Anda di halaman 1dari 11

Mikotoksin

 Pengertian Mikotoksin
Makanan merupakan sumber energi yang dibutuhkan oleh manusia dan hewan untuk
melangsungkan kehidupannya. Namun, makanan dapat menjadi sumber penyakit jika tidak
memenuhi kriteria sebagai makanan baik, sehat, dan aman. Berbagai kontaminan dapat
mencemari bahan pangan dan pakan, sehingga tidak layak untuk dikonsumsi. Kualitas
makanan atau bahan makanan di alam ini tidak terlepas dari berbagai pengaruh seperti kondisi
lingkungan yang menjadikan layak atau tidaknya suatu makanan untuk dikonsumsi. Berbagai
bahan pencemar dapat terkandung di dalam makanan karena penggunaan bahan baku pangan
terkontaminasi, proses pengolahan, dan proses penyimpanan. Di antara kontaminan yang
sering ditemukan adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang (Maryam, 2002).
Mikotoksin merupakan senyawa organik beracun hasil metabolisme sekunder dari
kapang (fungi, jamur, cendawan) selama pertumbuhannya pada bahan pangan atau pakan
(Miskiyah et al., 2010). Mikotoksin mulai dikenal sejak ditemukannya aflatoksin yang
menyebabkan Turkey X–disease pada tahun 1960 (Maryam, 2002). Hingga saat ini, telah
dikenal 300 jenis mikotoksin (Cole & Cox, 1981), lima jenis diantaranya sangat berpotensi
menyebabkan penyakit, baik pada manusia maupun hewan, yaitu aflatoksin, okratoksin A,
zearalenon, trikotesena (deoksinivalenol, toksin T2) dan fumonisin. Menurut Bhat & Miller
(1991), sekitar 25%-50% komoditas pertanian tercemar kelima jenis mikotoksin tersebut.
Konsumsi produk pangan yang terkontaminasi mikotoksin dapat menyebabkan terjadinya
mikotoksikosis, yaitu gangguan kesehatan pada manusia dan hewan dengan berbagai bentuk
perubahan klinis dan patologis, misalnya dapat menyebabkan penyakit kanker hati, degenerasi
hati, demam, pembengkakan otak, ginjal, dan gangguan syaraf (Rahayu, 2006).

Jenis Mikotoksin yang Berpotensi Menimbulkan Permasalahan


 Aflatoksin
Aflatoksin adalah suatu mikotoksin yang merupakan metabolit hasil jamur Aspergillus
flavus dan Aspergillus parasiticus. (Lewis et al., 2005). Aflatoksin berasal dari singkatan
Aspergillus flavus toxin. Aflatoksin merupakan kontaminan yang paling sering dijumpai pada
hasil panen pertanian serta bahan makanan pokok di banyak negara berkembang sehingga
mengancam keamanan pangan. Toksin yang dikeluarkan oleh jamur ini dapat dijumpai
selama masa produksi bahan pangan, pada waktu panen, pada saat penyimpanan dan proses
pembuatan makanan (Yenny, 2006).
Aflatoksin pertama kali diketahui berasal dari kapang Aspergillus flavus yang berhasil
diisolasi pada tahun 1960. Aspergillus flavus sebagai penghasil utama aflatoksin umumnya
hanya memproduksi aflatoksin B1 dan B2 (AFB1 dan AFB2), sedangkan Aspergillus
parasiticus memproduksi AFB1, AFB2, AFG1, dan AFG2. Aspergillus flavus dan Aspergillus
parasiticus ini tumbuh pada rentang suhu yang lebar, yaitu berkisar dari 10-12°C sampai 42-
43°C dengan suhu optimum 32-33°C dan pH optimum 6. Di antara keempat jenis aflatoksin
tersebut AFB1 memiliki efek toksik yang paling tinggi. Mikotoksin ini bersifat karsinogenik,
hepatatoksik dan mutagenik sehingga menjadi perhatian badan kesehatan dunia (WHO) dan
dikategorikan sebagai karsinogenik gol 1A. Selain itu, aflatoksin juga bersifat
immunosuppresif yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh.
Gejala awal aflatoksikosis yang dapat dikenali pada konsentrasi rendah antara lain
berupa menurunnya efisiensi makanan, berkurangnya intake makanan, menurunnya kecepatan
pertumbuhan, rambut kasar dan kusam, meningkatnya prevalensi, keparahan atau kegagalan
terapi atau vaksinasi penyakit-penyakit infeksi seperti: bloody dysentery, erisipelas,
salmonellosis, pneumonia. Bila aflatoksikosis ini berlanjut, maka dapat muncul sindrom
penyakit yang ditandai dengan muntah, nyeri perut, edema paru, kejang, koma, dan kematian
akibat edema otak dan perlemakan hati, ginjal dan jantung. Keadaan-keadaan yang
meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya aflatoksikosis akut pada manusia meliputi
terbatasnya ketersediaan makanan, kondisi lingkungan yang menguntungkan untuk
berkembangbiaknya jamur di dalam hasil pertanian dan bahan-bahan dagangan, dan masih
kurangnya sistem yang mengatur monitoring dan kontrol aflatoksin. Gejala aflatoksikosis
yang paling menonjol pada beberapa spesies seperti burung dan mamalia antara lain
hipolipidemia, hypercholesterolemia dan hypocarotenaemia dimana hal ini dihubungkan
dengan steatosis hepatik berat dan kehilangan berat badan
Di Indonesia, aflatoksin merupakan mikotoksin yang sering ditemukan pada produk-
produk pertanian dan hasil olahan. Selain itu, residu aflatoksin dan metabolitnya juga
ditemukan pada produk peternak seperti susu (Bahri et al., 1995), telur (Maryam et al., 2001),
dan daging ayam (Maryam, 1996). Sudjadi et al. (1999) melaporkan bahwa 80 diantara 81
orang pasien (66 orang pria dan 15 orang wanita) menderita kanker hati karena
mengkonsumsi oncom, tempe, kacang goreng, bumbu kacang, kecap dan ikan asin. AFB1,
AFG1, dan AFM1 terdeteksi pada contoh liver dari 58 % pasien tersebut dengan konsentrasi
diatas 400 µg/kg.

 Okratoksin
Okratoksin merupakan senyawa toksin atau racun yang yang dihasilkan oleh
Aspergillus ochraceus. Okratoksin terutama Okratoksin A (OA) diketahui sebagai penyebab
keracunan ginjal pada manusia maupun hewan, dan juga diduga bersifat karsinogenik.
Okratoksin A ini pertama kali diisolasi pada tahun 1965 dari kapang Aspergillus ochraceus.
Secara alami A. ochraceus terdapat pada tanaman yang mati atau busuk, juga pada biji-bijian,
kacang-kacangan dan buah-buahan. Selain A. ochraceus, OA juga dapat dihasilkan oleh
Penicillium viridicatum (Kuiper-Goodman, 1996) yang terdapat pada biji-bijian di daerah
beriklim sedang (temperate), seperti pada gandum di eropa bagian utara. P. viridicatum
tumbuh pada suhu antara 0-31°C dengan suhu optimal pada 20°C dan pH optimum 6-7. A.
ochraceus tumbuh pada suhu antara 8-37°C. Saat ini, diketahui sedikitnya 3 macam
Okratoksin, yaitu Okratoksin A (OA), Okratoksin B (OB), dan Okratoksin C (OC). OA adalah
yang paling toksik dan paling banyak ditemukan di alam, terutama pada komoditas kopi.
Selain itu, OA juga banyak ditemukan pada berbagai produk ternak, seperti daging babi dan
daging ayam. Hal ini karena OA bersifat larut dalam lemak sehingga dapat tertimbun di
bagian daging yang berlemak. Manusia dapat terekspose OA melalui produk ternak yang
dikonsumsi.

 Zearalenon
Zearalenon adalah toksin estrogenik yang dihasilkan oleh kapang Fusarium
graminearum, F. tricinctum, dan F. moniliforme. Kapang ini tumbuh pada suhu optimum 20-
25°C dan kelembaban 40-60 %. Zearalenon pertama kali diisolasi pada tahun 1962.
Mikotoksin ini cukup stabil dan tahan terhadap suhu tinggi. Hingga saat ini, paling sedikit
terdapat 6 macam turunan zearalenon, diantara nya α-zearalenol yang memiliki aktivitas
estrogenik 3 kali lipat daripada senyawa induknya. Senyawa turunan lainnya adalah 6,8-
dihidroksizearalenon, 8-hidroksi zearalenon, 3-hidroksi zearalenon, 7-dehidro zearalenon, dan
5- formil zearalenon. Komoditas yang banyak tercemar zearalenon adalah jagung, gandum,
kacang kedelai, beras dan serelia lainnya.

 Fumonisin
Fumonisin termasuk kelompok toksin fusarium yang dihasilkan oleh kapang Fusarium
spp., terutama F. moniliforme dan F. proliferatum. Mikotoksin ini relatif baru diketahui dan
pertama kali diisolasi dari F. moniliforme pada tahun 1988 (Gelderblom et al., 1988). Selain
F. moniliforme dan F. proliferatum, terdapat pula kapang lain yang juga mampu memproduksi
fumonisin, yaitu F.nygamai, F. anthophilum, F. diamini dan F. napiforme. F. moniliforme
tumbuh pada suhu optimal antara 22,5-27,5℃ dengan suhu maksimum 32-37℃. Kapang
Fusarium ini tumbuh dan tersebar di berbagai negara didunia, terutama negara beriklim tropis
dan sub-tropis.
Komoditas pertanian yang sering dicemari kapang ini adalah jagung, gandum, sorgum
dan berbagai produk pertanian lainnya. Hingga saat ini, telah diketahui 11 jenis senyawa
Fumonisin, yaitu Fumonisin B1 (FB1), FB2, FB3 dan FB4, FA1, FA2, FC1, FC2, FP1, FP2
dan FP3. Diantara jenis fumonisin tersebut, FB1 mempunyai toksisitas yang dan dikenal juga
dengan nama Makrofusin. FB1 dan FB2 banyak mencemari jagung dalam jumlah cukup
besar, dan FB1 juga ditemukan pada beras yang terinfeksi oleh F. proliferatum. Keberadaan
kapang penghasil fumonisin dan kontaminasi fumonisin pada komoditi pertanian, terutama
jagung di Indonesia. Meskipun kontaminasi fumonisin pada hewan dan manusia belum
mendapat perhatian di Indonesia, namun keberadaannya perlu diwaspadai mengingat
mikotoksin ini banyak ditemukan bersama-sama dengan aflatoksin sehingga dapat
meningkatkan toksisitas kedua mikotoksin tersebut (Maryam, 2000).
 Citrinin
Citrinin pertama kali diisolasi dari Penicillium citrinum oleh Thom pada tahun 1931.
Mikotoksin ini ditemukan sebagai kontaminan alami pada jagung, beras, gandum, barley, dan
gandum hitam (rye). Citrinin juga diketahui dapat dihasilkan oleh berbagai spesies Monascus
dan hal ini menjadi perhatian terutama oleh masyarakat Asia yang menggunakan Monascus
sebagai sumber zat pangan tambahan. Monascus banyak dimanfaatkan untuk diekstraksi
pigmennya (terutama yang berwarna merah) dan dalam proses pertumbuhannya,
pembentukan toksin citrinin oleh Monascus perlu dicegah.

 Deoksinivalenol
Deoksinivalenol (DON, vomitoksin) adalah mikotoksin jenis trikotesena tipe B yang
paling polar dan stabil. Jenis mikotoksin ini diproduksi oleh jamur Fusarium graminearium
(Gibberella zeae) dan Fusarium culmorum, dimana keduanya merupakan patogen pada
tanaman. DON merupakan suatu epoksi-sesquiter-penoid yang mempunyai 1 gugus hidroksil
primer dan 2 gugus hidroksil sekunder, serta gugus karbonil berkonjugasi yang
membedakannya dengan trikotesena tipe lain.
Keberadaan DON kadang-kadang disertai pula oleh mikotoksin lain yang dihasilkan
oleh Fusarium seperti zearalenon, nivalenol (dan trikotesena lain) dan juga fumonisin. DON
merupakan salah satu penyebab terjadinya mikotoksikosis pada hewan. DON merupakan
mikotoksin yang stabil secara termal, oleh karena itu sangat sulit untuk menghilangkannya
dari komoditi pangan yang rentan terkontaminasi senyawa ini, seperti pada gandum. DON
banyak terdapat pada tanaman biji-bijian seperti gandum, barley, oat, gandum hitam, tepung
jagung, sorgum, tritikalus dan beras. Pembentukan DON pada tanaman pertanian tergantung
pada iklim dan sangat bervariasi antar daerah dengan geografi tertentu.
Konsentrasi DON yang pernah dideteksi pada bahan pangan yaitu pada barley
mencapai 0,004 mg/kg -9 mg/kg, 0,003 mg/kg -3,7 mg/kg pada jagung, 0,004 mg/kg – 0,76
mg/kg pada oat, 0,006 mg/kg - 5 mg/kg pada beras, 0,013 mg/kg - 0,240 mg/kg pada gandum
hitam, dan 0,001 mg/kg -6 mg/kg pada gandum. Karena senyawa ini stabil, DON dapat pula
ditemukan pada produk sereal seperti sereal untuk sarapan, roti, mi instan, makanan bayi, malt
dan bir. Transfer DON dari pakan ternak ke dalam daging dan produk hewan lainnya sangat
rendah. Selain itu produk dari hewan ini tidak mempunyai kontribusi yang nyata terhadap
manusia.
Toksisitas akut DON diperlihatkan pada babi dengan gejala keracunan seperti muntah-
muntah, tidak mau makan, penurunan berat badan dan diare. Intoksikasi akut menyebabkan
nekrosis pada beberapa jaringan seperti saluran pencernaan, jaringan limfoid dan sumsum
tulang. Penelusuran subkronik secara oral pada beberapa hewan percobaan seperti babi,
mencit dan tikus juga menunjukkan terjadi penurunan asupan makan dan peningkatan berat
badan menjadi sangat lambat, serta terjadi perubahan pada beberapa parameter darah seperti
pada serum immunoglobin.
DON dapat dimetabolisme melalui de-epoksidasi dan glukuronidasi menjadi metabolit
yang tidak terlalu toksik serta mempunyai efek terhadap kesehatan setelah diberikan secara
tunggal, jangka pendek ataupun jangka panjang. Pada pemberian tunggal, efek toksikologinya
mempunyai 2 karakter yaitu menurunkan konsumsi makanan (anoreksia) dan muntah
(emesis). Selain itu, dapat mengganggu proses pembelahan sel dan merusak saluran
pencernaan.
Efek yang paling tampak dalam pemberian DON adalah menurunya pertumbuhan
hewan target. Pada dosis yang lebih tinggi akan berefek terhadap thymus, limpa dan hati.
Pada studi selama 2 tahun terhadap mencit, pemberian dengan dosis rendah (0,1 mg/kg
BB/hari) menyebabkan menurunnya berat badan. Namun hasil ini secara biologi tidak nyata,
karena tidak ada perubahan lain pada dosis ini, maka Observed Effect Level (NOEL)-nya
ialah 0,1 mg/kg BB/hari.
DON tidak mutagenik pada bakteri, namun pada studi in vivo dan in vitro ditemukan
adanya penyimpangan pada kromosom yang mengindikasikan DON genotoksik. Memiliki
sifat teratogenik tetapi tidak diturunkan. Hal ini berdasarkan studi pada mencit yang sedang
hamil yang diberi 5 mg/kg BB/hari DON secara gavage selama periode gestasi 8 hari -11 hari.
Namun saat diberi dosis 2,5 mg/kg BB/hari hal ini tidak berlaku. Jika DON ditambahkan pada
pakan, NOEL untuk toksisitas maternal dan toksisitas feto-nya ialah 0,38 mg/kg BB/hari.
Berdasarkan studi yang pernah dilakukan, DON dapat berefek tidak baik terhadat sistem
kekebalan tubuh. DON tidak menyebabkan efek karsinogen, mutagen ataupun teratogen
karena bukti ilmiahnya belum pernah ditemukan baik melalui percobaan hewan di
laboratorium maupun pada hewan target.
 Patulin
Patulin dihasilkan oleh Penicillium, Aspergillus, Byssochlamys, dan spesies yang
paling utama dalam memproduksi senyawa ini adalah Penicillium expansum. Toksin ini
menyebabkan kontaminasi pada buah, sayuran, sereal, dan terutama adalah apel dan produk-
produk olahan apel sehingga untuk diperlukan perlakuan tertentu untuk menyingkirkan
patulin dari jaringan-jaringan tumbuhan, contohnya adalah pencucian apel dengan cairan ozon
untuk mengontrol pencemaran patulin. Selain itu, fermentasi alkohol dari jus buah diketahui
dapat memusnahkan patulin. Patulin merupakan mikotoksin yang dapat mengkontaminasi
berbagai jenis buah (apel, anggur, pir), sayuran, jagung kering, sereal dan makanan ternak.
Sumber utama patulin yang membahayakan manusia terdapat pada apel dan jus apel, terutama
yang dibuat dengan pemerasan secara langsung. Produk lain yang mengandung apel seperti
selai, pie juga mengandung patulin dalam konsentrasi rendah. Cider manis juga dapat
mengandung patulin jika ke dalamnya ditambahkan jus apel. Patulin yang terdapat pada apel
busuk yang terkontaminasi oleh jamur dan juga pada cider apel manis yang diperjualbelikan
mencapai 45 mg/liter.
Pada studi akut dan jangka pendeknya, patulin menyebabkan hyperaemia, pendarahan,
peradangan dan pembengkakan pada saluran pencernaan. Berdasarkan studi toksisitas yang
telah dilakukan selama 13 minggu pada tikus yaitu 0,8 mg/kg BB/hari, menyebabkan
melemahnya fungsi ginjal. Selain itu, juga menyebabkan hyperaemia di duodenum pada
kelompok tikus yang diberi dosis menengah dan tinggi. Dua studi toksisitas reproduktif pada
tikus dan studi teratogenitas pada mencit dan tikus sudah dilakukan. Hasilnya tidak ada efek
reproduktif ataupun teratogenik yang terjadi pada mencit ataupun tikus pada dosis sampai 1,5
mg/kg BB/hari. Namun peningkatan frekuensi resorpsi fetal dan toksisitas maternal
ditemukan pada perlakuan dosis tinggi yang mengindikasikan patulin toksik pada embrio.
Pada tikus, dosis patulin yang diberikan pada umumnya akan hilang setelah 48 jam
pada feses maupun urin; dan kurang dari 2 % akan terekspirasi sebagai CO2; sekitar 2 % dari
dosis yang diberikan itu akan tetap ada setelah 7 hari, dan biasanya terdapat dalam eritrosit.
Kera ekor babi (Macaca nemestrina) dapat mentoleransi konsumsi patulin sampai 0,5
mg/kg BB/hari selama 4 minggu tanpa efek yag merugikan. Eksperimen in vitro dan in vivo
mengindikasikan bahwa patulin mempunyai sifat imunosupresan. Namun, dosis yang
menyebabkan efek ini, lebih tinggi daripada NOEL dalam studi toksisitas jangka pendek dan
studi gabungan antara toksistas reproduktif-toksisitas jangka panjang-studi karsinogenitas.
Meskipun terdapat data mengenai genotoksisitas, sebagian besar pengujian
menggunakan sel mamalia memberikan hasil positif sedangkan pengujian dengan bakteri
memberikan hasilnegatif. Beberapa studi mengindikasikan bahwa patulin mengganggu
sintesis DNA. Efek genotoksisitas berkaitan dengan kemampuan dan afinitas patulin yang
kuat dengan kelompok sulfidril dan akibatnya enzim yang terlibat dalam replikasi DNA
terhambat aktivitasnya. Dengan kata lain, dari data yang ada patulin merupakan senyawa
genotoksik. Toksisitas patulin yang terbentuk dengan sistein lebih rendah daripada senyawa
yang tidak dimodifikasi dalam hal toksisitas akut, teratogenitas dan mutagenitas.
Patulin yang diinjeksi dalam dosis tinggi selama lebih dari 2 bulan berefek
karsinogen,ditandai terbentuknya sarkoma pada lokasi injeksi. Pada studi jangka panjang
dengan dosis rendah, efek karsinogen ini tidak terjadi. Patulin juga bersifat immunotoksik dan
neurotoksik. IARC (1986) menyimpulkan tidak ada evaluasi yang dibuat mengenai
karsinogenitas patulin pada manusia dan tidak ada hasil percobaan terhadap hewan yang
mendukung. Berdasarkan studi jangka panjang mengenai karsinogenitas pada tikus dan
mencit, JECFA menetapkan PTWI sebesar 7 µg/kg BB.
Pada studi gabungan tentang toksisitas reproduktif, toksisitas jangka
panjang/karsinogenitas pada tikus, dosis patulin sebanyak 0,1 mg/kg BB/hari tidak
memberikan efek terhadap penurunan berat badan pada tikus jantan. Namun patulin yang
diberikan 3 kali seminggu selama 24 bulan mempunyai NOEL 43 µg/kg BB/hari.
Berdasarkan studi-studi yang pernah dilakukan, patulin akan memberikan hasil sensitif
jika diberikan sebanyak 3 kali per minggu; dan ini menghasilkan PTWI yang berubah menjadi
PMTDI; hal ini disebabkan karena patulin tidak terakumulasi dalam tubuh. Berdasarkan pada
nilai NOEL 43 µg/kg BB/hari dan nilai safety factor 100, nilai PMTDI yang didapat ialah
0,4 µg/kg BB.
Patulin dapat menyebabkan hyperaemia, pendarahan, peradangan dan pembengkakan
pada saluran pencernaan; selain itu juga karena afinitasnya yang kuat dengan kelompok
sulfidril; patulin dapat menghambat enzim yang terlibat dalam replikasi DNA sehingga proses
sintesis DNA terganggu. Patulin dalam dosis tinggi berefek karsinogen. Patulin juga bersifat
immunotoksik dan neurotoksik.
Pencegahan dan Penanganan Mikotoksin
Upaya pencegahan dan penanganan mitotoksin dapat dilakukan dengan beberapa cara
diantaranya sebagai berikut :
1. Melakukan pemeriksaan kualitas bahan baku secara rutin, terutama saat kedatangan
bahan baku atau ransum dan pastikan kadar air tidak terlalu tinggi guna menekan
pertumbuhan jamur.
2. Saat kondisi tidak baik, terutama musim penghujan, tambahkan mold inhibitors
(penghambat pertumbuhan jamur) seperti asam organic atau garam dan asam organic
tersebut. Asam propionate merupakan mold inhibitors yang paling sering digunakan.
3. Membuang bahan baku yang telah terkontaminasi jamur dengan konsentrasi tinggi,
mengingat mitotoksin ini sifatnya sangat stabil.
 Pengendalian Terpadu Kontaminasi Mitotoksin
Kontaminasi mikotoksin dapat dikendalikan secara terpadu dengan menerapkan Good
Agricultural Practices (GAP) dan Good Manufacturing Practices (GMP) yang dilaksanakan
pada prapanen, saat panen, dan pascapanen dengan kontrol kualitas yang memadai.
Pengendalian prapanen dilakukan melalui pemilihan varietas resisten, pengendalian serangga
dan gulma secara mekanik atau dengan menggunakan fungisida dan herbisida secara benar,
rotasi tanaman, irigasi dan pengaturan kondisi tanah, serta kontrol biologis. Saat panen yang
tepat dengan menggunakan peralatan yang bersih dari kapang penghasil mikotoksin dan
serangga dapat mencegah kontaminasi mikotoksin. Pengendalian pascapanen dilakukan
dengan pemisahan produk secara fisik, pencucian untuk produk pertanian tertentu dan
pengenceran, pengeringan, penyimpanan, penggunaan bahan kimia dan bahan pengikat,
penggunaan bahan alami, zat gizi dan vitamin, pemanfaatan mikroba, pemanasan dan radiasi.
Konsep pengendalian terpadu dapat diterapkan dengan melalui kerjasama yang baik antara
petani, pemerintah dan produsen pangan. Peran aktif dari produsen pangan sangat dibutuhkan
untuk memberikan insentif yang layak, sehingga petani termotivasi untuk menghasilkan
bahan baku yang bermutu. Pemerintah, melalui institusi terkait melakukan pengawasan mutu
setiap produk pangan yang dihasilkan. Melalui teknik deteksi yang mudah dan murah
pengendalian mikotoksin dapat dilakukan secara cepat. Dengan demikian, akan dapat
dihasilkan produk pangan yang memenuhi persyaratan keamanan (Maryam, 2006).
 Penggunaan Bahan Alami, Zat Gizi dan Vitamin
Beberapa bahan alami seperti bawang putih, kunyit dan ekstrak daun sambiloto efektif
menurunkan konsentrasi aflatoksin pada pakan dan mencegah aflatoksikosis pada unggas.
Begitu pula senyawa-senyawa yang terdapat dalam kopi, strawberi, teh, lada, anggur, kunyit,
bawang putih, kol, dan bawang-bawangan diketahui dapat mencegah efek negatif mikotoksin
(Galvano et al., 2001). Zat gizi, seperti metionin dapat mempertahankan penampilan ternak
yang pakannya tercemar aflatoksin. Hal ini terjadi karena proses detoksifikasi aflatoksin di
dalam tubuh (terutama organ hati) memerlukan glutation, dimana metionin diperlukan untuk
pembentukan glutation tersebut (Mobiuddin, 2000).
Enzim juga dapat menginaktivasi mikotoksin dalam tubuh pada proses metabolisme
mikotoksin, seperti enzim esterase yang dapat memecah cincin lakton dari zearalenon .
Enzim lainnya seperti epoksidase dapat memecah grup epoksi 12 dan 13 dari senyawa
trikotesena (toksin T-2, deoksinivalenol, nivalenol dan diasetoksiskirfenol) pada proses
metabolisme di dalam tubuh, sehingga dihasilkan metabolit yang tidak toksik yang kemudian
diekskresikan ke luar tubuh (Riley & Norred, 1998). Vitamin C (1000 mg/kg diet)
mempunyai daya proteksi terhadap efek hepatotoksin aflatoksin pada marmut (Galvano et
al., 2001), sedangkan vitamin E yang bersifat antioksidan dapat menanggulangi prooksidatif
dari okratoksin yang ditandai dengan penurunan konsentrasi malondialdehid yang terbentuk
di hati pada dosis 1000 lU/kg diet dan toksin T-2 pada ayam (Hoehler & Marquardt, 1996).
Kedua vitamin tersebut merupakan senyawa antioksidan (scavenger anion superoksida) yang
berpotensi mengurangi pengaruh mikotoksin.
 Penggunaan Mikroba
Penggunaan mikroba merupakan salah satu alternatif untuk menurunkan mikotoksin
pada bahan pangan/pakan atau untuk meminimalkan efek mikotoksin. Proses biodegradasi
dengan menggunakan berbagai jenis mikroba dilaporkan dapat menurunkan kandungan
mikotoksin secara in vitro dan in vivo. Kultur ragi (yeast cell wall), dan Saccharomyces
cerevisiae juga banyak digunakan sebagai pengikat mikotoksin pada bahan pakan. Modifikasi
manan dan glukan yang terdapat dalam dinding sel S. cerevisiae dapat mengikat aflatoksin
>90%, zearalenon >77%, fumonisin 59% dan deoksinivalenol 12% (Trenholm et al., 1994).
Selain itu, kedua komponen tersebut memiliki sifat immunomodulator. Nukleotida yang
terkandung dalam S. cerevisiae juga dapat memperbaiki kerusakan sel akibat mikotoksin
(Savage et al., 1996).
Daftar Pustaka
Bahri, S., Ohim, Maryam, R. 1995. Residu aflatoksin M1 pada susu sapi dan hubungannya
dengan keberadaan afaltoksin M1 pada pakan sapi. Kumpulan Makalah Lengkap
Kongres Nasional Perhimpunan Mikologi Kedokteran Manusia dan Hewan Indonesia I
dan Temu Ilmiah, Bogor. 21-24 Juli 1994. 269-275.

Bhat, R.V. dan Miller, J.D. 1991. Mycotoxins and Food Supply. FAO, Food, Nutrition and
Agriculture, 1: 27-31.

Cole, R.J. dan Cox, R.H. 1981. Handbook of Toxic Fungal Metabolites. Academic press, New
York.
Galvano, F., Piva, A.. Ritieni, A., dan Galvano, G. 2001. Dietary Strategies to Counteract the
Effects of Mycotoxins. J . Food Protect. 64(l) : 120 – 131.
Hoehler, D. dan Marquardt, R.R. 1996. Influence of vitamine E and C on the toxic effects of
ochratoxin A and T-2 toxin in chicks. Poult. Sci. 75(12) : 1508- 1515.
Kuiper-Goodman, T. 1996. Risk assessment of ochratoxin A: An update. Food.
Addit.Contam. 13 (Suppl) : 553-557.
Lewis, L., Onsongo, M., Njapau, H., Rogers, H.S., Luber, G., dan Kieszak, S. 2005. Aflatoxin
contamination of commercial maize products during an outbreak of acute aflatoxicosis
in Eastern and Central Kenya. Environ Health Perspect 113: 1763 – 1767.
Maryam, R. 2000. Fumonisin: Kelompok Mikotoksin Fusarium yang Perlu
Diwaspadai. Jurnal Mikologi Kedokteran Indonesia 1(1): 51-57.
Maryam, R. 2002. Mikotoksin dan Mikotoksikosi. Makalah Falsafah Sains. Institut Pertanian
Bogor Press, Bogor.
Maryam, R. 2016. Pengendalian Terpadu Kontaminasi Mikotoksin. Wartazoa 16 (1) : 20 – 30.
Maryam, R., Nehat, H., Firmansyah, R., Djuariah, S., dan Miharja. 2001. Efektivitas natrium
kalsium aluminosilikat hidrat dalam penurunan residu aflatoksin pada daging dan hati
ayam broiler. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor,
17-18 September 2001. 708 – 715.
Maryam, Romsyah. 1996. Residu Aflatoksin dan Metabolitnya dalam daging dan Hati Ayam.
Prosiding Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner, Bogor. 236-339.
Miller, J.D., Savard, M.E., Sabilia, A., Rapior, S., Hocking, A.D, dan Pitt, J.I. 1993.
Production of fumonisins and fusarins by Fusarium moniliforme from South East
Asia. Mycologia 85 (3): 385-391.
Miskiyah, Christina, W., dan Wisnu, B. 2010. Kontaminasi Mikotoksin pada Buah Segar dan
Produk Olahannya serta Penanggulangannya. Jurnal Litbang Pertanian 29 (3) : 79 –
85.
Mobiuddin, S.M. 2000. Handling Mycotoxin in Contaminated Feedstuffs. Poult Int. June : 46
- 52.
Rahayu, W.P. 2006. Mikotoksin dan Mikotoksis: Mikrobiologi Keamanan Pangan.
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor.
Riley, R.T. dan Norred, W.P. 1998 . Mycotoxin prevention and decontamination- A case
study on maize. Agricultural Research Service : 25-32.
Savage, T.F., Cotter, P.F. dan Zakrzewska, E.I. 1996. The effect of feeding a
mannanoligosaccharide on immunoglobulins, plasma IgG and bile IgA of Wrolstad
MW male turkeys . Poult. Sci . 75 (I) : 129 - 135.
Sudjadi, S., Machmud, M., Damardjati, D.S., Hidayat, A., Widowati, S., DAN Widiati, A.
1999. Aflatoxin research in Indonesia. Elimination of Aflatoxin Contamiation in
Peanut. Australian Centre for International Agricultural Research : 23-25
Trenholm, L., Steward, B., Underiiill, L., dan Prelusky, D. 1994 . Ability of graingard to bind
zearalenon and vomitoxin in vitro . Poster presentation at the 10`h Annual Symposium
on Biotechnology in Feed Industry. Alltech Inc., Nicholasville, Kentucky, USA.
Yenny. 2006. Aflatoksin dan Aflatoksikosis pada Manusia. Universa Medicina 25 (1) : 41 –
51.

Anda mungkin juga menyukai