Anda di halaman 1dari 12

PRAKTIKUM

TEKNOLOGI BIOPRODUK BERBASIS TANAMAN

DOSEN PENGAMPU:
Sri Nanan B. Widiyanto, Prof.
Khalilan Lambangsari, S.T., M.Si
Lili Melani, S.T., M.Sc, Ph.D

Nama: Sophia Jasmine Makarim

NIM: 11219021

Kelompok: 4
BORANG NILAI MODUL 4

Bagian Nilai Maksimal Nilai yang diperoleh Keterangan


Header 5
Latar Belakang 20
Tujuan 10
Teori Dasar 20
Alat dan Bahan 10
Cara Kerja 15
Data Pengamatan 5
Kesimpulan 10
Daftar Pustaka 5
Total 100
Tanggal Praktikum: 2 dan 9 Maret 2021

Nama (NIM) Asisten: Jeffry Christon (11218022)

MODUL 4
KULTIVASI DAN PERTUMBUHAN ALGA

i. Latar Belakang
Manusia setiap hari pasti memerlukan energi untuk menjalani aktivitasnya.
Energi yang saat ini paling marak digunakan adalah energi dari bahan bakar fosil yang
digunakan sebagai bahan bakar untuk kendaraan pribadi maupun kendaraan umum.
Meskipun sudah ada beberapa terobosan seperti mobil dan kendaraan umum berbahan
bakar gas, namun untuk saat ini yang masih mendominasi adalah bahan bakar dari
fosil. Namun, polutan yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil merupakan
faktor terbesar terjadinya asap, hujan asam, pemanasan global, serta perubahan iklim.
(Astra, 2010). Oleh karena itu, dibutuhkan energi alternatif yang bisa mengurangi
dampak negatif yang dihasilkan dari penggunaan energi berbahan dasar fosil. Salah
satu alternatif yang ada adalah penggunaan alga sebagai sumber energi.
Dalam pemanfaatan alga menjadi sumber energi alternatif, diperlukan
bioindustri yang memadai untuk mengubah alga tersebut menjadi minyak nabati yang
nantinya digunakan untuk membuat biodiesel. Ada beberapa penelitian untuk
mendapatkan metode yang tepat dalam ekstraksi minyak alga. Salah satu contohnya
adalah memvariasikan metode esktraksi, jenis pelarut, volume pelarut, dan waktu
ekstraksi sehingga bisa menghasilkan yield dan kemurnian minyak alga dari Spirulina
sp. yang tinggi (Elfera Yosta et al., 2012)
Kultivasi dan pertumbuhan alga ini penting untuk dipelajari mahasiswa
Rekayasa Hayati karena dengan kebutuhan energi yang terus meningkat, sumber
energi alternatif dari alga di masa depan juga akan semakin dikembangkan dan sebagai
bioengineers, mahasiswa harus paham dasar-dasar kultivasi serta pengolahan alga dari
awal hingga menjadi bentuk yang dapat dimanfaatkaan sebagai sumber energi
alternatif.
Praktikum kultivasi dan pertumbuhan ini dilakukan agar mahasiswa paham
cara penanaman serta perlakuan terhadap alga sehingga bisa dihasilkan produk yang
bermanfaat. Mikroalga, salah satu jenis alga, dapat dikembangkan menjadi salah satu
sumber biomassa masa depan yang potensial untuk dikembangkan diantara organisme
akuatik lainnya (Ariyanti & Handayani, 2012).
ii. Tujuan
1. Mengukur pertumbuhan kultur Scedesmus spp. pada medium BBM
2. Mengukur laju pertumbuhan spesifik kultur Scenedesmus spp.
3. Menghitung doubling time kultur Scenedesmus spp.
4. Mengukur kadar penyerapan nitrogen dan posfat pada medium kultur Scenedesmus
spp.

iii. Teori Dasar


Alga merupakan organisme berklorofil dan thallophyta, yang berarti tubuhnya
berbentuk kalus sehingga tubuh vegetatifnya tidak tersusun dalam akar dan batang.
Alga hidup dalam sel soliter, koloni, filamen, atau tubuh vegetatif primitif dan tidak
memiliki sistem vaskular (Krienitz, 2009). Alat reproduksi pada alga umumnya berupa
sel tunggal meskipun ada pula yang alat reproduksinya tersusun dari banyak sel. Ada
tiga ciri reproduksi seksual pada alga yang dapat membedakan alga dengan tumbuhan
hijau yang lain : (1) Pada alga uniselular, sel itu sendiri yang berfungsi sebagai sel
kelamin atau gamet; (2) Pada alga multiselular, organ penghasil gamet ada yang
berupa sel tunggal dan ada pula yang tersusun dari banyak sel; (3) Organ penghasil
spora (sporangium) dapat berupa sel tunggal dan apabila tersusun dari banyak sel,
semua penyusun sporangiun bersifat fertil (Zainuddin, 2011). Alga dianggap lebih
menguntungkan daripada tanaman lain dari segi produktivitas, tidak adanya variasi
musiman, lebih mudah diekstraksi, dan bahan mentahnya yang melimpah (Oktarina,
2017).
Alga secara morfologi terbagi menjadi dua jenis, yaitu mikroalga atau alga
dengan ukuran makroskopis dan makroalga atau alga yang berukuran makro. Baik
makroalga maupun mikroalga mampu hidup di air tawar dan air asin (laut). Makroalga
atau rumput laut umumnya hidup di perairan laut dan merupakan spesies multiselular
namun tidaak memiliki akar, batang, ataupun daun yang nyata. Makroalga dapat
dibedakan menjadi tiga jenis berdasarkan pigmen yang dimilikinya, yaitu klorophyta
atau alga hijau, phaeophyta atau alga coklat, dan rhodophyta atau alga merah.
Mikroalga sendiri dapat bertahan hidup pada lingkungan yang esktrem seperti
lingkungan yang panas, dingin, salinitas tinggi, dan pada kondisi anaerob (Oktarina,
2017). Mikroalga merupakan tumbuhan air yang memiliki peran penting pada
lingkungan sebagai produsen primer selain bakteri dan fungi yang ada di sekitar kita.
Selain sebagai produsen primer, hasil samping fotosintesis mikroalga, oksigen, juga
berperan penting bagi respirasi biota di sekitarnya. Mikroalga juga bisa dibedakan
menjadi Cyanobacteria (alga biru hijau), Chlorophyta (alga hijau), dan Chrysophyta
(alga coklat-emas). Lemak pada mikroalga terdiri dari gliserol, serta asam lemak jenuh
dan tak jenuh. Komposisi lemak pada masing-masing mikroalga ini dipengaruhi
beberapa faktor seperti perbedaan nutrisi dan lingkungan, serta fasa pertumbuhan
(Rhamadani, 2015).
Secara umum, pertumbuhan mikroalga terjadi pada tiga kondisi yang berbeda,
yaitu kondisi fototropik, kondisi heterotropik, dan kondisi mixotropik. Pada kondisi
fototropik atau terkadang disebut juga autotropik fotosintesis, mikroalga sangat
bergantung pada cahaya matahari sebagai sumber energi dan CO₂ sebagai sumber
karbon. Pada kondisi heterotropik, pertumbuhan mikroalga membutuhkan substrat
karbon organik seperti glukosa, asetat, serta gliserol sebagai sumber energi. Kondisi
mixotropik merupakan gabungan antara kondisi fototropik dan heterotropik. Mikroalga
yang tumbuh pada kondisi mixotropik dapat mengasimilasi cahaya matahari dan
karbon organik sebagai sumber energinya baik secara bersamaan maupun bergantian.
Keberhasilan dalam kultivasi alga bergantung pada beberapa faktor seperti jenis alga
yag digunakan, fisiologi alga, dan cahaya matahari yang tersedia. Terdapat dua macam
sistem kultivasi mikroalga yaitu sistem terbuka dan sistem tertutup. Kultivasi
mikroalga sistem terbuka merupakan sistem kultivasi dimana mikroalga tumbuh di
alam terbuka seperti kolam atau danau sedangan sistem tertutup didasarkan pada
penggunaann fotobioreaktor tertutup. Penggunaan sistem tertutup ini untuk
memberikan solusi dari kelemahan sistem terbuka, salah satunya meminimalisir
terjadinya kontaminasi (Gultom, 2018).
Scenedesmus spp. pada Gambar 1 merupakan salah satu mikroalga yang
berpotensi menghasilnay sumber energi alternatif. Scenedesmus spp. merupakan alga
hijau (Chlorophyta) yang bentuknya memanjang lurus dan ada pula yang sedikit
melengkung. Mikroalga ini memiliki sel dengan diameter 1-2 µm dan panjangnya
sekitar 40 µm serta hidup berkelompok membentuk koloni yang terdiri dari 4 hingga
32 sel (Salim, 2015). Scenedesmus spp. termasuk spesies mikroalga yang bersifat
kosmopolitan dan memiliki laju pertumbuhan yang tinggi. Mikroalga ini dapat tumbuh
dalam medium alami dengan kondisi lingkungan yang bervariasi dan pertumbuhannya
juga dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Kurangnya intensitas cahaya akan menganggu
pertumbuhan sel terutama pada proses biosintesis (Haris, 2012).
Gambar 1. Scenedesmus spp. (Sumber : Salim, 2015)
Pola pertumbuhan mikroalga sama seperti pertumbuhan organisme lain pada
umunya, yaitu membentuk kurva sigmoid yang terdiri dari empat fase yang terlihat
pada Gambar 2. Empat fase ini ialah fase linier (lag phase), eksponensial, stasioner,
dan kematian. Pada fase pertumbuhan linier, sel mikroalga mulai beradaptasi dengan
kondisi lingkungan disekitarnya. Sel tersebut pada fase ini mempersiapkan dirinya
untuk melakukan pembelahan sel pada usia tertentu dengan memproduksi enzim dan
senyawa lain yang diperlukan. Dalam fase ini, sel yang membelah masih sedikit dan
jumlah sel keseluruhan tidak banyak mengalami peningkatan. Oleh karena itu, fase ini
disebut pula lag phase. Setelah itu, sel memasuki fase pertumbuhan eksponensial
dimana sel-sel membelah diri dengan cepat. Pada fase eskponensial, terjadi
pertumbuhan dengan tingkat serapan CO₂ dan pertumbuhan biomassa yang tinggi.
Pada fase ini juga terjadi penyerapan nutrisi dari medium secara cepat sehingga nutrisi
keseluruhan mengalami pertumbuhan dan mengakibatkan mikroalga masuk ke fase
pertumbuhan stasioner. Pada fase stasioner, laju pertambahan sel seimbang dengan
laju kematian sel. Bila faktor pendukung pertumbuhan sel semakin berkurang, maka
sel mikroalga akan memasuki fase kematian yang ditandai dengan kematian sel dalam
jumlah besar (Prayitno, 2016).

Gambar 2. Fase pertumbuhan mikroalga (Sumber : Prayitno, 2016)

iv. Alat dan Bahan


Tabel 4.1 Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum kultivasi dan pertumbuhan
alga
Alat Bahan
Botol kultur berukuran 1L (2) Scenedesmus spp. (secukupnya)
Oven (1) Medium BBM dengan komposisi pada
Tabel 1
Timbangan (1) Reagen Nessler (secukupnya)
Spektrofotometer (1) HCl (secukupnya)
Haemacytometer (1) Molibdenum biru (secukupnya)
Mikroskop (1)
Chamber (1)
Aerator (1)
Mikroskop (1)

v. Cara Kerja
v.i Inisiasi dan Kultivasi kultur Scenedesmus spp.

Scenedesmus spp. dikultivasi kedalam botol kultur berukuran 1L berisi BBM


(tabel 5.1) dengan pH 5-7

Kultur disimpan dalam ruang kultur dan dipelihara dengan aerasi pada kecepatan
sedang serta pencahayaan dengan intensitas 5000-10.000 Lux

Kultur diadaptasikan pada botol tersebut selama 5-7 hari (disiapkan asisten)

Setelah satu minggu, kultur Scenedesmus spp. ditempatkan pada botol kultur
berukuran 1 L baru berisi medium BBM sesuai perlakuan pada Tabel 5.2

Tabel 5.1. Pembuatan Larutan Stok dan Medium Bold’s basal


Stocks per 400 ml
(1) NaNo3 10 g
(2) MgSO4.7H2O 3g
(3) NaCl 1g
(4) K2HPO4 3g
(5)KH2PO4 7g
(6)CaCl2.2H2O 1g
(7) Trace elements solution (autoclave to dissove) per litre
ZnSO4.7H2O 8.82 g
MnCl2.4H2O 1.44 g
MoO3 0.71 g
CuSO4.5H2O 1.57 g
Co(NO3)2.6H2O 0.49 g
(8) H3BO3 11.42 g
(9) EDTA 50 g
KOH 31 g
(10) FeSO4.7H2O 4.98 g
H2SO4 (conc) 1 ml

Medium per litre


Stock solutions 1-6 10 ml each
Stock solutions 7-10 1 ml each

Tabel 5.2. Perlakuan Medium BBM untuk Kultur Scenedesmus spp.


Kelompok Kontrol ½ strength BBM Defisiensi N Defisiensi P

1,5,9 √
2,6,10 √
3,7,11 √
4,8,12 √

v.ii. Pengukuran Laju Pertumbuhan Spesifik (µ) Kultur Scenedesmus spp.


Scenedesmus spp. diamati dan dihitung pertumbuhannya dalam medium cair
tersebut selama 8 hari, dengan interval waktu pengamatan 1 hari, berdasarkan
parameter berupa :
a. Berat basah
b. Berat kering
(dihitung dengan metode pengeringan menggunakan oven bersuhu 60°C selama 1
malam (±12-16 jam). Sampel ditimbang hingga beratnya konstan)
c. Jumlah sel
(diukur berdasarkan kepadatan sel dengan parameter density yang diukur dengan
Spektrofotometer λ680 serta Haemacytometer)

Dari data yang diperoleh dibuat kurva pertumbuhan kultur Scenedesmus spp.
dalam biomassa (ln) terhadap waktu

Laju pertumbuhan spesifik (µ) kultur Scenedesmus spp. dihitung saat pertumbuhan
berada pada fase eksponensial dengan menggunakan persamaan
𝜇=
μ = Laju pertumbuhan spesifik
Nt = populasi sel pada hari ke-t fase eksponensial (sel/mL)
N0 = populasi sel pada hari ke-0 fase eksponensial (sel/mL)
t1 – t0 = selang waktu pada fase eksponensial (hari)

v.iii. Penghitungan Doubling Time Kultur Scenedesmus spp.

Doubling time adalah waktu yang diperlukan oleh suatu populasi sel untuk
meningkatkan massanya menjadi dua kali lipat

Doubling time (dt) kultur Scenedesmus spp. dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan
d𝑡=
dt = doubling time
μ = laju pertumbuhan spesisfik

v.iv. Pengukuran Kadar Penyerapan Nitrogen dan Posfat pada Medium Kultur
Scenedesmus spp.
Penyerapan nitrogen (amonia dan nitrat) dan Pospat dalam medium oleh kultur
Scenedesmus spp. dilakukan dengan pengukuran kadar senyawa tersebut pada
sampel medium sebelum penelitian dan selama periode pengamatan

Penentuan kadar amonia pada medium dilakukan dengan menggunakan metode


Nessler. Pada metode tersebut, ion amonia (NH4+) akan memberikan warna coklat
kekuningan saat bereaksi dengan reagen Nessler. Intensitas perubahan warna
ditunjukkan dengan kandungan amonia pada medium yang dapat diukur dengan
menggunakan spektrofotometer UV-Visible pada panjang gelombang 425 nm.

Penentuan kadar nitrat pada medium dilakukan dengan menggunakan metode


asam klorida, yaitu dengan ditambahkan HCl pada medium. Perubahan warna
yang terbentuk diukur intensitasnya menggunakan spektrofotometer UV-Visible
pada panjang gelombang 220 - 275 nm.

Penentuan kadar fosfat pada medium dilakukan dengan menggunakan


molibdenum biru, dimana akan dibentuk asam molibdofosfat dari orthofosfat yang
kemudian direduksi menjadi molibdenum biru. Perubahan warna biru yang
terbentuk diukur intensitasnya menggunakan spektrofotometer UV-Visible pada
panjang gelombang 660 nm
vi. Data Pengamatan
Tabel 6.1 Pengukuran sesuai perlakuan medium BBM
Kelompok Perlakuan Hasil
Kontrol ½ strength BBM Defisiensi N Defisiensi P Pengamatan

1,5,9 √

2,6,10 √
3,7,11 √

4,8,12 √

Tabel 6.1 Pertumbuhan Scenedesmus spp. selama 8 hari


Hari ke- Berat Basah Berat Kering Jumlah sel
1
2
3
4
5
6
7
8

Tabel 6.2 Kadar penyerapan pada Scenedesmus spp.


Senyawa Kadar/ Intensitas
Sebelum penelitian Selama periode pengamatan
Amonia
Nitrat
Fosfat

vii. Hasil dan Pembahasan

viii. Kesimpulan
1. Pertumbuhan kultur Scedesmus spp. pada medium BBM menunjukkan jumlah sel
terbanyak apabila dibandingkan dengan perlakuan lain (Toyub et al., 2008)
2. Laju pertumbuhan spesifik kultur Scenedesmus spp. akan meningkat seiring
dengan pertambahan konsentrasi mikroalga hingga mencapai jumlah maksimum
yang juga berhubungan dengan konsentrasi maksimal (Latiffi et al., 2017)
3. Doubling time kultur Scenedesmus spp. adalah selama kurang dari 24 jam apabila
dibandingkan dengan tanaman lainnya (Sivaramakrishnan et al., 2020)
4. Kadar penyerapan nitrogen akan mencapai sekitar 40% dan kadar penyerapan
posfat hingga 47% pada medium kultur Scenedesmus spp. (Oktavia et al., 2014)

ix. Daftar Pustaka


Ariyanti, D., & Handayani, N. A. (2012). Mikroalga sebagai sumber biomasa
terbarukan: Teknik kultivasi dan pemanenan. METANA, 6(02).
Astra, I. M. (2010). Energi dan Dampaknya terhadap Lingkungan. Jurnal
Meteorologi dan Geofisika, 11(2), 131-139.
Elfera Yosta, R., Harimurti, D., & Rachmaniah, O. (2012). Algae spirulina sp. oil
extraction method using the osmotic and percolation and the effect on extractable
components. Jurnal Teknik Kimia, 4(2), 287-294.
Gultom, S. O. (2018). Mikroalga: Sumber Energi Terbarukan Masa Depan. Jurnal
Kelautan: Indonesian Journal of Marine Science and Technology, 11(1), 95-103.
Haris, F. (2012). Pengaruh Perbedaan Suhu terhadap Pertumbuhan dan Kadar Lipid
Mikroalga Scenedesmus sp. yang Dibudidayakan pada Limbah Cair
Tapioka (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim). Diambil dari http://etheses.uin-malang.ac.id/891/. Diakses pada 28
Februari 2021 pukul 21.56 WIB
Krienitz, L., (2009). Algae. Encyclopedia of Inland Waters. Academic Press. Diambil
dari https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B9780123706263001320.
Diakses pada 1 Maret 2021 pukul 00.36 WIB
Latiffi, N. A. A., Mohamed, R. M. S. R., Apandi, N. M., & Tajuddin, R. M. (2017).
Preliminary assessment of growth rates on different concentration of microalgae
scenedesmus sp. in industrial meat food processing wastewater. In MATEC Web
of Conferences (Vol. 103, p. 06010). EDP Sciences.
Oktarina, E. (2017). Alga: potensinya pada kosmetik dan biomekanismenya. Majalah
TEGI, 9(2).
Oktavia, I., Junaidi, J., & Samudro, G. (2014). Pengaruh Ph dan Nutrisi Kalium
Terhadap Penyisihan Parameter Total N dan Total P pada Remediasi Air Rawa
Pening Menggunakan Mikroalga (Doctoral dissertation, Diponegoro University).
Prayitno, J. (2016). Pola pertumbuhan dan pemanenan biomassa dalam fotobioreaktor
mikroalga untuk penangkapan karbon. Jurnal Teknologi Lingkungan, 17(1), 45-
52.
Rhamadani, S. (2015). Pembuatan Biodiesel dari Mikroalga Chlorella Sp (Tinjauan
Pengaruh Temperatur pada Esterifikasi dan Konsentrasi Katalis Koh pada
Transesterifikasi) (Doctoral dissertation, Politeknik Negeri Sriwijaya).
Salim, M. A. (2015). Kadar Lipida Scenedesmus Sp pada Kondisi Miksotrof dan
Penambahan Sumber Karbon dari Hidrolisat Pati Singkong. Jurnal Istek, 9(2).
Sivaramakrishnan, R., Suresh, S., Pugazhendhi, A., Pauline, J. M. N., &
Incharoensakdi, A. (2020). Response of Scenedesmus sp. to microwave
treatment: Enhancement of lipid, exopolysaccharide and biomass
production. Bioresource Technology, 312, 123562.
Toyub, M. A., Miah, M. I., Habib, M. A. B., & Rahman, M. M. (2008). Growth
performance and nutritional value of Scenedesmus obliquus cultured in different
concentrations of sweetmeat factory waste media. Bangladesh Journal of Animal
Science, 37(1), 86-93.
Zainuddin, Z. (2011). Studi keanekaragaman makroalga di Pantai Jumiang Kabupaten
Pamekasan (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim). Diambil dari http://etheses.uin-malang.ac.id/872/. Diakses pada 28
Februari 2021 pukul 20.13 WIB

Anda mungkin juga menyukai