Anda di halaman 1dari 14

E-LEARNING

MIKROBIOLOGI PANGAN



Modul 5.2.
MIKOTOKSIN, VIRUS
DAN PARASIT




TIM PENYUSUN :

C.C. NURWITRI
WINIATI PUDJI RAHAYU
HARSI D. KUSUMANINGRUM
SITI NURJANAH





DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
E-Learning Mikrobiologi Pangan

Modul 5.2.
MIKOTOKSIN, VIRUS DAN PARASIT

A. MIKOTOKSIN

Kematian sebagian besar ternak, terutama kalkun, di Inggris
pada tahun 1960 tentu saja mengejutkan para peternak serta
pemerintah Inggris. Para peternak mengalami kerugian yang sangat
besar dan mengakibatkan pasokan daging di pasaran menurun drastis.
Sejak saat itu para peneliti dan pemerintah Inggris melaksanakan
penelitian dan langkah-langkah untuk mengatasi hal tersebut.
Berdasarkan berbagai kajian penelitian ternyata diketahui bahwa kasus
tersebut diakibtkan oleh adanya kapang Aspergillus flavus yang sering
mengkontaminasi bahan pangan selama penyimpanan. Penelitian lebih
lanjut menunjukkan hasil bahwa hal tersebut disebabkan adanya
pertumbuhan Aspergillus flavus pada kacang tanah, yang
menghasilkan metabolit sekunder yang bersifat toksik (secara umum
disebut mikotoksin).
Yang dimaksud dengan mikotoksin adalah senyawa organik
beracun yang berasal dari sumber hayati berupa hasil metabolisme oleh
kapang. Sebutan mikotoksin berasal dari kata Yunani mykes yang
berarti kapang dan kata lain toxicum yang berarti racun. Penyakit yang
disebabkan oleh kapang dapat dibedakan atas infeksi dan mikosis,
alergi dan mikotosikosis atau intoksikasi. Mikosis merupakan simptom
atau kondisi buruk yang disebabkan oleh adanya infeksi kapang. Infeksi
kapang merupakan gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh
serangan kapang secara langsung, baik terhadap organ tubuh yang
sehat (disebut infeksi primer) ataupun terhadap organ yang telah luka
(infeksi sekunder). Akibat gangguan kesehatan semacam (mikosis) ini
ada juga yang bersifat menular, misalnya peradangan kornea mata
atau peradangan telinga. Sedangkan mikotoksikosis atau intoksikasi
oleh racun dari kapang adalah simptom atau kondisi buruk yang
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB, 2007

1
E-Learning Mikrobiologi Pangan

disebabkan oleh terkonsumsinya makanan/minuman yang telah
tercemar mikotoksin.
Alergi merupakan reaksi tubuh akibat terhirupnya spora-spora
kapang atau kontak langsung dengan kapang. Gangguan pada saluran
pernapasan, asma dan dermatitis merupakan beberapa contoh alergi.
Toksin yang dihasilkan oleh kapang umumnya diproduksi pada periode
pra panen/penanaman atau selama kuru waktu penyimpanan pangan.
Toksin tersebut merupakan hasil dari metabolisme sekunder yang
bersifat non protein. Umumnya mikotoksin memiliki resistensi yang
relatif tinggi terhadap panas. Dampak yang dihasilkan akibat
tertelannya toksin berupa intoksikasi, baik intoksikasi akut maupun
intoksikasi yang bersifat kronis.
Umumnya substrat untuk pertumbuhan kapang toksigenik
adalah serealia (biji-bijian) sebagai sumber karbohidrat, namun
beberapa peneliti melaporkan bahwa beberapa jenis mikotoksin dapat
pula ditemui pada pangan hewani misalnya daging asap dan ikan
kering.

Jenis-jenis mikotoksin antara lain :
1. Aflatoksin
Aflatoksin dapat dibedakan menjadi aflatoxin B1, B2, G1, G2,
dan M1; yang sesuai dengan penampakan fluoresensinya pada
lempeng kromatografi lapisan tipis dengan silika gel yang sininari
dengan ultraviolet. Jika fluoresensinya biru dinyatakan sebagai
aflatoksin B (blue) sedangkan bila hijau dinyatakan sebagai aflatoksin
G (green). Selanjutnya berdasarkan mobilitasnya pada lempeng
kromatografi lapisan tipis ditambahkan indeks menjadi B
1
; B
2
; G
1
dan
G
2
. Angka yang lebih kecil menunjukkan bahwa nilai Rf (rate of
flow) dari spot tersebut lebih besar.
Ransum pakan yang mengandung aflatoksin, jika pakan
tersebut dikonsumsi oleh ternak perah ternyata susu yang
dihasilkannya mengandung sejenis aflatoksin yang merupakan
turunan dari aflatoksin yang terkonsumsi. Berhubung aflatoksin jenis
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB, 2007

2
E-Learning Mikrobiologi Pangan

ini untuk pertama kalinya ditemukan pada susu maka dinamakan
aflatoksin M (milk). Namun terdapat kenyataan lain bahwa percobaan
pada ternak domba dengan ransum yang mengandung aflatoksin,
ternyata urin domba tersebut juga mengandung aflatoksin jenis ini
(yaitu aflatoksin M). Ditemukan pula bukti bahwa Aspergillus flavus
kadang menghasilkan aflatoksin M dalam jumlah sedikit, yaitu
aflatoksin M
1
dan aflatoksin M
2
dimana masing-masing dapat
dianggap turunan dari aflatoksin B
1
dan B
2
.
Aflatoksin bersifat sangat beracun dan karsinogenik (memiliki
potensi menimbulkan kanker). Dosis letal (LD
50
) adalah 0,5 mg/kg
berat badan. Jika aflatoksin terkonsumsi tiap hari selama beberapa
minggu maka dapat mengakibatkan kerusakan pada hati. Terdapat
hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pemberian ransum harian
yang mengandung 10 g aflatoksin B pada tikus mencit selama
beberapa minggu ternyata mengakibatkan terjadinya kanker hati.
Aflatoxin diproduksi oleh kapang Aspergillus flavus dan
Aspergillus parasiticus yang tumbuh pada produk serealia. Toksin
terbentuk pada medium yang mengandung lemak dan protein yang
mencukupi pada suhu 23-26
0
C dan toksin tersebut tidak diproduksi
pada suhu rendah (8-11
0
C atau kurang). Aflatoksin dapat tereduksi
apabila terdapat faktor-faktor seperti adanya ultraviolet (pada
pengolahan susu), pemanasan, bahan pengoksidasi (H
2
O
2
), dan alkali
(aluminium).
Cukup banyak dilakukan penelitian untuk menghilangkan daya
racun (detoksifikasi) aflatoksin pada bahan pangan yang meliputi
penghilangan daya racun secara fisika, kimia maupun biologi.
Perlakuan fisik mencakup beberapa cara yaitu radiasi, pemanasan
dan ekstraksi aflatoksin dari bahan pangan. Metode kimia meliputi
perlakuan dengan asam, basa, oksidator, dan dengan penambahan
bisulfit. Sedangkan jika dipilih cara biologi maka dengan aplikasi
proses fermentasi pada bahan pangan (misalnya fermentasi kapang
pada pembuatan tempe atau oncom), serta perlakuan dengan
mikroba lain termasuk bakteri dan protozoa.
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB, 2007

3
E-Learning Mikrobiologi Pangan

2. Ergot

Sejak jaman dahulu manusia telah mengenal adanya
ergotisme yaitu intoksikasi yang disebabkan oleh ergot. Namun
bangsa Cina kuno justru memanfaatkan ergot untuk keperluan
kebidanan (membantu proses kelahiran bagi wanita hamil) kira-kira
lima ribu tahun yang lalu. Bangsa Romawi kuno (kira-kira 700 SM)
mengetahui adanya penyakit yang menyerang tanaman bebijian.
Bangsa Arab juga telah mengenal ergot dan menggolongkannya
sebagai racun kuat sejak lebih dari 100 tahun yang lalu. Mereka
mengelompokkan racun tersebut dalam dua jenis yaitu racun hitam
dan racun hitam kekuningan.
Ergot dihasilkan dari kapang Claviceps paspali dan C.
purpureus yang tumbuh pada produk serealia atau biji-bijian dan
selanjutnya membentuk sklerotia pada biji-bijian tersebut. Penyakit
yang muncul akibat terkonsumsi ergot tersebut lain ergotisme
(disebut juga penyakit pes api), gangrene dan convulsive.
Pencegahannya antara lain serealia yang terkontaminasi kapang C.
purpureus lebih dari 0.3% (wb) harus disingkirkan dari sklerotianya.

3. Trikotesen

Kejadian keracunan pangan di Rusia pada tahun 1819
merupakan titik awal penemuan adanya racun pada bahan pangan
yang perlu diwaspadai. Kasus tersebut kemudian terulang kembali
pada tahun 1942-1948 terutama di daerah Orenburg, Rusia yang
menyebabkan sekitar 600 orang dari 1000 orang penduduknya
mengalami keracunan, bahkan 10% diantara korban keracunan
tersebut meninggal dunia. Sejak saat itu penelitian, ternyata
penyebabnya adalah Alimentary Toxic Aleukia (ATA) diakibatkan oleh
mikotoksin trikotesen.
Toksin ini dihasilkan oleh kapang Fusarium. Beberapa jenis
kapang yang menghasilkan trikotesen antara lain F. gramiearum, F.
nivale dan F. sporotrichoides. Kelompok kapang yang lain yang
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB, 2007

4
E-Learning Mikrobiologi Pangan

mampu menghasilkan trikotesen antara lain Trichoderma,
Trichothecium, Chephalosporium dan Stachybotrys. Kapang penghasil
trikotesen tersebut dapat mengakibatkan berbagai intoksikasi pada
manusia mupun hewan, terutama yang hidup di daerah subtropik.
Trikotesen yang dihasilkan oleh Fusarium sporotrichoides yang
tumbuh pada serealia yang mengalami perubahan suhu secara
periodik dan toksinnya terbentuk pada suhu minus 1 hingga 10
0
C.
toksin ini inaktif pada suhu 200
0
C dan relatif resisten terhadap asam
atau alkali. Simptom yang dihasilkan adalah alimentary toxic aleukia,
adanya sensasi terbakar di mulut, tenggorokan, sakit perut (diare)
dan sumsum tulang belakang.

4. Zearalenon (C
19
H
22
O
6
)

Toksin zearalenon atau dikenal pula sebagi toksi F-2
merupakan mikotoksin yang dihasilkan oleh berbagai spesies kapang
dari genus Fusarium. Berbeda dengan Aspergillus dan Penicillium
yang merupakan kapang utama pada bahan pangan yang disimpan
pada daerah beiklim tropis, maka Fusarium memerlukan nilai Aw
yang relatif lebih tinggi (0,9) serta suhu optimum 24-26
o
C untuk
pertumbuhannya. Adanya fluktuasi suhu yang berlangsung mendadak
atau berlangsung dalam periode waktu tertentu (selama beberapa
minggu), misalnya dari 25
o
C menjadi 12-14
o
C memungkinkan
terjadinya biosintesis zearalenon.
Toksin ini memiliki berat molekul 316, sangat stabil terhadap
panas, meskipin memiliki cincin lakton yang besar, pada suhu 150
o
C
masih dapat bertahan selama 44 jam, dan suhu mortalitasnya 384-
389
0
C. toksin ini dihasilkan oleh kapang F. graminarum yang tumbuh
pada serealia yang distimulasi oleh adanya sirkulasi suhu.
Toksisitas zearalenon dapat dikelompokkan menjadi toksisitas
akut, sub-akut dan sub-kronik, kronik, karsinogenik, genotoksisitas,
imunologik dan reproduktif/perkembangan janin. Di beberapa negara
terdapat regulasi tentang batas maksimum kandungan zearalenon
pada bahan pangan, yang berkisar 30-200 ppb (atau g/kg).
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB, 2007

5
E-Learning Mikrobiologi Pangan

Zearalenon mempunyai toksisitas akut yang rendah (hasil uji melalui
oral maupun interperitoneal yang teramati pada tikus dan babi). Nilai
LD
50
zearalenon untuk oral adalah 4.000-20.000 mg/kg berat badan.

5. Rubratoxin A (C
26
H
22
O
11
) dan Rubratoksin B (C
26
H
30
O
16
)

Rubratoksin A ini memiliki berat molekul 510 dengan suhu
mortalitas 210-214
0
C; dosis letalnya (LD
50
) adalah 6,6 mg/kg berat
badan mencit sebagai hewan percobaannya. Rubratoksin B memiliki
berat molekul 518 dengan suhu mortalitas yang lebih rendah yaitu
168-170
0
C; dosis letalnya (LD
50
) lebih rendah daripada rubratoksin A
yaitu 3 mg/kg berat badan.
Jenis kapang yang menghasilkan toksin ini adalah Penicillium
rubrum yang menghasilkan pigmen merah keunguan-unguan. P.
rubrum dapat tumbuh di dalam tanah, kacang-kacangan, jagung, dan
bunga matahari. Dengan demikian jika bahan pangan terlihat
berkapang dengan pigmen merah keunguan maka telah
terkontaminasi P. rubrum dan kemungkinan telah terdapat
rubratoksin. Jika ternak babi mengkonsumsi 0.23 kg jagung yang
telah berkapang dan mengandung rubratoksin maka dapat
membunuh ternak babi tersebut.

6. Patulin (C
7
H
6
O
4
)

Patulin merupakan toksin hasil metabolisme kapang yang
umumnya ditemukan pada buah, sayuran dan serealia berkapang.
Secara alamiah patulin berpotensi menyebabkan toksisitas dan
karsinogen yang membahayakan kwsehatan manusia dan hewan.
Toksin jenis patulin tidak stabil pada kondisi alkali namun stabil
dalam kondisi asam dan proses pasteurisasi. Toksin ini akan
terhambat pembentukannya pada saat proses fermentasi sari apel.
Jenis kapang yang menghasilkan patulin adalah Penicillium
expansum, P. moniliforme, P. claviforme, dan P. urtica yang tumbuh
di buah-buahan. Selain itu kapang Aspergillus dan Byssoclamys juga
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB, 2007

6
E-Learning Mikrobiologi Pangan

dapat menghasilkan patulin. Cukup banyaknya jenis kapang
penghasil patulin maka patulin juga dikenal dengan berbagai nama,
yang umumnya toksin ini dinamakan berdasarkan kapang asalnya.
Misalnya patulin dari Penicillium patulum; leukopin ditemukan pada P.
leucopus; clavacin, clavatin diambil dari A. clavatus.
Ternyata patulin mampu menghambat pertumbuhan beberapa
bakteri Gram-positif dan Gram-negatif, sehingga digunakan sebagai
bakterisida, namun dapat pula menimbulkan efek toksik terhadap sel
tanaman, hewan maupn jaringan.

7. Yellow Rice Toxin / Sitrinin (C
13
H
14
O
5
)

Mikotoksin jenis sitrinin pertama kali diisolasi dari Penicillium
citrinum pada tahun 1931 oleh Hetherington dan Raistrick. Sitrinin
dikenal sebagai antibiotika pada tahun 1941. saat ini sitrinin
dikelompokkan sebagai salah satu mikotoksin yang penting untuk
diperhatikan.
Sitrinin dikenal pula sebagai toksin beras kuning. Berat
molekul sitrinin adalah 259 dan suhu mortalitasnya adalah 172
0
C.
toksin ini dihasilkan oleh beberapa jenis kapang yaitu Penicillium
toxicarum, P. islandicum, P. citrinum, P. rugulosum, P. tardum, dan
P. citreoviride yang tumbuh pada beras. Sitrinin ditemukan bersama
okratoksin pada biji-bijian (gandum, jewawut) yang terkontaminasi P.
Citrinum. Pada kacang tanah yang terkontaminasi A. flavus, A.
terreus dan P. citrinum ternyata ditemukan adanya sitrinin bersama
aflatoksin.

8. Ochratoxin (Ochratoxin A dan B)

Okratoksin A merupakan toksin yang memiliki sifat sangat
beracun, dengan dosis letalnya (LD
50
) 20 mg/kg berat badan.
Sedangkan toksisitas okratoksin B lebih rendah dibandingkan
okratoksin A. Jenis kapang yang menghasilkan toksin ini adalah
Aspergillus ochraceus yang tumbuh di dalam tanah, serta serealia,
jagung, kacang-kacangan yang berkadar air lebih dari 16%.
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB, 2007

7
E-Learning Mikrobiologi Pangan

Okratoksin juga ditemui pada bubuk cabai, hati dan ginjal, ikan asin,
biji kapas, jeruk dan lain-lain. Toksin ini dapat diproduksi melalui
medium sintetik dan memiliki efek nonkarsinogenik.

B. VIRUS

Virus memiliki ukuran yang sangatlah kecil untuk dapat
diamati melalui mikroskop konvensional. Pengamatan virus akan lebih
jelas dengan menggunakan mikroskop elektron. Virus seringkali
dianggap sebagai penyebab penyakit yang tidak memiliki reaksi
terhadap pengobatan yang dilakukan. Kontaminasi virus pada makanan
seringkali disebabkan karena kecerobohan manusia. Resiko penyebaran
virus melalui pangan paling banyak terjadi pada pangan yang ditangani
seseorang dengan kontak langsung pada pangan tanpa dilanjutkan
dengan proses pemasakan. Virus tergolong sebagai parasit intraseluler
yang dapat menyebabkan infeksi. Ukuran virus mencapai 25-250 nm
dan mengandung material genetik DNA atau RNA, protein dan beberapa
lipida. Secara umum penyakit asal makanan yang disebabkan oleh virus
memiliki satu rantai RNA, tudung protein, dan dilapisi oleh material lipida
yang berasal dari membran sitoplasmik inang.

Human intestinal viruses
1. Picornaviruses
Polioviruses 1-3
Coxcakieviruses A 1-24
Coxcakieviruses B 1-6
Echovirus 1-34
Enterovirus 68-71
Hepatitis A
2. Reoviruses
Reovirus 1-3
Rotaviruses
3. Parvoviruses
Organ pencernaan manusia
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB, 2007

8
E-Learning Mikrobiologi Pangan

4. Papovaviruses
Virus BK dan JC pada manusia
5. Adenoviruses
Adenoviruses manusia tipe 1-33

Virus yang menyebabkan penyakit asal makanan :
Virus polio (poliomyelitis)
Sumbernya berasal dari susu mentah. Simpton yang dihasilkan salah
satunya adalah gejala lumpuh pada kaki. Tindakan pencegahan yang
dapat dilakukan adalah dengan mengkonsumsi susu yang telah
melalui proses pasteurisasi.
Hepatitis A
Sumbernya berasal dari air yang telah terkontaminasi ataupun
kerang yang tidak dimasak hingga matang. Simptom yang dihasilkan
adalah gangguan pada jantung. Tindakan pencegahannya adalah
dengan memasak makanan hingga matang.
Norwalk-like virus
Sumbernya berasal dari sayuran mentah dan salad. Simpton yang
dihasilkan adalah gangguan pada organ pencernaan. Langkah
pencegahan yang dapat diambil antara lain dengan memanaskan
pangan hingga suhu 55
0
C selama 30 menit, pengeringan, metode
freeze drying (pengeringan-beku) dan proses irradiasi.

Bakteri yang terkait dengan lingkungan
Keracunan Histamin
Penyebabnya berasal dari ikan dan produk ikan yang mengandung
histamin dalam jumlah tinggi. Histamin ini terbentuk dari histidin
karena adanya dekarboksilase yang dihasilkan oleh bakteri. Beberapa
jenis bakteri yang menghasilkannya antara lain Morganella spp,
Klebsiella pneumoniae, Hafnia alvei, Citrobacter freundii, Clostridium
perfringens, Enterobacter aerogenes, dan Proteus spp.
Aeromonas
Enterotoxin, berbentuk aquatik yang berasosiasi dengan diare.
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB, 2007

9
E-Learning Mikrobiologi Pangan

Plesiomonas
Enterotoxin, berada di permukaan air, tnah dan hewan air, dapat
menyebabkan diare.
Bacteroides fragilis
Bersifat enterotoxin dan berhubungan dengan diare
Erysipelothrix rhusiopathiae
Terdapat pada daging yang telah terkontaminasi dan mengalami
kontak dengan tangan yang memiliki penyakit
Klebsiella pneumoniae
Berasal dari hamburger
Streptococcus iniae
Berasal dari produk ikan

C. PROTOZOA

Entamoeba hystolica
Diameternya 18-30 m dan berada di daerah tropik. Penyebarannya
melalui manusia, anjing dan kucing, dan menyebabkan penyakit disentri.
Tindakan pencegahannya berupa menjaga air tetap bersih, kebersihan
dan higienis pekerja, dan proses pembuangan limbah yang benar dan
sesuai prosedur.
Giardia lamblia
Berukuran 8-16 m x 5-12 mn terdapat di daerah US. Penyebarannya
terutama melalui air dan menyebabkan penyakit infeksi GI. Langkah
pencegahannya adalah dengan menjaga air tetap bersih, kebersihan dan
higienis pekerja, dan proses pembuangan limbah yang benar dan sesuai
prosedur.
Toxoplasma gandii
Berukuran 4-8 m x 2-4 m. Protozoa ini merupakan parasit yang
penyebarannya melalui jaringan intraseluler otak, jantung, otot kucing,
domba, babi dan sapi. Penyakit yang ditimbulkan adalah infeksi pada
usus kecil. Pencegahannya berupa daging harus dimasak hingga matang
keseluruhannya.

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB, 2007

10
E-Learning Mikrobiologi Pangan

D. PARASIT

Parasit merupakan hewan yang menggantungkan seluruh
hidupnya pada hewan yang lebih besar yang disebut sebagai
induk/inang. Pertumbuhannya melalui reproduksi seksual dan
menghasilkan telur yang dikeluarkan bersamaan dengan feses dan
mengkontaminasi lingkungan sekitar. Hewan parasit ini tidak dapat
bereproduksi di luar inangnya.
Trichinella spiralis Pig muscle Infection of Thorough cooking
Larva 0,4 mm x 0,25 mm small intestines of meat : commercial
(60
o
C); home (66
o
C)
Ascaris lumbricoides Infection of Proper fecal disposal
Eggs 60 - 70 m x small intestines Meat is roasted until
40 - 50 m no longer pink
(77
o
C)
Meat is frozen below
15
o
C for 20 days
Anisakids Raw fish Infection if Cook fish thoroughly
small intestines
Round Worms Round Worms
Name Host/transmission Illness Prevention


Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB, 2007

11
E-Learning Mikrobiologi Pangan

Tape Worm
Taenia saginata Cyst in cow (1 cm) May not affect Proper fecal disposal
healthy individual Meat inspection
Cooking temperature at
least 57
o
C ,
Freezing at -50
o
C ( 5 days
Fl ukes
Fasciola hepatica Cyst in cow Proper fecal disposal
(liver) Meat inspection
Cooking temperature at
least 57
o
C,
Freezing at -50
o
C ( 5 days
Tape Worms and Fl ukes Tape Worms and Fl ukes
Name Host/transmission Illness Prevention


Major Foodborne Parasites
Food vehicle Source or mode of Parasites species Infectious form
contamination
Drinking water Feces (human) Entamoeba histolytica
a
Cyst
Feces (human and Giardia lamblia Cyst
animal
Foods contaminated Handling by infected Entamoeba hystolitica
a
Cyst
in handling persons (feces) Giardia lamblia Cyst
Vegetables and fruits Agent in feces- Entamoeba hystolitica
a
Cyst
contaminated in contaminated soil Giardia lamblia Cyst
the field Ascaris lumbricoides
b
Egg
Taenia solium Egg (proglottid)
Meats (raw or rare) Infected food animal Toxoplasma gondii Oocyst,
bradyzooite (cyst)
Trichinella spiralis Cyst
Taenia saginata Cysticercus
Taenia solium Cysticercus
Fish (raw or rare) Infected fish (ocean) Anisakids Larva
Infected fish Diphyllobothrium latum Plerocercoid
(freshwater)






Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB, 2007

12
E-Learning Mikrobiologi Pangan

E. PENYAKIT PRION

Prion merupakan protein yang berasal dari membran sel otak
dan memiliki resistensi terhadap protease. Penyakit ini biasanya
menyerang hewan ternak seperti domba, kambing, hamster, dan
terkadanga manusia. Pada manusia disebut CID (Creutzfeltdt Jacob
disease), sedangkan pada hewan ternak adalah penyakit BSE (bovine
spongioform encephalopathy) yang menyerang pada ternak sapi dan
domba, dikenal sebagai penyakit sapi gila.

F. FITOPLANKTON TOKSIGENIK

Paralytic shellfish poisoning
Toksin yang dihasilkan berupa saxitoxin dan dapat mengakibatkan
kegagalan pada jantung dan gangguan pernapasan. Penyebabnya
adalah konsumsi makanan seafood yang mengandung dinoflagellata /
ganggang merah (Gonyalulax)
Ciguatera poisoning
Toksin yang dihasilkan berupa ciguatoxin dan dapat mengakibatkan
lumpuhnya sistem pernapasan. Penyebabnya adalah konsumsi
makanan seafood yang mengandung dinoflagellata Gambrierdiscus
Asam Domoic
Penyebab adalah Amnesia shellfish poisoning (ASP) yang dihasilkan
dari tiram atau seafood yang berasal dari perairan laut.

**********
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB, 2007

13

Anda mungkin juga menyukai