Anda di halaman 1dari 84

II.

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini dibahas tentang berbagai studi pustaka yang berkaitan

dengan keragaan jeruk di Indonesia, di Provinsi NTT dan di Kabupaten TTS serta

studi empiris terdahulu yang berkaitan dengan efisiensi di bidang pertanian dan

jeruk keprok SoE. Sumber-sumber data adalah data sekunder. Pembahasan pada

keragaan jeruk di Indonesia difokuskan pada aspek luas lahan, produksi, ekspor,

impor dan peranannya terhadap perekonomian. Pada keragaan usahatani jeruk di

Provinsi NTT dan di Kabupaten TTS dideskripsikan tentang kondisi dan prospek

pengembangan jeruk keprok pada usahatani lahan kering dan kekhasan jeruk

Keprok SoE. Selanjutnya pembahasan difokuskan pada studi-studi terdahulu di

bidang pertanian yang menggunakan pendekatan stokastik frontier. Dari berbagai

ulasan studi tersebut ditarik suatu kesimpulan yang dijadikan sumber keputusan

dan alasan tentang pentingnya jeruk keprok SoE pada perekonomian masyarakat

di NTT, penggunaan pendekatan, metode estimasi dan model fungsi produksi

stokastik frontier yang digunakan di dalam penelitian ini.

2.1. Keragaan Jeruk di Indonesia

Indonesia memiliki potensi yang besar untuk memproduksi berbagai

jenis produk hortikultura, khususnya buah-buahan tropis. Perkembangan luas

panen, produksi dan produktivitas jeruk di Indonesia tahun 2002 - 2008 disajikan

pada Tabel 1.

Diketahui pula bahwa produksi jeruk Indonesia periode 1995-2001

menurun sebesar 24% yakni dari produksi sebesar 1 004 632 ton pada tahun 1995

menjadi sebesar 691 433 ton pada tahun 2001. Luas panen jeruk Indonesia tahun
32

1995 adalah sebesar 46 036 ha dan tahun 2001 sebesar 35 367 ha atau menurun

sebesar 30.2% dalam periode tahun 1995-2001. Namun setelah terjadinya krisis

ekonomi di Indonesia, tren produksi terus meningkat sejalan dengan

meningkatnya luas panen. Luas panen jeruk tahun 2003 adalah 69 139 ha dengan

produksi 1 529 824 ton dan produktivitas rata-rata 22.13 ton/ha. Periode waktu

tahun 2007-2008, baik luas panen maupun produksi jeruk Indonesia terus

menurun. Trend luas panen dan produksi jeruk di Indonesia tahun 1995-2008

tercantum pada Gambar 2.

Tabel 1. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jeruk di


Indonesia, Tahun 2002-2008

Tahun
Perkembangan
2002 2003 2006 2007 2008
Luas Panen (Ha) 47 824 69 139 72 390 69 500 63 695
Produksi (Ton) 968 132 1 529 824 2 565 543 2 625 884 2 322 581
Produktivitas (Ton/ha) 20.24 22.13 35.44 37.78 35.44

Sumber: Departemen Pertanian, 2009a.

3000000
2 625 884
Luas Panen (Ha) dan Produksi (Ton)

2 565 543

2500000 Produksi (Ton) 2 322 581

Luas Panen (Ha)


2000000
1 529 824
1500000
1 004 632 968 132
1000000 644 052 691 433
449 531
500000
69 139 72 390 69 500 63 695
46 036 25 210 37 120 35 367 47 824
0
1995 1999 2000 2001 2002 2003 2006 2007 2008
Tahun

Sumber: Departemen Pertanian, 2009a.


Gambar 2. Perkembangan Luas Panen dan Produksi Jeruk di Indonesia, Tahun
1995-2008
33

Dari kelompok buah-buahan, komoditas jeruk menempati urutan ke-2

setelah pisang seperti tercantum pada Tabel 2 dan 3. Di sini terlihat bahwa jeruk

semakin menjadi komoditas penting di dalam pembangunan pertanian Indonesia,

terutama di dalam sistem pertanian hortikultura Indonesia.

Tabel 2. Produksi Buah-Buahan Menurut Jenis Tanaman, Tahun 2006-2008

Rata-rata
Produksi
No Komoditas Produksi %**
2006 2007 2008 2006-2008

1 Pisang 5 037 472 5 454 226 6 004 615 5 498 771.00 28.6
2 Jeruk * 2 565 543 2 625 884 2 467 632 2 553 019.67 13.3
Jeruk
3 Siam/Keprok 2 479 852 2 551 635 2 391 011 2 474 166.00 12.9
4 Mangga 1 621 997 1 818 619 2 105 085 1 848 567.00 9.6
5 Nenas 1 427 781 1 395 566 1 433 133 1 418 826.67 7.4
6 Salak 861 950 805 879 862 465 843 431.33 4.4
7 Rambutan 801 077 705 823 978 259 828 386.33 4.3
8 Durian 747 848 594 842 682 323 675 004.33 3.5
9 Pepaya 643 451 621 524 717 899 660 958.00 3.4
10 Nangka 683 904 601 929 675 455 653 762.67 3.4
11 Semangka 392 587 350 780 371 498 371 621.67 1.9
12 Alpukat 239 463 201 635 244 215 228 437.67 1.2
13 Duku/Langsat 157 655 178 026 158 649 164 776.67 0.9
14 Jambu Biji 19 618 179 474 212 260 137 117.33 0.7
15 Markisa 119 683 106 788 138 027 121 499.33 0.6
16 Jambu Air 128 648 94 015 111 495 111 386.00 0.6
17 Sawo 107 169 101 263 120 649 109 693.67 0.6
18 Sukun 88 339 92 014 113 778 98 043.67 0.5
19 Manggis 72 634 112 722 78 674 88 010.00 0.5
20 Jeruk Besar 85 691 74 249 76 621 78 853.67 0.4
21 Belimbing 70 298 59 984 72 397 67 559.67 0.4
22 Sirsak 84 373 55 798 55 042 65 071.00 0.3
23 Blewah 67 708 57 725 55 991 60 474.67 0.3
24 Melon 5 537 59 815 56 883 40 745.00 0.2
T O T AL 18 510 278 18 900 215 20 184 056 19 198 183.00 100
Sumber: BPS Indonesia, 2009c dan Departemen Pertanian, 2010.
Keterangan: * : Data penjumlahan jeruk siem/keprok dan jeruk besar
** : % Terhadap Total Rata-Rata Indonesia, Tahun 2006-2008
34

Pada tahun 2006, produksi jeruk seperti tercantum pada Tabel 3 adalah

sebesar 2 565 543 ton. Namun produktivitas jeruk Indonesia baik hasil per ha

maupun per pohonnya masih dikategorikan rendah bila dibandingkan dengan

produktivitas potensialnya.

Tabel 3. Tanaman Menghasilkan, Luas Panen, Hasil per Hektar, Hasil per Pohon
dan Produksi Buah-Buahan di Indonesia, Tahun 2006

No Komoditi Tanaman Luas Hasil Hasil per Produksi


sedang Panen per Ha pohon (Ton)
menghasilkan (Ha) (Ton/Ha) (Kg/phn)
(pohon/rumpun)
1 Alpukat 1 562 836 15 629 15 153 239 463
2 Belimbing 776 964 2 590 27 90 70 298
3 Duku/Langsat 1 365 465 13 656 12 115 157 655
4 Durian 4 821 083 48 212 16 155 747 848
5 Jambu Biji 2 656 740 8 857 22 74 19 618
6 Jambu Air 1 191 728 11 918 11 108 128 648
7 Jeruk Siam/Keprok 26 860 096 67 152 37 92 2 479 852
8 Jeruk Besar 817 076 5 238 16 105 85 691
9 Jeruk *) 27 677 172 72 390 35 93 2 565 543
10 Mangga 19 550 186 195 503 8 83 1 621 997
11 Manggis 827 431 8 275 9 88 72 634
12 Nangka/Cempedak 51 13 828 51 137 13 134 683 904
13 Nenas 534 166 551 21 368 67 3 1 427 781
14 Pepaya 8 017 689 8 021 80 80 643451
15 Pisang 94 147 175 94 144 54 54 5 037 472
16 Rambutan 81 82 517 81 824 10 98 801 077
17 Salak 65 472 781 32 736 26 13 861 950
18 Sawo 843 445 8 435 13 127 107 169
19 Maekisa 1 844 093 1 846 65 65 119 683
18 Sirsak 1 214 305 4 047 21 69 84 373
19 Sukun 806 197 8 061 11 110 88 339
20 Melon - 3 189 17 - 5 537
21 Semangka - 31 843 12 - 392 587
22 Blewah - 4 537 15 - 67 708
Total Buah 80 7915 358 800 608 18 510 278
Sumber: Departemen Pertanian, 2007.
Keterangan: *) Data jeruk merupakan penjumlahan antara data jeruk siem/keprok
dan jeruk besar
35

Produktivitas jeruk siem/keprok Indonesia dikategorikan masih rendah

yakni sebesar 35.44 ton/ha (masih berada di bawah produksi potensial jeruk

sebesar 60-65 ton/ha). Demikian juga produktivitas per pohonnya yang sebsar 92

kg/pohon masih berada jauh di bawah produksi potensialnya 250 kg/pohon. Bila

dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, jumlah produksi, luas panen dan

produktivitas jeruk menunjukkan suatu tren yang meningkat. Dengan

memperhatikan gambaran produktivitas tersebut, maka arah pembangunan

hortikultura Indonesia di masa datang adalah peningkatan produksi dengan

penyediaan dan pengalokasian input produksi yang lebih efisien. Perlu dicatat

bahwa permintaan terhadap jeruk di Indonesia dari tahun ke tahun pasti meningkat

sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan, permintaan ekspor

dan perubahan selera masyarakat. Dengan demikian, kondisi permintaan dan

penawaran jeruk Indonesia di kemudian hari akan merupakan hal penting untuk

diperhatikan keseimbangannya.

Komoditas jeruk dapat dijumpai di seluruh wilayah Indonesia. Varietas

jeruk yang dikembangkan di Indonesia sangat banyak. Varietas yang paling

banyak dibudidayakan adalah jenis siem dan keprok. Sampai dengan tahun 2007,

tercatat 24 varietas unggul jeruk yang sudah secara resmi dilepas oleh pemerintah

Indonesia seperti tercantum padaTabel 4.

Sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1997, produksi jeruk nasional

mengalami penurunan yang cukup besar. Namun sejak tahun 2000 produksi jeruk

kembali terus mengalami peningkatan sejalan dengan semakin berkembangnya

areal tanam, meningkatnya konsumsi penduduk per kapita per tahun dan pasar

ekspor. Produksi jeruk terbesar disumbangkan oleh jeruk siem disusul jeruk
36

keprok, jeruk manis, grape fruit dan jeruk besar (pamelo) dengan jumlah produksi

seperti tercantum pada Tabel 5.

Tabel 4. Varietas Jeruk Unggul yang Telah Dilepas Pemerintah Indonesia

No Janis Varietas Asal Tahun


1 Jenis Keprok - Pangkajene merah Sulsel 1994
- Pangkajene putih Sulsel 1994
- Tejakula Bali 1995
- Selayar Sulsel 1995
- Siompu Sultra 1997
- SoE NTT 1998
- Garut-1 Jabar 1999
- Sipirok Sumut 2000
- Pulau Tengah Jambi 2002
- Madura Jatim 2002
- Tejakula Jateng 2004
- Batu 55 Jatim 2005
- Terigas Kalbar 2007
2 Jeruk Manis - Kisar Maluku 1998
- Manis Taji-01 Sumbar 2000
- Pacitan Jatim 2002
3 Jeruk Siem - Madu Sumut 1999
- Banjar Kalsel 1998
4 Jeruk Besar - Cikoneng ST Jabar 1999
- Bali Merah Bali 2000
- Pamelo Raja Sumbar 2000
- Pamelo Ratu Jatim 2000
- Pamelo Nambangan Jatim 2000
5 Jeruk Hibrida - Cripta-01 Jambi 2000
Sumber: Departemen Pertanian, 2003; 2009b dan 2010.

Tabel 5. Komposisi Produksi Jeruk Indonesia, Tahun 2001, 2006 dan 2008

No Jenis Jeruk Produksi (Ton) Proporsi (%)


2001 2006 2008 2001 2006 2008
1 Siem 419 216 2 479 852 2 391 011 60.6 97 96.9
2 Keprok 253 687 36.7
3 Jeruk Besar 11 616 85 691 76 621 1.7 3 3.1
4 Manis 6 914 - - 1 -
5 Grape Fruit 968 - - 0.14 -
Jumlah 691 433 2 565 543 2 467 632 100 100 100

Sumber: Departemen Pertanian, 2003; 2009b dan 2010.


37

Dalam neraca perdagangan internasional, jeruk merupakan komoditas

buah impor yang patut mendapat perhatian, mengingat angka impor jeruk ke

Indonesia dalam sembilan tahun terakhir ini terus meningkat. Jumlah impor

Indonesia dengan tren kenaikan yang cukup tajam (baik dalam bentuk buah segar

maupun hasil olahannya) yaitu sebesar 36 775 ton pada tahun 1999, meningkat

menjadi 59 358 ton pada tahun 2003 dan 96 583.61 ton pada tahun 2006. Pada

tahun 2003, volume impor jeruk segar menduduki posisi ke-2 setelah apel

(Departemen Pertanian, 2005). Sedangkan tahun 2006, jeruk menempati posisi

pertama (Tabel 6).

Tabel 6. Nilai dan Volume Ekspor - Impor Buah-Buahan Indonesia, Tahun 2006

Tahun 2006
NO KOMODITAS Ekspor Impor
Nilai (US $) Volume (Kg) Nilai (US $) Volume (Kg)
1. Pisang 1 672 617 5 280 641 242 863 151 967
2. Nenas 111 933 603 204 920 547 38 870 40 517
3. Alpukat 8 822 3 518 38 589 21 968
4. Jambu Biji 101 774 131 810 215 887 187 683
5. Mangga 966 652 930 066 621 452 948 145
6. Manggis 3 894 391 5 857 407 42 29
7. Jeruk 419 333 470 763 67 405 027 96 583 609
8. Pepaya 13 860 11 914 31 162 109 549
9 Melon 461 165 217 350 552 961 888 760
10. Buah-buahan Lainnya 10 982 445 27 903 699 183 918 927 263 590 404
Total Buah-buahan 130 454 662 245 727 715 253 065 780 362 522 631

Sumber: Departemen Pertanian, 2007 dan 2008b.

Pada tahun 2006, nilai impor jeruk tersebut didominasi oleh jeruk

mandarin dari Cina. Nilai impor jeruk mandarin China sebesar US$ 36 juta atau

54% dari total impor jeruk tahun 2006. Pengurangan tariff impor secara bertahap
38

menunju Free Trade Area (FTA) ASEAN-China yang disepakati tahun 2005

sudah mulai memunculkan dampak negatif. Nilai impor jeruk mandarin China

dari tahun ke tahun terus meningkat. Jika pada tahun 2006 nilai impor jeruk

mandarin China hanya sebesar US$ 36 juta, maka tahun 2007 sudah meningkat

menjadi sebesar US$ 62.9 juta dan tahun 2008 sebesar US$ 84.7 juta (Kompas, 03

Agustus 2009). Pada kuartal I tahun 2009, nilai impor jeruk keprok mandarin

China sudah mencapai US$ 107.3 juta.

Kecenderungan volume impor selama tahun 1997-2008 tercantum pada

Gambar 3. Dari gambar terlihat bahwa impor jeruk setelah tahun 2000 selalu

meningkat. Hal ini menggambarkan adanya kekurangan produksi di dalam

memenuhi permintaan domestik Indonesia. Selain itu, Indonesia juga belum

memiliki kebijakan (aturan) khusus untuk membatasi kuota impor dan peredaran

jeruk mandarin di pasar lokal Indonesia.

160000
Volume Impor (Ton) 143 600
140000

120000
Volume Impor (Ton)

95 744 118 800


100000 81 611
79 729 96 584
80000 69 848 93 431
77 855
60000
59 358
40000
36 775
20000
26 423
0
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Tahun

Sumber: Departemen Pertanian, 2008b dan FAO, 2010.


Gambar 3. Volume Impor Jeruk Indonesia, Tahun 1997-2008
39

Namun demikian, Jeruk Indonesia juga telah mampu menembus pasar

luar negeri (ekspor) meskipun dalam volume yang relatif kecil. Volume ekspor

jeruk Indonesia lebih banyak berupa produk jeruk segar. Pada tahun 2003, volume

ekspor jeruk Indonesia mencapai 1 158 ton, dan menurun ke 94 ton pada tahun

2007. Gambaran detil perkembangan ekspor jeruk di Indonesia disajikan pada

Tabel 6 di atas dan Gambar 4.

2500 Volume Ekspor (Ton)

2000 1 829 2 046


1 789
Volume Ekspor (Ton)

1500 1 590

1 249
1 158
1000 1 128

482

500 471
413

94
0
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Tahun

Sumber: Departemen Pertanian, 2008b dan FAO, 2010.


Gambar 4. Volume Ekspor Jeruk Indonesia, Tahun 1997-2007

Besarnya angka impor jeruk ini sebenarnya cukup memprihatinkan,

mengingat potensi produksi jeruk dalam negeri sangat besar. Untuk itu berbagai

upaya telah dilaksanakan dalam rangka mengoptimalkan potensi jeruk dalam

negeri agar dapat memenuhi kebutuhan di dalam negeri sendiri, baik untuk

kebutuhan rumahtangga maupun industri. Modernisasi industri perjerukan

nasional melalui suatu penataan rantai pasokan (supply chain management, SCM)
40

yang terpadu dan komprehensif merupakan langkah strategis yang harus segera

dilaksanakan oleh seluruh stakeholder jeruk Indonesia.

Kecenderungan menurunnya tren ekspor tahun 2004-2006 diduga karena

produksi jeruk dalam negeri lebih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan domestik

(orientasi pasar dalam negeri) dibandingkan dengan permintaan internasionalnya.

Strategi menerobos pasar ekspor jeruk dengan meningkatkan volumenya sampai

kapanpun tetap perlu dilakukan. Hal ini menjadi kebijakan dalam rangka

menumbuhkan dan memantapkan semangat agribisnis jeruk dalam negeri. Dalam

rangka memenuhi kebutuhan konsumsi dan produksi serta target ekspor dan impor

jeruk, maka telah ditetapkan sasaran produksi dan target pengembangan areal

jeruk pada tahun 2010-2025 seperti tercantum pada Tabel 7.

Tabel 7. Sasaran Produksi Jeruk untuk Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri,


Ekspor dan Pemenuhan Bahan Industri Pengolahan, Tahun 2010-2025

(Ton)
Tahun Produksi Kebutuhan Bahan Impor
dalam Negeri Industri Ekspor
Pengolahan
2010 2 355 500 1 925 500 96 200 3 000 128 019
2015 2 686 000 2 210 400 110 500 5 000 128 019
2020 3 140 000 2 600 100 130 000 7 000 130 000
2025 3 956 000 3 303 000 165 000 10 000 130 000

Sumber: Departemen Pertanian, 2005.

Sasaran yang telah ditentukan tersebut akan dilakukan dengan pola

pengembangan kebun jeruk skala besar dikembangkan oleh swasta, dengan luas

100 hektar yang berbentuk hamparan. Pengelolaan usahatani didasarkan pada

Standar Prosedur Operasional (SPO), yaitu dengan mengaplikasikan inovasi

teknologi yang terus berkembang dan memanfaatkan sumberdaya lokal secara


41

berkelanjutan untuk menghasilkan produk yang sehat, aman dikonsumsi, dan

secara ekonomi layak diusahakan serta secara sosial diterima masyarakat

sekitarnya. SPO itu disusun oleh Dinas Pertanian Dirjen Hortikultura setelah

mendapat masukan dari berbagai stakeholder jeruk, termasuk para petani jeruk

(Departemen Pertanian, 2006).

Potensi ekonomi jeruk secara nasional patut diperhitungkan sebagai salah

satu sumber pendapatan asli. Kontribusi jeruk terhadap produk domestik bruto

(PDB) sektor pertanian pada tahun 2003 mencapai Rp. 2 339 milyar (atau lebih

dari 2.3 trilyun rupiah) dan pada tahun 2005 meningkat menjadi Rp. 6 129.08

milyar (atau lebih dari 6.13 trilyun rupiah). Kondisi ini telah memposisikan jeruk

sebagai penyumbang terbesar kedua terhadap PDB setelah pisang (Tabel 8).

Kontribusi jeruk terhadap perekonomian diharapkan terus meningkat sejalan

dengan meningkatnya usaha peningkatan produksi dan mutu jeruk Indonesia,

pengembangan pasar dan industri pengolahan yang berkaitan dengan

makanan/minuman berbahan baku jeruk.

Kebijakan program pengembangan agribisnis jeruk di Indonesia saat ini

tidak saja diarahkan pada rehabilitasi di lokasi lama tetapi juga pengembangan di

lokasi-lokasi harapan baru. Beberapa kebijakan pengembangan agribisnis jeruk:

(1) menyusun peta kesesuaian lahan dalam bentuk kolonisasi (yaitu kawasan

ekonomis yang saling beredekatan/berada pada satu alur jalur transportasi) dan

konsolidasi), (2) menyediakan bibit jeruk bebas penyakit, (3) menerapkan standar

prosedur operasional budidaya jeruk, (3) mengawal penerapan teknologi anjuran,

(4) menlengkapi infrastruktur agribisnis jeruk, (5) penguatan kelembagaan petani,

(6) meningkatkan efisiensi rantai pasokan dan (7) membentuk jaringan informasi.
42

Table 8. Nilai Produk Domestik Bruto Buah-Buahan, Tahun 2005


(Milyar Rupiah)
Nilai PDB Buah-buahan
No Komoditas Jumlah
TW I TW II TW III TW IV
1. Alpukat 81.67 49.49 41.57 128.77 301.50
2. Belimbing 25.64 3.16 31.54 30.48 90.82
3. Duku 251.60 95.14 78.75 100.97 526.46
4. Durian 883.63 311.51 372.98 795.63 2 363.74
5. Jambu Biji 100.42 65.75 74.34 74.34 314.84
6. Jambu Air 29.71 23.97 45.65 43.80 143.13
7. Jeruk Siam 1 361.46 1 658.71 1 506.69 1 443.08 5 969.94
8. Jeruk Besar 34.78 77.87 24.14 22.36 159.14
9. Mangga 333.27 237.75 969.79 2 127.36 3 668.16
10. Manggis 60.98 28.05 22.06 39.59 150.68
11. Nangka 411.84 407.57 373.05 576.90 1 769.35
12. Nenas 199.87 172.12 373.72 370.12 1 115.83
13. Pepaya 177.46 173.19 147.82 261.74 760.20
14. Pisang 2 322.86 1 945.59 2 259.55 2 659.76 9 187.76
15. Rambutan 705.65 152.16 117.42 487.60 1 462.83
16. Salak 666.61 464.94 345.97 860.75 2 338.27
17. Sawo 48.90 39.40 42.56 40.23 171.09
18. Markisa 55.86 61.37 29.68 27.41 174.32
19. Sirsak 48.41 32.77 50.16 62.12 193.46
20. Sukun 29.84 20.22 31.67 37.05 118.79
21. Melon 9.01 14.79 42.64 19.30 85.74
22. Semangka 40.92 90.69 315.66 113.07 560.34
23. Blewah 6.38 5.69 10.44 45.46 67.97
Total Buah-buahan 7 886.76 6 131.90 7 307.83 10 367.88 31 694.38

Sumber : Departemen Pertanian, 2007 dan 2008b.

Jeruk keprok sebenarnya terdiri dari beberapa macam. Jenis King atau

dikenal dengan nama King orange yang berasal dari Vietnam. Jeruk ini buahnya

besar, berkulit kasar dan mempunyai mutu buah bagus (Supriyanto, 2006). Di

Indonesia jenis jeruk keprok ini dikenal dengan nama jeruk jepun. Pada

perkembangan selanjutnya, jeruk keprok Indonesia diwarnai dengan kehadiran

beberapa hybrid jeruk keprok dengan jeruk lainnya terutama dengan jenis jeruk
43

manis (Citrus cinensis) seperti Murcott, Vreemont, dan jenis hybrid lainnya hasil

persilangan.

Secara umum, jeruk keprok di Indonesia digolongkan menjadi dua

kelompok berdasarkan elevasi tempat tumbuhnya, yaitu jeruk keprok dataran

tinggi (highland) dan dataran rendah (lowland) (Supriyanto, 2006). Jeruk keprok

dataran tinggi biasanya tumbuh optimal pada ketinggian sekitar 700-1200 m di

atas permukaan laut (dpl). Selanjutnya Supriyanto menjelaskan bahwa kulit buah

jeruk keprok dataran tinggi biasanya berwarna menarik yaitu orange hingga

kemerahan. Jenis jeruk keprok dataran tinggi yang sudah dilepas oleh pemerintah

(Menteri Pertanian) diantaranya adalah jeruk keprok SoE (NTT), keprok Garut-1

(Jabar), keprok Sipirok (Sumut), keprok Tawangmangu (Jateng), keprok Maga

(Sumut) dan keprok Gayo (NAD). Jeruk keprok dataran rendah tumbuh dan

berkembang dengan baik pada ketinggian 0-500 m dpl. Kulit buah berwarna

kuning kehijauan hingga orange. Jenis jeruk keprok dataran rendah yang sudah

dilepas pemerintah adalah Tejakula (Bali), keprok Selayar (Sulsel), keprok

Siompu (Sulteng), keprok Wangkang (Kalbar), keprok Pulau Tengah (Jambi) dan

keprok Madura (Jatim).

Di tingkat petani hampir tidak mengenal pembagian seperti tersebut.

Sebagai contoh, jeruk keprok SoE di daerah Timor Barat Provinsi Nusa Tenggara

Timur, jeruk tersebut dibudidayakan petani baik di dataran tinggi maupun dataran

rendah (yang mendekati elevasi 500 m dpl). Memang dari segi penampilan warna

kulit buah, jeruk keprok SoE pada daerah dataran tinggi berwarna kuning

keemasan, sedangkan pada daerah dataran rendah didominasi oleh warna kulit

kuning kehijauan. Konsumen lebih menyukai yang berwarna kuning keemasan.


44

2.2. Keragaan Usahatani Jeruk Keprok di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Komoditas jeruk dapat dijumpai di seluruh wilayah Indonesia (Tabel 9).

Tabel 9. Produksi Jeruk Menurut Provinsi di Indonesia, Tahun 2007-2008


No Propinsi Produksi (Ton)
2007 2008 Rata-rata %*
1 Sumatera Utara 963 140 858 508 910 824 39.83
2 Jawa Timur 91 078 520 864 305 971 13.38
3 Sulawesi Barat 155 758 301 483 228 621 10.00
4 Kalimantan Barat 171 599 181 793 176 696 7.73
5 Bali 108 913 71 232 90 073 3.94
6 Sumatera Selatan 95 038 64 233 79 6356 3.48
7 Kalimanatan Selatan 73 110 79 080 76 095 3.33
8 Lampung 49 646 65 257 57 452 2.51
9 Jambi 45 279 36 620 40 949 1.79
10 Jawa Tengah 46 732 33 727 40 229 1.76
11 Nusa Tenggara Timur 50 433 28 317 39 375 1.72
12 Sulawesi Selatan 41 093 33 694 37 394 1.64
13 Jawa Barat 30 119 27 911 29 015 1.27
14 Riau 25 933 27 073 26 503 1.16
15 Sulawesi Tengah 37 329 13 614 25 472 1.11
16 Sumatera Barat 21 878 24 696 23 287 1.02
17 Nanggore Aceh Darussalam 20 873 14 389 17 631 0.77
18 Sulawesi Tenggara 13 373 19 081 16 227 0.71
19 Bengkulu 10 449 14 275 12 362 0.54
20 Kepulauan Bangka Belitung 10 307 10 795 10 551 0.46
21 Kalimantan Timur 9 308 10 491 9 899 0.43
22 Kalimantan Tengah 7 003 6 165 6 584 0.29
23 Maluku 6 214 4 032 5 123 0.22
24 Nusa Tenggara Barat 6 714 3 483 5 099 0.22
25 Papua 3 201 6 720 4 961 0.22
26 Maluku Utara 3 865 4 179 4 022 0.18
27 DI Yogyakarta 2 317 1 880 2 099 0.09
28 Sulawesi Utara 2 088 1 864 1 976 0.09
29 Banten 1 594 1 140 1 367 0.06
30 Gorontalo 1 117 670 894 0.04
31 Papua Barat 626 173 399 0.02
32 Kepulauan Riau 242 190 216 0.01
33 DKI Jakarta 3 3 3 0.00013
Indonesia 2 106 372 2 467 632 2 287 002 100.00
Sumber: BPS Indonesia, 2009c.
Keterangan: * Persentase Terhadap Total Rata-Rata Indonesia (2007-2008).
45

Dari tabel tersebut diketahui bahwa sentra pengembangan jeruk terbesar

di Indonesia berada di Provinsi Sumatera Utara (menyumbang sebesar 40%

terhadap produksi jeruk nasional), diiukuti Provinsi Jawa Timur (13%), Sulawesi

Barat (10%) dan Kalimantan Barat (8%). Provinsi-provinsi lain seperti Bali,

Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Lampung menyumbang sekitar 3%

terhadap total produksi jeruk nasional. Sedangkan Provinsi Nusa Tenggara Timur

berada pada urutan yang ke sebelas dan menyumbang sebesar 1.72% (atau sebesar

39 375 ton) terhadap produksi jeruk nasional (rata-rata produksi tahun 2007-2008;

BPS Indonesia, 2009c).

Potensi areal untuk pengembangan tanaman jeruk di Indonesia sangat

besar. Menurut hasil kajian Pusat Penelitian Pengembangan Tanah dan

Agroklimat tahun 2005, dari segi kesesuaian lahannya, pengembangan sentra

produksi baru dapat dikembangkan di sembilan Provinsi dengan luas 5.6 juta

hektar seperti terlihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Luas Lahan Pengembangan Baru Jeruk di Beberapa Provinsi di


Indonesia

Provinsi Luas Lahan (Ha) %


Sumatra Utara 47 023 0.8
Sumatra Barat 182 959 3.2
Jambi 16 828 0.3
Sumatra Selatan 262 799 4.7
Nusa Tenggara Timur 203 431 3.6
Kalimantan Barat 1 762 105 31.2
Kalimantan Tengah 2 782 721 49.2
Kalimantan Selatan 739 053 13.1
Sulawesi Selatan 133 933 2.4
Indonesia 5 651 388 100.0
Sumber: Departemen Pertanian, 2005.

Dari tabel diketahui bahwa upaya pengembangan jeruk masih didukung

dengan ketersediaan lahan yang sangat luas, terutama di daerah-daerah


46

Kalimantan (Tengah, Barat dan Selatan). Provinsi Nusa Tenggara Timur

merupakan salah satu daerah sentra pengembangan jeruk keprok di Indonesia

dengan luas lahan potensial sebesar 203 431 ha atau sebesar 4% dari total luas

lahan rencana pengembangan jeruk di Indonesia. Kabupaten Timor Tengah

Selatan (TTS) memiliki luas lahan potensial untuk pengembangan jeruk sebesar

65 000 ha (32%) dari total luas lahan potensial untuk pengembangan jeruk di

provinsi NTT. Di Provinsi ini, Kabupaten Timor Tengah Selatan merupakan

daerah sentra pengembangan varietas jeruk keprok SoE. Budidaya jeruk keprok

ini hampir menyebar di semua kecamatan-kecamatan yang ada di Kabupaten

Timor Sengah Selatan seperti yang tercantum pada Lampiran 1.

Di Provinsi Nusa Tenggara Timur, buah-buahan memiliki nilai ekonomi

yang berarti bagi pendapatan rumahtangga petani sepereti yang tercantum pada

Tabel 11 dan Gambar 5. Di daerah ini terdapat sekitar 20 jenis buah-buahan yang

sudah memasyarakat. Kontribusi hortikultura terhadap PDB cukup tinggi. Tahun

2005 sebesar 3.17 trilyun Rupiah. Dari jumlah tersebut kontribusi jeruk sebesar

6.1 milyar Rupiah (terbesar kedua setelah pisang). Tahun 2007 meningkat

menjadi sebesar 4.236 trilyun Rupiah dan sebesar 4.625 trilyun pada tahun 2008,

dimana kontribusi terbesar berasal dari pisang (67.6%), diikuti oleh papaya (10%),

jeruk keprok (7.65%) dan mangga (6.45%) . Kontribusi komoditas buah-buahan

lainnya masih sangat kecil yakni lebih kecil dari 2%.

Sedangkan dari segi produksi jeruk keprok menduduki tempat yang

kelima setelah pisang, mangga, alpukat dan papaya dan menyumbang sebesar

9.6% terhadap total produksi buah-buahan di provinsi NTT selama tahun 2005-

2008 seperti yang tercantum pada Gambar 6.


47

Tabel 11. Produksi Buah-Buahan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2005-2008

Kontribusi
Jenis Buah-
No Produksi (Ton) TOTAL Nilai
Buahan
Ekonomi (%)
2005 2006 2007 2008 (T0N) % 2005-
Ton % Ton % Ton % Ton % 2008
1 Alpukat 39 566.0 16.9 54 647.0 16.5 66 606.0 15.0 11 545.0 2.5 172 364.0 11.70 2.79
2 Mangga 57 170.0 24.4 70 967.0 21.5 60 279.0 13.6 109 893.0 23.7 298 309.0 20.25 6.45
3 Pisang 55 677.0 23.8 81 886.0 24.8 192 112.0 43.3 191 342.0 41.2 521 017.0 35.37 67.58
4 Jeruk Keprok 29 308.0 12.5 46 743.0 14.1 43 980.0 9.9 21 520.0 4.6 141 605.0 9.61 7.65
5 Pepaya 22 338.0 9.5 31 193.0 9.4 36 391.0 8.2 64 248.0 13.8 154 170.0 10.47 10.00
6 Nangka 12 398.0 5.3 18 949.0 5.7 20 036.0 4.5 30 888.0 6.6 82 271.0 5.59 1.33
7 Jambu Biji 6 333.0 2.7 11 495.0 3.5 4 549.0 1.0 7 579.0 1.6 29 956.0 2.03 0.40
8 Sirsak 4 411.0 1.9 5 436.0 1.6 2 041.0 0.5 3 024.0 0.7 14 912.0 1.01 0.97
9 Jeruk Besar 3 275.0 1.4 4 941.0 1.5 6 453.0 1.5 6 743.0 1.5 21 412.0 1.45 0.58
10 Sukun 1 054 0.4 1 222 0.4 667.0 0.2 2 214.0 0.5 5 157.0 0.35 0.33
11 Nenas 836.0 0.4 856.0 0.3 2 139.0 0.5 5 674.0 1.2 9 505.0 0.65 0.62
12 Rambutan 775.0 0.3 791.0 0.2 2 383.0 0.5 5 115.0 1.1 9 064.0 0.62 0.59
13 Salak 447.0 0.2 611.0 0.2 144.0 0.0 824.0 0.2 2 026.0 0.14 0.35
14 Durian 249 0.1 343 0.1 514.0 0.1 787.0 0.2 1 893.0 0.13 0.05
15 Belimbing 177 0.1 272 0.1 365.0 0.1 742.0 0.2 1 556.0 0.11 0.03
16 Sawo 174 0.1 192 0.1 1 019.0 0.2 812.0 0.2 2 197.0 0.15 0.14
17 Jambu Air 101 0.04 130 0.04 3 629.0 0.8 1 174.0 0.3 5 034.0 0.34 0.08
18 Petay 32 0.0 42 0.0 109.0 0.0 96.0 0.0 279.0 0.02 0.02
19 Melinjo 26 0.0 30 0.0 131.0 0.0 209.0 0.0 396.0 0.03 0.03
20 Duku 9 0.004 9 0.003 8.0 0.0 64.0 0.0 90.0 0.01 0.00
NTT 234 289 100.0 330 674 100.0 443 555.0 100. 464 547.0 100. 1 473 056 100.0 100.00

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a (diolah).


48

600000
521 017
Produksi (Ton)
500000

400000
Produksi (Ton)

298 309
300000
172 364
200000 154 170 141 605

82 271
100000
29 956 21 412 14 912
9 505 9 064 5 157 5 034
0

Jenis Buah-Buahan

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a (diolah).


Gambar 5. Total Produksi Buah-Buahan di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Tahun 2005-2008

40
35.4 % Produksi
Produksi (% Terhadap Total)

35
30
25
20.3
20
15 11.7
10.5 9.6
10 5.6
5 2.0 1.5 1.0 0.6 0.6 0.4 0.3 0.1
0

Jenis Buah-Buahan

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a (diolah).


Gambar 6. Persentase Produksi Terhadap Total Produksi Buah-Buahan di Nusa
Tenggara Timur, Tahun 2005-2008
49

Diantara berbagai jenis buah-buahan yang diproduksi oleh para petani di

provinsi NTT, dari segi luas panen selama tahun 2005 hingga 2008, jeruk keprok

menduduki tempat ketiga setelah mangga dan pisang (Tabel 12 dan Gambar 7).

Tabel 12. Luas Panen Buah-Buahan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun
2005-2008
Jenis Buah-
No Buahan Luas Panen (Ha)

2005 2006 2007 2008 Total

Ha % Ha % Ha % Ha % Ha %

1 Alpukat 9 358 13.04 11 717 12.91 10 317 11.35 1 508 7.43 32 900 12.0
2 Belimbing 79 0.11 110 0.12 64 0.07 31 0.15 284 0.10

3 Duku/Langsat 2 0.00 2 0.00 4 0.00 19 0.09 27 0.01

4 Durian 157 0.22 282 0.31 181 0.20 85 0.42 705 0.26
5 Jambu Biji 1 454 2.03 2 075 2.29 1 386 1.52 398 1.96 5 313 1.94

6 Jambu Air 101 0.14 130 0.14 689 0.76 142 0.70 1 062 0.39

7 Jeruk Keprok 10 987 15.31 13 260 14.61 13 083 14.39 2 043 6.45 38 639 14.1
8 Jeruk Besar 788 1.10 944 1.04 910 1.00 235 1.16 2 877 1.05

9 Mangga 23 471 32.71 29 200 32.16 32 425 35.66 8 849 43.60 93 945 34.3
10 Nangka 4 911 6.84 8 259 9.10 3 499 3.85 2 722 13.41 19 391 7.08

11 Nenas 197 0.27 248 0.27 327 0.36 59 0.29 831 0.30

12 Pepaya 3 065 4.27 3 784 4.17 4 835 5.32 778 3.83 12 462 4.55
13 Pisang 14 589 20.33 17 728 19.53 20 585 22.64 3 186 15.70 56 088 20.5

14 Rambutan 474 0.66 541 0.60 521 0.57 371 1.83 1 907 0.70
15 Salak 163 0.23 174 0.19 56 0.06 27 0.13 420 0.15
16 Sawo 66 0.09 106 0.12 546 0.60 120 0.59 838 0.31

17 Sirsak 790 1.10 934 1.03 1 019 1.12 212 1.04 2 955 1.08
18 Sukun 1 054 1.47 1 222 1.35 332 0.37 214 1.05 2 822 1.03

19 Melinjo 26 0.04 30 0.03 92 0.10 14 0.07 162 0.06

20 Petay 32 0.04 42 0.05 57 0.06 18 0.09 149 0.05

NTT 71 764 100 90 788 100 90 928 100 20 297 100 273 777 100

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a (diolah).

Kecenderungan luas panen dan jumlah produksi jeruk keprok NTT ini

selama empat tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang sangat tinggi. Hal ini

sejalan dengan program pengembangan jeruk nasional, di mana provinsi NTT

merupakan salah satu provinsi sentra baru pengembangan jeruk di Indonesia.


50

Trend secara total selama tahun 2005-2008 untuk luas panen dan produksi buah-

buahan di NTT adalah sebagai tercantum pada Gambar 8.

Sirsak Jeruk Besar Sukun Rambutan


2955 2877 2822 1907 Jambu Air
Jambu Biji 1% 1%
1% 1% 1062
5313
2% 0%

Pepaya Alpukat
12462 32900
5% 12%
Nangka
19391
7%

Jeruk Keprok
38639
14%
Mangga
93945
35%

Pisang
56088
21%

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a (diolah).


Gambar 7. Total Luas Panen Buah-Buahan di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Tahun 2005-2008

500000 464547
443555
450000
400000
330674
350000
300000 Luas Panen (Ha)
234289 Produski (Ton)
250000
200000
150000
90788 90928
100000 71764

50000 20297

0
2005 2006 2007 2008

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a (diolah).


Gambar 8. Trend Total Produksi dan Luas Panen Buah-Buahan di Nusa Tenggara
Timur, Tahun 2005-2008
51

Dari gambar tersebut diketahui bahwa produksi buah-buahan di NTT dari

tahun ke tahun meningkat. Produksi buah di NTT secara total selama 2005-2008

meningkat sebesar 98.28% (Tabel 13). Sedangkan dari segi luas panen, secara

total mengalami penurunan sebesar -71.72% dalam periode 2005-2008.

Penurunan luas panen pada tahun 2008 lebih besar dipengaruhi oleh turunnya luas

panen komoditas jeruk keprok sebesar -90% dibandingkan dengan tahun 2007

(Tabel 13). Komoditas yang luas panennya meningkat adalah duku, jambu air dan

sawo. Perbandingan dan kesenjangan antara luas tanam dan luas panen serta

antara produktivitas potensial dan aktual untuk beberapa buah-buahan penting

adalah seperti tercantum pada Tabel 14.

Tabel 13. Perkembangan Luas Panen dan Produksi Buah-Buahan di Provinsi Nusa
Tenggara Timur, Tahun 2005-2008
(%)
No Jenis Buah-Buahan Perkembangan 2005-2008
Luas Panen Produksi
1 Alpukat -83.89 -70.82
2 Belimbing -60.76 319.21
3 Duku/Langsat 850.00 611.11
4 Durian -45.86 216.06
5 Jambu Biji -72.63 19.67
6 Jambu Air 40.59 1062.38
7 Jeruk Keprok -88.09 -26.39
8 Jeruk Besar -70.18 105.89
9 Mangga -62.30 92.22
10 Nangka -44.57 149.14
11 Nenas -70.05 578.71
12 Pepaya -74.62 187.62
13 Pisang -78.16 243.66
14 Rambutan -21.73 560.00
15 Salak -83.44 84.34
16 Sawo 81.82 366.67
17 Sirsak -73.16 -31.44
18 Sukun -79.70 110.06
19 Melinjo -46.15 703.85
NTT -71.72 98.28

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a (diolah).


52

Tabel 14. Luas Tanam dan Produksi Komoditi Buah-Buahan Di Nusa Tenggara Timur, Tahun 2004-2008

NO URAIAN TAHUN Rata-Rata PERTUMBUHAN Populasi


2004 2005 2006 2007 2008 2004-2008 2004-2008 (%) (phn/Ha)
1 MANGGA 100
- Luas Tanam (ha) 56 171 78 492 102 468 115 489 95 915 89 707 70,76
- Luas Panen (Ha) 16 757 23 471 29 200 32 425 8 849 22 140 -47,19
- Produktivitas (Kw/Ha) 21,84 24,36 24,30 18,60 124,19 42,66 468,52 4,27 kg/phn
- Produksi (Ton) 36 604 57 170 70 967 60 299 109 893 66 987 200,22
- Potensi Produktivitas (Kw/Ha) 200 200 200 200 200 200 0,00 20 kg/phn
- Kesenjangan Prodvitas (Kw/Ha) 178,16 175,64 175,70 181,40 75,81 157,34 -57,45
- Kesenjangan Produktivitas (%) 89,08 87,82 87,85 90,70 37,91 78,67
2 ALPUKAT 100
- Luas Tanam (ha) 39 152 44 194 49 042 29 080 26 865 37 667 -31,38
- Luas Panen (Ha) 7 564 9 358 11 717 10 317 1 508 8 093 -80,06
- Produktivitas (Kw/Ha) 35,23 42,28 46,64 64,56 76,56 53,05 117,29 5,31 kg/phn
- Produksi (Ton) 26 651 39 566 54 647 66 606 11 545 39 803 -56,68
- Potensi Produktivitas (Kw/Ha) 500,00 500,00 500,00 500,00 500,00 500 0,00 50 kg/phn
- Kesenjangan Prodvitas (Kw/Ha) 464,77 457,72 453,36 435,44 423,44 446,95 -8,89
- Kesenjangan Produktivitas (%) 92,95 91,54 90,67 87,09 84,69 89,39
3 JERUK KEPROK 278
- Luas Tanam (ha) 14 705 30 797 35 169 26 707 32 300 27 936 119,65
- Luas Panen (Ha) 8 368 10 987 13 260 13 083 2 043 9 401 -84,36
- Produktivitas (Kw/Ha) 21,69 26,68 35,25 33,62 164,81 56,41 659,74 2,03 kg/phn
- Produksi (Ton) 18 153 29 308 46 743 43 980 21 520 31 952 18,85
- Potensi Produktivitas (Kw/Ha) 650,00 650,00 650,00 650,00 650,00 650,00 0,00 23,38 kg/phn
- Kesenjangan Prodvitas (Kw/Ha) 628,31 623,32 614,75 616,38 485,19 593,59 -22,78
- Kesenjangan Produktivitas (%) 96,66 95,90 94,58 94,83 74,64 91,32
53

Tabel 14. Lanjutan

4 RAMBUTAN 100
- Luas Tanam (ha) 8 457 9 395 10 722 7 847 8 515 8 987 0,69
- Luas Panen (Ha) 374 474 541 521 371 456 -0,80
- Produktivitas (Kw/Ha) 16 16 15 46 138 46 785,97 4,60 kg/phn
- Produksi (Ton) 582 775 791 2 383 5 115 1 929 778,87
- Potensi Produktivitas (Kw/Ha) 400 400 400 400 400 400 0,00 40 kg/phn
- Kesenjangan Prodvitas (Kw/Ha) 384,44 383,65 385,38 354,26 262,13 353,97 -31,82
- Kesenjangan Produktivitas (%) 96,11 95,91 96,34 88,57 65,53 88,49
5 SALAK 2000
- Luas Tanam (ha) 890 947 1 156 492 465 790 -47,75
- Luas Panen (Ha) 126 163 174 56 27 109 -78,57
- Produktivitas (Kw/Ha) 24,68 27,42 35,11 25,71 305,19 84 1136,44 0,42 kg/phn
- Produksi (Ton) 311 447 611 144 824 467 164,95
- Potensi Produktivitas (Kw/Ha) 250 250 250 250 250 250 0,00 1,25 kg/phn
- Kesenjangan Prodvitas (Kw/Ha) 225,32 222,58 214,89 224,29 -55,19 166,38 -124,49
- Kesenjangan Produktivitas (%) 90,13 89,03 85,95 89,71 -22,07 66,55
6 NENAS 25000
- Luas Tanam (ha) 525 665 720 647 419 595 -20,19
- Luas Panen (Ha) 151 197 248 327 59 196 -60,93
- Produktivitas (Kw/Ha) 40,26 42,44 34,52 65,41 961,86 229 2289,12 0,09 kg/phn
- Produksi (Ton) 608 836 856 2 139 5 675 2 023 833,39
- Potensi Produktivitas (Kw/Ha) 500 500 500 500 500 500 0,00 0,2 kg/phn
- Kesenjangan Prodvitas (Kw/Ha) 459,74 457,56 465,48 434,59 -461,86 271,10 -200,46

- Kesenjangan Produktivitas (%) 91,95 91,51 93,10 86,92 -92,37 54,22

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a (diolah).


54

Rendahnya produktivitas pertanian tanaman buah di NTT erat kaitannya

dengan rendahnya curah hujan (kekurangan air irigasi untuk pertanian),

penggunaan bibit tanaman dari produksi sendiri (bukan benih unggul), sistem

pengelolaan tradisional dan skala usaha yang masih kecil (kurang dari 1 ha per

KK petani tanaman) dan struktur pasar yang oligopsoni (pasar persaingan tidak

sempurna di mana para pembeli jauh lebih sedikit dibandingkan dengan para

petani produsen/penjual) sehingga harga kurang bersaing dan posisi tawar petani

menjadi lemah. Dari 16 Kabupaten/Kota daerah pengembangan jeruk keprok di

NTT, Kabupaten TTS merupakan daerah prioritas pertama dengan konsentrasi

varietas jeruk keprok SoE seperti yang tercantum pada Tabel 15 dan Tabel 16

serta Gambar 9 dan Gambar 10.

Tabel 15. Keadaan Luas Panen Jeruk Keprok di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Tahun 2002-2008
%
No Kabupaten Luas Panen (Ha) Total
thdp
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 total
1 TTS 1 042 1 157 1 336 1 445 2 218 2 089 1409 10 696 17.4
2 TTU 858 1 035 1 035 1 231 1 682 1 718 90 7 649 12.4
3 Belu 528 1 054 1 053 1 364 1 732 1 732 56 7 519 12.2
4 Kupang 743 1 078 1 078 1 159 1 159 1 154 39 6 410 10.4
5 Alor 630 716 716 979 979 693 67 4 780 7.8
6 Ende 315 384 528 881 892 1 015 126 4 141 6.7
7 Lembata 188 531 532 864 904 860 30 3 909 6.4
8 Ngada 280 328 416 677 698 731 18 3 148 5.1
9 Flores Timur 400 348 367 460 683 637 12 2 907 4.7
10 Sumba Barat 189 315 357 623 647 631 50 2 812 4.6
11 Sumba Timur 231 322 322 322 671 862 32 2 762 4.5
12 Sikka 266 345 345 504 516 482 9 2 467 4.1
13 Manggarai 278 265 265 377 377 375 96 2 033 3.3
14 Manggarai Barat 96 96 95 5 292 0.5
15 Rote Ndao 15 15 1 1 2 4 38 0.1
16 Kota Kupang 0 4 4 5 5 5 0 23 0.1
NTT 5 948 7 897 8 369 10 988 13 260 13 081 2 043 61 586 100

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a (diolah).


55

12000
10 696

10000

8000 7 649 7 519


Luas Panen (Ha)

6 410
6000
4 780
4 141 3 909
4000 3 148 2 907
2 812 2 762
2 467
2 033
2000
292 38 23
0

Kabupaten

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a (diolah).


Gambar 9. Total Luas Panen Jeruk Keprok per Kabupaten di Nusa Tenggara
Timur, Tahun 2002-2008

Tabel 16. Keadaan Produksi Jeruk Keprok di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Tahun 2002-2008

%
No Kabupaten Produksi (Ton) Total
thdp
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 total
1 TTS 1 492 2 987 7 821 5 856 7 431 5 103 7 199 37 889 20.8
2 Ende 887 912 1 223 2 717 5 855 6 109 2 383 20 086 10.65
3 TTU 708 1 949 1 949 2 997 4 517 3 881 1 213 17 214 9.13
4 Belu 642 1 100 1 100 2 668 3 807 4 451 969 14 737 7.81
5 Alor 774 1 815 1 815 2 923 2 923 2 908 1 368 14 526 7.70
6 Lembata 905 1 163 1 163 2 372 4 976 2 241 216 13 036 6.91
7 Ngada 1 086 1 480 1 564 2 593 3 099 1 095 163 11 080 5.87
8 Sumba Barat 971 897 1 071 1 996 2 127 2 521 1 027 10 610 5.63
9 Sumba Timur 744 661 661 661 3 032 2 869 1 283 9 911 5.25
10 Manggarai 969 955 955 1 575 1 575 864 2 067 8 960 4.75
11 Kupang 1 143 1 252 1 262 1 359 1 359 1 643 444 8 462 4.49
12 Sikka 933 1 049 1 049 1 596 1 649 1 349 508 8 133 4.31
13 Flores Timur 846 551 557 793 1 695 1 738 137 6 317 3.35
14 Mangga Barat 338 338 658 35 1 369 0.73
15 Rote Ndao 35 35 1 1 5 30 107 0.06
16 Kota Kupang 6 6 12 12 12 1 49 0.03
NTT 12 100 16 812 18 153 29 308 46 743 43 980 21 520 188 616 100

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a (diolah).


56

40000 37 889

Produksi (Ton) 35000


30000
25000
20 086
20000 17 214
14 526
14 737 11 080
15000 13036
10 610 9 911
8 960 8 462 8 133
10000 6 317
5000 1 369
107 49
0

Kabupaten

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a (diolah).


Gambar 10. Total Produksi Jeruk Keprok per Kabupaten di Nusa Tenggara Timur,
Tahun 2002-2008

Luas panen dan produksi jeruk keprok di NTT menurun sejak tahun 2006

(Gambar 11). Produktivtas jeruk keprok daerah TTS dari tahun ke tahun

meningkat. Pada tahun 2004, produktivitas jeruk ini hanya 2.2 ton per hektar,

tahun 2005 meningkat menjadi 2.7 ton dan 2006 sebesar 3.5 ton per hektar serta

meningkat menjadi 16.7 ton/ha pada tahun 2008. Bila dibandingkan dengan

produktivitas potensialnya yang sebesar 40-65 ton per hektar, maka keadaan

produktivitas seperti tersebut masih dikategorikan rendah. Kesenjangan antara

produktivitas aktual dan potensial jeruk keprok di NTT masih terlalu besar seperti

tercantum pada Tabel 17. Rendahnya produktivitas jeruk keprok di provinsi Nusa

Tenggara Timur diduga karena rendahnya kapabilitas petani (kemampuan

manajerial) sebagai pengelola usahatani dan adanya permasalahan inefisiensi

teknis produksi di dalam penggunaan input-input usahataninya.


57

50000
46 743

45000 Produksi (ton) 43 980

40000 Luas Panen (Ha)


Produksi (Ton) dan Luas Panen (Ha)

35000

30000 29 308

25000
22 231 21 520
20000
16 812
15000
13 081
12 100
10000 13 260
10 988
5000 7 897 8 369
5 948
2 043
0
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Tahun

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a (diolah).


Gambar 11. Tren Total Luas Panen dan Produksi Jeruk Keprok di Nusa Tenggara
Timur, Tahun 2002-2008

Tabel 17. Kesenjangan Antara Produktivitas Aktual dan Potensial Jeruk Keprok di
Nusa Tenggara Timur, 2003-2008.

Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rata-rata

Produksi (ton) 16 812 22 231 29 308 46 743 43 980 21 520 28397.67

Luas Panen (Ha) 7 897 8 369 10 988 13 260 13 081 2 043 9273.00

Produktivitas
7.66 9.56 9.97 12.04 10.30 33.53 13.84
(Kg/Pohon)

Potensial (kg/phn) 250 250 250 250 250 250 250.00

Tercapai/aktual (%) 3.06 3.82 3.99 4.82 4.12 13.41 5.54

Kesenjangan (%) 96.94 96.18 96.01 95.18 95.88 86.59 94.46

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a (diolah).


58

2.3. Kondisi Geografis dan Produksi Pertanian di Kabupaten Timor Tengah


Selatan

2.3.1. Kondisi Geografis Kabupaten Timor Tengah Selatan

2.3.1.1. Latak Geografis dan Luas Wilayah

Kabupaten TTS, salah satu dari 21 Kabupaten/Kota di Propinsi NTT,

terletak pada koordinat 1240.49.01”-1240.04.00” Bujur Timur dan 900-100 Lintang

Selatan. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU),

sebelah selatan berbatasan dengan Laut Timor, sebelah timur berbatasan dengan

Kabupaten Kupang dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Belu.

Berdasarkan geografis wilayah, Kabupaten Timor Tengah Selatan

berpeluang melakukan kerjasama antar daerah dengan wilayah yang berbatasan

darat langsung yaitu Kabupaten Belu, Kabupaten Timor Tengah Utara dan

Kabupaten Kupang. Secara geografis juga relatif dekat dengan Kota Kupang

sebagai Ibu Kota Propinsi Nusa Tenggara Timur, sehingga berpeluang mencapai

Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan pasar. Kabupaten Timor Tengah Selatan juga

dekat dengan Kota Atambua sebagai kota terdepan menuju Negara Timor Leste.

Berdasarkan kondisi geografis tersebut maka kedudukan Kabupaten Timor

Tengah Selatan sangat strategis karena berada diantara dua Kota PKN yaitu

Kupang dan Atambua sesuai RTRW Propinsi Nusa Tengara Timur. Sehubungan

dengan posisi tersebut Kabupaten Timor Tengah Selatan memiliki akses pasar

keluar wilayah yang cukup baik.

Dari luas wilayah Kabupaten TTS sebesar 394 700 ha yang seluruhnya

berupa daratan, Kabupaten TTS terbagi dalam 32 kecamatan, 228 desa dan 12

kelurahan (BPS, 2009b). Kecamatan Amanuban Selatan merupakan Kecamatan


59

terluas (8.05% dari luasan total kabupaten), diikuti oleh Amanuban Timur

(6.22%), Kuanfatu (6.18%), dan Kualin (6.00%). Sedangkan kecamatan-

kecamatan lain memiliki luasan kurang dari 6% terhadap total dengan kecamatan

Kota SoE sebagai ibukota kabupaten menjadi kecamatan yang luasnya paling

kecil (0.53% dari total luas Kabupaten Timor Tengah Selatan). Secara detail dapat

dilihat pada Gambar 12.

10
8.1
8
6.2 6.2 6.0
Luas (%)

5.5 5.5
6 4.8 4.5 4.4
3.7 3.6 3.4
4 3.2 3.2 3.2 3.2 3.0

Kecamatan

2.9
3 2.7 2.7 2.6 Persentase Terhadap Luas Kab TTS
2.5
Luas (%)

2 1.5
1.2 1.1 1.1
0.9 0.8 0.8
1 0.7 0.5 0.5

Kecamatan

Sumber: BPS, 2009b.


Gambar 12. Persentase Luas Wilayah Kecamatan Terhadap Luas Daerah
Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2008
60

2.3.1.2. Topografi dan Kelerengan Wilayah

Topografi wilayah Kabupaten TTS sangat bervariasi dari satu tempat ke

tempat lainnya yang secara umum didominasi oleh daerah bergunung-gunung dan

perbukitan. Berdasarkan topografi, maka wilayah Kabupaten TTS terbagi dalam

dua kategori yaitu wilayah dataran rendah yang dominan berada di wilayah

Selatan dan wilayah dataran tinggi yang dominan berada di wilayah Tengah dan

Utara, yang mana perbedaan ini menuntut adanya perbedaan pendekatan

pembangunan pertanian. Data berikut memperlihatkan konidisi umum topografi

(ketinggian tempat dari permukaan laut-dpl) wilayah Kabupaten TTS.

Ketinggian 0 - 500 m dpl : 49.0 % dari luas wilayah TTS

Ketinggian 500 - 1 000 m dpl : 48.2 % dari luas wilayah TTS

Ketinggian di atas 1 000 m dpl : 2.8 % dari luas wilayah TTS.

Kelerengan wilayah Kabupaten TTS juga bervariasi. Hal ini sangat

dipengaruhi oleh kondisi topografi wilayah yang berbukit dan bergunung.

Komposisi kelerengan wilayah berdasarkan skala kelerengan (%) dapat dilihat

sebagai berikut:

Kelerengan 0 – 30 : 7.52 % dari luas wilayah TTS

Kelerengan 30 – 120 : 16.49 % dari luas wilayah TTS

Kelerengan 120 – 400 : 41.87 % dari luas wilayah TTS

Kelerengan di atas 400 : 34.12 % dari luas wilayah TTS

Berdasarkan tingkat kelerengan menunjukkan bahwa kelerengan wilayah

merupakan salah satu faktor pembatas dalam pengembangan sumberdaya alam

berbasis pertanian. Berdasarkan hal tersebut maka pilihan komoditas harus

didasarkan bada upaya mendukung konservasi lahan yang rentan akan longsor dan
61

erosi pada wilayah dengan kelerengan lebih dari 40º. Sehubungan kelerengan

wilayah berkaitan langsung dengan konservasi lahan dan kelestarian lingkungan,

maka pengelolaan sumberdaya alam berbasis kelerengan harus dikendalikan

secara ketat dan pemanfaatan lahannya harus mampu menjamin konservasi

sumberdaya lahan secara optimal.

Memperhatikan kondisi kelerengan wilayah itu, maka pemilihan

komoditas pertanian sangat perlu didasarkan pada upaya mendukung konservasi

lahan yang rentan akan longsor dan erosi terutama pada wilayah dengan

kelerengan di atas 400. Kasus bencana alam terutama kekeringan (Maret –

Oktober), tanah longsor dan erosi yang biasa terjadi di wilayah TTS pada saat

musim hujan (Nopember - Februari) sangat perlu untuk diselesaikan dan

diintegrasikan dengan program pembangunan pertanian berbasis konservasi tanah

dan air. Gambar 13 menunjukkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Daerah Kabupaten TTS untuk menangani lahan/wilayah kritis (Bappeda, 2010).

Sumber: Bappeda, 2010.


(a) Tingkat Kekritisan Lahan di (b) Penyebaran Daerah Prioritas
Kabupaten TTS, Tahun 2009-2013 Penghijauan dan Konservasi
Tanah dan Air, Tahun 2009-2013
Gambar 13. Tingkat Kekritisan Lahan dan Penyebaran Daerah Prioritas
Penghijauan dan Konservasi Tanah dan Air, Tahun 2009-2013
62

Berdasarkan Gambar 13 tersebut diketahui bahwa Pemerintah Kabupaten

TTS memiliki rencana jangka menengah untuk kegiatan konservasi tanah dan air

yang diprioritaskan berdasarkan tingkat kekritisan lahan tahun 2009.

2.3.1.3. Jenis Tanah dan Geologi

Jenis Tanah sangat menentukan kemampuan daya dukungnya dalam

pembangunan daerah berbasis pertanian. Berdasarkan keadaan batuan (litologi)

jenis tanah dikelompokkan ke dalam aluvial, grumusol, mediteran merah kuning

dan kompleks. Peta geologi lembar Kupang-Atambua, Timor (Rencana Tata

Ruang Wialayah Kabupaten-RTRWK TTS) menunjukkan bahwa wilayah

Kabupaten TTS memiliki jenis batuan sedimen, beku, vulkanik dan batuan

malihan yaitu (1) batuan sedimen terdiri dari batuan gamping, kalisutit, batu pasir,

lanau, serpih dan lempung, (2) batuan beku terdiri dari batuan ultra dan diorit, dan

(3) batuan malihan adalah malihan berderajat rendah sampai tinggi dari batu

sabak, filit, seksis, amfibolit dan granolit.

Lahan pertanian (lahan kering) di TTS umumnya bertekstur keras,

sementara kesuburan tanah berdasarkan tingkat ketersediaan unsur N, P, K, dan

bahan organik menunjukkan bahwa secara umum tanah di kabupaten TTS

memiliki harkat nitrogen rendah, harkat fosfat tinggi, harkat kalium sangat tinggi

dan bahan organik sedang (Dinas Pertanian, 2010c). Dilaporkan pula bahwa nilai

PH tanah di Kabupaten TTS cenderung netral untuk 51.4% wilayah diikuti agak

masam. Kondisi lainnya, bahwa tanah di Kabupaten TTS tidak terdapat salinitas

tanah. Tekstur tanah di Kabupaten TTS adalah sedang sampai kasar, sehingga

diperlukan input teknologi dalam pemanfaatannya.


63

Adapun kedalaman efektif tanah di wilayah Kabupaten TTS adalah

sebagai berikut:

Kedalaman 0 – 30 cm : 13.30 % dari luas wilayah

Kedalaman 30- 60 cm : 6.28 % dari luas wilayah

Kedalaman 60 -90 cm : 2.12 % dari luas wilayah

Kedalaman di atas 90 cm : 78.30 % dari luas wilayah

Daerah tertentu dengan endapan unsur hara tinggi memiliki produktivitas

lahan yang tinggi sedangkan pada daerah lain kurang produktif (lihat Gambar 13

tentang tingkat kekritisan lahan di TTS). Demikian juga faktor lainnya yang

mempengaruhi penurunan produktivitas lahan adalah topografi, curah hujan,

tingkat penyerapan teknologi dan pengetahuan masyarakat TTS.

Topografi wilayah TTS yang berbukit dan bergunung menunjang

terjadinya erosi tanah. Jika tidak ditunjangi dengan kegiatan pertanian yang

berbasis konservasi, maka tingkat produktivitas lahan pasti menjadi rendah. Curah

hujan dengan intensitas yang tinggi sangat berpengaruh besar pada terjadinya

erosi tanah yang berakibat pada rendahnya kandungan unsur hara dan

produktivitas tanah. Demikian juga minimnya penerapan teknologi dan

pengetahuan masyarakat tentang pentingnya unsur hara dalam tanah telah

mempengaruhi rendahnya produktivitas tanah (pers.com dengan Kabid Bina

Produksi Dinas Pertanian TTS, tanggal 25 Maret 2010).

2.3.1.4. Penggunaan Lahan dan Kondisi Agroklimat

Total lahan di Kabupaten Timor Tengah Selatan seluas 394 700 ha, yang

terdiri dari lahan basah sebesar 23 682 ha (6 %) dan lahan kering sebesar 371 018

ha (94%). Penggunaan lahan tahun 2004-2008 mengalami peningkatan dan


64

pengurangan yang dipengaruhi oleh aspek tenaga kerja yang terbatas (pers.com

Kabid Hortikultura Dinas Pertanian Kabupaten TTS, tanggal 26 Maret 2010).

Perubahan fungsi lahan dari tahun 2004-2008 tercantum pada Tabel 18.

Dari jenis penggunaan lahan pada tahun 2008, luasan penggunaan lahan

yang paling kecil adalah lahan sawah (0.82%) dan yang terbesar adalah lahan

hutan (hutan negara dan hutan rakyat) sebesar 27%, diikuti lahan untuk

perkebunan, tegalan dan perutnukann lainnya (pemukiman, kolam ikan dan

lainnya) seperti tercantum pada Gambar 14.

Tabel 18. Perkembangan Penggunaan Lahan, Tahun 2004-2008


Jenis Penggunaan Tahun % Terhadap
Lahan (Ha) 2004 2005 2006 2007 2008 Total 2008
Lahan Sawah 4 979 5 764 4 246 4 979 3 239 0.82
Tegal 52 333 50 543 45 498 43 897 41 888 10.61
Ladang 31 237 20 742 49 758 41 232 33 394 8.46
Perkebunan 54 672 52 567 55 671 58 932 67 981 17.22
Hutan 98 657 104 434 96 870 104 418 106 089 26.88
Padang 46 882 58 907 48 266 59 597 47 624 12.07
Tidak Diusahakan 45 682 42 342 40 561 37 823 39 495 10.01
lainnya 60 258 59 401 53 830 43 822 54 990 13.93
Timor Tengah
Selatan 394 700 394 700 394 700 394 700 394 700 100.00
Sumber: Dinas Pertanian, 2010c (diolah).

Ladang; 8.46 Lahan Sawah; 0.82


Hutan
Tidak Diusahakan; Perkebunan
10.01 Hutan ; 26.88 lainnya
Padang
Tegal; 10.61
Tegal
Tidak Diusahakan
Padang; 12.07 Ladang
Perkebunan; 17.22 Lahan Sawah
lainnya; 13.93

Sumber: Tabel 18.


Gambar 14. Persentase Luas Penggunaan Lahan di Kabupaten Timor Tengah
Selatan, Tahun 2008
65

Lahan di kabupaten TTS terbentuk dari beberapa tipe formasi karang

dengan tekstur dan resistensi yang bervariasi. Jenis tanahnya berasal dari endapan

dan bahan kapur dominasi Mediteranian/Podsolik Merah Kuning, Grumosol dan

Alluvial ataupun Latosol dengan tingkat kesuburan bervariasi dari sedang sampai

dengan cukup subur. Wilayah kabupaten TTS bagian utara umumnya termasuk

dalam zona iklim yang relatif lembab, sedangkan di bagian selatan relatif

memiliki suhu yang lebih tinggi.

Daerah TTS memiliki musim hujan selama tiga sampai empat bulan

(Desember - Maret) dengan rata-rata curah hujan 1150 mm per tahun (Dinas

Pertanian, 2009) dan bulan kering berkisar lima sampai delapan bulan (April –

Nopember). Empat puluh Sembilan persen (49%) wilayah kabupaten TTS berada

pada ketinggian 0-500 m dpl, sedangkan 51% sisanya berada pada ketinggian

lebih dari 500 m dpl dari total wilayah seluas 394 700 km2. Sebaran kondisi

agroklimat di kabupaten TTS tercantum pada Tabel 19.

Kabupaten Timor Tengah Selatan dipengaruhi oleh dua musim, musim

barat dan musim Timur. Musim barat dikenal dengan musim hujan, lamanya

empat bulan (mulai bulan Nopember dan berakhir bulan Februari) dengan jumlah

hari hujan rata-rata 76 hari dan curah hujan rata-rata 1 617 mm dalam tahun 2008

(BPS, 2009b). Musim timur dikenal dengan musim kemarau atau musim kering,

lamanya delapan bulan (mulai bulan Maret dan berakhir bulan Oktober). Angin

bertiup kencang terutama pada musim barat, dengan kecapatan 33-34 km per jam.

Suhu pada tahun 2009 minimum 230C dan maksimum 250C. Fluktuasi jumlah

Hari Hujan (HH) dan Curah Hujan (CH) bulanan tahun 2008 (total dan rata-rata

bulanan) tercantum pada Gambar 15.


66

Tabel 19. Sebaran Kondisi Agroklimat di Kabupaten Timor Tengah Selatan,


Tahun 2008

Kecamatan Kondisi Agroklimat


Jumlah Elevasi Curah RH Suhu
bulan (m dpl) hujan (%) (0C)
basah- (mm/th)
kering
Amanuban Barat 5-7 600 2 291 80 32-33
Amanuban Tengah 5-7 850 1 696 75 32-33
Amanuban Timur 7-5 650 2 583 80 32-33
Amanuban Selatan 4-8 65 2 019 70 32-33
Mollo Selatan 5-7 787 2 508 80 32-33
Mollo Utara 5-7 950 2 583 85 32-33
Amanatun Utara 4-8 350 1 453 80 32-33
Amanatun Selatan 4-8 945 1 978 75 32-33
Kota SoE 4-8 850 1 453 80 32-33
Kuanfatu 4-8 400 2 079 80 32-33
KiE 4-8 - - 80 32-33
Boking 4-8 30 1 388 80 32-33
Polen 5-7 20 1 448 80 32-33
Batu Putih 4-8 - - 80 32-33
Fatumnasi 8-4 1 800 - 90 28-30
Sumber: Dinas Pertanian, 2009.

4500 4 2 48 450
3 938 3 93
4000 3 870 400
Hari Hujan (hh) & Curah Hujan (mm)
Hari Hujan (hh) & Curah Hujan (mm)

3 87
3 500 350
3 722 372
hh
3 000 300 hh
mm

2 500 250 mm

2 000 200

1 376 150 137


1500
1 156 115
1000 100
50 42
500 2 11 3 07 509 50 70 21 30
7 02
0 0 0 0
0 0

Bulan Bulan

Sumber: BPS TTS, 2009b.


(a) Total Hari Hujan dan Curah Hujan (b) Rata-Rata Hari Hujan dan
Curah Hujan Bulanan
Bulanan

Gambar 15. Jumlah Hari Hujan dan Curah Hujan Bulanan Di Kabupaten Timor
Tengah Selatan, Tahun 2008
67

Pada tahun 2008, jumlah hari hujan terbanyak terjadi pada bulan Maret,

sedangkan jumlah curah hujan terbesar terjadi pada bulan Februari. Sedangkan

fluktuasi jumlah hari hujan dan curah hujan bulanan selama periode tahun 2003-

2008 tercantum pada Gambar 16. Trend selama enam tahunan itu menunjukkan

bahwa bulan terkering di kabupaten TTS selalu terjadi selama tiga bulan yakni

bulan Juli, Agustus dan September di mana curah hujanya tidak ada sama sekali.

450 2 003 20
2 003
2 004 18
400 2 004
2 005
2 005
16
350 2 006
2 006
2 007 14 2 007
300
Curah Hujan (mm)

2 008
Hari Hujan (hh)

2 008
12
250
10
200
8
150
6

100
4

50 2

0 0
Juni
Jan

Mar

Okt
Juli

Des
Nop
Sept
Feb

Agust
Mei
April

Juni
Jan

Mar

Okt
Juli

Des
Nop
Sept
Feb

Agust
Mei
April

Bulan Bulan

Sumber: BPS, 2009b.


(a) Rata-Rata Curah Hujan Bulanan, (b) Rata-Rata Hari Hujan Bulanan,
Tahun 2003-2008
Tahun 2003-2008

Gambar 16. Rata-Rata Curah Hujan dan Hari Hujan Bulanan, Tahun 2003-2008

Dari penyebaran curah hujan per wilayah menunjukkan bahwa sebaran

volume dan intensitas hujan tidak merata yaitu di wilayah bagian Barat dan Utara
68

TTS, curah hujanya relatif tinggi, bagian wilayah Tengah relatif sedang dan makin

ke Timur dan Selatan semakin berukurang (Dinas Pertanian, 2010c).

Terbatasnya musim hujan menyebabkan ketergantungan pembangunan

ekonomi berbasis pertanian pada sumberdaya air sangat besar. Adanya Gunung

Mutis dan kawasan Hutan sekitarnya menjadi faktor pendukung ketersediaan

sumber daya air yang mendukung munculnya mata air dan adanya sungai-sungai

yang tetap mensuplai air sepanjang tahun diantaranya sungai Noel Mina dan Noel

Benenain. Kabupaten Timor Tengah Selatan juga memiliki ratusan mata air yang

menjadi sumber air bersih dan kegiatan ekonomi.

2.3.2. Kondisi Produksi Pertanian Kabupaten Timor Tengah Selatan

Pada bagian ini akan dibahas tentang kondisi luas panen, produksi,

pemasaran, teknologi yang berkaitan dengan tanaman pangan (termasuk sayuran

dan buah-buahan), perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan di

kabupaten Timor Tengah Selatan. Pembahasan pada bagian ini ditujukan untuk

lebih mendalami kondisi umum pertanian daerah kabupaten TTS agar diskusi dan

pembahasan tentang efisiensi yang berkaitan dengan usahatani jeruk keprok SoE

dapat dipahami juga dari kondisi umum yang ada.

2.3.2.1. Subsektor Tanaman Pangan

Subsektor tanaman pangan merupakan motor penggerak utama

perekonomian di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Subsektor ini memberikan

kontribusi terbesar terhadap pembentukan PDRB Kabupaten Timor Tengah

Selatan. Pada tahun 2007 total luas areal panen tanaman pangan adalah 87 176 Ha
69

dengan tingkat produksi 211 960 ton seperti tercantum pada Tabel 20 dan 21.

Bila dilihat menurut komoditinya, luas areal panen tanaman bahan makanan tahun

2005-2007 (rata-rata) di Kabupaten Timor Tengah Selatan yang terbesar adalah

jagung dengan luas areal 60 337 ha (75.34%) dan tingkat produksi 96 575 ton,

atau mencapai 62.47% dari total produksi komoditi tanaman pangan (Gambar 17).

Selanjutnya ubi kayu (dengan rata-rata luas panen 10 067 ha (12.56%) dan

produksi 30 713.67 ton (25.04%)). Padi menempati urutan yang ketiga, yang

kemudian diikuti oleh kacang tanah, ubi jalar, produk pertanian dan kedelai

seperti yang tercantum pada tabel dan gambar tersebut.

Tabel 20. Perkembangan Luas Panen Tanaman Pangan, Tahun 2005-2007

Tanaman Pangan Luas Panen (Ha) % Thdp %


2005 2006 2007 Rata-Rata Total Perkembangan
2005-2007 2005-2007
1. Padi 4 027 3 581 4 339 3 982.33 4.97 7.75
2. Jagung 56 628 55 899 68 484 60 337.00 75.34 20.94
3. Ubi kayu 15 659 7 115 7 409 10 061.00 12.56 -52.69
4. Ubi Jalar 2 509 1 595 1 209 1 771.00 2.21 -51.81
5. Kacang Tanah 858 1 322 3 480 1 886.67 2.36 305.59
6. Kacang Kedelai 346 436 997 593.00 0.74 188.15
7. Produk pertanian 987 2 113 1 258 1 452.67 1.81 27.46
Total 81 014 72 061 87 176 80 083.67 100.00

Sumber: Dinas Pertanian, 2009.

Tabel 21. Perkembangan Produksi Tanaman Pangan, Tahun 2005-2007

Tanaman Pangan Produksi (Ton) % % Perkb


2005 2006 2007 Rata-Rata Thdp 2005-
2005-2007 Total 2007
1. Padi 6 554 11 835 14 026 10 805.00 6.99 114.01
2. Jagung 61 707 68 042 159 976 96 575.00 62.47 159.25
3. Ubi kayu 49 594 36 911 29 636 38 713.67 25.04 -40.24
4. Ubi Jalar 6 735 5 225 3 074 5 011.33 3.24 -54.36
5. Kacang Tanah 842 1 244 3 265 1 783.67 1.15 287.77
6. Kacang Kedelai 218 338 979 511.67 0.33 349.08
7. Produk pertanian 998 1 616 1 004 1 206.00 0.78 0.60
Total 126 648 125 211 211 960 154 606.33 100.00
Sumber: Dinas Pertanian, 2009.
70

80 75.34
70 62.47
% Terhadap Total 70
60 Produksi Tan Pangan
60
50
Produksi (%)

50

Luas Panen (%)


40
40
30 25.04
30
20
20 12.56
6.99
10 3.24 10 4.97
1.15 0.78 0.33 2.36 2.21 1.81 0.74
0 0
Jagung Ubi Padi Ubi Kacang Kacang Kacang Jagung Padi Ubi Jalar Kacang
kayu Jalar Tanah Hijau Kedelai Kedelai

Tanaman Pangan Tanaman Pangan

Sumber: Dinas Pertanian, 2009.


(a) Persentase Terhadap Total Produksi (b) Persentase Terhadap Total Luas
Tanaman Pangan (Rata-Rata panen Tanaman Pangan (Rata-
Produksi, Tahun 2005-2007 Rata Luas Panen, Tahun 2005-
2007
Gambar 17. Persentase Terhadap Total Produksi dan Luas Lahan Tanaman
Pangan di Timor Tengah Selatan (Rata-Rata Produksi dan Luas
Lahan, Tahun 2005-2007)

Perkembangan luas panen selama kurun waktu 2005-2007

memperlihatkan tanaman kacang tanah mengalami peningkatan yang cukup besar,

yaitu sebesar (306%), diikuti oleh kacang kedelai (188%), produk pertanian

(28%), jagung (21%) dan padi (8%). Sedangkan tanaman lainnya mengalami

penurunan yang cukup besar, seperti ubi kayu (-53%) dan ubi jalar (-52%).

Di bidang produksi tanaman pangan, kacang kedelai dan kacang tanah

mengalami perkembangan yang sangat tinggi (masing-masing sebesar 349% dan

288%) selama kurun waktu 2005-2007. Sedangkan ubi kayu dan ubi jalar

mengalami penurunan, sejalan dengan menurunnya luas panen untuk kedua

tanaman tersebut.

Padi terutama padi sawah yang menempati luasan hanya 0.82% dari total

penggunaan lahan di kabupaten TTS mengalami perkembangan luas panen hanya


71

sebesar 7.75%, tetapi perkembangan produksinya cukup tinggi yakni 114.01%

selama tahun 2005-2007.

2.3.2.2. Subsektor Tanaman Hortikultura

1. Tanaman Sayur-Sayuran

Selama periode 2003-2007 luas panen sayur-sayuran di kabupaten TTS

meningkat untuk semua jenis yang diusahakan (Tabel 22 dan Gambar 18). Luas

panen tanaman sayuran yang meningkat sangat besar adalah bawang merah

(1293%), kangkung (1050%), kacang panjang (483%), petsai (250%) dan cabe

(217%). Sedangkan tanaman sayuran lainnya mengalami peningkatan luas panen

di bawah 200%. Secara keseluruhan, rata-rata perkembangan luas panen tanaman

sayuran selama periode waktu 2003-2007 adalah sebesar 314%.

Tabel 22. Perkembangan Luas Panen Tanaman Sayuran di Kabupaten Timor


Tengah Selatan, Tahun 2003-2007
% %
Komoditi Luas Panen (Ha) Thdp Perkemb
2003 2004 2005 2006 2007 Rata-rata Total 2003-07
Bawang Merah 76 139 127 146 1 059 309.4 26.23 1 293.42
Bawang Putih 183 302 328 269 357 287.8 24.40 95.08
Petsay 28 67 0 158 98 87.75 7.44 250.00
Kc.panjang 18 26 36 56 105 48.2 4.09 483.33
Wortel 50 60 80 58 96 68.8 5.83 92.00
Cabe 30 42 66 60 95 58.6 4.97 216.67
Tomat 45 51 79 90 84 69.8 5.92 86.67
Terung 25 24 30 64 75 43.6 3.70 200.00
Buncis 51 30 40 66 82 53.8 4.56 60.78
Kangkung 18 22 54 71 207 74.4 6.31 1 050.00
Bayam 47 70 72 90 107 77.2 6.55 127.66
Total 571 833 912 1 128 2 365 1 179.35 100.00 314.19

Sumber: BPS, 2008b dan Dinas Pertanian, 2009.

Dari 11 tanaman sayuran yang tercantum pada tabel tersebut, bawang

merah dan bawang putih menempati luas panen yang lebih besar bila
72

dibandingkan dengan sayuran lainnya yakni masing-masing sebesar 26.23% dan

24.40% dari total luas panen untuk 11 komoditas tersebut. Luas panen untuk

sayuran lainnya berada lebih kecil dari 10%.

Buncis Kc Panjang Terung


53.8 48.2 43.6
5% 4% 4%
Cabe
58.6
5% Bawang Merah
309.4
Wortel
26%
68.8
6%

Tomat
69.8
6%

Kangkung
74.4 Bawang Putih
Bayam
6% 287.8
77.2 Petsai 24%
7% 87.75
7%

Sumber: Tabel 22.

Gambar 18. Rata-Rata Luas Panen dan Persentase Terhadap Total Luas Panen
Sayuran di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2003-2007

Tanaman sayuran yang mengalami peningkatan produksi paling besar

adalah terong dari 43.20 ton tahun 2005 menjadi 406 ton tahun 2006. Sedangkan

penurunan produksi paling besar adalah kacang merah 574.72 ton tahun 2005

menjadi 111 ton tahun 2006. Perkembangan produksi tanaman sayur-sayuran

selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 23 dan Gambar 19. Trend perkembangan

produksi sayur-sayuran di kabupaten TTS selama periode waktu 2003-2007

meningkat sebesar 144.3%, kecuali tanaman tomat yang menurun sebesar 6.67%.

Komoditi sayuran yang meningkat paling besar adalah tanaman kangkung, namun

kontribusinya hanya sebesar 7.5% terhadap produksi total sayuran dalam periode

tersebut. Wartel adalah tanaman yang paling besar (21.44%) kontribusinya

terhadap produksi total sayuran di kabupaten TTS selama tahun 2003-2007,


73

diikuti oleh bawang putih (19.10%), petsai (17%) dan tomat (9.64%). Sedangkan

bayam merupakan tanaman yang berkontribusi paling kecil (0.78%) terhadap

produksi sayuran secara total. Tabel 23 juga menampilkan produktivitas rata-rata

dari tanaman sayuran selama periode waktu 2003-2007.

Tabel 23. Perkembangan Produksi Tanaman Sayuran di Kabupaten Timor Tengah


Selatan, Tahun 2003-2007
%
Komoditi Produksi (kw) Prodvitas Thdp % Perkb
Rata-
2003 2004 2005 2006 2007 rata Ton/Ha Total 2003-2007
Bawang Merah 4 250 6 970 6 300 7 440 22 580 9 508 3.07 19.10 431.29

Bawang Putih 2 745 5 080 4 920 2 690 3 300 3 747 1.30 7.53 20.22
Petsay 2 800 6 700 8 200 15 800 8 525 8 405 9.58 16.88 204.46

Kc.panjang 180 260 360 560 745 421 0.87 0.85 313.89
Wortel 7 500 9 000 12 000 12 751 12 100 10 670 15.51 21.44 61.33
Cabe 300 420 660 600 950 586 1.00 1.18 216.67
Tomat 4 500 4 300 7 000 4 000 4 200 4 800 6.88 9.64 -6.67

Terung 2 500 2 400 3 000 6 400 3 750 3 610 8.28 7.25 50.00
Buncis 3 825 2 250 3 000 4 950 5 600 3 925 7.30 7.88 46.41
Kangkung 900 1 100 2 700 3 550 10 350 3 720 5.00 7.47 1050.00
Bayam 235 350 360 450 535 386 0.50 0.78 127.66

Total 29 735 38 830 48 500 59 191 72 635 49 778 59.29 100 144.27

Sumber: BPS, 2008b dan Dinas Pertanian, 2009.

Cabe Kc. Panjang


586 421 Bayam
1% 1% 386
Terung
1%
3 610
Kangkung 7%
3 720
Wortel
7% 10 670
Bawang Putih 21%
3 747
8%

Buncis
Bawang Merah
3 925
9 508
8%
19%
Tomat Petsai
4 800 8 405
10% 17%

Sumber: Tabel 23.


Gambar 19. Rata-rata Produksi dan Persentase Terhadap Total Produksi Tanaman
Sayuran di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2003-2007
74

2. Tanaman Biofarmaka

Luas panen dan produksi tanaman biofarmaka di kabupaten TTS

tercantum pada Tabel 24 dan Gambar 20.

Tabel 24. Luas panen dan Produksi Komoditi Biofarmaka di Kabupaten Timor
Tengah Selatan, Tahun 2008

Komoditi Luas Panen % Terhadap Produksi % Terhadap


(M2) Total (Kg) Total
Kunyit 15 898 26 158 910 29
Lengkuas 15 096 25 150 960 28
Jahe 13 494 22 135 300 25
Kencur 15 619 26 93 714 17
Temulawak 352 1 3 520 1
Total 60 459 100 542 404 100

Sumber: Dinas Pertanian, 2010c.

% Terhadap Total Luas Panen 2 9.30 % Terhadap Total Produksi


30 27.83
30 2 6.30 2 5.83 2 4.97 2 4.94
25 22.32 25
Luas Panen (%)

17 .28
Produksi (%)

20 20

15 15

10 10

5 5
0.58 0.65
0 0

Jenis Tanaman Biofarmaka Jenis Tanaman Biofarmaka

Sumber: Tabel 24.


(a) Ranking Luas Panen Terhadap (b) Ranking Produksi Terhadap Total
Total Luas Lahan Tanaman Produksi Tanaman Biofarmaka
Biofarmaka di Kabupaten Timor Kabupaten Timor Tengah Selatan,
Tengah Selatan, Tahun 2007 Tahun 2007

Gambar 20. Ranking Luas Panen dan Produksi Berdasarkan Jenis Tanaman
Biofarmaka di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2007

Baik dari segi luas panen maupun produksi, kunyit menempati urutan

yang pertama (29%). Catatan yang perlu diperhatikan adalah bahwa pengusahaan
75

tanaman ini oleh petani masih bersifat tradisional (tidak menggunakan input-input

produksi yang berkualitas) dan masih merupakan usaha sampingan. Petani masih

menggunakan input lokal seperti benih dan tanpa perlakuan lainnya untuk

meningkatkan kualitas yang sesuai dengan permintaan pasar. Selain itu,

penyebaran usahataninya tidak merata pada semua kecamatan yang ada di TTS.

3. Tanaman Buah-Buahan

Dari pembahasan terdahulu diketahui bahwa luas panen dan jumlah

produksi terbesar untuk jeruk keprok di NTT terdapat di Kabupaten TTS. Jeruk

Keprok SoE merupakan satu-satunya varietas yang dikembangkan di daerah TTS

dan dijadikan sebagai komoditas andalan baik tingkat provinsi NTT maupun

kabupaten TTS. Perlu diketahui bahwa jenis keprok yang diusahakan di

kabupaten-kabupaten selain TTS adalah bukan merupakan varietas keprok SoE.

Seperti halnya jenis-jenis jeruk keprok di Indonesia, jenis jeruk keprok di NTT

juga dikenal dengan label daerah asalnya masing-masing, seperti, untuk menyebut

beberapa, keprok SoE asal kabupaten TTS, keprok ende asal kabupaten Ende,

kapok manggarai asal kabupaten Manggarai dan keprok Sumba asal kabupaten

Sumba Barat.

Jeruk keprok SoE telah menjadi tanaman masyarakat TTS, namun

perkembangannya masih sangat lambat dikarenakan petani atau pelaku usaha

jeruk ini belum mengusahakannya dalam skala ekonomis, teknologi budidaya

yang masih berbasiskan pengetahuan yang belum memadai dan jangkauan pasar

yang masih sempit.

Kabupaten TTS terkenal dengan produksi jeruk keprok SoE. Sejak tahun

1960-an sampai sekarang, jeruk keprok SoE (JKS) menjadi komoditas unggulan
76

buah-buahan di kabupaten TTS. Hal ini disebabkan karena keprok SoE sangat

disukai oleh konsumen baik di NTT maupun di luar NTT. Hasil penelitian taste

panel di Denpasar menunjukkan bahwa jeruk impor masih superior dalam hal

rasa, tekstur dan warna kulit buah, sedangkan keprok SoE memiliki keunggulan

penampilan daging buah dan kualitas secara keseluruhan (Mason et al., 2002).

Hasil penelitian di Surabaya menunjukkan bahwa keprok SoE memliki kelebihan

dalam hal tekstur dan penampilan daging buah dibandingkan dengan keprok

madura dan jeruk impor yang ada (Adar et al., 2005). Dari hasil penelitian yang

sama, selera konsumen di Kupang mengindikasikan bahwa jeruk keprok SoE

secara potensial memiliki keunggulan dalam hal lebih segar dan berkadar air

tinggi seperti yang direfleksikan dari hasil survei konsumen pada segmen tampak

luar dan kualitas keseluruhan dari buah jeruk tersebut. Warna kulit yang kuning

keemasan dari jeruk keprok SoE yang siap dipanen memberikan makna tersendiri

bagi para konsumen di beberapa kota di provinsi Nusa Tenggara Timur.

Tabel 25 menunjukkan luas panen dan jumlah produksi berbagai jenis

buah-buahan di kabupaten TTS selama tahun 2002-2008. Dalam kurun waktu

tersebut, dari tabel diketahui bahwa luas panen dan produksi buah-buahan di

kabupaten TTS senantiasa meningkat, kecuali untuk produksi rambuatan dan

salak. Di antara berbagai buah-buahan yang diusahakan petani di kabupaten TTS,

jeruk keprok SoE merupakan buah yang diunggulkan. Dari segi luas panen dan

jumlah produksi, jeruk keprok SoE menduduki tempat yang kedua setelah

mangga. Jumlah produksi jeruk ini meningkat dari tahun ke tahun. Dari segi luas

panen menunjukkan tren peningkatan terjadi selama periode tahun 2002-2007 dan

menurun pada tahun 2008.


77

Tabel 25. Luas Panen dan Produksi Buah-Buahan di Kabupaten TTS, Tahun 2002-2008

Jenis Buah- Luas Panen (Ha) Produksi (Ton)


buahan
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Alpokat 594.0 2 470.0 2 663.0 2 791.0 3 243.0 3 077.0 47.0 1 128.0 4 952.0 5 176.0 7 265.0 8 593.0 21 235.0 286.0

Belimbing 2.0 2.0 2.0 5.0 6.0 12.0 4.0 4.0 4.0 4.0 6.0 8.0 72.0 145.0

Jambu biji 201.0 28.0 42.0 213.0 270.0 430.0 40.0 34.0 58.0 60.0 566.0 2 051.0 1 232.0 427.0

Jeruk Keprok 1 042.0 1 157.0 1 336.0 1 445.0 2 218.0 2 089.0 1 409.0 1 492.0 2 987.0 7 821.0 5 856.0 7 431.0 5 103.0 7 199.0

Jeruk Besar 51.0 97.0 46.0 77.0 99.0 123.0 39.0 224.0 684.0 235.0 449.0 751.0 1 097.0 608.0

Mangga 1 283.0 1 565.0 2 338.0 3 277.0 3 894.0 4 362.0 3 582.0 3 801.0 1 659.0 2 771.0 3 959.0 4 785.0 4 991.0 35 042.0

Nangka 118.0 139.0 210.0 278.0 405.0 574.0 245.0 601.0 748.0 861.0 907.0 594.0 2 074.0 2 284.0

Nenas 13.0 7.0 7.0 9.0 11.0 16.0 4.0 51.0 62.0 62.0 73.0 53.0 93.0 389.0

Pepaya 795.0 851.0 1 102.0 422.0 698.0 808.0 92.0 1 486.0 2 596.0 2 789.0 3 209.0 5 528.0 4 962.0 4 672.0

Pisang 1 104.0 764.0 780.0 838.0 967.0 1 219.0 95.0 2 953.0 3 177.0 3 598.0 4 272.0 5 360.0 11 288.0 5 263.0
Rambutan 1.0 2.0 2.0 2.0 2.0 2.0 1.0 6.0 12.0 12.0 12.0 12.0 8.0 5.0
Salak 0.0 0.0 1.0 1.0 1.0 1.0 0.0 0.0 0.0 2.0 3.0 3.0 2.0
Sirsak 112.0 115.0 195.0 67.0 86.0 298.0 26.0 342.0 287.0 293.0 357.0 710.0 598.0 236.0

Sukun 378.0 146.0 244.0 295.0 339.0 76.0 25.0 1 790.0 735.0 954.0 1 456.0 1 555.0 83.0 241.0

Total 5 694.0 7 343.0 8 967.0 9 720.0 12 239.0 13 087.0 5 610.0 13 912.0 17 961.0 24 636.0 28 389.0 37 434.0 52 839.0 56 799.0

Sumber: Dinas Pertanian, 2009 (diolah).


78

Secara total, luas panen jeruk keprok SoE ini mengalami kenaikan

sebesar 26% dan produksi meningkat sebesar 79% dalam periode tahun 2002-

2008. Kenaikan produksi jeruk keprok SoE yang senantiasa meningkat

menunjukkan bahwa komoditas ini secara sosial sudah diterima masyarakat dan

secara finansial layak untuk diusahakan oleh petani seperti yang sudah dikaji oleh

Milla et al., (2002) dan Yusuf et al., (2009).

Produktivitas jeruk keprok SoE masih jauh dari yang diharapkan. Tabel

26 menunjukkan kesenjangan antara produktivitas aktual dengan potensialnya.

Dari tabel ini diketahui bahwa produktivitas rata-rata (tahun 2002-2008) dari jeruk

keprok SoE baru mencapai 20 kg/pohon atau hanya 5% dari produktivitas

potensialnya (peluang peningkatan produktivitas sebesar yakni 95%).

Tabel 26. Keadaan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jeruk Keprok SoE di
Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2002-2008

Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008


Luas Panen (Ha) 1 042 1 157 1 336 1 445 2 218 2 089 1 409
Produksi (Ton) 1 492 2 987 7 821 5 856 7 431 5 103 7 199
Produktivitas (Ton/Ha) 1.43 2.58 5.85 4.05 3.35 2.44 5.11
Produktivitas (Kg/phn)* 5 9 37 28 27 14 20
Tercapai (%)* 2.2 4.0 9.0 6.2 5.2 3.8 7.9
Kesenjangan (%) 97.8 96.0 91.0 93.8 94.8 96.2 92.1

Sumber: Dinas Pertanian, 2009 (diolah).


Keterangan: *: 1 ha ditanami 278 pohon dengan potensi hasil maximum 65
ton/ha

Sentra-sentra jeruk keprok SoE di kabupaten TTS tersebar di beberapa

kecamatan dengan populasi seperti tercantum pada Tabel 27. Dari Tabel ini

diketahui bahwa ada tujuh kecamatan sentra produksi dan rencana pengembangan

jeruk Keprok SoE di TTS. Berdasarkan jumlah populasi dan rencana

pengembangannya, untuk dataran tinggi, dua kecamatan pusat produksi yang


79

dominan yakni Mollo Utara dan Mollo Selatan; sedangkan untuk dataran rendah

adalah kecamatan Kuanfatu dan Amanuban Selatan.

Tabel 27. Sebaran Populasi Tanaman Jeruk Keprok SoE di Kabupaten Timor
Tengah Selatan, Tahun 2008

No Kecamatan Populasi % Potensi %


(pohon) Pengembangan Terhadap
Areal (ha)* Total
1 Mollo Utara 347 031 34.8 2 000 28
2 Mollo Selatan 193 750 19.2 1 600 23
3 Amanatun Selatan 32812 3.3 200 3
4 Amanuban Tengah 23 764 2.4 700 7
5 Amanatun Utara 1 498 0.2 100 1
6 Kuanfatu 43 600 4.4 600 10
7 Amanuban Selatan 38 701 3.9 400 6
8 Lain-lain 317 787 31.9 1 550 22

Jumlah (Pohon) 996 833 100 1 959 900 100


Luas Tanam (Ha)** 3 586 7 050
Tercapai (%):
2004 37
2008 51
Sumber: Lampiran 1 (diolah).
Keterangan: * : Target Pemerintah Daerah Kabupaten TTS sampai dengan Tahun
2013
**: 1 Ha = 278 pohon (jarak tanam 6 x 6 m)

Jeruk kerpok SoE sudah menjadi tanaman primadona masyarakat di

kabupaten Timor Tengah Selatan, namun perkembangannya masih cukup lambat

karena para petani di kabupaten ini belum mengusahakannya dalam skala

ekonomis yang efisien. kecenderungan luas panen, produksi dan produktivitas

jeruk keprok SoE selama tahun 2002-2008 meningkat. Hal ini bisa dijadikan

sebagai indikator bahwa jeruk ini merupakan komoditas penting dan bisa

diandalkan untuk dijadikan sumber pendapatan petani atau penggerak utama

ekonomi petani jeruk. Namun, tingkat produksi dan produktivitas jeruk keprok
80

SoE adalah masih sangat rendah dan berkecenderungan menurun dari tahun 2008

ke tahun 2010 (pers. Com dengan Kepala Bidang Hortikultura Dinas Pertanian

Provinsi NTT di Kupang pada tanggal 3 April 2010).

Untuk menggairahkan kembali semangat petani jeruk dan sekaligus

sebagai upaya meningkatkan produktivitas jeruk di kabupaten TTS, maka

pemerintah kabupaten TTS dan Provinsi NTT bersama-sama menjalankan

program rehabilitasi jeruk ini dengan maksud untuk: (1) mengembalikan

kemampuan produksi JKS dan meningkatkan produktivitas lahan kering, (2)

meningkatkan kesempatan kerja dan berusahatani, (3) meningkatkan pendapatan

petani dan (4) mengembalikan potensi komoditas unggulan nasional ini.

Sebaran pengusahaan tanaman jeruk keprok SoE per kecamatan di

kabupaten TTS selama periode waktu 2004-2008 tercantum pada Tabel 28 dan

Gambar 21 dan Gambar 22. Tabel tersebut menunjukkan bahwa Sentra utama

usahatani keprok SoE adalah di kecamatan Mollo Utara (termasuk kecamatan

Tobu) dan kecamatan Mollo Selatan (termasuk kecamatan Mollo Tengah) di

daerah dataran tinggi. Sedangkan untuk daerah dataran rendah terdapat di

kecamatan Kuanfatu dan Amanuban Selatan (termasuk kecamatan Kualin).

Kultivar jeruk yang dikembangkan di wilayah kabupaten Timor Tengah

Selatan adalah jenis jeruk keprok SoE. Jeruk ini memiliki ciri-ciri umum antara

lain tinggi tanaman berkisar 4-8 m, warna buah matang kuning kemerah-merahan

atau kuning keemasan, bentuk buah bulat pendek dengan ukuran diameter 6.86 x

6.66 cm, tingkat kekerasan buah lunak atau agak lunak, warna daging buah

orange, berat buah 100-125 gram, rasa buah manis dan segar, tekstur daging buah

berserat halus dan potensi produksi 50-250 kg per pohon per musim panen.
81

Tabel 28. Rata-Rata Jumlah Tanaman, Luas Panen dan Produksi Jeruk Keprok
SoE di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2004-2008

No Kecamatan Jumlah % Luas Panen % Produksi %


Tanaman Terhadap Terhadap Terhadap
Total (Pohon) Total (Ton) Total
(Pohon)

1 Mollo Utara 327 155.2 38.41 132 823.4 43.69 3 712.52 52.60
2 Mollo Selatan 182 167.4 21.39 75 243.2 24.75 1 613.52 22.86
3 Amaban Barat 75 155.6 8.82 2 937.4 0.97 61.12 0.87
4 Kota SoE 45 307.8 5.32 23 857.0 7.85 405.00 5.74
5 Amaban Selatan 42 235.2 4.96 226.4 0.07 4.12 0.06
6 Fatumnasi 39 892.2 4.68 17 618.6 5.80 322.34 4.57
7 Amatun Selatan 26 798.6 3.15 7 195.6 2.37 127.72 1.81
8 Kuanfatu 24 987.2 2.93 10 680.0 3.51 245.40 3.48
9 Pollen 18 607.6 2.18 6 045.2 1.99 110.16 1.56
10 Amaban Tengah 15 972.0 1.88 8 747.6 2.88 122.30 1.73
11 Kie 10 123.0 1.19 5 606.0 1.84 106.56 1.51
12 Nunkolo 9 924.6 1.17 4 272.2 1.41 86.76 1.23
13 Amaban Timur 7 121.0 0.84 1 893.0 0.62 32.60 0.46
14 Toianas 5 834.0 0.68 720.0 0.24 12.40 0.18
15 Kolbano 5 005.6 0.59 350.4 0.12 4.80 0.07
16 Boking 4 862.2 0.57 1 568.6 0.52 23.48 0.33
17 Oenino 3 584.2 0.42 377.2 0.12 5.64 0.08
18 Batu Putih 2 273.0 0.27 1 337.0 0.44 24.48 0.35
19 Kotolin 2 013.2 0.24 1 480.0 0.49 22.00 0.31
20 Amatun Utara 1 542.4 0.18 449.0 0.15 7.76 0.11
21 Kualin 1 135.4 0.13 558.4 0.18 7.56 0.11
Kabupaten TTS 851 697.4 100.00 303 986.2 100.00 7 058.24 100.00

Sumber: Lampiran 1 (diolah).

Jeruk keprok SoE merupakan salah satu jenis buah unggulan nasional

setelah mendapatkan pelepasan oleh Pemerintah Pusat pada tahun 1998 dan

mendapatkan juara pertama selama tiga tahun berturut-turut (2003, 2004, dan

2005) dalam kontes buah nasional yang diselenggarakan oleh majalah Trubus

Indonesia (Adar et al., 2005). Namun sistem pengelolaan usahatani komoditas ini

oleh petani masih belum memenuhi standar teknis yang dianjurkan.


82

43.7
45

40

35 Luas Panen (%)

30
Luas Panen (%)

24.8
25

20

15

10 7.8
5.8
3.5 2.9
5 2.4 2.0 1.8 1.4 1.0 0.6 0.5 0.5 0.4 0.2 0.2 0.1 0.1 0.1 0.1
0

Kecamatan

Sumber: Lampiran 1 (diolah).

Gambar 21. Rata-Rata Luas Panen Jeruk Keprok SoE per Kecamatan, Tahun
2004-2008

60
52.60
Produksi (%)
50
Produksi (%)

40

30 22.86

20

10 5.74 4.57
3.48
1.81 1.73 1.56 1.51 1.23 0.87 0.46 0.35 0.33 0.31
0.18 0.11 0.11 0.08 0.07 0.06
0

Kecamatan

Sumber: Lampiran 1 (diolah).


Gambar 27. Rata-Rata Produksi Jeruk Keprok SoE per Kecamatan, Tahun 2004-
2008
83

2.3.2.3. Subsektor Perkebunan

Luas areal panen tanaman perkebunan pada tahun 2007 sebesar 33 690.05

ha atau menurun sebesar -2.8% dibandingkan dengan tahun 2006 (34 649.01 ha).

Tingkat produksi tahun 2007 adalah sebesar 7 337.49ton atau meningkat sebesar

7.8% dibandingkan dengan tahun 2006 (6 804.53 ton). Peningkatan produksi

bukan berdasarkan perluasan areal panen, tetapi dimungkinkan dari adanya

perbaikan teknologi budidaya di tingkat petani.

Jenis tanaman perkebunan yang utama di Kabupaten Timor Tengah

Selatan adalah seperti tercantum pada Tabel 29, dengan kontribusinya (%)

masing-masing komoditas seperti tercantum pada Gambar 23. Dari tabel dan

gambar tersebut diketahui bahwa tanaman kemiri menduduki tempat yang

pertama baik dari segi luas panen (43%) maupun produksi (48%), diikuti oleh

tanaman kelapa dan jambu mente. Sedangkan tanaman kakao (yang membutuhkan

pengelolaan yang lebih intensif) merupakan tanaman perkebunan yang paling

sedikit diusahakan di Kabupaten TTS.

Tabel 29. Luas dan Produksi Tanaman Perkebunan di Kabupaten Timor Tengah
Selatan, Tahun 2007

Komoditi Luas Produksi Produktiv


Belum Sudah Total % % itas
Produksi Produksi terhadap terhadap
(Ha) (Ha) (Ha) total (Ton) total (Ton/Ha)
Kelapa 7 785.04 3 530.69 11 315.73 33.59 3 503.85 47.75 0.99
Kemiri 10 721.69 3 922.97 14 644.66 43.47 3 185.21 43.41 0.81
kapuk 2 412.05 738.18 3 150.23 9.35 250.59 3.42 0.34
Jambu Mente 3 146.50 251.52 3 398.02 10.09 165.08 2.25 0.66
Pinang 2 57.21 150.26 407.47 1.21 141.59 1.93 0.94
Kopi 640.11 86.16 726.27 2.16 89.22 1.22 1.04
Kakao 41.58 6.09 47.67 0.14 1.95 0.03 0.32
Total 25 004.18 8 685.87 33 690.05 100 7 337.49 100.00 0.84

Sumber: Dinas Pertanian, 2009.


84

43 .47 50 47 .75
45
43 .41
45
40
33.59 40
35
35
30
Luas Panen (%)

% Luas Panen (Ha)

Produksi (%)
30 % Produksi (Ton)
25
25
20
20
15 15
10.09 9.3 5
10 10
3 .42
5 2 .16 5 2 .25 1.93 1.22
1.2 1 0.03
0.14
0 0

Kemiri Jambu Kopi Kakao Kemiri Jambu Kopi Kakao


Mente Mente

Tanaman Perkebunan Tanaman Perkebunan

Sumber: Tabel 29.

(a) Rangking Luas Panen Terhadap (b) Rangking Produksi Terhadap


Total Luas Lahan Tanaman Total Produksi Tanaman
Perkebunan di Kabupaten Timor Perkebunan di Kabupaten
Tengah Selatan, Tahun 2007 Timor Tengah Selatan, Tahun
2007

Gambar 23. Rangking Luas Panen dan Produksi Beberpa Jenis Tanaman
Perkebunan di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2007

Dari segi produktivitas (ton/ha), komoditas perkebunan rakyat yang

disuahakan petani di Kabupaten Timor Tengah Selatan masih sangat rendah

(semuanya lebih kecil dari 1 ton/ha, kecuali tanaman kopi). Sistem usahatani

campuran dan pengelolaan yang masih tradisional (tanpa menggunakan input

modern) telah menyebabkan rendahnya produktivitas sektor perkebunan ini. Hal-

hal ini mengundang perhatian semua stakeholders perkebunan untuk mengambil

bagian di dalam sistem/proses produksi yang efisien dan berskala ekonomi tinggi,

mengingat komoditi perkebunan adalah usaha pertanian yang berorientasi pasar

baik pasar lokal maupun pasar nasional dan perdagangan internasional.


85

2.3.2.4. Subsektor Peternakan

Sub sektor ini memberikan kontribusi terbesar kedua (22%) terhadap

PDRB TTS tahun 2007, setelah tanaman bahan makanan (33%). Jenis usaha

ternak di Kabupaten Timor Tengah Selatan terdiri dari ternak besar (sapi, kerbau,

kuda) dan ternak kecil (kambing, domba) serta unggas (ayam kampung dan itik).

Populasi hewan ternak pada tahun 2007 mencapai 834 657 ekor meningkat

sebesar 11.82% dibandingkan dengan tahun 2006 (746 398 ekor). Untuk populasi

kuda paling banyak terdapat di Kecamatan Fatumnasi sebanyak 1 141 ekor,

sedangkan untuk populasi sapi paling banyak terdapat di Kecamatan Polen

sebanyak 19 885 ekor, kerbau paling banyak terdapat di Kecamatan Amanatun

Selatan 87 ekor, kambing dan babi paling banyak terdapat di Amanuban Timur

dan Fatumnasi masing-masing 6 391 ekor dan 19 609 ekor. Jumlah populasi

ternak dapat dilihat pada Gambar 24.

3 88589 (46.56%)
400000
Jumlah Ternak (Ekor)
350000
Jumlah Ternak (ekor)

300000 2 50933 (30.06%)

250000
155276 (18.60%)
200000
150000
100000 33879 (4.06%)
2 656 (0.3%)
50000 2 936 (0.4%) 3 88 (0.1%)
0

Jenis Ternak

G
Sumber: BPS, 2008b.

Gambar 24. Jumlah Ternak dan Persentase Terhadap Total di Kabupaten Timor
Tengah Selatan, Tahun 2007
86

Sistem pemeliharaan ternak di Kabupaten TTS didominasi oleh sistem

usaha lepas (ekstensif) dengan sistem semi intensif sebatas pada ternak kuda dan

babi. Namun semuanya masih merupakan usaha skala kecil dan tradisional yang

membutuhkan sentuhan teknologi intensifikasi dan skala ekonomis. Permasalahan

utama terkait pemeliharaan ternak di Kabupaten TTS adalah masalah tata ruang,

masalah kesehatan ternak dan struktur agribisnisnya. Masalah tata ruang

merupakan masalah tanggungjawab Pemerintah Daerah kabupaten. Menyikapi hal

ini Pemerintah Daerah melalui Bappeda Kabupaten TTS telah membuat pemetaan

daerah pengembangan ternak.

Masalah kesehatan hewan merupakan sumber utama (60%) ancaman

bagi kesehatan manusia. Struktur agribisnis ternak (baik di tingkat usahatani,

pengolahan dan pemasaran terutama pengecer) masih tidak seimbang.

Keuntungan yang paling besar sering terjadi pada para pedagang (pers.com

dengan petani peternak, 27 Maret 2010 di SoE). Selain itu, masalah hijauan

makanan ternak di musim kemarau (8 bulan kering) merupakan faktor utama

penghambat usahatani ternak petani di TTS. Berdasarkan hasil analisis statitik

diketahui bahwa faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap populasi sapi di

Kabupaten TTS adalah luas padang penggembalaan, jumlah

pemotongan/pengeluaran dan angka kelahiran (Bappeda, 2010).

2.3.2.5. Subsektor Perikanan

Kontribusi subsektor ini terhadap PDRB TTS tahun 2007 adalah yang

paling kecil (0.01%) di sektor pertanian. Usaha perikanan di Kabupaten Timor

Tengah Selatan terdiri dari usaha perikanan darat dan usaha perikanan laut. Bila
87

dilihat dari jumlah dan nilai produksinya usaha perikanan di Kabupaten Timor

Tengah Selatan didominasi oleh usaha perikanan laut yakni 52% (Tabel 30).

Usaha perikanan darat didominasi oleh usaha kolam (74.18%).

Tabel 30. Produksi Perikanan Menurut Subsektor, Tahun 2007

Jenis Produksi (Ton) %


1. Perikanan Laut 389 755 51.98
2. Perikanan Darat 360 102 48.02
a. Perikanan Umum 59 391 16.49
b. Tambak 3 235 0.90
c. Kolam 267 126 74.18
d. Kubai 28137 7.81
e. Sawah 2 213 0.61
Sumber: BPS, 2008b.

Produksi ikan laut di Kabupaten Timor Tengah Selatan pada tahun 2006

mengalami penurunan 0.08% jika dibandingkan pada tahun 2005. Produksi

perikanan laut tahun 2005 mencapai 487.9 ton turun menjadi 449.9 ton tahun

2006. Untuk produksi perikanan laut tahun 2006 paling banyak ikan terbang

mencapai 67 ton. Sedangkan tahun 2007, produksi perikanan laut mencapai 849.9

ton atau meningkat sebesar 88.91% dibandingkan dengan tahun 2006. Produksi

perikanan laut tahun 2007 didominasi oleh jenis ikan pari dan tongkol.

Kabupaten Timor Tengah Selatan mempunyai garis pantai yang panjang

sekitar 128 km, sehingga potensi perikanan laut masih terus dapat ditingkatkan.

Peralatan (kapal) penangkapan ikan oleh nelayan di TTS didominasi oleh jenis

perahu tanpa motor (86.32%) dan kapal motor (13.68%). Menurut jenis alat

tangkap, pancing mendominasi yakni sebesar 35.15%, diikuti oleh jaringan

(11.27%). Peluang-peluang usaha pengolahan ikan juga dapat terus dibina dan

ditingkatkan, baik atas bantuan Pemerintah Pusat maupun Daerah Provinsi NTT.
88

2.3.2.6. Subsektor Kehutanan

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

lingkungannya yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (Undang-

Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan).

Subsektor kehutanan dalam pembentukan PDRB sektor pertanian daerah

TTS memberikan kontribusi kecil. Tahun 2006 sub sektor ini memberikan

kontribusi sebesar Rp 1.61 miliar (atas dasar harga berlaku) atau 0.2%.

Sedangkan pada Tahun 2007 menyumbang sebesar Rp 1.62 miliar (0.19%).

Tabel 31 memberikan gambaran tentang luas kawasan hutan (Ha)

menurut tata gunanya di tahun 2007. Dari tabel diketahui bahwa hutan produksi

tetap merupakan hutan yang paling luas (49.66%) di kabupaten TTS diikuti oleh

hutan lindung (34.59%) dan cagar alam (9.54%). Sedangkan hutan marga satwa

dan hutan produksi terbatas masing-masing seluas 3.72% dan 2.49%.

Tabel 31. Luas Kawasan Hutan Menurut Pola Tata Guna, Tahun 2007

Fungsi Hutan Luas Hutan %


(Ha)
1. Hutan Lindung 54 973.74 34.59
2. Cagar Alam 15 155.19 9.54
3. Hutan Marga Satwa 5 918 3.72
4. Hutan Produksi Tetap 78 924.52 49.66
5. Hutan Produksi Terbatas 3 961.42 2.49
Timor Tengah Selatan 158 932.87 100.00

Sumber: Dinas Kehutanan, 2008.

Sampai dengan tahun 2007, terdapat enam komoditi hasil produksi hutan

(kayu) di wilayah Kabupaten TTS, yaitu kayu rimba campur olahan (3 037 961
89

m3), kayu jati olahan (1 405 739 m3), kayu papi (161.1ton), kayu merah (320 089

m3), kayu mahoni (121 571 m3) dan kayu cendana (20.9) ton. Sedangkan untuk

produksi non kayu untuk tahun 2007 asam 5 535 ton, kemiri 644.1 ton, gumbal

cendana 20.9 ton, minyak cendana 975 ton dan madu 3 224 liter.

Data perkembangan hasil hutan tahun 2005-2007 tercantum pada Tabel

32. Tabel tersebut menunjukkan bahwa produksi hasil hutan baik kayu maupun

non kayu menunjukkan trend yang positif selama periode waktu 2005-2007,

kecuali produksi kayu cendana dan gubal cendana yang mengalami penurunan.

Peningkatan produksi yang sangat tinggi terjadi pada produksi kayu merah dan

mahoni. Sedangkan peningkatan produksi untuk jenis non kayu adalah asam dan

minyak cendana. Asam dan minyak cendana merupakan juga komoditas unggulan

daerah Kabupaten TTS.

Tabel 32. Produksi Hasil Hutan Menurut Jenisnya,Tahun 2005-2007

Jenis Hasil Hutan Satuan Produksi %


Perkembangan
2005 2006 2007 2005-2007

1.Kayu Rimba Campuran


Olahan m3 590 010 664 790 30 37 961 414.90
2.Kayu Jati Olahan m3 537 217 453 990 1 405 739 161.67
3.Kayu Merah m3 10 337 11 706 320 089 2 996.54
4.Kayu Cendana Ton 88 263 79 21 -99.98
5.Kayu Mahoni m3 10 876 7 610 121 571 1 017.79
6.Kayu Papi Ton 102 140 161 57.37

Non Kayu, Kulit dan Daun:


1. Asam Ton 3 174 3 287 5 535 74.39
2. Kemiri Ton 566 301 644 13.74
3. Minyak Cendana Liter 800 955 975 21.88
4. Gubal Cendana Ton 88 79 21 -76.32
5. Ampas Cendana Ton 0 0 0
6. Madu Liter 0 3 027 3 224 6.51

Sumber: Dinas Kehutanan, 2008.


90

2.3.3. Komoditas Pertanian Unggulan Kabupaten Timor Tengah Selatan

Penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Nusa Cendana

(Undana) yang dibiayai oleh Bank Indonesia Kupang tahun 2008 memberikan

rekomendasi beberapa Komoditi, Produk dan Jenis Usaha (KPJu) unggulan yang

ada di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Hasil analisis dengan menggunakan

Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) berdasarkan 4 (empat) kriteria dan

bobot kepentingannya menghasilkan KPJu unggulan untuk setiap sektor usaha

UMKM di setiap kecamatan. Ranking dan sentra produksi KPJu unggulan di

Kabupaten TTS per sektor usaha adalah seperti yang tercantum pada Tabel 33

berikut ini.

Tabel 33. Rangking dan Sentra Produksi Komoditi, Produk dan Jenis Usaha
Unggulan per Sektor Usaha di Kabupaten Timor Tengah Selatan
No. Sektor Usaha/ Skor Terbobot* Kecamatan Sentra Produksi Tahun 2008**
KPJu Unggulan

Padi dan Palawija


1 Ubi Kayu 0.3304 Kot'Olin, Boking, Kokbaun
2 Jagung 0.2226 Kualin, Amanuban Timur, Amanuban Selatan
3 Produk pertanian 0.1647 Amanatun Utara, Amanuban Timur, Batuputih,

4 Kacang Tanah 0.0891 Mollo Selatan, Fatumnasi, Amanuban Barat


5 Ubi Jalar 0.0743 Mollo Selatan, Amanatun Selatan, Amanuban
Timur
Sayur-Sayuran
1 Terung 0.1615 Nunkolo, Batuputih, Amanatun Selatan
2 Tomat 0.1184 Nunkolo, Batuputih, Amanatun Selatan
3 Bawang (merah) 0.1135 Kot'Olin, Kuanfatu, Amanuban Barat
4 Cabe 0.1042 Batuputih, Oenino, Nunkolo
5 Wortel 0.1030 Oenino, Fatumnasi, Batuputih
Buah-Buahan
1 Mangga 0.1615 KiE, Amanuban Selatan, Mollo Selatan
2 Jambu biji 0.1184 Amanuban Tengah, Kota SoE, Mollo Barat
3 Pepaya 0.1135 Amanuban Timur, Pollen, Amanuban Tengah
4 Nangka 0.1042 Pollen, Mollo Selatan, Batuputih
5 Jeruk Keprok 0.1030 Mollo Utara, Mollo Selatan, Kota SoE,
Amanuban Selatan, Kuanfatu
91

Tabel 33. Lanjutan

Biofarmaka***
1 Kunyit 0.1589 Batuputih, Amanuban Timur, Nunkolo
2 Lengkuas 0.1509 Amanuban Timur, Batuputih, Nunkolo
3 Jahe 0.1353 Batuputih, Nunkolo, Amanuban Timur
4 Kencur 0.9374 Nunkolo, Amanuban Timur, Batuputih
5 Temulawak 0.3520 Batuputih, Amanuban Barat, Kualin
Peternakan
1 Sapi 0.3304 Pollen, Toianas, Fatumnasi
2 Babi 0.1282 Fatumnasi, Batu Putih, Amanuban Timur
3 Kambing 0.1217 Amanuban Timur, Kot'olin, Amanuban Barat
4 Ayam Kampung 0.1059 Amanuban Timur, Mollo Utara, Amanuban
Barat
5 Kuda 0.1012 Fatumnasi, Mollo Utara, Mollo Selatan
Perkebunan
1 Kelapa 0.1429 Amanuban Selatan, Amanatun Selatan, Batu
Putih
2 Jambu Mente 0.1382 Oenino, Fatumnasi, Amanuban Barat
3 Pinang 0.1307 Nunkolo, Kualin, Kuanfatu
4 Kemiri 0.1207 Amanuban Tengah, Mollo Utara, Kuanfatu
5 Kopi 0.1183 Mollo Utara, Fatumnasi, Mollo Selatan

Perikanan
1 Cakalang 0.1295 Perikanan laut di dominasi di bagian Selatan
2 Tongkol 0.1172 TTS, sehingga data per kecamatan tidak tersedia
3 Kakap 0.1163
4 Nila 0.1123
5 Peperek 0.1061
Kehutanan****
1 Asam (Ton) 3287 Tidak dibudidayakan, sehingga data per
2 Madu (Liter) 3027 kecamatan tidak tersedia.
3 Minyak Cendana 955
(Liter)
4 Gubal Cendana 79
(Ton)
5 Ampas Cendana -
(Ton)

Sumber: Data Primer, 2007-2008 (diolah) dan Bank Indonesia Kantor Cabang
Kupang, 2008.

Keterangan: * : Skor terbobot diadopsi dari hasil penelitian BI, tahun 2008
** : Berdasarkan rangking produksi dari tertinggi ke terendah
tahun 2008, diambil 3 kecamatan pertama dalam rangkingnya
*** : Berdasarkan produksi (Kg) tahun 2008, skor terbobot
tidak ada
**** : Berdasarkan produksi hasil hutan non kayu tahun 2007,
data skor terbobot tidak tersedia
92

Di antara 27 KPJu Unggulan dalam anlisis kuadran (Bank Indonesia,

2008), seluruh KPJu berada pada Kuadran I, yaitu mempunyai prospek dan

potensi saat ini yang sangat baik atau baik. Kedudukan KPJu unggulan di

Kabupaten Timor Tengah Selatan berdasarkan hasil penilaian terhadap faktor-

faktor prospek dan potensi saat ini dapat digambarkan pada grafik kuadran

sebagai berikut (Gambar 25).

Keterangan:

1 Jagung
2 ubi kayu
3 Produk pertanian
4 Padi
5 Kacang Tanah
6 Kacang Kedelai
7 kelapa
8 Pinang
9 Asam
10 Kunyit
11 Jahe
12 Nila Merah
13 Mujair
14 Ekor Kuning
15 Cakalang
16 Penangkaran Benih
17 Jeruk Keprok SoE
18 Tenun
19 Kerajinan Ukiran Kayu
20 Mebel Kayu
21 Madu
22 Sapi
23 Hasil Ternak
24 Dagang Aneka Kerajinan
25 Hasil Pertanian
26 Dagang Elektronik
27 Hotel/Losmen

Sumber: Bank Indonesia, 2008.


Gambar 25. Kuadran Posisi Komoditi, Produk dan Jenis Usaha Unggulan di
Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2008

2.3.4. Peluang Investasi Beberapa Komoditas Pertanian Unggulan


Kabupaten Timor Tengah Selatan

RPJMD Kabupaten TTS 2009-2013 telah merencanakan pengembangan

sekitar 20 komoditas pertanian unggulan Kabupaten TTS seperti yang tercantum


93

pada Tabel 34. Untuk tanaman pangan dan hortikultura fokus pengembangan

ditujukan pada tanaman jeruk keprok SoE, jagung, kacang tanah, produk

pertanian, ubi jalar dan ubi kayu.

Tabel 34. Potensi dan Peluang Investasi Komoditas Pertanian Unggulan


Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2009-2013

Komoditi Luas Luas Luas lahan %* Produksi** Satuan


Lahan Lahan Potensi Produksi
Potensial sudah untuk
(Ha) diolah Investasi
(Ha) (Ha)
Tanaman Pangan & Hortikultura:
Jeruk Keprok SoE 7 050 1 409 1 915 19.99 5.11 ton/ha
Jagung 74 135 61 994 12 141 16.38 1.5 ton/ha
Kacang Tanah 4 125 1 544 2 581 62.57 0.8 ton/ha
Ubi Jalar 1 068 455 613 57.40 3 ton/ha
Ubi Kayu 14 641 8 744 5 897 40.28 4 ton/ha
Perkebunan:
Tembakau 905 5 900 99.45 na ton/ha
Jambu Mente 11 011 2 590 8 421 76.48 0.66 ton/ha
Kakao 8 715 58 8 657 99.33 0.32 ton/ha
Kopi 13 809 509 13 300 96.31 1.04 ton/ha
Kelapa 29 419 6 293 23 126 78.61 0.99 ton/ha
Kemiri 39 928 10 083 29 845 74.75 0.81 ton/ha
Pinang 407.47 150.26 257.21 63.12 0.94 ton/ha

Peternakan: Jumlah Peluang % Peluang


(Ekor) Invest Investasi
(ekor)
data peluang investasi untuk
Sapi 150 975 75 084 49.73 kerbau dan Kuda tidak tersedia.
Kambing 30 439 10 073 33.09
Babi 294 732 66 608 22.60

Sumber: BPS, 2009b dan Bappeda, 2010.


Keterangan: * : % lahan yang sudah diusahakan terhadap lahan potensial.
**: data produksi tahun 2008

Sedangkan fokus pengembangan tanaman perkebunannya adalah

tembakau, jambu mente, kakao, kopi, kelapa, kemiri dan pinang. Tanaman
94

kehutanan diutamakan jarak dan asam. Peternakan difokuskan pada ternak sapi,

kambing dan babi.

Hal penting yang perlu mendapat perhatian di masa datang adalah tingkat

produktivitas pertanian unggulan tersebut. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa

semua produktivitas komoditas pertanian unggulan di TTS masih sangat rendah

dan berada jauh di bawah produktivitas potensialnya. Sebagai contoh,

produktivitas jagung saat ini (tahun 2009) masih 1.5 ton/ha, lebih rendah bila

dibandingkan dengan produktivitas potensialnya 4-6 ton/ha. Demikian juga

halnya produk pertanian. Produktivitas saat mencapai 0.8 ton/ha atau 55% lebih

rendah bila dibandingkan dengan produktivitas potensialnya 1.7 ton/ha.

Rendahnya produktivitas pertanian di Kabupaten TTS erat kaitannya

dengan rendahnya curah hujan (kekurangan air irigasi untuk pertanian),

penggunaan bibit tanaman dan ternak dari produksi sendiri (bukan benih unggul),

sistem pengelolaan tradisional dan skala usaha yang masih kecil (kurang dari 1 ha

per kepala keluarga petani tanaman) dan strukur pasar yang oligopsoni (pasar

persaingan tidak sempurna di mana para pembeli jauh lebih sedikit dibandingkan

dengan para petani produsen/penjual) sehingga harga kurang bersaing dan posisi

tawar petani menjadi lemah.

2.3.5. Kelembagaan Usahatani

Beberapa Lembaga yang terlibat di dalam berbagai kegiatan

pembangunan pertanian (komoditas) di Kabupaten Timor Tengah Selatan adalah

seperti yang tercantum pada Tabel 35. Penyebaran beberapa Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pembangunan di NTT secara umum

dan di Kabupaten TTS secara khusus adalah seperti yang tertera pada Gambar 26.
95

Tabel 35. Lembaga yang Terlibat di dalam Kegiatan Pertanian Beberapa


Komoditas Unggulan di Kabupaten Timor Tengah Selatan

KOMODITI LEMBAGA

Jeruk Keprok SoE Dinas Pertanian (PPL) TTS & Provinsi, LIPI, OECF, LSM Plan
Internasional, LSM Haumeni, LSM Alpha Omega, ACIAR, BPTP
NTT, PT Undana

Jagung Dinas Pertanian (PPL) TTS & Provinsi, Koperasi, LSM Haumeni,
LSM Alpha Omega, AusAid

Sapi Dinas Peternakan (PPL) TTS & Provinsi, Koperasi, LSM Alpha
Omega, AusAid

Kambing Dinas Peternakan (PPL) TTS & Provinsi, Koperasi, LSM Alpha
Omega, AusAid

Ayam Dinas Peternakan (PPL) TTS & Provinsi, Koperasi, LSM Alpha
Omega, AusAid

Kacang Tanah Dinas pertanian (PPL), LSM Alpha Omega

Kemiri Dinas Perkebunan (PPL), LSM Haumeni

Wortel LIPI, Dinas perindustrian dan perdagangan, LSM ACF

Pisang LIPI, Primatani

Sumber: Dinas Pertanian, 2010c.

3* 12
11 19
1
1 2
2
1 11
19 2 19 14
3 2 19
9 1
2
5 2 2

16
4
2
19 18
6
15 7
19 6
17 19 3
13
6 5
17 8 17 17
18
10
19
6
4*

8 19

Sumber: Bappeda, 2010.


Gambar 26. Peta Sebaran Lembaga Swadaya Masyarakat yang Fokus pada
Pengembangan Pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun
2002-2009
96

Adapun fokus kegiatan LSM-LSM tersebut adalah sebagai berikut:

(nomor:-nomor yang tertera di gambar di atas mengikuti nomor kegiatan-kegiatan

di bawah ini).

1. Swisscontact (kakao, mete, kopi), finance by Cordaid – Netherlands.

2. Veco (kacang tanah, kakao, kopi, beras organik, kopi dan Rumput Laut),

tahun 2005-2008.

3. AMARTA-USAID (sapi potong, biofuel, kerapu).

4. Care Internasional (kacang tanah dan komoditi pertanian umum).

5. PNPM – AP (komoditi pertanian umum).

6. The Asia Foundation - ANTARA (Peningkatan Iklim Usaha/investasi).

7. YMTM – ANTARA (komoditi pertanian umum-rantai pasar).

8. Dinas Perikanan & kelautan – ANTARA (perikanan).

9. World Neighbors – YMTM – ANTARA (pertanian umum).

10. TLM – ANTARA (Sapi Potong).

11. Delsos – ANTARA (pertanian umum).

12. PIKUL – ANTARA (pertanian umum).

13. World Neighbours – ANTARA (food security/tanaman pangan).

14. CRS – ANTARA (food security/tanaman pangan).

15. OXFAM GB (food security/tanaman pangan).

16. FAO – ANTARA (tanaman pangan-hama belalang), 2007 – 2009.

17. ACCESS – ANTARA (comdev-pertanian umum), 2002 – 2013.

18. Plan International Australia (Community Managed Food and Nutrition

Security), 2008-200.

19. WVI (rumput laut dan pertanian umum melalui program pengembangan
97

ekonomi).

Dari gambaran penyebaran LSM-LSM tersebut di atas dapat diketahui

bahwa sebenarnya sudah banyak lembaga yang melakukan pembangunan

pertanian secara umum dan khususnya jeruk keprok SoE di kabupaten TTS.

Diharapkan bahwa kehadiran-kehadiran lembaga-lembaga itu dapat meningkatkan

kapabilitas petani dan pemberdayaan kelompok tani yang ada di kabupaten TTS.

Kelompok Tani

Kelompok tani merupakan perangkat pelaksana kegiatan di tingkat

lapangan yang perlu disiapkan dan dibina secara berkesinambungan agar mampu

mengadopsi berbagai informasi teknologi pertanian dan penguatan secara

kelembagaan. Usahatani berkelompok ini diharapkan akan tumbuh menjadi pusat-

pusat agribisnis di pedesaan yang mapan secara ekonomi, teknologi dan

kelembagaan. Jumlah kelompok tani yang telah dibentuk dan dibina oleh Dinas

Pertanian dan Ketahanan pangan Kabupaten TTS sampai dengan tahun 2009

adalah sebanyak 1 328 kelompok dengan klasifikasi kelompok pemula berjumlah

1 203 buah, kelompok tingkat lanjut sebanyak 100 buah dan kelompok madya

sebanyak 25 kelompok. Kelompok-kelompok tani ini menyebar di 32 kecamatan

di kabupaten TTS dengan rata-rata 5 sampai 6 kelompok di setiap desa.

Penyuluhan Pertanian

Penyuluhan merupakan salah satu upaya penyampaian informasi

teknologi pertanian dan perkembangannya yang bertujuan untuk meningkatkan

pengetahuan dan keterampilan petani secara informal, khususnya dalam upaya


98

pembangunan pertanian. Kegiatan penyuluhan dilakukan untuk memberikan

pemahaman dan informasi pertanian yang bertujuan untuk mengubah perilaku

petani dari sistem dan pola pertanian tradisional menjadi pola pertanian agribisnis.

Sampai dengan tahun 2009, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan

kabupaten TTS memiliki 183 orang penyuluh pertanian yang terdiri dari 137 org

PNS, 45 orang tenaga honorer yang dikontrak Pemerintah Pusat (Departemen

pertanian) dan satu orang PPL yang dikontrak Pemerintah Daerah. Seluruh tenaga

PPL tersebut ditempatkan di desa, Balai Penyuluhan Pertanian kecamatan dan

Sekretariat Penyuluhan Kabupaten.

Kebijakan Pemerintah Pusat menetapkan satu orang PPL untuk satu desa.

Di kabupaten TTS terdapat 240 desa/kelurahan. Hal ini berarti terdapat

kekurangan tenaga PPL sebanyak 57orang (atau 57 desa yang belum mendapatkan

tenaga PPL). Selain kurangnya jumlah PPL, masalah tingkat pendidikan PPL di

kabupaten TTS adalah hal yang penting untuk diperhatikan. PPL yang

ditempatkan di kabupaten TTS didominasi oleh tenaga PPL yang berpendidikan

SLTA 75 orang (40.98%) dan Sarjana Strata-1 berjumlah 62 orang (33.88%).

Sisanya adalah PPL berpendidikan Diploma III 34 orang (18.58%), Diploma IV

11 orang (6.01%) dan Sarjana Strata-2 berjumlah satu orang (0.55%).

2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Pada bagian ini dibahas dua hal penting yang berkaitan dengan studi-studi

empiris terdahulu. Pada bagian pertama diawali dengan telaahan pustaka yang

berkaitan dengan metode stokastik frontier yang sudah banyak diaplikasikan oleh
99

peneliti-peneliti terdahulu di bidang pertanian. Sedangkan bagian kedua disajikan

tentang studi-studi terdahulu yang berkaitan dengan komoditas jeruk keprok SoE.

2.4.1. Penelitian Efisiensi dengan Stokastik Frontier

Seperti yang telah dibahas di dalam banyak literatur, pertumbuhan

produktivitas dapat dibedakan atas perubahan teknologi (technical chage, TC) dan

efisiensi teknis (technical efficiency, TE). Pembagian ini dimungkinkan dari

adanya penelitian tentang berbagai sumber pertumbuhan produktivitas dari

berbagai sudut pandang. Secara khusus dikatakan bahwa efisiensi teknis

merupakan ukuran relatif dari kemampuan manajerial untuk teknologi yang sudah

ada. Hal ini berarti bahwa efisiensi teknis terjadi karena adanya perbaikan pada

pengambil keputusan atau kemampuan manajerialnya. Kemampuan ini berkaitan

dengan variabel-variabel yang antara lain pengetahun, keterampilan, umur dan

pendidikan (Bravo-Ureta et al., 2007).

Model frontier dapat diklasifikasikan atas dua tipe yakni parametrik dan

non-parametrik. Model parametrik dibedakan atas deterministik dan stokastik.

Model deterministik mengasumsikan bahwa deviasi dari frontier disebabkan oleh

adanya inefisiensi, sedangkan pendekatan stokastik mengijinkan adanya gangguan

statistik. Model fungsi stokastik frontier mengintegrasikan struktur gangguan acak

atas dua yakni komponen yang merefleksikan inefisiensi (one-sided error) dan

komponen yang menangkap gangguan yang datang dari luar yang tidak dapat

dikontrol oleh unit produksi.

Model ekonometrika untuk estimasi efisiensi dapat juga dipisahkan ke

dalam pendekatan primal dan dual, tergantung pada perilaku asumsi yang

digunakan seperti memaksimumkan output, meminimumkan biaya atau


100

memaksimumkan keuntungan. Pendekatan primal telah lebih banyak digunakan di

dalam estimasi frontier, walaupun pendekatan dual baik dengan menggunakan

fungsi biaya maupun fungsi keuntungan akhir-akhir ini mendapat perhatian yang

semakin meningkat (Khumbakar, 2001). Estimasi fungsi frontier dapat juga

dibedakan atas dasar jenis data yang digunakan yakni data cross section dan data

panel.

Hasil penelitian dari Khumbakar (2001) antara lain menyimpulkan bahwa

tidak ada manfaat yang jelas untuk membedakan satu metode atas metode lainnya.

Tetapi hasil penelitian empiris dengan menggunakan data pertanian yang telah

dilakukan oleh Sharma dan Leung (2000), Wang dan Schmidt (2002) dan Udoh

(2005) seperti yang tercantum dalam Bravo-Ureta et al. (2007) menunjukkan

bahwa pemilihan suatu metode yang khusus untuk analisis efisiensi dapat secara

serius mempengaruhi nilai estimasi efisiensi yang dipelajari tersebut.

Salah satu penelitian terbaru yang mencoba untuk mengatasi hal tersebut

adalah studi dari Bravo-Ureta et al. (2007). Secara detail, studi tersebut mencoba

mengkaji beberapa hal yakni: (1) apakah metode parametrik (baik deterministik

maupun stokastik) menghasilkan nilai TE yang berbeda dengan pendekatan non

parametric, (2) apakah bentuk fungsi memiliki efek pada TE, (3) apakah model

data panel menghasilkan nilai mean TE yang sama dengan yang dihasilkan model

frontier dengan data cross section, (4) apakah nilai TE dari pendekatan primal

berbeda dengan pendekatan dual, (5) apakah model dengan ukuran contoh dan

jumlah variabel (banyak atau sedikit) memiliki pengaruh pada nilai TE, (6)

apakah nilai TE bervariasi antar jenis komoditas yang dianalisis, (7) apakah lokasi

geografis (Negara) menghasilkan mean TE yang spesifik, dan (8) apakah tingkat
101

pendapatan (Negara) mempengaruhi nilai estimasi TE. Untuk mendapatkan

jawaban atas permasalahan tersebut, Bravo-Ureta et al. (2007) mengkaji 191 hasil

studi empiris dengan komposisi 42 studi menggunakan metode non parametrik, 32

studi menggunakan metode parametrik deterministik dan 117 memakai metode

parametrik stokastik frontier. Studi dari Bravo-Ureta et al. (2007) ini

menyarankan bahwa tidak ada kesimpulan yang berkaitan dengan penggunaan

berbagai bentuk fungsi. Sedangkan analisis lainnya menyimpulkan bahwa nilai

estimasi yang dihasilkan oleh model parametrik fungsi stokastik frontier lebih

tinggi dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh model paramertik deterministik.

Dari beberapa penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa metode

stokastik frontier adalah metode yang paling banyak digunakan oleh para peneliti

di bidang pertanian. Pembahasan penggunaan metode stokastik frontier ini akan

lebih detil pada bagian III (Kerangka Pemikiran) dari penelitian ini.

Ringkasan berbagai penelitian empiris bidang pertanian yang

menggunakan metode stokastik frontier termasuk pengarang, tahun, Negara,

komoditas, jumlah observasi dan nilai mean TE dicantumkan pada Lampiran 2.

Dari begitu banyak analisis efisiensi baik dengan menggunakan parametrik

deterministik maupun stokastik frontier, hanya sedikit saja yang di arahkan pada

tanaman tahunan terutama komoditas jeruk. Dari 141 penelitian pustaka seperti

yang tercantum pada Lampiran tersebut, hanya empat (2.84%) yang melakukan

penelitian pada jeruk. Sebagian besar penelitian dengan menggunakan stokastik

frontier dilakukan pada produk ternak dan susu (21%), disusul dengan penelitian

pada tanaman pangan lainnya (20%) dan padi (17.02%).


102

Secara terperinci tentang jumlah penelitian dan nilai mean efisiensi teknis

berdasarkan kelompok komoditas tercantum pada Tabel 36.

Tabel 36. Jumlah Penelitian dan Nilai Mean Efisiensi Teknis Berdasarkan
Kelompok Komoditas

Produk Jumlah % Terhadap total studi Mean TE


Pertanian total 13 9.22 75.8
Jeruk 4 2.84 72.6
Kopi 2 1.42 87.0
Tanaman pangan 28 19.86 77.5
Padi 24 17.02 74.6
Jagung 6 4.26 77.8
Ternak & susu 29 20.57 81.1
Sayuran dan kacangan 7 4.96 74.4
gandum 4 2.84 66.2
singkong 3 2.13 68.8
Biji-bijian lainnya 10 7.09 76.1
Produk lainnya 11 7.80 79.3
Total 141 100.00
Sumber: Lampiran 2 (diolah).

Dari tabel tersebut diketahui bahwa nilai rata-rata efisiensi teknis yang

paling tinggi terdapat pada studi ternak dan susu (81.1), disusul dengan produk

lainnya (79.3). Sedangkan nilai mean efisiensi teknis untuk tanaman pangan

lainnya dan jagung adalah 77.5 dan 77.8 secara berturut-turut. Nilai mean efisiensi

teknis untuk jeruk yakni 72.61. Hasil penelitian Bravo-Ureta et al. (2007)

menunjukkan bahwa tanaman pangan lainnya adalah kategori dominan yang

dipelajari peneliti, diikuti oleh ternak dan susu, padi, total pertanian, jagung dan

tanaman biji-bijian. Selanjutnya ditemukan juga bahwa nilai rata-rata efisiensi

teknis tertinggi pada ternak dan susu (84.5%) dan terendah gandum (68.2%).

Dari beberapa penelitian seperti yang tercantum pada Lampiran 2 tersebut,

secara khusus hasil penelitian pada komoditas jeruk, kopi, teh dan pistachio
103

(semuanya adalah tanaman tahunan) akan diringkas seperti tercantum pada Tabel

37. Fokus kajian pada tabel tersebut adalah terutama tentang sampel, bentuk

fungsi, jenis data, metode estimasi dan sumber-sumber efisiensi/inefisiensi teknis.

Tabel 37. Beberapa Penelitian Frontier pada Tanaman Tahunan


Pengarang Lokasi Jumlah Bentuk Metode Mean Faktor-Faktor yang
Pertama/ Sampel/ Fungsi, Estimasi TE mempengaruhi
Komoditas (Tahun) & (Jenis Efisiensi & Inefisiensi
Data)

Dhehibi/ Tunisia 150 Translog ML 86.01 Efisiensi Teknis:


Jeruk Lahan, tenaga kerja,
(Panel pupuk, biaya lain.
(2007) data); (SF) Inefisiensi:
Primal Share tenaga kerja
keluarga, share tanaman
produktif, umur petani,
kuadrat umur petani,
pengalaman petani,
pelatihan pertanian,
persepsi tentang air
irigasi

Dhehibi/ Tunisia 144 Translog ML 67.73 Efisiensi Teknis:


Jeruk Lahan, tenaga kerja,
input-input kimia, air
(Panel irigasi dan biaya lain.
(2007a) data); (SF) Inefisiensi:
Primal Ukuran usahatani, umur
petani,
pendidikan,
pelatihan pertanian,
share tenaga kerja
keluarga dan
share tanaman produktif

Lambaraa/ Spain 859 Cobb- ML 64.10 Efisiensi Teknis:


Jeruk Douglas tenaga kerja,
(2007) (Panel (SF & pupuk dan pestisida,
data); TFP) Lahan dan
Primal biaya lain

Picazo- Spain 33 Cross LP Efisiensi Teknis:


Tadeo/ section ukuran usahatani,
Jeruk (2006) (DEA) tenaga kerja,
modal usaha dan
keterampilan manajerial
petani
104

Tabel 37. Lanjutan


Vedenov/ Mexico 120 Translog ML 87.00 Efisiensi Teknis:
Kopi lahan untuk kopi,
(2007) Panel (SF lahan untuk jagung,
data Distance lahan yang dipupuk
Primal Function) Inefisiensi Teknis:
kepadatan penduduk,
share tanaman kopi
terhadap tanaman lain,
panjang jalan,
ketinggian tempat

Wollni/ Costa 216 Probit, ML 81.00 Efisiensi Teknis:


Kopi Rica Cobb- Lahan, tenaga
(2007) Douglas, (SF) kerja,kapital, umur
Translog, tanaman, kegiatan
pemeliharaan, varietas,
Panel pemangkasan dan
data, daerah
Primal Inefisiensi Teknis:
Pendidikan,
pengalaman,
pembukuan usahatani,
kunjungan penyuluh,
umur petani, KK
perempuan, jumlah
anak < 14 tahun,
keluarga, jumlah orang
dewasa, ukuran
usahatani, sumber
pendapatan lain,
anggota koperasi,
daerah

Hazarika/ Assam 67 Cobb- OLS 85.00 Efisiensi Teknis:


Teh Douglas & & lahan efektif, tenaga
(1999) MLE 64.00 kerja, pupuk, share
Panel area untuk teh yang
data, (SF) berumur ≥50 tahun,
Primal share area untuk teh
yang berumur <50
tahun, share area untuk
varietas seed dan
clonal

Boshrabadi/ Iran 475 Translog, ML 55.00 Efisiensi Teknis:


Pistachio (SF) & Air irigasi, tenaga
(2006) Pooled kerja, pupuk kandang,
data, SHAZAM pupuk kimia, pestisida,
Primal (Meta- mesin, input lainnya
frontier)

Sumber: Lampiran 2.

Keterangan: ML: Maximum Likelihood estimation, SF: Stokastik Frontier, LP:


Linear Programing, DEA: Data Envelopment Analysis
105

Dari tabel tersebut diketahui bahwa metode estimasi untuk menduga

tingkat efisiensi pada jeruk yang digunakan para peneliti tersebut di atas paling

banyak menggunakan stokastik frontier. Sedangkan bentuk fungsi yang digunakan

adalah Cobb-Douglas dan Translog. Sedangkan untuk tanaman kopi

menggunakan stokastik frontier dan stokastik frontier distance function dan

bentuk fungsi Cobb-Douglas, Translog dan Probit. Data yang digunakan adalah

panel data.

Secara umum, sumber-sumber efisiensi produksi pada tanaman tahunan

tersebut adalah lahan, tenaga kerja, pupuk kandang, pupuk kimia, pestisida, air

irigasi, mesin/peralatan pertanian, kegiatan pemeliharaan (pemangkasan,

perawatan, penyemprotan), umur tanaman, jenis varietas, daerah/ketinggian

tempat, modal usahatani dan biaya lainnya. Sedangkan sumber-sumber inefisiensi

adalah share tenaga kerja keluarga, share tanaman produktif, umur petani, kuadrat

umur petani, pengalaman petani, pelatihan pertanian, persepsi tentang air irigasi,

pembukuan usahatani, kunjungan penyuluh, share tenaga kerja keluarga, kepala

keluarga perempuan, jumlah orang dewasa, ukuran usahatani, keterampilan

manajerial petani, akses terhadap kredit, sumber pendapatan lain, anggota

koperasi, panjang jalan, daerah/ketinggian tempat. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut ada yang berpengaruh nyata dan ada

yang tidak. Terdapat banyak penjelasan kualitatif tentang hal-hal tersebut.

Hasil kajian Bravo-Ureta dan Pinheiro (1993) dan Bravo-Ureta et al.

(2007) yang menggunakan analisis efisiensi pada berbagai literatur fungsi frontier

menyimpulkan bahwa secara umum, paling banyak studi memakai model

parametrik, data panel dan cross section, bentuk fungsi Cobb-Douglas dan
106

merepresentasikan teknologi dengan pendekatan primal. Selain itu juga, banyak

hasil studi di atas menunjukkan bahwa nilai rata-rata mean efisiensi teknis untuk

model parametrik stokastik frontier agak lebih tinggi dibandingkan model

parametrik deterministik. Beberapa studi seperti Kumbakar dan Lovell (2003) dan

Bravo-Ureta et al. (2007) juga menemukan bahwa nilai estimasi untuk model non

paramertik lebih tinggi dibandingkan dengan parametrik. Namun, para peneliti

yang melakukan studi dengan menggunakan model non parametrik masih sedikit.

Dari berbagai studi yang ditelaah terdapat pola yang menarik untuk

mendeteksi pengaruh bentuk fungsi. Fungsi Cobb-Douglas merupakan bentuk

fungsi yang paling banyak digunakan dalam berbagai studi terdahulu itu. Di

dalam model deterministik, bentuk fungsi Cobb-Douglas menghasilkan nilai rata-

rata mean efisiensi teknis yang lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk fungsi

translog. Sedangkan model stokastik frontier menghasilkan hal yang berlawanan.

Namun hasil ini tidak signifikan secara statistik. Hal ini dipertegas lagi oleh hasil

studi Kopp dan Smith (1980), diacu dalam Bravo-Ureta et al. (2007) yang

mengatakan bahwa spesifikasi bentuk fungsi memberikan pengaruh yang kecil

terhadap estimasi efisiensi. Pembahasan lebih lanjut tentang berbagai studi

perbedaan bentuk fungsi dalam analisis efisiensi dan produktivitas terdapat pada

Zellner et al. (1966), Hayami (1970), Ulvelling dan Fletcher (1970), Futan dan

Gray (1981), dan Kaneda (1982). Selain itu, di dalam model deterministik, nilai

rata-rata mean efisiensi untuk pendekatan primal menghasilkan nilai estimasi yang

lebih tinggi dibandingkan dengan pendekatan dual.

Hasil kajian Battese dan Coelli (1992), Bravo-Ureta dan Pinheiro (1993),

dan Bravo-Ureta et al. (2007) memperlihatkan bahwa panel data secara umum
107

menghasilkan rata-rata tingkat efisiensi teknis yang lebih tinggi dibandingkan

hasil estimasi dengan menggunakan data cross section. Namun, studi dari Greene

(1993) dalam Bravo-Ureta et al. (2007) memperdebatkan bahwa pengaruh tipe

data (baik data panel maupun cross section) terhadap magnitut nilai analisis

efisiensi tidak penting.

Beberapa pustaka yang dipelajari juga telah menganalisis perbedaan

efisiensi berdasarkan geografis (negara atau benua) dan ada juga yang membahas

perbedaan antar zona ekologi seperti Easter et al. (1977), Batteman et al. (1988),

Ali and Byerlee (1991), Roche (1994), Tadesse dan Krishnamoorthy (1997), Ray

(2004), Boshrabadi et al. (2006), Ogundari dan Ojo (2006) dan Bravo-Ureta et al.

(2007). Dari sekian banyak literatur ini tak satupun yang mengkaji efisiensi pada

jeruk berbasiskan letak geografi, zona ekologi atau agroekologi maupun skala

usaha.

Penelitian yang berkaitan dengan asumsi tentang distribusi dari kesalahan

pengganggu menyimpulkan bahwa setelah membandingkan nilai efisiensi dengan

asumsi setengah normal (asimetris), truncated (simetris) atau exponensial,

ternyata tidak terdapat perbedaan yang berarti. Namun, distribusi gamma memiliki

nilai efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan lainnya (Bravo-Ureta dan

Pinheiro, 1993).

Sedangkan studi yang berkaitan dengan prosedur estimasi, apakah

menggunakan prosedur satu atau dua langkah telah dilakukan oleh Kalirajan

(1991), Parikh dan Shah (1995), Battese dan Coelli (1995), dan Hallam dan

Machado (1996). Mereka menyimpulkan bahwa penggunaan prosedur estimasi

masih memerlukan studi lebih lanjut. Pemilihan penggunaan prosedur tersebut


108

sangat bergantung kepada variabel-varibel yang dimasukkan di dalam model

stokastik frontier. Namun pendekatan yang paling banyak digunakan adalah

prosedur dua langkah. Di mana langkah pertama melakukan estimasi terhadap

fungsi produksi frontier dan langkah kedua melakukan estimasi terhadap sumber-

sumber efisiensi.

Hal penting menarik lainnya dari berbagi pustaka di atas adalah tentang

sumber-sumber efisiensi teknis. Variabel yang paling banyak dipelajari di dalam

sumber-sumber efisiensi teknis adalah variabel kemampuan manajerial dan sosial

ekonomi. Variabel kemampuan manajerial yang paling sering muncul pada

berbagai studi adalah kemampuan para petani untuk mengambil keputusan dalam

hal, antara lain, pemilihan benih, pola tanam, tenaga kerja, tingkat dan waktu

penerapan pupuk dan pestisida serta teknik penanaman dan panen. Varibel-

variabel sosial ekonomi sebenarnya tidak merupakan bagian dari proses produksi

fisik, tetapi variabel-variabel tersebut memiliki pengaruh yang penting di dalam

variabel pengambilan keputusan. Variabel sosial ekonomi yang seringkali

digunakan di dalam penjelasan tingkat variasi di dalam efisiensi teknis antara lain

adalah luas usahatani, pengalaman, pendidikan, umur, metode perencanaan, akses

terhadap kredit usahatani dan kontak dengan penyuluh pertanian.

Hasil studi dari Dhehibi et al. (2007) pada pengukuran dan sumber-sumber

inefisiensi pada jeruk di Tunisia, menyimpulkan bahwa rata-rata nilai efisiensi

teknis pada produksi jeruk di Tunisia adalah 86%. Hal ini menyarankan bahwa

petani-petani penghasil jeruk di negara tersebut dapat meningkatkan efisiensi

produksi mereka sebanyak-banyaknya 14%, melalui penggunaan secara efisien

input-input prduksi yang dimiliki. Hasil estimasi terhadap fungsi produksi


109

translog menunjukkan bahwa lahan, tenaga kerja, pupuk dan biaya produksi

lainnya memiliki hubungan yang positif dengan produksi jeruk di Tunisia.

Selanjutnya dikatakan bahwa variabel-variabel yang berpengaruh positif terhadap

efisiensi teknis pada produksi jeruk di Tunisia adalah share tanaman produktif,

pelatihan di bidang pertanian, irigasi dan tingkat pendidikan petani. Di dalam

studi ini ditemukan juga bahwa fungsi translog lebih baik digunakan untuk

merepresentasikan teknologi produksi jeruk di Tunisia itu. Kemudian kajian ini

menyarankan untuk melakukan perbaikan efisiensi sebagai langkah pertama yang

perlu dipertimbangkan di dalam upaya peningkatan produksi jeruk tersebut.

Dari kajian terhadap berbagai literatur tersebut dapat pula dikatakan bahwa

para peneliti kurang sekali memperhatikan aspek skala usahatani dan aspek zona

agroklimat dari komoditas yang dipelajari. Tambahan pula belum adanya

konsensus diantara studi-studi yang tersedia pada debat tentang perbedaan

efisiensi antara skala usahatani kecil dan skala besar (Tadesse dan Krisnamoorthy,

1997). Skala usahatani sangat penting di dalam penentuan efisiensi, khususnya

yang berkaitan dengan kemampuan manajerial pengelola usahatani untuk

mengadopsi teknologi dan sumberdaya lainnya untuk menghasilkan produksi

yang efisien. Sedangkan faktor-faktor agroklimat sangat penting di dalam isu-isu

yang berkaitan dengan sistem pertanian yang berkelanjutan, produktivitas dan

efisiensi produksi (Easter et al., 1977; Kaneda, 1982; Bateman et al., 1988; Ali

dan Byerlee, 1991; D’Sounza et al., 1993; Ogundari dan Ojo, 2006; dan

Bosharabadi et al., 2006). Untuk mengisi kekosongan literatur analisis efisiensi

produksi pertanian, penelitian yang telah dikerjakan ini akan berkontribusi

terhadap estimasi nilai efisiensi antar skala usahatani dan zona agroklimat di
110

daerah lahan kering. Hal ini akan menentukan kebijakan pembangunan pertanian

yang khas daerah lahan kering dan khususnya pengembangan jeruk keprok di

masa datang.

2.4.2. Penelitian Jeruk Keprok SoE

Jeruk keprok SoE merupakan komoditi khas yang mempunyai keunggulan

komparatif dan kompetitif dan sangat cocok untuk dikembangkan di Pulau Timor

khusunya di Kabupaten TTS. Komoditi ini mempunyai prospek yang sangat baik

untuk dikembangkan sebagai sumber utama (60-75%) pendapatan para petani

jeruk di daerah centra produksinya di Kabupaten TTS.

Untuk mendukung proggram pengembangan jeruk keprok SoE ini,

pemerintah Provinsi NTT telah membangun dua pusat Balai Benih di Pulau Timor

(satu untuk budidaya jeruk dataran tinggi dan yang lainnya untuk budidaya jeruk

dataran rendah). Balai-balai benih ini mensuplai bibit jeruk keprok yang

berkualitas baik untuk dikembangkan di daerah TTS. Dalam rangka itu,

pemerrintah NTT telah menjalin kerja sama dengan pemerintah Jepang dalam

proyek Overseas Economic Cooperation Fund (OECF) yang sudah berjalan sejak

tahun 1997 dan berakhir 2002. Kegiatan utama proyek kerja sama ini adalah pada

perluasan daerah penanaman jeruk keprok SoE.

Hasil penelitian Winrock International Project (Suek et al., 1998) di

Kabupaten TTS mencatat bahwa luas pemanenan jeruk keprok SoE di Kabupaten

TTS pada tahun 1997 adalah sebesar 1 709 ha dengan produksi sebesar 9 316 ton.

Kisaran produksi per pohonnya adalah 26-30 kg (kira-kira 156-180 buah per

pohon dengan rata-rata 6-7 buah per kg dengan diameter buah rata-rata 5-7.5 cm).
111

Catatan produksi ini masih jauh berada di bawah produksi potensial yang bisa

dihasilkan jeruk keprok SoE.

Penelitian Suek et al. (1998) juga menemukan bahwa produksi dan

produktivitas jeruk keprok SoE di Kabupaten TTS adalah rendah dibandingkan

dengan produksi dan produktivitas potensialnya. Rendahnya produksi jeruk

keprok SoE ini diakibatkan oleh adanya berbagai faktor seperti teknik budidaya

yang sangat sederhana. Hanya dua persen saja petani yang memakai pupuk kimia

seperti urea dan TSP, dan pestisida. Sebagian besar (75%) petani memakai pupuk

kandang. Hama dan penyakit tanaman jeruk dibiarkan secara alamiah, tanpa

adanya perhatian dan perlakuan khusus dari petani. Hal ini bisa dipahami karena

petani memiliki keterbatasan baik modal maupun kemampuan manajerialnya.

Hasil penelitian Pellu et al. (2001) tentang nilai ekonomi jeruk keprok SoE

menunjukkan bahwa produk ini secara ekonomis menguntungkan dan

kontribusinya sangat besar (75%) terhadap total pendapatan rumah tangga petani

jeruk di kabupaten TTS. Sedangkan penelitian Milla et al. (2002) dan Yusuf et al.

(2009) merekomendasikan bahwa jeruk keprok SoE secara finansial sangat layak

untuk dikembangkan di daerah TTS bagian Selatan dan Utara. Dari segi preferensi

konsumen di beberapa kota di Indonesia seperti Denpasar, Surabaya maupun di

kota Kupang menunjukkan bahwa jeruk keprok SoE sangat disukai oleh

konsumen dalam hal warnanya yang kuning keemasan, rasa manis, tekstur lembut

dan mudah dikupas (Mason et al., 2002 dan Adar et al., 2005). Namun, sistem

pemasaran (teknologi, strategi dan supply chain) jeruk keprok SoE ini sangat

perlu untuk diperbaiki agar lebih efisien dan membawa keuntungan yang lebih
112

besar bagi petani jeruk itu (Wei et al., 2001; Woods et al., 2002; Adar et al.,

2005).

Baik kegiatan proyek OECF maupun kegiatan penelitian dari Winrock

International; Suek et al., Pellu et al., Milla et al., Adar et al. dan Mason et al.,

analisisnya masih bersifat parsial saja, dan hampir semua menyarankan bahwa ada

keterkaitan antara kesuksesan di pasar dengan keberhasilan di tingkat usahatani

(proses produksi). Berhubung masih jarangnya kajian empiris, baik di dunia

internasional maupun di Indonesia, pada jeruk umumnya dan jeruk keprok SoE

pada khususnya, maka penelitian ini merupakan hal yang sangat penting untuk

dilaksanakan.

Pada hakekatnya permasalahan usahatani jeruk keprok SoE sangat

kompleks, sehingga membutuhkan pendekatan saling terkait, mulai dari tingkat

produksi sampai pada tingkat konsumen akhir. Penelitian yang akan dilakukan ini

adalah merupakan hal yang sangat penting bagi program pembangunan pertanian

khususnya jeruk keprok SoE di Kabupaten TTS, Provinsi NTT. Kajian empiris

terdahulu dengan pendekatan efisiensi lebih banyak di lakukan pada sektor

peternakan (dan produk-produknya) dan tanaman pangan (tanaman semusim)

yang dominan pada lahan sawah (lahan basah), khususnya padi dan jagung. Selain

itu, penelitian sebelumnya (khususnya pada jeruk) yang menggunakan fungsi

produksi stokastik frontier lebih banyak memakai pendekatan primal dan data

panel yang khas daerah subtropis, tanpa memperhatikan skala usaha dan zona

agroklimat. Penelitian yang akan dilakukan ini adalah mencoba menggunakan

fungsi produksi stokastik frontier dengan pendekatan dual dan data cross-section,

khas tanaman tahunan, antar skala dan zona spesifik daerah lahan kering. Jeruk
113

keprok SoE ini tidak dapat tumbuh baik jika dibudidayakan di tempat lain, selain

di kabupaten TTS (Dinas Pertanian, 2007c).

Dari berbagai studi pustaka di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut:

1. Jeruk di Indonesia sangat potensial dan berprospek baik serta merupakan

komoditas yang perlu diperhitungkan untuk memenuhi konsumsi rumahtangga,

bahan baku industri pengolahan, ekspor dan substitusi impor.

2. Berdasarkan data potensi dan prospek, jeruk keprok SoE merupakan komoditas

unggulan dan penggerak ekonomi petani di daerah-daerah sentra

pengembangannya di provinsi NTT, terutama untuk membantu meningkatkan

kesejahteraan masyarakat di sentra produksi dan pengembangannya. Jeruk

keprok SoE secara finansial layak untuk dikembangkan di daerah dataran tinggi

dan rendah di kabupaten Timor Tengah Selatan.

3. Studi terdahulu pada jeruk sangat sedikit. Dari beberapa studi yang ada itu,

tercatat bahwa studi-studi tersebut menggunakan fungsi stokastik frontier

dengan pendekatan primal dan tidak menggunakan data cross section;

pendekatan dual serta tidak memperhitungkan ukuran usahahatani dan zona

agroklimat.

4. Penelitian yang telah dilakukan ini menggunakan fungsi stokastik frontier

dengan data cross section, dengan memperhatikan ukuran usahatani dan zona

agroklimat daerah lahan kering. Penggunaan data cross section pada tingkat

usahatani tradisional yang belum pernah dilakukan pada studi-studi

sebelumnya merupakan suatu hal yang baru, terutama berkaitan dengan

ketidak-tersediaan data seri waktu untuk input-input usahatani jeruk keprok


114

SoE. Ada suatu harapan bahwa pengambilan data primer pada tingkat usahatani

(on farm research) dapat memberikan kegunaan langsung bagi petani dan

pengambil kebijakan bidang pembangunan pertanian di masa datang. Perlu

juga disadari bahwa perubahan teknologi untuk tanaman tahunan

membutuhkan waktu yang lama bila dibandingkan dengan tanaman semusim.

Dengan demikian, penggunaan data panel untuk studi jangka pendek seperti

penelitian untuk disertasi ini agak sulit untuk dibuat. Akhirnya diharapkan

bahwa studi ini kiranya dapat memberikan rekomendasi untuk meningkatkan

produktivitas dan efisiensi, kemampuan petani untuk mengelola usahatani jeruk

dan pengembangan kepustakaan efisiensi dengan pendekatan stokastik frontier

yang khas tanaman tahunan tropis di daerah lahan kering. Secara ringkas

dapatlah dikatakan bahwa penelitian disertasi ini ingin menjawab adanya

kesenjangan teoritis (tanaman tahunan) dan kesenjangan empiris (tingkat

produktivitas) usahatani jeruk keprok SoE.

Anda mungkin juga menyukai