Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH MIKOTOKSIN

MIKOLOGI

OLEH :

FRAMUDITA 17 3145 453 003

HARMITA JUNIANA 17 3145 453 036

YULFIANITA BALISA 17 3145 453 037

WAWAN AMIR 17 3145 453 019

NURFAISAH ABDULAH 17 3145 453 021

MARYATI YUYUN 17 3145 453 013

PROGRAM STUDI D III TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS

FAKULTAS FARMASI, TEKNOLOGI RUMAH SAKIT DAN INFORMATIKA

UNIVERSITAS MEGA REZKY

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas Rahmat
dan Karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen Mata Kuliah Mikologi yang
telah membimbing dan memberikan tugas ini kepada kami. Dalam makalah ini
kami membahas tentang “Mikotoksin”.

Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan.


Oleh Karena itu, kritik dan saran yang membangung sangat kami harapkan untuk
perbaikan dan peningkatan dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat khususnya bagi tenaga Teknik Laboratorium Medik dan juga
bagi siapa saja yang membacanya. Amin.

Makassar, 19 Mei 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Saat ini banyak masyarakat yang sangat mengkhawatirkan zat- zat kimia
yang banyak terkandung dalam makanan makanan baku maupun makanan-
makanan olahan (instan). Padahal keberadaan toksin alami dalam makanan
yang dihasilkan oleh mikroorganisme juga sangat perlu diperhatikan karena
toksin ini bersifat karsinog enik yang lebih potensial. Salah satu toksin alami
yang bisa terkandung dalam makanan adalah mikotoksin. Mikotoksin adalah
metabolit sekunder produk dari kapang berfilamen, dimana dalam beberapa
situasi, dapat berkembang pada makanan yang berasal dari tumbuhan maupun
dari hewan. Fusarium sp, Aspergillus sp dan Penicillium sp merupakan jenis
kapang yang paling umum menghasilkan racun mikotoksin dan sering
mencemari makanan manusia dan pakan hewan. Kapang tersebut tumbuh
pada bahan pangan atau pakan, baik sebelum dan selama panen atau saat
penyimpanan yang tidak tepat (Binder 2007; Zinedine & Mañes 2009).
Kontaminasi jamur yang disebabkan karena penyimpanan tidak hanya
terkait dengan perubahan warna, kualitas penurunan, penurunan nilai
komersial serta potensi terapi namun mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang
dalam tanaman ini juga dapat menyebabkan beberapa penyakit hati, ginjal,
sistem saraf otot, kulit, organ pernapasan, saluran pencernaan, organ genital
dll (Rawat, A. et.al. 2014).
Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis mencoba menulis mengenai
jenisjenis mikotoksin dalam tanaman obat, dampak yang dapat ditimbulkan
oleh mikotoksin dan pencegahan dan penanganan mikotoksin. Sehingga yang
dapat mengurangi resiko terkontaminasi mikotoksin.

B. Rumusan Masalah
a. Apa itu mikotoksin ?
b. Jenis mikotoksin apa saja yang sering dijumpai ?
c. Bagaimana cara upaya pencegahan mikotoksin ?

C. Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah : dapat diketahui jenis
cendawan dan mikotoksin serta upaya untuk mengurangi paparan mikotoksin.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mikotoksin
Kata mikotoksin berasal dari dua kata, mukes yang berarti kapang
(Yunani) dan toxicum yang mengacu pada racun (Latin). Mikotoksin tidak
terlihat, tidak berbau dan tidak dapat dideteksi oleh penciuman atau rasa,
tetapi dapat mengurangi kinerja produksi ternak secara signifikan (Binder
2007).
Mikotoksin adalah metabolit sekunder yang diproduksi oleh beberapa
cendawan yang termasuk golongan genus Aspergillus, Penicillium, Fusarium
dan Alternaria. Jenis Aspergillus dan Penicillium dikenal sebagai mikroba
kontaminan pada makanan selama pengeringan atau penyimpanan, sedangkan
Fusarium dan Alternaria dapat memproduksi mikotoksin sebelum dan
langsung setelah panen. Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus adalah
dua spesies cendawan yang dapat memproduksi metabolit toksik yang disebut
aflatoksin bersifat sangat karsinogenik dan mutagenik. Jumlah aflatoxin B1
yang dapat menyebabkan racun adalah antara 0,86 – 5,24 μg/ml kultur filtrat
ekstrak tanaman (Noverisa, R.2008).
Pertumbuhan jamur dan produksi mikotoksin dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan/faktor luar. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah aktifitas air,
dan pH, sedangkan produk mikotoksin dipengaruhi oleh faktor suhu,
kelembaban, ketersediaan oksigen, kerusakan bahan pakan, kondisi
penyimpanan atau penanganan setelah panen (Azizah, H. 2013).
B. Jenis Mikotoksin
Saat ini telah dikenal 300 jenis mikotoksin (Cole dan Cox, 1981), lima
jenis di antaranya sangat berpotensi menyebabkan penyakit baik pada manusia
maupun hewan, yaitu aflatoksin, okratoksin A, zearalenon, trikotesena
(deoksinivalenol, toksin T2) dan fumonisin. Sekitar 25-50% komoditas
pertanian terkontaminasi kelima jenis mikotoksin tersebut (Noverisa, R.2008).
a. Alfatoksin
Aflatoksin berasal dari singkatan Aspergillus flavus toxin. Toksin ini
pertama kali diketahui berasal dari cendawan Aspergillus flavus yang
berhasil diisolasi pada tahun 1960 di England. Yang menyebabkan
kematian lebih dari 100.000 ekor turkey, dikenal sebagai “Turkey X
Disease”. A. flavus, penghasil utama aflatoksin umumnya hanya
memproduksi aflatoksin B1 dan B2 (AFB1 dan AFB2). Sedangkan A.
parasiticus memproduksi AFB1, AFB2, AFG1, dan AFG2. A. flavus dan
A. parasiticus ini tumbuh pada kisaran suhu 10-120C sampai 42-430C
dengan suhu optimum 32-330C dan pH optimum 6. Di antara keempat
jenis aflatoksin tersebut AFB1 memiliki efek toksik yang paling tinggi.
Mikotoksin ini bersifat karsinogenik, hepatatoksik, mutagenik, tremogenik
dan sitotoksik, sehingga menjadi perhatian badan kesehatan dunia (WHO)
dan dikategorikan sebagai karsinogenik gol 1A. Selain itu, aflatoksin juga
bersifat immunosuppresif yang dapat menurunkan system kekebalan tubuh
(Noverisa, R.2008).
Di Indonesia, aflatoksin merupakan mikotoksin yang sering
ditemukan pada produk-produk pertanian dan hasil olahan. Selain itu,
residu aflatoksin dan metabolitnya juga ditemukan pada produk peternak
seperti susu, telur, dan daging ayam. Sudjadi et al. (1999) melaporkan
bahwa 80 di antara 81 orang pasien (66 orang pria dan 15 orang wanita)
menderita kanker hati karena mengkonsumsi oncom, tempe, kacang
goreng, bumbu kacang, kecap dan ikan asin. AFB1, AFG1, dan AFM1
terdeteksi pada contoh liver dari 58% pasien tersebut dengan konsentrasi
di atas 400 μg/kg. Menurut Pitt (2000), kadar aflatoksin yang
menyebabkan kematian pada manusia adalah 10 – 20 mg (Noverisa,
R.2008).
Gambar Aspergillus flavus
b. Okratoksin
Okratoksin, terutama Okratoksin A (OA) diketahui sebagai penyebab
keracunan ginjal pada manusia maupun hewan, dan juga diduga bersifat
karsinogenik. Okratoksin A ini pertama kali diisolasi pada tahun 1965 dari
kapang Aspergillus ochraceus. Secara alami A. ochraceus terdapat pada
tanaman yang mati atau busuk, juga pada biji-bijian, kacang-kacangan dan
buah-buahan. Selain A. ochraceus, OA juga dapat dihasilkan oleh
Penicillium viridicatum yang terdapat pada biji-bijian di daerah beriklim
sedang (temperate), seperti pada gandum di Eropa bagian utara.
P.viridicatum tumbuh pada suhu antara 0 – 310 C dengan suhu optimal
pada 200C dan pH optimum 6 – 7. A.ochraceus tumbuh pada suhu antara
8 – 370C. Saat ini diketahui sedikitnya 3 macam Okratoksin, yaitu
Okratoksin A (OA), Okratoksin B (OB), dan Okratoksin C (OC). OA
adalah yang paling toksik dan paling banyak ditemukan di alam.
Okratoksin dapat menyebabkan keracunan pada liver dan ginjal (Noverisa,
R.2008).

Gambar Penicillium viridicatum


c. Zearalenon
Zearalenon adalah toksin estrogenik yang dihasilkan oleh cendawan
Fusarium graminearum, F. tricinctum, dan F. moniliforme. Cendawan ini
tumbuh pada suhu optimum 20 – 250C dan kelembaban 40 – 60 %.
Zearalenon pertama kali diisolasi pada tahun 1962. Mikotoksin ini cukup
stabil dan tahan terhadap suhu tinggi. Hingga saat ini paling sedikit
terdapat 6 macam turunan zearalenon, di antaranya α- zearalenon yang
memiliki aktivitas estrogenik 3 kali lipat daripada senyawa induknya.
Senyawa turunan lainnya adalah 6,8-dihidroksizearalenon, 8-
hidroksizearalenon, 3-hidroksizearalenon, 7- dehidrozearalenon, dan 5-
formilzearalenon. Komoditas yang banyak tercemar zearalenon adalah
jagung, gandum, kacang kedelai, beras dan serelia lainnya (Noverisa,
R.2008).
d. Trikotesena
Mikotoksin golongan trikotesena dihasilkan oleh cendawan
Fusarium spp., Trichoderma, Myrothecium, Trichothecium dan
Stachybotrys. Mikotoksin golongan ini dicirikan dengan adanya inti terpen
pada senyawa tersebut. Toksin yang dihasilkan oleh cendawan-cendawan
tersebut di antaranya adalah toksin T-2 yang merupakan jenis trikotesena
paling toksik. Toksin ini menyebabkan iritasi kulit dan juga diketahui
bersifat teratogenik. Selain toksin T-2, trikotesena lainnya seperti
deoksinivalenol, nivalenol dapat menyebabkan emesis dan muntah-
muntah (Noverisa, R.2008).

Gambar Fusarium spp


e. Fumonisin
Fumonisin termasuk kelompok toksin fusarium yang dihasilkan
oleh cendawan Fusarium spp., terutama F. moniliforme dan F.
proliferatum. Mikotoksin ini relative baru diketahui tahun 1850 di US dan
pertama kali diisolasi dari F. moniliforme pada tahun 1988. Selain F.
moniliforme dan F. proliferatum, terdapat pula cendawan lain yang juga
mampu memproduksi fumonisin, yaitu F. nygamai, F. anthophilum, F.
diamini dan F. napiforme. F. moniliforme tumbuh pada suhu optimal
antara 22,5 – 27,50 C dengan suhu maksimum 32 - 370C. Cendawan
Fusarium ini tumbuh dan tersebar di berbagai negara di dunia, terutama
negara beriklim tropis dan sub tropis. Komoditas pertanian yang sering
dicemari cendawan ini adalah jagung, gandum, sorgum dan berbagai
produk pertanian lainnya. Keberadaan cendawan penghasil fumonisin dan
kontaminasi fumonisin pada komoditi pertanian, terutama jagung
diIndonesia. Meskipun kontaminasi fumonisin pada hewan dan manusia
belum mendapat perhatian di Indonesia, namun keberadaannya perlu
diwaspadai mengingat mikotoksin ini banyak ditemukan bersama- sama
dengan aflatoksin sehingga dapat meningkatkan toksisitas kedua
mikotoksin tersebut. Toxin fumonisin ditemukan pada beberapa tanaman
obat dan teh herbal yang tersebar di pasar Turkey (Noverisa, R.2008).
f. Citrinin
Citrinin pertama kali diisolasi dari Penicillium Citrinum oleh Thom
pada tahun 1931. Mikotoksin ini ditemukan sebagai kontaminan alami
pada jagung, beras, gandum, barley, dan gandum hitam (rye). Citrinin juga
diketahui dapat dihasilkan oleh berbagai spesies Monascus dan hal ini
menjadi perhatian terutama oleh masyarakat Asia yang menggunakan
Monascus sebagai sumber zat pangan tambahan. Monascus banyak
dimanfaatkan untuk diekstraksi pigmennya (terutama yang berwarna
merah) dan dalam proses pertumbuhannya, pembentukan toksin citrinin
oleh Monascus perlu dicegah.
g. Deoksinivalenol
Deoksinivalenol (DON, vomitoksin) adalah mikotoksin jenis
trikotesena tipe B yang paling polar dan stabil. Jenis mikotoksin ini
diproduksi oleh jamur Fusarium Gr aminearium (Gibberella zeae) dan
Fusarium Culmorum, dimana keduanya merupakan patogen pada
tanaman. DON merupakan suatu epoksi-sesquiter-penoid yang
mempunyai 1 gugus hidroksil primer dan 2 gugus hidroksil sekunder serta
gugus karbonil berkonjugasi yang membedakanny a dengan trikotesena
tipe lain. Keberadaan DON kadang-kadang disertai pula oleh mikotoksin
lain yang dihasilkan oleh Fusarium seperti zearalenon, nivalenol (dan
trikotesena lain) dan juga fumonisin. DON merupakan salah satu penyebab
terjadinya mikotoksikosis pada hewan. Merupakan mikotoksin yang stabil
secara termal, oleh karena itu sangat sulit untuk menghilangkannya dari
komoditi pangan yang rentan terkontaminasi senyawa ini, seperti pada
gandum. DON banyak terdapat pada tanaman biji-bijian seperti gandum,
barley, oat, gandum hitam, tepung jagung, sorgum, tritikalus dan beras.
Pembentukan DON pada tanaman pertanian tergantung pada iklim dan
sangat bervariasi antar daerah dengan geografitertentu.
Konsentrasi DON yang pernah dideteksi pada bahan pangan yaitu
pada barley mencapai 0,004 mg/kg -9 mg/kg, 0,003 mg/kg -3,7 mg/kg
pada jagung, 0,004 mg/kg – 0,76 mg/kg pada oat, 0,006 mg/kg - 5 mg/kg
pada beras, 0,013 mg/kg - 0,240 mg/k g pada gandum hitam, dan 0,001
mg/k g -6 mg/k g pada gandum. Karena senyawa ini stabil, DON dapat
pula ditemukan pada produk sereal seperti sereal untuk sarapan, roti, mi
instan, makanan bayi, malt dan bir. Transfer DON dari pakan ternak ke
dalam daging dan produk hewan lainnya sangat rendah.
h. Patulin
Patulin dihasilkan oleh Penicillium , Aspergillus, Byssochlamys ,
dan spesies yang paling utama dalam memproduksi senyawa ini adalah
Penicillium expansum . Toksin ini menyebabkan kontaminasi pada buah,
sayuran, sereal, dan terutama adalah apel dan produk-produk olahan apel
sehingga untuk diperlukan perlakuan tertentu untuk menyingkirkan patulin
dari jaringan-jaringan tumbuhan Contohnya adalah pencucian apel dengan
cairan ozon untuk mengontr ol pencemar an patulin. Selain itu, fermentasi
alkohol dari jus buah diketahui dapat memusnahkan patulin. Merupakan
mikotoksin yang dapat mengkontaminasi berbagai jenis buah (apel,anggur,
pir), sayuran, jagung kering, sereal dan makanan ternak. Sumber utama
patulin yang membaha yakan manusia terdapat pada apel dan jus apel,
terutama yang dibuat dengan pemerasan secara langsung. Produk lain yang
mengandung apel seperti selai, pie juga mengandung patulin dalam
konsentrasi rendah.
C. Cara upaya pencegahan mikotoksin
a. Control air
Kandungan air dalam pakan menjadi salah satu faktor utama akan
berkembang nya jamur. Air yang terkandung didalam pakan didapat dari 3
sumber y aitu :
1. Kandungan pakannya.
2. Proses pakan di pabrik
3. Tempat dimana pakan disimpan
Untuk mengendalikan kandungan kadar air maka ketiga faktor
tersebut diatas harus diperhatikan.Jagung dan jenis biji-bijian lain
merupakan bahan pakan yang tinggi kadar air dan sumber timbulnya jamur
dalam pakan.Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah kontrol kadar
air agar kadar airnya selalu rendah. Semua pakan mengandung kadar air
tertentu , maka kadar air tersebut harus dimonitor dan dikontrol.Umumnya
pada biji-bijian jarang timbul jamur, namun jika kondisinya
memungkinkan maka jamur juga bisa tumbuh Biji-bijian yang ditumpuk
maksimal kadar airnya adalah 15 %. Biji-bijian dengan kadar air yag
tinggi memungkinkan tumbuhnya jamur akan tingi pula. Banyaknya jamur
yang tumbuh pada biji-bijian yang pecah lima kali lebih banyak
dibandingkan pada biji-bijian yang masih utuh.Proses penggilingan bahan
pakan digunakan mesin penggiling untuk membantu pencampuran. Proses
penggilingan menjadi pecahan ini menimbulkan panas.Jika tidak
dikontrol, maka temperatur akan meningkat lebih dari 10 of sehingga akan
timbul titik-titik air. Titik-titik air ini menunjang tumbuhnya jamur. Hal ini
juga dapat terjadi terutama jika udara dingin. Sehingga perbedaan suhu ini
menyebabkan air akan berkondensasi di bagian dinding tempat
peggilingan. Disarankan sintem penggilingan (hummer milk) disertai
dengan menggunakan sirkulasi udara /ventilasi yang dapat menurunkan /
mengurangi panas pada produk pakan dan mengur angi timbulny a titik-
titik air .
b. Kontrol Kondisi Lingkungan Tempat Menyimpan Pakan
Untuk mengontr ol pertumbuhan jamur, sumber timbulnya air dari
tempat penampungan pakan dan peralatan penyimpanan perlu dihindari.
Sumber air ini dapat timbul karena kebocoran tempat penyimpana n,
bagian atap gudang atau atap tempat pengilingan. Timbulny a air pada
pakan seringkali dilewatkan. Pada sistem perkandangan close house
banyak dilakukan dengan member ikan rasa dingin yang menyebabkan
kondisi lingkungan lebih lembab. Kelembaban pada sistem perkandangan
ini harus dikontr ol dengan sistem v entilasi y ang cukup.
c. Kontrol Agar pakan Tetap Segar
Sebaiknya pakan yang diberikan ke ternak masih dalam keadaan
segar. Pakan seharusnya dikonsumsi habis maksimal dalam waktu 10 hari
setelah pengiriman. Hal yang perlu dilakukan adalah mengatur sistem
pengiriman pakan untuk memastikan bahwa pakan tersebut harus habis.
Selain itu pemberian pakan sebaiknya diberikan secara bertahap. Ternak
umumnya akan memakan pakan yang ada dibagian atas sedangkan pakan
yang ada dibagian bawah telewatkan sehingga kemungkinan jamur bisa
tumbuh. Untuk mencegah masalah ini, seharusnya pakan ditempat pakan
dihabiskan sebelum datang pakan yang baru.Prinsip pengeluaran dari
gudang juga sama yang biasa disebut dengan “all in all aut”
d. Kebersihan Peralatan
Saat pakan dikirim ke farm, dimungkinkan terjadi kontak dengan
pakan yang lama yang masih tertinggal pada saat penyimpanan pakan atau
pengiriman pakan.pakan lama tersebut seringkali terdapat jamurnya dan
jika kontak dengan pakan baru maka kesempatan jamur untuk tumbuh dan
membentuk mikotoksin akan meningkat. Untuk mencegahnya, sisa pakan
lama sebaiknya dibersihkan dahulu dari peralatan tersebut.

BAB III

KESIMPULAN

Mikotoksin adalah racun atau toksik hasil dari proses metabolism


sekunder yang dihasilkan oleh spesies jamur tertentu selama pertumbuhannya
pada bahan pangan maupun pakan, yang menyebabkan perubahan fisiologis
abnormal atau patologis manusia dan hewan. Pada konsentrasi yang tinggi,
mikotoksin akan menyerang secara langsung organ spesifik seperti hati, ginjal,
saluran pencernaan, sistem syaraf dan saluran reproduksi. Sedangkan pada
konsentrasi yang rendah, mikotoksin dapat menurunkan pertumbuhan dan
mengganggu kekebalan terhadap penyakit, menjadikan hewan ternak lebih rentan
terhadap penyakit dan mengalami penurunan produktivitasnya. Produk dan bahan
baku tumbuhan obat banyak terkontaminasi oleh cendawan dan mikotoksin,
antara lain sambiloto, jahe, kunyit, kencur, kayu rapat dll. Faktor-faktor penyebab
adalah genetik tumbuhan, penanganan sebelum panen (perlakuan budidaya, stress
lingkungan), dan penanganan setelah panen. Kondisi yang tidak cukup bersih
selama pengeringan, transportasi, dan penyimpanan bahan baku atau produk,
dapat menyebabkan tumbuhnya bakteri, cendawan dan mikotoksin. Oleh sebab
itu, diharapkan dapat ditingkatkan kesadaran tentang pentingnya meningkatkan
metode penyiapan bahan baku (seperti panen, pengeringan, transportasi dan
penyimpanan) tumbuhan obat, yang bebas kontaminasi cendawan dan mikotoksin
kepada konsumen, peneliti, petani dan pedagang. Selain itu, diperlukan program
monitoring dan pemeriksaan sehingga menghasilkan banyak data tentang
distribusi dan tingkat kontaminasi aflatoksin pada produk atau bahanbaku
tumbuhan obat yang beredar di pasar.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai