Anda di halaman 1dari 5

AFLATOKSIN

1). penjelasan pertama


Aflatoksin adalah suatu mikotoksin yang merupakan metabolit hasil jamur
Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Aflatoksin merupakan kontaminan yang
paling sering dijumpai pada hasil panen pertanian serta bahan makanan pokok di banyak
negara berkembang sehingga mengancam keamanan pangan. Toksin yang dikeluarkan
oleh jamur ini dapat dijumpai selama masa produksi bahan pangan, pada waktu panen,
pada saat penyimpanan dan proses pembuatan makanan. Kondisi lingkungan yang
diperlukan untuk terbentuknya aflatoksin oleh kapang adalah kelembaban
minimum 85 persen dan suhu optimum 25-27°C. A. flavus umumnya
memproduksi aflatoksin B (AFB, dan AFBZ ), sedangkan A. parasiticus dapat
memproduksi aflatoksin B dan aflatoksin G (AFG). A. flavus terdapat di mana-
mana, sedangkan A. parasiticus tidak. Saat ini ada 4 macam aflatoksin yaitu
AFB1, AFB2 , AFG1, dan AFG2 yang merupakan aflatoksin induk yang telah
dikenal secara alami dan dijumpai di alam. AFB1 adalah jenis aflatoksin yang
paling toksik di banding AFB2 , AFG1, dan AFG2, mempunyai daya racun yang
rendah, hanya 1/60-1/100 kali dibandingkan AFB1, dan tidak terlalu berbahaya.
Gambar 1. struktur kimia AFB1, AFB2 , AFG1, dan AFG2

Kapang tersebut banyak mencemari produk pertanian, diantaranya adalah


kacang-kacangan, beras, jagung, gandum, biji kapas dan biji-bijian lainnya
(Diener dan Davis, 1969). Tercemarnya pakan ternak oleh kapang dan aflatoksin
juga dilaporkan dapat mengganggu fungsi metabolisme, absorpsi lemak,
penyerapan unsur mineral, khususnya tembaga (Cu), besi (Fe), kalsium (Ca), dan
fosfor (P), serta beta-karoten, penurunan kekebalan tubuh, kegagalan program
vaksinasi, kerusakan kromosom, perdarahan, dan memar. Semua gangguan
tersebut berakibat pertumbuhan terhambat dan kematian meningkat sehingga
produksi ternak menurun (Jassar dan Balwant Singh, 1989 ; Abdelhamid dan
Dorra, 1990; Dimri et al., 1994 ; Mani et al., 2001 ; Prabaharan et al., 1999)
Aflatoksin mempunyai sifat karsinogenik dan hepatotoksik. Sifat ini
tergantung pada lama dan tingkat paparan terhadap aflatoksin. Konsumsi
aflatoksin dosis tinggi dapat menyebabkan terjadinya aflatoksikosis akut yang
dapat menimbulkan manifestasi hepatoksisitas atau pada kasus-kasus berat dapat
terjadi kematian akibat fulminat liver failure (Banet dalam Yenny, 2006).
Manusia dapat terpapar oleh aflatoksin dengan mengkonsumsi makanan yang
terkontaminasi oleh toksin hasil dari pertumbuhan jamur ini. Kadang paparan sulit
dihindari karena pertumbuhan jamur di dalam makanan sulit untuk dicegah.
Di Indonesia, aflatoksin merupakan mikotoksin yang sering ditemukan
pada produk-produk pertanian dan hasil olahan (Muhilal dan Karyadi, 1985,
Agus et al., 1999). Selain itu, residu aflatoksin dan metabolitnya juga ditemukan
pada produk peternakan seperti susu (Bahri et al., 1995), telur (Maryam et al.,
1994), dan daging ayam (Maryam, 1996). Sudjadi et al (1999) melaporkan bahwa
80 diantara 81 orang pasien (66 orang pria dan 15 orang wanita) menderita kanker
hati karena mengkonsumsi oncom, tempe, kacang goring, bumbu kacang, kecap
dan ikan asin. AFB1, AFG1, dan AFM1 terdeteksi pada contoh liver dari 58%
pasien tersebut dengan konsentrasi diatas 400 µg/kg.
Aflatoksin juga dapat dijumpai pada susu yang dihasilkan hewan
ternak yang memakan produk yang terinfestasi kapang tersebut. Obat juga dapat
mengandung aflatoksin bila terinfestasi kapang ini. Praktis semua produk
pertanian dapat mengandung aflatoksin meskipun biasanya masih pada kadar
toleransi. Daerah tropis merupakan tempat berkembang biak paling ideal. Toksin
ini memiliki paling tidak 13 varian, yang terpenting adalah B1, B2, G1, G2, M1, dan
M2.
Aflatoksin B1 dihasilkan oleh kedua spesies, sementara G1 dan G2 hanya
dihasilkan oleh A. parasiticus. Aflatoksin M1, dan M2 ditemukan pada
susu sapi dan merupakan epoksida yang menjadi senyawa antara Jenis
alfatoksin berdasarkan penampakan fluoresensinya pada lempeng kromatografi
lapis tipis di bawah sinar UV yang memberikan warna biru (blue) untuk B dan
warna hijau (green) untuk G.
Aflatoksin B1, senyawa yang paling toksik,berpotensi merangsang kanker,
terutama kanker hati. Serangan toksin yang paling ringan adalah lecet (iritasi)
ringan akibat kematian jaringan (nekrosis). Pemaparan pada kadar tinggi dapat
menyebabkan sirosis, karsinoma pada hati, serta gangguan pencernaan,
penyerapan bahan makanan, dan metabolisme nutrien. Toksin ini di hati akan
direaksi menjadi epoksida yang sangat reaktif terhadap senyawa-senyawa di
dalam sel. Efek karsinogenik terjadi karena basa N guanin pada DNA akan diikat
dan mengganggu kerja gen. Pemanasan hingga 250 derajat Celsius tidak efektif
menginaktifkan senyawa ini. Akibatnya bahan pangan yang terkontaminasi
biasanya tidak dapat dikonsumsi lagi.
Aflatoksin merupakan mikotoksin utama yang secara alami tersebar luas
dan dapat mengkontaminasi produk-produk pertanian dan pakan ternak. Senyawa
aflatoksin ini diketahui dapat menurunkan produktivitas unggas, bahkan dapat
menekan daya kekebalan tubuh ayam (efek immunosupressif). Azam dan Gabal
(1998) telah membuktikan bahwa pemberian 200 ppb aflatoksin B1 pada ayam
petelur dapat menurunkan produksi telur, berat telur, serta menurunkan titer
antibodi terhadap ND, IB dan IBD. Selain itu aflatoksin diketahui sebagai
penyebab kegagalan vaksinasi dan dapat menimbulkan efek penyakit gumboro
(IBD) lebih ganas (Chang dan Hamilton, 1981).
Empat macam aflatoksin alamiah yang paling sering dijumpai dan bersifat
toksik yaitu aflatoksin B1, B2, G1, G2. Aflatoksin mempunyai kurang lebih 20
macam derivat, akan tetapi yang paling toksik adalah aflatoksin B1. Aflatoksin B1
dan B2 dapat menghasilkan metabolit aflatoksin M1 dan M2 melalui hidroksilasi,
dimana keduanya dihasilkan jika sapi atau hewan ruminansia lainnya memakan
pakan yang terkontaminasi oleh aflatoksin B1 atau B2. Aflatoksin M1 dan M2 ini
kemudian akan diekskresikan melalui susu yang dihasilkan sapi tersebut dan bisa
saja mengkontaminasi produk dari susu seperti keju dan yogurt.
Aflatoksin sering terdapat pada jagung dan produk olahannya; kacang dan
produk olahannya; biji kapas, susu, dan tree nuts seperti kacang brasil,
kacang pistachio dan walnut. Selain itu juga terdapat pada sereal dan produk
sereal seperti pasta, dan mi instan. Pada sejumlah spesies hewan, senyawa ini
menyebabkan nekrosis, sirosis dan karsinoma organ hati dilaporkan tidak ada
hewan yang resisten terhadap efek toksik akut dari aflatoksin. Aflatoksin B1
merupakan karsinogen paling potensial (termasuk kelompok 1A) pada banyak
spesies termasuk primata, burung, ikan, dan rodensia. Dalam dosis yang tinggi
aflatoksin dapat menyebabkan efek akut. Aflatoksin juga dapat terakumulasi di
otak dan mempunyai efek buruk terhadap paru-paru, miokardium dan ginjal. Efek
kronik pada manusia yaitu kanker hati, hepatitis kronik, hepatomegaly, penyakit
kuning dan sirosis hati akibat mengkonsumsi pangan yang terkontaminasi
aflatoksin pada konsentrasi rendah secara terus menerus.

2). penjelaan kedua

Aflatoksin merupakan segolongan senyawa toksik (mikotoksin, toksin yang


berasal dari fungi) yang dikenal mematikan dan karsinogenik bagi manusia dan
hewan. Racun ini pertama kali secara tidak sengaja ditemukan pada tahun 1960-
an, di mana lebih dari seratus ribu kalkun mati oleh sebab Turkey X disease.
Kejadian serupa terjadi pula Uganda dan Kenya. Para ahli jamur (mikolog)
menemui bahwa kacang tanah dari Brazilia tak cocok dan beracun bagi bebek.
Para peneliti dari Inggris kemudian menemui penyebab matinya ternak itu oleh
sebab kacang tanah yang beracun, yang dijadikan sebagai makanan ternak
tersebut.[1]

Spesies penghasilnya adalah segolongan fungi (jenis kapang) dari genus


Aspergillus, terutama A. flavus (dari sini nama "afla" diambil) dan A. parasiticus[2]
yang berasosiasi dengan produk-produk biji-bijian berminyak atau berkarbohidrat
tinggi. Kandungan aflatoksin ditemukan pada biji kacang-kacangan (kacang
tanah, kedelai, pistacio, atau bunga matahari), rempah-rempah (seperti ketumbar,
jahe, lada, serta kunyit), dan serealia (seperti gandum, padi, sorgum, dan jagung).
[1]
Aflatoksin juga dapat dijumpai pada susu yang dihasilkan hewan ternak yang
memakan produk yang terinvestasi kapang tersebut. Obat juga dapat mengandung
aflatoksin bila terinfestasi kapang ini.

Praktis semua produk pertanian dapat mengandung aflatoksin meskipun biasanya


masih pada kadar toleransi. Kapang ini biasanya tumbuh pada penyimpanan yang
tidak memperhatikan faktor kelembaban (min. 7%) dan bertemperatur tinggi.
Daerah tropis merupakan tempat berkembang biak paling ideal.
Toksin ini memiliki paling tidak 13 varian, yang terpenting adalah B1, B2, G1, G2,
M1, dan M2. Aflatoksin B1 dihasilkan oleh kedua spesies, sementara G1 dan G2
hanya dihasilkan oleh A. parasiticus. Aflatoksin M1, dan M2 ditemukan pada susu
sapi dan merupakan epoksida yang menjadi senyawa antara.

Aflatoksin B1, senyawa yang paling toksik, berpotensi merangsang kanker,


terutama kanker hati. Serangan toksin yang paling ringan adalah lecet (iritasi)
ringan akibat kematian jaringan (nekrosis). Pemaparan pada kadar tinggi dapat
menyebabkan sirosis, karsinoma pada hati, serta gangguan pencernaan,
penyerapan bahan makanan, dan metabolisme nutrien. Toksin ini di hati akan
direaksi menjadi epoksida yang sangat reaktif terhadap senyawa-senyawa di
dalam sel. Efek karsinogenik terjadi karena basa N guanin pada DNA akan diikat
dan mengganggu kerja gen.

Pemanasan hingga 250 derajat Celsius tidak efektif menginaktifkan senyawa ini.
Akibatnya bahan pangan yang terkontaminasi biasanya tidak dapat dikonsumsi
lagi.

Kerugian Aflatoksin

Anda mungkin juga menyukai