Anda di halaman 1dari 15

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Udang vaname (Litopenaeus vannamei) berasal dari Pantai Barat Pasifik

Amerika Latin udang vaname mulai masuk ke Indonesia dan dirilis secara resmi

pada tahun 2001 (Nababan dkk., 2015 dalam Indah.,dkk 2017). Udang vaname

merupakan salah satu udang yang mempunyai nilai ekonomis dan merupakan

jenis udang alternatif yang dapat dibudidayakan di Indonesia, disamping udang

windu (Panaeus monodon) dan udang putih (Panaeus merguensis).

Udang vaname tergolong mudah untuk dibudidayakan. Hal itu pula yang

membuat para petambak udang di tanah air beberapa tahun terakhir banyak yang

mengusahakannya (Amirna dkk., 2013). Namun produksi yang tinggi tidak

selamanya diikuti oleh keuntungan yang tinggi. Di samping itu, penerapan

kepadatan tinggi terbatas pada golongan masyarakat menengah ke atas. Produksi

yang tinggi akan berdampak kepada beban limbah yang dihasilkan baik oleh sisa

pakan apabila rasio konversi pakan tinggi, maupun kotoran udang(Magampa dan

Suwoyo,2010).

Kehadiran biota-biota air liar ke dalam tambak memberi pengaruh yang

cukup besar,pengaruh tersebut dapat menguntungkan dan dapat pula merugikan

Hama dan penyakit merupakan salah satu kendala produksi yang sering

ditemukan. Hama biasanya berupa beberapa jenis binatang baik darat maupun air

yang menimbulkan kerugian pada budidaya di dalam tambak(Darmono

1991dalam Fahmi 2000).


2

Keberadaan organisme lain dalam areal budi daya dapat menimbulkan

persaingan dengan ikan budi daya, baik dalam hal mendapatkan oksigen,

makanan, maupun dalam ruang gerak serta dapat menjadi carrier vlrus pembawa

penyakit hewan peliharaan. Salah satu organisme yang merupakan inang

pembawa (carrier) virus yang paling dominan pada tambak udang intensif adalah

jembret (Mesopodopsis sp.) (Magampa.,dkk 2005).

1.2 Tujuan Dan Kegunaan

Praktikum bertujuan untuk melihat pengaruh keberadaan hama di wadah

pemeliharaan terhadap ketersediaan oksigen, pertumbuhan dan tingkat

kelangsungan hidup udang kaki putih. Pratikum diharapkan untuk meningkatkan

pengetahuan dan pemahaman mahasiswa tentang efek yang di timbulkan oleh

hama pada budidaya ikan di kolam.


3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Udang Kaki Putih (Litopenaus Vannamei)

Sebelum dikembangkan di Indonesia, udang vaname (Litopenaeus vannamei)

sudah dikembangkan dinegara-negara Amerika Selatan seperti Ekuador, Meksiko,

Panama, Kolombia, dan Honduras. Udang vaname memiliki beberapa nama

seperti white-leg shrimp (Inggris), camaron patiblanco (Spanyol), dan crevette

pattes blances (Perancis). Menurut Wyban et al.,(2000) dalam Nadhif (2016),

klasifikasi udang vaname sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Crustacea

Ordo : Decapoda

Famili : Penaidae

Genus : Litopenaeus

Spesies : Litopenaeus vannamei

Gambar 2-1. Udang kaki putih

Seperti udang penaeid lain, secara garis besar morfologi udang vaname

(Litopenaeus vannamei) terdiri dari dua bagian utama yaitu kepala(cephalothorax)

dan perut (abdomen). Kepala udang vaname (Litopenaeus vannamei) dibungkus


4

oleh lapisan kitin yang berfungsi sebagai pelindung, terdiri dari antennulae,

antenna, mandibula, dan dua pasang maxillae. Kepala udang vaname

(Litopenaeus vannamei) juga dilengkapi dengan tiga pasang maxiliped dan lima

pasang kaki jalan (peripoda) atau kaki sepuluh (decapoda) (Kitani,1994).

Abdomen terdiri dari 6 segmen. Setiap segmen tubuh memiliki anggota badan

yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri. Pada abdomen terdapatlima

pasang kaki renang dan sepasang uropoda (mirip ekor) yang membentuk kipas

bersama-sama telson. Ukuran udang vaname (Litopenaeus vannamei) dapat

mencapai panjang total 24 cm (betina) dan 20 cm (jantan) dengan warna tubuh

putih berbintik kemerahan, transparan (bening), berkulit licin dan halus

(Kitani,1994 dalam Nadhif 2016).

2.2 Biologi Jembret (Mesopodopsis.sp)

Menurut Van der land (2000) dalam Supryanto (2007), Mesopodopsis sp

merupakan jenis plakton dari kelas Crustacea dan berordo Mysidacea yang secara

umum diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Subfilum : Crustacea

Kelas : Malacostraca

Ordo : Mysidacea

Famili : Mysidae

Genus : Mesopodopsis

Spesies : Mesopodopsis sp
5

Gambar 2-2. Jembret (Mesopodopsis.sp)

Mesopodopsis sp memiliki bentuk umum berbadan ramping dan panjang

dengan cephalothorax terutama berdekatan dengan anterior hingga celah cervical.

Memiliki abdomen yang panjang dan kuat dibandingkan dengan thorax, selain itu

panjang abdomen dua kali panjang carapac. Panjang kaki renang ke enam hampir

dua kali panjang kaki renang ke lima. Carapac biasanya pendek, terpisah dari dua

somite thorax. Batas depan bulat dan terbentuk tipis. Bagian belakang hanya

membentuk emarginate yang tipis, kaki renagng thorax tampak. Sudut antero-

lateral menjadi duri ke masing-masing sisi. Antenulla, peduncle sangat panjang

dan ramping, lebih dari 18 % dari panjang badan. Bagian pertama panjangnya

hamper dua kali bagian lainnya, dilengkapi denga lengan setae yang kuat pada

batas terluar bagian terakhir, bagian ketiga pendek, membesar, terdapat dua

flagella (biasanya terdapat pada betina). Pada jantan ada tambahan setose lobe

yang sangat besar atau apendix masculin. Memiliki antena yang ramping, setose

secara keseluruhan hampir sama dengan peduncle Tattersall (1951) dalam

Supyanto(2007).

2.3 Biologi Keong Bakau (Telescopium Telescopium)

Keong bakau (Telescopium telescopium) disebut juga “Blencong” di daerah

Mayangan, banyak ditemukan di daerah lahan terlantar bekas tambak di daerah


6

tersebut. Klasifikasi keong bakau menurut zipcodezoo (2011) dalam Rahmawati

(2013).

Filum : Mollusca

Kelas : Gastropoda

Ordo : Neotaenioglossa

Famili : Potamididae

Genus : Telescopium

Spesies : Telescopium telescopium

Gambar 2-3. Morfologi Keong Bakau (Telescopium Telescopium)

Cangkang keong bakau berbentuk kerucut, panjang, ramping, dan agak

mendatar pada bagian dasarnya. Warna cangkang coklat keruh, coklat keunguan,

dan coklat kehitaman, lapisan luar cangkang dilengkapi garis spiral yang sangat

rapat dan mempunyai jalur yang melengkung ke dalam. Panjang cangkang

berkisar antara 7,5-11 cm (Barnes 1974 in Hamsiah 2000). Ukuran cangkang

dewasa normal dapat mencapai ukuran 90-100 mm (Houbrick 1991), namun

menurut Brand (1974) in Houbrick (1991) cangkang keong dapat mencapai 130

mm. Keong bakau dewasa dimakan oleh kepiting (Scylla serrata) dan

dimanfaatkan manusia sebagai makanan di Asia Tenggara termasuk Indonesia dan


7

Filipina (Tryon 1882 in Houbrick 1991). Keong bakau yang masih juvenil

biasanya dimangsa oleh kepiting bakau, burung, dan mamalia.

2.4 Hama pada Budidaya Ikan di Kolam

Hama pada tambak budidaya ini dapat digolongkan dalam tiga bagian

menurut jenis kerugian yang ditimbulkannya, yaitu:

1. Hama pemangsa udang atau bandeng Hama pemangsa ini terdiri dari beberapa

spesies hewan yaitu jenis ikan buas seperti ikan kakap (Lates calcarifer), payus

(Elops hawaiensis) dan lain-lain. Jenis ular air seperti, Cerberus rhynchops, dan

Fordonia leobalia. Beberapa jenis burung, seperti burung pecuk (Phalacrocorax

javanicus), burung blekok (Ardeola rallaoides speciosa), burung bango

(Leptotilus javanicus), serta jenis hewan lainnya.

2. Hama penyaing Hama penyaing adalah hewan air yang ikut hidup di dalam

tambak dan ikut memperebutkan makanan udang, sehingga terjadi persaingan.

Termasuk dalam jenis hewan ini adalah ikan-ikan liar, seperti ikan belanak (Mugil

sp.), ikan mujair (Ti- lapia mossambica). Jenis siput seperti trisipan (Cerithidea

cingulata), dan congcong (Telescopium telescopium).

3. Hama pengganggu Hama yang sering merusak tambak termasuk hama

pengganggu. Hewan yang termasuk golongan ini sering membuat lubang di

pematang, sehingga mengakibatkan bocornya tambak Disamping itu hewan

tersebut juga suka menggerogoti kayu yang digunakan sebagai pintu air.

Kelompok pengganggu ini adalah dari jenis kepiting (Scylla serrata), dan remis

(Teredo navalis).
8

2.5 Kualitas Air

Air merupakan salah satu sumber daya alam yang penting bagi kehidupan

manusia dan mahluk hidup lainnya, air juga dapat mempengaruhi dan

dipengaruhi oleh kondisi/komponen lainnya. Air permukaan yang ada seperti

sungai dan situ banyak dimanfaatkan untuk keperluan manusia seperti tempat

penampungan air, alat transportasi, mengairi sawah dan keperluan peternakan,

keperluan industri, perumahan, sebagai daerah tangkapan air, pengendali banjir,

ketersediaan air, irigasi, tempat memelihara ikan dan juga sebagai tempat

rekreasi. ( Sabiq dan Budisejati, 2017).

2.5.1 Oksigen terlarut (DO)

Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO) dibutuhkan oleh semua jasad

hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian

menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, oksigen

juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses

aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu proses

difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam

perairan tersebut (Salmin, 2000 dalam Salmin, 2005). Oksigen memegang

peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen terlarut

berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik. Selain

itu, oksigen juga menentukan khan biologis yang dilakukan oleh organisme

aerobik atau anaerobik. Dalam kondisi aerobik, peranan oksigen adalah untuk

mengoksidasi bahan organik dan anorganik dengan hasil akhirnya adalah nutrien

yang pada akhirnya dapat memberikan kesuburan perairan(Salmin,2005).


9

2.5.2 Derajat keasaman (pH)

pH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan tingkat

keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan . Skala pH bukanlah

skala absolut. Ia bersifat relatif terhadap sekumpulan larutan standar yang pH-nya

ditentukan berdasarkan persetujuan internasional. (Antoni, 2017.). pH

didefinisikan sebagai logaritme negatif dari konsentrasi ion hidrogen [H+] yang

mempunyai skala antara 0 sampai 14. pH mengindikasikan apakah air tersebut

netral, basa atau asam. Air dengan pH dibawah 7 termasuk asam dan diatas 7

termasuk basa. Pada perairan umum yang tidak dipengaruhi aktivitas biologis

yang tinggi, nilai pH jarang mencapai diatas 8,5, tetapi pada tambak ikan atau

udang, pH air dapat mencapai 9 atau lebih (Boyd, 2002). Sebagaian besar

organisme perairan sensitive terhadap pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5.

2.5.3 Suhu

Suhu adalah besaran yang menyatakan derajat panas dingin suatu benda

dan alat yang digunakan untuk mengukur suhu adalah termometer. Suhu disebut

juga temperatur. Mengacu pada SI(Satuan Internasional), satuan suhu adalah

Kelvin (K). Skala-skala lain adalah Celcius, Fahrenheit, dan Reamur. Pada skala

Celicius, 0°C adalah titik dimana air membeku dan 100°C adalah titik didih air

pada tekanan 1 atmosfer. Suhu air dipengaruhi oleh : radiasi cahaya matahari,

suhu udara, cuaca dan lokasi. Radiasi matahari merupakan faktor utama yang

mempengaruhi naik turunnya suhu air. Sinar matahari menyebabkan panas air di

permukaan lebih cepat dibanding badan air yang lebih dalam. Epilimnion adalah

lapisan atas yang suhunya tinggi. Hypolimnion ialah lapisan bawah yang suhunya
10

rendah. Sedangkan thermocline adalah lapisan yang berada di antara epilimnion

dan hypolimnion yang suhunya turun secara drastis (Boyd, 1990). Dalam kolam

budidaya, kondisi semacam ini dapat diatasi dengan pengadukan air oleh aerator

atau kincir (paddle wheel). Perbedaan suhu air antara pagi dan siang hari hanya

sekitar 2°C, misalnya suhu pagi 28°C suhu siang 30°C.

Suhu air sangat berpengaruh terhadap proses kimia maupun biologi dalam

air. Reaksi kimia dan biologi naik dua kali setiap terjadi kenaikan 10 Aktivitas

metabolisme organisme akuatik juga naik dan penggunaan oksigen terlarut

menjadi dua kali lipat. Penggunaan oksigen terlarut dalam penguraian bahan

organik juga meningkat secara drastis (Howerton, 2001). Berdasarkan pada

penelitian Wasielesky (2003), suhu mempengaruhi metabolisme udang putih (L.

vannamei). Suhu perairan tidak bersifat konstan, akan tetapi karakteristik

menunjukkan perubahan yang bersifat dinamis. Suhu perairan dikolam budidaya

perikananan berkisaran antara 22-23º C. pada pagi hari di peroleh suhu terendah

22º dan siang hari di peroleh suhu tertinggi 30º Muarif, (2016). Dan kisaran suhu

yang cocok dalam pemeliharaan ikan lele yaitu berkisaran antara 22-23º C.

2.5.4 Salinitas

Salinitas adalah kadar garam terlarut dalam air. Salinitas merupakan

bagian dari sifat fisik dan kimia suatu perairan, selain suhu, pH, substrat dan

lain-lain. Salinitas menggambarkan padatan total di dalam air. Salinitas

perairan menggambarkan kandungan garam dalam suatu perairan. Garam yang

dimaksud adalah berbagai ion yang terlarut dalam air termasuk garam dapur

(NaCl). Pada umumnya salinitas disebabkan oleh 7 ion utama yaitu natrium
11

(Na), klorida (Cl), kalsium (Ca), magnesium (Mg), kalium (K), sulfat (SO4)

dan bikarbonat (HCO3) (Effendi, 2004 dalam Armis,2017).


12

BAB 3 METODE PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat

Pratikum Penyakit Organisme Akuakultur tentang Hama dilaksanakan pada

hari rabu tanggal 12 Februari 2020 pukul 09:00 Wita sampai selesai. Bertempat di

Laboratorium Fakultas Peternakan dan Perikanan, Universitas Tadulako Palu.

3.2 Alat Dan Bahan

Alat yang di gunakan dalam praktikum Dasar-Dasar Mikrobiologi Akuatik

mengenai Isolasi Bakteri tertera pada Tabel 3-1.

Tabel.3-1 Alat yang di gunakan dalam praktikum penyakit organisme akuakultur.


No Alat Fungsi

.
1. Hp Mengambil gambar
2. Alat tulis Menulis
3. Buku Catatan Tempat Menulis
4. Baskom Tempat Ikan
5. Seser Tangkap ikan
6 Timbangan di gital Menimbang ikan dan pakan
7 Thermometer Hg Mengukur suhu
8 pH meter Mengukur kadar keasaman
9 Aerasi Memberikan oksigen
10 Jaring Menutup baskom
11 Refrakto Mengukur salinitas
Tabel 3-2. Bahan yang di gunakan dalam praktikum penyakit organisme
akuakultur.
No Bahan Fungsi

.
1. Udang kaki putih Organisme uji
2. Keong bakau Hama
3. Jembret Hama
4. Pakan Makanan ikan
5 Air laut Tempat ikan
13

6.. Klorin Membersihkan wadah


3.3 Prosedur Kerja

Prosedur kerja yang digunakan dalam praktikum penyakit organisme

akuakultur yaitu sebagai berikut :

1. Menyiapkan wadah (baskom) sebanyak 16 bakskom. Bersihkan wadah

beserta alat-alat yang akan digunakan untuk praktikum pada larutan klorin

0,6 g selama 24 jam. Keesokan harinya, bilas wadah tersebut dengan air

bersih hingga larutan klorin hilang.

2. Setelah wadah di bersihkan masukkan air sebanyak 20 liter.

3. Memasukkan keong bakau (Telescopium Telescopium) dan Jembret

(Mesopodopsis.sp) ke dalam wadah pemeliharaan sesuai dengan perlakuan

masing-masing.

4. Mengaklimatisasi udang di media pemeliharaan selama 30 menit.

5. Menimbang bobot udang yang telah di aklimasi dengan timbangan digital

(Wo)

6. Memasukkan udang ke dalam wadah pemeliharaan yang telah di timbang.

7. Mengukur suhu, pH, dan konsentrasi oksigen terlarut dan salinitas masing-

masing media pemeliharaan (unit percobaan).

8. Melakukan pengamatan terhadap masing-masing unit percobaan 2 kali

(pagi pukul 06.00 dan sore hari pukul 16.00) setiap hari selama seminggu.

Mengukur suhu, pH, konsentrasi oksigen terlarut dan salinitas masing-

masing media pemeliharaan setiap pengamatan di lakukan (2 kali sehari).


14

3.4. Analisa Data

3.4.1. Tingkat kelangsungan hidup

Tingkat Kelangsungan hidup/sintasan (survival rate) ikan lele percobaan

dapat di ketahui dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

SR = Nt/No) ×100%

Dimana SR adalah sintasan (%), Nt adalah jumlah ikan lele yang hidup (ekor) di

akhir percobaan.

3.4.2. Pertumbuhan Mutlak

Pertambahaan bobot mutlak organisme uji di akhir percobaan, dapat di

hitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

W = Wt – Wo

Dimana: W = merupakan pertumbuhan bobot mutlak (g).

Wt = adalah rata-rata berat akhir (g)

Wo = rata-rata berawal (g).


15

Anda mungkin juga menyukai