Anda di halaman 1dari 16

PATOLOGI BENIH 2

Dyah Nuning Erawati, SP. MP


Resiko MIKOTOKSIN

 senyawa organik hasil metabolisme sekunder jamur


benang (kapang).
 sebagai produk alami dengan bobot molekul rendah
yang dihasilkan sebagai metabolit sekunder dari
cendawan berfilamen dan dapat menyebabkan
penyakit bahkan kematian pada manusia, hewan,
tumbuhan, maupun mikroorganisme lainnya
AFLATOKSIN

• Sebagian besar aflatoksin


dihasilkan oleh Aspergillus flavus
dan juga A. parasiticus
• Cendawan tersebut hidup optimal
pada suhu 36-38 °C dan
menghasilkan toksin secara
maksimum pada suhu 25-27 °C.
• Pertumbuhan cendawan penghasil
aflatoksin biasanya dipicu oleh
kelembaban sebesar 85%

Aspergillus flavus
CITRININ
 Citrinin pertama kali diisolasi dari Penicillium
citrinum pada tahun 1931.
 Mikotoksin ini ditemukan sebagai kontaminan
alami pada jagung, beras, gandum, barley dan
gandum hitam (rye).
ERGOT ALKALOID
 Diproduksi oleh jenis cendawan
golongan Clavicipitaceae
 Kontaminasi senyawa ini pada
makanan dapat menyebabkan
epidemik keracunan ergot (ergotisme)
yang dapat ditemui dalam dua bentuk,
yaitu bentuk gangren (gangrenous) dan
kejang (convulsive).
 Pembersihan serealia secara mekanis
tidak sepenuhnya memberikan proteksi
terhadap kontaminasi senyawa ini
karena beberapa jenis gandum masih
terserang ergot dikarenakan varietas
benih yang digunakan tidak resiten
terhadap Claviceps purpurea penghasil
ergot alkaloid
FUMONISIN

 Fumonisin ditemukan pada tahun 1988 pada Fusarium


verticilloides dan F. proliferatum yang sering
mengontaminasi jagung
 Toksin jenis ini stabil dan tahan pada berbagai proses
pengolahan jagung sehingga dapat menyebabkan
penyebaran toksin pada dedak, kecambah dan tepung
jagung.
 Konsentrasi fumonisin dapat menurun dalam proses
pembuatan pati jagung dengan penggilingan basah
karena senyawa ini bersifat larut air.
OCHRATOKSIN
 Ochratoxin dihasilkan oleh cendawan dari genus Aspergillus, Fusarium,
and Penicillium dan banyak terdapat di berbagai macam makanan, mulai
dari serealia, ayam, kopi, bir, wine, jus anggur, dan susu
 Secara umum, terdapat tiga macam ochratoxin yang disebut ochratoxin
A, B, dan C, namun yang paling banyak dipelajari adalah ochratoxin A
karena bersifat paling toksik di antara yang lainnya
 Pada suatu penelitian menggunakan tikus dan mencit, diketahui bahwa
ochratoxin A dapat ditransfer ke individu yang baru lahir melalui
plasenta dan air susu induknya.
 Pada anak-anak (terutama di Eropa), kandungan ochratoxin A di dalam
tubuhnya relatif lebih besar karena konsumsi susu dalam jumlah yang
besar.
 Infeksi ochratoxin A juga dapat menyebar melalui udara yang dapat
masuk ke saluran pernapasan
Fusarium

hifa

makrospora

mikrospora
Rhizopus stolonifer
Pengendalian 1 : Pra Panen
 Kontaminasi jamur yang cukup signifikan dapat terjadi pada hasil
pertanian sejak perkembangannya di lahan.
 Kekeringan, kurangnya nutrisi, serangan insekta, kontaminasi jamur,
dan penundaan panen merupakan faktor-faktor eksternal yang dapat
mempengaruhi pertumbuhan jamur dan terbentuknya mikotoksin di
lahan.
 Beberapa faktor tersebut sangat tergantung dari lingkungan dan
diperlukan pengendalian dengan baik. Praktek budidaya yang baik
akan meminimalkan terjadinya kontaminasi jamur di lahan.
 Beberapa langkah yang dipandang sebagai langkah efektif antara lain:
(i) mengurangi stress tanaman melalui irigasi, pemupukan yang sesuai,
dan pengendalian terhadap hama dan penyakit;
(ii) menghindari kondisi lingkungan yang dapat mendukung infeksi di
lahan
Pengendalian 2 : Panen
 Pemanenan dapat mengakibatkan kerusakan fisik pada komoditas.
Apabila kerusakan dijaga serendah mungkin pada tahap ini,
kontaminasi lanjutan dapat dikurangi cukup signifikan.
 Sejumlah cara dipandang sebagai langkah efektif:

(i) Panen sebaiknya dilakukan saat masak fisiologis dan dilanjutkan


dengan pengeringan yang cepat (1-2 hari) agar kadar air segera
mencapai 12 - 14 % untuk pencegahan perkembangan jamur
toksigenik
(ii) dilakukan pemisahan jagung yang rusak
(iii) kadar air dan suhu dijaga pada kisaran yang tepat
(vi) dilakukan pengendalian terhadap aktivitas insekta dan rodensia.
Pengendalian 3 : Prosedur Pasca panen
 Pencegahan melalui manajemen pra-panen merupakan metode
paling baik dalam mengendalikan kontaminasi mikotoksin
 Bika kontaminasi telah terjadi maka toksin harus dikendalikan
melalui prosedur pasca-panen terutama apabila produk tersebut
ditujukan untuk konsumsi manusia dan pakan hewan.
 Pada tahap pasca-panen, pengeringan, penyimpanan dan
pengolahan jagung merupakan tahapan penting agar kontaminasi
dapat dicegah.
 Pengeringan harus dilakukan dengan dengan kondisi yang baik,
sinar cukup, tempat yang bersih, terhindar dari debu yang
bertebaran (karena dapat meningkatkan penyebaran spora jamur),
dan dijauhkan dari segala serangan insekta dan rodensia.
Pengendalian 4 : Penyimpanan
 Fasilitas penyimpanan yang kurang, pengemasan yang tidak tepat dan
kondisi produk saat disimpan dapat menyebabkan kontaminasi
mikotoksin selama penyimpanan.
 Akumulasi kadar air dan panas, dan kerusakan fisik produk dapat

memicu tumbuhnya jamur yang kemudian menghasilkan mikotoksin.


 Harus dipastikan bahwa benih yang disimpan tetap kering (kadar air <

12 %) untuk mencegah tumbuhnya jamur.


 Mencegah terjadinya kerusakan fisik pada produk.

 Pengemasan yang baik dapat mencegah serangan hama gudang dan

jika tidak terdapat kemasan yang baik maka praktek hygiene dan
penggunaan pestisida juga dapat meminimalkan kontaminasi.
Pengendalian 5 : Dekontaminasi

 Dekontaminasi dapat dilakukan dengan :


(1) Pengupasan kulit karena komponen kulit bisa menjadi
sumber pencemar,
(2) Pemisahan biji cacat ukuran atau bentuk, karena biji
cacat cenderung tercemar;
(3) Sortasi warna atau kenampakan;
(4) Pemisahan berdasarkan densitas biji, karena biji yang
berdensitas rendah cenderung tercemar;
(5) Pemisahan komponen yang dikehendaki (misal: minyak
atau pati) untuk pengolahan lanjut
Pengendalian 6 : Detoksifikasi
 Detoksifikasi dilakukan dengan :
(1) Panas bertekanan tinggi, pemanasan basah lebih efektif dari pada
pemanasan kering, dan bisa dikombinasikan dengan lama pemanasan.
(2) Air kapur untuk menaikkan pH cairan perendam atau perebus yang
diikuti dengan pencucian;
(3) Amoniak dalam bentuk gas maupun cairan, namun bentuk gas lebih
lazim dan lebih mudah pelaksanaannya dan efektif,
(4) Penyinaran dengan sinar ultraviolet maupun sinar tampak, namun
hanya efektif untuk bahan yang tembus cahaya,
(5) Kultur jamur atoksigenik pada proses fermentasi produk untuk
menghambat pertumbuhan jamur aflatoksigenik;
(6) Enzim ataupun metabolit dari mikroorganisme lain yang mampu
mendetoksifikasi aflatoksin.
Semoga bermanfaat…..

Anda mungkin juga menyukai