Anda di halaman 1dari 9

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN GELOMBANG XXXIV KELOMPOK 4A

KOASISTENSI LABORATORIUM BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI

RINGWORM

Oleh:
Tiara Prastiana Putri
NIM. 061923143047

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2020
1. PENDAHULUAN
Ringworm merupakan penyakit kulit yang dapat menginfeksi banyak spesies
hewan bahkan manusia, penyakit ini juga bersifat penyakit zoonosis. Hampir semua
hewan dapat terinfeksi ringworm seperti sapi, kuda, anjing, kecing, unggas, kelinci,
cavia, tikus air, tetapi jarang ditemukan pada babi, kambing, burung liar, dan keledai.
Ringworm menyerang permukaan tubuh bagian kulit, rambut, bulu, dan tanduk. Penyakit
ringworm dapat menyebabkan perubahan fisik seperti kerontokan bulu, kulit bersisik,
pembengkakan kulit kemerahan, dan gatal. Pada ternak, penyakit ini tidak berakibat fatal
namun menganggu dan menurunkan produktivitas ternak hingga menurunkan nilai
ekonomisnya (Adzima dkk, 2013).
Dinamakan penyakit ringworm karena diduga penyebabnya adalah worm dan
gejalanya dimulai dengan adanya peradangan pada permukaan kulit yang dapat meluas
secara melingkar seperti cincin. Ringworm juga disebut sebagai dermatophytosis, nama
dermatofit adalah jenis kapang yang menyebabkan kerusakan kulit karena zat keratin
yang terdapat di kulit untuk pertumbuhannya. Dermatiphytosis disebabkan oleh 3 genus
yaitu epidermophytoon, microsporum, trychophyton. Genus epidermophytoon menyerang
manusia, sedangkan genus microsporum dan trychophyton diketahui menyerang hewan
(Adzima dkk, 2013).
Lingkungan berpengaruh pada pertumbuhan jamur penyebab ringworm. Pada
daerah tropis, beriklim panas hingga sedang terutama pada udara lembab. Pada negara 4
musim, ringworm sering terjadi pada musim dingin dan musim semi. Microsporum canis
merupakan agen penyebab kurang lebih 95% pada kucing dan 70% pada anjing di
Amerika Utara. Microsporum canis tersebar luas di dunia, sedangkan untuk spesies
Trychophyton concentricum diketahui hanya berada pada daerah tertentu (Pudjiatmoko,
2014).

2. ETIOLOGI
Ringworm disebabkan oleh golongan jamur dermatofit yang dibagi menjadi tiga
genus antara lain, microsporum, trychophyton, epidermophytoon (Bernado et al., 2005).
Ringworm merupakan penyakit zoonosis yang dapat menular ke manusia. Spesies kapang
yang menyerang hewan yaitu Trichophyton verrucosum, Trichophyton mentagrophytes,
Trichophyton megninii dari genus Trichophyton. Genus lain yang menyerang hewan yaitu
microsprorum dengan spesies Microsprorum canis. Microsprorum canis menyerang pada
kucing dengan kasus lebih dari 90%. Untuk membedakan ketiga genus tersebut dapat
dilihat berdasarkan penampilan spora dan hifa.
Morfologi koloni Epidermophyton sp. tampak seperti bulu datar dengan lipatan
sentral, berwarna kuning kehijauan, kuning kecoklatan. Gambaran mikroskopis tampak
tidak mempunyai mikrokonidia, beberapa dinding tipis dan tebal. Makrokonidia
berbentuk gada. Microsporum canis mempunyai morfologi koloni datar, berwarna putih
hingga kuning, kasar dan berambut, dengan celah radial yang rapat. Pada media PDA
(Potato Dextrose Agar). Secara mikroskopis terdapat beberapa mikrokonidia, sejumlah
dinding tebal dan makrokoni-dia bergerigi dengan knob pada ujungnya.
Trychopyhton verrucosum mempunyai morfologi koloni kecil dan bertumpuk,
kadang datar, warna putih hingga abu kekuningan. Secara mikroskopis terdapat rantai
klamikonidia pada SDA (Sabouraud Dextrose Agar). Makrokonidia yang panjang dan
tipis seperti ekor tikus. (Kurniati, 2008). Koloni T.verrucosum mempunyai pertumbuhan
yang tergolong lambat dengan waktu inkubasi sekitar 2 minggu pada media SDA.
Mempunyai sifat tidak tahan terhadap suhu pembekuan Trychopyhton verrucosum juga
dapat diidentifikasi melalui uji nutrisi dengan menanam pada media thiamine inositol
casein agar, ammonium nitrat agar (NH4NO3 agar), histidine ammonium nitrat agar, dan
casein agar pada inkubasi suhu 25 atau 37OC, tetapi untuk T.verrucosum hanya dapat
hidup di media ammonium nitrat (Rebell dan Taplin, 1970 dalam Gholib dan
Rachmawati, 2010).
Microsporum mempunyai predileksi di rambut dan kulit. Microsporum canis
dapat hidup di rambut hewan dengan suhu kamar selama 323-422 hari. Ringworm
mempunyai morbiditas tinggi dengan mortalitas yang rendah. Kaplan dkk melaporkan
dari 360 anjing penderita ringworm, 10% menularkan terhadap pemiliknya, juga 30%
pemilik kucing yang terinfeksi ringworm. (Pudjiatmoko, 2014).
Gambar1.Epidermophyton sp. 2. Microsporum canis 3. Trychopyhton verrucosum
(Kurniati, 2008)

3. PATOGENESITAS
Dermatofitosis atau ringworm disebabkan oleh golongan jamur dermatofita yang
menyerang jaringan berkeratin (zat tanduk) pada kuku, rambut, dan stratum korneum di
epidermis (Bernado et al, 2005). Dermatofit menginfeksi dengan tiga langkah yaitu
perlekatan dermatofit pada keratin, penetrasi melalui dan diantara sel, dan terbentuknya
respon host (Kurniati, 2008).
Penularan penyakit melalui kontak langsung antara hewan sakit dengan hewan
sehat ataupun dengan manusia. Kontak dengan lesi secara tidak langsung melalui spora
juga dapat terjadi. Penularan dari hewan ke manusia biasanya karena Microsporum canis.
Pada kuda, juga bisa ditularkan lewat peralatan menuggang kuda seperti sadel, dan
pakaian kuda (Pudjiatmoko, 2014).
Pengaruh lingkungan merupakan faktor predisposisi penyakit ringworm, daerah
dengan suhu dan kelembaban yang tinggi dapat memudahkan jamur untuk tumbuh.
Selain suhu dan kelembaban, musim dingin dan hujan yang dalam keadaan basah juga
meningkatkan infeksi jamur (Pudjiatmoko, 2014). Kapang dermatofit mengambil
keuntungan dari hewan dengan mengurangi kekebalan tubuh hewan karena kapang
dermatofit mempunyai faktor virulensi utama yaitu memiliki enzim proteinse, elastase,
keratinase. Enzim tersebut merupakan produk ekstra-seluler dari dermatofit, yang
berperan untuk mencerna jaringan dari host sehingga mendapatkan nutrisi untuk
pertumbuhan dari dermatofit itu sendiri dan juga enzim tersebut dapat menimbulkan
reaksi radang terhadap host atau induk semang (Emeka, 2011; Carter dan Wise, 2004)
Untuk menginfeksi, dermatofit harus melawan pertahanan tubuh non spesifik dan
spesifik. Dermatofit mempunyai kemampuan untuk melekat pada kulit dan mukosa,
menembus jaringan, bertahan dalam lingkungan tubuh host dan berkembang biak hingga
menimbulkan reaksi radang. Langkah pertama yaitu dermatofit melekat pada keratinosit
dengan cara serabut dinding terluar dari dermatofit memproduksi keratinase (keratolotik)
yang menghidrolisis keratin hingga dermatofit dapat tumbuh di stratum korneum.
Langkah selanjutnya yaitu penetrasi dermatofit dalam sel. Spora tumbuh dan menembus
stratum korneum. Dermatofit harus dapat bertahan menghadapi pertahanan imun tubuh
ketika melakukan penetrasi. Setelah dermatofit berhasil melakukan penetrasi, timbul
respon imun dari host yang terdiri dari dua meknisme yaitu imunitas alami dan adaptif.
Pertahanan spesifik menyebabkan timbulnya keratinisasi dan proliferasi epidermis yang
bertindak sebagai barrier. Adanya akumulasi neutrofil di epidermis berupa pustule, yang
dapat menghambat pertumbuhan dermatofit melalui mekanisme oksidatif (Kurniati,
2008).
Trychophyton sp. merupakan salah satu kapang dermatofit yang mempunyai
filamen keratinofilik sehingga mempunyai kemampuan untuk menyerang jaringan
keratin. Kapang ini menyebabkan infeksi pada pasien imunocompromised (sistem imun
yang lemah), sehingga infeksi yang ditimbulkan cenderung berat dan menetap (Kurniati,
2008).

4. GEJALA KLINIS DAN PATOLOGI ANATOMI


Infeksi pada manusia mempunyai bentuk yang hampir mirip dengan infeksi kulit
pada hewan. Tampak bulat kemrahan dengan lesi menyerupai kawah yang berisi air, rasa
yang sangat gatal, jika digaruk akan semakin meluas dan lesinya semakin dalam.
Penyakit ringworm mempunyai bentukan khas menyerupai cincin, infeksi
ringworm juga dapat disertai dengan infeksi sekunder yang menimbulkan gejala klinis
yang bervariasi. Gejala klinis yang biasanya tampak yaitu bercak merah, eksudasi,
rambut rontok. Pada setiap hewan, biasanya lokasi infeksi berbeda. Pada kucing dan
anjing bentuk cicncin biasanya ditemukan pada telinga, daerah muka, dan kaki. Terutama
pada anjing biasanya sering dijumpai di daerah moncong, kaki dan perut bagian bawah
disertai keropeng, erupsi kulit dan rambut rontok. Pada kucing biasanya ditemukan
sedikit rambut rontok disekitar muka dan telinga. Kucing lebih sering menjadi carrier dan
menimbulkan masalah pada pembiakkan kucing. (Pudjiatmoko, 2014). Kucing muda
lebih rentan terserang infeksi M.canis karena sistem pertahanan tubuhnya yang belum
sempurna. Kucing yang memilki rambut panjung pun lebih rentan terserang karena lebih
mempunyai banyak sel keratin pada rambut panjang daripada rambut pendek. Lesi yang
ditemukan berbentuk fokal atau multifokal, berwarna kemerahan pada bagian tepi dan
mempunyai bentuk sirkuler atau melingkar seperti cincin dengan diameter 2-5 mm.
bentuk keradangan aktif ditunjukkan dengan adanya warna kemerahan pada kulit, hal ini
terjadi sebagai bentuk pencegahan dari penetrasi dermatofit pada kulit. Proses
peradangan akan menepi dan membentuk central healing sehingga terbentuk ringworm
(Miller et al, 2013 dalam Inarjulianto dkk, 2017).

Gambar 4. infeksi ringworm pada kucing (Pudjiatmoko, 2014).


Pada sapi sering ditemukan lesi pada muka, leher, dan permukaan yang tinggi.
Lesi yang ditemukan berupa keropeng, bersisik atau berbentuk bungkul. Perdarahan
dapat terjadi jika keropeng diambil. Infeksi ringworm pada sapi biasanya menyerang
hewan muda, dengan masa inkubasi selama 2-4 minggu setelah itu rambut rontok, 2-3
bulan tampak lesi tebal, bulat, menonjol dengan batas jelas, warna putih keabuan. Lesi
dapat menyebar kearah perifer dengan diameter 5-10 cm jika tidak segera diobati.
Infeksi ringworm pada kuda sering ditemukan pada daerah bahu, muka, dada, dan
punggung. Lesi pada kulit tampak eritrema, rambut rontok, bersisik atau berbentuk
benjolan dengan luka yang cukup dalam. Selain gejala tersebut, dapat timbul alopesia
berjumlah satu atau lebih dan keropeng pada infeksi yang berlanjut. Pada domba
biasanya meyerang di daerah muka dan punggung disertai erupsi kulit, rambut rontok,
dan pembentukan sisik (Pudjiatmoko, 2014).
Kasus ringworm pada kelinci juga sering ditemukan dengan penyebab
T.verrucosum. Peradangan yang tampak yaitu kasar, bersisik, warna merah muda, tidak
ditemukan penebalan kulit. Sedangkan infeksi karena T.mentagrophytes tampak adanya
penebalan kulit, bersisik, bentuk bulat dan berwarna merah tua (Gholib dan Rachmawati,
2010).

e. infeksi ringworm pada sapi (Gholib dan Rachmawati, 2010).

5. DIAGNOSA
Diagnosa dilakukan dengan melihat gejala klinis. Gejala klinis yang dilihat antara
lain adanya bentukan cincin disertai keropeng (patognomonis), rambut rontok, bentukan
lesi membulat cenderung meluas. Metode diagnosis dapat dilakukan secara konvensional
maupun molekuler. Perangkat yang sering diguakan oleh dokter hewan yaitu lampu
wood’s yaitu alat untuk mngetahui adanya invasi dermatofit pada permukaan kulit dan
rambut. Metode lain yaitu dengan kerokan rambut dan kulit atau scrapping dan dilihat
dibawah mikroskop atau kultur sampek scrapping (Bond, 2010 dalam Indarjulianto dkk,
2017).
Pemeriksaan laboratoium berupa pemeriksaan mikroskopis, pemeriksaan
histologis dan kultur jamur. Bahan pemeriksaan berupa kerokan/scrapping kulit. Sebelum
scrapping pada tempat yang terinfeksi, dilakukan desinfektan terlebih dahulu untuk
menghindari pencemaran dengan alcohol 70%. lalu scrapping dengan KOH 20% dan
swab. Scrapping dilakukan di tepi luka, lalu dimasukkan ke dalam botol atau tabung steril
dan diberi tanda. Jika rambut sebagai bahan pemeriksaan dapat diperoleh dari rambut
yang patah atau mencabut rambut hingga sampai pangkal. Bahan pemeriksaan seperti
keropeng atau rambut dapat dikirm dalam amplop atau kertas supaya menjaga tetap
kering (Pudjiatmoko, 2014).
Sampel yang telah diambil, dikirm ke laboratorium akan diisolasi dan
indentifikasi. Sampel dimasukkan dalam 10 ml pepton water cair untuk di homogenkan
dan diinkubasi selama 24 jam suhu 37oC. sampel yang telah dibiakkan diambil 1 ml
dimasukkan dalam cawan petri yang berisi 10 ml SDA yang telah ditambahkan
gentamicin. Biakkan kapang yang sudah ditanam dalam petri disk, diinkubasi selama 5-7
hari pada suhu 37oC. Diamati perkembangan danpertumbuhannya. Kapang ditanam pada
slide culture dan dilakukan pewarnaan dengan lactophenol cotton blue (LCB). Kapang
yang tumbuh diamati di mikroskop dengan perbesaran 20, 40, 100. Dan dilakukan
pengamatan pada morfologi, hifa, konidia dan konidiofornya (Adzima dkk, 2013).
Menurut struktur mikroskopisnya terdiri dari hifa/miselium, sel konidia/spora, atau
klamidiospora, mikro dan makrokonidia. Strukur yang penting untuk spesifikasi yaitu
ukuran dan bentuk makro dan mikrokonidia dan ketebalan dinding sel (Gholib dan
Rachmawati, 2010).

6. PENGENDALIAN PENYAKIT
Ringworm dengan perubahan kulit akut dapat diobati dengan asam borax 2-5%,
kalium permanganate 1:5000. Untuk lesi yang kronis kulit tebal, hiperpigmentasi dan
keropeng dapat menggunakan carbowax yang mengandung fungisida. Pada lesi keci
dapat digunakan miconazole cream 2%. Pencegahan dapat dilakukan dengan manajemen
sanitasi dan lingkungan kandang. Hewan yang sakit harus di isolasi sehingga tidak
menularkan ke hewan yang sehat. Pada spesies T.verrucosum sudah ditemukan vaksin
untuk anak sapi sehingga dapat meningkatkan kekebalan terhadap infeksi T.verrucosum.
Hewan ternak yang terinfeksi ringworm masih dapat dikonsumsi dagingnya dengan
syarat kulitnya dimusnahkan (Pudjiatmoko, 2014).

7. DAFTAR PUSTAKA
Adzima Vhodzan, Jamin Faisal, Abrar Mahdi. 2013. Isolasi dan Identifikasi Kapang
Penyebab Dermatofitosis pada Anjing di Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh.
Jurnal Medika Veterinaria 7(1): 46-48
Bernado F, Lanca M, Guerra M, Martins HM. 2005. Dermatophytes isolated from pet,
dogs and cats, in Lisbon, Portugal (2000-2004). RPCV100 (555-554): -85-88
Carter, G.R. and D.J. Wise. 2004. Essentials of Veterinary Bacteriology and Mycology,
Sixth Edition Blackwell Publishing. 276p
Emeka, I.N. 2011. Dermatophytoses in Domesticated Animals. Rev Inst Med Trop Sao
Paulo. 53(2):95:99
Gholib Djaenudin dan Rachmawati S. 2010. Kapang Dermatofit Trychophyton
verrucosum Penyebab Penyakit Ringworm pada Sapi.Wartazoa. 20(1):43-53
Indarjulianto S., Yanuartono, Widyarini S., Raharjo S., Purnamaningsih H., Nururrozi A.,
Haribowo N., Jainudin H.A. 2017. Infeksi microsporum canis pada kucing
penderita dermatitis. Jurnal veteriner. 18(2): 207-210
Kurniati dan Rosita Cita. 2008. Etiopatogenesis Dermatofitosis. Berkala Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin. 20(3):243-249
Pudjiatmoko. 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Subdit Pengamatan Penyakit
Hewan DIrektorat Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan Kementrian Pertania, Jakarta. 327-336
Pudjiatmoko. 2014. Manual Penyakit Unggas. Subdit Pengamatan Penyakit Hewan
DIrektorat Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan Kementrian Pertania, Jakarta.175-181
Rebbel, G. and D. Taplin. 1970. Dermatophytes, Their Recognition and Identification,
Revised Edition. University of MiamiPress.124p

Anda mungkin juga menyukai