Ochratoksin A
Ochratoxin dihasilkan oleh cendawan dari genus Aspergillus, dan Penicillium. Ada
berbagai tipe ochratoxin yaitu Ochratoxin A, Ochratoxin B, Methylester Ochratoxin dan
Ochratoxin C. Ochratoxin A yang paling banyak ditemukan karena stabil terhadap perubahan
suhu dan sangat beracun. Kapang penghasil okratoksin A antara lain adalah Aspergillus
alliaceus, A. melleus, A. ostianus, A. petrakii, A. sclerotiorum, A. sulphureus, A. fumigatus,
A. versicolor, A. carbonarius, A. niger, A. ochraceus, P. verrucosum ( Drush dan Ragab 2003),
dan P. Viridicatum (Maryam 2002). Jenis jamur Aspergillus menghasilkan ochratoxin hanya
pada kadar kelembaban relatif dan suhu yang tinggi, sedangkan species Penicillium tertentu
dapat menghasilkan ochratoxin pada suhu yang lebih rendah, bahkan pada suhu 5ºC
Okratoksin A (OA) mengandung 7-carboxy -5- chloro -8- hydroxyi- 3,4 -dyhidro-3 R-
metth ylisocoumarine, mempunyai aktivitas imunosupresif, menghambat glukoneogenesis
pada ginjal (Steyn dan Vleggaar 1989), nepropati, tumor ginjal (Hsieh 1989), dan karsinogenik
(Maryam 2002). Okratoksin A diketahui sebagai penyebab keracunan ginjal pada manusia
maupun hewan, dan juga diduga bersifat karsinogenik. Secara alami A. ochraceus terdapat pada
tanaman yang mati atau busuk, juga pada biji-bijian, kacang-kacangan dan buah-buahan. Selain
A.ochraceus, OA juga dapat dihasilkan oleh Penicillium viridicatum (Kuiper-Goodman, 1996)
yang terdapat pada biji-bijian di daerah beriklim sedang (temperate), seperti pada gandum di
eropa bagian utara.
Okratoksin OA juga ditemukan pada berbagai produk ternak seperti daging babi dan
daging ayam. Hal ini karena OA bersifat larut dalam lemak sehingga dapat tertimbun di bagian
daging yang berlemak. Manusia dapat terekspose OA melalui produk ternak yang dikonsumsi.
Perubahan patologi anatomi yang dapat disebabkan oleh Okratoksin adalah hati membesar,
warna pucat disertai perdarahan, ginjal pucat dan peradangan usus. Pada kasus akut, ginnjal
mengalami nephrosis. Pada kasus kronis, racun menurunkan fungsi tubuh yang berkenaan
dengan fungsi ginjal, namun tidak ada luka yang terlihat. Ochratoxin A menimbulkan efek
imonosupresi (thymus mengecil) sehingga kekebalan sel humoral terganggu.
6. Patulin
Penelitian telah banyak dilakukan untuk menge-tahui efek negatif patulin terhadap
kesehatan. Per-cobaan pada hewan uji menunjukkan bahwa patulin menyebabkan gejala
toksikosis pada paru-paru dan otak, serta kerusakan hati dan ginjal (Llewelly et.al.,1998).
Pada manusia dilaporkan terjadinya gejala-gejala seperti mual, gangguan pencernaan, dan
muntah. Sumber lain menyebutkan bahwa simtom penyakit yang disebabkan oleh patulin
termasuk gangguan syaraf, kejang, paru-paru, oedema, sakit pencernaan dan intestinal
haemorrhage. Patulin juga mempunyai efek genotoksik, neurotoksik, imunotok-sis,
imunosuppressive, teratogenik, dan karsinogenik (Sant’Ana et.al.,2008).
Gambar Kontaminasi Patulin Pada Buah Apel (Sumber Jurnal Litbang Pertanian)
7. Trichothecenes
8. Zearalenone
Hingga saat ini paling sedikit terdapat 6 macam turunan zearalenon, diantara nya α-
zearalenol yang memiliki aktivitas estrogenik 3 kali lipat daripada senyawa induknya. Senyawa
turunan lainnya adalah 6,8-dihidroksizearalenon, 8-hidroksizearalenon, 3-hidroksizearalenon,
7-dehidrozearalenon, dan 5- formilzearalenon. Komoditas yang banyak tercemar zearalenon
adalah jagung, gandum, kacang kedelai, beras dan serelia lainnya.
Zearalenone biasanya terdapat dalam jagung dan sorgum.
Dampak merugikan pada unggas adalah penurunan puncak produksi, namun tidak berpengaruh
terhadap kesuburan dan daya tetas telur. Gejala umum yang terjadi adalah ascites, kista oviduk
dengan material fibrinous.
(Sumber http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/04212/romsyah_m.htm)
Kerugian yang besar akibat kontaminasi mikotoksin ini memaksa petani melakukan
berbagai upaya untuk mencegahnya. Saat jamur telah tumbuh pada bahan baku ransum
maka bisa dipastikan mikotoksin telah terbentuk. Beberapa langkah pencegahan yang bisa
kita lakukan ialah : (Setiarto,2010)
1. Kontrol lama penyimpanan ransum
Daya simpan ransum ayam di dalam gudang adalah 21-30 hari sejak tanggal produksi
(batch). Baik ransum bentuk crumble (butiran), pellet maupun mash (tepung), akan
mengalami penurunan kualitas apabila melewati masa tersebut. Karena itu disarankan,
idealnya petani tidak menyimpan ransum lebih dari 14 hari atau 2 minggu sebagai
antisipasi.
2. Atur manajemen penyimpanan bahan baku ransum
Berikan alas (pallet) pada tumpukan bahan baku dan atur posisi penyimpanan sesuai
dengan waktu kedatangannya (first in first out, FIFO). Untuk layout gudang
peyimpanan, berikan jarak antar tumpukan ransum agar sistem FIFO bisa berjalan.
Hindari penggunaan karung tempat ransum secara berulang dan bersihkan gudang
secara rutin.
Sumber : selfmixing.blogspot.com)
Sant’ Ana, A.S., A. Rosenthal and P.R. de Massaguer. 2008. The fate of patulin in apple juice
process-ing: a review. Food Research International41: 441-453
Drusch, S and W. Ragab. 2003. Mycotoxin in Fruits and Fruits Juices and Dried Fruits. Journal
of Food Protection8: 1514-1527
Llewelly, G.C.; J.A. McCay; R.D.Brown; D.L. Mus-grove; L.F. Butterworth; A.E. Munson;
dan K.L. White. 1998. Immunological Evaluation of the Mycotoxin Patulin in Female B6C3F
(1) Mice. Food. Chem. Toxicol. 36 : 1007 – 1115
Steyn, P.S. and R. Vleggaar. 1989. Recent advances on the chemistry of mycotoxins. In S.
Natori, K. Hashimoto, and Y. Ueno (Eds.). Mycotoxins and Phycotoxins’88. ACollections on
Invited Paper Presented at the Seventh International IUPAC Sympo-sium on Mycotoxins and
Phycotoxins, Tokyo, 16 18 August 1988. Elsevier, Amsterdam.