Anda di halaman 1dari 18

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Industri tahu saat ini telah menjadi salah satu industri rumah tangga yang

tersebar luas baik di kota-kota besar maupun kecil. Dalam proses produksinya,

industri tahu menghasilkan limbah padat dan cair (Rossiana,2006). Limbah padat

berupa ampas tahu, umumnya telah dapat ditanggulangi dengan memanfaatkannya

sebagai bahan pembuatan oncom dan bahan makanan ternak. Limbah cairnya

adalah whey tahu yang merupakan cairan buangan (Rossiana,2006).

Limbah cair tahu dapat diolah dengan cara fisika, kimia, maupun biologi.

Pengolahan limbah cair secara biologi memanfaatkan mikroorganisme sebagai

dasar fungsional dalam proses penanganan (Citroreksono, 1996). Hal utama dalam

penanganan limbah cair adalah pengembangan dan pemeliharaan kultur

mikoorganisme yang cocok (Jenie & Rahayu, 1993). Vegetasi tingkat rendah

terutama kelompok mikroalga lebih dominan diangkat sebagai agen pengolahan

limbah mineral di lingkungan perairan. Pemilihan mikroalga ini adalah karena

mikroalga dapat memanfaatkan mineral yang terlarut di dalam air untuk

pertumbuhan dan perkembangannya, serta mikroalga dapat hidup di kolom air

mulai dari permukaan hingga ke batas daya tembus cahaya di badan air tersebut

(Mulyadi, 1999).

Menurut Nurtiyani (1998), salah satu mikroalga yang sering digunakan

dalam memecahkan masalah pencemaran limbah adalah Scenedesmus sp.

Mikroalga ini mampu merombak nutrient yang terkandung di dalam limbah cair

tahu menjadi biomassa. Steenblock (1987 dalam Sriharti dan Carolina, 2000)
2

menyatakan bahwa Scenedesmus sp. merupakan sumber daya potensial yang

mempunyai prospek yang cerah di masa mendatang, karena kandungan proteinnya

cukup tinggi, juga mengandung karbohidrat, lemak, vitamin, asam-asam amino

esensial, asam lemak esensial, enzim, beta karoten dan klorofil. Sebagai salah satu

sumber daya hayati, mikroalga ini memiliki beberapa potensi yang dapat

dimanfaatkan oleh manusia, antara lain sebagai pakan alami (jenis udang, ikan),

bahan makanan non-konvensional, bahan baku industri kimia dan farmasi,

indikator pencemaran air serta sebagai agen bioremediasi (Prihantini dkk, 2007).

Pengolahan limbah cair tahu dengan mikroalga telah dilakukan oleh Johari

pada tahun 1999 dengan menggunakan Chlorella. Hasil dari penelitian tersebut

menunjukan bahwa Chlorella mempunyai kemampuan untuk tumbuh pada

medium limbah cair tahu, sehingga dapat diasumsikan bahwa limbah cair tahu

juga dapat digunakan sebagai medium alternatif untuk pertumbuhan Scenedesmus

sp.

1.2. Tujuan dan Manfaat

Tujuan makalah ini adalah cara Memanfaatkan limbah cair tahu sebagai

medium pertumbuhan Mikroalga Scenedesmus sp dan mengatahui manfaat kultur

sel Scenedesmus sp. dalam budidaya perairan. Manfaat makalah, diharapkan dapat

memberikan solusi terhadap penanganan limbah cair tahu dan limbah cair tahu

juga dapat digunakan sebagai medium alternatif untuk kultur sel Scenedesmus sp.
3

BAB II
ISI

2.1. Mikroalga Scenedesmus sp.

2.2.1. Klasifikasi dan Struktur Scenedesmus sp.

Dalam Bold dan Wyne (1985), Scenedesmus sp. diklasifikasikan sebagai berikut:

Divisi : Chlorophyta

Kelas : Chlorophyceae

Ordo : Chlorococcales

Famili : Scenedesmaceae

Genus : Scenedesmus

Spesies: Scenedesmus sp.

Gambar 1. Sel skenedesmus sp Gambar 2. sel skenedesmus


Sumber: google.com Sumber : fadilla, 2010

Scenedesmus talusnya terdiri dari 1 atau 2 sel terkadang 3 sel, biasanya

membentuk koloni yang terdiri dari 2,4, atau 8 bahkan bisa mencapai 16 sel

sampai 32 sel pada setiap koloninya (Gambar 2.). Sel berbentuk silindris, oval,

bulat, dengan ujung sel berbentuk bulat atau lancip (John dkk, 2002). Sel

Scenedesmus memiliki 1 inti sel, dan kloroplas yang terdapat satu pyrenoid

(Graham dan Wilcox, 2000).


4

Pada bagian terminal sel Scenedesmus terdapat ornamen sel yang disebut

dengan spina, yang ukurannya dapat mencapai panjang sampai 20 mikrometer.

Spina ini berguna untuk menjaga keseimbangan, mendeteksi keberadaan prey

(predator) atau juga dapat membantu sel dalam mencapai tempat yang memiliki

cahaya dan nutrien yang optimum (Graham dan Wilcox, 2000). Scenedesmus

berwarna hijau rumput karena adanya klorofil a dan b yang lebih dominan

dibanding pigmen lain. Pigmen-pigmen terdapat dalam plastid dan sangat

tahanterhadap cahaya panas. Dinding sel lapisan luar terbentuk dari bahan pektin

sedangkan lapisan dalam dari selulosa (Bachtiar, 2007).

2.2.2. Habitat dan Reproduksi Scenedesmus sp.

Bold dan Wynne (1985) menyatakan bahwa Scenedesmus merupakan alga

hijau yang terdistribusi secara luas. Terdapat pada hampir semua tipe perairan dan

tanah. Reproduksi aseksual Scenedesmus sp. terjadi melalui pembentukan

autokoloni. Sel induk membelah membentuk koloni anakan. Pembelahan akan

dilakukan sampai terbentuk empat sel anakan. Pelepasan autokoloni dilakukan

dengan cara memecah dinding sel induk, tiap koloni yang dihasilkan mempunyai

kemampuan untuk memproduksi autokoloni (Graham dan Wilcox, 2000).

Beberapa spesies Scenedesmus sp. Dapat melakukan reproduksi seksual dengan

pembentukan zoospore biflagel dan isogami, menurut Pickett-Heaps (1975 dalam

Damayanti, 2006) reproduksi seksual diawali dengan pembentukan sel gamet

pada masing-masing sel induk. Dua buah sel gamet akan melebur dan membentuk

zigot. Zigot kemudian akan tumbuh menjadi koloni anak dan akhirnya menjadi sel

induk.
5

Gambar 3. Reproduksi Scenedesmus obliquus

Sumber: Hori (1993 dalam Damayanti, 2006)

Keterangan Gambar: 1.Koloni Sel induk a.Kloroplas 2.Autospora b.Pirenoid


3.Koloni sel anak c.Flagela 4.Gamet d.Dinding Sel 5.Zigot

2.2.3. Fisiologi Scenedesmus sp.

Mikroalga merupakan makhluk bersel tunggal yang hidup di lingkungan

yang mengandung air, tumbuh dan berkembang dengan memanfaatkan sinar

matahari sebagai sumber energi untuk melakukan fotosintesis serta dapat

memanfaatkan nutrien anorganik sederhana seperti CO2 serta komponen N, P, K

dan komponen lainnya (Setiawan dkk, 2008). Namun dalam kondisi tanpa cahaya,

mikroalga menggunakan bahan organik sama halnya seperti organisme non-

fotosintetik. Jadi, mikroalga dapat melakukan metabolismenya dengan

menggunakan energi kimia dari degradasi simpanan pati atau minyak, atau dari
6

konsumsi protoplasma alga itu sendiri (Saeni, 1989). Menurut (Muslimin, 1995)

Mikroalga bersifat fotoautotrof yang akan menggunakan cahaya matahari sebagai

sumber energi dan CO2 sebagai sumber karbonnya. Pada proses ini CO2 akan

diubah menjadi karbohidrat melalui proses fotosintesis.

2.3. Kultur Mikroalga

2.3.1. Teknik Kultur Mikroalga

Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), tahapan yang akan dilakukan

dalam kultur mikroalga, yaitu koleksi, isolasi dan perbanyakan.

1. Koleksi

Proses koleksi ini bertujuan untuk mendapatkan satu atau beberapa jenis

mikroalga yang diinginkan yang berasal dari alam untuk dikultur secara murni.

Pengambilan fitoplankton dapat dilakukan dengan menggunakan plankton net.

Kemudian diperiksa dengan bantuan mikroskop kemudian dilakukan isolasi.

2. Isolasi

Ada lima metode isolasi yang dapat dilakukan, yaitu:

a) Metode Isolasi secara Biologis

Metode ini dilakukan berdasarkan pergerakan fitoplankton, yaitu

menggunakan pengaruh fototaksis positif organisme. Organisme akan bergerak

menuju cahaya, sehingga dapat dikumpulkan.

b) Metode Isolasi Pengenceran Berseri


7

Metode yang akan dilakukan bila jumlah organisme yang terkumpul sangat

banyak dan ada salah satu spesies yang dominan. Cara ini dilakukan dengan

memindahkan sampel ke dalam beberapa tabung reaksi dengan komposisi hara,

suhu dan cahaya yang cocok untuk pertumbuhan fitoplankton yang akan diisolasi.

c) Metode Isolasi Pengulangan Sub-Kultur

Metode ini dilakukan jika organisme yang terkumpul jumlah dan jenisnya

sedikit sehingga dilakukan kultur pada media dengan komposisi hara, suhu dan

intensitas cahaya yang sesuai untuk pertumbuhan fitoplankton yang akan disolasi.

d) Metode Isolasi Pipet Kapiler

Metode ini dilakukan dengan cara meletakkan sampel sebanyak 10-15 tetes

ditengah-tengah cawan petri. Kemudian memasukan 6-8 tetes medium yang

sesuai di sekeliling sampel tersebut. Isolasi dilakukan dengan memindahkan

sampel air pada salah satu tetesan media dengan pipet kapiler steril, kemudian

diamati di bawah mikroskop hingga diperoleh unit fitoplankton tunggal yang

diinginkan.

e) Metode Isolasi Goresan

Metode ini menggunakan media agar-agar sebanyak 1,5% yang dicampur

dengan sampel air, kemudian dipanaskan hingga mendidih dan terlarut sempurna

dan berwarna kuning jernih. Larutan agar-agar ini disterilisasi dan dituangkan

kedalam cawan petri atau tabung reaksi yang sudah steril. Setelah agar membeku

dilakukan penebaran bibit fitoplankton dengan cara menggoreskan sampel air

dengan menggunakan ose. Bibit fitoplankton digoreskan pada agar dengan pola

zig-zag untuk mencegah kontaminasi Untuk proses penumbuhannya diletakkan

pada rak kultur yang disinari dengan lampu TL 40 watt secara terus menerus.
8

Setelah beberapa hari fitoplankton akan tumbuh pada goresan agar, tetapi masih

tercampur dengan fitoplankton jenis lain, kemudian dilakukan penggoresan

berulang-ulang pada media agar-agar yang sama sampai diperoleh fitoplankton

yang telah murni. Hasil Kultur murni dari media agar dikembangkan dalam media

cair yang sesuai untuk pertumbuhan fitoplankton yang diinginkan.

3. Perbanyakan

a) Kultur Skala Laboratorium

Kultur skala laboratorium dimulai dari volume 0,5 liter hingga 5 liter.

Pupuk yang digunakan adalah stok pupuk cair dengan unsur-unsur hara yang

lengkap baik hara makro (N, P, K, S, Mg) maupun hara mikro (Fe, Mn, Cu, Zn,

Mo, Si, dan unsur mikro lainnya). Untuk pemeliharaanya dilakukan pada rak

kultur dengan pencahyaan lampu TL dan dilakukan aerasi pada kultur.

b) Kultur Skala Massal

1) Kultur Skala Massal Semi Out-Door

Kultur ini dimulai dari volume 30 liter hingga 100 liter dalam wadah

berupa akuarium yang diletakkan di luar laboratorium. Pupuk yang digunakan

sama dengan pupuk pada skala laboratorium yang diberikan sesuai takaran yang

dibutuhkan.

2) Kultur Skala Massal Out-Door

Kultur skala massal out-door ini dimulai dari volume 1 ton hingga 20 ton

atau lebih. Pada kultur skala massal out-door ini pupuka yang digunakan adalah

pupuk pertanian seperti ZA, Urea dan TSP.

2.3.2. Faktor-Faktor yang berpengaruh terhadap kultur Mikroalga


9

Pertumbuhan suatu jenis fitoplankton atau mikroalga sangat erat kaitannya

dengan ketersedian hara makro dan mikro serta dipengaruhi oleh kondisi

lingkungan berupa nutrien, suhu, cahaya, pH dan Karbondioksida (Isnansetyo dan

Kurniastuty, 1995).

a.) Nutrien

Fitoplankton (mikroalga) membutuhkan berbagai unsur untuk

pertumbuhannya. Beberapa unsur ini dibutuhkan dalam jumlah yang relatif besar

dan disebut hara makro (macro-nutrient) misalnya C (karbon), H (hidrogen), O

(oksigen), N (nitrogen), P (fosfor), Si (silikon), S (sulfur), Mg (magnesium), K

(Kalium) dan Ca (kalsium). Selain hara makro diperlukan juga hara mikro (micro-

nutrient) untuk pertumbuhan alga fitoplankton. Menurut Nontji (2006), hara

mikro ini berupa unsur-unsur kelumit (trace elements) yang diperlukan dalam

jumlah yang sangat kecil seperti Fe (besi), Mn (mangan), Cu (tembaga), Zn

(seng), B (boron), Mo (molybdenum), V (vanadium), dan Co (kobal).

Setiap unsur hara ini mempunyai fungsi-fungsi khusus yang tercermin

pada pertumbuhan dan kepadatan yang dicapai, tanpa mengesampingkan

pengaruh kondisi lingkungan. Unsur N, P, dan S penting untuk pembentukan

protein, dan K berfungsi dalam metabolism karbohidrat. Fe dan Na berperan

untuk pembentukan klorofil, sedangkan Si dan Ca merupakan bahan untuk

pembentukan dinding sel atau cangkang. Vitamin B12 banyak digunakan untuk

memacu pertumbuhan melalui rangsangan fotosintetik (Isnansetyo dan

Kurniastuty, 1995).

b.) Suhu
10

Suhu berpengaruh langsung karena reaksi kimia enzimatik yang berperan

dalam proses fotosintesis dikendalikan oleh suhu. Peningkatan suhu sampai batas

tertentu akan menaikkan laju fotosintesis (Nontji, 2006). Suhu optimal kultur

fitoplankton secara umum antara 20-24 °C. hampir semua fitoplankton toleran

terhadap suhu antara 16-36 °C. Suhu di bawah 16 °C dapat menyebabkan

kecepatan pertumbuhan turun, sedangkan suhu di atas 36 °C dapat menyebabkan

kematian pada jenis tertentu (Cotteau, 1998; Taw, 1990).

c.) Cahaya

Cahaya matahari mutlak diperlukan untuk reaksi fotosintesis. Cahaya

merupakan sumber energi dalam proses fotosintetis yang berguna untuk

pembentukan senyawa karbon organik. Kebutuhan akan cahaya bervariasi

tergantung kedalaman kultur dan kepadatannya. Intensitas cahaya yang terlalu

tinggi dapat menyebabkan fotoinbihisi dan pemanasan. Intensitas cahaya 1000 lux

cocok untuk kultur dalam Erlenmeyer, sedangkan intensitas 5000-10000 lux untuk

volume yang lebih besar (Cotteau, 1998; Taw, 1990). Pertambahan intensitas

cahaya pada mulanya akan membantu proses awal pertumbuhan sel, namun

setelah intensitas cahaya meningkat melebihi batas optimum bisa menjadi faktor

penghambat (Darley, 1982).

d.) pH

Derajat keasaman merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion

hydrogen dalam perairan. Secara umum nilai pH menggambarkan seberapa besar

tingkat keasaman atau kebasaan. Menurut Suriawiria (2005), batas pH untuk

pertumbuhan mikroorganisme merupakan suatu gambaran dari batas pH bagi

kegiatan enzim. Untuk tiap mikroorganisme dikenal dengan nilai pH minimum,


11

optimum dan maksimum. Variasi pH dapat mempengaruhi metabolisme dan

pertumbuhan mikroalga dalam beberapa hal, antara lain mengubah keseimbangan

dari karbon organik, mengubah ketersediaan nutrien, dan dapat mempengaruhi

fisiologis sel.

2.3.3. Kurva Tumbuh

Pertumbuhan jasad hidup, dapat ditinjau dari dua segi, yaitu pertumbuhan

secara individu dan pertumbuhan secara kelompok dalam satu populasi.

Pertumbuhan individu diartikan sebagai adanya penambahan volume sel serta

bagian-bagian lainnya dan diartikan pula sebagai penambahan kuantitas isi dan

kandungan di dalam selnya. Pertumbuhan populasi merupakan akibat adanya

pertumbuhan individu. Pada mikroorganisme, pertumbuhan dapat berubah

langsung menjadi pertumbuhan populasi (Suriawiria, 2005).

2.4. cara kultur

2.4.1. Persiapan Alat

Erlenmeyer, tabung ukur, dan pipet yang akan digunakan dicuci,

dikeringkan, dan dibungkus dengan kertas kemudian disterilisasi menggunakan

autoclave dengan suhu 121oC selama 15 menit dengan tekanan 2 atm.

2.4.2. Isolasi mikroalga Scenedesmus sp.

Untuk mengisolasi spesies yang diinginkan dari alam, diambil 5 liter air

danau Agathis UI Depok. Kemudian air danau tersebut dimasukkan ke dalam

wadah isolasi berupa akuarium dan ditambahkan dengan pupuk NPK yang

sebelumnya telah dilarutkan dengan akuades terlebih dahulu. Selanjutnya wadah

tersebut diletakkan di tempat terbuka yang terkena sinar matahari dan dimasukkan
12

selang aerator. Pembiakan mikroalga ini ditunggu hingga hari ke-4 setelah

didapatkannya biota yang diinginkan yaitu Scenedesmus sp.

2.4.3. Pembuatan Medium Basal Bold (MBB)

Sebelum membuat MBB, terlebih dahulu dibuat larutan stok MBB yang

terdiri atas :

a) NaNO3

b) CaCl2.2H2O

c) MgSO4.7H2O

d) K2HPO4

e) NaCl

f) Trace element EDTA dan KOH

g) Trace element FeSO4.7H2O

h) Trace element H3BO3

i) dan Trace element ZnSO4.5H2O, MoO3, CuSO4.5H2O, MnCl2.4H2O,

Co(No3)2.6H2O

Larutan stok MBB ini dibuat dengan cara melarutkan bahan kimia sesuai

dengan komposisi medium yang ditetapkan. Menurut Nichols (1973 dalam

Damayanti, 2006), Pembuatan Medium Basal Bold (MBB) dilakukan dengan cara

menambahkan 10 ml dari setiap larutan stok makronutrien dan mikronutrien ke

dalam erlenmeyer 1 liter kemudian ditambahkan akuades. Larutan yang telah

dihomogenkan tersebut selanjutnya disterilisasi menggunakan autoclave pada

suhu 121oC dengan tekanan 2 atm selama 15 menit.


13

2.4.4. Pemurnian Scenedesmus sp.

Kultur Scenedesmus dimurnikan menggunakan metode pengenceran. Sebanyak 1

ml biakan Scenedesmus dari hasil isolasi dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang

berisi 9 ml MBB kemudian dicampur hingga homogen. Selanjutnya dari kultur

tersebut diambil 0,1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi ke dua. Proses ini

dilakukan hingga tabung reaksi keempat. Kultur selanjutnya diletakkan di rak

kultur dan diinkubasi selama 14 hari. Kultur Scenedesmus yang tumbuh dengan

baik dan murni (tanpa kontaminan) diperbanyak lagi secara bertahap hingga

didapatkan 100 ml kultur murni Scenedesmus (Damayanti, 2006).

2.4.5. Pembuatan Medium Ekstrak Tauge (MET)

Tauge kacang hijau seberat 100 gram dicuci di bawah air mengalir sampai

bersih, kemudian direbus di dalam air sebanyak 500 ml selama 1 jam. Air rebusan

tauge disaring dengan menggunakan kain kasa untuk diambil air rebusannya

(ekstraknya). Selanjutnya ekstrak tauge disterilisasi selama 15 menit dengan suhu

121oC. Medium ekstrak tauge yang dinginkan adalah dengan MET dengan

konsentrasi 4%. Dengan menggunakan rumus M1.V1=M2.V2 untuk membuat

MET 4% sebanyak 300 ml, maka dibutuhkan 12 ml ekstrak tauge yang di

tambahkan dengan aquades steril sebanyak 288 ml.

3.4.6. Perbanyakan Kultur Mikroalga Scenedesmus sp.

Dalam memperbanyak kultur mikroalga Scenedesmus sp. digunakan

medium ekstrak tauge (MET) 4% yang digunakan sebagai kultur starter.

Pemberian ekstrak tauge ini dilakukan secara kontinyu setiap 3-4 hari sebanyak

200-300 ml sampai tercukupinya kebutuhan akan sel-sel Scenedesmus sp. yang

akan diinokulasikan pada medium perlakuan.


14

2.4.7. Pembuatan Medium Limbah Tahu

Pembuatan medium limbah cair tahu dibuat sesuai perlakuan penelitian

yaitu, konsentrasi 0%, 10%, 20%, 30%, dan 40%, masing-masing perlakuan

dibutuhkan sebanyak 250 ml. Pembuatan limbah cair tahu adalah sebagai berikut :

a. 0% (250 ml medium MBB tanpa limbah cair tahu) sebagai kontrol positif

b. 0% (250 ml aquades steril) sebagai kontrol negatif

c. 10% (25 ml limbah cair tahu steril+ 225 ml akuades steril)

d. 20% (50 ml limbah cair tahu steril + 200 ml akuades steril)

e. 30% (75 ml limbah cair tahu steril + 175 ml akuades steril)

f. 40% (100 ml limbah cair tahu steril + 150 ml akuades steril)

2.4.8. Inokulasi Scenedesmus sp.

Sel Scenedesmus sp. dari hasil pemurnian yang ditumbuhkan pada medium

ekstrak tuage (MET) disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 15 menit

untuk memisahkan biomassa mikroalga Scenedesmus sp. dari media. Supernatan

dibuang dan endapan sel diinokulasikan ke dalam medium perlakuan kontrol dan

limbah cair tahu dengan jumlah sel antara 5x 104sel/ml. Berikut ini cara

penghitungan jumlah sel/ml yang akan di inokulasikan. Inokulum yang

dibutuhkan: 50.000 sel/ml Volume kultur : 250 ml Total sel yang dibutuhkan :

50.000 sel/ml x 250 ml = 12.500.000 sel/ml 1 ml = 2.905.000 x ml = 12.500.000

1/x = 2.905.000/12.500.000 x = 12.500.000/ 2.905.000 = 4,30 sel/ml Jadi dalam

pada setiap perlakuan akan dimasukkan 4,30 sel/ml kultur sel Scenedesmus sp. ke

dalam 250 medium perlakuan. Labu kultur diletakkan di rak kultur dan diberi

pencahayaan dari dua buah lampu TL masing-masing berkekuatan 36 watt.


15

Pemeliharan kultur sel Scenedesmus sp. dilakukan pada ruang kultur dengan

kondisi yang disesuaikan untuk pertumbuhan sel Scenedesmus sp. Suhu ruangan

kultur selama penelitian berkisar antara 20-22 0C. Suhu tersebut masih berada

dalam kisaran suhu yang optimal bagi pertumbuhan sel Scenedesmus sp.

Sedangkan kelembapan berkisar antara 55-65 % dengan intensitas cahaya bekisar

antara 1424- 1546 lux.

Scenedesmus sp. yang ditumbuhkan pada medium ekstrak tauge pada

awalnya berwarna hijau muda kemudian setelah hari ketujuh kultur Scenedesmus

sp. menjadi berwarna hijau tua yang pekat. Menurut Agustini dan Kabinawa

(1993), kadar klorofil meningkat sejalan dengan waktu kultur. Warna hijau pada

kultur menandakan bahwa pigmen fotosintesis (klorofil) ini yang dominan dalam

sel mikroalga tersebut (Sze, 1993). Sel Scenedemus sp. yang dihasilkan pada

medium ekstrak tauge ini tumbuh sangat baik dengan bentuk sel yang utuh tanpa

adanya kontaminasi mikroalga lainnya


16

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Pemeliharan kultur sel Scenedesmus sp. dilakukan pada ruang kultur dengan

kondisi yang disesuaikan untuk pertumbuhan sel Scenedesmus sp. Suhu ruangan

kultur selama penelitian berkisar antara 20-22 0C. Suhu tersebut masih berada

dalam kisaran suhu yang optimal bagi pertumbuhan sel Scenedesmus sp.

Sedangkan kelembapan berkisar antara 55-65 % dengan intensitas cahaya bekisar

antara 1424- 1546 lux.

Scenedesmus sp. yang ditumbuhkan pada medium ekstrak tauge pada

awalnya berwarna hijau muda kemudian setelah hari ketujuh kultur Scenedesmus

sp. menjadi berwarna hijau tua yang pekat. Menurut Agustini dan Kabinawa

(1993), kadar klorofil meningkat sejalan dengan waktu kultur. Warna hijau pada

kultur menandakan bahwa pigmen fotosintesis (klorofil) ini yang dominan dalam

sel mikroalga tersebut (Sze, 1993). Sel Scenedemus sp. yang dihasilkan pada

medium ekstrak tauge ini tumbuh sangat baik dengan bentuk sel yang utuh tanpa

adanya kontaminasi mikroalga lainnya.


17

DAFTAR PUSTAKA

Agustini, N.W.S dan I.N.K. Kabinawa 1993. Pengaruh Konsentrasi Nitrat sebagai
Sumber N dalam Media Kultur terhadap Pembentukan As. Arakidonat
dari Mikroalga Poryphyridium cruentum. Jurnal: Pusat Penelitian
Bioteknologi-LIPI, Bogor.

Bachtiar, E. 2007. Penelusuran Sumber Daya Hayati Laut (Alga) Sebagai


Biotarget Industi. Makalah: Universitas Padjajaran, Bandung.

Bold, H.C dan M, J. Wynne. 1985. Introduction to The Algae Structure and
Reproduction. Prentice-Hall Inc,New Jersey.

Citroreksono,P.1996.Pengantar Bioremediasi. Prosiding: Pelatihan dan Lokakarya


Peranan Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan. Puslitbang
Bioteknologi-LIPI Cibonong.1-11

Damayanti, D. 2006 . Pengaruh Beberapa Konsentrasi Medium Ekstrak Tauge


Terhadap Kerapatan Sel Mikroalga Marga Scenedesmus Meyen Selama
10 hari Pengamatan. Skripsi: Universitas Indonesia, Depok.

Isnansetyo A. dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton &


Zoozplankton Pakan Alami Untuk Pembenihan Organisme Laut.
Kanisius, Yogyakarta.

Johari, A.I. 1999. Pengaruh Beberapa Konsentrasi Limbah Cair Tahu Terhadap
Pertumbuhan Chlorella sp. Skripsi: Univ. Indonesia, Depok.

John, D.M., B.A. Whitton dan A.J. Brook. 2002 . The Freshwater AlgaFlora of
the British Isles. The Natural History & The British Phycological
Society, United Kingdom.

Mulyadi, A.1999. Pertumbuhan dan Daya Serap Nutrien dari Mikroalga


Dunaliella tertiolecta Yang Dipelihara Pada Limbah Domestik. Jurnal
Penelitian: Jurnal Natur Indonesia II(1): 65-68.

Muslimin, L.W.1995. Mikrobiologi Lingkungan. Modul:Departemen Pendidikan


dan Kebudayaan bekerjasama dengan Universitas Hasanuddin, Jakarta.

Nontji, A. 2006. Tiada Kehidupan di Bumi Tanpa Keberadaan Plankton. LIPI


Pusat Penelitian Oseanografi, Jakarta.

Nurtiyani. 1998. Sistem Skala Kecil Limbah Cair Tahu Berbasis Mikroalga
Chorella sp. Tahap 1. Laporan Penelitian : Univ. Indonesia, Depok.
18

Prihantini, N.B., W. Rachmayanti, W. Wardhana. 2007. Pengaruh Variasi


Fotoperioditas Terhadap Pertumbuhan Chlorella dalam Medium Basal
Bold. Jurnal: Biota Vol 12 (1): 32-39

Rossiana, N. 2006 . Uji Toksisitas Limbah Cair Tahu Sumedang Terhadap


Reproduksi Daphnia carinata King. Karya Ilmiah :Univ. Padjajaran,
Bandung.

Saeni, M.S.1989. Kimia Lingkungan. Departemen Pendidikan Nasional Direktur


Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat IPB,
Bogor.

Sriharti dan Carolina. 2000. Pengaruh Media Terhadap Kualitas Alggae Bersel
Tunggal (Scenedesmus sp.) Jurnal: Seminar Nasional Biologi. 877-882.

Suriawiria, U. 2005. Mikrobiologi Air Dan dasar-Dasar Pengolahan Buangan


Secara Biologis. PT. Alumni, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai