Anda di halaman 1dari 16

Makalah

Sejarah Perekonomian Perikanan Indonesia


Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah ESDP
(Ekonomi Sumberdaya Perikanan)

PRITA SAFA ARDELIA

NPM 230110170176

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
PSDKU DI PANGANDARAN

2020
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkah, rahamat dan hidyah-Nya yang
senantiasa dilimpahakan kepada penulis, sehingga bisa menyelasaikan Makalah dengan judul
“Sejarah Perekonomian Perikanan Indonesia” sebagai syarat untuk menyelesaiakan mata kuliah
ESDP (Ekonomi Sumber Daya Perikanan), Program Sarjana Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Padjadjaran.

Dalam penyusunan makalah ini banyak hambatan serta rintangan yang penulis hadapi
namun pada akhirnya dapat terlalui berkat adanya bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak
baik secara moral maupun spiritual. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan
ucapan terimakasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Zuzy Anna, M.Si selaku dosen mata kuliah ESDP (Ekonomi Sumber
Daya Perikanan).
2. Ibu Nora Akbarsyah, S.Pi, M.Si selaku dosen mata kuliah ESDP (Ekonomi Sumber
Daya Perikanan).
3. Seluruh pihak yang terlibat dalam dalam penyusunan penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaa dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai
pihak. Semoga makalah ini dapat berguna bagi pembaca maupun penulis khususnya dalam
mengelola perikanan berbasis pendekatan ekosistem.

Pangandaran, 9 April 2020

Prita Safa Ardelia

i
Daftar Isi

KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................2
1.3 Tujuan...............................................................................................................................2
BAB II.............................................................................................................................................3
PEMBAHASAN..............................................................................................................................3
2.1 Masa Peradaban Kuno......................................................................................................3
2.1.1 Sejarah Ekonomi Perikanan pada Zaman Mesolitikum.............................................3
2.1.2 Sejarah Ekonomi Perikanan pada Zaman Neolitikum...............................................3
2.1.3 Sejarah Ekonomi Perikanan pada Abad ke-15 dan 16...............................................3
2.1.4 Masa “Age Commerce” (1400 -1600).......................................................................4
2.2 Masa Penjajahan Hingga Awal Kemerdekaan..................................................................5
2.2.1 Zaman Penjajahan Belanda........................................................................................6
2.2.2 Zaman Penjajahan Jepang..........................................................................................7
2.3 Masa Awal Kemerdekaan Hingga Orde Lama.................................................................7
2.4 Masa Pemerintahan Orde Baru.........................................................................................9
2.5 Masa Reformasi Hingga Sekarang..................................................................................10
BAB III..........................................................................................................................................11
KESIMPULAN..............................................................................................................................11
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................11
3.2 Saran................................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perikanan telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban manusia mulai dari
zaman pra-sejarah hingga sekarang. Tentunya banyak perubahan yang terjadi di dalam dunia
perikanan, dari sisi teknologi, produksi, pemanfaatan serta nilai sosial dan ekonominya yang
terus berkembang. Terutama di Indonesia yang memiliki ± 18.110 pulau dengan garis pantai
sepanjang 108.000 km. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS 1982) Indonesia
memiliki kedaulatan atas wilayah perairan seluas 3,2 juta km 2 yang terdiri dari perairan
kepulauan seluas 2,9 juta km2 dan laut teritorial seluas 0,3 juta km 2. Selain itu Indonesia juga
mempunyai hak eksklusif untuk memanfaatkan sumber daya kelautan dan berbagai kepentingan
terkait seluas 2,7 km2 pada perairan ZEE (sampai dengan 200 mil dari garis pangkal). Melihat
kondisi demikian seharusnya perikanan tangkap dapat menjadi sumber pendapatan utama
negara, namun seiring perkembangan zaman bukan hanya perikanan tangkap saja yang
mempunyai nilai ekonomi bagi dunia perikanan, melainkan juga perikanan budidaya.
Berbicara soal ekonomi dalam bidang perikanan tentunya tidak lepas dari peran produksi
dan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Secara garis besar perkembangan perikanan sangat
beriringan dengan perkembangan peradaban manusia dari zaman manusia purba dengan gaya
hidup yang berburu dan meramu hingga saat ini yang sudah semakin maju teknologinya baik
dalam produksi maupun pemanfaatannya tidak hanya dalam bidang penangkapan namun juga
dalam bidang akuakultur.
Seiring dengan kemajuan zaman dan teknologi tentunya semakin banyak pula
permasalahan yang muncul dalam dunia perikanan yang dapat mempengaruhi nilai keberlanjutan
ekonomi dan ekologi perikanan di Indonesia khususnya. Untuk itu dibutuhkannya pengetahuan
mengenai perkembangan perekonomi perikanan guna mengembangkan sekaligus
mempertahankan sumberdaya perikanan. Makalah ini berisi penjelasan mengenai kondisi
perekonomian perikanan dari zaman peradaban kuno, masa penjajahan, masa awal kemerdekaan
sampai dengan orde lama, masa pemerintahan orde baru, dan masa reformasi hingga saat ini.

1
1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu:


1. Bagaimana perkembangan perikanan di Indonesia?
2. Bagaimana kondisi perekonomian perikanan Indonesia dari zaman ke zaman?
3. Apa saja permasalahan perekonomian perikanan yang ada di setiap zaman?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini, yaitu :
1. Mengetahui bagaimana perkembangan perikanan di Indonesia.
2. Mengetahui kondisi perekonomian perikanan Indonesia dari zaman ke zaman.
3. Mengetahui permasalahan perekonomian perikanan di Indonesia di setiap zaman.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Masa Peradaban Kuno


Sejarah perkembangan ekonomi perikanan pada masa peradaban kuno dibagi menjadi 3
masa yaitu zaman mesolitikum, neolitikum, dan “age of commerce” (1400-1600).

2.1.1 Sejarah Ekonomi Perikanan pada Zaman Mesolitikum


Peninggalan atau bekas kebudayaan Indonesi zaman Mesolitikum, banyak
ditemukan di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores. Kehidupannya masih
dari berburu dan menangkap ikan. Bekas-bekas tempat tinggal manusia zaman
Mesolitikum ditemukan di goa-goa dan di pinggir pantai yang biasa disebut
Kyokkenmoddinger (di tepi pantai) dan Abris Sous Roche (di goa-goa).

2.1.2 Sejarah Ekonomi Perikanan pada Zaman Neolitikum


Periode Neolithic (3000 – 2000 SM) penduduk asli Indonesia yang disebut
sebagai Wajak hidup secara primitif dengan cara menangkap ikan dan berburu. Manusia
Wajak adalah manusia modern (Homo Sapiens) yang fosilnya ditemukan di daerah
Wajak, Jawa Timur. Manusia Wajak ini disebut sebagai manusia Homo Sapiens yang
paling arkaik atau manusia modern paling kuno yang dalam perkembangannya
melahirkan populasi actual. Selain itu, penangkapan ikan hiu juga telah dilakukan ribuan
tahun silam oleh penduduk asli Indonesia terutama mereka yang berada di wilayah timur
Indonesia.

2.1.3 Sejarah Ekonomi Perikanan pada Abad ke-15 dan 16


Sejarah Ekonomi Perikanan Abad Ke 15 Dan 16 ( Etnis Bajo, Bajini ) 
Suku Bajo adalah salah satu suku laut yang dimiliki oleh Indonesia. Menurut tulisan
perjalanan antropolog Perancis Francois Robert Zacot Orang Bajo: Suku Pengembara
Laut Pengalaman Seorang Antropolog, dikatakan bahwa dari legenda Bajo Sulawesi
Selatan suku ini dipercaya berasal dari sebutir telur. Ada juga legenda lain yang
mengatakan bahwa di tempat orang Bajo dulu tinggal, banyak burung bertelur di atas
pohon sehingga semua pohon tumbang dan menyebabkan banjir. Orang Bajo lantas
memakai kayu pohon tersebut untuk membuat perahu agar bebas banjir. Inilah cerita

3
yang mendasari kenapa orang Bajo lekat dengan sebutan manusia perahu (suku laut yang
senang tinggal di Soppe).
Kelompok etnis yang disebut Bajini, Makassar, Bugis, dan Bajo merintis perdagangan
tripang dan trochus untuk diperdagangkan dengan kelompok pedagang asal Cina. Suku
Bajo dikenal sebagai pelaut-pelaut yang tangguh. Namun, sejarah lebih mengenal suku
Makassar, suku Bugis, atau suku Mandar, sebagai raja di lautan. Padahal, suku Bajo
pernah disebut-sebut pernah menjadi bagian dari Angkatan Laut Kerajaan Sriwijaya.
Namun, terlepas dari dua legenda asal-muasalnya, suku Bajo telah terkenal sejak
abad 16 sebagai sea nomads, yakni suku laut yang senang berpindah-pindah tempat.
Mereka menyisiri lautan dengan rumah perahu mereka (Soppe) dan hidup di atas rumah
perahu. Kegiatan sehari-hari seperti tidur, makan bahkan beranak-pinak mereka lakukan
di atas rumah. Meski tak jarang juga mereka pergi ke daratan untuk berjualan hasil
tangkapan laut. Bahkan, mereka telah lama terlibat dalam arus perdagangan internasional
dengan menjual hasil-hasil tangkapan laut mereka, misalnya ke Australia.
Zacot mengatakan dalam bukunya, kehidupan setiap pelaut terutama Bajo merupakan
jalinan dari berbagai keberangkatan, ketidakhadiran dan resiko. Bagi masyarakat Bajo,
kehidupan sangat dinamis mulai dari pikiran yang bisa tiba-tiba berubah saat melaut,
peran khusus anak-anak, jadwal yang menentukan kegiatan, rute-rute laut yang harus
diperhatikan sampai tempat-tempat bermukim baru yang mesti ditemukan. Pola nomaden
inilah yang kemudian tertanam dalam psikologis dari suku Bajo, bahwa kehidupan
ibaratnya angin yang berubah-ubah.
Sejak abad ke 19 hingga tahun 1960 nelayan Bajau telah berlayar ke wilayah utara
Australia untuk menangkap teripang tanpa adanya pengawasan daripemerintah Australia.

2.1.4 Masa “Age Commerce” (1400 -1600)

Periode 1450-1680 menjadi periode emas ekonomi pesisir, atau Reid menyebut
“age of commerce” . Puncak keemasan ekonomi nusantara merupakan hasil dari
spesialisasi ekonomi yang tinggi (misalnya produk pangan untuk pasar domestik dan
beberapa hasil pertanian, hutan dan hasil laut, serta emas untuk pasar global), jaringan
perdagangan yang luas, merebaknya monetisasi dan urbanisasi .

4
Perdagangan mutiara dan kerang-kerangan cukup penting, namun keterangan
Zuhdi tentang perikanan Cilacap yang hanya menggunakan alat tangkap sederhana dan
nelayan mengolah hasilnya untuk dibarter dengan wilayah pedalaman menjadi panduan
kondisi lain perikanan di era ini.
Pada periode berikutnya, sebelum tahun 1900an kegiatan perikanan di Indonesia
masih didominasi oleh kegiatan perikanan yang bersifat subsisten yang diarahkan pada
pemenuhan kebutuhan pangan penduduk yang hidup disekitar wilyah pesisir dengan skala
perdagangan yang sangat terbatas, namun demikian beberapa perdaganggan untuk
komensial terjadi dibebberapa wilayah indonesia timur dalam bentuk perdagangan hasil
laut kerang mutiara. Pada periode puncaknya sekitar tahun antara tahun 1870-1900, ribua
nelayan terlibat dalam industri ini dengan menghasilkan nilai ekonomi yang sangat tinggi
( Morgan dan Staples, 2006).
Kemudian skala subsistensi ini secara perlahan berubah kearah komersial dengan
tujuan menyuplai kebutuhan pangan (ikan) kewilayah-wilayah terpencil dengan teknologi
pengawetan ikan yang terbatas. Pertumbuhan yang spektakuler terjadi pada tahun 1900-an
ini sjalan dengan terjadinya urbanisasi dan perkembangan transposisi dan sistem
pemasaran. Akselerasi pertumbuhan perikanan ini memuncak setelah usai perang perang
dunia kedua dimana armada perikanan semakin termekanisasi dan kegiatan perikanan
semakin merambah kewilayah timur laut lepas (offishorr) dan daerah-daerah baru yang
sebelumnya tidak terjamah  (morgan dan staples, 2006).

2.2 Masa Penjajahan Hingga Awal Kemerdekaan

Sejak akhir 1800an perikanan telah berorientasi pada pasar yang ditandai dengan
pertumbuhan spektakuler usaha pengolahan dan pemasaran ikan. Bahkan, pada awal abad ke-20
Kota Bagan Si Api Api di mulut Sungai Rokan telah menjadi salah satu pelabuhan perikanan
terpenting di dunia dengan kegiatan utama ekspor perikanan. Jawa dengan populasi 1/4 dari total
penduduk Asia Tenggara pada tahun 1850 telah menjadi pasar terpenting produk perikanan
khususnya ikan kering (asin) dan terasi . Merujuk pada data van der Eng, kontribusi perikanan
terhadap total PDB pada tahun 1880 dan 1890 mencapai di atas 2% atau tertinggi yang pernah
dicapai perikanan dari seluruh periode antara 1880-2002.

5
Pasang-surut perikanan tidak terlepas dari kebijakan pemerintah, permasalahan
ketersediaan sumberdaya, ekologi, ekonomi dan sosial. Kebijakan monopoli garam oleh
pemerintah dengan meningkatkan biaya sewa dari f6.000 pada tahun 1904 menjadi f32,000 di
tahun 1910 menghasilkan stagnasi dan penurunan peran industri perikanan yang ditunjukkan
oleh penurunan ekspor dari 25.900 ton ikan kering di tahun 1904 menjadi 20.000 ton di tahun
1910. Tahun 1912 perikanan Bagan Si Api-Api telah mengalami kemunduran berarti. Hal yang
serupa dan permasalahan pajak dan kredit juga terjadi di Jawa dan Madura. Permasalahan
ekologi seperti ekstraksi bakau dan pendangkalan perairan, serta menurunnya sumberdaya ikan
muncul dan mendorong perikanan bergerak lebih jauh dari pantai.
Pertumbuhan industri perikanan periode 1870an sampai 1930an oleh Butcher disebut
sebagai menangkap ikan lebih banyak dengan teknologi yang sama. Periode ini diikuti oleh
perubahan teknologi dan perluasan daerah penangkapan sebagai akibat modernisasi perikanan
dan semakin langkanya ikan di daerah pinggir (1890an-1930an). Peran nelayan Jepang dalam hal
ini patut dicatat karena mereka masuk ke Indonesia dengan profesi salah satunya sebagai
nelayan. Butcher menilai nelayan-nelayan ini datang dengan dukungan subsidi pemerintahan
Meiji yang sedang giat menggalakan industrialisasi. Teknologi perikanan yang lebih maju
membuat nelayan Jepang mendapat keuntungan yang lebih besar dari eksploitasi sumberdaya
ikan.

2.2.1 Zaman Penjajahan Belanda

Periode 1850-1966 adalah periode pelembagaan institusi-institusi yang


menangani urusan masyarakat bagi pemapanan penjajahan Belanda atas negeri Indonesia.
Begitu pula halnya dengan urusan-urusan masyarakat pantai yang menyandarkan
kegiatan ekonomi pada bidang kelautan. Pengembangan kelautan dimulai pada 1911
dengan dibentuknya Bugerlijk Openbare Werken yang berubah menjadi Departemen
Verkeer en Waterstaat pada 1931. Kurun waktu hingga kemerdekaan tercapai, merupakan
fase pasang surut pertumbuhan organisasi kelautan dalam struktur pemerintahan kolonial
maupun Republik Indonesia merdeka. Unit-unit warisan kolonial Belanda inilah yang
menjadi cikal bakal pembentukan kementerian yang mengelola aspek kelautan di masa
sekarang.

6
Lembaga yang menangani kegiatan-kegiatan perikanan semasa pemerintahan
kolonial Belanda masih berada dalam lingkup Departemen van Landbouw, Nijverheid en
handel yang kemudian berubah menjadi Departemen van Ekonomische Zaken. Kegiatan-
kegiatan perikanan masa itu digolongkan sebagai kegiatan pertanian. Meski demikian,
terdapat suatu organisasi khusus yang mengurusi kegiatan perikanan laut di bawah
Departemen van Ekonomische Zaken. Organisasi tersebut adalah Onderafdeling Zee
Visserij dari Afdeling Cooperatie en Binnenlandsche Handel. Sedangkan untuk
menyediakan kegiatan penelitian dan pengembangan perikanan laut terdapat suatu institut
penelitian pemerintah kolonial yang bernama Institut voor de Zee Visserij. Pada masa ini
juga telah ditetapkan UU Ordonansi tentang batas laut Hindia Belanda melalui
Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939, yang menetapkan bahwa lebar
laut wilayah Hindia Belanda ditetapkan pada masing-masing pulau sampai sejauh 3 mil.
Pada zaman Belanda lembaga di pemerintahan yang mengatur masalah
perekonomian perikanan sudah mulai terkoordinir dengan baik ditandai dengan adanya
pembagian 2 bidang pemerintahan yaitu yang mengurus bidang penangkapan dan
budidaya.

2.2.2 Zaman Penjajahan Jepang


Semasa pendudukan Jepang 1942-1945, Departemen van Ekonomische Zaken
berubah nama menjadi Gunseikanbu Sangyogu. Fungsi dan tugas departemen ini tidak
berubah dari fungsinya di zaman kolonial. Begitu pula halnya dengan lembaga penelitian
dan pengembangan, meski berubah nama menjadi Kaiyoo Gyogyo Kenkyuzo dan
berpusat di Jakarta tidak mengalami perubahan fungsi. Bahkan, UU tentang batas laut
pun tidak mengalami perubahan. Namun yang perlu dicatat justru adalah pada masa
pendudukan Jepang ini terjadi perluasan lembaga-lembaga perikanan pemerintah. Pada
masa ini, di daerah-daerah dibentuk jawatan penerangan perikanan yang disebut Suisan
Shidozo. Di samping itu, pada masa ini terjadi penyatuan perikanan darat dengan
perikanan laut, walaupun tetap dimasukkan dalam kegiatan pertanian.

2.3 Masa Awal Kemerdekaan Hingga Orde Lama

Setelah proklamasi kemerdekaan nasional, pada kabinet presidensial pertama, pemerintah


membentuk Kementrian Kemakmuran Rakyat dengan menterinya Mr. Syafruddin

7
Prawiranegara. Pada kementerian ini dibentuk Jawatan Perikanan yang mengurusi kegiatan-
kegiatan perikanan darat dan laut. Semenjak kabiner pertama terbentuk pada 2 September 1945
hingga terbentuknya kabinet parlementer ketiga pada 3 Juli 1947, Jawatan Perikanan tetap
berada di bawah Koordinator Pertanian, di samping Koordinator Perdagangan dan Koordinator
Perindustrian dalam Kementrian Kemakmuran Rakyat. Meskipun kemudian Kementrian
Kemakmuran Rakyat mengalami perubahan struktur organisasi akibat agresi militer Belanda I
dan II serta perpindahan ibukota negara ke Yogyakarta, jawatan perikanan tetap menjadi
subordinat pertanian. Pada masa itu, tepatnya 1 Januari 1948, Kementrian Kemakmuran Rakyat
mengalami restrukturisasi dengan menghapus koordinator-koordinator. Sebagai gantinya,
ditunjuk lima pegawai tinggi di bawah menteri, yakni Pegawai Tinggi Urusan Perdagangan,
Urusan Pertanian dan Kehewanan, Urusan Perkebunan dan Kehutanan, serta Urusan Pendidikan.
Jawatan Perikanan menjadi bagian dari Urusan Pertanian dan Kehewanan.

Pada masa pengakuan Kedaulatan RI 27 Desember 1949, Kementrian Kemakmuran


Rakyat kemudian dipecah menjadi dua kementerian, yaitu Kementrian Pertanian dan Kementrian
Perdagangan dan Perindustrian. Pada masa itulah Jawatan Perikanan masuk ke dalam
Kementrian Pertanian. Kementrian Pertanian pada 17 Maret 1951 mengalami perubahan
susunan, yakni penunjukkan 3 koordinator yang menangani masalah Pertanian, Perkebunan dan
Kehewanan. Di bawah Koordinator Pertanian, dibentuk Jawatan Pertanian Rakyat. Jawatan
Perikanan pada masa itu telah berkembang menjadi Jawatan Perikanan Laut, Kantor Perikanan
Darat, Balai Penyelidikan Perikanan Darat, dan Yayasan Perikanan Laut. Kesemua jawatan
tersebut berada di bawah Jawatan Pertanian Rakyat. Struktur ini tidak bertahan lama. Pada 9
April 1957, susunan Kementrian Pertanian mengalami perubahan lagi dengan dibentuknya
Direktorat Perikanan dan di bawah direktorat tersebut jawatan-jawatan perikanan
dikoordinasikan.
Jatuh bangunnya kabinet semasa pemerintahan parlementer mengakibatkan Presiden
Soekarno menganggap bahwa sistem parlementer tidak cocok dengan kepribadian bangsa
Indonesia. Pada 5 Juli 1957, presiden mengeluarkan dekrit untuk kembali pada UUD 1945.
Istilah kementerian pada masa sebelum dekrit berubah menjadi departemen dan posisi istilah
direktorat kembali menjadi jawatan. Pada 1962, terjadi penggabungan Departemen Pertanian dan
Departemen Agraria dan istilah direktorat digunakan kembali. Pada masa kabinet presidensial

8
paska dekrit, Direktorat Perikanan telah mengalami perkembangan menjadi beberapa jawatan,
yakni Jawatan Perikanan Darat, Perikanan Laut, Lembaga Penelitian Perikanan Laut, Lembaga
Penelitian Perikanan Darat, Lembaga Pendidikan Usaha Perikanan dan BPU Perikani.
Kondisi politik dan keamanan yang belum stabil mengakibatkan pemerintah merombak
kembali susunan kabinet dan terbentuklah KABINET DWIKORA pada 1964. Pada Kabinet
Dwikora ini, Departemen Pertanian mengalami dekonstruksi menjadi 5 buah departemen dan
pada kabinet ini terbentuk Departemen Perikanan Darat/Laut di bawah Kompartemen Pertanian
dan Agraria. Pembentukan Departemen Perikanan Darat/Laut merupakan respon pemerintah atas
hasil Musyawarah Nelayan I yang menghasilkan rekomendasi perlunya departemen khusus yang
menangani pemikiran dan pengurusan usaha meningkatkan pembangunan perikanan. Melalui
pembentukan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan, Departemen Perikanan Darat/Laut tidak
lagi di bawah Kompartemen Pertanian dan Agraria melainkan mengalami reposisi dan bernaung
di bawah Kompartemen Maritim. Di bawah Kompartemen baru, departemen tersebut mengalami
perubahan nama menjadi Departemen Perikanan dan Pengelolaan Kekayaan Laut. Keadaan ini
tidak berlangsung lama, pada 1965 terjadi pemberontakan Gerakan 30 September dan Kabinet
Dwikora diganti dengan Kabinet Ampera I pada 1966.

2.4 Masa Pemerintahan Orde Baru

Hill dalam studinya tentang ekonomi Indonesia sejak 1966 mencatat berbagai
keberhasilan orde baru seperti kemampuan memanfaatkan harga minyak yang tinggi,
pertumbuhan ekonomi yang berlanjut, perbaikan pendidikan, kesehatan dan gizi, selain beberapa
catatan tantangan bagi masa depan.

Produksi perikanan meningkat dari 721 ribu ton pada tahun 1966 menjadi 1,923 ribu ton
pada 1986. Produksi ikan meningkat menjadi 3.724 ribu ton tahun 1998. Setelah mengalami
pertumbuhan negatif dalam periode peralihan (1966-1967), laju pertumbuhan produksi perikanan
meningkat dari 3,5% (1968-1973) menjadi 5,3% per tahun (1974-1978). Periode berikutnya
pertumbuhan produksi perikanan cenderung menurun. Produktivitas perikanan dalam era ini
walaupun tumbuh dengan laju yang berfluktuasi (khususnya kapal), secara nomimal meningkat
dari rata-rata 4,3 ton/kapal periode 1974-1978 menjadi 8,4 ton per kapal periode 1994-1998.
Motorisasi perikanan merupakan salah satu penyebab peningkatan produksi sektor ini.
Tahun 1966 motorisasi hanya meliputi 1.4% dari total armada perikanan sebanyak 239.900 unit,
9
menjadi 5,8% pada tahun 1975, dan mencapai 16% dari total armada pada tahun 1980. Pada
tahun 1998 armada perikanan bermotor telah mencapai 45,8% dari total sebanyak 412.702 unit,
namun data tahun ini menunjukkan hanya 21% berupa kapal motor (“inboard motor”), dan
bagian terbesar adalah perahu motor tempel dan perahu tanpa motor. Dengan demikian, basis
perikanan masih dominan di wilayah pantai.
Konflik antara perikanan skala besar dan skala kecil mewarnai sejarah perikanan laut
orde baru sebagai akibat dualisme struktur perikanan. Dualisme perikanan ditunjukkan oleh
Bailey pada dua kasus penting yaitu introduksi trawl dan purse seine dan pengembangan
budidaya udang. Kasus trawl menguatkan tesis Hardin tentang tragedi sumberdaya kepemilikan
bersama. Ketika nelayan skala kecil dengan produktivitas rendah (1,4-6,7 ton/unit alat) semakin
tersingkirkan oleh nelayan skala besar (trawl dan purse seine) dengan produktivitas masing-
masing mencapai 70,4 ton/unit dan 38 ton/unit di tahun 1980, respon nelayan skala kecil adalah
melawan dengan berbagai cara termasuk menggunakan bom molotov. Kondisi ini yang
mendorong pemerintah melarang penggunaan trawl secara bertahap melalui Keppres 39/1980
yang diikuti Inpress 11/1982 dan SK Menteri Pertanian No. 545/Kpts/Um/8/1982 tentang
penghapusan jaring trawl di seluruh perairan Indonesia terhitung mulai 1 Januari 1983.

2.5 Masa Reformasi Hingga Sekarang

Struktur perikanan laut di era terakhir ini juga belum banyak bergeser dimana perikanan
skala kecil masih dominan yang ditunjukkan oleh 75% armada perikanan adalah perahu tanpa
motor dan perahu motor tempel. Produksi perikanan dalam periode 1999-2001 tumbuh 2,5% per
tahun, sedangkan armada perikanan mulai tumbuh terbatas yaitu di bawah 1% per tahun.
Pertumbuhan nelayan lebih tinggi dari armada perikanan dan mendekati pertumbuhan produksi
(2,1%).

Jika periode ini dibandingkan periode sebelumnya (1994-1998), produksi perikanan


tumbuh lebih rendah (2,5%), demikian juga produktivitas kapal baik secara nomimal maupun
laju pertumbuhan. Rata-rata produktivitas perikanan periode 1994-1998 mencapai 8,4 ton/kapal
dan 1.7 ton/nelayan turun menjadi 8,3 ton/kapal dan 1,5 ton/nelayan periode tahun 1999-2001.
Laju pertumbuhan produktivitas kapal mencapai 3,0% periode 1994-1998, turun menjadi 1,6%
periode 1999-2001.

10
Berdasarkan Nota Keuangan dan APBN tahun 2000-2005, Pendapatan Negara Bukan
Pajak (PNBP) perikanan meningkat sangat pesat dari Rp 52 miliar pada tahun 2000 menjadi Rp
450 miliar pada tahun 2003. Dibanding tahun sebelumnya, PNBP 2004 turun menjadi Rp 282,8
miliar (di bawah target Rp 450 miliar) dan diperkirakan target PNBP sebesar Rp 700 miliar pada
tahun 2005 juga tidak tercapai karena belum optimalnya perjanjian bilateral dengan Cina,
Filipina dan, Thailand. Kondisi ini menjadi satu tantangan bagi sektor perikanan dan kelautan
untuk menjadi salah satu “the prime mover” atau “mainstream” ekonomi nasional.
Permasalahan yang sering muncul saat ini adalah overfishing, degradasi lingkungan,
overconsumption, perdagangan global, bencana alam, dan konflik antarnelayan. Untuk itu setiap
kebijakan yang dibuat sebaiknya mempertimbangkan keberlanjutan sumberdaya perikanan demi
mempertahankan nilai ekonomis dan ekologi.

11
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Perkembangan dari kegiatan ekonomi perikanan di Indonesia setiap masanya mengalami
perubahan, perubahan berupa kenaikan atau menurunnya nilai ekonomi. Di Indonesia sendiri
penurunan terjadi pada zaman modern, hal ini terjadi karena banyaknya permasalahan yang
terjadi yaitu adanya IUU Fishing yang membuat ekonomi perikanan di Indonesia menurun.
Diperlukan pemahaman mengenai bagaimana kondisi perikanan dari zaman ke zaman adalah
sebagai gamabaran bagi pemangku kebijakan di masa mendatang untuk memperhitungkan
kembali kebijakan yang diambil dalam pengelolaan perikanan sehingga tercapainya pemanfaatan
yang berkelanjutan namun tetap bernilai ekonomis.
Seiring dengan berkembanganya peradaban manusia, berkembang pula nilai
prekonomian perikanan yang ditentunya didukung oleh teknologi yang semakin maju namun
permasalah mengenai perikananpun menjadi tambah bermunculan baik di kalangan nelayan
maupun stake holder perikanan lainnya. Permasalahan yang muncul antara lain overfishing,
degradasi lingkungan, overconsumption, perdagangan global, bencana alam, dan konflik
antarnelayan. Untuk itu setiap kebijakan yang dibuat sebaiknya mempertimbangkan
keberlanjutan sumberdaya perikanan demi mempertahankan nilai ekonomis dan ekologi.

3.2 Saran
Saran yang dapat disimpulkan bagi perkembangan perekonomian perikanan kedepannya
adalah dengan mempertimbangkan kembali setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk
mendukung kegiatan perekonomian perikanan alangkah baiknya dipertimbangkan juga dengan
keberlangsungan ekologinya serta diperhitungkan kembali setiap metode yang dijalankan dari
kebijakan-kebijakan tersebut agar tepat sasaran bagi nelayan maupun stakeholder perikanan
lainnya.

12
DAFTAR PUSTAKA
Fauzi, A. (2010). Ekonomi Perikanan ( Teori, Kebijakan, Dan Pengelolaan). Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.

Mansyur. (2016). Migrasi Dan Jaringan Ekonomi Suku Bugis Di Wilayah Tanah Bumbu,
Keresidenan Borneo Bagian Selatan Dan Timur,1930-1942. Jurnal Sejarah Citra Lekha,
24-39.

Yasin, A. (2017). Hegemoni Ekonomi Etnik Tionghoa Di Pesisir. Sosial Budaya, 165 - 178.

Soewito, & Subono. (2000). Sejarah Perikanan Indonesia. Jakarta: Yasmina.

13

Anda mungkin juga menyukai