Anda di halaman 1dari 9

5.

Ochratoksin A

Struktur Ochratoxin A (Wikipedia).

Ochratoxin dihasilkan oleh cendawan dari genus Aspergillus, dan Penicillium. Ada
berbagai tipe ochratoxin yaitu Ochratoxin A, Ochratoxin B, Methylester Ochratoxin dan
Ochratoxin C. Ochratoxin A yang paling banyak ditemukan karena stabil terhadap perubahan
suhu dan sangat beracun. Kapang penghasil okratoksin A antara lain adalah Aspergillus
alliaceus, A. melleus, A. ostianus, A. petrakii, A. sclerotiorum, A. sulphureus, A. fumigatus,
A. versicolor, A. carbonarius, A. niger, A. ochraceus, P. verrucosum ( Drush dan Ragab 2003),
dan P. Viridicatum (Maryam 2002). Jenis jamur Aspergillus menghasilkan ochratoxin hanya
pada kadar kelembaban relatif dan suhu yang tinggi, sedangkan species Penicillium tertentu
dapat menghasilkan ochratoxin pada suhu yang lebih rendah, bahkan pada suhu 5ºC
Okratoksin A (OA) mengandung 7-carboxy -5- chloro -8- hydroxyi- 3,4 -dyhidro-3 R-
metth ylisocoumarine, mempunyai aktivitas imunosupresif, menghambat glukoneogenesis
pada ginjal (Steyn dan Vleggaar 1989), nepropati, tumor ginjal (Hsieh 1989), dan karsinogenik
(Maryam 2002). Okratoksin A diketahui sebagai penyebab keracunan ginjal pada manusia
maupun hewan, dan juga diduga bersifat karsinogenik. Secara alami A. ochraceus terdapat pada
tanaman yang mati atau busuk, juga pada biji-bijian, kacang-kacangan dan buah-buahan. Selain
A.ochraceus, OA juga dapat dihasilkan oleh Penicillium viridicatum (Kuiper-Goodman, 1996)
yang terdapat pada biji-bijian di daerah beriklim sedang (temperate), seperti pada gandum di
eropa bagian utara.

Okratoksin OA juga ditemukan pada berbagai produk ternak seperti daging babi dan
daging ayam. Hal ini karena OA bersifat larut dalam lemak sehingga dapat tertimbun di bagian
daging yang berlemak. Manusia dapat terekspose OA melalui produk ternak yang dikonsumsi.
Perubahan patologi anatomi yang dapat disebabkan oleh Okratoksin adalah hati membesar,
warna pucat disertai perdarahan, ginjal pucat dan peradangan usus. Pada kasus akut, ginnjal
mengalami nephrosis. Pada kasus kronis, racun menurunkan fungsi tubuh yang berkenaan
dengan fungsi ginjal, namun tidak ada luka yang terlihat. Ochratoxin A menimbulkan efek
imonosupresi (thymus mengecil) sehingga kekebalan sel humoral terganggu.

Gambar ginjal bengkak dan pucat akibat Ochratoksin (Sumber : ThePoultrySite)

6. Patulin

Struktur kimia Patulin (Wikipedia)

Patulin dihasilkan oleh Penicillium, Aspergillus, Byssochlamys, dan spesies yang


paling utama dalam memproduksi senyawa ini adalah Penicillium expansum.

Patulin (4-hydroxy-4H-furo{3,2c}pyran-2(6H)-one) merupakan racun metabolit yang


diproduksi oleh sejumlah kapang (Penicillium, Aspergillus,dan Bysso-chlamys) yang biasa
terdapat pada buah dan produk olahannya, terutama apel, dan juga ditemukan pada tomat,
pisang, nenas, peach, aprikot, dan plum (Drusch dan Ragab 2003). Patulin dihasilkan oleh
sekitar 60 spesies dari 30 genus jamur.

Kapang penghasil patulin yang utama adalah Penicillium expansum.Infeksi P.


expansum terutama disebabkan luka akibat serangga dan pengangkutan yang menyebabkan
masuknya kapang melalui sistem vaskuler dan lentisel.

Penelitian telah banyak dilakukan untuk menge-tahui efek negatif patulin terhadap
kesehatan. Per-cobaan pada hewan uji menunjukkan bahwa patulin menyebabkan gejala
toksikosis pada paru-paru dan otak, serta kerusakan hati dan ginjal (Llewelly et.al.,1998).
Pada manusia dilaporkan terjadinya gejala-gejala seperti mual, gangguan pencernaan, dan
muntah. Sumber lain menyebutkan bahwa simtom penyakit yang disebabkan oleh patulin
termasuk gangguan syaraf, kejang, paru-paru, oedema, sakit pencernaan dan intestinal
haemorrhage. Patulin juga mempunyai efek genotoksik, neurotoksik, imunotok-sis,
imunosuppressive, teratogenik, dan karsinogenik (Sant’Ana et.al.,2008).

Gambar Kontaminasi Patulin Pada Buah Apel (Sumber Jurnal Litbang Pertanian)

7. Trichothecenes

Struktur kimia trichothecenes (Wikipedia)

Mikotoksin golongan ini dihasilkan oleh kapang Fusarium spp., Trichoderma,


Myrothecium, Trichothecium dan Stachybotrys. Mikotoksin golongan trikotesena mempunyai
gugus 12,13-epoksitrikotesene dan ikatan olefinik yang tersubtitusi pada berbagai sisi rantai
(BENNET dan KLICH, 2003) . Mikotoksin golongan ini terdiri atas 200 - 300 senyawaan
sejenis yang bersifat toksik melalui penghambatan sintesis protein pada ribosom. Dua jenis
mikotoksin yang paling dikenal dari golongan trikotesena adalah toksin T-2 dan
deoksinivalenol (DON) . Toksin T-2 dihasilkan terutama oleh F . sporotrichiodes ataupun F.
graminearum dengan suhu optimal pembentukannya antara 24 - 26'C . Toksin ini menyebabkan
iritasi kulit dan juga diketahui bersifat teratogenik. Deoksinivalenol dapat menyebabkan
emesis dan muntah-muntah (Sinha, 1993).
Gejala umum yang disebabkan oleh Trikotesena adalah pertumbuhan terhambat,
depresi dan diare berdarah. Necrosa mukosa mulut merupakan gejala yang paling sering terjadi.
Luka pada mulut berwarna putih sampai krem, borok biasa terlihat pada tepi lidah dan
sepanjang sisi dalam bagian atas dan bawah paruh. Perubahan patologi anatomi, terlihat
mukosa gastrointestinal kemerah-merahan, hati bengkak berisi getah empedu dan berwarna
burik, limpa mengecil dengan perdarahan visceral.

8. Zearalenone

Struktur kimia Zearalenone

Zearalenon adalah toksin estrogenik yang dihasilkan oleh kapang Fusarium


graminearum, F.tricinctum, dan F. moniliforme. Kapang ini tumbuh pada suhu optimum 20 –
250C dan kelembaban 40 – 60 %. Senyawa toksin ini stabil pada proses penggilingan,
penyimpanan, dan pemasakan makanan karena tahan terhadap degradasi akibat suhu tinggi.

Hingga saat ini paling sedikit terdapat 6 macam turunan zearalenon, diantara nya α-
zearalenol yang memiliki aktivitas estrogenik 3 kali lipat daripada senyawa induknya. Senyawa
turunan lainnya adalah 6,8-dihidroksizearalenon, 8-hidroksizearalenon, 3-hidroksizearalenon,
7-dehidrozearalenon, dan 5- formilzearalenon. Komoditas yang banyak tercemar zearalenon
adalah jagung, gandum, kacang kedelai, beras dan serelia lainnya.
Zearalenone biasanya terdapat dalam jagung dan sorgum.
Dampak merugikan pada unggas adalah penurunan puncak produksi, namun tidak berpengaruh
terhadap kesuburan dan daya tetas telur. Gejala umum yang terjadi adalah ascites, kista oviduk
dengan material fibrinous.

Gambar Jagung terinfeksi kapang Fusarium spp.

(Sumber http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/04212/romsyah_m.htm)

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan mikotoksin adalah iklim, jenis


tanaman, kepekaan tanaman, jenis fungi pencemar, adanya kerusakan mekanik atau kerusakan
akibat insekta pada tanaman, penggunaan fungisida pada waktu panen, kondisi penyimpanan,
dan cara penanganan pasca panen. Beberapa factor yang menyebabkan mikotoksin sulit
dikontrol di Asia, termasuk Indonesia adalah pencemaran mikotoksin yang bersifat multiple,
struktur kimia yang sangat stabil, kondisi iklim yang sangat berfluktuatif, dan fasilitas
pengeringan, penyimpanan dan mesin giling yang kurang memadai. Penyakit yang ditimbulkan
oleh beberapa mikotoksin yang penting pada unggas, meliputi aflatoksin, trikotesen,
okratoksin, zearalenon, sitrinin, fumonisin, fusarokromanon, rubratoksin, ergot, moniliformin,
oosporein, sterigmatosistin, patulin, dan asam siklopiazonat (Suryadjaja,2013).

Upaya pencegahan terjadinya mikotoksikosi pada bahan pangan

Kerugian yang besar akibat kontaminasi mikotoksin ini memaksa petani melakukan
berbagai upaya untuk mencegahnya. Saat jamur telah tumbuh pada bahan baku ransum
maka bisa dipastikan mikotoksin telah terbentuk. Beberapa langkah pencegahan yang bisa
kita lakukan ialah : (Setiarto,2010)
1. Kontrol lama penyimpanan ransum
Daya simpan ransum ayam di dalam gudang adalah 21-30 hari sejak tanggal produksi
(batch). Baik ransum bentuk crumble (butiran), pellet maupun mash (tepung), akan
mengalami penurunan kualitas apabila melewati masa tersebut. Karena itu disarankan,
idealnya petani tidak menyimpan ransum lebih dari 14 hari atau 2 minggu sebagai
antisipasi.
2. Atur manajemen penyimpanan bahan baku ransum
Berikan alas (pallet) pada tumpukan bahan baku dan atur posisi penyimpanan sesuai
dengan waktu kedatangannya (first in first out, FIFO). Untuk layout gudang
peyimpanan, berikan jarak antar tumpukan ransum agar sistem FIFO bisa berjalan.
Hindari penggunaan karung tempat ransum secara berulang dan bersihkan gudang
secara rutin.

Penggunaan pallet pada alas ransum

Sumber : selfmixing.blogspot.com)

3. Melakukan pemeriksaan kualitas secara rutin


Lakukan pemeriksaan kualitas bahan baku secara rutin, terutama saat kedatangan bahan
baku atau ransum. Pengamatan secara visual terhadap bahan baku ransum hanya bisa
dilakukan sebatas pengamatan terhadap jamur, bukan pada mikotoksinnya. Karena hal
itu membutuhkan analisa pengujian laboratorium lebih lanjut. Alasannya, ketika bahan
baku ransum sudah terkontaminasi jamur, besar kemungkinan tidak hanya
memproduksi satu jenis toksin tetapi bisa lebih dari satu. Kalau ini terjadi, meski
kandungan mikotoksin rendah tetapi karena terdapat beberapa jenis mikotoksin, maka
akan memberikan dampak akumulasi dari kumpulan beberapa toksin tersebut.
4. Jika menggunakan mixer untuk mencampur ransum, bersihkan alat tersebut secara
rutin, misalnya 2-3 hari sekali. Sisa ransum, terutama yang berupa serbuk yang terdapat
pada kedua alat itu akan menjadi sumber kontaminasi jamur pada bahan baku ransum
lainnya
5. Berikan bahan penghambat jamur
Saat kondisi cuaca tidak baik, terutama musim penghujan, tambahkan mold
inhibitors (penghambat pertumbuhan jamur), seperti asam organik atau garam dari
asam organik tersebut. Asam propionat merupakan mold inhibitors yang sering
digunakan.
Saat jamur dan mikotoksin telah ditemukan mengkontaminasi ransum sudah
terlanjur keracunan mikotoksin, beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk menekan
efek mikotoksin ini antara lain : (Setiarto,2010)
 Membuang ransum yang terkontaminasi jamur dengan konsentrasi tinggi, mengingat
mikotoksin ini sifatnya sangat stabil
 Jika yang terkontaminasi sedikit, bisa dilakukan pencampuran dengan bahan baku atau
ransum yang belum terkontaminasi. Tujuannya tidak lain untuk menurunkan
konsentrasi mikotoksin.
 Penambahan toxin binder (pengikat mikotoksin) pada ransum, seperti zeolit,
bentonit, hydrate sodium calcium aluminosilicate (HSCAS) atau ekstrak dinding sel
jamur. Antioksidan, seperti butyrated hidroxy toluene (BHT), vitamin E dan selenium
juga bisa ditambahkan untuk mengurangi efek mikotoksin, terutama aflatoksin, DON
dan T-2 toxin
 Manipulasi kandungan nutrisi ransum juga dapat dilakukan untuk mengurangi efek
mikotoksin, terlebih lagi nutrisi yang dibutuhkan jamur untuk pertumbuhan diambil
dari nutrisi ransum. Selain itu ada beberapa mikotoksin yang bisa mengurangi
penyerapan beberapa zat nutrisi. Suplementasi vitamin, terutama vitamin larut lemak
(A, D, E, K), asam amino (metionin dan penilalanin) maupun meningkatkan kadar
protein dan lemak dalam ransum juga mampu menekan kerugian akibat mikotoksin.
Pemberian multivitamin dosis tinggi seperti Fortevit bisa menjadi solusi.
Dapus

Setiarto, R, H,B. 2010. Mikotoksin Pada Makanan. Terdapat di


http://biologi.lipi.go.id/bio_indonesia../mTemplate.php?h=3&id_berita= . Diunduh pada
tanggal 03 Oktober 2013
Suryadjaja, F. 2013. Makanan Kadaluwarsa. Terdapat di
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/08/07/233386/Makanan-
Kedaluwarsa. Diunduh pada tanggal 04 Oktober 2013.

J. W. Bennett, M. Klich (Juli 2003). "Mycotoxins". Clinical Microbiology Reviews 16 (3):


497–516. doi:10.1128/CMR.16.3.497–516.2003. http://cmr.asm.org/cgi/reprint/16/3/497.

Sant’ Ana, A.S., A. Rosenthal and P.R. de Massaguer. 2008. The fate of patulin in apple juice
process-ing: a review. Food Research International41: 441-453

Drusch, S and W. Ragab. 2003. Mycotoxin in Fruits and Fruits Juices and Dried Fruits. Journal
of Food Protection8: 1514-1527

Llewelly, G.C.; J.A. McCay; R.D.Brown; D.L. Mus-grove; L.F. Butterworth; A.E. Munson;
dan K.L. White. 1998. Immunological Evaluation of the Mycotoxin Patulin in Female B6C3F
(1) Mice. Food. Chem. Toxicol. 36 : 1007 – 1115

Steyn, P.S. and R. Vleggaar. 1989. Recent advances on the chemistry of mycotoxins. In S.
Natori, K. Hashimoto, and Y. Ueno (Eds.). Mycotoxins and Phycotoxins’88. ACollections on
Invited Paper Presented at the Seventh International IUPAC Sympo-sium on Mycotoxins and
Phycotoxins, Tokyo, 16 18 August 1988. Elsevier, Amsterdam.

Sinha, K.K.1993. Mycotoxins. ASEAN Food Journal 8(3): 87-93


Kuiper-Goodman, T. 1996. Risk assessment of ochratoxin A: An update. Food.
Addit.Contam. 13 (Suppl): 553-557

Anda mungkin juga menyukai