Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

KOASISTENSI EKS. LAB. BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI


“ASPERGILLOSIS PADA UNGGAS”

Oleh:
Winadya Reika Ummaisyah
061923143108

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


GELOMBANG XXXIV KELOMPOK 4A
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
PENDAHULUAN

Dunia perunggasan Indonesia berkembang pesat, dapat dikatakan agribisnis


perunggasan terutama ayam ras petelur dan pedaging adalah satu-satunya usaha yang sudah
berskala industri agribisnis modern (Abidin, 2003). Dalam industri atau peternakan unggas
sering terjadi berbagai masalah yang mengakibatkan turunnya produksi sehingga peternak
banyak mengalami kerugian. Salah satu penyebabnya adalah adanya penyakit baik diakibatkan
dari virus, parasit, bakteri, maupun jamur. Penyakit jamur atau mikal yang memiliki kasus
terbanyak dan paling merugikan pada unggas adalah aspergillosis (Retno dkk., 2015).
Aspergillosis pada ayam merupakan penyakit yang perlu diperhatikan di dalam industri
perunggasan. Penyakit ini menyerang alat pernafasan, terutama paru-paru dan kantung hawa,
dan dapat menyebabkan terganggunya fungsi pernafasan yang mengakibatkan menurunya
produktivitas ayam untuk menghasilkan telur dan daging. Prevalensi kejadian aspergilosis pada
peternakan unggas komersial pernah dilaporkan cukup tinggi (Gholib, 2005). Meskipun
aspergillosis didominasi oleh penyakit pernfasan, tetapi semua organ dapat terlibat. (Beernaert
et al., 2010). Aspergillosis disebabkan oleh beberapa spesies patogen seperti A. flavus, A.
fumigatus, A. niger, A. glaucus, A. vesicolor (Praja dkk., 2017).

Sebagai negara yang memiliki iklim tropis dan memiliki kelembapan yang tinggi,
Indonesia merupakan negara yang memiliki kondisi optimum untuk pertumbuhan jamur,
termasuk Aspergilus. Jamur Aspergilus selalu ditemukan di dalam pakan maupun dalam bahan-
bahan lainnya (Fadilah, 2011). Menurut Tyasningsih (2010) pakan berpotensi menjadi sumber
kontaminasi dari berbagai spesies Aspergilus penyebab aspergillosis, seperti A. fumigatus, A.
flvus, dan A. niger. Menurut Gandjar dkk (2006) bahan pangan yang mudah terkontaminasi
jamur Aspergilus sp adalah dari golongan serelia (jagung, sorgum, beras, gandum) dan kacang
kacangan.

Aspergillosis merupakan penyakit jamur yang menulat atau tidak menular (Sultana et.
al., 2015). Spora Aspergilus mudah disebarkan oleh angin, mudah tumbuh pada bahan-bahan
organik atau produk hasil pertanian (Praja dkk., 2017). Unggas dapat terpapar terutama akibat
menghirup spora yang berbentuk konidia. Konida berbentuk bola dengan diameter 2-3
mikrometer. Setelah konidia terhirup maka konidia akan mengikuti saluran pernafasan dan
tersimpan jauh di dalamnya (Sultana et al., 2015). Selain mengakibatakn Aspergillosis,
Aspergilus sp terutama A. flavus dan A. parasiticus dapat menyebakan mikositosis akibat
afaltoksin (Ahmad, 2009).
Aspergilosis dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Dalam bentuk akut,
mortilitas dan morbiditasnya tnggi terutama dalam usia brooding yang disebut brooder
pneumonias. Pada unggas yang lebih tua memiliki kecenderungan bentuk ktonis dengan tanda-
tanda klinis seperti dispnea, terangah-engah, sianosis, hiperemia. Dalam pemeriksaan patologis
dapat ditemukan lesi pada paru-paru dan kantung udara dengan bentukan khas seperti nodul
atau plak jamur (Sultana et al., 2015).

Makalah ini dibuat untuk menambah pengetahuan terkini mengenai Aspergillosis.


Seorang dokter hewan harus mengetahui pentingnya memahami etiologi, epidiomologi,
patogenesitas, gejala klinis, pencegahan, serta pengendalian Aspergillosis.

ETIOLOGI

Aspergillosis adalah penyakit jamur yang paling umum pada sistem pernafasan unggas,
dapat menular maupun tidak menular. Penyakit ini disebabkan oleh spesies dalam genus
saprofit oputunistik yang tersebar diseluruh dunia (Sultana, 2015). Aspergillosis pada unggas
disebabkan oleh beberapa spesies patogen seperti A. flavus, A. fumigatus, A. niger, A. glaucus,
A. vesicolor (Praja dkk., 2017). Aspergillus ditemukan dan dideskripsikan oleh Micheli
(ilmuwan italia) pada tahun 1729, kemudian pada tahun 1815 mayer menemukan Aspergillus
pada air sac dan pulmo burung gagak (Denning, 1998).

Aspergilus sp termasuk kapang karena mempunyai hifa atau miselium sejati, koloni
seperti kapas, karpet atau beludru. Struktur hifanya memanjang dan bercabang-cabang,
bersekat dan bersepta. Ujung hifa terdapat tangkai spora berbentuk konidia. Dapat hidup
saprofit mauput parasit (Retno, 2015). A fumigatus paling mendominasi infeksi jamur di udara
(airbone) karena disebabkan oleh spora yang jauh lebih kecil dari spesies Aspergillus lainnya
(Beernaert, 2010). Aspergillus bersporulasi sangat banyak, setiap konidiosphore menghasilkan
ribuan konidia yang dilepaskan ke atmospher dan memiliki ukuran yang cukup kecil yaitu 2-3
mikrometer, sehingga cukup mudah untuk mencapai alveoli paru-paru.

Menurut Tyasningsih (2010) pakan berpotensi menjadi sumber kontaminasi dari


berbagai spesies Aspergilus penyebab aspergillosis, seperti A. fumigatus, A. flvus, dan A. niger.
Menurut Gandjar dkk (2006) bahan pangan yang mudah terkontaminasi jamur Aspergilus sp
adalah dari golongan serelia (jagung, sorgum, beras, gandum) dan kacang kacangan.
Lingkungan yang hangat, lembab, ventilasi yang buruk, sanitasi yang buruk dan penyimpanan
pakan dalam waktu yang panjang dapat meningkatkan jumlah spora di udara. Peningkatan
konsentrasi spora dilingkungan dapat mempengaruhi burung terkena Aspergillosis (Beernaert
et al., 2010). Survei lingkungan menunjukan bahwa semua manusia akan menghirup
setidaknya berapa ratus konidia A. fumigatus per hari. Penghirupan konidia oleh individu yang
imunokompeten jarang menimbulkan efek samping, karena koniad dapat dihilangkan secara
efisien oleh mekanisme kekebalan tubuh (Latge, 1999).

Gambar 1. Struktur sporulasi Aspergillus fumigatus menggunakan mikroskop cahaya


(Latge, 1999)

PATOGENESIS

Infeksi unggas oleh Aspergilus sp utamanya melalui jalur pernafasan, karena spora dari
Aspergillus sp sangat kecil untuk di dijebak sepenuhnya di rongga hidung atau trakea, hingga
ada yang bisa mencapai paru-paru dan kantung udara. Kantung udara merupakan tempat infeksi
primer, karena udara yang dihirup mencapai kantung udara posterior toraks sebelum
menncapai permukaan epitel paru-paru. Di parenkim paru, spora tertanam di bagian
infudibulum parabronkus dan kemudian di fagosit. Tetapi, ketika terlalu banyak spora atau pun
terdapat gangguan imunologis sehingga mekanisme pertahanan bawaan tidak berhasil
mengeliminasi patogen maka hal ini dapat menyebabkan perkembangan plak yang melekat
secara longgar yang dapat diikuti dengan adanya jaringan ikat ataupun tidak. Plak atau zona
nekrotik di saluran pernafasan dapat menghalangi trakea atau bronkus dan atau memenuhi
kantung udara. Hifa tubular berkembang membentuk miselia dapat mengsi lumen dan dapat
juga menembus kantung udara, yang akhirnya menyebabkan serositis dan nekrosis superfisial
pada organ yang berdekatan. Selain infeksi melalui perluasan langsung dapat juga dapat terjadi
secara hematogen. Hifa, yang dikenal sebagai jaringan angio-invasif serta sel inang berperan
dalam mekanisme penyebaran melalui hematogen ini (Beernaert, 2010).

Rspon sistem pernafasan unggas terhadap patogen adalah dengan masuknya heterofil
dan makrofag secara cepat, sifat makrofag unggas termasuk kemotaksis fagositosis, eliminasi
patogen, serta produksi sitokin (Arne, 2011). Beberapa studi menunjukan bahwa konidia
fumigatus dapat bertahan dari fagositosit oleh makrofag pada pernafasan unggas. Ada dua
reaksi yang dapat dikenali uaitu bentuk nodular granulomatosa (dalam) atau difus infiltratif
(superficial). Bentuk granulomatosa tidak terlihat peradangan eksudatif atau lesi vaskular pada
jaringan sekitar. Pada tipe infiltratid jamur dapat menyerang vaskular, jamur dapat membentuk
agrgat hifa yang mengandung konisphore dan konidia dalam jumlah besar tanpa pembentukan
granuloma (Beernaert, 2010). Infeksi yang berlangsung lama akan membentuk jaringan
granuloma yang terbentuk dari sekumpulan hida yang bercabang membentuk masa padat. Masa
padat tersebut kemudian membentuk massa perkejuan di dalam paru-paru atau air sac (Retno
dkk., 2015).

GEJALA KLINIS

Aspergilosis dapat berjalan secara akut maupun kronis. Aspergillosis akut dapat
mencakup berbagai gejala klinis nonspesifik seperti anoreksia, lesu, bulu kusutm polidipsia,
poliuria, stunting, atau kematian mendadak. Aspergillosis pada anak ayam yang terkontaminasi
in ovo atau selama penetasan disebut sebagai brooder pneumpnias, sangat fatal dalam 10 hari
kehidupan dan mengakibatkan gangguan pernafasan mayor. Tanda-tanda pernafasan seperti
disnea, terengah-engah, hiperpnea, batuk non produktif, sesak, sianosis, dan terdapat nasal
discharge (Arne et al., 2011). Aspergillosis dalam bentuk kronis terlihat adanya dispnea,
depresi, dehidrasi dan kekurusan. Adanya keterlibatan sistem syaraf sehingga terdapat gejala
ataksia, tremor, kejang, paresis tungkai belakang. Terdapat kekeruhan pada mata, konjuntivitis
yang dikaitkan dengan kelumpuhan pada ayam broiler. Dapat terlihat pada kulit yang
menyebabkan dermatitis granulomatus atau bahkan aspergillosis sistemik (Arne et al., 2011).
PATOLOGI ANATOMI

Pemeriksaan postmortem menunjukan adanya kongesti paru-paru, terdapat plak kuning


yang keras yang ditemukan di seluruh permukaan paru dan air sac (Sultana, 2015). Lesi terdiri
dari granuloma putih hingga kekuningan dari kecil (diameter <1mm) hingga nodul granuloma
bulat yang lebih besar (>2cm). Area nekrotik tunggal atau ganda terlihat pada permukaan yang
dipotong. Lokasi utama lesi adalah di air sac dan paru paru meskpiun esofagus, proventikulus,
usus, hati, ginjal, limfa, kulit, trakea, peritonium, otak, mata, otot, atau jantung mungkin
terlibat. Parenkim paru terkonsolidasi atau memiliki focal granuloma dengan ukuran yang
bervariasi. Saat menyatu di air sac masa ini membentuk plak caseosa yang menutupi membran
yang menebal dan bahkan menghalangi seluruh lapsan dimana sporulasi jamur dapat terjadi
sebagaimana terlihat terdapat beludru abu-abu kehijauan (Arne, 2011).

Keratitis ulceratif maupun non-ulceratif dilaporkan terdapat pada kalkun yang


mengalami aspergillosis. Ayam broiler menunjukan pembengkakan periorbital dan kelopak
mata dengan eksudat kuning keju di kantung konjungtiva. Ditemukan daerah berwarna putih
hingga keabuan pada yang bisa diamati pada cerebellum broiler dan kalkun. Tulang rusuk
burung unta, sternum broiler, yolk sack ayam, dan sendi pinggul kalkun merupakan lokasi lesi
yang tidak biasa (Arne, 2011).

Pada brooder pneumonia, ditemukan mikroabses pada paru-paru dan lesi pada otak
berbentuk daerah berbatas jelas berwarana kelabusampai kekuningan pada permukaan otak
besar dan otak kecilnya. Sedangkan pada bentuk enchepalitis, otak mengalami perdarahan lokal
(Retno, 2015).

Gambar 2. Aspergillosis bentuk okular, ditandai dengan keratoconjunctivitis (Retno


dkk,2015)
Gambar 3. Nodul putih bersifat Gambar 4. Terdapat lesi fokal pada
multifokla di paru-paru akibat cerebellum aym pada Aspergillosis
aspergillosis (Retno dkk, 2015) (Retno dkk, 2015)

Gambar 5. Secara mikroskopis, tampak potongan hifa pada jaringan paru-paru yang
mengalami Aspergillosis (Retno dkk, 2015)

DIAGNOSA

Diagnosa menggunakan gejala klinis cukup sulit, karena Aspergillosis memiliki gejala
yang nonspesifik. Sehingga Diagnosis bisa dilihat menggunakn riwayat penyakit, hematology,
biokimiawi, serologis, perubahan radiography, endoscopy dan kultur jamur. Dari riwayat
penyakit dapat mengungkapkan adanya pengaruh lingkungan dan kondisi immunosupresan.
Melalui pemeriksaan hematologi dan biokimia plasma dapat digunakan sebagai pertimbangan
diagnosa. Leukositisis, sel darah putih lebih dari 20.000 hingga 100.000 per mikroliter,
heterofilia dengan left shift (degenerative shift), monositosis and limphopenia bisa menjadi
indikasi Aspergillosis (Beernaert, 2010). Patut dicurigai adanya Aspergillosis jika terdapat
unggas yang lemah dengan gangguan pernafasan tidak merespon pengobatan dengan antibiotik
(Arne, 2011)

Diagnosa selama ini dapat dilakukan cara pemeriksaan patologis terhadap kelainan atau
perubahan patologis pada organ paru dan kantong hawa atau trakea (Gholib, 2010). Nekropsi
unggas yang terserang aspergillosis kronis mencirikan adanya foci granuloma berwarna
kuning, hijau, atau putih. Sedangkan pada aspergillosis akut terlihat adanya foci granulomatosa
milier. Diagnosa pasti membutuhkan kepastian adanya organisme Aspergillus dengan sitologi,
atau histopatologi atau isolasi identifikasi jamur. Isolasi dan identifikasi jamur dapat dilakukan
di media subouraud Dextrose Agar (SDA) (Retno, 2015).

Isolasi Aspergilus sp pada SDA terihat dengan adanya koloni Aspergillus flavus
memiliki warna koloni hijau kekuningan dengan pinggiran putih dan permukaan bawah koloni
berwarna kekuningan sampai coklat. Aspergillus fumigatus koloninya muncul sebagai filamen
putih kemudian berubah warna hijau tua atau hijau gelap dengan pinggiran putih dan
permukaan bawah koloni berwarna kekuningan sampai coklat dengan diameter 1-2 cm.
Aspergillus niger berwarna koloni hitam dengan pinggiran putih dan permukaan bawah koloni
berwarna kekuningan sampai coklat.

Gambar 6. Koloni Aspergillus sp yang tumbuh pada media biakan SDA umur 7 hari.
A= Aspergillus flavus, B= Aspergillus fumigatus, C= Aspergillus niger (Hayani dkk, 2017)

Teknik diagnosa lain yang dapat dilakukan adalah teknik serologis. Teknik serologis
sebagai salah satu cara untuk mendiagnosa penyakit mikotik sudah lama digunakan. Teknik
serologis yang telah diketahui dan digunakan antara lain imunodifusi, imunofluoresensi, fiksasi
komplemen/complement Fixation Test (CFT), Enzyme Linked Immunisorbent Assay (ELISA)
dan imunoblot (Gholib, 2010).

PENGENDALIAN PENYAKIT

Terdapat banyak faktor dalam penangan aspergillosis, beberapa diantaranya adalah


kurangnya pengetahuan mengenai farmakokinetik dari antifungal pada setiap spesies burung,
adanya inflamasi granulomatus yang membuat obat-obat sulit untuk menjangkau target
infeksi. Pilihan terbaik yang dapat dilakukan untuk terapi Aspergillosis adalah menggunakan
terapi topikal setelah menghilangkan lesi granuloma pada trakea dengan cara suction. Hal ini
dapat dikombinasikan dengan antifungal sistemik yang kuat sedini mungkin. Pada kebanyakan
unggas, lesi granulomatus sulit dihilangkan karena lokasi lesi berada di dalam sistem respirasi
dan memiliki resiko tinggi dalam pembedahan dan anastesi. Sehingga, pada kebanyakan kasus
hanya terapi antifungal yang diaplikasikan (Beernaert, 2010).

Meskipun banyak antifungi yang diusulkan penggunaannya sebagai pengobatan


Aspergilloasis, tetapi pengobatan tersebut hampir tidak mungkin dilakukan. Tidak ada vaksin
yang tersedia. Hal dapat dilakukan pada peternakan adalah dengan cara melakukan tindakan
preventif. Dengan cara menghindari atau meminimalisir adanya debu, litter, dan pakan yang
berjamur. Manajemen kandang dengan sanitasi yang baik dan penggantian litter secara berkala
merupakan kunci dalam tindakan pencegahan Aspergillosis. Pemberian antijamur secar berkala
berguna untuk mencegah kontaminasi terhadap lingkungan, penyemprotan agen antifungal
seperti thiabendazole, nistatin, atau copper sulfat berkontribusi untuk menurunkan kontaminasi
lingkungan akibat fungi (Arne, 2011). Menjaga tempat ransum, ransum, dan gudang ransum
dalam keadaan kering, dengan cara membersihkan tempat pakan secara berkala, menerapkan
sistem first in first out pada ransum, menyimpan ransum pada ruangan yang kering (Retno
dkk., 2015)

Daftar Pustaka

Abidin, Zainal. 2003. Perkembangan Peternakan Ayam Ras Petelur. Tanggerang; AgroMedia
Pustaka
Ahmad, Riza Z. 2009. Cemaran Kapang pada Pakan dan Pengendaliannya. Jurnal Litbang
Pertanian, 28 (1)
Arne, P., S. Thierry, D. Wang, M. Deville, G. Le Loc’h, A. Desoutter, F. Femenia, A.
Nieguitsila, W. Huang, R. Chermette, and J. Guillot. 2011. Aspergillus fumigatus in Poultry.
International Journal of Microbiology, Vol. 2011
Beernaert, L.A., F. Pasmans, L. Van Waeyenberghw, F. Haesebrouck, and A. Martel. 2010.
Aspergillus Infections in Birds: a Review. Avian Pathology 39 (5) hal 325-331
Denning, David W. 1998. Invasive Aspergillosis. State of The Art Clinical Ariticle
Fadilah, R., Fatkhuroji. 2013. Memaksimalkan Produksi Ayam Ras Petelur. Agromedia
Pustaka, Jakarta.
Gandjar, Indrawati, Sjamsuridzal, O. Wellyzar, dan Ariyanti. 2006. Mikologi Dasar dan
Terapan. Gramedia Pustaka, Jakarta
Gholib, Djaenudin. 2005. Pengembangan Tekni Serologi untuk Pemeriksaan Aspergillosis
Ayam. JITV Vol. 10 No. 2
Hayani, N., Erina, Darniati. 2017. Isolasi Aspergillus sp Pada Paru-Paru Ayam Kampung
(Gallus domesticus)
Praja, R.N dan A. Yudhana. 2017. Isolasi dan Identifikasi Aspergillus Spp Pada Paru-Paru
Ayam Kampung yang Dijual di Pasar Banyuwangi. Jurnal Medik Veteriner Vol. 1 No. 1 hal
6-11
Retno, F.D., C.L. Lestariningsih, B. Purwanto, S. Hartono. 2015. Penyakit-penyakit Penting
pada Ayam. Bandung; PT. Medion
Sultana, S., S. M. H. Rashid, M. N. Islam, M. H. Ali, M. M. Islam, and M.G. 2015. Azam.
Pathological Investigation of Avian Aspergillosis in Commercial Broiler Chicken at
Chittagong Distract. Vol. 10 No. 1 pp 366-376
Tyasningsih. 2010. Potensi Pakan Sebagai Sumber Pencemaran Aspergillus Spp. Penyebab
Aspergilosis pada Unggas. Media Veteriineria Medika, Vol. 3 No. 1
Latge, Jean-Paul. 1999. Aspergillus fumigatus and Aspergillosis. Clinical Microbiology
Reviews, Vol. 12 No. 2

Anda mungkin juga menyukai