang awam sering menyebutnya dengan kutu
air. Biasanya sering ditemukan pada orang dewasa yang setiap hari menggunakan sepatu tertutup,
contohnya penggunaan sepatu dan kaus kaki. Dan pada orang yang bekerja di tempat yang basah,
mencuci, di sawah dan sebagainya (Madani, 2000). Infeksi juga dapat menyebar melalui penggunan
pancuran dan ruang ganti pakaian umum, di mana kulit yang terinfeksi dan terkelupas berperan sebagai
sumber infeksi. Tidak ada tindakan pengendalian yang benar-benar efektif selain hygiene yang tepat dan
penggunaan bedak untuk mempertahankan agar ruang antar jari-jari kaki tetap kering. Pada banyak
orang, tinea pedis menahun bersifat asimtomatis dan hanya menjadi aktif pada keadaan panas atau
basah yang berlebihan atau pemakaian alas kaki yang tidak sesuai (Jawetz, et al., 1996).

2.2.2. Epidemiologi Tinea pedis umum dijumpai di seluruh dunia (Martin & Kobayashi, 1999). Tinea
pedis lebih sering dijumpai pada dewasa dibandingkan pada anak (Hay & Moore, 1998; Elgart & Warren,
1992; Westom, et-al., 2002). Pria dewasa memiliki 20% kemungkinan menderita Tinea pedis, sedangkan
wanita hanya 5% kemungkinan menderita infeksi kronis (Hay & Moore, 1998). Penyebab perbedaan
insiden pada anak dan dewasa belum diketahui secara pasti (Clayton, 2000). Frekuensi Tinea pedis di
negara-negara Eropa dan Amerika Utara diperkirakan antara 15 sampai 30% dan populasi tertentu lebih
tinggi lagi, misalnya pada golongan penambang (sampai 70%), atlet, organisasi militer, dan asrama
sekolah (Braun-Falco, et al., 1991; Martin & Kobayashi, 1999). Dari tahun 1999 sampai 2002, di RSUPN
Dr. Cipto Mangunkusomo kasus Tinea pedis baru pertahun berkisar antara 0,16% sampai 1,19% dari
seluruh kasus baru infeksi jamur (Subbagian Mikologi. Bagian/SMF Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin FK
UI/RSUPN, 1992-2002).

2.2.3. Etiologi Tiga spesies jamur dermatofita antropofilik T. rubrum, T. mentagrophytes, E. floccosum
merupakan penyebab tersering Tinea pedis di seluruh dunia ( Hay & Moore, 1998; Masri-Fridling, 1996;
Odom, 1993; Matsumoto, 1996; Clayton, 2000). Walaupun demikian, sesugguhnya semua dermatofita
dapat menjadi agen penyebab. T. rubrum dapat bermanifestasi dalam berbagai tipe, kecuali tipe
vesikulosa. Oleh karena dermatofita patogen tersebut bersifat antropofilik, maka dapat mudah tersebar
antar manusia (Fridling, 1996). Infeksi ganda dengan dua atau lebih spesies jamur kadang terjadi. Untuk
itu diperlukan terminologi khusus yang baku untuk memudahkan, terutama guna kepentingan survei
klinis. Infeksi kombinasi adalah didapatinya spesies yang berbeda dari lesi yang sama. Infeksi konkuren
adalah keadaan didapatinya spesies yang berbeda dari lesi yang berbeda pada saat yang sama.
Sedangkan infeksi konsekutif adalah kondisi seorang pasien terinfeksi oleh organisme yang berbeda di
lokasi yang sama pada saat yag berbeda (Hay & Moore, 1998).

2.2.4. Faktor predisposisi Tinea pedis merupakan dermatofitosis yang mengenai kaki. Faktor
predisposisinya adalah hiperhidrosis dan penggunaan sepatu yang tertutup. Penyakit dapat berlangung
akut berupa lesi-lesi vesikobulosa (vesicobullous type) sampai ulserasi (acute ulcerative type) pada
telapak kaki. Penyakit dapat juga berlangsung kronis berupa eritem dan erosi pada sela jari kaki (chronic
intertriginous type) dan penebalan kulit berskuama pada telapak kaki (chronic hyperkeratotic type atau
moccasin type) (Verma & Heffernan, 2008).

2.2.5. Patogenesis Dermatofita berperan dalam proses penghancuran sawar stratum korneum. Tubuh
bereaksi terhadap proliferasi jamur dengan mempercepat pertumbuhan lapisan sel basal epidermis.
Keadaan ini menyebabkan kulit menjadi tebal dan berdeskuamasi. Bila kondisi lingkungan memadai,
misalnya lembab dan tertutup, akan mudah terjadi pertumbuhan berlebihan bakteri oportuistik bersama
dermatofita. Pada awalnya koloni difteroid akan berproliferasi, namun dengan semakin beratnya
penyakit dominasi bakteri akan berganti menjadi bakteri gram negatif. Tanpa invasi awal oleh
dermatofita, umumnya gram negatif hanya tumbuh minimal. Pergeseran pola infeksi bakteri ini akan
bermanifestasi menjadi gambaran yang jauh lebih agresif, berupa erosi dan maserasi hebat di sela jari.
Bakteri yang dapat diisolasi termasuk Staphylococcus aureus, Corynebacterium jeikeium, Brevibacterium
epidermidis, dan Micrococcus sedentarius (Fridling, 1996). Dermatofita memproduksi juga antibiotik
serupa penisilin dan streptomisin, yang kemudian akan menyeleksi tumbuhnya bakteri yang lebih
resisten terhadap antibiotik. Bakteri pada gilirannya memproduksi enzim proteolitik, yang selanjutnya
meningkatkan destruksi jaringan. Salah satu penjelasan yang paling mungkin mengenai eliminasi jamur
ketika penyakit berlanjut adalah terbentuknya komponen sulfur yang bersifat antijamur, contohnya
metanetiol, etanetiol, dan dimetil sulfida yang diproduksi oleh

Micrococcus sedentarius dan Brevibacterium epidermidis (Fridling, 1996; Elgart & Warren, 1992).

2.2.6. Gambaran klinis

Penyakit ini sering terjadi pada orang dewasa yang setiap harinya harus memakai sepatu tertutup dan
pada orang yang sering bekerja di tempat yang basah, mencuci, di sawah dan sebagaiannya. Keluhan
penderita bervariasi mulai dari tanpa keluhan sampai mengeluh sangat gatal dan nyeri karena terjadi
infeksi sekunder dan peradangan. Dikenal 3 bentuk klinis yang sering dijumpai, yakni : a. Bentuk
intertriginosa. Manifestasi kliniknya berupa maserasi, deskuamasi, dan erosi pada sela jari. Tampak
warna keputihan, basah dan dapat terjadi fisura yang terasa nyeri bila tersentuh. Infeksi sekunder dapat
menyertai fisura tersebut dan lesi dapat meluas sampai ke kuku dan kulit jari. Pada kaki, lesi sering mulai
dari sela jari III, IV, dan V. Bentuk klinik ini dapat berlangsung bertahun-tahun tanpa keluhan sama sekali.
Pada suatu ketika kelainan ini dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri, sehingga terjadi limfangitis,
limfadenitis, selulitis, dan erisipilas yang disertai gejala-gejala umum.

b. Bentuk vesikuler akut. Penyakit ini ditandai terbentuknya vesikula- vesikula dan bula yang terletak
agak dalam di bawah kulit dan sangat gatal. Lokasi yang tersering adalah telapak kaki dengan bagian
tengah dan kemudian melebar serta vesikulanya memecah. Infeksi sekunder dapat memperburuk
keadaan ini.

c. Bentuk moccasin foot. Pada bentuk ini seluruh kaki dan telapak, tepi sampai punggung kaki, terlihat
kulit menebal dan berskuama, Eritem biasa ringan, terutama terlihat pada bagian tepi lesi (USU digital
library, 2003).

Gambar 2.23. Beberapa bentuk gambaran Tinea pedis 2.2.7. Pemeriksaan Laboratorium

Bahan untuk pemeriksaan mikologik diambil dan dikumpulkan sebagai berikut terlebih tempat kelainan
dibersihkan dengan alkohol 70% kemudian, 1. Kulit tidak berambut (glabrous skin) : dari bagian tepi
kelainan sampai dengan bagian sedikit di luar kelainan sisik kulit dan kulit dikerok dengan pisau tumpul
steril. 2. Kulit berambut : rambut dicabut pada bagian kulit yang mengalami kelainan, kulit di daerah
tersebut dikerok untuk mengumpulkan sisik kulit, pemeriksaan dengan lampu Wood dilakukan sebelum
pengumpulan bahan untuk mengetahui lebih jelas daerah yang terkena infeksi dengan kemudian adanya
fluorensi pada kasus-kasus tinea kapitis tertentu. 3. Kuku : bahan diambil dari permukaan kuku yang sakit
dan dipotong sedalam-dalamnya sehingga mengenai seluruh tebal kuku, bahan dibawah kuku diambil
pula (Budimulja, 2002).

Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop, mula- mula dengan pembesaran 10 x
10, kemudian dengan pembesaran 10 x 45. Pemeriksaan dengan pembesaran 10 x 100 biasanya tidak
diperlukan. Sedian basah dibuat dengan meletakkan bahan di atas gelas alas, kemudian di tambahkan

1-2 tetes larutan KOH. Konsentrasi larutan KOH untuk sedian kulit adalah 10% dan untuk rambut dan
kuku 20% (Budimulja, 2002; Siregar, 2002; Brooks et-al., 2005; Chaya & Pande, 2007). Pemeriksaan
dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk
menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media
buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini adalah medium agar dekstrosa Sabouraud. Pada agar
Sabouraud dapat ditambahkan antibiotik saja (kloramfenikol) atau ditambah pula klorheksimid. Kedua
zat tersebut diperlukan untuk menghidari kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan (Budimulja,
2002; Siregar, 2002; Brooks et al., 2005; Chaya & Pande, 2007).

Gambar 2.24 Gambar 2.25 Gambar 2.26 Biakan T.rubrum Biakan M.gypseum
Biakan E.floccosum 2.2.8. Diagnosis banding Diagnosis banding meliputi seluruh keadaan yang dapat
mempunyai gambaran klinis skuama, vesikel atau pustul pada kaki. Kondisi ini terdapat antara lain pada
dermatitis kontak, kandidiasis, eritrasma, dan dyshidrosis. Penyakit lain yang perlu juga dipertimbangkan
termasuk psoriasis pustular, akrodermatitis kontinua, pioderma, sifilis sekunder, ptiriasis rubra pilaris,
dan sindroma Reiter (Fridling, 1996; Martin & Kobayashi, 1999). Tangan harus diperiksa untuk mencari
tanda lain misalnya tinea „dua kaki satu tangan, nail pit untuk diagnosa psoriasis, atau papul keratotik
warna tembaga untuk diagnosis sifilis (Fridling, 1996).

2.2.9. Diagnosis Ditegakkan berdasarkan anameisis, gambaran klinik dan pemeriksaan kerokan kulit
dengan larutan KOH 10-20% yang menunjukan elemen jamur serta kultur jamur (Fridling, 1996).

2.2.10. Pengobatan Pada umumnya cukup topikal saja dengan obat-obat antijamur untuk bentuk
interdigital dan vesikular. Lama pengobatan 4-6 minggu. Bentuk moccasin foot yang kronik memerlukan
pengobatan yang lebih lama, apalagi bila disertai dengan tinea unguium, pengobatan diberikan paling
sedikit 6 minggu dan kadang- kadang memerlukan antijamur per-oral, misalnya griseofulvin, itrakonazol,
atau terbenafin. Bentuk klinik akut yang disertai selulitis memerlukan pengobatan antibiotik, misalnya
penisilin V, fluklosasilin, eritromisin atau spiramisin dengan dosis yang adekuat (Madani, 2000). a. Terapi
lokal 1) Lesi-lesi yang meradang akut yang bervesikula dan bereksudat harus dirawat dengan kompres
basah secara terbuka secara berselang-selang.(4-6 kali sehari) atau terus, menerus. Vesikula harus
dikempeskan tetapi kulitnya harus tetap utuh. 2) Haloprogin atau tolnalfat, arutan atau cream dioleskan
3 kali sehari akan menyebabkan involusi dari sebagian besar lesi skuama superfisial dalam waktu 1-3
minggu. 3) Lesi hiperkeratosis yang tebal memerlukan terapi lokal dengan obat- obatan yang
mengandung bahan keratolitik seperti asam salisilat. Obat-obat antifungal topikal antara lain : 1.
Golongan imidazol yaitu klotrimazol, mikonazol, ekonazol, ketokonazol, itrakonazol, oksikonazol, dan
sulkonazol. 2. Golongan alilamin yaitu naftitin dan terbinafin. 3. Golongan benzilamin yaitu butenafin 4.
Golongan lainnya yaitu asam undesilenat, tolnaftat, haloprogin dan siklopiroksolamin (Nobel SL, et al.,
1998).

b. Terapi sistemik Obat-obat antifungal sistemik antara lain griseofulvin, ketokonazol,


itrakonazol,flukonazol, dan terbinafin. Pemberian Griseofulvin merupakan antibiotik yang diberikan
secara oral yang diperoleh dari spesies Penicillium tertentu. Obat ini tidak berpengaruh terhadap bakteri
atau jamur yang mengakibatkan mikosis sistemik tetapi menekan dermatofites tertentu. Setelah
pemberian per oral, griseofulvin disebarkan seluruh tubuh. Obat terakumulasi di epidermis dan jaringan
keratinisasi lainnya (rambut dan kuku). Keratin merupakan sumber nutrisi utama untuk dermatofites,
dan degradasi keratin oleh jamur ini mengakibatkan dicernakannya obat. Dalam organisme, griseofulvin
diduga berinteraksi dengan mikrotubula dan mengganggu fungsi mitosis gelendong, menimbulkan
penghambatan pertumbuhan. Griseofulvin bermanfaat secara klinik untuk mengobati infeksi
dermatofita pada kulit, rambut, dan kuku yang disebabkan oleh spesies Trichopyton, Epidermophyton,
dan Microsporum. Obat ini tidak berpengaruh terhadap kandidiasis superfisial atau kandidiasis sistemik
atau setiap mikosis sistemik lainnya. Biasanya diperlukan terapi oral selama berminggu-minggu sampai
berbulan-bulan. Pengobatan terdiri atas pembuangan tuntas struktur epitel yang terinfeksi dan yang
mati serta pemberian bahan kimia antijamur secara topikal. Pengobatan berlebihan sering menyebabkan
dermatofitid. Harus dilakukan usaha-usaha untuk mencegah reinfeksi. Bila daerah serangan luas,
pemberian griseofulvin secara oral selama 1-4 minggu terbukti efektif. Infeksi kuku memerlukan
pengobatan griseofulvin selama beberapa bulan dan kadang-kadang dilakukan pembedahan buangan
kuku. Sering terjadi kekambuhan infeksi kuku (Jawezt, 1996). 2.2.11. Langkah-langkah pencegahan a.
Perkembangan infeksi jamur diperberat oleh panas, basah dan maserasi. Daerah-daerah intertrigo atau
daerah antara jari-jari sesudah mandi harus dikeringkan betul-betul dan diberi bedak pengering (talcum ;
ZeaSORB) atau bedak anti jamur (Tinactin/Doctorin), sesudahnya dan tiap pagi.

b. Alas kaki harus pas betul dan tidak terlalu ketat. c. Pasien dengan hiperhidrosis agar memakai kaos
kaki dari bahan katun yang menyerap dan jangan memakai bahan wool atau bahan sintetis. d. Pakaian
dan handuk agar sering diganti dan dicuci bersih-bersih dalam air panas.

2.2.12. Komplikasi Organisme yang dapat dibiakkan dari sela jari kaki normal adalah sejumlah mikroflora,
termasuk Micrococcae (Staph), Coryneform aerobik, dan sedikit bakteri gram negatif. Sela jari juga
dikolonisasi oleh dermatofita dan ragi misalnya Candida. Bila sawar stratum stratum korneum rusak oleh
karena drmatofita, yaitu terjadi inflamasi dan maserasi, bakteri akan mempunyai kemampuan
berproliferasi. Infeksi sela jari oleh bakteri gram negatif adalah komplikasi terberat dari spektrum
dermatofitosis kompleks. Gambaran klinis berupa maserasi putih sela jari dengan erosi yang nyeri. Lesi
ini bersifat eksudatif dan berbau serta dapat disertai reaksi radang hebat. Pada kasus ini, biakan kuman
umumnya akan tumbuh Pseudomonas atau Proteus. Komplikasi lainnya yang mungkin terjadi adalah
infeksi sekunder oleh kapang saprofit, yang sesungguhnya bukan patogen primer. Reaksi „id‟
(autoeksematisasi) akan terjadi berupa vesikular, ekzematisasi, atau erupsi anhidrotik pada jari tangan,
telapak tangan dan kaki (Fridling, 1996). 2.2.13. Prognosis Infeksi jamur pada umumnya berlangsung
kronis pada dermatofitosis terutma bila disebabkan oleh T.rubrum. rekurensi dapat terjadi terutama bila
faktor predisposisinya sulit diatasi (Verma & Heffernan, 2008; Hay & Moore, 2004).

Anda mungkin juga menyukai