Anda di halaman 1dari 9

TUGAS MAKALAH

KOASISTENSI DEPARTEMEN MIKROBIOLOGI DAN MIKOLOGI


INFEKSIUS CORYZA (SNOT) PADA UNGGAS

Oleh:
ZAHRINA AMAMI
NIM. 061923143113
KELOMPOK 4A

PROFESI PENDIDIKAN DOKTER HEWAN GELOMBANG XXXIV


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2020
I. PENDAHULUAN
Infeksius coryza atau snot merupakan suatu penyakit menular yang disebabkan
oleh bakteri. Penyakit ini menyerang saluran pernafasan atas ayam biasa bersifat akut.
Infeksius coryza dapat menyerang semua jenis ayam, mulai dari ayam pedaging maupun
ayam petelur. Di Indonesia Infeksius coryza juga sering disebut dengan penyakit snot.
Infeksius coryza dapat ditemukan di seluruh belahan dunia, khususnya negara beriklim
topis (Blackall et al., 2005). Kejadian paling sering pada musim dingin atau udara jelek
dan penyebaran dalam kandang sangat cepat, baik secara kontak langsung dengan ayam
yang sakit atau tidak langsung melalui air minum dan udara (Kusumaningsih dan
Poernomo, 2000).
Di Indonesia, penyakit ini pertama kali dilaporkan oleh Veeartsenijkundig
Institut (IV) Bogor, yang saat ini lebih dikenal dengan nama Balai Penelitian Veteriner
atau Balivet. Berdasarkan dari yang dilaporkan oleh lembaga ini, Balivet mencatat
bahwa dari 319 sampel unggas yang diperiksa selama tahun 1930 terdapat 17 diantarana
positif terinfeksi coryza. Di lapangan, kebanyakan kasus coryza terjadi tunggal atau
berkomplikasi dengan beberapa penyakit lain seperti CRD, colibacillosis, kolera, ND,
IB, dan fowl pox (cacar). Ketika berkomplikasi, serangan coryza yang muncul akan lebih
parah dan mengarah ke kronis.
Avibacterum paragallinarum yang sebelumnya dikenal dengan nama
Haemophilus paragallinarum merupakan agen penyebab infeksi coryza pada ayam
petelur dan broiler, puyuh, ayam mutiara, kalkun, dan merak. Infesius coryza dapat
menyerang semua umur ayam dengan berbagai gejala klinis yang muncul yaitu
keluarnya eksudat dari hidung, muka membengkak karena edema di bawah kulit wajah,
konjungtivitis, anoreksia, dan kadang-kadang kesulitan bernafasan (Kusumaningsih dan
Poernomo, 2000). Diagnosa selanjutnya dapat dilakukan dengan isolasi dan identifikasi
bakteri dari ayam yang terkena penyakit coryza pada stadium akut yaitu antara 1-7 hari
pasca infeksi (Tabbu, 2000). Uji serologis juga dapat digunakan untuk menentukan
serotipe agen penyebab coryza. Coryza adalah penyakit yang menybabkan morbiditas
tinggi, tetapi mortilitas rendah.
Dampak yang disebabkan oleh penyakit coryza sangat merugikan bagi peternak
maupun industri perunggasan, yaitu meningatnya jumlah ayam yang diafkir, penurunan
produksi telur, penurunan berat badan, hambatan pertumbuhan, peningkatan jumlah
biaya pengobatan serta jumlah ayam yang mati. Bila terjadi wabah pada ayam petelur,
produksi telur akan menurun hingga 10 – 40 % dan jika menyerang ayam pedaging dapat
mengakibatkan penurunan berat badan. Infeksius coryza yang menyerang ayam di
Indonesia terdiri dari 3 serotipe yaiTu A, B, dan C (Poernomo et al., 1997). Serotipe A
dan C dikenal sebagai serotipe yang virulen, tetapi sekarang ditemukan bahwa serotipe
B juga memiliki peranan dalam kejadian outbreak snot namun tanpa adanya gejala klinis
yang signifikan.
Pennyakit coryza dapat dicegah dengan pemberian vaksin in aktif pada ayam
petelur atau parent stocks, pada fase grower dan menjelang produksi telur. Pemberian
vaksin coryza hanya memberikan kekebalan silang yang minimal diantara serotipe
Avibacterum paragallinarum, maka vaksin yang diberikan agar memberikan hasil yang
terbaik harus bersifat otogenus atau homolog dengan serotipe bakteri penyebab coryza
yang terdapat dilapangan. Maka dari itu untuk mendapatkan informasi jenis serotipe
Avibacterum paragallinarum yang ada di lapangan dapat diketahui dengan melakukan
isolasi, identifikasi, dan uji serotipe terhadap isolate yang berasal dari ayam yang
menunjukkan gejala coryza (Tangkoda dkk, 2019).

II. ETIOLOGI
Infeksius coryza atau snot disebabkan oleh bakteri Avibacterum paragallinarum
yang sebelumnya dikenal dengan nama Haemophilus paragallinarum. Bakteri tersebut
merupakan bakteri golongan gram negatif, berkapsul, tidak membentuk spora, dan
berkembangbiak dengan cara fakultatif anaerob dan membutuhkan factor pertumbuhan
lain yang terdapat pada darah yaitu NAD (nicotinamide adenine dinucleotide) yang
disebut juga koenzim I atau faktor V yang bersifat termolabil (Devi, 2015). Morfologi
bakteri Avibacterum paragallinarum yaitu berbentuk batang pendek atau disebut juga
coccobacilli, non motil, dan bakteri tercat polar.
Dalam media isolasi bakteri Avibacterum paragallinarum tidak mudah
dibiakkan karena pertumbuhannya memelukan factor XV dan V yang berada di darah.
Bakteri ini akan sangat baik tumbuh bila di biakkan dalam media blood agar dan di
inkubasi secara mikroaerofilik. Sifat alami dari bakteri ini tidak dapat hidup dalam
jangka waktu lama dan akan mati dalam waktu 4-5 jam.
Bakteri Avibacterum paragallinarum diidentifikasi terdiri dari 3 serotipe yaitu,
A, B, dan C. Ketiganya terdapat di Indonesia. Serotipe A dan C diketahui sudah ada
sejak dulu sementara serotipe B kejadiannya baru ditemukan pada tahun 1991. Dari
ketiga serotipe, diketahui serotipe C lebih pathogen dibanding yang lain, namun
ketiganya memiliki antigen yang sama, oleh karena itu dapat digunakan sebagai cara
diagnose dengan uji aglutinasi dengan antigen dari salah satu serotipe. Dari penelitian
dan pemetaan yang dilakukan oleh Bagian Research & Development PT. Medion di
tahun 2009 hingga saat ini, dilaporkan bahwa di Indonesia telah ditemukan 1 serotipe
lain yang berbeda dengan serotipe A, B, dan C, yakni serotipe non ABC (Serotipe M)
(Medion, 2009).
Predileksi bakteri Avibacterum paragallinarum berada di sinus hidung
(infraorbitalis). Dalam lokasi tersebut bakteri Avibacterum paragallinarum dapat
bertahan dalam jangka waktu lama dan sulit untuk dihilangkan. Ayam yang terinfeksi
akan berperan sebagai carrier (pembawa), sehingga penyakit coryza selalu berulang,
terutama pada saat kondisi cuaca dan kondisi tubuh ayam kurang baik. Pada dasarnya di
luar tubuh ayam, bakteri Avibacterum paragallinarum mudah mati dan mudah
diinaktivasi. Dalam eksudat dan jaringan ayam, bakteri Avibacterum paragallinarum
tetap infeksius selama 1-2 hari pada suhu 37oC, sedangkan pada suhu 45-55 oC, bakteri
dapat diinaktivasi hanya dalam waktu 2-10 menit. Untuk bakteri yang mencemari air
minum dapat diinaktivasi dalam waktu 4 hari dalam suhu ruang. Disenfektan yang
efektif untuk membunuh bakteri ini dapat menggunakan iodine.

III. PATOGENESIS
Penyebaran penyakit infeksius coryza ini biasanya terjadi pada musim peralihan
dari musim penghujan ke musim kemarau atau sebaliknya. Selain itu factor penyakit
dapat mewabah apabila disertai stress pada ayam karena pemberian nutrisi yang kurang,
kondisi kandang yang kurang baik, perlakuan saat pemberian vaksin yang kurang baik
dan penyakit lain yang berhubungan dengan imunosupresif.
Pada umumnya Avibacterum paragallinarum juga dapat menginfeksi burung
puyuh, ayam mutiara, kalkun, dan merak, namun ayam adalah hewan yang paling rentan
terhadap infeksi bakteri ini. Ayam berumur 14 minggu keatas lebih rentan terhadap
penyakit coryza daripada ayam yang masih muda, yakni antara umur 18-23 minggu.
Reservior utama dari infeksi penyakit coryza adalah ayam itu sendiri. Ayam
yang sakit maupun ayam yang sehat keduanya dapat menjadi pembawa dari bakteri ini.
Cara penulurannya yaitu secara kontak langsung (lateral spread) dengan ayam sakit atau
ayam karier. Dapat pula terjadi penularan secara tidak langsung melalui air minum atau
pakan yang telah terkontaminasi oleh discharge nasal ayam yang sakit yang menjadi
sumber penularan penyakit.
IV. GEJALA KLINIS
Infeksius coryza dapat dijumpai pada setiap peternakan unggas di negara yang
beriklim tropis. Gejala klinis yang tampak khas yaitu keluar discharge nasal berwarna
jernih dan konsistensi encer, tetapi lambat laun berubah menjadi kuning kental dan
bernanah (mucopurulent) dengan bau yang khas. Cairan yang keluar dari hidung lama-
lama akan mengeras dan terbentuk kerak. Gelaja klinis lain yaitu bagian sinus
infraorbitalis membengkak unilateral atau bilateral, akibatnya bagian daerah terdesak
sehingga mata menjadi tertutup. Ayam juga kesulitan bernafas karena saluran
pernafasan terhalang oleh adanya eksudat sehingga terdengar seperti suara ngorok, ayam
mengalami diare dan pertumbuhan ayam menjadi lambat dan kerdil (Wahyuni dkk.,
2018).

Infeksius coryza pada ayam petelur dalam di lihat dari produksi telur menurun
hingga 10 – 40 %. Keadaan kronik terdapat peradangan kantong hawa, mata sering
terdapat eksudat, muka dan pialnya bengkak, serta kesulitan pada saat. Ayam yang
menderita infeksius coryza bila terkena infeksi sekunder atau komlikasi dengan penyakit
lain misalnya infeksius bronhitis, infeksius laringotraheitis, mycoplasma atau cronic
respiratory diseases, maka perjalanan penyakit dapat berlangsung beberapa bulan. Jika
tidak disertai infeksi penyakit lain akan sembuh dalam 14-21 hari.

V. PATOLOGI ANATOMI
Perubahan patologi anatomi yang terjadi pada ayam yang terinfeksi bakteri
Avibacterum paragallinarum dapat dilihat ketika ayam yang terinfeksi telah mati
dilakukan bedah bangkai atau nekropsi. Dapat dilihat pada bagian sinus infraorbitalis,
laring, dan trakea terjadi pembengkakan dan terdapat lendir. Kadangg terdapat masa
perkejuan jika sudah kronis. Komplikasi dengan colibacillosis yang menyerang mata
maka akan terlihat pembengkakan berisi masa perkejuan padat berwarna kunig di mata.
Perubahan patolgi yang nampak biasanya terjadi pada saluran pernafasan bagian atas
dan jarang ditemukan adanya keradangan pada bagian paru-paru dan kantong udara.
Pada keadaan yang kronik dapat dijumpai keradangan pada kantong udara dan adanya
eksudat.
Pada pemeriksaan mikroskopis ditemukan adanya erosi pada sel epitel trakea,
hemoragi, serta perbanyakan sel goblet yang menunjukkan indikasi terjadinya
peradangan.

VI. DIAGNOSA
Langkah pertama untuk melakukan diagnose adalah anamnesa pada peternak,
mengetahui sejarah penyakit di peternakan, dan berdasarkan gejala klinis yang muncul
pada ayam yang terinfeksi. Setelah itu dapat melakukan isolasi dan identifikasi agen
penyebab penyakit dengan pengambilan sampel eksudat dalam sinus infraorbitalis salah
satu ayam yang terdapat gejala. Dapat juga dengan nekropsi pada ayam yang sudah mati
kemudian diambil sampel jaringan. Pengambilan sampel dilakukan secara aseptis dan
menggunakan alat-alat yang steril. Proses pengiriman sampel yang harus diperhatikan
adalah sampel dalam keadaan segar dan dingin (dimasukkan dalam container yang berisi
es) jika jarak peternakan dan labortaorium jauh.
Sampel di inokulasi pada media chocolate agar plate dan di inkubasi pada suhu
37oC dengan kadar CO2 5% selama 24 – 48 jam. Setelah mendapatkan koloni bakteri
Avibacterum paragallinarum, dilanjutkan dengan pewarnaan gram, uji katalase, Uji
oksidase, uji urease, indol dan motilitas serta uji gula-gula. Didapatkan morfologi bakteri
Avibacterum paragallinarum yang di tanam di media chocolate agar plate adalah
circular, transparan, dan seperti titik – titik embun yang lembut. Pewarnaan gram juga
dapat dilihat bentuk nya coccobacilli dan terwarna merah (Gram Negative). Uji biokimia
menunjukkan katalase negative, oxidase negative, urease negative, indol negative, serta
dapat memfermentasi mannitol, maltose dan sukrosa. (Backall and Soriano, 2008).
Diagnosa secara serologi juga dapat digunakan dalam mendeteksi antibody
pada ayam yang terinfeksi coryza. Seperti gel precipitation, slide agglutination, latex
agglutination, dan ELISA (Vargas and Raul, 2004). Uji yang paling sering digunakan
yaitu hemagglutination-inhibition.
Penyakit yang sering kali dikelirukan dengan infeksius coryza adalah chronic
respiratory disease (CRD), kolera unggas, swollen head syndrome (SHS), IB, ILT serta
penyakit yang diakibatkan karena kekurangan vitamin A.

VII. PENGENDALIAN PENYAKIT


Cara untuk pencegahan terjadinya infeksius coryza dengan melaksanakan
sanitasi dan manjemen peternakan yang baik, misalnya membangun konstruksi kandang
yang baik, kepadatan ayam yang sesuai dan menerapkan system all in all out. Kemudian
memeliharan ayam untuk peremajaan di kandang atau tempat yang tersendiri dan
usahakan agar ayam di kandang berisi satu kelompok umur yang sama. Karena penyakit
infeksius coryza sering muncul pada ayam yang dalam satu kandang berisi berbagai
umur Pada peternakan yang terkena penyakit ini perlu dilakukan penutupan untuk
menghindari penyebaran penyakit ke peternakan lain. Ayam yang sakit tidak boleh
dijual dan harus dilakukan disinfeksi, namun telurnya boleh dijual. Ayam mati harus
dibakar di tempat khusus.
Cara pencegahan penyakit dengan cara vaksinasi sudah banyak diterapkan pada
peternakan di Indonesia dan harus dilakukan secara rutin terutama pada saat memasuki
musim peralihan. Vaksinasi dilakukan dengan pemberian vaksin in aktif sekitar umur 8
– 11 minggu dan 3 – 4 minggu sebelum fase produksi pada ayam ptelur (Ariyanti dan
Supar, 2007). Vaksin coryza atau snot hanya memberikan kekebalan silang yang
minimal, maka dari itu perlu didukung dengan manajemen dan sanitasi kandang yang
baik agar tidak terjadi outbreak.
Pengobatan pada ayam yang sakit dapat memberikan antibiotic melalui air
minum atau suntikan selama 3 – 7 hari berturut-turut, tergantung tingkat keparahan
serangan penyakit. Berbagai pemakaian antibiotic yang direkomendasikan yaitu
tetracycline, erythromycin, spectinomycin, dan tylosin karena pemakaiannya relative
aman dan efektif untuk unggas. Adapun dengan pemberian sulfonamide yaitu
sulfadimethoxine, sulfaquinoxaline, sulfamethazine semuanya efektif, tapi
sulfadimethoxine merupakan obat yang paling aman. Pengobatan melalui air minum
akan memberikan respon yang cepat.

VIII. DAFTAR PUSTAKA


Ariyanti, T. dan Supar. 2007. Pengendalian Coryza Infeksius Pada Ayam. Wartazoa.
17(4): 185-191.
Blackall, P.J., Christensen, H., Beckenham, T., Blackall, L.L. and Bisgaard, M. 2005.
Reclassification of Pasteurella gallinarum, Haemophilus paragallinaarum,
Pasteurella avium and Pasteurella volantium as Avibacterium gallinarum gen.
nov., Avibacterium paragallinarum comb. nov., Avibacterium avium comb.
nov. and Avibacterium volantium comb. nov. Int. J. Syst. Evol. Microbiol., 55:
353-362.
Blackall, P.J. and Soriano, E.V. 2008. Infectious coryza and related bacterial. In:
Infections Disease of Poultry. 12th Edition.Blackwell Publishing. Chapter 20:
789-803.
Devi Y.J.A. Moenek. 2015. Managemen Penyakit Infeksius Coryza (Snot). Partner.
Halaman 238 – 245.

Kusumaningsih, A. dan S. Poernomo. 2000. Infesius Coryza (Snot) Pada Ayam di


Indonesia. WARTAZOA. Vol. 10 No. 2.

Tabbu, C. R. (2000). Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Vol. 1. Penerbit Kanisius,


Yogyakarta. Pp. 14-20.
Poernomo, S., Sutarma, Dan S.A.K.D. Silawatri. 1997. Haemophilus paragallinarum
pada ayam di Indonesia. III. Uji sensitifitas Haemophilus paragallinarum dari
ayam penderita Snot terhadap obat anti mikroba. J. Ilmu Ternak Veteriner. 2(4):
267-269.

Tangkoda, E., C. Rangga Tabbu, A. Endang Tri Hastuti Wahyuni. 2019. Isolasi,
Identifikasi, dan Serotyping Avibacterium paragallinarum dari Ayam Petelur
Komersial yang Menunjukkan Gejala Snot. Jurnal Sain Veteriner. 37(1): 27-33
Vargas, E. S., and H. Raul Terzolo. 2004. Epizootiology, prevention, and control of
infeksious coryza. Veterinaria Mexico. 35(3): 261-279.
Wahyuni, A. E. T.H., C. Rangga Tabbu, S. Artanto, T. Ariyani, and V. Cantya P. 2018.
Characterization of Avibacterium Paragallinarum Caused Infectious
Coryza/Snot: Satellite Colony Phenomenon. Proc. Of The 20th FAVA
CONGRESS & The 15th KIVNAS PDHI.
--------------------------
Sumber Gambar : Tertera

Anda mungkin juga menyukai