Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

MATA KULIAH KETAHANAN DAN KEAMANAN


PANGAN (3 sks)
“Aspergillus flavus”

Oleh :
SEMESTER/TAHUN AJARAN : VI / 2019-2020

NAMA : ZULFATUN HIKMAH


NIM : 25000117120088

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jamur berperan banyak dalam kehidupan , baik jamur yang bersifat menguntungkan
(saprofit ) dan bersifat merugikan ( pathogen ). Salah satu jenis jamur yang memiliki
sifat merugikan dan menghasilkan alfatoksin yaitu jamur dengan spesies Aspergillus
flavus . Hasil dari toksik jamur Aspergillus yaitu berupa mikotoksin yang merupakan
senyawa dari hasil sekunder metabolisme jamur. Mitotoksin yang dihasilkan jamur
Aspergillus flavus disebut alfatoksin dan menyebabkan gangguan kesehatan salah
satunya dapat menyerang sistem saraf , bersifat karsinogenik , menyebabkan kanker
pada hati , ginjal , dan perut.

Aspergillus flavus adalah nama yang sekarang digunakan untuk menggambarkan


suatu spesies serta sekelompok spesies yang terkait erat. A. flavus adalah spesies yang
kedua setelah A. fumigatus sebagai penyebab aspergillosis invasif manusia. Selain itu,
ia adalah spesies utama Aspergillus yang menginfeksi serangga (Campbell, 1994), dan
juga dapat menyebabkan penyakit pada tanaman penting secara ekonomi, seperti
jagung dan kacang tanah, dan untuk menghasilkan mikotoksin yang kuat.

Sebagai patogen manusia, spesies Aspergillus menjadi semakin penting karena


orang yang ditekan immunnya sangat rentan terhadap infeksi oleh jamur ini. Dari
aspergilli yang menyebabkan mikosis pada manusia, hanya A. fumigatus lebih penting
daripada A. flavus. A. flavus juga merupakan alergen yang menyebabkan alergi
bronkopulmonalis aspergillosis. (Gilliam dan Vandenberg, 1990).

B. Tujuan
1. Mampu mengetahui sifat dan karakteristik Aspergillus flavus
2. Mampu mengetahui dampak Aspergillus flavus tehadap status gizi dan kesehatan

C. Manfaat
1. Mampu mengetahui sifat dan karakteristik Aspergillus flavus
2. Mampu mengetahui dampak Aspergillus flavus tehadap status gizi dan kesehatan
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sifat dan Karakteristik

Karakteristik Aspergillus flavus Secara makroskopis koloni kapang yang tumbuh


terlihat berwarna hijau kekuningan yang merupakan indikator adanya Aspergillus
flavus.

Secara mikroskopis dengan menggunakan metode slide culture. Aspergillus flavus


memiliki struktur seperti: bentuk konidia bulat berwarna hijau kekuningan, fialida
berbentuk langsung pada metula, vesikula berbentuk bulat hingga semibulat, konidiofor
berwarna terang. Ini sesuai dengan identifikasi Ganjar et al. (2000).

Jamur Aspergillus flavus menghasilkan koloni yang berwana kuning hijau atau
kuning abu-abu hingga kehitaman. Konidiofornya tidak berwarna, kasar, bagian atas
agak bulat serta konidia kasar dengan bemacam-macam warna. Makanan yang kita
makan mudah sekali dihinggapi Aspergillus flavus. Aspergillus flavus menghasilkan
Mikotoksin sebagai metabolit sekunder dan merupakan senyawa toksik yang dapat
mengganggu kesehatan manusia dalam bentuk mikotoksikosis. Aspergillus flavus
sebagai penghasil utama aflatoksin umumnya hanya memproduksi aflatoksin B1 dan
B2 . Aflatoksin memiliki tingkat potensi bahaya yang tinggi dibandingkan dengan
mikotoksin lain. Aflatoksin B1 merupakan salah satu senyawa yang dapat menjadi
penyebab terjadinya kanker pada manusia . Aflatoksin B1 berpotensi karsinogenik ,
mutagenik , teratogenik , dan bersifat imunosupresif . Metabolisme aflatoksin B1 dapat
menghasilkan aflatoksin M1 , sebagaimana terdeteksi pada susu sapi yang pakannya
mengandung aflatoksin B1. Aflatoksin B1 bersifat paling toksik ( Wrather dan Sweet ,
2006 )

Secara klasik, sistematika Aspergillus dan teleomorfnya yang terkait telah


didasarkan terutama pada perbedaan karakteristik morfologis dan budaya. Petromyces
alliaceus dan P. albertensis adalah satu-satunya dua spesies yang bereproduksi secara
seksual (teleomorph) yang diklasifikasikan dalam kompleks Aspergillus flavus (Frisvad
et al., 2005). Mereka ditandai oleh ascomata yang diproduksi dalam stromata
sclerenchymatous tertutup. Genus Petromyces milik keluarga Trichocomaceae dari
ordo Eurotiales of Ascomycetes. Selain itu, taksonomi kelompok kompleks flavus
semakin rumit dengan adanya divergensi morfologis di antara isolat spesies yang sama.

A. flavus tampaknya menghabiskan sebagian besar hidupnya tumbuh sebagai


saprophyte di tanah, di mana ia memainkan peran penting sebagai pendaur ulang nutrisi,
didukung oleh puing-puing tanaman dan hewan. Kemampuan A. flavus untuk bertahan
hidup dalam kondisi yang keras memungkinkannya dengan mudah mengungguli
organisme lain untuk substrat di tanah atau di pabrik (Bhatnagar et al., 2000). Jamur
pada musim dingin baik sebagai miselium atau sebagai struktur resisten yang dikenal
sebagai sclerotia. Sclerotia berkecambah untuk menghasilkan hifa tambahan atau
mereka menghasilkan konidia (spora aseksual), yang dapat tersebar lebih lanjut di tanah
dan udara.

B. Dampak terhadap Status Gizi dan Kesehatan

Aspergillus flavus menyebabkan penyakit dengan spektrum luas pada manusia ,


mulai dari reaksi hipersensitif hingga infeksi invasif yang diasosiasikan dengan
angioinvasion . Sindrom klinis yang diasosiasikan dengan kapang tersebut meliputi
granulomatous sinusitis kronis , keratitis , cutaneous aspergillosis , infeksi luka , dan
osteomyelitis yang mengikuti trauma dan inokulasi . Sementara itu , Aspergillus flavus
cenderung lebih mematikan dan tahan terhadap anti fungi dibandingkan hampir semua
spesies Aspergillus yang lainya . Penderita dengan penyakit paru kronis ( terutama
asthma , juga penyakit gangguan paru kronis atau " cystic fibrosis " ) dan penderita yang
alergi terhadap jamur ini dapat menyebabkan kerusakan bronchus dan penyumbatan
bronchus intermiten Keadaan ini disebut sebagai allergic bronchopulmonary
aspergillosis ( ABPA ) ( Amalia , 2012 ) .

Berbagai bentuk perubahan klinis dan patologis mikotoksikosi ditandai dengan


gejala muntah , sakit perut , paru - paru bengkak , kejang , koma , dan pada kasus yang
jarang terjadi dapat menyebabkan kematian . Aflatoksin yang berbahaya ini dapat
mempengaruhi mekanisme kerja hati manusia , mamalia , maupun unggas sehingga
menjadi faktor penyebab kanker hati ( Edyansyah , 2013 )

Jamur memiliki potensi bahaya bagi kesehatan manusia. Organisme ini dapat
menghasilkan berbagai jenis toksin yang disebut mikotoksin, tergantung jenis jamur
(Hastono, 2003). Jenis jamur yang sering mengkontaminasi makanan melalui udara
antara lain Aspergillus flavus. Aspergillus flavus adalah jenis jamur multiseluler yang
bersifat opportunistik sebagai jamur saprofit yang menghasilkan mikotoksin yang
berbahaya bagi manusia dan menyebabkan penyakit Aspergillosis. Jamur ini tersebar
luas di alam dan kebanyakan spesies (Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Aspergillus
orizae, Aspergillus terreus, Aspergillus fumigatus) ini sering menyebabkan kerusakan
makanan karena menghasilkan zat-zat racun yang dikenal sebagai aflatoxin (Maryam,
2002).

Toksin yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus berupa mikotoksin. Mikotoksin


adalah senyawa hasil sekunder metabolisme jamur. Mikotoksin yang dihasilkan oleh
Aspergillus flavus lebih dikenal dengan aflatoksin, dapat menyerang sistem saraf pusat,
beberapa diantaranya bersifat karsinogenik menyebabkan kanker pada hati, ginjal, dan
perut (Williams, 2004).

Aflatoksin umumnya mempengaruhi liver dan beberapa kasus kontaminasi


aflatoksin telah terjadi pada kelompok masyarakat di berbagai Negara, terutama Negara
tropis seperti Indonesia. Meskipun demikian, kasus keracunan akut masih jarang terjadi
sehingga kewaspadaan masyarakat masih rendah. Kontaminasi aflatoksin pada bahan
pangan menyebabkan adanya residu dalam tubuh yang dapat menyebabkan keracunan
pada manusia (Maryam, 2005).

Data dari LIPI mengindikasikan bahwa 47% kecap yang di distribusikan ke Jawa
telah terkontaminasi aflatoksin. Pitt and Hocking (1997) memperkirakan bahwa setiap
tahun terjadi kematian 200.000 orang penderita kanker di Indonesia yang disebabkan
oleh Aflatoksin (Dharmaputra et al, 2001).
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Karakteristik Aspergillus flavus Secara makroskopis koloni kapang yang tumbuh
terlihat berwarna hijau kekuningan yang merupakan indikator adanya Aspergillus
flavus. Secara mikroskopis dengan menggunakan metode slide culture. Aspergillus
flavus memiliki struktur seperti: bentuk konidia bulat berwarna hijau kekuningan,
fialida berbentuk langsung pada metula, vesikula berbentuk bulat hingga semibulat,
konidiofor berwarna terang.
2. Aspergillus flavus menyebabkan penyakit dengan spektrum luas pada manusia ,
mulai dari reaksi hipersensitif hingga infeksi invasif yang diasosiasikan dengan
angioinvasion . Sindrom klinis yang diasosiasikan dengan kapang tersebut meliputi
granulomatous sinusitis kronis , keratitis , cutaneous aspergillosis , infeksi luka ,
dan osteomyelitis yang mengikuti trauma dan inokulasi . Sementara itu ,
Aspergillus flavus cenderung lebih mematikan dan tahan terhadap anti fungi
dibandingkan hampir semua spesies Aspergillus yang lainya.
B. SARAN
Detoksifikasi mikotoksin merupakan upaya sebelum produk dikonsumsi,
melalui carafisis (physycal), kimiawi (chemical) atau mikrobiologis. Sedangkan
reduksi mikotoksin yang dapat dilakukan pada produk yang akan dikonsumsi adalah
dengan menambah senyawa antioksidan alami. Selain hal tersebut, penambahan aditif
pangan dapat juga mengurangi pengaruh racun mikotoksin.
DAFTAR PUSTAKA

Campbell, C. K. (1994). Forms of aspergillosis. In The Genus Aspergillus, pp. 313–320, Edited
by K. A. Powell, A. Renwick & J. F. Peberdy. New York: Plenum.

Dharmaputra , O . S . , Putri , A . S . R , Retnowati , I , & Ambarwati , S . ( 2001 ) . Soil


mycobiota of peanut fields in Wonogiri regency , Central Java : their effect on the growth
and aflatoksin production of Aspergillus flavus in vitro . Biotropia : The Southest Asian
Journal of Tropical Biology . 17 ( 6 ) , 30 - 58 .

Gilliam, M. and Vandenberg, J.D. (1990) Fungi. In: Honey Bee Pests,Predators and Diseases,
2nd edn. (Morse, R.A. and Nowogrodzki, R.,eds), pp. 64–90. Ithaca NY, Cornell
University Press.

Hastono, S. 2003. Cendawan dan permasalahannya terhadap kesehatan hewan. Jurnal Veteriner
4 (2): 1-4.

Pitt, J.I. and Hocking, A.D. 1997. Fungi and Food Spoilage. Blackie Academic & Professional.
London.

Wrather, J.A. and L.E. Sweet. 2006. Aflatoxin in Corn. Jefferson City: Delta Research Center.
Missouri Agricultural Experiment Station. MU College of Agriculture, Food and Natural
Resource.

Anda mungkin juga menyukai