0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
58 tayangan5 halaman
Aflatoksin adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus dan A. parasiticus yang dapat mengkontaminasi berbagai produk pertanian dan pakan ternak. Aflatoksin sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan hewan karena bersifat karsinogenik dan hepatotoksik, dapat menyebabkan kanker hati.
Aflatoksin adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus dan A. parasiticus yang dapat mengkontaminasi berbagai produk pertanian dan pakan ternak. Aflatoksin sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan hewan karena bersifat karsinogenik dan hepatotoksik, dapat menyebabkan kanker hati.
Aflatoksin adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus dan A. parasiticus yang dapat mengkontaminasi berbagai produk pertanian dan pakan ternak. Aflatoksin sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan hewan karena bersifat karsinogenik dan hepatotoksik, dapat menyebabkan kanker hati.
Aflatoksin adalah suatu mikotoksin yang merupakan metabolit hasil jamur Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Aflatoksin merupakan kontaminan yang paling sering dijumpai pada hasil panen pertanian serta bahan makanan pokok di banyak negara berkembang sehingga mengancam keamanan pangan. Toksin yang dikeluarkan oleh jamur ini dapat dijumpai selama masa produksi bahan pangan, pada waktu panen, pada saat penyimpanan dan proses pembuatan makanan. Kondisi lingkungan yang diperlukan untuk terbentuknya aflatoksin oleh kapang adalah kelembaban minimum 85 persen dan suhu optimum 25-27°C. A. flavus umumnya memproduksi aflatoksin B (AFB, dan AFBZ ), sedangkan A. parasiticus dapat memproduksi aflatoksin B dan aflatoksin G (AFG). A. flavus terdapat di mana- mana, sedangkan A. parasiticus tidak. Saat ini ada 4 macam aflatoksin yaitu AFB1, AFB2 , AFG1, dan AFG2 yang merupakan aflatoksin induk yang telah dikenal secara alami dan dijumpai di alam. AFB1 adalah jenis aflatoksin yang paling toksik di banding AFB2 , AFG1, dan AFG2, mempunyai daya racun yang rendah, hanya 1/60-1/100 kali dibandingkan AFB1, dan tidak terlalu berbahaya. Gambar 1. struktur kimia AFB1, AFB2 , AFG1, dan AFG2
Kapang tersebut banyak mencemari produk pertanian, diantaranya adalah
kacang-kacangan, beras, jagung, gandum, biji kapas dan biji-bijian lainnya (Diener dan Davis, 1969). Tercemarnya pakan ternak oleh kapang dan aflatoksin juga dilaporkan dapat mengganggu fungsi metabolisme, absorpsi lemak, penyerapan unsur mineral, khususnya tembaga (Cu), besi (Fe), kalsium (Ca), dan fosfor (P), serta beta-karoten, penurunan kekebalan tubuh, kegagalan program vaksinasi, kerusakan kromosom, perdarahan, dan memar. Semua gangguan tersebut berakibat pertumbuhan terhambat dan kematian meningkat sehingga produksi ternak menurun (Jassar dan Balwant Singh, 1989 ; Abdelhamid dan Dorra, 1990; Dimri et al., 1994 ; Mani et al., 2001 ; Prabaharan et al., 1999) Aflatoksin mempunyai sifat karsinogenik dan hepatotoksik. Sifat ini tergantung pada lama dan tingkat paparan terhadap aflatoksin. Konsumsi aflatoksin dosis tinggi dapat menyebabkan terjadinya aflatoksikosis akut yang dapat menimbulkan manifestasi hepatoksisitas atau pada kasus-kasus berat dapat terjadi kematian akibat fulminat liver failure (Banet dalam Yenny, 2006). Manusia dapat terpapar oleh aflatoksin dengan mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi oleh toksin hasil dari pertumbuhan jamur ini. Kadang paparan sulit dihindari karena pertumbuhan jamur di dalam makanan sulit untuk dicegah. Di Indonesia, aflatoksin merupakan mikotoksin yang sering ditemukan pada produk-produk pertanian dan hasil olahan (Muhilal dan Karyadi, 1985, Agus et al., 1999). Selain itu, residu aflatoksin dan metabolitnya juga ditemukan pada produk peternakan seperti susu (Bahri et al., 1995), telur (Maryam et al., 1994), dan daging ayam (Maryam, 1996). Sudjadi et al (1999) melaporkan bahwa 80 diantara 81 orang pasien (66 orang pria dan 15 orang wanita) menderita kanker hati karena mengkonsumsi oncom, tempe, kacang goring, bumbu kacang, kecap dan ikan asin. AFB1, AFG1, dan AFM1 terdeteksi pada contoh liver dari 58% pasien tersebut dengan konsentrasi diatas 400 µg/kg. Aflatoksin juga dapat dijumpai pada susu yang dihasilkan hewan ternak yang memakan produk yang terinfestasi kapang tersebut. Obat juga dapat mengandung aflatoksin bila terinfestasi kapang ini. Praktis semua produk pertanian dapat mengandung aflatoksin meskipun biasanya masih pada kadar toleransi. Daerah tropis merupakan tempat berkembang biak paling ideal. Toksin ini memiliki paling tidak 13 varian, yang terpenting adalah B1, B2, G1, G2, M1, dan M2. Aflatoksin B1 dihasilkan oleh kedua spesies, sementara G1 dan G2 hanya dihasilkan oleh A. parasiticus. Aflatoksin M1, dan M2 ditemukan pada susu sapi dan merupakan epoksida yang menjadi senyawa antara Jenis alfatoksin berdasarkan penampakan fluoresensinya pada lempeng kromatografi lapis tipis di bawah sinar UV yang memberikan warna biru (blue) untuk B dan warna hijau (green) untuk G. Aflatoksin B1, senyawa yang paling toksik,berpotensi merangsang kanker, terutama kanker hati. Serangan toksin yang paling ringan adalah lecet (iritasi) ringan akibat kematian jaringan (nekrosis). Pemaparan pada kadar tinggi dapat menyebabkan sirosis, karsinoma pada hati, serta gangguan pencernaan, penyerapan bahan makanan, dan metabolisme nutrien. Toksin ini di hati akan direaksi menjadi epoksida yang sangat reaktif terhadap senyawa-senyawa di dalam sel. Efek karsinogenik terjadi karena basa N guanin pada DNA akan diikat dan mengganggu kerja gen. Pemanasan hingga 250 derajat Celsius tidak efektif menginaktifkan senyawa ini. Akibatnya bahan pangan yang terkontaminasi biasanya tidak dapat dikonsumsi lagi. Aflatoksin merupakan mikotoksin utama yang secara alami tersebar luas dan dapat mengkontaminasi produk-produk pertanian dan pakan ternak. Senyawa aflatoksin ini diketahui dapat menurunkan produktivitas unggas, bahkan dapat menekan daya kekebalan tubuh ayam (efek immunosupressif). Azam dan Gabal (1998) telah membuktikan bahwa pemberian 200 ppb aflatoksin B1 pada ayam petelur dapat menurunkan produksi telur, berat telur, serta menurunkan titer antibodi terhadap ND, IB dan IBD. Selain itu aflatoksin diketahui sebagai penyebab kegagalan vaksinasi dan dapat menimbulkan efek penyakit gumboro (IBD) lebih ganas (Chang dan Hamilton, 1981). Empat macam aflatoksin alamiah yang paling sering dijumpai dan bersifat toksik yaitu aflatoksin B1, B2, G1, G2. Aflatoksin mempunyai kurang lebih 20 macam derivat, akan tetapi yang paling toksik adalah aflatoksin B1. Aflatoksin B1 dan B2 dapat menghasilkan metabolit aflatoksin M1 dan M2 melalui hidroksilasi, dimana keduanya dihasilkan jika sapi atau hewan ruminansia lainnya memakan pakan yang terkontaminasi oleh aflatoksin B1 atau B2. Aflatoksin M1 dan M2 ini kemudian akan diekskresikan melalui susu yang dihasilkan sapi tersebut dan bisa saja mengkontaminasi produk dari susu seperti keju dan yogurt. Aflatoksin sering terdapat pada jagung dan produk olahannya; kacang dan produk olahannya; biji kapas, susu, dan tree nuts seperti kacang brasil, kacang pistachio dan walnut. Selain itu juga terdapat pada sereal dan produk sereal seperti pasta, dan mi instan. Pada sejumlah spesies hewan, senyawa ini menyebabkan nekrosis, sirosis dan karsinoma organ hati dilaporkan tidak ada hewan yang resisten terhadap efek toksik akut dari aflatoksin. Aflatoksin B1 merupakan karsinogen paling potensial (termasuk kelompok 1A) pada banyak spesies termasuk primata, burung, ikan, dan rodensia. Dalam dosis yang tinggi aflatoksin dapat menyebabkan efek akut. Aflatoksin juga dapat terakumulasi di otak dan mempunyai efek buruk terhadap paru-paru, miokardium dan ginjal. Efek kronik pada manusia yaitu kanker hati, hepatitis kronik, hepatomegaly, penyakit kuning dan sirosis hati akibat mengkonsumsi pangan yang terkontaminasi aflatoksin pada konsentrasi rendah secara terus menerus.
2). penjelaan kedua
Aflatoksin merupakan segolongan senyawa toksik (mikotoksin, toksin yang
berasal dari fungi) yang dikenal mematikan dan karsinogenik bagi manusia dan hewan. Racun ini pertama kali secara tidak sengaja ditemukan pada tahun 1960- an, di mana lebih dari seratus ribu kalkun mati oleh sebab Turkey X disease. Kejadian serupa terjadi pula Uganda dan Kenya. Para ahli jamur (mikolog) menemui bahwa kacang tanah dari Brazilia tak cocok dan beracun bagi bebek. Para peneliti dari Inggris kemudian menemui penyebab matinya ternak itu oleh sebab kacang tanah yang beracun, yang dijadikan sebagai makanan ternak tersebut.[1]
Spesies penghasilnya adalah segolongan fungi (jenis kapang) dari genus
Aspergillus, terutama A. flavus (dari sini nama "afla" diambil) dan A. parasiticus[2] yang berasosiasi dengan produk-produk biji-bijian berminyak atau berkarbohidrat tinggi. Kandungan aflatoksin ditemukan pada biji kacang-kacangan (kacang tanah, kedelai, pistacio, atau bunga matahari), rempah-rempah (seperti ketumbar, jahe, lada, serta kunyit), dan serealia (seperti gandum, padi, sorgum, dan jagung). [1] Aflatoksin juga dapat dijumpai pada susu yang dihasilkan hewan ternak yang memakan produk yang terinvestasi kapang tersebut. Obat juga dapat mengandung aflatoksin bila terinfestasi kapang ini.
Praktis semua produk pertanian dapat mengandung aflatoksin meskipun biasanya
masih pada kadar toleransi. Kapang ini biasanya tumbuh pada penyimpanan yang tidak memperhatikan faktor kelembaban (min. 7%) dan bertemperatur tinggi. Daerah tropis merupakan tempat berkembang biak paling ideal. Toksin ini memiliki paling tidak 13 varian, yang terpenting adalah B1, B2, G1, G2, M1, dan M2. Aflatoksin B1 dihasilkan oleh kedua spesies, sementara G1 dan G2 hanya dihasilkan oleh A. parasiticus. Aflatoksin M1, dan M2 ditemukan pada susu sapi dan merupakan epoksida yang menjadi senyawa antara.
Aflatoksin B1, senyawa yang paling toksik, berpotensi merangsang kanker,
terutama kanker hati. Serangan toksin yang paling ringan adalah lecet (iritasi) ringan akibat kematian jaringan (nekrosis). Pemaparan pada kadar tinggi dapat menyebabkan sirosis, karsinoma pada hati, serta gangguan pencernaan, penyerapan bahan makanan, dan metabolisme nutrien. Toksin ini di hati akan direaksi menjadi epoksida yang sangat reaktif terhadap senyawa-senyawa di dalam sel. Efek karsinogenik terjadi karena basa N guanin pada DNA akan diikat dan mengganggu kerja gen.
Pemanasan hingga 250 derajat Celsius tidak efektif menginaktifkan senyawa ini. Akibatnya bahan pangan yang terkontaminasi biasanya tidak dapat dikonsumsi lagi.