PEMBAHASAN
A. Pengelolaan Simplisia
Tanaman katuk (Androgynus sourapus) diolah menjadi simplisia kering yang
melalui proses sortasi basah, dimana simplisia katuk yang baik dipisahkan dari kotoran-
kotoran yang melekat pada daun katuk.
Tahap kedua yaitu pencucian bahan pada simplisia katuk dilakukan dengan cara
membasuhnya di air yang bersih dan mengalir misalnya mata air, air sumur, air kran atau
PAM. Menurut Frazier (1978 dalam Depkes, 1985), pencucian sayur-sayuran satu kali
dapat menghilangkan 25% dari junlah mikroba awal, jika dilakukan pencucian sebanyak
tiga kali, jumlah mikroba yang tertinggal hanya 42% dari jumlah mikroba awal.
Pencucian tidak dapat membersihkan tanaman katuk seluruhnya karena air juga
mengandung mikroba.
Tahap ketiga yaitu tanaman katuk dirajang sampai tipis atau ukuran menjadi kecil
tujuannya untuk memudahkan proses pengeringan, pengepakan, dan penggilingan.
Perajangan dapat dilakukan dengan pisau atau alat mesin perajang.
Tahap keempat yaitu simplisia katuk dikeringkan dengan cara diangin-anginkan dan
tidak terkena sinar matahari agar tidak merusak atau mengurangi kandungan dari zat
tanaman katuk karena adanya proses penguapan. Tujuan dari proses pengeringan ini
adalah agar tanaman katuk tahan lama dalam penyimpanan dikarenakan kadar air dari
tanaman katuk berkurang, sebab air adalah media pertumbuhan yang baik bagi mikroba.
Tahap kelima yaitu sortasi kering dimana simplisia yang telah kering disortasi lagi
untuk bertujuan memisahkan benda-benda asing seperti bagian tanaman yang tidak
diinginkan dan pengotoran-pengotoran lain. Berat yang diperoleh dari 2 kg daun katuk
setelah menjadi simplisia daun katuk kering adalah 500 gram.
Terakhir, simplisia dikemas dalam wadah tertutup dan kedap udara agar simplisia
yang telah kering tidak cepat rusak oleh jamur atau lainnya diruangan khusus
penyimpanan simplisia yang tidak terkena cahaya matahri langsung.
B. Ekstrasi Simplisia Daun Katuk
Simplisia katuk yang telah kering kemudian diektraksi untuk mengambil ekstrak
kandungan senyawa yang ada disimplisia katuk dengan metode maserasi. Media zat
pelarut untuk simplisia katuk adalah etanol. Karena etanol tidak dapat ditumbuhi oleh
mikroba dibandingkan dengan air. Pada prinsipnya terdapat tiga tahapan proses pada saat
ekstraksi, yaitu penetrasi pelarut ke dalam sel tanaman dan pengembangan sel, pelarutan
zat aktif dalam sel, dan difusi bahan yang terekstraksi ke luar sel (Kusmardiyani dan
Nawawi, 1992). Maserasi merupakan metode ekstraksi yang sederhana dan sering
digunakan. Maserasi dilakukan dengan cara merendam simplisia daun katuk
menggunakan pelarut yang sesuai dalam wadah tertutup dengan sesekali pengadukan
pada suhu ruangan. Metode ini cocok untuk ekstraksi dalam jumlah yang banyak. Proses
ekstraksi berhenti ketika tercapai kesetimbangan konsentrasi metabolit dalam pelarut dan
di dalam serbuk simplisia (Seidel, 2008).
Keuntungan dari metode maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang
digunakan sederhana. Kerugiannya adalah pengerjaannya membutuhkan waktu yang
lama, membutuhkan pelarut yang tidak sedikit, dan beberapa komponen tidak dapat
terekstraksi jika memiliki kelarutan yang lemah dalam suhu ruangan (Seidel, 2008). Hasil
yang didapatkan dari 200 gram simplisia daun katuk yang dilarutkan 3,5 liter etanol adal
160 ml ekstrak daun katuk.
C. Identifikasi Metabolik Sekunder
Senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa kimia yang
umumnyamempunyai kemampuan biokatifitas dan berfungsi sebagai pelindung
tumbuhan dari gangguan hama penyakit untuk tumbuhan tersebut atau lingkungan.
Senyawa metabolit sekunder digunakan sebagai zat warna, racun, aroma makanan,dan
obat tradisional pada kehidupan sehari-hari (Meta, 2011). Senyawa metabolik sekunder
terdiri dari flavanoid, tanin, glikosida, alkaloid, terpenoid, steroid, dan saponin.
Pada praktikum kali ini simplisia katuk akan di identifikasi senyawa metaboliknya
untuk mengetahui kandungan apa saja yang ada di simplisia katuk. Banyak faktor yang
mempengaruhi kandungan dalam suatu tanaman yaitu lingkungan dimana tanaman
tersebut bertumbuh dan lain-lain.
1. Uji Identifikasi Flavanoid
Uji identifikasi flavanoid pada ekstrak daun katuk dengan 2 cara yaitu uji
shinoda dan penambahan larutan FeCl3. Uji shinoda pada ekstrak katuk. Hasil
yang diperoleh dari uji shinoda adalah positif karena terbentuk warna merah
jingga sampai merah pada larutan ekstrak katuk menandakan terindentifikasinya
senyawa kandungan flavanon, flavonol, flavanonol dan dihidroflavonol. Dan
untuk yang kedua yaitu penambahan larutan FeCl3 pada ekstrak katuk dan
hasilnya juga positif karena larutan mengalami perubahan warna menjadi hijau
biru sehingga mengandung gugus hidroksil bebas pada cincin A atau B.
Hasil dari identifikasi dengan literatur sama, jika diliteratur senyawa
flavanoid merupakan senyawa dengan kandungan yang tertinggi dalam simplisia
katuk
.
2. Uji Identifikasi Tanin
Uji identifikasi tanin pada ekstrak daun hasilnya positif karena terbentuk
endapan putih yang menandakan adaanya tanin dan hasil tersebut sesuai dengan
literatur.
Uji identifikasi tanin pada ekstrak daun katuk yaitu dengan penambahan
beberapa tetes larutan FeCl3 3% terbentuk warna hijau biru hingga kehitaman
maka hasilnya positif.
7. Uji Karbohidrat
Identifikasi karbohidrat pada ekstrak daun katuk ada 2 cara yaitu uji pereaksi
fehling dan uji reaksi molisch. Pada uji perekasi fehling dengan ekstrak katuk
memberi nilai negatif karena tidak terbentuk larutan merah bata. Dan yang kedua
dengan uji molisch pada ekstrak daun katuk memberi nilai negatif pada daun
katuk karena tidak terbentuk cincin ungu. Hasil dari kedua cara ini memberi hasil
yang berbeda pada literatur. Hasil yang yang berbeda ini karena kadar karbohidrat
pada daun katuk sangat kecil sehingga tidak terdeteksi oleh pereksi fehling
ataupun molisch.