Anda di halaman 1dari 6

RPR (Rapid Plasma Reagin)

I. Pendahuluan
Imunoasai untuk sifilis memegang peranan yang penting dalam
diagnosis laboratoris dari penyakit sifilis, sebab perjalanan penyakit ini
sudah lama dan sampai dewasa ini Treponema pallidum (T.pallidum)
belum berhasil untuk dikultur pada suatu media pembenihan, sedangkan
pemeriksaan secara langsung (mikroskopis) hanya dapat dikerjakan pada
bahan atau specimen tertentu misalnya yang diambil dari lesi lues ulcus
durum yang sering kali hanya muncul dalam waktu yang relatif singkat
dan sering memberikan hasil negatif semu (Handojo, 2004).
Suatu infeksi oleh suatu mikroorganisme, umumnya akan
membangkitkan pembentukan antibodi pada tubuh penderita. Demikian
pula halnya pada infeksi dengan T.pallidum. Pembentukan antibodi pada
tubuh penderita penyakit tersebut, yaitu dimulai pada akhir stadium
pertama atau permulaan stadium kedua. Hal ini terutama disebabkan oleh
karena kuman ini diliputi oleh suatu selaput mucoid yang menyebabkan
kuman ini menjadi kebal terhadap fagositosis. Baru setelah kuman ini agak
lama berada dalam tubuh atau telah menyebar ke kelenjar limfe ragional
(akhhir stadium pertama), pembentukan antibodi humoral yang nyata
dimulai terjadi ( Handojo, 2004).
Uji RPR kualitatif adalah suatu pemeriksaan penapisan dengan
serum pasien yang tidak diencerkan dengan partikel arang berlapis
kardiolipin di kertas karton. Setelah rotasi mekanis selama waktu tertentu,
sediaan diperiksa untuk melihat ada tidaknya aglutinasi makroskopis
partikel arang. Pada pemeriksaan RPR kualitatif, disipakan pengenceran
serial serum pasien, dan titik akhir pemeriksaan adalah pengenceran
tertinggi serum pasien yang masih menyebabkan penggumpalan partikel
arang (Sacher, 2004).
Uji antibodi treponema yang digunakan secara luas saat ini adalah
fluorescent treponemal antibody-absorbed double stain test (FTA-ABS
DS), uji mikrohemaglutinasi-T.pallidum (MHA-TP), dan uji treponema
hemaglutinasi untuk sifilis (HATTS). Pemakaian uji-uji ini biasanya
terbatas untuk konfirmasi hasil positif uji antibodi nontroponema
(RPR/VDRL).
Uji antibodi nontreponema digunakan terutama untuk menapis atau
menyaring pasien untuk sifilis dan untuk memantau respons terhadap
pengobatan sifilis. Uji RPR yang positif pada seseorang pasien yang tidak
sedang diterapi untuk sifilis harus dikonfirmasi dengan uji untuk antibodi
treponema karena banyak keadaan yang dapat menyebabkan hasil uji
antibodi nontroponema yg “positif palsu biologis” (Sacher,McPherson,
2004).
Salah satu yang dapat menyebabkan positif palsu ialah infeksi
Mycobacterium tuberculosis (M.tuberculosis) Respons imun terhadap
bakteri penyebab tuberkulosis dan sifilis berbeda. T.pallidum membentuk
antibodi kardiolipin yang dapat merusak jaringan sel endotel, yang dapat
dideteksi sebagai reagin. Sedangkan M.tuberculosis dapat memicu reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, yang dapat merusak jaringan. Hasil
kerusakan jaringan yang diakibatkan respons imun terhadap bakteri
M.tuberculosis ini diduga dapat juga terdeteksi sebagai antibodi reagain.
II. Tinjauan Pustaka
Sifilis merupakan salah satu bentuk IMS yang bersifat kronis,
sistemik, serta dapat mengancam nyawa pasien. Penyakit ini kerap kali
disebut dengan Raja Singa, karena keganasannya, dan juga The Great
Imitator, karena kemunculannya ditandai dengan gejala yang tidak selalu
sama atau atipikal. Sifilis dapat menyerang hampir semua bagian tubuh,
termasuk sistem kardiovaskular dan saraf (Natahusada, 2009). Menurut
CDC (2014), sifilis merupakan IMS yang dapat mengakibatkan
komplikasi serius apabila tidak mendapat penanganan, namun dengan
penanganan yang tepat akan sangat mudah untuk disembuhkan.
Sifilis disebabkan oleh infeksi bakteri Treponema pallidum yang
melakukan pembelahan secara melintang dan umumnya tidak dapat
dilakukan di luar tubuh. Transmisi sifilis melalui barang sangatlah sulit
untuk terjadi karena bakteri ini akan sangat mudah mati apabila berada di
luar tubuh (Natahusada, 2009). Selain itu, bakteri ini tidak tahan terhadap
panas, antiseptik, deterjen, serta kekeringan. Hal tersebut terjadi sebagai
akibat tidak adanya lipopolisakarida pada membran luar bakteri ini
(LaFond dan Lukehart, 2006).
Penularan sifilis paling sering terjadi melalui hubungan seksual,
baik anal, oral, maupun vaginal. Hubungan seksual anal meningkatkan
risiko terjadinya lesi oleh karena tidak ada lubrikan pada anus. Lesi-lesi
yang ditimbulkan memungkinkan masuknya bakteri dan virus ke dalam
pembuluh darah sehingga akan meningkatkan risiko penularan sifilis
(Natahusada, 2009).
Menurut Pedoman Tatalaksana Sifilis untuk Pengendalian Sifilis di
Layanan Kesehatan Primer yang diterbitkan oleh Kemenkes RI (Daili
dkk., 2013), penegakan diagnosis sifilis dilakukan berdasarkan manifestasi
klinis dan tes serologis. Tes serologis yang tersedia dikelompokkan
menjadi tes non-troponema dan tes troponema. Apabila hasil tes non-
troponema reaktif, dilanjutkan dengan tes troponema untuk
mengkonfirmasi diagnosis. Dan apabila hasil tes troponema juga reaktif,
pasien didiagnosis memiliki sifilis. Kemudian untuk kepentingan
pemilihan terapi, dilakukan tes RPR kembali untuk menghitung titer RPR.
Tes non-troponema, yaitu RPR (Rapid Plasma Reagin) dan VDRL
(Veneral Disease Research Laboratories), dapat mendeteksi bahan-bahan
lipid yang berasal dari sel-sel T. pallidum yang hancur. Tes yang sering
digunakan sebagai skrining ini dapat membedakan infeksi tersebut aktif
atau tidak dan untuk memonitor keberhasilan terapi. Namun antibodi yang
dideteksi kurang spesifik karena dapat pula timbul pada infeksi akut dan
penyakit kronis.
Tes troponema yang tersedia adalah berupa TPHA (Treponema
Pallidum Haemoglutination Assay), TP Rapid (Treponema Pallidum
Rapid), TP-PA (Treponema Pallidum Particle Agglutination Assay), dan
FTA-ABS (Fluorescent Troponemal Antibody Absorption). Tes tersebut
dapat mendeteksi antibodi yang spesifik terhadap troponema. Tes
troponema ini dapat menunjukkan hasil reaktif seumur hidup walaupun
terapi telah berhasil dilakukan sehingga tidak dapat membedakan antara
infeksi aktif dan infeksi yang telah berhasil diterapi (Daili dkk., 2013).
III. Prinsip Reaksi
Antigen yang digunakan dalam kit adalah modifikasi dari antigen VDRL
yang mengandung mikropartikel karbon untuk memperjelas pengamatan.
Reagen yang terdapat pada specimen penderita sifilis menyebabkan
flokulasi dari partikel karbon dalam suspensi RPR reagin. Terjadinya
aglutinasi bisa terlihat oleh mata telanjang sebagai gumpalan-gumpalan
berwarna hitam yang mengambang ke permukaan cairan. Specimen yang
tidak mengandung reagin akan menghasilkan cairan berwarna abu-abu
muda pada reaksi.
IV. Alat dan Bahan
1) Kaca objek
2) Mesin pengocok
3) Mikropipet 50 µl, 16 µl
4) Pengaduk
V. Hal yang Harus Diperhatikan
a) AIM RPR TEST ini hanya digunakan untuk pemeriksaan
diagnostic yang digunakan oleh tenaga terdidik saja.
b) Perlakukan semua specimen sebagai bahan menular. Buang seluruh
peralatan reaksi yang telah dipakai dalam wadah biohazard atau
dengan mengautoklaf paling sedikit 1 jam atau direndam dalam
larutan Natrium Hipoklorida 0,5% selama 1 jam sebelum dibuang.
VI. Cara Penyimpanan Reagen
Kartu reaksi harus disimpan pada suhu 2-8ºC tapi jangan sampai
membeku. Suspensi antigen akan stabil sampai batas kadaluwarsa yang
tercantum pada botol jika disimpan dengan benar. Bila disimpan dalam
lemari pendingin,suspense yang telah dipindahkan kedalam botol penetes
bisa bertahan sampai 3 bulan.
VII. Tentang Sampel
Spesimen yang dibutukan adalah serum dan plasma manusia.
Plasma yang belum dipanaskan,serum yang sudah dipanaskan,maupun
yang menggunakan EDTA sebagai antikoagulan,bisa digunakan untuk
pengetesan RPR ini
48 jam pada suhu 2-8C;
6 minggu pada suhu -20ºC
VIII. Prosedur Kerja
Kualitatif
1) Campur 20 µl serum dengan 50 µl antigen karbon
2) Putar pada rotator machine dengan kecepatan 180 rpm selama 5
menit, atau 100 rpm selama 8 menit
3) Baca hasilnya.
Semi Kuantitatif
1) Sediakan 5 lingkaran test
2) Pipet satu tetes 50 µl NaCl 0,85% dan letakkan di atas masing-
masing lingkatan tes tersebut.
3) Pipet 50 µl sapel diatas lingkaran pertama
4) Selanjutnya buat pengenceran dua lipat ganda
5) Masing-masing pengenceran dicampur 5 s/d 6 kali (supaya
homogen), hindari terjadinya gelembung
6) Pada lingkaran ke-5 buang 5 µl
7) Dengan menggunakan mixing stick lebarkan sampel yang telah
diencerkan tersebut ke seluruh daerah tes. Dimulai dari
pengenceran tertinggi, gunakan stick yang berbeda
8) Campur suspensi antigen sampai homogen dan letakkan pada
automatic rotator selama 5 menit 100 rpm.
IX. Interpretasi Hasil
Apabila terjadi aglutinasi maka dikatakan VDRL + (positif), dan bila tidak
terjadi aglutinasi dikatakan VDRL – (negative). Jika hasil positif
dilanjutkan dengan oemeriksaan semi kuantitatif.
Diagnosis biasanya dikonfirmasi dengan, teknik lain yang menggunakan
antigen spesifik treponema palidum. Hasil positif palsu biasa terjadi pada
keadan penyakit di antaranya :
 Rheumatoid arthritis
 Lepra
 Lupus erythematosus
 Infeksi mononucleosis
 Malaria
 Pada keadaan kehamilan
X. Soal 5
XI. Pembahasan
Pemeriksaan Rapid Plasma Reagin (RPR) merupakan salah satu
pemeriksaan non troponemal untuk sifilis yang mencari non-spesifik
antibody (reagin) dalam darah pasien. Istilah“non-spesifik"berarti bahwa
tes ini tidak mencari antibody terhadap bakteri yang sebenarnya,melainkan
untuk antibody yang terdapat pada zat yang dikeluarkan oleh sel-sel ketika
mereka rusak oleh T.pallidum.
Uji RPR kualitatif adalah suatu pemeriksaan penapisan dengan
serum pasien yang tidak diencerkan kemudian dicampur dengan partikel
arang (karbon) berlapis kardiolipin di kertas karbon. Setelah rotasi
mekanis selama waktu tertentu, sediaan diperiksa untuk melihat ada
tidaknya aglutinasi makroskopik partikel arang (karbon).
Prinsip daripada tes Rapid PlasmaRegin (RPR) adalah yang
dimana sebuah tes yang berdasarkan atas reaksi flokasi nontreponemal
yang digunakan untuk mendeteksi antibodi reagin yang timbul pada
penyakit sifilis. Antigen RPR yang digunakan dalam kit ini adalah
modifikasi dari antigen VDRL dimana mengandung partikel karbon
khusus untuk memperbesar perbedaan antara hasil positif dengan negative
secara visual.
Antibodi terhadap sifilis mulai terbentuk pada akhir stadium
pertama, tetapi kadar amat rendah dan seringkali memberikan hasil negatif
pada uji serologis.Titer antibodi ini terus meningkat danmencapai puncak
pada stadium kedua untuk selanjutnya menurun sedikit demi sedikit pada
stadium laten dan menunjukan titer yang agak rendah (tetapi masih
positif).
Tes RPR adalah efektif tes skrining, karena sangat baik dalam mendeteksi
orang tanpa gejala yang terkena sifilis. Namun tes mungkin menunjukkan
bahwa orang memiliki sifilis yang dalam kenyataannyatidak (misalnya,
mungkin menghasilkan positif palsu), karena banyak keadaan yang dapat
menyebabkan hasil uji “positif-palsu biologis”. Maka uji RPR yang positif
pada seorang pasien yang tidak sedang diterapi untuk sifilis harus
dikonfirmasi dengan uji untuk antibody treponema. Salah satu hasil positif
dapat dilihat pada infeksi bakteri M.tuberculosis (tuberkulosis).
Flokulasi/gumpalan yang lemah atau tinggi/kuat menunjukan
banyaknya antibodi reagin yang terkandung dalam serum penderita.
Semakin kuat reaktif yang ditimbulkan semakin banyak pula antibodi yang
terkandung dalam serum penderita.
XII. Kesimpulan
XIII. Daftar Pustaka
XIV. Istilah Penting
Keterbatasan uji ini :
a. Penyakit akibat infeksi Treponema non venereal secara serologic
tidak dapat dibedskan
b. Hasil negative palsu 20-30%
c. Hasil negative palsu dapat dijumpai pada beberapa penyakit akut
atau kronik
d. Hasil positif semu dapat terjadi pada orang hamil ,pada penderita
autoimun,para pemakai narkotik,dan para pemakai obat obatan
anti hipertensi

Anda mungkin juga menyukai