Anda di halaman 1dari 9

Laporan

Tugas Koasistensi Departemen Mikrobiologi


(Bakteriologi)
Penyakit Brucellosis pada Sapi di Indonesia
Kelompok 4 Gelombang 34

Oleh :

ILHAM RADIFAN PRATAMA


NIM. 061923143049

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2020
Pendahuluan

Di Indonesia, kasus Brucellosis pada hewan ditemukan pertama kali tahun


1915 pada sapi di Jawa, hingga tahun 2014 belum semua daerah di Indonesia
bebas Brucellosis. Indonesia memiliki 33 propinsi, namun hanya 10 propinsi yang
dinyatakan bebas dari Brucellosis pada hewan, yaitu Riau, Sumatera Barat,
Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Bangka Belitung, Bali, Nusa Tenggara
Barat, Nusa Tenggara Timur dan seluruh pulau Kalimantan. (Dirjen Peternakan,
2001). Penyakit Brucellosis disebabkan oleh bakteri Brucella abortus, penyakit
ini merupakan penyakit infeksius yang sangat ditakuti oleh peternak karena dapat
mengakibatkan kematian fetus dan dapat menular ke ternak lain yang sehat (Basri
dan Sumiarto, 2017).

Brucellosis merupakan zoonosis yang menyebabkan kerugian ekonomi


yang signifikan bagi peternak dan ekonomi nasional karena menyebabkan
penurunan produktivitas ternak dan kelemahan manusia yang terkena (Kaufmann
et al., 1997). ). Kerugian ekonomi akibat Brucellosis pada sapi dapat terjadi antara
lain karena: (a) abortus, (b) sterilitas dan infertilitas, (c) kematian dini anak-anak
sapi dan (d) penurunan dan penghentian produksi (Ristic and Mclntyre, 1981).
Dilaporkan paling sedikit 37% sapi yang tertular Brucellosis mengalami
keguguran setiap tahun. Di Indonesia, tercatat kerugian ekonomi akibat infeksi
Brucellosis mencapai 385 milyar rupiah per tahun apabila pemerintah tidak
melakukan pengendalian dan pemberantasan (Bahri dan Martindah, 2010).

Di Indonesia kasus Brucellosis belum terdeteksi, karena publikasi


Brucellosis sebagai penyakit zoonosis masih kurang dan menyebabkan
masyarakat belum banyak mengetahui bahwa Brucellosis dapat menular ke
manusia. (Novita,2016). Tujuan penulisan kajian literatur ini adalah untuk
mengkaji penyakit Brucellosis yang harus diperhatikan serius oleh pemerintah,
diwaspadai oleh masyarakat, dan dapat menentukan pengendalian yang tepat
terdapat penyakit tersebut.

2
Etiologi

Brucellosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Brucella


abortus. Penyakit ini merupakan penyakit infeksius yang dapat menular dari
hewan ke manusia melalui produk ternak yang terkontaminasi dan dapat pula
menular melalui kontak langsung (Chistopher et al., 2010). Genus Brucella
memiliki 6 spesies yaitu B. melitensis, B .abortus, B. suis, B. neotomae, B. ovis,
dan B. canis. Di antara spesies ini yang sering menimbulkan masalah bagi ternak
adalah B. melitensis yang menyerang kambing, B. abortus yang menyerang sapi
dan B. suis yang menyerang babi.

Penyakit akibat infeksi B. abortus pada manusia disebut demam undulan,


sedangkan infeksi oleh B. melitensis disebut demam malta Pada manusia
penularan dari manusia ke manusia jarang terjadi, kejadian penyakit pada
manusia erat kaitannya dengan prevalensi Brucellosis pada hewan, praktek atau
kontak langsung dengan hewan yang berpotensi penyakit dan produk hewan itu
sendiri (Bret et al., 2007)

Bakteri B. abortus bersifat Gram negatif, tidak bergerak, tidak berspora,


berbentuk cocobasilus dengan panjang 0,6 µm–1,5µm, bakteri terlihat sendiri-
sendiri, membentuk rantai pendek dan koloni bakteri berbentuk bulat, halus,
permukaan cembung dan licin berkilau dan tembus cahaya (Alton, 1998).

Gambar 1. Bakteri B.abortus Sumber : Acha PN and Boris S,2003 1

3
Patogenesis

Sapi dapat tertular Brucellosis melalui saluran pencernaan setelah


memakan atau meminum bahan (makanan) yang tercemar, alat inseminasi buatan
yang tercemar dan penetrasi kulit utuh, lecet, maupun melalui mukosa pada
konjungtiva. Setelah B. abortus masuk ke dalam tubuh inang, bakteri ini menuju
tempat predileksi yaitu tempat yang mengandung suatu zat kimia yang disebut
erythritol (Narumi dkk., 2010).
Zat erythritol merupakan zat kimia yang disukai oleh bakteri Brucella dan
dengan adanya zat ini Brucella dapat bertahan hidup dan melakukan
perkembangbiakan. Infeksi yang terjadi secara akut menyebabkan bakteri
Brucella abortus berpredileksi di dalam plasenta, lambung, paru-paru dan
dikeluarkan bersama-sama fetus dan cairan uterus waktu abortus. Bentuk infeksi
yang terjadi secara kronis, pada sapi betina dewasa bakteri berpredileksi di dalam
kelenjar susu, kelenjar limfe supramammae, retrofaringeal, iliaka interna dan
eksterna. Oleh karena itu bakteri dapat dikeluarkan bersama susu. Pada sapi
jantan, Predileksi Brucella di dalam testis, epididimis, vas deferens dan kelenjar
vesikularis, sehigga bakteri dapat dikeluarkan bersama semen (Nicoletti, 1990).
Bakteri ini mempunyai kemampuan yang unik untuk bertahan dari sel
fagosit dan non fagosit kemudian bertahan di lingkungan intraseluler dengan
menghindari sistem kekebalan dengan cara yang berbeda. Bakteri akan terlepas
dari limfonodus dan menyebabkan septikemia, jika Brucella tidak hancur atau
tetap berada di dalam limfonodus. Bakteri akan pindah ke organ lympho-reticular
yang lain, seperti limpa, sumsum tulang, hati dan testes, untuk selanjutnya
menghasilkan granuloma atau abses. Hal inilah yang menyebabkan brucellosis
bersifat sistemik dan dapat melibatkan hampir seluruh organ. Bakteri yang
berhasil lolos dari sistem pertahanan tubuh ini selanjutnya akan tersebar ke
jaringan tubuh lainnya, seperti kelenjar ambing, melalui sistem peredaran darah
(Maadi, et.al., 2011).

4
Diagnosa Penyakit

Diagnosa Brucellosis dapat dilakukan dengan melihat sejarah penyakit,


gejala klinis, dan perubahan pasca mati. Pada Hewan sapi gejala klinik yang
mencolok terjadi abortus, terutama pada usia kebuntingan lanjut (7-8 bulan).
Umumnya sapi hanya mengalami keguguran kebuntingan yang berurutan.
Meskipun demikian induk sapi yang mengalami keguguran tersebut masih dapat
membawa B.abortus sampai 2 tahun. Sapi yang terinfeksi secara kronik dapat
mengalami higroma (Pembesaran kantong persendian karena berisi cairan bening
atau fibrino purulen). Perbesaran kantong persendian karpus atau tarsus cukup
mencolok, sehingga dapat dilihat dari jauh. Cairan higroma mengandung banyak
bakteri B.abortus dan merupakan spesimen yang baik untuk isolasi B.abortus
(Soeharsono, 2002).

Diagnosa lain dilakukan di laboratorium dengan uji serologis untuk


menemukan antibodi Brucellosis dan mengisolasi bakteri penyebabnya. Deteksi
antibodi spesifik dalam serum merupakan cara yang paling praktis dalam
diagnosis Brucellosis, metode yang paling efisien dan hemat biaya yaitu dengan
skrinning , skrinning yang biasa digunakan yaitu menggunakan metode Rose
Bengal Test murah dan cepat serta cukup sensititif untuk mendeteksi proporsi
yang tinggi dari hewan yang terinfeksi. Sampel yang positif terhadap skrinning
kemudian di uji lebih lanjut menggunakan uji CFT dan ELISA (WHO, 2006).

Media isolasi yang digunakan untuk mengkultur bakteri Brucella adalah


media nutrient agar maupun blood agar. Brucella juga dapat ditanam dimedia
identifikasi untuk mengetahui sifat dari bakteri tersebut. Untuk Brucella ditanam
pada media identifikasi seperti media Triple Sugar Iron Agar (TSIA), urea agar,
dan media gula-gula (Noor, dkk., 2014)

5
Patologi Anatomi
Limpa dan/atau hati dapat mengalami pembesaran dan pada paru-paru dapat
ditemukan pneumonia dan pleuritis fibrous. Kejadian aborsi fetus pada betina
terinfeksi umumnya disertai dengan plasentitis, dimana kotiledon dapat tampak
merah, kuning, normal, atau nekrotik. Daerah interkotiledon dapat tampak basah
dengan penebalan fokal. Dapat juga ditemukan eksudat pada permukaannya.
Lesio purulen hingga granulomatosa dapat ditemukan pada saluran
reproduksi jantan maupun betina, kelenjar mamae, limfonodus supramamari,
jaringan limfoid lainnya, tulang, sendi, serta jaringan dan organ lain. Endometritis
ringan hingga berat dapat ditemukan setelah kejadian aborsi dan pada hewan
jantan dapat ditemukan epididimitis dan/atau orchitis unilateral atau
bilateral. Higroma juga dapat ditemukan pada sendi karpalis, lutut, tarsalis, serta
antara ligamentum nuchae dan os vertebrae thoracic pertama.
(dikutip : http://civas.net/2014/02/23/brucellosis/5/)

6
Pengendalian Penyakit
Pencegahan dan pemberantasan Brucellosis di Indonesia sudah dilakukan
sejak lama namun masih terdapat beberapa wilayah yang belum terbebas dari
Brucellosis. Selain itu Brucellosis sering diabaikan karena gejala klinisnya sering
kali tidak nampak (Pawar et al., 2012).
Pengobatan brucellosis tidak dianjurkan karena tidak ekonomis dan
membutuhkan jangka waktu yang lama. Cara yang paling efektif untuk hewan
dari penyakit brucellosis yaitu dengan vaksinasi (Adjid, 2004). Vaksinasi
merupakan tindakan ekonomi yang paling sering dilakukan untuk mengendalikan
brucellosis di daerah endemik. Vaksin Brucella abortus strain RB51 yang biasa
digunakan untuk vaksin Brucella abortus pada sapi.

Pencegahan sangat efektif dilakukan menggunakan desinfectan(larutan


hipoklorite, etanol 70 %, isopropanol, fenolik, formaldehide, glutaraldehide dan xylene).
Sapi yang diduga terinfeksi penyakit Brucellosis harus segera dipisahkan dengan sapi lain
agar tidak tertular. Jika terjadi abortus pada sapi yang diduga tertular, segera
membersihkan bekas tempat abortus dengan desinfectan dan membakar semua barang
yang terkontaminasi atau dipendam di dalam tanah.

7
Daftar Pustaka
Adjid, R.M.A. 2004. Strategi Alternatif Pengendalian Penyakit Reproduksi
Menular untuk Meningkatkan Etisiensi Reproduksi Sapi Potong. 11
urnr_ou. 14(3): 125-132)

Alton, G.G., L.M. Jones, R.D. Angus and J.M. Verger. 1998. Techniques for the
Brucellosis Laboratory. Institut National de la Recherche Agronomiqu
Paris. France.
Anonim. 2014. http://civas.net/2014/02/23/brucellosis/5/ [diakses pada tanggal 25
November2020].

Bahri, S., dan E. Martindah. 2010. Kebijakan Pengendalian Penyakit Stategis


Dalam Rangka Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi 2010. Lokal
karya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Hewan
Strategis pada Ternak Ruminansia Besar. 12 – 23.

Bret K.P., David L.H, Arthur MF. 2007. Brucellosis. Medical Aspects of
Biological Warfare, Chapter9 : 185-197.
Chaerul Basri, B. S. (2017). Taksiran Kerugian EkonomiPenyakit Kluron Menular
(Brucellosis)pada Populasi Ternak di Indonesia. Jurnal Veteriner, 547-556.

Christopher, S., B.L. Umapathy, K.L. Ravikumar. 2010. Brucellosis: review on


the recent trends in pathogenicity and laboratory diagnosis. J Lab
Physicians 2:55-60.
Direktorat Jenderal Peternakan. Pedoman Teknis Pemberantasan Sapi Perah di
Pulau Jawa. Kementerian Pertanian. Jakarta. 200l.
Hamid Maadi, M. M. (2011). Prevalence of Brucellosis in Cattle in Urmia, Iran.
Pakistan Veterinary Journal, 31, 81-82.

Narumi, H.E., Rosilawati, E.S.I., R. Ratnasari, S. Sarudji, W. Tyaningsih dan S.


Chusniati, S. 2010. Buku Ajar Mikrobiologi Veteriner I. Airlangga
University

Nicoletti, P.1990. Vaccination. In: Animal Brucellosis. K. Nielsen and J.R.


Duncat. ADRI. Nepean. Ontarion. Canada. CRR Press, pp. 283-299
Novita R. 2016. Brucella : penyakit zoonosis yang terabaikan. Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI.

8
Kaufmann AF, Meltzer MI, Schmid GP. 1997. The economic impact of a
bioterrorist attack: are prevention and postattack intervention Programs
justifiable? Emerg Inf. Dis. 3: 83-94.
Pawar, S.K., M.V. Chorpade and R.D Totad. 2012. Brucellosis, an Unusual
Etiology in PUO. Int. Journal of Health Science and Reserch. 2(5):51- 55

Ristic, M. and I. McIntyre . 1981 . Diseases of Cattlein the Tropics . Economic


and Zootic Relevance. Martinus Nijhoff Publisher . Boston,London.

Soeharsono. 2002. Zoonosis penyakit menular dari hewan ke manusia.


Karnisius (Anggota IKAPI). Volume 1. Hal 31-32.
Susan Maphilindawati Noor, P. P. (2014). Identifikasi Brucella abortus Isolat
Lokaldengan Brucella abortus Strain Specific-Polymerase Chain Reaction.
Jurnal Veteriner, 307-308.
World Health Organisation (WHO). 2006. Brucellosis in Humans and Animals.
WHO Library Cataloguing-in- Publication Data. WHO Press.

Anda mungkin juga menyukai