Anda di halaman 1dari 16

MIKOTOKSIKOSIS

Pangan merupakan kebutuhan esensial bagi setiap makhluk hidup, termasuk manusia,
yang digunakan untuk pertumbuhan maupun mempertahankan hidup. Di sisi lain, pangan juga
merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme pada bahan
pangan dapat memberikan efek yang menguntungkan, seperti perbaikan gizi pada bahan
pangan, daya cerna, ataupun daya simpannya. Namun, pertumbuhan mikroorganisme juga
dapat mengakibatkan perubahan fisik dan kimia yang tidak diinginkan. Kualitas makanan atau
bahan makanan di alam ini tidak terlepas dari kondisi lingkungan, yang dapat menyebabkan
layak atau tidaknya suatu makanan untuk dikonsumsi. Berbagai bahan pencemar dapat
terkandung di dalam makanan karena penggunaan bahan baku pangan yang terkontaminasi. Di
antara kontaminan yang sering ditemukan adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang
(Maryam 2002).

Mikotoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spesies kapang


tertentu selama pertumbuhannya pada bahan pangan maupun pakan (Agustina et al dalam Fox
dan Cameron 1989). Mikotoksin mulai dikenal sejak ditemukannya aflatoksin yang
menyebabkan Turkey X –disease pada tahun 1960 (Maryam 2002). Penyakit yang disebabkan
karena adanya pemaparan mikotoksin disebut mikotoksikosis. Lebih dari 100.000 spesies fungi
(jamur) yang diketahui, hanya beberapa yang dapat memproduksi mikotoksin. Diketahui pula
bahwa 1 spesies fungi dapat menghasilkan lebih dari 1 jenis mikotoksin. Hingga saat ini telah
dikenal 300 jenis mikotoksin (Cole dan Cox 1981), beberapa diantaranya yaitu Aflatoksin,
Citrinin, Ergot alkaloid, Fumonisin, Ochratoksin A, Patulin, Trichothecenes, dan Zearalenone.
Gambar tabel mikotoksin pada bahan pangan

Mikotoksin Jamur yang memproduksi Bahan yang sering terkontaminasi

Aflatoksin Aspergillus flavus Jagung, biji kapok, kacang,


Aspergillus parasiticus kedelai

Citrinin Penicillium citrinum jagung, beras, gandum, barley,


Spesies monascus dan gandum hitam

Ergot alkaloid Claviceps purpurea Gandum, hewan ternak

Fumonisin Fusarium verticilloides jagung


Fusarium graminearum

Ochratoksin A Aspergillus ochraceus Gandum, barley,oats, jagung, dll


Aspergillus nigri

Penicillium verrucosum

Patulin Fusarium miniliformin Jagung

Trichothecenes Fusarium graminiearum Jagung, gandum, barley


Fusarium culmorum

Zearalenone Fusarium graminearum Jagung, gandum, barley, rumput


1. Aflatoksin

(sumber: Wikipedia)

Struktur kimia Alfatoksin B1

Aflatoksin merupakan senyawa metabolit sekunder yang bersifat toksik, diproduksi oleh
jamur Aspergillus flavus dan A. parasiticus (Agustina dalam Horn et al. 2000). Senyawa utama
alfatoksin yaitu AfB1, AfB2, AfG1, dan AfG2 dan aflatoksin M1 dan M2 yang merupakan
turunan aflatoksin B1 dan B2. Pada jamur A. flavus umumnya memproduksi aflatoksin B1 dan
B2 (AFB1 dan AFB2) Sedangkan A. parasiticus memproduksi AFB1, AFB2, AFG1, dan
AFG2 pada kondisi lingkungan yang mendukung. Kedua cendawan tersebut hidup optimal
pada suhu 36-38 °C dan menghasilkan toksin maksimum pada suhu 25-27 °C. Pertumbuhan
cendawan penghasil aflatoksin biasanya dipicu oleh humiditas/kelembaban.

Diantara keempat jenis aflatoksin tersebut AFB1 memiliki efek toksik yang paling tinggi.
Mikotoksin ini bersifat karsinogenik, hepatatoksik dan mutagenik. karsinogenik dikategorikan
sebagai gol 1A. Selain itu, aflatoksin juga bersifat immunosuppresif yang dapat menurunkan
sistem kekebalan tubuh. Alfatoksin sering ditemukan pada produk pertanian seperti (Jagung,
biji kapok, kacang, kedelai), pada peternakan seperti (ayam, telur, susu) dan hasil olahan seperti
(oncom, tempe, kacang goreng, bumbu kacang, kecap dan ikan asin).

Perubahan patologi anatomi yang dapat di akibatkan oleh aflatoksin adalah: hati dan
limpa membesar, radang dan pembengkakan pada duodenum. Hati terlihat pucat akibat
penimbunan lemak dan perdarahan berbentuk titik-titik. Jaringan limfoid (bursa Fabricius dan
tymus) mengecil. Ginjal dan kantung empedu biasanya membesar dan terjadi perdarahan usus.
Lemak pada ampela dan lemak tubuh yang lain berlebihan. Pada kasus kronis kronis, hati
mengecil, keras dan terdapat nodula berisi getah empedu. Sudjadi et al (1999) melaporkan
bahwa 80 diantara 81 orang pasien (66 orang pria dan 15 orang wanita) menderita kanker hati
karena mengkonsumsi oncom, tempe, kacang goreng, bumbu kacang, kecap dan ikan asin.
AFB1, AFG1, dan AFM1 terdeteksi pada contoh liver dari 58 % pasien tersebut dengan
konsentrasi diatas 400 µg/kg.

Contoh gambar akibat alfatoksin

Kasus “blood spot” karena Bintik-bintik putih pada paru-paru


aflatoksin (sumber: WATT Poultry) karena serangan spora Aspergillus
(Sumber: ThePoultrySite)

2. Citrinin

(sumber: Wikipedia)

Struktur kimia Citrinin

Citrinin adalah mikotoksin yang diproduksi oleh beberapa spesies genus Aspergillus,
Penicillium dan Monascus. Beberapa jamur penghasil citrinin juga mampu menghasilkan
mycotoxins ochratoxin A atau patulin. Citrinin umumnya terbentuk setelah kondisi panen dan
terutama terjadi pada biji-bijian seperti (jagung, beras, gandum, barley, dan gandum hitam).
Selain pada biji-bijian citrinin juga terjadi pada produk lain dari asal tumbuhan misalnya
kacang, buah-buahan, jus buah dan sayuran, bumbu dan rempah-rempah dan juga produk susu.

Citrinin tidak mempengaruhi kekebalan seluler dan humoral, citrinin merupakan


mikotoksin yang bersifat nefrotoksik dan hepatotoksik, karena menyebabkan kerusakan fungsi
dan struktur ginjal serta fungsi dan perubahan metabolisme di hati (Blanc et al. 1995). Selain
pada manusia citrine juga menyerang unggas, unggas yang terserang akan mengkonsumsi air
minum berlebihan sehingga menyebabkan diare. Penularan penyakit dapat terjadi karena
ternak mengkonsumsi ransum atau litter kandang yang tercemar Mikotoksin.

3. Ergot alkaloid

(sumber: Wikipedia)

Struktur kimia ergot alkaloid

Ergot alkaloid adalah mikotoksin yang diproduksi oleh berbagai jenis cendawan,
namun yang utama adalah golongan Clavicipitaceae. Ergot Alkaloid turunan dari 6,8-
dimethylergoline dan turunan asam lisergat Ergot alkaloid ini terjadi pada gandum dan
hewan ternak. Pada hewan ternak, ergot alkoloid dapat menyebabkan tall fescue
toxicosis yang ditandai dengan penurunan produksi susu, kehilangan bobot tubuh,
dan fertilitas menurun (Wikipedia, 2018).

Ergotisme adalah nama sindrom patologis yang mempengaruhi manusia atau hewan
lain yang telah menelan bahan tanaman mengandung ergot alkaloid, seperti biji-bijian yang
terkontaminasi ergot. Ada dua jenis ergotism, yang pertama ditandai dengan kejang otot,
demam dan halusinasi dan atau memiliki bentuk lain dari kelumpuhan atau tremor. Hal ini
disebabkan oleh stimulasi serotonergik dari sistem saraf pusat oleh beberapa alkaloid.
Contoh gambar tanaman terserang ergot

(sumber:Wikipedia)

4. Fumonisin

(sumber: Wikipedia)

Struktur kimia Fumonisin

Fumonisin merupakan mikotoksin yang diproduksi oleh Fusarium


verticilloides dan F. proliferatum yang sering mengontaminasi jagung. Namun, selain
kedua spesies tersebut masih banyak cendawan yang dapat menghasilkan fumonisin. Toksin
jenis ini stabil dan tahan pada berbagai proses pengolahan jagung sehingga dapat
menyebabkan penyebaran toksin pada dedak, kecambah, dan tepung jagung.

Fumonisin bersifat sangat toksik terhadap kuda dan keledai dan menyebabkan
nekrosis di otak (leucoencephalomalacia= LEM). Kedua penyakit ini melibatkan
metabolisme sphingolipid terganggu dan disfungsi kardiovaskular. Disamping itu juga
menyebabkan kanker hati pada tikus dan gangguan saluran pernafasan pada babi (porcine
pulmonary edema= PPE). Kejadian LEM dilaporkan terjadi di Afrika Selatan dan Cina
(MARASAS, 2001). Fumonisin khususnya B1 bersifat hepatotoksik dan nefrotoksik pada
semua spesies hewan. Perubahan histologis paling awal yang muncul di hati atau ginjal
hewan.

Contoh gambar terserang Fumonisin

(sumber: Wikipedia)

5. Ochratoksin A

(sumber: Wikipedia)

Struktur Ochratoxin A

Ochratoxin dihasilkan oleh cendawan dari genus Aspergillus, dan Penicillium. Ada
berbagai tipe ochratoxin yaitu Ochratoxin A, Ochratoxin B, Methylester Ochratoxin dan
Ochratoxin C. Ochratoxin A yang paling banyak ditemukan karena stabil terhadap perubahan
suhu dan sangat beracun. Kapang penghasil okratoksin A antara lain adalah Aspergillus
alliaceus, A. melleus, A. ostianus, A. petrakii, A. sclerotiorum, A. sulphureus, A. fumigatus,
A. versicolor, A. carbonarius, A. niger, A. ochraceus, P. verrucosum ( Drush dan Ragab 2003),
dan P. Viridicatum (Maryam 2002). Jenis jamur Aspergillus menghasilkan ochratoxin hanya
pada kadar kelembaban relatif dan suhu yang tinggi, sedangkan species Penicillium tertentu
dapat menghasilkan ochratoxin pada suhu yang lebih rendah, bahkan pada suhu 5ºC

Okratoksin A (OA) mengandung 7-carboxy -5- chloro -8- hydroxyi- 3,4 -dyhidro-3 R-
metthylisocoumarine, mempunyai aktivitas imunosupresif, menghambat glukoneogenesis
pada ginjal (Steyn dan Vleggaar 1989), nepropati, tumor ginjal (Hsieh 1989), dan karsinogenik
(Maryam 2002). Okratoksin A diketahui sebagai penyebab keracunan ginjal pada manusia
maupun hewan, dan juga diduga bersifat karsinogenik. Secara alami A. ochraceus terdapat pada
tanaman yang mati atau busuk, juga pada biji-bijian, kacang-kacangan dan buah-buahan. Selain
A.ochraceus, OA juga dapat dihasilkan oleh Penicillium viridicatum (Kuiper-Goodman, 1996)
yang terdapat pada biji-bijian di daerah beriklim sedang (temperate), seperti pada gandum di
eropa bagian utara.

Okratoksin OA juga ditemukan pada berbagai produk ternak seperti daging babi dan
daging ayam. Hal ini karena OA bersifat larut dalam lemak sehingga dapat tertimbun di bagian
daging yang berlemak. Manusia dapat terekspose OA melalui produk ternak yang dikonsumsi.
Perubahan patologi anatomi yang dapat disebabkan oleh Okratoksin adalah hati membesar,
warna pucat disertai perdarahan, ginjal pucat dan peradangan usus. Pada kasus akut, ginnjal
mengalami nephrosis. Pada kasus kronis, racun menurunkan fungsi tubuh yang berkenaan
dengan fungsi ginjal, namun tidak ada luka yang terlihat. Ochratoxin A menimbulkan efek
imonosupresi (thymus mengecil) sehingga kekebalan sel humoral terganggu.

Gambar ginjal bengkak dan pucat akibat Ochratoksin (Sumber : ThePoultrySite)


6. Patulin

(sumber: Wikipedia)

Struktur kimia Patulin

Patulin dihasilkan oleh Penicillium, Aspergillus, Byssochlamys, dan spesies yang


paling utama dalam memproduksi senyawa ini adalah Penicillium expansum. Patulin (4-
hydroxy-4H-furo{3,2c}pyran-2(6H)-one) merupakan racun metabolit yang diproduksi oleh
sejumlah kapang (Penicillium, Aspergillus,dan Bysso-chlamys) yang biasa terdapat pada
buah dan produk olahannya, terutama apel, dan juga ditemukan pada tomat, pisang, nenas,
peach, aprikot, dan plum (Drusch dan Ragab 2003). Patulin dihasilkan oleh sekitar 60
spesies dari 30 genus jamur.

Kapang penghasil patulin yang utama adalah Penicillium expansum.Infeksi P.


expansum terutama disebabkan luka akibat serangga dan pengangkutan yang menyebabkan
masuknya kapang melalui sistem vaskuler dan lentisel.

Penelitian telah banyak dilakukan untuk mengetahui efek negatif patulin terhadap
kesehatan. Percobaan pada hewan uji menunjukkan bahwa patulin menyebabkan gejala
toksikosis pada paru-paru dan otak, serta kerusakan hati dan ginjal (Llewelly et.al.,1998).
Pada manusia dilaporkan terjadinya gejala-gejala seperti mual, gangguan pencernaan, dan
muntah. Sumber lain menyebutkan bahwa simtom penyakit yang disebabkan oleh patulin
termasuk gangguan syaraf, kejang, paru-paru, oedema, sakit pencernaan dan intestinal
haemorrhage. Patulin juga mempunyai efek genotoksik, neurotoksik, imunotok-sis,
imunosuppressive, teratogenik, dan karsinogenik (Sant’Ana et.al.,2008).
Gambar Kontaminasi Patulin Pada Buah Apel (Sumber Jurnal Litbang Pertanian)

7. Trichothecenes

(sumber: Wikipedia)

Struktur kimia trichothecenes

Mikotoksin golongan ini dihasilkan oleh kapang Fusarium spp., Trichoderma,


Myrothecium, Trichothecium dan Stachybotrys. Mikotoksin golongan trikotesena mempunyai
gugus 12,13-epoksitrikotesene dan ikatan olefinik yang tersubtitusi pada berbagai sisi rantai
(BENNET dan KLICH, 2003) . Mikotoksin golongan ini terdiri atas 200 - 300 senyawaan
sejenis yang bersifat toksik melalui penghambatan sintesis protein pada ribosom. Dua jenis
mikotoksin yang paling dikenal dari golongan trikotesena adalah toksin T-2 dan
deoksinivalenol (DON) . Toksin T-2 dihasilkan terutama oleh F . sporotrichiodes ataupun F.
graminearum dengan suhu optimal pembentukannya antara 24 - 26'C . Toksin ini menyebabkan
iritasi kulit dan juga diketahui bersifat teratogenik. Deoksinivalenol dapat menyebabkan
emesis dan muntah-muntah (Sinha, 1993).

Gejala umum yang disebabkan oleh Trikotesena adalah pertumbuhan terhambat,


depresi dan diare berdarah. Necrosa mukosa mulut merupakan gejala yang paling sering terjadi.
Luka pada mulut berwarna putih sampai krem, borok biasa terlihat pada tepi lidah dan
sepanjang sisi dalam bagian atas dan bawah paruh. Perubahan patologi anatomi, terlihat
mukosa gastrointestinal kemerah-merahan, hati bengkak berisi getah empedu dan berwarna
burik, limpa mengecil dengan perdarahan visceral.

8. Zearalenone

(sumber: Wikipedia)

Struktur kimia Zearalenone

Zearalenon adalah toksin estrogenik yang dihasilkan oleh kapang Fusarium


graminearum, F.tricinctum, dan F. moniliforme. Kapang ini tumbuh pada suhu optimum 20 –
250C dan kelembaban 40 – 60 %. Senyawa toksin ini stabil pada proses penggilingan,
penyimpanan, dan pemasakan makanan karena tahan terhadap degradasi akibat suhu tinggi.

Hingga saat ini paling sedikit terdapat 6 macam turunan zearalenon, diantara nya α-
zearalenol yang memiliki aktivitas estrogenik 3 kali lipat daripada senyawa induknya. Senyawa
turunan lainnya adalah 6,8-dihidroksizearalenon, 8-hidroksizearalenon, 3-hidroksizearalenon,
7-dehidrozearalenon, dan 5- formilzearalenon. Komoditas yang banyak tercemar zearalenon
adalah jagung, gandum, kacang kedelai, beras dan serelia lainnya.

Zearalenone biasanya dapat terdapat pada jagung dan sorgum.


Dampak merugikan pada unggas adalah penurunan puncak produksi, namun tidak berpengaruh
terhadap kesuburan dan daya tetas telur. Gejala umum yang terjadi adalah ascites, kista oviduk
dengan material fibrinous.
Gambar Jagung terinfeksi kapang Fusarium spp. (Sumber http://www.rudyct.com/PPS702-
ipb/04212/romsyah_m.htm)

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan mikotoksin adalah iklim, jenis


tanaman, kepekaan tanaman, jenis fungi pencemar, adanya kerusakan mekanik atau kerusakan
akibat insekta pada tanaman, penggunaan fungisida pada waktu panen, kondisi penyimpanan,
dan cara penanganan pasca panen. Beberapa factor yang menyebabkan mikotoksin sulit
dikontrol di Asia, termasuk Indonesia adalah pencemaran mikotoksin yang bersifat multiple,
struktur kimia yang sangat stabil, kondisi iklim yang sangat berfluktuatif, dan fasilitas
pengeringan, penyimpanan dan mesin giling yang kurang memadai. Penyakit yang ditimbulkan
oleh beberapa mikotoksin yang penting pada unggas, meliputi aflatoksin, trikotesen,
okratoksin, zearalenon, sitrinin, fumonisin, fusarokromanon, rubratoksin, ergot, moniliformin,
oosporein, sterigmatosistin, patulin, dan asam siklopiazonat (Suryadjaja,2013).

Upaya pencegahan terjadinya mikotoksikosi pada bahan pangan

Kerugian yang besar akibat kontaminasi mikotoksin ini memaksa petani melakukan
berbagai upaya untuk mencegahnya. Saat jamur telah tumbuh pada bahan baku ransum maka
bisa dipastikan mikotoksin telah terbentuk. Beberapa langkah pencegahan yang bisa kita
lakukan ialah : (Setiarto, 2010)

1. Kontrol lama penyimpanan ransum


Daya simpan ransum ayam di dalam gudang adalah 21-30 hari sejak tanggal produksi
(batch). Baik ransum bentuk crumble (butiran), pellet maupun mash (tepung), akan
mengalami penurunan kualitas apabila melewati masa tersebut. Karena itu disarankan,
idealnya petani tidak menyimpan ransum lebih dari 14 hari atau 2 minggu sebagai
antisipasi.
2. Atur manajemen penyimpanan bahan baku ransum
Berikan alas (pallet) pada tumpukan bahan baku dan atur posisi penyimpanan sesuai
dengan waktu kedatangannya (first in first out, FIFO). Untuk layout gudang
peyimpanan, berikan jarak antar tumpukan ransum agar sistem FIFO bisa berjalan.
Hindari penggunaan karung tempat ransum secara berulang dan bersihkan gudang
secara rutin.

Penggunaan pallet pada alas ransum

Sumber : selfmixing.blogspot.com)

3. Melakukan pemeriksaan kualitas secara rutin


Lakukan pemeriksaan kualitas bahan baku secara rutin, terutama saat kedatangan bahan
baku atau ransum. Pengamatan secara visual terhadap bahan baku ransum hanya bisa
dilakukan sebatas pengamatan terhadap jamur, bukan pada mikotoksinnya. Karena hal
itu membutuhkan analisa pengujian laboratorium lebih lanjut. Alasannya, ketika bahan
baku ransum sudah terkontaminasi jamur, besar kemungkinan tidak hanya
memproduksi satu jenis toksin tetapi bisa lebih dari satu. Kalau ini terjadi, meski
kandungan mikotoksin rendah tetapi karena terdapat beberapa jenis mikotoksin, maka
akan memberikan dampak akumulasi dari kumpulan beberapa toksin tersebut.
4. Jika menggunakan mixer untuk mencampur ransum, bersihkan alat tersebut secara
rutin, misalnya 2-3 hari sekali. Sisa ransum, terutama yang berupa serbuk yang terdapat
pada kedua alat itu akan menjadi sumber kontaminasi jamur pada bahan baku ransum
lainnya
5. Berikan bahan penghambat jamur
Saat kondisi cuaca tidak baik, terutama musim penghujan, tambahkan mold
inhibitors (penghambat pertumbuhan jamur), seperti asam organik atau garam dari
asam organik tersebut. Asam propionat merupakan mold inhibitors yang sering
digunakan.

Beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk menekan efek mikotoksin ini antara lain :
(Setiarto,2010)

 Membuang ransum yang terkontaminasi jamur dengan konsentrasi tinggi, mengingat


mikotoksin ini sifatnya sangat stabil
 Jika yang terkontaminasi sedikit, bisa dilakukan pencampuran dengan bahan baku atau
ransum yang belum terkontaminasi. Tujuannya tidak lain untuk menurunkan
konsentrasi mikotoksin.
 Penambahan toxin binder (pengikat mikotoksin) pada ransum, seperti zeolit,
bentonit, hydrate sodium calcium aluminosilicate (HSCAS) atau ekstrak dinding sel
jamur. Antioksidan, seperti butyrated hidroxy toluene (BHT), vitamin E dan selenium
juga bisa ditambahkan untuk mengurangi efek mikotoksin, terutama aflatoksin, DON
dan T-2 toxin
 Manipulasi kandungan nutrisi ransum juga dapat dilakukan untuk mengurangi efek
mikotoksin, terlebih lagi nutrisi yang dibutuhkan jamur untuk pertumbuhan diambil
dari nutrisi ransum. Selain itu ada beberapa mikotoksin yang bisa mengurangi
penyerapan beberapa zat nutrisi. Suplementasi vitamin, terutama vitamin larut lemak
(A, D, E, K), asam amino (metionin dan penilalanin) maupun meningkatkan kadar
protein dan lemak dalam ransum juga mampu menekan kerugian akibat mikotoksin.
Pemberian multivitamin dosis tinggi seperti Fortevit bisa menjadi solusi.

Rangkuman

Mikroorganisme yang dapat mengakibatkan perubahan yang tidak diinginkan adalah


mikroorganisme patogenik penyebab penyakit. Makanan yang telah ditumbuhi
mikroorganisme patogenik ini dapat menyebabkan keracunan makanan ketika dikonsumsi.
Mikotoksin adalah metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spesies kapang tertentu selama
pertumbuhannya pada bahan pangan maupun paka. Mikotoksikosis adalah penyakit yang
disebabkan oleh racun yang dihasilkan jamur (mikotoksin).

Dari lebih dari 100.000 spesies fungi (jamur) yang diketahui, hanya beberapa yang
dapat memproduksi mikotoksin. Beberapa fungi (jamur) yang diketahui dapat menghasilkan
mikotoksin yang sangat berbahaya di bidang pertanian dan peternakan adalah Fusarium,
Aspergillus, dan Penicilium sp. Banyak mikotoksin yang dapat menyebabkan berbagai
penyakit pada manusia melalui makanan, salah satunya Aflatoksin merupakan senyawa
karsinogenik yang dapat memicu timbulnya kanker liver pada manusia karena konsumsi susu,
daging, atau telur yang terkontaminasi dalam jumlah tertentu

Dapus

Setiarto,R, H, B. 2010. Mikotoksin dan Mikotoksikosis Pada Makanan.


http://biologi.lipi.go.id/bio_indonesia../mTemplate.php?h=3&id_berita= .Diunduh pada
tanggal 03 Oktober 2013

Suryadjaja, F. 2013. Makanan Kadaluwarsa. Terdapat di


http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/08/07/233386/Makanan-
Kedaluwarsa. Diunduh pada tanggal 04 Oktober 2013.

J. W. Bennett, M. Klich (Juli 2003). "Mycotoxins". Clinical Microbiology Reviews 16 (3):


497–516. doi:10.1128/CMR.16.3.497–516.2003. http://cmr.asm.org/cgi/reprint/16/3/497.

Sant’ Ana, A.S., A. Rosenthal and P.R. de Massaguer. 2008. The fate of patulin in apple juice
process-ing: a review. Food Research International41: 441-453

Drusch, S and W. Ragab. 2003. Mycotoxin in Fruits and Fruits Juices and Dried Fruits.
Journal of Food Protection8: 1514-1527

Llewelly, G.C.; J.A. McCay; R.D.Brown; D.L. Mus-grove; L.F. Butterworth; A.E. Munson;
dan K.L. White. 1998. Immunological Evaluation of the Mycotoxin Patulin in Female B6C3F
(1) Mice. Food. Chem. Toxicol. 36 : 1007 – 1115

Steyn, P.S. and R. Vleggaar. 1989. Recent advances on the chemistry of mycotoxins. In S.
Natori, K. Hashimoto, and Y. Ueno (Eds.). Mycotoxins and Phycotoxins’88. ACollections on
Invited Paper Presented at the Seventh International IUPAC Sympo-sium on Mycotoxins and
Phycotoxins, Tokyo, 16 18 August 1988. Elsevier, Amsterdam.

Sinha, K.K.1993. Mycotoxins. ASEAN Food Journal 8(3): 87-93

Kuiper-Goodman, T. 1996. Risk assessment of ochratoxin A: An update. Food.


Addit.Contam. 13 (Suppl): 553-557
Agustina et al dalam Fox dan Cameron 1989. Tanpa Tahun. KONTAMINASI AFLATOKSIN
DAN CARA PENGENDALIANNYA MELALUI PENANGANAN PRA DAN
PASCAPANEN. Balai Penelitian Tanaman. (Online).
(http://balitkabi.litbang.pertanian.go.id/wp
content/uploads/2015/06/18._OK_Anna_Afla_329-351-1.pdf). Diakses pada 9
September 2018

Blanc PJ, Laussac JP, Le Bars J, Le Bars P, Loret MO, Pareileux A, Prome D, Prome JC,
Santerre AL, Goma G. 1995. Characterization of monascidin A from Monascus as
citrinin. Int J Food Microbiol 27: 201-213.

Cole R.J., Cox R.H (Eds.). 1981. Handbook of Toxic Fungal Metabolites. Academic press,
New York, pp 1850

Horn, B.W., R.L. Greene, and J.W. Dorner. 2000. Inhibition of aflatoxin B1 production by
Aspergillus parasiticus using nonaflatoxigenic strains: role of vegetative
compatibility. Biological Control, 17, 147–154.

MARASAS, W .F . 2001 . Discovery and occurrence of the fumonisins : a historical


perspective . Environ Health Perspect. 2001 May ; 109 (Suppl 2) : 239 - 243.

Maryam R. 2000a. Fumonisin: Kelompok mikotoksin fusarium yang perlu diwaspadai. Jurnal
Mikologi Kedokteran Indonesia (Indonesian Journal of Medical Mycology), 1(1): 51-
57.

Sudjadi S. Machmud M., Damardjati, D.S., Hidayat, A., widowati, S., Widiati, A. 1999.
Aflatoxin research in Indonesia. Elimination of Aflatoxin Contamiation in Peanut.
Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra, pp.23-25.

Wikipedia. 2018. ERGOT. (Online). (https://en.wikipedia.org/wiki/Ergot). Diakses pada 9


September 2018

Anda mungkin juga menyukai