Oleh:
ZAHRINA AMAMI
NIM. 061923143113
KELOMPOK 4A
II. ETIOLOGI
Infeksius coryza atau snot disebabkan oleh bakteri Avibacterum paragallinarum
yang sebelumnya dikenal dengan nama Haemophilus paragallinarum. Bakteri tersebut
merupakan bakteri golongan gram negatif, berkapsul, tidak membentuk spora, dan
berkembangbiak dengan cara fakultatif anaerob dan membutuhkan factor pertumbuhan
lain yang terdapat pada darah yaitu NAD (nicotinamide adenine dinucleotide) yang
disebut juga koenzim I atau faktor V yang bersifat termolabil (Devi, 2015). Morfologi
bakteri Avibacterum paragallinarum yaitu berbentuk batang pendek atau disebut juga
coccobacilli, non motil, dan bakteri tercat polar.
Dalam media isolasi bakteri Avibacterum paragallinarum tidak mudah
dibiakkan karena pertumbuhannya memelukan factor XV dan V yang berada di darah.
Bakteri ini akan sangat baik tumbuh bila di biakkan dalam media blood agar dan di
inkubasi secara mikroaerofilik. Sifat alami dari bakteri ini tidak dapat hidup dalam
jangka waktu lama dan akan mati dalam waktu 4-5 jam.
Bakteri Avibacterum paragallinarum diidentifikasi terdiri dari 3 serotipe yaitu,
A, B, dan C. Ketiganya terdapat di Indonesia. Serotipe A dan C diketahui sudah ada
sejak dulu sementara serotipe B kejadiannya baru ditemukan pada tahun 1991. Dari
ketiga serotipe, diketahui serotipe C lebih pathogen dibanding yang lain, namun
ketiganya memiliki antigen yang sama, oleh karena itu dapat digunakan sebagai cara
diagnose dengan uji aglutinasi dengan antigen dari salah satu serotipe. Dari penelitian
dan pemetaan yang dilakukan oleh Bagian Research & Development PT. Medion di
tahun 2009 hingga saat ini, dilaporkan bahwa di Indonesia telah ditemukan 1 serotipe
lain yang berbeda dengan serotipe A, B, dan C, yakni serotipe non ABC (Serotipe M)
(Medion, 2009).
Predileksi bakteri Avibacterum paragallinarum berada di sinus hidung
(infraorbitalis). Dalam lokasi tersebut bakteri Avibacterum paragallinarum dapat
bertahan dalam jangka waktu lama dan sulit untuk dihilangkan. Ayam yang terinfeksi
akan berperan sebagai carrier (pembawa), sehingga penyakit coryza selalu berulang,
terutama pada saat kondisi cuaca dan kondisi tubuh ayam kurang baik. Pada dasarnya di
luar tubuh ayam, bakteri Avibacterum paragallinarum mudah mati dan mudah
diinaktivasi. Dalam eksudat dan jaringan ayam, bakteri Avibacterum paragallinarum
tetap infeksius selama 1-2 hari pada suhu 37oC, sedangkan pada suhu 45-55 oC, bakteri
dapat diinaktivasi hanya dalam waktu 2-10 menit. Untuk bakteri yang mencemari air
minum dapat diinaktivasi dalam waktu 4 hari dalam suhu ruang. Disenfektan yang
efektif untuk membunuh bakteri ini dapat menggunakan iodine.
III. PATOGENESIS
Penyebaran penyakit infeksius coryza ini biasanya terjadi pada musim peralihan
dari musim penghujan ke musim kemarau atau sebaliknya. Selain itu factor penyakit
dapat mewabah apabila disertai stress pada ayam karena pemberian nutrisi yang kurang,
kondisi kandang yang kurang baik, perlakuan saat pemberian vaksin yang kurang baik
dan penyakit lain yang berhubungan dengan imunosupresif.
Pada umumnya Avibacterum paragallinarum juga dapat menginfeksi burung
puyuh, ayam mutiara, kalkun, dan merak, namun ayam adalah hewan yang paling rentan
terhadap infeksi bakteri ini. Ayam berumur 14 minggu keatas lebih rentan terhadap
penyakit coryza daripada ayam yang masih muda, yakni antara umur 18-23 minggu.
Reservior utama dari infeksi penyakit coryza adalah ayam itu sendiri. Ayam
yang sakit maupun ayam yang sehat keduanya dapat menjadi pembawa dari bakteri ini.
Cara penulurannya yaitu secara kontak langsung (lateral spread) dengan ayam sakit atau
ayam karier. Dapat pula terjadi penularan secara tidak langsung melalui air minum atau
pakan yang telah terkontaminasi oleh discharge nasal ayam yang sakit yang menjadi
sumber penularan penyakit.
IV. GEJALA KLINIS
Infeksius coryza dapat dijumpai pada setiap peternakan unggas di negara yang
beriklim tropis. Gejala klinis yang tampak khas yaitu keluar discharge nasal berwarna
jernih dan konsistensi encer, tetapi lambat laun berubah menjadi kuning kental dan
bernanah (mucopurulent) dengan bau yang khas. Cairan yang keluar dari hidung lama-
lama akan mengeras dan terbentuk kerak. Gelaja klinis lain yaitu bagian sinus
infraorbitalis membengkak unilateral atau bilateral, akibatnya bagian daerah terdesak
sehingga mata menjadi tertutup. Ayam juga kesulitan bernafas karena saluran
pernafasan terhalang oleh adanya eksudat sehingga terdengar seperti suara ngorok, ayam
mengalami diare dan pertumbuhan ayam menjadi lambat dan kerdil (Wahyuni dkk.,
2018).
Infeksius coryza pada ayam petelur dalam di lihat dari produksi telur menurun
hingga 10 – 40 %. Keadaan kronik terdapat peradangan kantong hawa, mata sering
terdapat eksudat, muka dan pialnya bengkak, serta kesulitan pada saat. Ayam yang
menderita infeksius coryza bila terkena infeksi sekunder atau komlikasi dengan penyakit
lain misalnya infeksius bronhitis, infeksius laringotraheitis, mycoplasma atau cronic
respiratory diseases, maka perjalanan penyakit dapat berlangsung beberapa bulan. Jika
tidak disertai infeksi penyakit lain akan sembuh dalam 14-21 hari.
V. PATOLOGI ANATOMI
Perubahan patologi anatomi yang terjadi pada ayam yang terinfeksi bakteri
Avibacterum paragallinarum dapat dilihat ketika ayam yang terinfeksi telah mati
dilakukan bedah bangkai atau nekropsi. Dapat dilihat pada bagian sinus infraorbitalis,
laring, dan trakea terjadi pembengkakan dan terdapat lendir. Kadangg terdapat masa
perkejuan jika sudah kronis. Komplikasi dengan colibacillosis yang menyerang mata
maka akan terlihat pembengkakan berisi masa perkejuan padat berwarna kunig di mata.
Perubahan patolgi yang nampak biasanya terjadi pada saluran pernafasan bagian atas
dan jarang ditemukan adanya keradangan pada bagian paru-paru dan kantong udara.
Pada keadaan yang kronik dapat dijumpai keradangan pada kantong udara dan adanya
eksudat.
Pada pemeriksaan mikroskopis ditemukan adanya erosi pada sel epitel trakea,
hemoragi, serta perbanyakan sel goblet yang menunjukkan indikasi terjadinya
peradangan.
VI. DIAGNOSA
Langkah pertama untuk melakukan diagnose adalah anamnesa pada peternak,
mengetahui sejarah penyakit di peternakan, dan berdasarkan gejala klinis yang muncul
pada ayam yang terinfeksi. Setelah itu dapat melakukan isolasi dan identifikasi agen
penyebab penyakit dengan pengambilan sampel eksudat dalam sinus infraorbitalis salah
satu ayam yang terdapat gejala. Dapat juga dengan nekropsi pada ayam yang sudah mati
kemudian diambil sampel jaringan. Pengambilan sampel dilakukan secara aseptis dan
menggunakan alat-alat yang steril. Proses pengiriman sampel yang harus diperhatikan
adalah sampel dalam keadaan segar dan dingin (dimasukkan dalam container yang berisi
es) jika jarak peternakan dan labortaorium jauh.
Sampel di inokulasi pada media chocolate agar plate dan di inkubasi pada suhu
37oC dengan kadar CO2 5% selama 24 – 48 jam. Setelah mendapatkan koloni bakteri
Avibacterum paragallinarum, dilanjutkan dengan pewarnaan gram, uji katalase, Uji
oksidase, uji urease, indol dan motilitas serta uji gula-gula. Didapatkan morfologi bakteri
Avibacterum paragallinarum yang di tanam di media chocolate agar plate adalah
circular, transparan, dan seperti titik – titik embun yang lembut. Pewarnaan gram juga
dapat dilihat bentuk nya coccobacilli dan terwarna merah (Gram Negative). Uji biokimia
menunjukkan katalase negative, oxidase negative, urease negative, indol negative, serta
dapat memfermentasi mannitol, maltose dan sukrosa. (Backall and Soriano, 2008).
Diagnosa secara serologi juga dapat digunakan dalam mendeteksi antibody
pada ayam yang terinfeksi coryza. Seperti gel precipitation, slide agglutination, latex
agglutination, dan ELISA (Vargas and Raul, 2004). Uji yang paling sering digunakan
yaitu hemagglutination-inhibition.
Penyakit yang sering kali dikelirukan dengan infeksius coryza adalah chronic
respiratory disease (CRD), kolera unggas, swollen head syndrome (SHS), IB, ILT serta
penyakit yang diakibatkan karena kekurangan vitamin A.
Tangkoda, E., C. Rangga Tabbu, A. Endang Tri Hastuti Wahyuni. 2019. Isolasi,
Identifikasi, dan Serotyping Avibacterium paragallinarum dari Ayam Petelur
Komersial yang Menunjukkan Gejala Snot. Jurnal Sain Veteriner. 37(1): 27-33
Vargas, E. S., and H. Raul Terzolo. 2004. Epizootiology, prevention, and control of
infeksious coryza. Veterinaria Mexico. 35(3): 261-279.
Wahyuni, A. E. T.H., C. Rangga Tabbu, S. Artanto, T. Ariyani, and V. Cantya P. 2018.
Characterization of Avibacterium Paragallinarum Caused Infectious
Coryza/Snot: Satellite Colony Phenomenon. Proc. Of The 20th FAVA
CONGRESS & The 15th KIVNAS PDHI.
--------------------------
Sumber Gambar : Tertera