Anda di halaman 1dari 3

Kontaminasi bahan pangan sangat erat hubungannya dengan mikroorganisme (bakteri,

virus, fungi, dan parasit),  serta residu dan senyawa toksin. Mikotoksin adalah senyawa
hasil metabolisme fungi yang membahayakan kesehatan karena bersifat toksik.
Beberapa jenis fungi yang dapat menghasilkan mikotoksin adalah Aspergillus,
Penicilium, Fusarium  dan Alternaria. Pertumbuhan fungi sangat baik di daerah dengan
suhu, curah hujan, serta kelembapan yang tinggi. Umumnya fungi dapat tumbuh dengan
baik pada suhu 10-40°C, pH 4-8 dan kadar air 17-25 (Yani 2007). Efektoksisitas
mikotoksin tergantung beberapa hal yaitu jumlah dan lama pemaparan mikotoksin, rute
pemaparan, spesies, umur, jenis kelamin dan status kesehatan (Widiastuti 2006).

Beberapa jenis mikotoksin antara lain :

I.Aflatoxin

Aflatoxin  merupakan singkatan dari Aspergillus flavus toxin. Aflatoxin  diidentifikasi


pertama kali pada tahun 1960 di England yang merupakan toksin berasal
dari Aspergillus flavus. Aflatoxin  bersifat immune suppresif yang berarti dapat
menurunkan system kekebalan tubuh. Mikotoksin ini sering terdapat pada produk dan
hasil olahan pertanian (Diner et al., dalam Noveriza 2008). Pada hasil produk pertanian
misalnya pada serealia  (jagung, sorgum, beras, dan gandum), rempah – rempah (lada,
jahe, kunyit) dan kacang – kacangan (almond dan kacangtanah). Pada produk hasil
ternak seperti susu, telur dan daging ayam juga dapat ditemukan aflatoxin. 

Aflatoksin  seringkali ditemukan pada tanaman sebelum dipanen. Setelah pemanenan,


kontaminasi dapat terjadi jika hasil panen terlambat dikeringkan dan disimpan dalam
kondisi lembab. Serangga dan tikus juga dapat memfasilitasi masuknya kapang pada
komoditi yang disimpan. Dari beberapa jenis aflatoxin yang bersifat sangat
karsinogenik, hepatotoksik dan mutagenic pada manusia adalah pada aflatoxinB1 (AFB1).

II. Okratoxin

Mikotoksin ini pertama kali diisolasi pada tahun 1965 dari Aspergillus


ocraceus.  Terdapat tiga jenis okratoksin yang telah diidentifikas yaitu okratoxsin  A
(OA), okratoxsin  B (OB) dan okratoxin  C (OC). Golongan okratoxin  yang bersifat
karsinogenik pada manusia adalah okratoxin A (OA). Okratoksin juga dihasilkan
oleh Penicillium viridicatum (Noveriza 2008). A. ocraceus  dapat tumbuh pada kisaran
suhu 8–370C serta dapat menghasilkan okratoxin  A pada suhu 15-370C, pertumbuhan
optimumnya pada 25-280C. Sedangkan pada P. viridicatum  dapat tumbuh pada 200C
dan dengan pH optimumnya adalah 6 – 7. A. ocraceus  secara alami terdapat pada
tanaman yang mati atau tanaman yang telah busuk, selain itu terdapat pada biji–bijian,
kacang–kacangan dan buah–buahan. P. viridicatum  terdapat pada biji–bijian yang
berada di daerah beriklim sedang(Ahmad 2009).

III. Zearalenon

Fusarium graminearum  diidentifikasi pertama kali pada tahun 1983 di Argentina yang
dapat menghasilkan toksin zearalenon. Toksin ini terdapat di dalam sampel jagung. F.
tricinctum  dan F. moniliforme  juga menghasilkan zearalenon.  Fungi tumbuh pada suhu
optimum 20–250C dan kelembaban 40–60 %. Mikotoksin ini cukup stabil dan tahan
terhadap suhu tinggi. Zearalenon sering ditemukan pada jagung, gandum, kacang
kedelai, beras dan serelia lainnya (Noveriza 2008).

IV. Trikotesena

Trikotesena dihasilkan oleh Fusarium spp, Trichoderma, Myrothecium,


Tricothecium  dan Stachybotrys.  Ciri utama dari trikotesena adalah adanya intiterpen.
Gejala klinik yang muncul akibat keracunan trikotesena  antara lain tidak nafsu makan,
nekrosis pada kulit, gangguan pencernaan, dan gangguan imun(Ahmad 2009).

V. Fumonisin

Fumonisin dihasilkan oleh Fusarium  spp,  terutama F. moniliforme, F. proliferatum, F.


nygamai, F. anthophilum, F. diamini dan F. napiforme.  Pertama kali diisolasi dari F.
moniliforme  pada tahun 1988. Fumonisin sering terdapat pada jagung. Cemaran
fumonisin bersama aflatoksin akan meningkatkan toksisitas kedua mikotoksin ini. F.
moniliforme  tumbuh optimal pada suhu optimal 22,5–27,50C. Fumonisin dapat
menyebabkan nekrosis (leucoencephalomalacia: LEM) padatikus, serta gangguan
pernapasan pada babi (Porcine Pulmonary Edema: PEM). 

Kontaminasi mikotoksin dapat dikendalikan dengan penerapan Good Agricultural


Practices  (GAP) dan Good Manufacturing Practices  (GMP) yang dilaksanakan pada
prapanen, saat panen, dan pascapanen disertai control kualitas. Pengendalian prapanen
dapat dilakukan dengan pemilihan varietas, pengendalian hama dan gulma,
penggunaan fungisida dan herbisida dengan benar, rotasi tanaman, serta control
biologis. Cemaran mikotoksin saat panen dapat dihindari dengan menggunakan
peralatan yang bersih dari fungi penghasil mikotoksin. Pengendalian pascapanen dapat
dilakukan dengan pemisahan produk secara fisik, pencucian, pengeringan, dan
penyimpanan yang baik. Penggunaan bahan kimia sebagai bahan pengikat, pemanasan,
dan radiasi hasil pertanian juga dapat dilakukan sebagai upaya mencegah cemaran
mikotoksin pascapanen 

Anda mungkin juga menyukai