Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH MIKOLOGI

MIKOTOKSIN DAN TOKSISITASNYA

DISUSUN OLEH :

1. Argam Hafizhan (P27903218002)


2. Desiana Wahyu Kuswardhani (P27903218005)
3. Dewa Andriany (P27903218006)

JURUSAN ANALIS KESEHATAN PROGRAM KHUSUS PEGAWAI

POLITEKNIK KESEHATAN BANTEN

Jl. Dr Sitanala Tangerang. Telp (021) 5522250


BAB I
PENDAHULUAN

1.1              LATAR BELAKANG
Saat ini banyak masyarakat yang sangat mengkhawatirkan zat- zat kimia yang
banyak terkandung dalam makanan- makanan baku maupun makanan- makanan
olahan (instan). Padahal keberadaan toksin alami dalam makanan yang dihasilkan
oleh mikroorganisme juga sangat perlu diperhatikan karena toksin ini  bersifat
karsinogenik yang lebih potensial. Salah satu toksin alami yang bisa terkandung
dalam makanan adalah mikotoksin. Mikotoksin adalah istilah yang digunakan untuk
merujuk pada toksin yang dihasilkan oleh jamur Lebih lengkapnya, mikotoksin
didefinisikan sebagai racun atau toksin hasil dari proses metabolisme sekunder jamur
yang dapat menyebabkan perubahan fisiologis abnormal atau pathologis pada
manusia dan hewan. Mikotoksikosis adalah peristiwa keracunan yang disebabkan
oleh makanan atau pakan yang telah tercemar mikotoksin.
Mikotoksin atau racun jamur akan sangat mudah ditemukan saat kondisi
lingkungan lembab, terutama saat musim penghujan. Selain itu ransum atau bahan
baku ransum dengan kadar air yang tinggi akan memicu tumbuhnya jamur yang
menghasilkan racun atau toksin.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN MIKOTOKSIN

Mikotoksin adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada toksin yang
dihasilkan oleh cendawan. Lebih lengkapnya, mikotoksin didefinisikan sebagai
produk alami dengan bobot molekul rendah yang dihasilkan sebagai metabolit
sekunder dari cendawan berfilamen dan dapat menyebabkan penyakit bahkan
kematian pada manusia, hewan, tumbuhan, maupun mikroorganisme lainnya.

Mikotoksin atau racun jamur akan sangat mudah ditemukan saat kondisi
lingkungan lembab, terutama saat musim penghujan. Selain itu ransum atau bahan
baku ransum dengan kadar air yang tinggi akan memicu tumbuhnya jamur yang
menghasilkan racun atau toksin.

2.2 JENIS-JENIS MITOTOKSIN

Terdapat enam jenis mikotoksin utama yang sering merugikan manusia, yaitu
aflatoksin, citrinin, ergot alkaloid, fumonisin, ochratoxin, patulin, trichothecene, dan
zearalenone.

Tabel 1. Jenis Mikotoksin, sumber dan bahaya yang sering terkontaminasi

Mikotoksin Jamur yang Bahan yang sering


memproduksi terkontaminasi
Aflatoksin Aspergillus flavus Jagung, biji kapok, kacang,
Aspergillus parasiticus kedelai
Citrinin Penicillium citrinum jagung, beras, gandum,
Spesies monascus barley, dan gandum hitam
Ergot alkaloid Claviceps purpurea Gandum, hewan ternak
Fumonisin Fusarium verticilloides Jagung
Fusarium graminearum
Ochratoksin A Aspergillus ochraceus Gandum, barley,oats, jagung,
Aspergillus nigri dll
Penicillium verrucosum
Patulin Fusarium miniliformin Jagung
Trichothecenes Fusarium graminiearum Jagung, gandum, barley
Fusarium culmorum
Zearalenone Fusarium graminearum Jagung, gandum, barley,
rumput

a. Aflatoksin

Aflatoksin merupakan segolongan senyawa toksik


(mikotoksin, toksin yang berasal dari fungi) yang dikenal
mematikan dan karsinogenik bagi manusia dan hewan.
Spesies penghasilnya adalah segolongan fungi (jenis
kapang) dari genus Aspergillus, terutama A. flavus (dari
sini nama "afla" diambil) dan A. parasiticus yang
Aflatoksin B1 berasosiasi dengan produk-produk biji-bijian berminyak
atau berkarbohidrat tinggi. Kandungan aflatoksin
ditemukan pada biji kacang-kacangan (kacang tanah, kedelai, pistacio, atau bunga
matahari), rempah-rempah (seperti ketumbar, jahe, lada, serta kunyit), dan serealia
(seperti gandum, padi, sorgum, dan jagung). Aflatoksin juga dapat dijumpai pada
susu yang dihasilkan hewan ternak yang memakan produk yang terinfestasi kapang
tersebut. Obat juga dapat mengandung aflatoksin bila terinfestasi kapang ini.

Toksin ini memiliki paling tidak 13 varian, yang terpenting adalah B1, B2,
G1, G2, M1, dan M2. Aflatoksin B1 dihasilkan oleh kedua spesies, sementara G1 dan
G2 hanya dihasilkan oleh A. parasiticus. Aflatoksin M1, dan M2 ditemukan pada
susu sapi dan merupakan epoksida yang menjadi senyawa antara.

Aflatoksin B1, senyawa yang paling toksik, berpotensi merangsang kanker,


terutama kanker hati. Serangan toksin yang paling ringan adalah lecet (iritasi) ringan
akibat kematian jaringan (nekrosis). Pemaparan pada kadar tinggi dapat
menyebabkan sirosis, karsinoma pada hati, serta gangguan pencernaan, penyerapan
bahan makanan, dan metabolisme nutrien. Toksin ini di hati akan direaksi menjadi
epoksida yang sangat reaktif terhadap senyawa-senyawa di dalam sel. Efek
karsinogenik terjadi karena basa N guanin pada DNA akan diikat dan mengganggu
kerja gen.

Pada keracunan akut oleh aflatoksin, di hati terjadi kegagalan metabolisme


karbohidrat dan lemak dan sintesa protein, sehingga terjadi penurunan fungsi hati
karena adanya perombakan pembekuan darah, icterus dan penurunan sintesis protein
serum. Sementara itu, pada keracunan kronik akan menyebabkan imunosupresif yang
diakibatkan penurunan akitivitas vitamin K dan penurunan aktivitas fagositas
(phagocytic) pada makrofak. Setiap spesies hewan mempunyai kepekaan yang
berbeda terhadap keracunan akut aflatoksin, dengan nilai LD50 yang bervariasi antara
0,3 hingga 17,9 mg/kg berat badan (Tabel 2) dan organ hati merupakan target utama
yang terserang. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa hewan yang paling peka terhadap
aflatoksin adalah kelinci dan itik .

b. Citrinin

Citrinin pertama kali diisolasi dari Penicillium


citrinum Thom pada tahun 1931.[5] Mikotoksin ini
ditemukan sebagai kontaminan alami pada jagung, beras,
gandum, barley, dan gandum hitam (rye).[5] Citrinin juga
diketahui dapat dihasilkan oleh berbagai spesies Monascus
Citrinin dan hal ini menjadi perhatian terutama oleh masyarakat Asia
yang menggunakan Monascus sebagai sumber zat pangan
tambahan.[6] Monascus banyak dimanfaatkan untuk diekstraksi pigmennya (terutama
yang berwarna merah) dan dalam proses pertumbuhannya, pembentukan toksin
citrinin oleh Monascus perlu dicegah.

Citrinin telah mengakibatkan yellow rice desease di Jepang. Citrinin


menyebabkan nephrotoxin pada semua spesies hewab uji, toksisitas akut akan
bervariasi di berbagai spesies. LD 50% untuk bebek adalah 57 mg / kg; untuk ayam
itu adalah 95 mg / kg, dan untuk kelinci itu adalah 134 mg / kg. Citrinin dapat
bertindak sinergis dengan ochratoxin A untuk menekan sintesis RNA dalam ginjal
murine.(Bennett, 2003 : 501)

c. Ergot Alkaloid

Ergot alkaloid diproduksi oleh berbagai jenis cendawan, namun yang utama
adalah golongan Clavicipitaceae. Dulunya kontaminasi senyawa ini pada makanan
dapat menyebabkan epidemik keracunan ergot (ergotisme) yang dapat ditemui dalam
dua bentuk, yaitu bentuk gangren (gangrenous) dan kejang (convulsive). Pembersihan
serealia secara mekanis tidak sepenuhnya memberikan proteksi terhadap kontaminasi
senyawa ini karena beberapa jenis gandum masih terserang ergot dikarenakan
varietas benih yang digunakan tidak resiten terhadap Claviceps purpurea, penghasil
ergot alkaloid. Pada hewan ternak, ergot alkoloid dapat menyebabkan tall fescue
toxicosis yang ditandai dengan penurunan produksi susu, kehilangan bobot tubuh,
dan fertilitas menurun.

d. Fumonisin

Fumonisin ditemukan pada tahun 1988 pada


Fusarium verticilloides dan F. proliferatum yang sering
mengontaminasi jagung.[8] Namun, selain kedua spesies
Fuminosin tersebut masih banyak cendawan yang dapat
menghasilkan fumonisin. Toksin jenis ini stabil dan
tahan pada berbagai proses pengolahan jagung sehingga dapat menyebabkan
penyebaran toksin pada dedak, kecambah, dan tepung jagung.[8] Konsentrasi
fumonisin dapat menurun dalam proses pembuatan pati jagung dengan
penggilingan basah karena senyawa ini bersifat larut air.

Fumonisin bersifat sangat toksik terhadap


kuda dan keledai dan menyebabkan
nekrosis di otak (leucoencephalomalacia =
LEM). Disamping itu juga menyebabkan
kanker hati pada tikus dan gangguan saluran
pernafasan pada babi (porcine pulmonary
edema = PPE). Kejadian LEM dilaporkan
terjadi di Afrika Selatan dan Cina
(MARASAS, 2001) . Fumonsin BI (FBI)
bersifat toksik pada sistem saraf pusat, hati,
pankreas, ginjal dan saluran pernafasan pada equin leucoencephalomalacia
beberapa spesies hewan .

Unggas merupakan hewan yang tahan terhadap fumonisin (HENRY et al.,


2000), dimana pemberian 80 ppm FBI pada ayam pedaging selama 21 hari tidak
berefek negatif terhadap perubahan berat badan, efisiensi pakan dan konsumsi air .
Namun untuk burung puyuh, pada pemberian melebihi 250 mg/kg berat badan selama
4 minggu menyebabkan penurunan produksi telur sebesar 44,3% dan pada pemberian
melebihi 50 mg/kg berat badan terjadi penurunan berat telur (BUTKERAITIS et al .,
2004) . Untuk ruminansia, pemberian FBI (i .v .) pada anak sapi sebesar 1 mg/kg per
hari selama 7 hari menyebabkan penurunan nafsu makan mulai hari ke-4, dan pada
hasil pemeriksaan histolopatologi terlihat adanya kerusakan hati dan ginjal yang
parah dan ketidakseimbangan fungsi hati, kenaikan konsentrasi sphinganin dan
sphingosindi hati, ginjal, jantung maupun paru-paru (MATHUR et al, 2001) .
e. Ochratoxin

Ochratoxin dihasilkan oleh cendawan dari genus


Aspergillus, Fusarium, and Penicillium dan banyak
terdapat di berbagai macam makanan, mulai dari serealia,
babi, ayam, kopi, bir, wine, jus anggur, dan susu.[9] Secara
Ochratoxin umum, terdapat tiga macam ochratoxin yang disebut
ochratoxin A, B, dan C, namun yang paling banyak
dipelajari adalah ochratoxin A karena bersifat paling toksik di antara yang lainnya[9].
Pada suatu penelitian menggunakan tikus dan mencit, diketahui bahwa ochratoxin A
dapat ditransfer ke individu yang baru lahir melalui plasenta dan air susu induknya.
[9] Pada anak-anak (terutama di Eropa), kandungan ochratoxin A di dalam tubuhnya
relatif lebih besar karena konsumsi susu dalam jumlah yang besar.[9] Infeksi
ochratoxin A juga dapat menyebar melalui udara yang dapat masuk ke saluran
pernapasan

Okratoksin A (OA) adalah mikotoksin yan dihasilkan terutama oleh


Aspergillus ochraceus yan tumbuh pada kisaran suhu 8 - 37 °C (pertumbuha optimum
pada 25 - 31 °C) serta pembentukan okratoksin A pada kisaran suhu 15 - 37 °C
(pembentukan optimum pada 25 - 28 °C). ( Widiastuti, 2006 :118)

Berbagai dosis akut (LD50 ) dari OA pada berbagai rute dan hewan dapat
dilihat pada Tabel 3 yang memperlihatkan bahwa anjing dan babi merupakan hewan
yang paling peka terhadap OA.

f. Patulin

Patulin dihasilkan oleh Penicillium, Aspergillus,


Byssochlamys, dan spesies yang paling utama dalam
memproduksi senyawa ini adalah Penicillium expansum.
[10] Toksin ini menyebabkan kontaminasi pada buah,
sayuran, sereal, dan terutama adalah apel dan produk-
produk olahan apel sehingga untuk diperlukan perlakuan
Patulin
tertentu untuk menyingkirkan patulin dari jaringan-jaringan
tumbuhan.[10] Contohnya adalah pencucian apel dengan
cairan ozon untuk mengontrol pencemaran patulin. Selain itu, fermentasi alkohol dari
jus buah diketahui dapat memusnahkan patulin.

g. Trichothecene

Mikotoksin golongan trikotesena mempunyai gugus


12,13-epoksitrikotesene dan ikatan olefinik yang
tersubtitusi pada berbagai sisi rantai (BENNET dan
KLICH, 2003) . Mikotoksin golongan ini terdiri atas 200 -
300 senyawaan sejenis yang bersifat toksik melalui
Trichothecene penghambatan sintesis protein pada ribosom.

Terdapat 37 macam sesquiterpenoid alami yang


termasuk ke dalam golongan trichothecene dan biasanya dihasilkan oleh Fusarium,
Stachybotrys, Myrothecium, Trichodemza, dan Cephalosporium.[11] Toksin ini
ditemukan pada berbagai serealia dan biji-bijian di Amerika, Asia, dan Eropa.[12]
Toksin ini stabil dan tahan terhadapa pemanasan maupun proses pengolahan makanan
dengan autoclave.[12] Selain itu, apabila masuk ke dalam pencernaan manusia, toksin
akan sulit dihidrolisis karena stabil pada pH asam dan netral.[12] Berdasarkan
struktur kimia dan cendawan penghasilnya, golongan trichothecene dikelompakan
menjadi 4 tipe, yaitu A (gugus fungsi selain keton pada posisi C8), B (gugus karbonil
pada C8), C (epoksida pada C7,8 atau C9,10) dan D (sistem cincin mikrosiklik antara
C4 dan C15 dengan 2 ikatan ester).

Tanda-tanda klinis keracunan trikotesena dibagi dalam 5 kelompok yaitu (1)


menyebabkan penolakan pakan, (2) menyebabkan nekrosis kulit, (3) menyebabkan
gangguan pencernaan, (4) menyebabkan koagulopati dan (5) menyebabkan gangguan
imunologik (OSWEILLER et al ., 1985) . DON atau sering disebut vomitoksin
merupakan mikotoksin trikotesena yang rendah toksisitasnya (LD 50 untuk ayam
pedaging betina secara oral adalah 140 mg/kg berat badan dan pada anak itik secara
oral adalah 27 mg/kg berat badan) . T-2 toksin adalah mikotoksin yang paling toksik
diantara trikotesena lainnya (LD 50 untuk babi secara i .v adalah 1,21 mg/kg berat
badan dan untuk anak ayam secara oral adalah 1,75 mg/kg berat badan) (HUFF et al.,
1981 ; JECFA 47, 2001) .

h. Zearalenone
Zearalenone adalah senyawa estrogenik yang dihasilkan oleh cendawan dari
genus Fusarium seperti F. graminearum dan F. culmorum dan banyak
mengkontaminasi nasi jagung, namun juga dapat ditemukan pada serelia dan produk
tumbuhan.[12] Senyawa toksin ini stabil pada proses penggilingan, penyimpanan, dan
pemasakan makanan karena tahan terhadap degradasi akibat suhu tinggi.[12] Salah
satu mekanisme toksin ini dalam menyebabkan penyakit pada manusia adalah
berkompetisi untuk mengikat reseptor estrogen.

Zearalenon mempunyai aktivitas estrogenic terhadap babi, sapi perah, anak


kambing, ayam, kalkun dan kelinci, namun hewan yang paling peka terhadap
zearalenon adalah babi (KHAMIS et al ., 1996 ; SUNDOLF dan STRICKLAND,
1986) . Pada sapi, zearalenon sebesar 0,75 ppm dan 0,5 ppm DON menyebabkan
kegagalan reproduksi, diare dan penurunan produksi (COPPOCK et al ., 1990 ;
DACASTO et al ., 1995) . Pemberian zearalenon pada babi sebesar 110 mg/hewan
per hari (setara dengan 1,1 mg/kg berat badan per hari) 7 – 10 hari setelah kawin
menyebabkan 3 dari 4 babi tersebut gagal bunting (LONG dan DIEKMAN, 1986) .

Zearalenon mempunyai kemampuan untuk membentuk hormon alami zeranol


(nama lainnya zearalenol) dalam bentuk a dan 3 yang merupakan bentuk reduksi dari
zearalenon yang terbentuk sesaat setelah hewan mengkonsumsi zearalenon dalam
dosis tinggi dan mempunyai aktivitas estrogenik 4 kali lipat dibandingkan zearalenon
(KENNEDY et al ., 1998) . Pemberian dosis tinggi zearalenon (6000 mg setara
dengan 12 mg/kg berat badan) secara oral pada sapi laktasi menimbulkan residu pada
susu dengan konsentrasi tertinggi zearalenon 6,1 pg/L, a-zearalenol 4 μg/L, dan 13-
zearalenol 6,6 μg/L (PRELUSKY et al., 1990) .

2.3 EFEK MITOTOKSIN PADA HEWAN DAN MANUSIA

Jika terkonsumsi, mikotoksin akan sangat berbahaya bagi tubuh, hal ini
karena mikotoksin bersifat mutagenik, terratogenik, dan karsinogenik. Bahan pangan
yang rawan terhadap kontaminasi mikotoksin adalah jagung, kopi, dan serealia.
Contohnya adalah aflatoksin yang banyak mengkontaminasi jagung dan kacang
tanah, serta ochratoksin yang dihasilkan oleh kapang A. Ochraceus dan Penicillium
verrucosum yang banyak terdapat pada kopi. Terhadap tubuh, organ yang menjadi
target dari mikotoksin pun berbeda-beda. Aflatoksin toksik terhadap hati, sedangkan
target spesifik ochratoksin adalah menyerang organ ginjal

Banyak mikotoksin yang dapat menyebabkan berbagai penyakit pada hewan


manusia melalui makanan, salah satunya adalah kontaminasi citrinin pada produk
keju karena proses fermentasi keju yang melibatkan P. citrinum dan P. expansum
penghasil citrinin. Pada manusia dan hewan, citrinin dapat menyebabkan penyakit
kronis, di antaranya dapat terjadi akibat toksisitas pada ginjal dan terhambatnya kerja
enzim yang berperan dalam respirasi. Aflatoksin merupakan senyawa karsinogenik
yang dapat memicu timbulnya kanker liver pada manusia karena konsumsi susu,
daging, atau telur yang terkontaminasi dalam jumlah tertentu. Kehilangan tanaman
pangan akibat kontaminasi aflatoksin juga sangat merugikan manusia, baik petani
maupun kalangan industri hasil pertanian di dunia. Pada laki-laki, kandungan
ochratoxin A yang terlalu tinggi di dalam tubuhnya dapat menyebabkan kanker testis.

Mikotoksin Spesies yang peka Pengaruh

Aflatoksin Semua hewan ternak dan Hepatotoksin dan


unggas imunosupresi
Zearalenon Terutama babi dan sapi Estrogenik dan kelainan
reproduktif
Okratoksin Terutama babi dan Nefrotoksin
unggas
Toksin T-2 Terutama babi dan Lesi di mulut, kehilangan
unggas nafsu makan
Deoksin ivaleno l Terutama babi dan Dermatotoksin, penolakan
unggas pakan
Fumonisin Terutama babi dan kuda Kerusakan saraf,
kerusakan hati

Aflatoksin dapat menyebabkan penyakit liver pada hewan (terutama


aflatoksin B1) yang ditandai dengan produksi telur, susu, dan bobot tubuh yang
menurun. Untuk mereduksi atau mengeliminasi efek aflatoksin pada hewan, dapat
digunakan amoniasi dan beberapa molekul penyerap. Pada ayam petelur, babi, sapi,
tikus, dan mencit, toksin fumonisin sulit siserap namun penyebarannya sangat cepat
dan ditemukan dapat tertimbun di hati dan ginjal hewan hingga menyebabkan
kerusakan oksidatif. Senyawa ochratoxin A bersifat karsinogenik, mutagenik,
teratogenik, dan mampu menimbulkan gejala imunosupresif pada berbagai hewan.
Pada ternak babi, senyawa zearalenone dapat menyebabkan kelainan reproduksi yang
disebut vulvovaginitis.

Ayam pedaging yang mengkonsumsi ransum terkontaminasi mikotoksin


terbukti pertumbuhannya terhambat. Hal ini setidaknya pernah dibuktikan dari
percobaan yang dilakukan oleh Jones et al. (1982) pada tabel 2. Terlihat semakin
besar konsentrasi aflatoksin, pertumbuhan ayam menjadi terhambat.

Tabel 2. Pengaruh Aflatoksin terhadap Performan Ayam Pedaging

Sumber : Jones et al., 1982

Begitu pula pada ayam petelur. Adanya kontaminasi mikotoksin akan


mengakibatkan penurunan produksi telur, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Kasus “blood spot” dapat dipicu karena aflatoksin. Kualitas kerabang telur juga
menurun karena aflatoksin akan menghambat proses konversi vitamin D3 yang
terkandung dalam ransum menjadi bentuk aktif. Adanya mikotoksin ini akan
mengakibatkan penurunan kadar protein serum, lipoprotein dan karotenoid. Kematian
akibat mikotoksin juga bukan suatu keniscayaan. Hal ini seringkali disebabkan
kerusakan organ-organ vital ayam, seperti paru-paru, kantung udara, hati maupun
ginjal. Selain itu, efek immunosuppressive juga mengakibatkan sistem pertahanan
tubuh ayam lemah (mudah terinfeksi penyakit) dan pembentukan titer antibodi hasil
vaksinasi menjadi kurang optimal.

Bintik-bintik putih pada paru-paru karena


serangan spora Aspergillus
(Sumber : ThePoultrySite)
 
Ukuran bursa Fabricius lebih kecil (b) akibat
aflatoksin dibandingkan normal (a)
(Sumber : Anonimous)

Ochratoksin mengakibatkan ginjal bengkak dan


pucat
(Sumber : ThePoultrySite)

2.4 PENCEGAHAN DAN PENANGANAN MIKOTOKSIN

Kontrol terhadap mikotoksin sangat penting dilakukan terutama bagi produsen


peternakan dan pabrik pakan. Kontrol terhadap timbulnya jamur dapat dilakukan
dengan menjaga kadar air di dalam pakan rendah, menjaga pakan selalu segar serta
menjaga peralatan agar tetap bersih. Biji-bijian yang telah dikeringkan harus
disimpan di tempat yang kering dimana kadar airnya kurang dari 14 % untuk
mencegah tumbuhnya jamur. Aliran udara atau venttilasi yang baik pada tempat
penyimpanan pakan (biji-bijian) Penting untuk mengurangi kadar air dan menjaga
agar bahan pakan tetap kering.

2.4.1.      Kontrol Kadar Air


Kandungan air dalam pakan menjadi salah satu faktor utama akan
berkembang nya jamur. Air yang terkandung didalam pakan didapat dari 3 sumber
yaitu :
1. Kandungan pakannya.
2. Proses pakan di pabrik
3. Tempat dimana pakan disimpan
Untuk mengendalikan kandungan kadar air maka ketiga faktor tersebut diatas
harus diperhatikan.Jagung dan jenis biji-bijian lain merupakan bahan pakan yang
tinggi kadar air dan sumber timbulnya jamur dalam pakan.Langkah pertama yang
perlu dilakukan adalah kontrol kadar air agar kadar airnya selalu rendah. Semua
pakan mengandung kadar air tertentu , maka kadar air tersebut harus dimonitor dan
dikontrol.Umumnya pada biji-bijian jarang timbul jamur, namun jika kondisinya
memungkinkan maka jamur juga bisa tumbuh Biji-bijian yang ditumpuk maksimal
kadar airnya adalah 15 %. Biji-bijian dengan kadar air yag tinggi memungkinkan
tumbuhnya jamur akan tingi pula. Banyaknya jamur yang tumbuh pada biji-bijian
yang pecah lima kali lebih banyak dibandingkan pada biji-bijian yang masih
utuh.Proses penggilingan bahan pakan digunakan mesin penggiling untuk membantu
pencampuran. Proses penggilingan menjadi pecahan ini menimbulkan panas.Jika
tidak dikontrol, maka temperatur akan meningkat lebih dari 10 of sehingga akan
timbul titik-titik air. Titik-titik air ini menunjang tumbuhnya jamur. Hal ini juga dapat
terjadi terutama jika udara dingin. Sehingga perbedaan suhu ini menyebabkan air
akan berkondensasi di bagian dinding tempat peggilingan. Disarankan sintem
penggilingan (hummer milk) disertai dengan menggunakan sirkulasi udara /ventilasi
yang dapat menurunkan / mengurangi panas pada produk pakan dan mengurangi
timbulnya titik-titik air.
Proses pelleting pakan menggunakan uap air dengan penambahan panas dan
penambahan air 3-5% dengan tekanan tertentu. Kemudian pellet tersebut didinginkan
untuk menghilangkan panas dan mengurangi kandungan air. Jika proses pelleting
dilakukan dengan tepat, maka kelebihan air dapat dikurangi. Namun jika kelebihan
air ini tidak dapat dikurangi maka saat pendinginan pellet, dapat menumbuhkan
jamur.Saat pendinginan pada proses pelleting,pellet yang masih panas yang keudian
ditempatkan pada tempat yag dingin akan menyebabkan kondensasi pada bagian
dinding. Hal ini perlu diperhatikan dengan baik, karena jika proses pelleting lambat,
maka resiko timbulnya jamur juga akan tinggi.

2.3.2.      Kontrol Kondisi Lingkungan Tempat Menyimpan Pakan


Untuk mengontrol pertumbuhan jamur, sumber timbulnya air dari tempat
penampungan pakan dan peralatan penyimpanan perlu dihindari. Sumber air ini dapat
timbul karena kebocoran tempat penyimpanan, bagian atap gudang atau atap tempat
pengilingan. Timbulnya air pada pakan seringkali dilewatkan. Pada sistem
perkandangan close house banyak dilakukan dengan memberikan rasa dingin yang
menyebabkan kondisi lingkungan lebih lembab. Kelembaban pada sistem
perkandangan ini harus dikontrol dengan sistem ventilasi yang cukup.
2.3.3.      Kontrol Agar pakan Tetap Segar
Sebaiknya pakan yang diberikan ke ternak masih dalam keadaan segar. Pakan
seharusnya dikonsumsi habis maksimal dalam waktu 10 hari setelah pengiriman. Hal
yang perlu dilakukan adalah mengatur sistem pengiriman pakan untuk memastikan
bahwa pakan tersebut harus habis. Selain itu pemberian pakan sebaiknya diberikan
secara bertahap. Ternak umumnya akan memakan pakan yang ada dibagian atas
sedangkan pakan yang ada dibagian bawah telewatkan sehingga kemungkinan jamur
bisa tumbuh. Untuk mencegah masalah ini, seharusnya pakan ditempat pakan
dihabiskan sebelum datang pakan yang baru.Prinsip pengeluaran dari gudang juga
sama yang biasa disebut dengan “all in all aut”

2.3.4.      Kebersihan Peralatan
Saat pakan dikirim ke farm, dimungkinkan terjadi kontak dengan pakan yang
lama yang masih tertinggal pada saat penyimpanan pakan atau pengiriman
pakan.pakan lama tersebut seringkali terdapat jamurnya dan jika kontak dengan
pakan baru maka kesempatan jamur untuk tumbuh dan membentuk mikotoksin akan
meningkat. Untuk mencegahnya, sisa pakan lama sebaiknya dibersihkan dahulu dari
peralatan tersebut.

2.3.5.   Penggunaan Bahan Penghambat Tumbuhnya jamur (Mold inhibitor)


Penggunaan bahan kimia penghambat tumbuhnya jamur merupakan salah satu
cara yang baik digunakan dalam industri pakan.
Tipe mold inhibitor utama antara lain adalah :
1. Asam organik atau kombinasi beberapa asam-asam organik (Propionat, sorbat,
benzoat, dan asam asetat)
2. Garam dari asam organik (contohnya : kalsium Propionat dan potasium sorbat)
3. Tembaga sulfat . Bahan-bahan kimia ini baik bentuk padat ataupun cair cara
kerjanya sama dan menyebar rata keseluruh paka. Umumnya bentuk asam lebih
efektif dibanding bentuk yang lainnya.
Banyak faktor yang mempengaruhi keefektifan dari jamur, Mold inhibitor
(penghambat jamur) efektif jika inhibitor ini didistribusikan secara merata keseluruh
bagian pakan, yang berarti keseluruhan permukaan partikel pakan berkontak langsung
dengan inhibitor ini seharusnya juga menembus partikel pakan sehingga bagaian
dalam jamur dapat dihambat.ukuran partikel dari mold nhibitor ini seharusnya lebih
kecil dari partikel pakan.

2.3.6.      Penyimpanan Makanan Ternak


Penyimpanan bahan makanan sangatlah memegang peranan yang penting
dalam menjaga kualitas makanan tersebut. Penyimpanan yang kurang tepat dapat
menurunkan kualitas bahkan dapat berbahaya bagi kesehatan ternak. Sehingga
diperlunya teknik penyimpanan yang tepat agar bahan kualitas bahan makanan
tersebut tetap  terjaga.
Adapun cara-cara yang efektif untuk meyimpan makan ternak antara lain:
1. Hay
Hay adalah hijau yang sengaja dipotong dan dikeringkan agar diberikan
kepada ternak. Cara penimpanan makanan ini dilakukan dengan memotong
(copper) hijauan yang kemudian langsung dijemur. Penjemuran dilakukan
dengan disebarkan tipis dan setiap saat terus dibolak – balik 2 jam. Usahakan
pada penjemuran berlangsung dalam waktu singkat sehingga kadar air
menjadi 15 – 20 %. Setelah  kering dikumpul pres dan dikat tali untuk
memudahkan tempat penyimpanan. Ciri-ciri hay yang baik adalah warna hijau
kekuningan, buanya harum,bentuk daun masih utuh.tidak berjamur.

2. Silage
            Silage merupakan hijauan yang disimpan dalam bentuk segar yang diawetkan
dalam silo. Penyimpanan ini dilakukan dengan memotong hijauan agar
berukuran pendek ± 6 cm agar memudahkan pemadatan dalam penyimpanan.
Kemudian bahan itu dilayukan sampai kadar air 60 – 70 %. Selajutnya
dicampur  dengan bahan pengawet 4 – 5 % (dedak/tetas) dan dimasukkan
sedikit demi sedikit ke dalam silo. Proses pemasukan campuran tadi akan
terus berlangsung hingga silo tadi penuh. Agar silo benar-benar penuh, dalam
pemasukan campuran tadi perlu diinjak-injak. Bila silo sudah penuh,
permukaannya ditutup rapat sehingga udara dan air tidak dapat masuk.
Silase yang baik memiliki ciri-ciri berasa dan berbau asam serta berwarna
hijau bukan coklat. Selain itu dalam penyimpanannya silo tadi tidak dijemur
tetapi diletakkan di tempat yang teduh. Tidak berlendir dan tidak bergumpal
melupakan cirri-ciri lain kalo silo itu baik.

3. Amoniasa
Amoniasi merupakan proses perombakan dari struktur keras menjadi struktur
lunak. Selain itu pada proses ini juga terjadi penambahan unsure N dengan
mengunakan gas (NH3) dari urea untuk meningkat kualitas dari limbah
jerami. Peroses penyimpanannya hampir sama dengan silase. Yaitu dengan
memasukkan jerami dimasuk kedalam silo sedikit demi sedikit sambil dinjak-
injak agar menjadi padat.
Sebagai bahan tambahan, larutan dalam ember berisi 400 liter air dengan
memasukkan 60 kg urea didauk sampai seluruh urea larut. Kemudian
siramkan larutan urea tersebut kedalam silo yang berisi jerami. Agar silo
benar-benar kedap udara, tutuplah permukaan silo dengan plastik diikat
dengan rapi
Setelah satu bulan silo dapat dibuka dan jerami sudah matang. Jerami tersebut
harus diangikan selama 2 hari sebelum diberikan pada ternak. Amoniasa yang
baik memiliki cirri-ciri berbau urea (amoniak, memiliki struktur yang lembut
dan tidak ditumbuhi jamur.

4. Jerami fermentasi
Fermentasi merupakan proses perombahan dari struktur keras secara fisik,
kimia dan  biologi sehingga bahan dari struktur yang komplek menjadi
sederhana. Hal ini akan membuat daya cerna ternak menjadi lebih efesien.
Dalam proses pembuatannya, jerami 100 kg dibutuhkan starbio 6 kg dan urea
6 kg (0,6 %). Diawali dengan penyusunan jerami dengan ketebalan ±  30 cm
pada tempat yang teduh. Kemudian tebarkan starbio dan urea sesuai dengan
perbandingan secara merata. Siram dengan air bersih (digembor) secara
merata diatas tebaran starbio dan urea (agar terjadi reaksi). Usahakan kadar air
± 60 %. Apabila jerami masih basah (baru disabit/dipotong) penyiraman air
dilakukan tidak terlalu banyak. Penyiraman secara optimal dilakukan jika
jerami sudah kering, agar air membasahi secara keseluruhan lapiasan jerami.
Langkah 2,3,4 ini terus dilakukan secara silih berganti sampai jerami
memenuhi tempat,minimal 1,5 meter tingginya. Setelah selesai menumpuk
jerami tunggu waktu selama 21 hari, hasil jerami dibongkar dan dianginkan
(jemur) agar buanya hilang. Hasil jerami fermentasi saiap diberiakan pada
ternak (sapi,kambing,kerbau) dan ternak lain yang membutuhkan HPT atau
untuk disiapkan untuk persediaan.untuk menghemat tempat penyimpanan dan
memudahkan distribusi jerami fermentasi dipres memakai mesin pres jerami.

2.3.7.      Memperhatikan Efek Kandungan Bahan-bahan Pakan


Bahan pakan tertentu juga dapat mempengaruhi mold nhibitor,protein atau
suplementasi mineral (sebagai contoh  tepung by produk unggas, tepung ikan,
bungkil kedelai dan tepung batu) akan menurunkan efektifitas dari asam
propionat.Bahan-bahan tersebut dapat menetralkan asam-asam bebas dan
mengubahnya menjadi garam, sehingga menjadi kurang aktif sebagai inhibitor.Pakan
lemak cendrung meningkatkan aktifitas asam-asam organik, dengan jalan
meningkatkan penetrasi (penembusan) ke dalam partikel pakan.
Mold inhibitor yang digunakan dalam konsentrasi yang direkomendasikan,
akan menghasilkan pakan yang bebas jamur, jika menginginkan pakan yang bebas
jamur dalam jangka waktu yang lama,maka konsentrasi inhibitor arus tinggi.
Konsentrasi inhibitor mulai menurun.
DAFTAR PUSTAKA

1. J. W. Bennett and M. Klich.2003. Mycotoxins. Clinical Microbiology


Reviews, Vol. 16, No. 3: 497-508.
2. Mulyawanti et al.2006. Aflatoksin Pada Jagung Dan Cara Pencegahannya.
Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian Vol.2 2006 : 23-34
3. Yenny.2006. Aflatoksin Dan Aflatoksikosis Pada Manusia.Jakarta. Universa
Medicina Januari-Maret 2006, Vol.25 No.1: 43-48.
4. Widiastuti.2006. Mikotoksin: Pengaruh Terhadap Kesehatan Ternak dan
Residunya Dalam Produk Ternak Serta Pengendaliannya. WARTAZOA Vol.
16 No.3 Th . 2006 : 116-122
5. Bahri et al. 2005. Efek Aflatoksin B1 (AFB1) Pada Embrio Ayam. JITV Vol
10 No 2 tahun 2005 :167.
6. Wikipedia . 2012.Mikotoksin. http://id.wikipedia.org/ diakses pada 10
Desember 2012.
7. Infomedion. 2010. Bahaya Mikotoksin. http://info.medion.co.id diakses pada
10 Desember 2012.

Anda mungkin juga menyukai