Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

KESELAMATAN PANGAN (FOOD SAFETY)

ANALISIS BAHAYA FISIK (PHYSICAL HAZARD)


PADA JAMUR KANCING YANG DIKEMAS DALAM
KALENG

DISUSUN OLEH:
1. ARIANTO PASSALLI S. (21030120410003)
2. WIDI PRIHATMOKO (21030120410004)
3. NOVI SETYOWATI (21030120420034)
4. VANIA FRIMASGITA G. (21030120420030)

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Keselamatan pangan merupakan salah satu isu penting saat ini, di
mana konsumen semakin paham dan mengerti tentang kualitas, mutu
produk, manfaat, cara konsumsi, penggunaan dan tingkat harga dari suatu
produk pangan yang akan dikonsumsi. Kondisi demikian menuntut
produsen dan pelaku bisnis pada industri pangan untuk meningkatkan
kualitas produksinya. Hal tersebut terkait dengan kualitas bahan baku,
transportasi bahan baku, pengolahan bahan baku serta distribusi produk.
Oleh karena itu perlu diterapkan sistem HACCP (Hazard Analysis Critical
Control Point) pada proses produksi dengan memenuhi Sistem
Pengendalian Mutu pada bahan baku dan GMP (Good Manufacturing
Practice) yang berstandard ISO.
Jamur merupakan salah satu sumber hayati tumbuh liar di alam.
Sebelum dibudidayakan, pemenuhan kebutuhan manusia terhadap jamur
konsumsi hanya mengandalkan produksi alami yang tumbuh liar di
lingkungan. Cara ini tidak mungkin memenuhi permintaan pasar yang
semakin meningkat. Jumlah jamur yang terbatas dan hanya diperoleh pada
musim penghujan menyebabkan pembudidayaan jamur konsumsi sangat
diperlukan. Jamur konsumsi kebanyakan berasal dari jenis jamur kayu, yaitu
diantaranya Jamur Kancing (Agaricus bisporus), Jamur Tiram (Pleurotus
ostreatus), Jamur Kuping (Auricularia polytricha) dan Ling Zhi
(Ganoderma lucidum).
Jamur mempunyai zat-zat yang sangat dibutuhkan oleh tubuh
manusia seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral. Di sisi
lain, kandungan nutrisi tersebut menyebabkan jamur mudah mengalami
kerusakan karena jamur masih mengalami respirasi pada waktu dipanen
sehingga terjadi perubahan morfologi kenampakan dan komposisi kimianya
yang dapat memperpendek daya simpan dan mempersulit pemasaran jamur
tersebut.
Salah satu hal yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah
dengan pengalengan. Pengalengan merupakan suatu metode pengawetan
pada wadah yang tertutup rapat (hermetis) yang kemudian diberikan
perlakuan thermal atau perlakuan panas dengan suhu dan waktu tertentu
untuk membunuh mikroorganisme pembusuk dan penyebab penyakit.
Sehingga dapat mencegah bahan makanan menjadi busuk, mempertahankan
nilai gizi dan meningkatkan daya tarik nilai ekonomisnya. Salah satu faktor
penting dalam pengalengan jamur ini adalah bahan mentah. Bahan mentah
yaitu jamur harus memiliki kualitas yang bagus dan steril dari segala jenis
kontaminan agar ketika sampai di tangan konsumen, kualitas dari jamur
kaleng tersebut masih terjamin dan dapat bertahan lebih lama. Oleh karena
itu diperlukan kajian tentang sumber dan jenis kontaminan fisik yang dapat
mengkontaminasi jamur, cara pencegahan dan pengendalian serta aplikasi
yang telah dilakukan pada industri pengalengan jamur.

1.2. Tujuan
1. Untuk mengetahui sumber kontaminan pada bahan mentah jamur kaleng
2. Untuk mengetahui jenis kontaminan pada bahan mentah jamur kaleng
3. Untuk mengetahui potensi bahaya yang timbul dari kontaminan fisik
pada jamur kaleng
4. Untuk mengetahui tahapan pada proses produksi jamur kaleng
5. Untuk mengetahui Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dan
Good Manufacturing Practice (GMP) pada proses produksi jamur kaleng
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Budidaya Jamur Kancing

Tahapan budidaya jamur kancing pada dasarnya hampir sama dengan


jamur kompos lainnya seperti jamur merang yaitu dimulai dengan pembuatan
kompos, sterilisasi, inokulasi/penanaman bibit, dan pemanenan. Perbedaannya
terletak pada perlakuan di dalam beberapa tahapannya. Berikut tahapan-tahapan
dalam budidaya Jamur kancing :
1. Pengomposan Jerami
Pengomposan jerami merupakan salah satu media utama dalam budidaya
jamur kancing. Kandungan hara dalam jerami seperti Nitrogen (N), Fosfor
(P), dan Kalium (K) sangat diperlukan untuk pertumbuhan jamur. Hanya
saja unsur Nitrogen dalam jerami belum mencukupi kebutuhan jamur
untuk tumbuh dengan baik.
2. Sterilisasi
Setelah tahap pengomposan selesai selanjutnya dilakukan sterilisasi di
dalam ruang khusus atau kumbung yang tertutup rapat. Sterilisasi
dilakukan dengan mengalirkan uap air panas selama 8-10 jam dengan suhu
antara 60-70°C. Selanjutnya, suhu dipertahankan pada angka 40-50°C
selama 24-36 jam.
3. Inokulasi / Penanaman Bibit
Setelah sterilisasi selesai dan suhu media telah menyamai suhu ruang,
selanjutnya bibit ditebarkan di bagian atas dan tengah media. Kumbung
jamur harus tertutup rapat seperti halnya dalam budidaya jamur merang.
Suhu di dalam kumbung dijaga antara 20-25°C, dengan kelembaban antara
80-90%. Sirkulasi udara di dalam kumbung harus merata. Untuk itu
diperlukan penggunaan kipas angin atau bahkan AC sehingga sirkulasi
udara akan tetap lancar sekalipun ruang dalam keadaan tertutup rapat.
4. Pemanenan
Beberapa hari setelah pengondisian dengan suhu rendah, bakal tubuh buah
jamur akan mulai tumbuh. Rentang 10-15 hari setelah munculnya bakal
tubuh buah, jamur kancing sudah siap panen. Pemanenan dilakukan pada
saat jamur dalam stadium kancing.

2.2. Sumber Kontaminan pada Bahan Mentah Jamur Kaleng


Sumber kontaminan pada bahan pangan dibagi dalam dua kelompok
besar yaitu kontaminan primer dan kontaminan sekunder. Kontaminan
primer pada jamur disebabkan oleh perlakuan sebelum dipanen seperti
media tanam, pupuk kandang, penyiraman dengan air tercemar dan lain-
lain. Kontaminan sekunder dapat terjadi pada beberapa tahapan setelah
jamur dipanen, misalnya selama pengolahan, penjualan, penyajian,
distribusi maupun penyimpanan dan persiapan oleh konsumen.

2.3. Jenis Kontaminan pada Bahan Mentah Jamur Kaleng


a. Kontaminan Biologis
Kontaminan biologis adalah organisme hidup yang menimbulkan
kontaminasi dalam makanan. Organisme hidup yang sering menjadi
kontaminan atau pencemar bervariasi, mulai dari yang berukuran cukup
besar seperti serangga sampai yang amat kecil seperti mikroorganisme.
b. Kontaminan Kimiawi
Kontaminan kimiawi adalah berbagai macam bahan atau unsur kimia
yang menimbulkan pencemaran atau kontaminasi pada bahan pangan.
Berbagai jenis bahan dan unsur kimia berbahaya dapat berada dalam
jamur melalui beberapa cara, salah satunya adalah dari pupuk,
insektisida, pestisida, herbisida, dan desinfektan pada jamur. Penggunaan
bahan-bahan kimia apabila dilakukan dengan tidak sesuai maka dapat
memberikan kontaminasi kimia pada jamur.
c. Kontaminan Fisik
Kontaminan fisik adalah benda benda asing yang terdapat dalam pangan,
padahal benda-benda tersebut bukan menjadi bagian dari bahan makanan
tersebut. Contohnya yang dapat mencemari terdapatnya serpihan logam,
lidi, rambut, pecahan kaca, potongan kaleng, ranting kayu, batu atau
kerikil, kuku, perhiasan dan benda asing lainnya. Kontaminasi fisik ini
kemungkinan terjadi pada saat budidaya jamur, proses pemanenan, dan
proses distribusi.

2.4. Potensi Bahaya yang Timbul Karena Kontaminan Fisik Pada Jamur
Kaleng
Kontaminan fisik yang ditemukan pada jamur kaleng tentu sangat
beresiko bila sampai termakan oleh konsumen, beberapa resiko yang
mungkin timbul adalah dapat melukai mulut (bibir dan gusi), menyebabkan
gigi patah, tersedak, sakit dan infeksi pada saluran cerna yang
mengharuskan dilakukan tindakan operasi untuk mengemabil benda asing
yang termakan.
Bagi perusahaan sendiri, jika sampai dilaporkan adanya kontaminan
pada produk, maka harus menarik seluruh produknya dari pasaran yang
tentu saja mengakibatkan kerugian dan hilangnya kepercayaan dari
konsumen.

2.5. Tahapan pada Proses Produksi Jamur Kaleng


Proses pengalengan jamur terdiri dari beberapa tahapan, mulai dari
penerimaan jamur segar, pencucian, sortasi, pengisian produk ke dalam
kemasan, sterilisasi, labelling hingga pengiriman jamur ke konsumen.
Penerimaan Jamur segar Pengiriman

Penimbangan Pengepakan

Sortasi Awal Pelabelan

Pencucian I, II, III Penyimpanan sementara

Blanching Pendinginan

Pendinginan Sterilisasi

Grading Penutupan

Sortasi Exhausting

Pengisian larutan (brinning)

Pencucian IV Penirisan Pengisian

Gambar 2.1 Diagram Proses Produksi Jamur Kaleng


2.5.1. Penerimaan Jamur Segar
Jamur segar yang digunakan berasal dari jamur yang baru dipanen oleh
petani, dan diangkut ke pabrik menggunakan mobil box tertutup dengan
sanitasi yang baik. Terkadang box pada mobil juga dilengkapi pendingin
untuk menjaga kualitas jamur selama proses transportasi.
2.5.2. Penimbangan
Jamur yang diterima langsung ditimbang dan penimbangan dilakukan
tiap ± 5 keranjang. Penimbangan dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui total produksi jamur dalam satu hari dan juga untuk
mengontrol selisih antara hasil penimbangan petani dan hasil
penimbangan pihak pabrik.
2.5.3. Sortasi Awal
Sortasi awal setelah penimbangan bertujuan untuk memisahkan antara
ukuran jamur yang kecil dan besar dan juga untuk menyeragamkan
bentuk jamur kancing.
.
2.5.4. Pencucian dalam bak I, II, dan III
Setelah pencucian pada bak pencuci manual, jamur dialirkan melalui
elevator coveyor yang dilengkapi dengan pipa-pipa aliran juga pola
pencucian I dan II. Terdapat pipa-pipa sprayer air untuk membersihkan
lebih lanjut. Air yang digunakan untuk pencucian mengandung kaporit 5-
10 ppm. Penambahan tersebut berfungsi untuk mengatur kestabilan gas
khlor dalam air dan meningkatkan kualitas jamur. Pada pencucian bak III
jamur didorong dengan air bertekanan ke arah roll elevator sprayer.
2.5.5. Pemasakan (Blanching)
Blanching adalah pemasakan pendahuluan pada suhu 80-90oC, selama
10-15 menit. Proses ini menggunakan media air panas. Jamur yang
masuk ke blancher dibawa oleh belt conveyor bersekat dalam keadaan
terendam air.
2.5.6. Pendinginan (Cooling)
Pendinginan dilakukan secepat mungkin dengan tujuan untuk
menurunkan suhu produk hingga 27 – 38oC. Jamur yang masih panas dari
blancher langsung didinginkan dengan air dingin yang berlawanan
dengan arah aliran jamur. Penurunan suhu berfungsi untuk menghambat
bakteri termofilik yaitu bakteri yang tahan terhadap suhu tinggi. Selain
itu jamur yang keluar dari pendingin dapat memudahkan proses sortasi.
2.5.7. Penirisan
Penirisan bertujuan untuk mengurangi jumlah air yang terbawa oleh
jamur pada saat pencucian dan untuk menentukan bobot isi (Filling
weight). Penirisan ini sangat penting karena adanya air yang terikut dapat
mempengaruhi hasil penimbangan. Penirisan dilakukan dengan alat stone
trope (perangkap benda yang beratnya lebih berat dari jamur) kemudian
ke dewatering shaker yang membawa irisan jamur ke alat automatic filler
machine, yaitu ayakan bergetar yang pada bagian dasarnya berlubang-
lubang untuk mengeluarkan air. Akibat getaran dari mesin tersebut, air
menetes, dan membawa jamur bergerak perlahan-lahan hingga akhirnya
jamur jatuh ke meja pengisian. Penirisan dilakukan ± 2 menit.

2.5.8. Pengisian
Pengisian jamur ke dalam kemasan, dilakukan setelah jamur ditiriskan
dan kemasan disemprot dengan air. Pengisian dilakukan dengan
menggunakan alat pengisi semi automatis (automatic filler machine)
yang dilengkapi alat agitator. Agitator tersebut berfungsi untuk mengatur
pengisian jamur agar sesuai dengan standar. Jamur yang jatuh pada
agitator akan mengalir melalui saluran yang berisi air (cannal flume) .
Pada cannal flume terdapat alat perangkap benda asing (stone trap) yang
berfungsi untuk memisahkan benda asing apabila ada yang terikut
dengan jamur. Setelah jamur melewati cannal flume maka jamur akan
kembali lagi ke conveyor dewater. Untuk menghindari adanya kelebihan
pengisian, maka dilakukan pengecekan dengan cara ditimbang.
Penimbangan dilakukan secara manual dengan alat bantu timbangan.
2.5.9. Pemberian larutan (Brinning)
Brinning adalah pengisian larutan brine yang dilakukan saat sebelum
masuk pada exhauster melalui pipa pengisi. Prinsip pengisian adalah
mengisikan larutan brine pada kemasan hingga penuh. Larutan brine
diisikan dalam keadaan panas, untuk membantu terciptanya ruang hampa
dan untuk mencapai temperature awal yang diperlukan. Sedangkan
penambahan brine sendiri dimaksudkan untuk memberi cita rasa,
membantu penetrasi panas dan mencegah warna gelap pada jamur saat
sterilisasi.
2.5.10. Penghampaan udara (Exhausting)
Exhausting adalah perlakuan pemanasan terhadap bahan dengan
menggunakan uap panas, dengan tujuan untuk mengeluarkan udara dari
isi kaleng yang dapat mempercepat kerusakan kaleng, mendapatkan
ruang vakum sehingga pada akhir proses pengalengan memberikan
bentuk yang baik pada tutup kaleng, menguragi tekanan dari dalam
kaleng yang disebabkan pengembangan pada waktu proses pemasakan ,
mencegah terjadinya proses oksidasi makanan didalam kaleng dan
mencegah terjadinya pertumbuhan bakteri aerobik. Exhausting dilakukan
melewatkan kemasan dan isi ke dalam exhauxter box yang berisi uap
panas bersuhu 80 – 85oC selama 6-8 menit.
2.5.11. Penutupan
Penutupan kemasan yang berisi jamur bertujuan untuk mencegah
masuknya udara di sekitar bahan dan mencegah proses kontaminasi
mikroba udara. Proses penutupan pada kemasan gelas, dilakukan dengan
menggunakan alat penutup gelas (Capper), prinsip kerja alatny adalah
pemuaian benda apabila dipanaskan. Proses penutupan pada kemasan
kaleng menggunakan mesin penutup kaleng (Seamer) yang terdiri dari
gerakan penekukan tutup dan bibir kaleng secara bersamaan dan tahap
menekan hasil penekukan tersebut. Tutup kaleng atau gelas yang akan
digunakan dalam proses penutupan telah diberi kode produksi.Pemberian
kode pada tutup kemasan kaleng dilakukan sebelum penutupan,
sedangkan pemberian kode untuk kemasan gelas dilakukan setelah
penutupan. Kode diberikan dengan maksud untuk memberikan identitas
hasil produk agar mempermudah pengecekan dan pemasaran.
2.5.12. Proses Sterilisasi
Sterilisasi diawali dengan crating yaitu penataan atau penampung kaleng
dan gelas kedalam keranjang untuk siap di sterilisasi. Tujuan dari crating
adalah untuk menyamakan suhu awal produk sebelumdi sterilisasi dan
mencegah germinasi spora. Sterilisasi terdiri dari venting, cooking dan
cooling. Hal yang mendukung dalam tahapan keberhasilan sterilisasi
adalah suhu awal produk, venting, come up time, suhu proses, lama
proses, cooling, discharge temperature, holding time, dan sisa klorin.
2.5.13. Pendinginan
Dilakukan setelah proses sterilisasi, pendinginan dilakukan sampai suhu
38º - 45ºC selama 15 menit. Hal tersebut bertujuan untuk mencegah
pertumbuhan bakteri thermofilik dan mencegah terjadinya over cooking
yang akan menyebabkan terjadinya penurunan mutu. Pendinginan
dilakukan saat kaleng atau gelas masih berada dalam retort. Air yang
digunakan pada proses pendinginan harus mengandung klorin dengan
kadar residu 0,2 – 2,5 ppm karena pada saat proses berlangsung air akan
merembes masuk kedalam kemasan sehingga perlu pemberian klorin
untuk desinfektan air. Setelah melalui proses yang diinginkan, maka air
pendingin dikeluarkan dari retort. Sedangkan produk jadi dengan bantuan
katrol diangkut ke gudang observasi.
2.5.14. Penyimpanan sementara
Produk dalam kemasan diangkut ke gudang observasi kemudian
dikeluarkan dari keranjang dan diatur pada pallet yang terbuat dari kayu
sambil dibersihkan dari sisa – sisa pendinginan. Setelah disimpan
sementara (kurang lebih 8 hari) dan untuk menunggu sampel hasil
inkubasi dari laboratorium. Tujuan sampel inkubasi adalah untuk
mengetahui ada tidaknya aktivitas mikroba yang dapat menimbulkan
penyimpangan pada produk.
2.5.15. Pelabelan (Labeling)
Pemberian label dilakukan setelah melewati masa inkubasi dan
dinyatakan aman serta tidak terdapat penyimpangan dalam produk
tersebut. Saat pelabelan produk terakhir, dilakukan tap test yang
bertujuan untuk mendeteksi keadaan vakum dalam kemasan.
2.5.16. Pengepakan
Pengepakan gelas dilakukan dengan cara menyusun gelas dalam tray
yang terbuat dari plastik dan karton, yang kemudian dibungkus dengan
plastik dan dipanaskan dengan wrapping machine, setelah itu disusun
pada pallet dan dilakukan membungkus dengan plastik. Pengepakan
untuk kaleng dilakukan dengan cara menyusun kaleng dalam karton,
setelah pengepakan dilakukan maka produk siap di eksport.
2.5.17. Pengiriman
Dilakukan dengan menggunakan truk container. Satu container dapat
memuat 1500 kardus. Kardus – kardus tersebut dilapisi dengan palstik
supaya tidak kotor.
3. Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dan Good
Manufacturing Practice (GMP) pada Proses Produksi Jamur Kaleng
HACCP merupakan suatu pendekatan ilmiah yang digunakan untuk
mengelola bahaya keamanan pangan untuk menghasilkan pangan yang
aman. HACCP diadopsi bertujuan untuk mengelola keamanan pangan
setelah dilakukannya GMP (Good manufacturing Practices) dan SSOP
(Standard Sanitation Operating Procedure). Secara umum program
HACCP didasarkan pada tujuh prinsip yang dikembangkan oleh National
Advisory Commite on Microbiological Criteria for Foods (NACMCF).
Ketujuh prinsip tersebut menurut DSN (1998) melalui SNI 01-4852-1998
yang diadopsi berdasar Codex Alimentarius Comission terdiri atas:
 Prinsip 1 : Melaksanakan analisis bahaya
 Prinsip 2 : Menetapkan Critical Control Point (CCP)
 Prinsip 3 : Menetapkan batas kritis (CL)
 Prinsip 4 : Menetapkan sistem untuk memantau pengendalian CCP
 Prinsip 5 : Menetapkan tindakan perbaikan untuk dilakukan jika hasil
pemantauan menunjukkan bahwa suatu Critical Control Point tertentu
tidak dalam kendali.
 Prinsip 6 : Menetapkan prosedur verifikasi untuk memastikan bahwa
system HACCP bekerja secara efektif
 Prinsip 7 : Menetapkan dokumentasi mengenai semua prosedur dan
catatan yang sesuai.
Pedoman yang terkait dengan HACCP adalah GMP (Good Manufacturing
Practice) yaitu pedoman mengenai persyaratan fasilitas, peralatan, pekerja,
dan pengendalian proses yang harus dipenuhi industri pangan. GMP terdiri
dari beberapa persyaratan dasar yang wajib dipenuhi suatu perusahaan
diantaranya :
a. Persyaratan pekerja
Mencakup persyaratan (kebijakan) unuk pegawai tentang pengendalian
penyakit, menjaga kebersihan dan pelatihan. Beberapa kebiasaan pekerja
yang harus dikendalikan adalah menggaruk kepala, memegang hidung,
memencet jerawat, menggunakan baju kotor, memegang rambut,
memegang telingan, batuk & bersin ditutup dengan tangan, meludah
sembarangan.
b. Persyaratan banguna dan fasilitas
Mencakup persyaratan tentang lokasi, desain dan tata letak , sanitasi dan
fasilitas sanitasi.
c. Persyaratan peralatan
Mencakup persyaratan tentang konstruksi, desain dan tata letak, sanitasi
dan fasilitas sanitasi.
d. Persyaratan pengendalian proses
Mencakup persyaratan/ketentuan tentang pengendalian bahan baku dan
proses, penyimpanan, transport, dan distribusi, pengendalian hama,
penanganan limbah.
Tabel 2.1 HACCP Jamur Kaleng (Physical Hazard)
TINDAKAN JIKA
TAHAPAN BAHAYA MONITOR DAN KRITERIA
PROSES (HAZARD) PERIKSA TIDAK
TERPENUHI
Penerimaan Jamur Kondisi kebersihan Kondisi mobil Dibersihkan
Segar mobil pengangkut pengangkut dijaga kembali,
Sifat fisik meliputi kebersihannya Reject atau ditolak
kenampakan, Periksa secara visual
tekstur, adanya sesuai dengan
kotoran, tanah, batu kriteria kontrol
atau kerikil
Penimbangan Adanya serpihan Periksa alat tiap 30 Resample
logam menit sekali
Sortasi Awal Kotoran, tanah sisa Periksa secara visual Reject
kompos, benda Periksa secara visual
asing dan serangga dan lakukan
(mite) tindakan sesuai
kriteria kontrol
Pencucian I,II,III Kotoran, tanah sisa Periksa secara visual Penggantian air
kompos, benda kebersihan air dan pencucian sesuai
asing dan serangga mengukur kadar kriteria
(mite) yang masih klorin sesuai kriteria
terikut kontrol
Pencucian dengan
hati-hati
Penirisan Rekontaminasi dari Periksa dan pastikan Pengecekan kembali
alat dan ruangan alat sudah bersih
Menggunakan
bahan
berpermukaan halus
Pengisian Brine Terdapat kotoran Periksa dan pastikan Reject
pada larutan brine alat dan bahan
sudah bersih
Penutupan Double seam kurang Kontrol visual tiap Perbaikan seamer
tepat dapat 15 menit, holding, reject
menyebabkan pembedahan tiap 60
kaleng bocor dan menit
kotoran dapat masuk
Penyimpanan Kaleng penyok Pengecekan setelah Reject
Sementara penyimpanan
sementara berakhir
Pengepakan Terdapat bagian Periksa secara visual Pengepakan kembali
yang kurang tepat kondisi pengepakan
sehingga kotoran
(debu) dapat masuk
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai


berikut:
1. Sumber kontaminan pada jamur berasal dari perlakuan sebelum
pemanenan (kontaminan primer) dan tahapan setelah bahan pangan
dipanen (kontaminan sekunder).
2. Jenis kontaminan pada bahan baku jamur adalah kontaminan biologis,
kontaminan kimiawi, kontaminan fisik.
3. Potensi bahaya dari kontaminan pada jamur kaleng tidak hanya
berdampak bagi konsumen tapi juga bagi perusahaan itu sendiri.
4. Tahapan pada bahan baku jamur yang berpotensi tercemar kontaminasi
adalah proses budidaya jamur, proses distribusi bahan baku dan proses
pra-pengolahan.
5. Bahaya fisik (physical hazard) yang berpotensi muncul pada jamur
kaleng meliputi: kotoran, debu, sisa tanah, rambut, serpihan logam, dan
batu atau kerikil.
6. Pencegahan dan pengendalian bahaya fisik (physical hazard) pada jamur
kaleng dapat dilakukan dengan pengecekan secara berkala, kontrol
visual, proses sortir, dan menggunakan alat deteksi logam.
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, M.S., Mugiono, T. Arlianti, C. Azmi. 2011. Panduan lengkap Jamur.


Jakarta: Penebar Swadaya.
Jany, N.H., Islam, R., Mazumder, A.R., dan Uddin, B. 2016. Design and
application of Hazard Analysis Critical Control Point Principles for Typical
Frozen Vegetables. Journal of Food Safety and Hygiene
Purwati, E.S. 2014. Pengelolaan pasca panen Jamu Tiram. Purwokerto:
Universitas Jenderal Soedirman. www.bio.unsoed.ac.id [Diakses
tanggal 4 April 2016].
Rakhimadi, S. 2010. Perencanaan Peralatan produksi untuk Pembudidayaan
Jamur Tiram Putih. Skripsi. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh
November.
Satrio, M.H.D., Berliana, D., dan Zaini, M. 2016. Penerapan HACCP (Hazard
Analysis Critical Control Point) Produksi Lettuce Fresh Cut PT CDE
Kabupaten Bogor Jawa Barat. Karya Ilmiah Mahasiswa Agribisnis
Sinaga, M.S. 2011. Budidaya Jamur Merang. Jakarta: Penebar Swadaya.
Suharjo, E. 2015. Budi Daya Jamur Tiram Media Kardus. Jakarta: PT Agromedia
Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai