Pangan merupakan kebutuhan esensial bagi setiap makhluk hidup, termasuk manusia,
yang digunakan untuk pertumbuhan maupun mempertahankan hidup. Di sisi lain, pangan juga
merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme pada bahan
pangan dapat memberikan efek yang menguntungkan, seperti perbaikan gizi pada bahan
pangan, daya cerna, ataupun daya simpannya. Namun, pertumbuhan mikroorganisme juga
dapat mengakibatkan perubahan fisik dan kimia yang tidak diinginkan. Kualitas makanan atau
bahan makanan di alam ini tidak terlepas dari kondisi lingkungan, yang dapat menyebabkan
layak atau tidaknya suatu makanan untuk dikonsumsi. Berbagai bahan pencemar dapat
terkandung di dalam makanan karena penggunaan bahan baku pangan yang terkontaminasi. Di
antara kontaminan yang sering ditemukan adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang
(Maryam 2002).
Penicillium verrucosum
(sumber: Wikipedia)
Aflatoksin merupakan senyawa metabolit sekunder yang bersifat toksik, diproduksi oleh
jamur Aspergillus flavus dan A. parasiticus (Agustina dalam Horn et al. 2000). Senyawa utama
alfatoksin yaitu AfB1, AfB2, AfG1, dan AfG2 dan aflatoksin M1 dan M2 yang merupakan
turunan aflatoksin B1 dan B2. Pada jamur A. flavus umumnya memproduksi aflatoksin B1 dan
B2 (AFB1 dan AFB2) Sedangkan A. parasiticus memproduksi AFB1, AFB2, AFG1, dan
AFG2 pada kondisi lingkungan yang mendukung. Kedua cendawan tersebut hidup optimal
pada suhu 36-38 °C dan menghasilkan toksin maksimum pada suhu 25-27 °C. Pertumbuhan
cendawan penghasil aflatoksin biasanya dipicu oleh humiditas/kelembaban.
Diantara keempat jenis aflatoksin tersebut AFB1 memiliki efek toksik yang paling tinggi.
Mikotoksin ini bersifat karsinogenik, hepatatoksik dan mutagenik. karsinogenik dikategorikan
sebagai gol 1A. Selain itu, aflatoksin juga bersifat immunosuppresif yang dapat menurunkan
sistem kekebalan tubuh. Alfatoksin sering ditemukan pada produk pertanian seperti (Jagung,
biji kapok, kacang, kedelai), pada peternakan seperti (ayam, telur, susu) dan hasil olahan seperti
(oncom, tempe, kacang goreng, bumbu kacang, kecap dan ikan asin).
Perubahan patologi anatomi yang dapat di akibatkan oleh aflatoksin adalah: hati dan
limpa membesar, radang dan pembengkakan pada duodenum. Hati terlihat pucat akibat
penimbunan lemak dan perdarahan berbentuk titik-titik. Jaringan limfoid (bursa Fabricius dan
tymus) mengecil. Ginjal dan kantung empedu biasanya membesar dan terjadi perdarahan usus.
Lemak pada ampela dan lemak tubuh yang lain berlebihan. Pada kasus kronis kronis, hati
mengecil, keras dan terdapat nodula berisi getah empedu. Sudjadi et al (1999) melaporkan
bahwa 80 diantara 81 orang pasien (66 orang pria dan 15 orang wanita) menderita kanker hati
karena mengkonsumsi oncom, tempe, kacang goreng, bumbu kacang, kecap dan ikan asin.
AFB1, AFG1, dan AFM1 terdeteksi pada contoh liver dari 58 % pasien tersebut dengan
konsentrasi diatas 400 µg/kg.
2. Citrinin
(sumber: Wikipedia)
Citrinin adalah mikotoksin yang diproduksi oleh beberapa spesies genus Aspergillus,
Penicillium dan Monascus. Beberapa jamur penghasil citrinin juga mampu menghasilkan
mycotoxins ochratoxin A atau patulin. Citrinin umumnya terbentuk setelah kondisi panen dan
terutama terjadi pada biji-bijian seperti (jagung, beras, gandum, barley, dan gandum hitam).
Selain pada biji-bijian citrinin juga terjadi pada produk lain dari asal tumbuhan misalnya
kacang, buah-buahan, jus buah dan sayuran, bumbu dan rempah-rempah dan juga produk susu.
3. Ergot alkaloid
(sumber: Wikipedia)
Ergot alkaloid adalah mikotoksin yang diproduksi oleh berbagai jenis cendawan,
namun yang utama adalah golongan Clavicipitaceae. Ergot Alkaloid turunan dari 6,8-
dimethylergoline dan turunan asam lisergat Ergot alkaloid ini terjadi pada gandum dan
hewan ternak. Pada hewan ternak, ergot alkoloid dapat menyebabkan tall fescue
toxicosis yang ditandai dengan penurunan produksi susu, kehilangan bobot tubuh,
dan fertilitas menurun (Wikipedia, 2018).
Ergotisme adalah nama sindrom patologis yang mempengaruhi manusia atau hewan
lain yang telah menelan bahan tanaman mengandung ergot alkaloid, seperti biji-bijian yang
terkontaminasi ergot. Ada dua jenis ergotism, yang pertama ditandai dengan kejang otot,
demam dan halusinasi dan atau memiliki bentuk lain dari kelumpuhan atau tremor. Hal ini
disebabkan oleh stimulasi serotonergik dari sistem saraf pusat oleh beberapa alkaloid.
Contoh gambar tanaman terserang ergot
(sumber:Wikipedia)
4. Fumonisin
(sumber: Wikipedia)
Fumonisin bersifat sangat toksik terhadap kuda dan keledai dan menyebabkan
nekrosis di otak (leucoencephalomalacia= LEM). Kedua penyakit ini melibatkan
metabolisme sphingolipid terganggu dan disfungsi kardiovaskular. Disamping itu juga
menyebabkan kanker hati pada tikus dan gangguan saluran pernafasan pada babi (porcine
pulmonary edema= PPE). Kejadian LEM dilaporkan terjadi di Afrika Selatan dan Cina
(MARASAS, 2001). Fumonisin khususnya B1 bersifat hepatotoksik dan nefrotoksik pada
semua spesies hewan. Perubahan histologis paling awal yang muncul di hati atau ginjal
hewan.
(sumber: Wikipedia)
5. Ochratoksin A
(sumber: Wikipedia)
Struktur Ochratoxin A
Ochratoxin dihasilkan oleh cendawan dari genus Aspergillus, dan Penicillium. Ada
berbagai tipe ochratoxin yaitu Ochratoxin A, Ochratoxin B, Methylester Ochratoxin dan
Ochratoxin C. Ochratoxin A yang paling banyak ditemukan karena stabil terhadap perubahan
suhu dan sangat beracun. Kapang penghasil okratoksin A antara lain adalah Aspergillus
alliaceus, A. melleus, A. ostianus, A. petrakii, A. sclerotiorum, A. sulphureus, A. fumigatus,
A. versicolor, A. carbonarius, A. niger, A. ochraceus, P. verrucosum ( Drush dan Ragab 2003),
dan P. Viridicatum (Maryam 2002). Jenis jamur Aspergillus menghasilkan ochratoxin hanya
pada kadar kelembaban relatif dan suhu yang tinggi, sedangkan species Penicillium tertentu
dapat menghasilkan ochratoxin pada suhu yang lebih rendah, bahkan pada suhu 5ºC
Okratoksin A (OA) mengandung 7-carboxy -5- chloro -8- hydroxyi- 3,4 -dyhidro-3 R-
metthylisocoumarine, mempunyai aktivitas imunosupresif, menghambat glukoneogenesis
pada ginjal (Steyn dan Vleggaar 1989), nepropati, tumor ginjal (Hsieh 1989), dan karsinogenik
(Maryam 2002). Okratoksin A diketahui sebagai penyebab keracunan ginjal pada manusia
maupun hewan, dan juga diduga bersifat karsinogenik. Secara alami A. ochraceus terdapat pada
tanaman yang mati atau busuk, juga pada biji-bijian, kacang-kacangan dan buah-buahan. Selain
A.ochraceus, OA juga dapat dihasilkan oleh Penicillium viridicatum (Kuiper-Goodman, 1996)
yang terdapat pada biji-bijian di daerah beriklim sedang (temperate), seperti pada gandum di
eropa bagian utara.
Okratoksin OA juga ditemukan pada berbagai produk ternak seperti daging babi dan
daging ayam. Hal ini karena OA bersifat larut dalam lemak sehingga dapat tertimbun di bagian
daging yang berlemak. Manusia dapat terekspose OA melalui produk ternak yang dikonsumsi.
Perubahan patologi anatomi yang dapat disebabkan oleh Okratoksin adalah hati membesar,
warna pucat disertai perdarahan, ginjal pucat dan peradangan usus. Pada kasus akut, ginnjal
mengalami nephrosis. Pada kasus kronis, racun menurunkan fungsi tubuh yang berkenaan
dengan fungsi ginjal, namun tidak ada luka yang terlihat. Ochratoxin A menimbulkan efek
imonosupresi (thymus mengecil) sehingga kekebalan sel humoral terganggu.
(sumber: Wikipedia)
Penelitian telah banyak dilakukan untuk mengetahui efek negatif patulin terhadap
kesehatan. Percobaan pada hewan uji menunjukkan bahwa patulin menyebabkan gejala
toksikosis pada paru-paru dan otak, serta kerusakan hati dan ginjal (Llewelly et.al.,1998).
Pada manusia dilaporkan terjadinya gejala-gejala seperti mual, gangguan pencernaan, dan
muntah. Sumber lain menyebutkan bahwa simtom penyakit yang disebabkan oleh patulin
termasuk gangguan syaraf, kejang, paru-paru, oedema, sakit pencernaan dan intestinal
haemorrhage. Patulin juga mempunyai efek genotoksik, neurotoksik, imunotok-sis,
imunosuppressive, teratogenik, dan karsinogenik (Sant’Ana et.al.,2008).
Gambar Kontaminasi Patulin Pada Buah Apel (Sumber Jurnal Litbang Pertanian)
7. Trichothecenes
(sumber: Wikipedia)
8. Zearalenone
(sumber: Wikipedia)
Hingga saat ini paling sedikit terdapat 6 macam turunan zearalenon, diantara nya α-
zearalenol yang memiliki aktivitas estrogenik 3 kali lipat daripada senyawa induknya. Senyawa
turunan lainnya adalah 6,8-dihidroksizearalenon, 8-hidroksizearalenon, 3-hidroksizearalenon,
7-dehidrozearalenon, dan 5- formilzearalenon. Komoditas yang banyak tercemar zearalenon
adalah jagung, gandum, kacang kedelai, beras dan serelia lainnya.
Kerugian yang besar akibat kontaminasi mikotoksin ini memaksa petani melakukan
berbagai upaya untuk mencegahnya. Saat jamur telah tumbuh pada bahan baku ransum maka
bisa dipastikan mikotoksin telah terbentuk. Beberapa langkah pencegahan yang bisa kita
lakukan ialah : (Setiarto, 2010)
Sumber : selfmixing.blogspot.com)
Beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk menekan efek mikotoksin ini antara lain :
(Setiarto,2010)
Rangkuman
Dari lebih dari 100.000 spesies fungi (jamur) yang diketahui, hanya beberapa yang
dapat memproduksi mikotoksin. Beberapa fungi (jamur) yang diketahui dapat menghasilkan
mikotoksin yang sangat berbahaya di bidang pertanian dan peternakan adalah Fusarium,
Aspergillus, dan Penicilium sp. Banyak mikotoksin yang dapat menyebabkan berbagai
penyakit pada manusia melalui makanan, salah satunya Aflatoksin merupakan senyawa
karsinogenik yang dapat memicu timbulnya kanker liver pada manusia karena konsumsi susu,
daging, atau telur yang terkontaminasi dalam jumlah tertentu
Dapus
Sant’ Ana, A.S., A. Rosenthal and P.R. de Massaguer. 2008. The fate of patulin in apple juice
process-ing: a review. Food Research International41: 441-453
Drusch, S and W. Ragab. 2003. Mycotoxin in Fruits and Fruits Juices and Dried Fruits.
Journal of Food Protection8: 1514-1527
Llewelly, G.C.; J.A. McCay; R.D.Brown; D.L. Mus-grove; L.F. Butterworth; A.E. Munson;
dan K.L. White. 1998. Immunological Evaluation of the Mycotoxin Patulin in Female B6C3F
(1) Mice. Food. Chem. Toxicol. 36 : 1007 – 1115
Steyn, P.S. and R. Vleggaar. 1989. Recent advances on the chemistry of mycotoxins. In S.
Natori, K. Hashimoto, and Y. Ueno (Eds.). Mycotoxins and Phycotoxins’88. ACollections on
Invited Paper Presented at the Seventh International IUPAC Sympo-sium on Mycotoxins and
Phycotoxins, Tokyo, 16 18 August 1988. Elsevier, Amsterdam.
Blanc PJ, Laussac JP, Le Bars J, Le Bars P, Loret MO, Pareileux A, Prome D, Prome JC,
Santerre AL, Goma G. 1995. Characterization of monascidin A from Monascus as
citrinin. Int J Food Microbiol 27: 201-213.
Cole R.J., Cox R.H (Eds.). 1981. Handbook of Toxic Fungal Metabolites. Academic press,
New York, pp 1850
Horn, B.W., R.L. Greene, and J.W. Dorner. 2000. Inhibition of aflatoxin B1 production by
Aspergillus parasiticus using nonaflatoxigenic strains: role of vegetative
compatibility. Biological Control, 17, 147–154.
Maryam R. 2000a. Fumonisin: Kelompok mikotoksin fusarium yang perlu diwaspadai. Jurnal
Mikologi Kedokteran Indonesia (Indonesian Journal of Medical Mycology), 1(1): 51-
57.
Sudjadi S. Machmud M., Damardjati, D.S., Hidayat, A., widowati, S., Widiati, A. 1999.
Aflatoxin research in Indonesia. Elimination of Aflatoxin Contamiation in Peanut.
Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra, pp.23-25.