PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari rangkain praktikum yang telah di laksanakan adalah
sebagai berikut :
1.2.1 Asistensi
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui aturan atau tata tertib
yang harus dipatuhi praktikan saat mengikuti kegiatan praktikum.
1.2.2 Pengenalan Alat Laboratorium
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui nama, bentuk, fungsi
serta cara kerja masing-masing alat laboratorium.
1.2.3 Pembuatan larutan stok
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui komposisi hara pada
larutan Murashige dan Skoog (MS) serta mengetahui tahapan dalam
pembuatannya.
1.2.4 Pembuatan media
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui procedure pembuatan
media yang tepat untuk digunakan sebagai media tumbuh kultur jaringan.
1.2.5 isolasi dan penanaman eksplan
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui cara penanaman eksplan
dan mencari faktor penyebab kontaminasi pada kultur jaringan.
1.2.6 inokulasi Rhizibium pada tanaman legume
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui cara inokulasi
Rhizobium pada tanaman legume dan memngetahui simbiosis yang akan terjadi
antara Rhizobium dengan akar tanaman legum.
1.2.7 Biodekomposer
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui defisiensi dekomposisi
sisa tanaman, memngurangi dan mengatasi masalah lingkungan dengan system
pemupukan sampah dan untuk mengetahui cara pembuatan kompos.
1.3 Manfaat Praktikum Bioteknologi
Adapun manfaat Praktikum Bioteknologi bagi mahasiswa pertanian adalah
sebagai berikut:
1. Mahasiswa menjadi akrab dan kenal dengan asisten laboratorium Bioteknologi
dan bagian – bagian yang ada di laboratorium bioteknologi
2. Mahasiswa mengetahui alat – alat yang digunakan dalam laboratorium
bioteknologi dan mengetahui tata cara penggunaan dan fungsinya.
3. Mahasiswa mengetahui dan memahami tata cara pelaksanaan pembuatan
Larutan Stock Murrashige dan Skoog (MS)
4. Mahasiswa mengetahui dan memahami tata cara pembuatan larutan stock
media aseptic perbanyakan tanaman dengan kultur anther, kultur jaringan dan
media embrio rescue
5. Mahasiswa mengetahui dan memahami cara mengisolasi dan penanaman
eksplan dengan baik dan benar sehingga dapat di terapkan dalam kegiatan
penelitian dan pertanian kedepannya
6. Mahasiswa mengetahui dan memahami tata cara pelaksanaan dan mekanisme
inokulasi Rhizobium pada tanaman kcang – kacangan ( Leguminosa ) sehingga
dapat di aplikasikan di masyarakat dan penelitian kedepannya
7. Mahasiswa mengetahui dan memahami tata cara dan mekanisme pembuatan
pupus kompos, sehingga dapat digunakan dalam masyarakat dan penelitian
kedepannya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kedelai
Kedelai merupakan tanaman semusim, berupa semak rendah,tumbuh tegak,
berdaun lembut, dengan beragam morfologi. Tinggi tanaman berkisar 10-200 cm,
dapat bercabang sedikit atau banyak tergantung kultivar dan lingkungan hidup.
Kedelai dapat tumbuh dengan cepat dan dapat mencapai masa panen pada umur 10
minggu setelah penanaman. Tanaman kedelai merupakan tanaman dengan
golongan euhalofit yaitu tanaman leguminosa yang dapat tumbuh dengan kondisi
tanah salin. Morfologi tanaman kedelai didukung oleh komponen utamanya yaitu
akar, daun, batang, bunga, polong dan biji sehingga pertumbuhannya bisa optimal.
(Adisarwanto, 2005).
Menurut Sharma (1993) tanaman kedelai diklasifikasi tanaman sebagai
berikut,
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Classis : Dicotyledoneae
Ordo : Rosales
Familia : Papilionaceae
Genus : Glycine
Species : Glycine max (L.) Merill.
( Sharma, 1993)
Kedelai merupakan salah-satu jenis kacang-kacangan yang dapat
digunakan sebagai sumber protein, lemak, vitamin, mineral dan serat. Kacang
kedelai mengandung sumber protein nabati yang kadar proteinnya tinggi yaitu
sebesar 35% bahkan pada varietas unggul dapat mencapai 40-44%. Selain itu juga
mengandung asam lemak essensial, vitamin dan mineral yang cukup. Di samping
protein, kacang kedelai mempunyai nilai hayati yang tinggi setelah diolah, karena
kandungan susunan asam aminonya mendekati susunan asam amino pada protein
hewani (Koswara, 1992).
Kacang kedelai, sebagai golongan kacang-kacangan, mengandung senyawa
antigizi, antara lain oligosakarida dan asam fitat. Kacang kedelai juga mempunyai
beberapa kelebihan dibandingkan dengan kacang-kacangan lainnya, yaitu
kandungan antitripsin yang sangat rendah, paling mudah dicerna, dan paling kecil
memberi pengaruh flatulensi (Suprapto, 2001).
Menurut para ahli botani, kedelai merupakan tanaman yang berasal dari
Manchuria dan sebagian Cina. Kedelai menyebar ke daerah iklim tropis dan
subtropis, serta dilakukan pemuliaan sehingga dihasilkan berbagai jenis kedelai
bermutu unggul. Kedelai yang dikenal sekarang termasuk dalam famili
Leguminosa, subfamili Papilionidae, genus Glycine dan spesies max, sehingga
nama latinnya menjadi Glycine max. Tanaman ini tumbuh baik pada tanah dengan
pH 4,5. Daerah pertumbuhannya tidak lebih dari 500 m di atas permukaan laut
dengan iklim panas dan curah hujan rata-rata 200 mm/bulan. Umur tanaman
kedelai berbeda-beda tergantung varietasnya, tetapi umurnya berkisar antara 75
sampai 105 hari (Koswara 1992).
Tanaman Kedelai merupakan tanaman polong-polongan yang memiliki
beberapa nama botani yaitu Glycine max (kedelai kuning) dan glycine soja
(kedelai hitam). Bentuk daun kedelai umumnya berbentuk bulat (oval) dan
ujungnya tumpul serta permukaan daun berbulu. Daun kedelai merupakan
tanaman majemuk yang terdiri dari tiga helai anak daun dan umumnya berwarna
hijau muda atau hijau kekuning-kuningan, pada saat sudah tua daun-daunnya akan
rontok. (AAK, 1989)
Kedelai sendiri merupakan tanaman yang mudah dikembangkan karena
pemeliharaan yang cepat dan juga berkualitas, oleh karenanya kedelai digunakan
sebagai salah satu bahan pangan dengan hasil olahan yang dapat dimanfaatkan
manusia pada bagian bijinya ataupun oleh hewan ternak pada bagian daun dan
batang kedelai. Kedelai mempunyai kandungan nutrisi didalamnya yang kaya akan
kandungan protein biji kedelai 41,5%. Kedelai dapat tumbuh pada kondisi suhu
yang beragam. Suhu tanah yang optimal dalam proses perkecambahan yaitu 30oC,
bila kedelai tumbuh pada suhu yang rendah kurang dari 15oC maka proses
perkecambahan menjadi sangat lambat dapat mencapai 2 minggu. Hal ini
dikarenakan perkecambahan biji tertekan pada kondisi kelembaban tanah tinggi,
akibat respirasi air dari dalam biji yang terlalu cepat menyebabkan banyaknya biji
yang mati. Suhu yang dikehendaki tanaman kedelai antara 21 – 34 oC, akan tetapi
suhu optimum bagi pertumbuhan tanaman kedelai 23 – 27oC. (Adie, 2006).
Kedelai merupakan bahan pangan yang sangat popular di dalam kalangan
masyarakat, hampir setiap hari banyak orang yang mengonsumsi makanan olahan
dari kedelai misalnya: tempe, tauge atau kecambah, dan lain-lain. Kandungan
protein yang tinggi pada kedelai dan juga kandungan gizi lainnya yang lengkap.
Apabila ditinjau dari segi harga kedelai merupakan sumber protein yang termurah
sehingga sebagian besar kebutuhan protein nabati dapat dipenuhi dari hasil olahan
kedelai. Biji kedelai tidak dapat dimakan langsung karena mengandung tripsine
inhibitor. Apabila biji kedelai sudah direbus pengaruh tripsin inhibitor dapat
dinetralkan. Kedelai dapat digunakan untuk berbagai macam keperluan, antara
lain untuk makanan manusia, makanan ternak, dan untuk bahan industri (Cahyadi,
2007).
Kedelai dibagi menjadi dua golongan, pertama berdasarkan jenisnya, yaitu
kedelai kuning/putih, kedelai cokelat, kedelai hijau, dan kedelai hitam. Kedua,
menurut umurnya terbagi atas umur pendek (60-80 hari), sedang (90-100 hari),
dan panjang (110-120 hari). Jenis-jenis kedelai tersebut dapat didefinisikan
sebagai berikut: Kedelai kuning, adalah kedelai yang bijinya berwarna kuning
atau putih atau juga hijau yang apabila dipotong melintang akan memperlihatkan
warna kuning pada irisan kepingnya. Kedelai ini biasa dijadikan tahu atau tempe.
Kedelai hitam adalah kedelai yang kulit bijinya berwarna hitam. Kedelai inilah
yang biasanya dijadikan kecap. Kedelai cokelat adalah kedelai yang kulit bijinya
berwarna cokelat. Bentuk biji kedelai bergantung pada kultivarnya, dapat
berbentuk bulat, gepeng, dan sebagian besar bulat telur. Berdasarkan besar dan
bobotnya, kedelai dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1. Kedelai berbiji besar, apabila bobot 100 biji lebih dari 13 gram
2. Kedelai berbiji sedang, apabila bobot 100 biji antara 11-13 gram
3. Kedelai berbiji kecil, apabila bobot 100 biji antara 7-11 gram.
Secara fisik setiap biji kedelai berbeda dalam hal warna, ukuran, dan
bentuk biji serta komposisi kimianya. Perbedaan fisik dan kimia tersebut
dipengaruhi oleh varietas dan kondisi tempat kedelai tersebut tumbuh. Biji kedelai
terdiri dari dua bagian, yaitu kulit biji (testa) dan janin (embrio). Kulit biji ini
beragam warnanya, mulai dari kuning, hijau, cokelat, hitam, atau campuran antara
warna-warna tersebut. Kulit biji terdiri dari tiga sel, sedangkan janin terdiri dari
kotiledon, plumula, dan poros hipokotil bakal akar. Kotiledon merupakan bagian
besar dari biji kedelai yang berisi bahan makanan, sebagian besar terdiri dari
protein dan lemak (Cahyadi 2007).
Kedelai mendapat perhatian besar di seluruh dunia karena berbagai
keunggulan lain yang dimilikinya diantaranya memilki adaptibilitas agronomis
yang tinggi, dapat hidup di daerah tropis dan subtropis, juga di daerah dengan
tanah dan iklim yang memungkinkan tanaman pangan lainnya untuk tumbuhnya,
serta memiliki kandungan gizi yang relatif tinggi dan lengkap sebagaimana
terangkum dalam Tabel 1 (Suprapti, 2003).
Tabel 1. Kandungan gizi kacang kedelai
No Unsur Gizi Kadar/100 g bahan
1 Energi 442 kal
2 Air 7,5 g
3 Protein 34,9 g
4 Lemak 38,1 g
5 Karbohidrat 34,8 g
6 Mineral 4,7 g
7 Kalsium 227 mg
8 Fosfor 585 mg
9 Zat besi 8 mg
10 Vitamin A 33 mcg
11 Vitamin B 1,07 mg
Sumber: Suprapti (2003)
2.3 Rhizobium
Rhizobium merupakan spesies bakteri yang dikenal sebagai bakteri
penambat nitrogen. Bakteri ini dapat menginfeksi akar tanaman kacang–kacangan
(legume) sehingga menimbulkan munculnya bintil akar atau yang disebut dengan
nodul akar sebagai tempat untuk melakukan fiksasi nitrogen. Sistem enzim bakteri
ini dapat memenuhi kebutuhan tanaman inang akan nitrogen secara konstan atau
terus–menerus, dan tanaman inang memenuhi kebutuhan bakteri akan nutrisi dan
energi untuk aktifitasnya (Burdass, 2002).
Bakteri Rhizobium adalah salah satu contoh kelompok bakteri yang
mampu menyediakan hara bagi tanaman. Apabila bersimbiosis dengan tanaman
legum, kelompok bakteri ini akan menginfeksi akar tanaman dan membentuk
bintil akar di dalamnya. Rhizobium hanya dapat memfiksasi nitrogen atmosfer bila
berada di dalam bintil akar dari mitra legumnya. Peranan Rhizobium terhadap
pertumbuhan tanaman khususnya berkaitan dengan ketersediaan nitrogen bagi
tanaman inangnya. (Damanik, 2000)
Bakteri Rhizobium merupakan mikroba yang mampu mengikat nitrogen
bebas yang berada di udara menjadi ammonia (NH3) yang akan diubah menjadi
asam amino yang selanjutnya menjadi senyawa nitrogen yang diperlukan tanaman
untuk tumbuh dan berkembang, sedangkan Rhizobium sendiri memperoleh
karbohidrat sebagai sumber energi dari tanaman inang. (Hanum, 1995)
Bakteri Rhizobium memiliki keunikan dibanding mikroorganisme tanah
lainnya dalam kemampuannya bersimbiosis dengan tanaman legum untuk
menambat N2. Agar dapat melakukan simbiosis, Rhizobium tidak hanya harus
bisa hidup secara saprofit, tetapi juga harus dapat mengalahkan (berkompetisi)
dengan Rhizobium yang lain dalam memperoleh tempat infeksi pada akar tanaman
legum. Oleh karena itu, kemampuan fisiologisnya untuk bertahan dalam keadaan
yang bagaimanapun merupakan syarat yang penting agar dapat beradaptasi pada
lingkungan yang banyak persaingan dan lingkungan tanah yang kompleks
(Rahmawati, 2005).
Surtiningsih, et al. (2009) menjelaskan karakteristik bakteri Rhizobium
secara makroskopis adalah warna koloni putih susu, tidak transparan, bentuk
koloni sirkuler, konveks, semitranslusen, diameter 2 - 4 mm dalam waktu 3 - 5
hari pada agar khamir-manitol-garam mineral. Secara mikroskopis sel bakteri
Rhizobium berbentuk batang, aerobik, Gram negatif dengan ukuran 0,5 - 0,9 x 1,2
- 3 µm, bersifat motil pada media cair, umumnya memiliki satu flagella polar atau
subpolar. Untuk pertumbuhan optimum dibutuhkan temperatur 25 - 30°C, pH 6 -
7 (kecuali galur-galur dari tanah masam). Lebih lanjut Nasikah (2007)
menjelaskan bahwa suhu optimal untuk Rhizobium berkisar 18°C - 26°C, minimal
3°C dan maksimal 45°C. Sedangkan kisaran pH optimal untuk Rhizobium adalah
sedikit di bawah netral hingga agak alkali, kendati demikian pada pH 5,0 beberapa
strain Rhizobium masih dapat bertahan hidup. Bakteri Rhizobium bersifat
kemoorganotropik, yaitu dapat menggunakan berbagai karbohidrat dan garam-
garam asam organik sebagai sumber karbonnya. Organisme ini memiliki ciri khas
yaitu dapat menyerang rambut akar tanaman kacang-kacangan di daerah beriklim
sedang atau beberapa daerah tropis dan mendorong memproduksi bintil-bintil akar
yang menjadikan bakteri sebagai simbiosis intraseluler. Kehadiran bakteri pada
bintil-bintil akar sebagai bentuk pleomorfik di mana secara normal termasuk
dalam fiksasi nitrogen atmosfer ke dalam suatu bentuk penggabungan yang dapat
dimanfaatkan oleh tanaman inang. Semua galur bakteri bintil akar menunjukkan
afinitas terhadap inang.
Spesies Rhizobium tertentu umumnya efektif dengan hanya satu spesies
tanaman legum ataupun dalam setiap kultivar kacang-kacangan. Rhizobium untuk
kacang tanah berbeda dengan Rhizobium untuk kedelai. Spesies Rhizobium
japonicum dan Bradyrhizobium japonicum bersimbiosis dengan kedelai,
Bradyrhizobium spp. bersimbiosis dengan kacang tanah, kacang tunggak, dan
kacang gude, sedangkan Rhizobium phaseoli bersimbiosis dengan kacang hijau.
(Suryantini 1994).
Bakteri Rhizobium secara umum termasuk golongan heterotrof, yaitu
sumber energinya berasal dari oksidasi senyawa-senyawa organik seperti sukrosa
dan glukosa. Dengan demikian, untuk mendapatkan senyawa organik tersebut,
bakteri membutuhkan tanaman inang. Bentuk simbiosis antara tanaman legum
dengan Rhizobium adalah simbiosis mutualisme, karena bakteri dalam
bersimbiosis menginfeksi tanaman dan tanaman menanggapinya dengan
membentuk bintil (nodul). Bakteri Rhizobium memperoleh makanan berupa
mineral, gula/karbohidrat dan air dari tanaman inangnya, sedangkan bakteri
memberi imbalan berupa nitrogen yang ditambatnya dari atmosfer. (Nasikah,
2007)
Bintil akar merupakan bengkakan jaringan akar tumbuhan yang berisi
tumbuhan memanfaatkan sebagian bahan bernitrogen yang dibuat oleh bakteri
dari nitrogen dalam udara yang ada di atas partikel tanah. Simbion menjadikan
tumbuhan pasangan simbiosisnya sebagai sumber nitrogen yang berharga untuk
tanah. Waktu mulai terbentuknya nodul/bintil akar berbeda - beda untuk tiap jenis
tumbuhan inang. Nodul atau bintil akar tanaman kedelai terbentuk pada umur 4 -
5 hst yaitu sejak terbentuknya akar tanaman, dan dapat mengikat nitrogen dari
udara pada umur 10 - 12 hst, tergantung kondisi lingkungan tanah dan suhu. Suhu
lingkungan seperti kelembaban yang cukup dan suhu tanah sekitar 25°C sangat
mendukung dalam pertumbuhan bintil akar. Perbedaan warna hijau daun pada
awal pertumbuhan (10 - 15 hst) merupakan indikasi efektivitas Rhizobium.
Adisarwanto (2005).
Rhizobium masuk ke dalam akar legum melalui rambut akar atau secara
langsung ke titik munculnya akar lateral. Rambut akar merupakan bagian tanaman
yang pertama kali dapat memberikan respon karena terinfeksi Rhizobium. Di
dalam bintil akar tidak hanya terdapat satu strain Rhizobium saja, mungkin dua
atau lebih strain hidup bersama-sama di dalam satu bintil akar. Meskipun
demikian, beberapa genus hanya ditemukan pada tanaman inang tertentu
(spesifik) saja. Strain Rhizobium mampu menginfeksi legum dengan melepaskan
polisakarida spesifik yang menyebabkan lebih banyak aktivitas pektolitik oleh
akar. Beberapa berpendapat bahwa robekan mekanik terjadi di mana Rhizobium
masuk ke dinding rambut akar yang pecah dan Rhizobium terperangkap sampai
rambut akar yang telah berubah bentuk terbungkus kembali (Dewi, 2007).
Ada dua tipe nodula, yaitu efektif dan inefektif. Nodula efektif dibentuk
oleh strain efektif dari Rhizobium. Nodula ini berkembang dengan baik, berwarna
merah muda akibat adanya pigmen leghaemoglobin. Jaringan bakteroid
berkembang baik dan terorganisasi dengan baik dengan banyak bakteroid (Dewi,
2007).
2.4 Kompos
Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran
bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai
macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau
anaerobik (J.H. Crawford, 2003).
Menurut Sutedjo (2002), kompos merupakan zat akhir suatu proses
fermentasi, tumpukan sampah/ seresah tanaman dan ada kalanya pula termasuk
bingkai binatang. Sesuai dengan humifikasi fermentas suatu pemupukan,
dirincikan oleh hasil bagi C/N yang menurun. Perkembangan mikrobia
memerlukan waktu agar tercapai suatu keadaan fermentasi yang optimal. Pada
kegiatan mempercepat proses dipakai aktifator, baik dalam jumlah sedikit
ataupun banyak, yaitu bahan dengan perkembangan mikrobia dengan fermentasi
maksimum. Aktifator misalnya: kotoran hewan. Akhir fermentasi untuk C/N
kompos 15 – 17.
Sampah terdiri dari dua bagian, yaitu bagian organik dan anorganik. Rata-
rata persentase bahan organik sampah mencapai ±80%,sehingga pengomposan
merupakan alternatif penanganan yang sesuai. Kompos sangat berpotensi untuk
dikembangkan mengingat semakin tingginya jumlah sampah organik yang
dibuang ke tempat pembuangan akhir dan menyebabkan terjadinya polusi bau dan
lepasnya gas metana ke udara. (Rohendi, 2005).
Pertanian organik menjadi hal yang saat ini sedang dikembangkan
dengan pesat.Hal ini dilata rbelakangi dengan masalah,dimana semakin jenuhnya
pemberian pupuk yang berasal dari industri. Tanah semakin kering, semakin
kurangnya kandungan hara organik yang pada akhirnya
merugikan petani.Dasar inilah diperlukan upaya dalam peningkatan kebutuhan
bahan organik bagi tanaman.Salah satunya adalah dengan memanfaatkan sisa-sisa
bahan organik untuk diolah menjadi kompos.
Secara garis besar membuat kompos berarti merangsang pertumbuhan
bakteri (mikroorganisme) untuk menghancurkan atau menguraikan bahan-bahan
yang dikomposkan sehingga terurai menjadi senyawa lain.Proses yang terjadi
adalah dekomposisi, yaitu menghancurkan ikatan organik molekul besar menjadi
molekul yang lebih kecil, mengeluarkan ikatan CO 2 dan H2O serta penguraian
lanjutan yaitu transformasi ke dalam mineral atau dari ikatan organik menjadi
anorganik.Proses penguraian tersebut mengubah unsur hara yang terikat dalam
senyawa organik yang sukar larut menjadi senyawa organik yang larut sehingga
dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Membuat kompos adalah mengatur dan
mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat.Proses
pengomposan oleh bahan organik mengalami penguraian secara
biologis,khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik
sebagai sumber energi.Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses
alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi
membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, mengaturan
aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan.
Karakteristik umum yang dimiliki kompos antara lain : mengandung unsur
hara dalam jenis dan jumlah yang bervariasi tergantung bahan asal, menyediakan
unsur secara lambat (slow release) dan dalam jumlah terbatas dan mempunyai
fungsi utama memperbaiki kesuburan dan kesehatan tanah. Kehadiran kompos
pada tanah menjadi daya tarik bagi mikroorganisme untuk melakukan aktivitas
pada tanah dan, meningkatkan meningkatkan kapasitas tukar kation. Hal yang
terpenting adalah kompos justru memperbaiki sifat tanah dan lingkungan,
(Dipoyuwono, 2007).
Dengan mengetahui bahwa kualitas kompos sangat dipengaruhi oleh
proses pengolahan, sedangkan proses pengolahan kompos sendiri sangat
dipengaruhi oleh kelembaban dan perbandingan C dan N bahan baku, maka untuk
menentukan standarisasi kompos adalah dengan membuat standarisasi proses
pembuatan kompos serta standarisasi bahan baku kompos, sehingga diperoleh
kompos yang memiliki standar tertentu. Setelah standar campuran bahan baku
kompos dapat dipenuhi yaitu kelembaban ideal 50 – 60 persen dan mempunyai
perbandingan C / N bahan baku 30 :terdapat hal lain yang harus sangat
diperhatikan selama proses pembuatan kompos itu berlangsung, yaitu harus
dilakukan pengawasan terhadap:
1. Temperatur
2. Kelembaban
3. Odor atau Aroma, dan
4. pH
Faktor – faktor yang mempengaruhi proses pengomposan yaitu :
1. Rasio C/N
Rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30: 1
hingga 40:1. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan
menggunakan N untuk sintesis protein. Pada rasio C/N di antara 30 s/d 40
mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila
rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein
sehingga dekomposisi berjalan lambat.
2. Ukuran Partikel Aktivitas
Ukuran Partikel Aktivitas mikroba berada diantara permukaan area dan
udara. Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba
dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel
juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Untuk meningkatkan
luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan
tersebut.
3. Aerasi Pengomposan
Aerasi Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup
oksigen (aerob). Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan
suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk
ke dalam tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh posiritas dan kandungan air
bahan(kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi proses anaerob
yang akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan dengan
melakukan pembalikan atau mengalirkan udara di dalam tumpukan kompos.
4. Porositas
Porositas adalah ruang diantara partikel di dalam tumpukan kompos.
Porositas dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total.
Rongga-rongga ini akan diisi oleh air dan udara. Udara akan mensuplay Oksigen
untuk proses pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh air, maka pasokan
oksigen akan berkurang dan proses pengomposan juga akan terganggu.
5. Kelembaban (Moisture content)
Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses
metabolisme mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplai oksigen.
Kelembaban 40 – 60 % adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba.
Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan
dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban lebih
besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas
mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan
bau tidak sedap.
6. Temperatur/suhu panas dihasilkan dari aktivitas mikroba.
Semakin tinggi temperatur akan semakin banyak konsumsi oksigen dan
akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi
dengan cepat pada tumpukan kompos. Temperatur yang berkisar antara 30 – 60oC
menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Suhu yang lebih tinggi dari
60oC akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba thermofilik saja yang
akan tetap bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba-
mikroba patogen tanaman dan benih-benih gulma.
1. Ph
Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH yang
optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6.5 sampai 7.5
2. Lama pengomposan
Lama waktu pengomposan tergantung pada karakteristik bahan yang
dikomposakan, metode pengomposan yang dipergunakan dan dengan atau tanpa
penambahan aktivator pengomposan. Secara alami pengomposan akan
berlangsung dalam waktu beberapa minggu sampai 2 tahun hingga kompos benar-
benar matang.(Jakmi,2009)
Mengetahui kematangan kompos dapat diketahui dengan beberapa cara
yaitu :
1. Dicium
Kompos yang sudah matang berbau seperti tanah dan harum. Apabila
kompos tercium bau yang tidak sedap, berarti terjadi fermentasi anaerobik dan
menghasilkan senyawasenyawa berbau yang mungkin berbahaya bagi tanaman.
Apabila kompos masih berbau seperti bahan mentahnya berarti kompos masih
belum matang.
2. Kekerasan bahan
Kompos yang telah matang akan terasa lunak ketika dihancurkan. Bentuk
kompos mungkin masih menyerupai bahan asalnya, tetapi ketika diremas – remas
akan mudah hancur.
3. Warna kompos
Kompos yang sudah matang adalah coklat kehitam – hitaman. Apabila
kompos masih berwarna hijau atau warnanya mirip dengan bahan mentahnya
berarti kompos tersebut belum matang. Selama proses pengomposan pada
permukaan kompos seringkali juga terlihat miselium jamur yang berwarna putih.
4. Penyusutan
Terjadi penyusutan volume/bobot kompos seiring dengan kematangan
kompos. Besarnya penyusutan tergantung pada karakteristik bahan mentah dan
tingkat kematangan kompos. Penyusutan berkisar antara 20 – 40 %. Apabila
penyusutannya masih kecil/sedikit, kemungkinan proses pengomposan belum
selesai dan kompos belum matang.
5. Suhu
Suhu kompos yang sudah matang mendekati dengan suhu awal
pengomposan. Suhu kompos yang masih tinggi, atau di atas 50oC, berarti proses
pengomposan masih berlangsung aktif dan kompos belum cukup matang.
Sifat khusus dari pupuk organik antara lain kandungan hara rendah dan
sangat beragam, pelepasan hara terjadi secara lambat, penyediaan hara dengan
jumlah terbatas. Keunggulan dalam pemanfaatan pupuk organik antara lain adalah
perbaikan pada sifat fisik tanah, perkayaan kandungan kimiawi tanah lebih
berimbang, meningkatkan biodiversitas kehidupan biologi tanah, dan aman bagi
lingkungan. Walaupun demikian pupuk organik juga memiliki kelemahan antara
lain memerlukan jumlah besar bagi satu musim tanaman, jumlah dan jenis hara
sangat beragam, voluminous/bulky dalam transportasi dan dosisi lapangan,
berdampak negatif jika diberikan belum matang benar.
Secara umum strategi untuk mempercepat proses pengomposan dapat
dikelompokan menjadi tiga, yaitu:
1. Menanipulasi kondisi/faktor – faktor yang berpengaruh pada proses
pengomposan.
2. Menambahkan organisme yang dapat mempercepat proses pengomposan:
mikroba pendegradasi bahan organik dan vermikompos (cacing).
3. Menggabungkan strategi pertama dan kedua.
2.5 Dekomposisi
2.5.1 Dekomposisi Secara Umum
Dekomposisi adalah perubahan fisik maupun kimiawi yang sederhana oleh
mikroorganisme tanah (bakteri, fungi dan hewan tanah lainnya) atau sering
disebut juga mineralisasi yaitu proses penghancuran bahan organik yang berasal
dari hewan dan tanaman menjadi senyawa-senyawa organik sederhana (Sutedjo et
al. 1991).
Dekomposisi merupakan proses yang sangat komplek yang melibatkan
beberapa faktor (Dezzeo et al. 1998 dalam Staf Unila 2012). Sampah daun,
ranting- ranting dan kayu yang mencapai tanah akan membusuk dan secara
bertahap akan dimasukkan ke dalam horizon mineral tanah melalui aktivitas
organisme tanah. Dekomposisi merupakan suatu proses yang terjadi pada setiap
bahan organik (bahan-bahan hayati yang telah mati). Tanaman yang gugur akan
mengalami dekomposisi dengan ciri-ciri daunnya hancur seperti tanah dengan
warna coklat kehitaman yang menunjukkan tingkat dekomposisinya. Proses
dekomposisi secara umum terjadi pada tiga tahapan: tahap dekomposisi aerobik
yang mendominasi seluruh proses, prosesnya sangat pendek hal ini disebabkan
karena jumlah oksigen yang terbatas, BOD tinggi hasil sampah darat. Tahap
kedua dari proses anerobik terjadi ketika jumlah populasi bakteri methanoigenesis
tinggi proses (Salisbury, 1992 dalam Zamroni, 2008).
2.5.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Dekompoisisi
Proses dekomposisi serasah antara lain dipengaruhi oleh kualitas (sifat
fisika dan kimia) serasah tersebut dan beberapa faktor lingkungan. Faktor
lingkungan yang terdiri dari organisme dalam tanah, curah hujan, suhu dan
kelembaban tempat dekomposisi berlangsung. Faktor penting yang berpengaruh
terhadap proses dekomposisi suatu bahan atau serasah adalah kualitas (sifat fisika
dan kimia). Tingkat kekerasan daun dan beberapa sifat kimia seperti kandungan
awal (initial content) lignin,selulosa,dan karbohidrat berpengaruh terhadap tingkat
dekomposisi serasah daun (Hardiwinoto, 1994).
Osono dan takeda (2006) dalam Saputra, 2014, menambahkan bahwa
kecepatan dekomposisi serasah daun dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah:
1) Tipe serasah
Kandungan senyawa yang terkandung di dalam seresah seperti kandungan
lignin, selulosa, dan karbohidratnya. Tipe seresah mempengaruhi kemampuan
suatu mikroba untuk mendekomposisi senyawa-senyawa kompleks yang
terkandung di dalam seresah, dimana lignin akan lebih susah untuk
didekomposisi, selanjutnya selulosa dan gula sederhana adalah senyawa
berikutnya yang relatif cepat didekomposisi.
2) Temperatur
Donelly et al.(1990) dalam Saputra, 2014, menyatakan bahwa kecepatan
dekomposisi tertinggi ditunjukan pada suhu 24 ºC. Suhu merupakan parameter
fisika yang mempengaruhi sifat fisiologi mikroorganisme yang hidup lingkungan
tersebut. Setiap peningkatan suhu sebesar 10oC akan meningkatkan laju
metabolisme organisme menjadi dua kali lipat (Nontji et al., 1980).Akan tetapi
penambahan suhu maksimal dapat mematikan mikroorganisme pendegradasi
seresah.
3) Pengaruh pH
Aktivitas enzim selulase dipengaruhi oleh pH, dimana aktivitas selulase
yang tinggi menurut Kulp (1975),bahwa pH optimum untuk aktivitas selulase
kapang berkisar antara 4,5-6,5. Enzim pada umumnya hanya aktif pada kisaran
pH yang terbatas.Nilai pH optimum suatu enzim ditandai dengan menurunnya
aktivitas pada kedua sisi lainnya dari kurva yang disebabkan oleh turunnya
afinitas atau stabilitas enzim.Pengaruh pH pada aktivitas enzim disebabkan oleh
terjadinya perubahan tingkat ionisasi pada enzim atau substrat sebagai akibat
perubahan Ph (Irawadi,1991) dalam Saputra,2014
Tingkat penutupan (tebal tipisnya) lapisan serasah pada permukaan tanah
berhubungan erat dengan laju dekomposisinya (pelapukannya). Semakin lebat
terdekomposisi maka keberadaannya dipermukaan tanah menjadi lebih lama
(Hairiah et al., 2000) dalam Saputra, 2014.
Barbour et al., (1987) dalam Saputra, 2014 mengatakan bahwa laju
dekomposisi serasah berbeda antara satu ekosistem dengan ekosistem lainnya.
Laju ini terutama dipengaruhi oleh kelembapan udara, organisme flora dan fauna
mikro dan kandungan kimia dari serasah.
4) Iklim
Hal ini menjadi penting karena iklim dapat memperlambat bahkan
mempercepat terjadinya proses dekomposisi seperti curah hujan, angina, dan suhu
pada saat proses berlangsung (Bohn, 1979 dalam Saputra, 2014).
5) Tipe Penggunaan Lahan
Tipe penggunaan lahan dimana lahan tersebut berfungsi sebagai sumber
bahan organik yang baik bagi lahan tersebut yaitu ditumbuhi tanaman yang dapat
mengalami dekomposisi (Bohn, 1979 dalam Saputra, 2014).
6) Bentuk Lahan
Hal ini membantu dekomposisi pada proses pengumpulan bahan-bahan
organik tersebut yaitu pada saat pengambilan bahan akan diperoleh bahan yang
pada daerah yang tidak terjal dimana bahan akan tertampung sedangkan pada
daerah yang mempunyai keemiringan tinggi kemungkinan bahan akan ikut
dengan air hujan menuju kebawah (Bohn, 1979 dalam Saputra, 2014).
2.7 Media
Media merupakan faktor utama dalam perbanyakan dengan kultur
jaringan. Keberhasilan perbanyakan dan perkembangbiakan tanaman dengan
metode kultur jaringan secara umum sangat tergantung pada jenis media. Media
tumbuh pada kultur jaringan sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan
perkembangan eksplan serta bibit yang dihasilkannya. Oleh karena itu, macam-
macam media kultur jaringan telah ditemukan sehingga jumlahnya cukup banyak.
Nama-nama media tumbuh untuk eksplan ini biasanya sesuai dengan nama
penemunya.
Media tumbuh untuk eksplan berisi kualitatif komponen bahan kimia yang
hampir sama, hanya agak berbeda dalam besarnya kadar untuk tiap-tiap
persenyawaan. Media dasar yang sering digunakan dalam kultur jaringan
Anthurium sendiri adalah media MS dan modifikasinya. Pada umumnya
komposisi utama media tanam kultur jaringan, terdiri dari hormon (zat pengatur
tumbuh) dan sejumlah unsur yang biasanya terdapat di dalam tanah yang
dikelompokkan ke dalam unsur makro, unsur mikro. Hasil yang lebih baik akan
dapat kita peroleh bila, kedalam media tersebut, ditambahkan vitamin, asam
amino, dan hormon, bahan pemadat media (agar), glukosa dalam bentuk gula
maupun sukrosa, air destilata (akuades), dan bahan organik tambahan (Gunawan,
1992).
2.7.1 Macam – macam Media untuk Kultur Jaringan
Berikut ini adalah perbandingan komposisi beberapa media kultur jaringan,
yaitu diantaranya:
1. Media Murashige & Skoog (media MS)
Media MS paling banyak digunakan untuk berbagai tujuan kultur,
merupakan perbaikan komposisi media Skoog, Pertama kali unsur-unsur makro
dalam media MS dibuat untuk kultur kalus tembakau, tetapi komposisi MS ini
sudah umum digunakan untuk kultur jaringan jenis tanaman lain Media MS
mengandung 40 mM N dalam bentuk NO3 dan 29 mM N dalam bentuk NH4+.
Kandungan N ini, lima kali lebih tinggi dari N total yang terdapat pada media
Miller, 15 kali lebih tinggi dari media tembakau Hildebrant, dan 19 kali lebih
tinggi dari media White. Kalium juga ditingkatkan sampai 20 mM, sedangkan P,
1.25 mM. Unsur makro lainnya konsemtrasinya dinaikkan sedikit. Pada tahun-
tahun sesudah penemuan media MS, dikembangkan media-media lain berdasarkan
media MS tersebut, antara lain media : 1. Lin & Staba, menggunakan media
dengan setengah dari komposisi unsur makro MS, dan memodifikasi : 9 mM
ammonium nitrat yang seharusnya 10mM, sedangkan KH2 PO4 yang dikurangi
menjadi 0.5 Mm, tidak 0.625 mM. Larutan senyawa makro dari media Lin &
Staba, kemudian digunakan oleh Halperin untuk penelitian embryogenesis kultur
jaringan wortel dan juga digunakan oleh Bourgin & Nitsch (1967 dalam Gunawan
1988) serta Nitsch & Nitsch (1969 dalam Gunawan 1988) dalam penelitian kultur
anther.
Modifikasi media MS yang lain dibuat oleh Durzan et alI (1973 dalam
Gunawan 1988) untuk kultur suspensi sel white spruce dengan cara mengurangi
konsentrasi K+ dan NO3-, dan menambah konsentrasi Ca2+ nya. 3. Chaturvedi et
al (1978) mengubah media MS dengan menurunkan konsentrasi NO3-, K+, Ca2+,
Mg2+ dan SO4-2 untuk keperluan kultur pucuk Bougainvillea glabra.
2. Media Schenk & Hildebrant (media SH)
Merupakan media yang juga cukup terkenal, untuk kultur kalus tanaman
monokotil dan dikotil (Trigiano & Gray, 2000). Konsentrasi ion-ion dalam
komposisi media SH sangat mirip dengan komposisi pada media Gamborg dengan
perbedaan kecil yaitu level Ca2+, Mg2+, dan PO4-3 yang lebih tinggi. Schenk &
Hildebrant mempelajari pertumbuhan jaringan dari 37 jenis tanaman dalam media
SH dan mendapatkan bahwa: 32 % dari spesies yang dicobakan, tumbuh dengan
sangat baik, 19% baik, 30% sedang, 14% kurang baik, dan 5% buruk
pertumbuhannya. Tetapi karena zat tumbuh yang diberikan pada tiap jenis
tanaman tersebut berbeda. Media SH ini cukup luas penggunaannya, terutama
untuk tanaman legume.
3. Media WPM (Woody Plant Medium)
Dikembangkan oleh Lioyd & Mc Coen pada tahun 1981, merupakan
media dengan konsentrasi ion yang lebih rendah dari media MS. Media
diperuntukkan khusus tanaman berkayu, dan dikembangkan oleh ahli lain, tetapi
sulfat yang digunakan lebih tinggi dari sulfat pada media WPM. Saat ini WPM
banyak digunakan untuk perbanyakan tanaman hias berperawakan perdu dan
pohon-pohon.
4. Media Nitsch & Nitsch
Menggunakan NO3- dan K+ dengan kadar yang cukup tinggi untuk
mengkulturkan jaringan tanaman artichoke Jerussalem. Penambahan ammonium
khlorida sebanyak 0.1 mM, menghasilkan pertumbuhan jaringan yang menurun.
Mereka mengambil kesimpulan, bahwa NH4+ sangat menunjang pertumbuhan
kalus tembakau (Miller et al, (1956 dalam Gunawan 1988).
5. Media Knop
Dapat juga digunakan untuk menumbuhkan kalus wortel. Kultur kalus,
biasanya ditumbuhkan pada media dengan kosentrasi garam-garam yang rendah
seperti dalam kultur akar dengan penambahan suplemen seperti glucosa, gelatine,
thiamine, cysteine-HCl dan IAA (Dodds and Roberts, 1983).
6. Media White
Dikembangkan oleh Hildebrant untuk keperluan kultur jaringan tumor
bunga matahari, ditemukan bahwa unsur makro yang dibutuhkan kultur tersebut,
lebih tinggi dari pada yang dibutuhkan oleh kultur tembakau. Unsur F, Ca, Hg dan
S, pada media untuk tumor bunga matahari ini, sama dengan media untuk jaringan
normal yang dikembangkan kemudian.
Konsentrasi NO3- dan K+ yang digunakan Hildebrant ini lebih tinggi dari
media white, tetapi masih lebih rendah dari pada media-media lain yang umum
digunakan sekarang.
7. Media Knudson dan media Vacin and Went
Media ini dikembangkan khusus untuk kultur anggrek. Tanaman yang
ditanam di kebun dapat tumbuh dengan baik dengan pemupukan yang hanya
mengandung N dari Nitrat. S Knudson pada tahun 1922, menemukan penambahan
7.6 mM NH4+ disamping 8.5 mM NO3-, sangat baik untuk perkencambahan dan
pertumbuhan biji anggrek. Penambahan NH4+ ternyata dibutuhkan untuk
perkembangan protocorm.
8. Media B5(Gamborg)
Dalam metode kultur in vitro dikenal beberapa macam jenis media dasar
diantaranya media Murashige dan Skoog (MS) dan Gamborg (B5). Media B5
dikembangkan oleh Gamborg et al. pada tahun 1968 untuk kultur suspensi
kedelai. Pertama kali dikembangkan untuk kultur kalus kedelai dengan
konsentrasi nitrat dan amonium lebih rendah dibandingkan media MS. Untuk
selanjutnya media B5 dikembangkan untuk kultur kalus dan suspensi, serta sangat
baik sebagai media dasar untuk meregenerasi seluruh bagian tanaman. Pada masa
ini media B5 juga digunakan untuk kultur-kultur lain.
Media ini dikembangkan dari komposisi PRL-4, menggunakan konsentrasi
NH4+ yang rendah, karena konsentrasi yang lebih tinggi dari 2 mM menghambat
pertumbuhan sel kedelai. Tetapi peneliti lain melaporkan bahwa konsentrasi
NH4+ yang tinggi sampai 20 mM berpengaruh baik dalam kultur jaringan seperti
pada kultur kalus tembakau Konsentrasi fosfat yang diberikan pada media tersebut
adalah 1mM , Ca+ antara 1-4 mM, dan Mg antara 0,5-4 mM lebih mengutamakan
kandungan ammonium dibandingkan media MS.
Meskipun media B5 pada awalnya digunakan untuk menginduksi kalus
atau diutamakan sebagai kultur suspensi, tetapi dapat digunakan pula sebagai
media dasar bagi perbanyakan tanaman pada umumnya. Gamborg (1991)
menyatakan bahwa kadar hara anorganik yang dikandung media dasar Gamborg
(B5) umumnya lebih rendah dari pada media dasar MS. Hal tersebut sering kali
lebih baik bagi sel spesies tertentu. Untuk selanjutnya media B5 dikembangkan
untuk kultur kalus dan suspensi, serta sangat baik sebagai media dasar untuk
meregenerasi seluruh bagian tanaman (Hendaryono 2002)
2.7.3 Komposisi Media MS Serta Fungsi
Menurut ( Mattimena, 1992 ) Media dalam kultur jaringan tanaman umumnya
terdiri dari komponen-komponen sebagai berikut:
1. Hara makro
Terdiri dari enam unsur utama yang dibutuhkan untuk pertumbuhan sel dan
jaringan tanaman, yaitu: nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K), kalsium (Ca),
magnesium (Mg) dan sulfur (S). Media kultur harus mengandung sedikitnya 25-
60 mM nitrogen anorganik untuk pertumbuhan sel tanaman. Sel-sel tanaman
mungkin dapat tumbuh pada sumber N dari nitrat saja, tetapi diketahui bahwa
pertumbuhan yang lebih baik adalah apabila mengandung nitrat dan amonium.
Nitrat yang disediakan umumnya berkisar 25-40 mM, konsentrasi amonium
berkisar antara 2-20 mM. Akan tetapi untuk beberapa spesies tanaman konsentrasi
amonium > 8 mM akan menghambat pertumbuhan sel. Sel-sel dapat tumbuh
dalam media kultur yang hanya mengandung amonium sebagai sumber nitrogen
jika satu atau lebih terdapat asam-asam yang terlibat dalam siklus TCA (seperti
sitrat, suksinat, atau malat) juga terdapat dalam media pada konsentrasi sekitar 10
mM. Apabila nitrat dan amonium sebagai sumber nitrogen digunakan bersama
dalam media maka ion-ion amonium akan digunakan lebih cepat dibandingkan
dengan ion-ion nitrat. Kalium dibutuhkan untuk pertumbuhan sel bagi sebagian
besar spesies tanaman. Umumnya media mengandung kalium (dalam bentuk nitrat
atau klorida) pada konsentrasi 20-30 mM. Konsentrasi optimum untuk unsur P,
Mg, S dan Ca berkisar antara 1-3 mM. Konsentasi yang lebih tinggi dari hara-hara
tersebut mungkin diperlukan jika terjadi defisiensi dari hara yang lain.
(Gunawan,1988)
2. Hara mikro
Unsur hara mikro yang paling dibutuhkan untuk petumbuhan sel dan
jaringan tanaman mencakup besi (Fe), mangan (Mn), seng (Zn), boron (B), terusi
(Cu) dan molibdenum (Mo). Besi dan seng yang digunakan dalam pembuatan
media harus dalam bentuk yang ter ”chelate”. Besi adalah yang paling kritis
diantara semua hara mikro. Besi sitrat dan tartrat dapat digunakan untuk media
kultur, tetapi senyawa ini sulit untuk larutdan biasanya akan terpresipitasi setelah
media dibuat. Masalah ini dipecahkan oleh Murashige & Skoog dengan men
”chelate” besi dengan menggunakan asam etilen diamintetraasetik (EDTA). Kobal
(Co) dan iodin (I) juga dapat ditambahkan dalam media tetapi kebutuhan yang
jelas untuk pertumbuhan sel belum diketahui. Natrium (Na) dan klorida (Cl) juga
digunakan pada beberapa media tetapi tidak begitu penting untuk pertumbuhan
sel. Konsentrasi Cu dan Co yang biasanya ditambahkan pada media sekitar 0.1
µM, Fe dan Mo 1 µM, I 5µM, Zn 5-30 µM, Mn 20-90 µM, dan B 25-100µM.
(Gunawan,1988)
3. Vitamin
Pada beberapa media kultur juga sering ditambahkan vitamin-vitamin
seperti biotin, asam folat, asam askorbat, asam panthotenat, vitamin E (tokoperol),
riboflavin, dan asam p-aminobenzoik. Meskipun vitamin-vitamin tersebut bukan
merupakan faktor pembatas pertumbuhan, tetapi sering memberikan keberhasilan
dalam kultur sel dan jaringan tanaman. Biasanya penambahan vitamin-vitamin
tersebut ke dalam media dilakukan apabila konsentrasi thiamin dianggap dibawah
taraf yang diinginkan atau apabila jumlah populasi sel-sel yang tumbuh masih
rendah. (Gunawan,1988)
4. Asam amino atau suplemen nitrogen lainnya
Sumber nitrogen organik yang paling banyak digunakan dalam media kultur
adalah asam amino campuran (casein hidrolisat), L-glutamin, L-asparagin, dan
adenin. Casein hidrolisat umumnya digunakan pada konsentrasi antara 0.05-0.1%.
Asam amino biasanya ditambahkan pada media terdiri dari beberapa macam,
karena sering diperoleh bahwa penambahan satu jenis asam amino saja justru
dapat menghambat pertumbuhan sel. (Gunawan,1988)
5. Karbon dan sumber energi
Sumber karbohidrat yang biasanya digunakan dalam media kultur adalah
sukrosa. Glukosa dan fruktosa dalam beberapa hal dapat digunakan sebagai
pengganti sukrosa, dimana glukosa mempunyai efektivitas yang sama dengan
sukrosa dibanding dengan fruktosa. Karbohidrat lain yang pernah dicobakan
adalah laktosa, galaktosa, rafinosa, maltosa dan pati, tetapi semua karbohidrat
tersebut umumnya mempunyai hasil yang kurang baik dibandingkan sukrosa atau
fruktosa. Konsentrasi sukrosa normal dalam media kultur berkisar antara 2 dan
3%. Karbohidrat harus tersedia dalam media kultur karena sangat sedikit sel dari
jenis tanaman yang diisolasi dapat bersifat autotropik, yaitu kemampuan
menyediakan kebutuhan karbohidrat sendiri melalui asimilasi CO2 selama proses
fotosintesa. Sukrosa dalam media kultur secara cepat akan diurai menjadi fruktosa
dan glukosa. Glukosa adalah yang pertama digunakan oleh sel, diikuti oleh
fruktosa. Saat media disterilisasi dengan autoclave, sebagian sukrosa akan
mengalami hidrolisa. Apabila sukrosa yang diautoklap ada bersama komponen
media lain maka proses hidrolisa akan lebih besar. Kultur dari beberapa spesies
tanaman akan tumbuh baik pada media yang sukrosanya diautoklap dibandingkan
dengan media yang sukrosanya disterilisasi dengan filter. Hal ini dimungkinkan
akan menguntungkan sel-sel karena tersedianya glukosa dan fruktosa
(Gunawan,1988)
6. Bahan organik komplek
Pengaruh arang aktif umumnya diarahkan pada salah satu dari tiga hal
berikut: penyerapan senyawa-senyawa penghambat, penyerapan zat pengatur
tumbuh atau menggelapkan warna media. Penghambatan pumbuhan karena
kehadiran arang aktif umumnya karena arang aktif dapat menyerap ZPT. NAA,
kinetin, BAP, IAA dan 2iP semuanya dapat terikat oleh artang aktif. IAA dan 2iP
merupakan ZPT yang paling cepat terikat oleh arang aktif. Arang aktif dapat
menstimulasi pertumbuhan sel umumnya karena kemampuan arang aktif mengikat
senyawa fenol yang bersifat toksik yang diproduksi biakan selama dalam kultur.
Konswentrasi aArang aktif yang ditambahkan kedalam media kultur umumnya
sebanyak 0.5-3%. (Gunawan,1988)
7. Bahan pemadat (agar)
Media kultur jaringan tanaman dapat dibuat padat atau semi padat, yaitu
dengan penambahan bahan pemadat berupa agar. Dibandingkan bahan pemadat
lain, agar mempunyai beberapa keuntungan, yaitu (i) saat dicampur dengan air,
agar akan terbentuk bila dilelehkan pada suhu 60o-100oC dan memadat pada suhu
45oC; (ii) gel agar bersifat stabil pada suhu inkubasi; (iii) agar gel tidak bereaksi
dengan komponen dalam media dan tidak dicerna oleh ensim tanaman. Kualitas
fisik agar dalam media kultur tergantung pada konsentrasi dan merek agar yang
diguinakan serta pH media. Konsentrasi agar yang digunakan dalam media kultur
berkisar antara 0.5-1%, dengan catatan pH media sesuai dengan aturan.
Penggunaan arang aktif (0.8-1%) dapat mempengaruhi kepadatan agar yang
terbentuk.Kemurnian agar yang digunakan dalam media kultur juga merupakan
faktor yang penting. Agar yang mengandung garam-garam Ca, Mg, K dan Na
dapat mempengaruhi ketersediaan hara dalam media. (Gunawan,1988).
8. Zat pengatur tumbuh (hormon).
Terdapat empat klas zat pengatur tumbuh (ZPT) yang penting dalam kultur
jaringan tanaman, yaitu: auksin, sitokinin, giberelin dan asam absisik. Skoog dan
Miller adalah yang pertama melaporkan bahwa perbandingan auksin dan sitokinin
menentukan jenis dan berapa besar proses organogenesis dalam kultur jaringan
tanaman. Auksin dan sitokinin yang ditambahkan kedalam media kultur
mempunyai tujuan untuk mendapatkan morfogenesis, meskipun perbandingannya
untuk mendapatkan induksi akar dan tunas bervariasi baik ditingkat genus, spesies
bahkan kultivar. Sitokinin yang ditrambahkan dalam media kultur umumnya
ditujukan untuk menstimulasi pembelahan sel, menginduksi pembentukan tunas
dan proliferasi tunas aksiler, dan untuk menghambat pembentukan akar.
Mekanisme kerja sitokinin tidak secara pasti diketahui, namun demikian beberapa
senyawa yang mempunyai aktivitas mirip sitokinin diketahui terlibat dalam
transfer-RNA (t-RNA). Sitokinin juga menunjukkan dapat mengaktivasi sintesa
RNA dan menstimulasi aktivitas protein dan enzim pada jaringan tertentu.
(Gunawan,1988).
2.7.3 Teknik Aseptik dalam Pembuatan Media
Teknik aseptik adalah teknik pemindahan mikroba denganmenggunakan
alat-alat yang steril serta aturan laboratorium tertentu agar tidak terjadi
kontaminasi di dalam kultur tersebut.Teknik aseptik adalah langkah-langkah yang
diambil agar dalam percobaan di laboratorium sehingga diperoleh hasil yang
akurat. Pada prinsipnya sterilisasi dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu secara
mekanik, fisik dan kimiawi.
a. Sterilisai Secara Mekanik (Filtrasi)
Sterilisasi ini menggunakan suatu saringan yang berpori sangat kecil (0.22
mikron atau 0.45 mikron) sehingga mikroba tertahan pada saringan tersebut.
Proses ini ditujukan untuk sterilisasi bahan yang peka panas, misal nya larutan
enzim dan antibiotik. (Machmud, 2008).
b. Sterilisasi Secara Fisik
Sterilisasi secara fisik dapat dilakukan dengan pemanasan & penyinaran.
(Machmud, 2008)
1. Pemanasan
Pemijaran (dengan api langsung): membakar alat pada api secara langsung,
contoh alat : jarum inokulum, pinset, batang L, dll.
Panas kering: sterilisasi dengan oven kira-kira 60-1800C. Sterilisasi panas
kering cocok untuk alat yang terbuat dari kaca misalnya erlenmeyer, tabung
reaksi dll.
Uap air panas: konsep ini mirip dengan mengukus. Bahan yang mengandung
air lebih tepat menggungakan metode ini supaya tidak terjadi dehidrasi.
Uap air panas bertekanan : menggunalkan autoklaf
2. Penyinaran dengan UV
Sinar Ultra Violet juga dapat digunakan untuk proses sterilisasi, misalnya
untuk membunuh mikroba yang menempel pada permukaan interior Safety
Cabinet dengan disinari lampu UV (Machmud, 2008).
c. Sterilisasi Secara Kimiawi
Sterilisasi ini biasanya menggunakan senyawa desinfektan antara lain
alkohol. (Machmud, 2008).
d. Sterilisasi dengan Panas
Sterilisasi dengan panas adalah unit operasi dimana bahan dipanaskan
dengan suhu yang cukup tinggi dan waktu yang cukup lama untuk merusak
mikrobia dan aktivitas enzim. Sebagai hasilnya, bahan yang disterilkan akan
memiliki daya simpan lebih dari enam bulan pada suhu ruang. Contoh proses
sterilisasi adalah produk olahan dalam kaleng seperti kornet, sarden dan
sebagainya. Perkembangan teknologi prosesing yang memiliki tujuan mengurangi
kerusakan nutrien dan konponen sensoris dan juga mengurangi waktu prosesing
menjadikan teknik serilisasi terus dikembangkan. Lamanya waktu sterilisasi yang
dibutuhkan bahan dipengaruhi oleh: resistensi mikroorganisme dan enzim
terhadap panas, kondisi pemanasan, pH bahan, ukuran wadah atau kemasan yang
disterilkan, keadaan fisik bahan (Machmud, 2008).
e. Sterilisasi dengan Udara Kering
Sterilisasi alat yang umum dikenal adalah oven. Alat ini dipakai untuk
mensterilkan alat-alat gelas seperti erlenmeyer, petridish, tabunng reaksi dan alat
gelas lainnya. bahan-bahan seperti kapas, kain dan kertas dapat disterilkan dengan
alat ini. pada umunhya suhu yang digunakan pada sterilisasi secara kering adalah
170 - 180 C selama palinng sedikit 2 jam. Lama isterilisasi tergantung pada alat
dan jumlahnya (Machmud, 2008).
f. Sterilisasi dengan uap air panas
Sterilisasi dengan bahan yang mengandung cairan tidak dapat didterilkan
dengan oven sehingga digunakan alat ini. alat ini disebut Arnold steam sterilizer
dengan suhu 1000Cdalam keadaan lembab. Secara sederhana dapat pula
digunakan dandang. Mula-mula bahan disterilkan pada suhu 1000C selama 30
menit untuk membunuh sel-sel vegetatif mikrobia. kemudian disimpan pada suhu
kamr 24 jam untuk memberi kesempatan spora tumbuh menjadi sel vegetatif, lalu
dipanaskan lagi 1000C 30 menit. dan diinkubasi lagi 24 jam dan disterilkan lagi,
jadi ada 3 kali sterilisasi. Banyak bakteri berspora belum mati dengan cara ini
sehingga dikembangkan cara berikutnya yaitu uap air bertekanan (Machmud,
2008).
g. Sterilisasi dengan Uap Air Panas Bertekanan
Sterilisasi dengan alat ini disebut autoklaf (autoclave) untuk steriliasasi ini
alat dilengkapi dengan katup pengaman. Alat diisi dengan air kemudian bahan
dimasukkan. Panaskan sampai mendidih dan dari katup pengaman kelaur uap air
dengan lancara lalu ditutup. Suhu akan naik sampai 121 0C dan biarkan selama 15
menit (untuk industri pengalengan ada perhitungan tersendiri), lalu biarkan dingin
sampai tekanan normal dan klep pengaman dibuka, cara ini akan mematikan spora
dengan cara penetrasi panas ke dalam sel atau spora sehingga lebih cepat. Cara
mana yang dipilih tergantung bahan, biaya dan ketersediaan alat, untuk bahan
yang tidak tahan panas, maka cara diatas tidak dapat dipakai (Machmud, 2008).
2.7.4 Ciri-Ciri Media yang Sesuai untuk Pertumbuhan Eksplan
Menurut ( Elimasni, 2006 ) Media yang baik memiliki kandungan sebagai
berikut.
1. Hara anorganik
Ada 12 hara mineral yang penting untuk pertumbuhan tanaman dan
beberapa hara yang dilaporkan mempengaruhi pertumbuhan in vitro. Untuk
pertumbuhan normal dalam kultur jaringan, unsur – unsur penting ini harus
dimasukkan dalam media kultur.
2. Hara organik
Tanaman yang tumbuh dalam kondisi normal bersifat autotrof dan dapat
mensintesa semua kebutuhan bahan organiknya.Meskipun tanaman in vitro dapat
mensintesa senyawa ini, diperkirakan mereka tidak menghasilkan vitamin dalam
jumlah yang cukup untuk pertumbuhan yang sehat dan satu atau lebih vitamin
mesti ditambahkan ke media.Thiamin merupakan vitamin yang penting, selain itu
asam nikotin, piridoksin dan inositol biasanya ditambahkan. Selain bahan organik
tersebut, bahan kompleks seringkali ditambahkan, termasuk ekstrak ragi, casein
hydrolysate, air kelapa, jus jeruk, jaringan pisang, dan lain – lain. Penambahan
bahan kompleks ini menghasilkan media yang tak terdefinisi.Dengan penelitian
yang cukup, semestinya bahan kompleks ini dapat diganti dengan zat tertentu,
mungkin tambahan suatu vitamin atau asam amino.
3. Sumber karbon
Tanaman dalam kultur jaringan tumbuh secara heterotrof dan karena mereka
tidak cukup mensintesa kebutuhan karbonnya, maka sukrosa harus ditambahkan
ke dalam media. Sumber karbon ini menyediakan energi bagi pertumbuhan
tanaman dan juga sebagai bahan pembangun untuk memproduksi molekul yang
lebih besar yang diperlukan untuk tumbuh. Biasanya sukrosa pada konsentrasi 1 –
5% digunakan sebagai sumber karbon tapi sumber karbon lain seperti glukosa,
maltosa, galaktosa dan laktosa juga digunakan. Ketika sukrosa diautoklaf, terjadi
hidrolisis untuk menghasilkan glukosa dan fruktosa yang dapat digunakan lebih
efisien oleh tanaman dalam kultur.
4. Agar
Umumnya jaringan dikulturkan pada media padat yang dibuat seperti gel
dengan menggunakan agar atau pengganti agar sperti Gelrite atau
Phytagel.Konsentrasi agar yang digunakan berkisar antara 0.7 – 1.0%. Pada
konsentrasi tinggi agar menjadi sangat keras, sedikit sekali air yang tersedia,
sehingga difusi hara ke tanaman sangat buruk. Agar dengan kualitas tinggi seperti
Difco BiTek mahal harganya tapi lebih murni, tidak mengandung bahan lain yang
mungkin mengganggu pertumbuhan.
5. pH
Media biasanya diatur pada kisaran 5.6 – 5.8 tapi tanaman yang berbeda
mungkin memerlukan pH yang berbeda untuk pertumbuhan optimum.Jika pH
lebih tinggi dari 6.0, media mungkin menjadi terlalu keras dan jika pH kurang dari
5.2, agar tidak dapat memadat.
6. Zat Pengatur Tumbuh
Pada media umumnya ditambahkan zat pengatur tumbuh.Zat pengatur tumbuh.
7. Air
Distilata biasanya digunakan dalam kultur jaringan, dan banyak lab
menggunakan aquabides (air destilata ganda). Beberapa lab, dengan alasan
ekonomi, menggunakan air hujan, tapi ini menyebabkan sulit mengontrol
kandungan bahan organik dan non-organik pada media (Monita,2011).
Hasil pengamatan kompos dari tabel 4 diatas, kompos yang diberi larutan
EM4 pada minggu pertama berwarna coklat dan bau menyengat. Pada minggu
kedua, bau menyengat kompos semakin berkurang dan pada minggu ketiga
tekstur kompos berserat dan warna menjadi hitam dan tidak menyengat.
Sedangkan untuk kompos yang tidak diberi larutan EM4, pada minggu pertama
berwarna coklat dengan bau menyengat, dan minggu kedua masih dengan keadaan
yang sama dan pada minggu ketiga tekstur kompos berserat dan berwarna coklat
dengan bau menyengat.
V. PEMBAHASAN
7. Setelah kering benih harus segera ditanam (tidak boleh ditunda lebih dari 6 jam
setelah pencampuran).
2). Inokulasi Menggunakan Inokulum Tanah
Berikut ini langkah dan tahapan inokulasi rhizobium benih kedelai
menggunakan inokulum tanah :
1. Ambil tanah bekas tanaman kacang-kacangan secukupnya.
2. Gerus atau tumbuk tanah tersebut hingga benar-benar halus.
3. Benih kedelai kemudian dibasahi dengan air bersih atau larutan gula 1% perliter
air untuk setiap 10 kg benih kedelai hingga lembab (cukup basah).
4. Benih kedelai yang telah dibasahi kemudian dicampur dengan inokulum tanah
yang telah dihaluskan tersebut.
5. Dosis inokulum tanah adalah 100 gram perkilogram benih kedelai.
6. Aduk atau campurkan benih kedelai dan inokulum tanah tersebut hingga benar-
benar tercampur rata.
7. Proses pencampuran sebaiknya dilakukan ditempat teduh dan terlindung dari
sinar matahari langsung.
8. Kemudian benih kedelai yang telah dicampur inokulum dikeringkan.
9. Setelah kering benih harus segera ditanam (tidak boleh ditunda lebih dari 6 jam
setelah pencampuran)
Rhizobium (yang terkenal adalah Rhizobium leguminosarum) adalah basil
yang gram negatif yang merupakan penghuni biasa didalam tanah. Bakteri ini
masuk melalui bulu-bulu akar tanaman berbuah polongan dan menyebabkan
jaraingan agar tumbuh berlebih-lebihan hingga menjadi kutil-kutil. Bakteri ini
hidup dalam sel-sel akar dan memperoleh makanannya dari sel-sel tersebut.
Biasanya beberapa spesies Actinomycetes kedapatan bersama-sama
dengan Rhizobium sp dalam satu sel ada dunia pertanian bakteri rhizobium
sp mengikat unsur nitrogen dari lingkungan sekitar dan menularkan ke tumbuhan,
tetapi bagian akar dan juga pada bagian tanah pada suatu tanaman.
Kebanyakan rhizobium sp menularkan pada tanaman yang berbiji : contohnya
saja akar pada tanaman kedelai.
Pada tanaman kedelai tersebut, bakteri rhizobium sp menempel pada bintil
akar. Dan itu membuat tanaman tersebut tumbuh subur dan untuk melangsungkan
hidupnya karena tanaman tersebut telah terinfeksi oleh bakteri Rhizobium sp.
Tumbuhan yang bersimbiosis dengan Rhizobium banyak digunakan sebagai pupuk
hijau seperti Crotalaria, Tephrosia, dan Indigofera. Akar tanaman polong-
polongan tersebut menyediakan karbohidrat dan senyawa lain bagi bakteri melalui
kemampuannya mengikat nitrogen bagi akar. Jika bakteri dipisahkan dari
inangnya (akar), maka tidak dapat mengikat nitrogen sama sekali atau hanya dapat
mengikat nitrogen sedikit sekali. Bintil-bintil akar melepaskan senyawa nitrogen
organik ke dalam tanah tempat tanaman polong hidup. Dengan demikian terjadi
penambahan nitrogen yang dapat menambah kesuburan tanah.
5.1.2 Manfaat dan Peran Bakteri Rhizobium Bagi Tanaman
Rhizobium sebagai simbiois mutualisme antara tanaman dan bakteri, yaitu
asam amino untuk tanaman dan karbohidrat untuk bakteri. Kemampuan
menambat nitrogennya dapat mencukupi kebutuhan nitrogen sebesar 80-90% dari
kebutuhan tanaman dan meningkatkan produksi antara 10%-25%. Dengan adanya
rhizobium ini tanaman kacang-kacangan tidak memerlukan lagi tambahan pupuk
nitrogen.
Rhizobium banyak digunakan sebagai pupuk hijau pada beberapa
tanaman, seperti Kacang Hijau, Kedelai, Kacang Tanah, Crotalaria, Tephrosia,
dan Indigofera. Akar tanaman polong-polongan tersebut menyediakan karbohidrat
dan senyawa lain bagi bakteri melalui kemampuannya mengikat nitrogen bagi
akar. Jika bakteri dipisahkan dari inangnya (akar), daya tangkap dan efisiensi
penyerapan nitrogen oleh tanaman akan berkurang cukup signifikan. Bintil-bintil
akar melepaskan senyawa nitrogen organik ke dalam tanah tempat tanaman
polong hidup. Dengan demikian terjadi penambahan nitrogen yang dapat
menambah kesuburan tanah dan menyuburkan tanaman.
5.1.3 Tujuan Inokulasi Rhizobium
Inokulasi rhizobium adalah proses pemberian inokulan bakteri Rhizobium
sp ke dalam tanah yang digunakan sebagai media tanam tanaman polong-
polongan (kacang-kacangan/leguminosa). Inokulasi ini bertujuan untuk membuat
simbiosis antara akar tanaman dengan bakteri sehingga akan tercipta bintil-bintil
akar. Proses inokulasi tersebut diawali dengan inokulan yang berasal dari bakteri
Rhizobium sp dicampurkan ke dalam media tanah pada konsentrasi tertentu
sehingga sel-selnya akan berinteraksi dengan sel jaringan akar sehingga
terbentuklah bintil akar. Di dalam bintil akar terdapat bakteri yang berkembang
biak serta melakukan kegiatan fiksasi Nitrogen bebas yang ada di udara. Hasil
simbiosis yang digolongkan sebagai simbiois mutualisme ini yaitu asam amino
untuk tanaman dan karbohidrat untuk bakteri.
Pemberian inokulasi Rhizobium sp. pada tanaman kacang-kacangan
bertujuan untuk menyediakan bakteri Rhizobium pada tanah yang belum atau
tidak pernah ditanami tanaman polong-polongan (kacang-kacangan/leguminosa).
Kehadiran bakteri Rhizobium yang serasi merupakan syarat utama untuk
menjamin terbentuknya bintil akar efektif, maka kemampuan menambat
nitrogennya dapat mencukupi kebutuhan nitrogen sebesar 80-90% dari kebutuhan
tanaman. Dengan adanya bakteri rhizobium dalam jumlah yang cukup didalam
tanah tanaman polong-polongan (kacang-kacangan/leguminosa) tidak
memerlukan tambahan pupuk nitrogen. Pemberian inokulasi rhizobium diketahui
dapat meningkatkan hasil 10% hingga 25%.
Bintil akar pada tanaman kacang-kacangan hanya akan terbentuk jika akar
tanaman pada tingkat tertentu dari masa perkecambahan biji dapat bertemu
dengan bakteri Rhizobium, tepatnya Rhizobium yaponicum. Jika pada waktu biji
kedelai yang ditanam berkecambah, dan disekitar akarnya terdapat bakteri R.
Yaponicum, maka bakteri ini akan masuk ke dalam akar tanaman melalui bulu-
bulu akar, selanjutnya akan terjadi reaksi timbal balik (interaksi) antara bakteri
dengan tanamannya yang menghasilkan pembentukan bintil akar. Bintil akar ini
dapat dilihat pada waktu tanaman berumur 3-4 minggu. Keefektifan bintil akar
dalam proses fiksasi nitrogen tergantung pada varietas atau strain Rhizobiumnya.
Bintil akar yang efektif adalah bintil akar yang menghasilkan kerjasama
(simbiose) yang sangat menguntungkan bagi tanamannya dalam proses fiksasi
nitrogen.
Ciri-ciri bintil akar yang efektif yaitu:
1. Mudah diamati langsung di lapangan, caranya ialah dengan mencabut tanaman
kedelai yang akan diamati.
2. Cenderung berkelompok pada leher akar.
3. Ukuranya relatif besar.
4. Jika bintil alar itu dibelah, bagian dalamnya berwarna merah darah, semakin
efektif semakin merah sedang bintil akar yang tidak efektif bagian dalamnya
berwarna keputih-putihan atau agak kehijauan.
Dengan bintil akar yang efektif hampir semua kebutuhan nitrogen tanam
dapat terpenuhi. Pada penanaman kedelai jenis unggul, tambahan pupuk nitrogen
dalam jumlah kecil dianjurkan, tetapi tanpa pemberian pupuk nitrogenpun,
produksi yang memadai masih dapat terjamin, asal bintil-bintil akarnya efektif.
Adapun prosedur kerja yang kami lakukan pada saat praktikum yaitu:
1. Biji kedelai di rendam terlebih dahulu dengan air. Biji yang tenggelam di
permukaan air menunjukan bahwa biji baik untuk dijadikan benih.
2. Pisahkan biji hampa dengan biji baik sebagai benih kemudia di keringkan
dengan tisu.
3. Rhizogen sebanyak 5 gr dilarutkan dalam volume air 100 ml.
4. Timbang 100 gr biji kedelai kemudia masukan kedalam larutan rhizogen
selama 15 menit.
5. Lubang tanam dibuat di tengah medium tanam di dalam polybag dengan
kedalaman maksimal 2 cm dengan menggunakan kayu ajir.
6. Benih yang telah di inokulasi di masukan kedalam lubang tanam sebanyak 2
biji kemudian di tutup kembali dengan tanah.
7. Pemberian ajir dilakukan di pinggir lubang tanam untuk mengetahui letak
benih untuk memudah penyiraman dan pengamatan.
5.2 Kompos
Hasil pengamatan kompos dari tabel 4 diatas, kompos yang diberi larutan
EM4 pada minggu pertama berwarna coklat dan bau menyengat. Pada minggu
kedua, bau menyengat kompos semakin berkurang dan pada minggu ketiga
tekstur kompos berserat dan warna menjadi hitam dan tidak menyengat.
Sedangkan untuk kompos yang tidak diberi larutan EM4, pada minggu pertama
berwarna coklat dengan bau menyengat, dan minggu kedua masih dengan keadaan
yang sama dan pada minggu ketiga tekstur kompos berserat dan berwarna coklat
dengan bau menyengat.
5.2.1 Tahap Awal Pembuatan Kompos
Tahap awal pembuatan kompos saat praktikum yaitu sayuran ( bahan
tanaman) dipotong atau dicincang hingga homogen, kurang lebih berukuran 1-2
cm2. Setelah itu potongan sayuran tersebut dicampur dengan Effective
Microorganism ( EM4), larutan gula merah, pupuk kandang, dan juga abu/arang,
kemudian diaduk hingga merata diatas terpal. Lalu dimasukkan ke dalam kantong
plastik besar ataupun karung.Diinkubasi selama 1-2 bulan, dan juga 1 X seminggu
kompos tersebut dibalik untuk menjaga suhu dan kelembaban.
volume larutanstok
Kebutuhan larutan =
kepekatan
Contoh soal :
Diketahui :Kebutuhan media = 2000 mg = 2 g
Kepekatan = 3
Ditanya :kebutuhan bahan kimia ?
Jawab :kebutuhan bahan kimia= keutuhanmedia x kepekatan
= 2 g x 3= 6 g ( Rahardja, 1995 )
Cara membuat larutan stok sebagai berikut :
1. Timbang bahan koloid ( NH4NO3 ) dengantimbangananalitik seberat 1,65 g
2. Bahan kimia disediakan, alat disterilkan ( alat ukur, beaker gelas, erlenmeyer )
dengan sprayer
3. Dimasukkan aquades kedalam gelas ukur sebanyak 30 ml
4. Dimasukkan dalam beaker gelas ukuran 500 ml dan letakkan diatas magnetic
stirrer
5. Dimasukkan bahan kimia NH4NO3
6. Dihomogenkan dengan magnetic stirrer
7. Ditambah 15ml aquedes
8. Dimasukkan dalam erlenmeyer dan ditutup dengan aluminium foil kemudian
disimpan
Kesalahan dalam menyimpan larutan stok akan menimbulkan kerusakan
larutan tersebut terutama larutan stok yang tingkatkepekatannya tinggi. Kerusakan
yang timbul adalah terjadinya perubahan warna larutan. Pengendapan larutan
dapat dihindari dengan menyimpan pada tempat yang benar. Untuk
memperpanjang masa simpan larutanstok terbuat dari plastik sehingga tidak pecah
akibat pemuaian volume air ketika membeku.sedangkan larutan stok Fe,perlu
disimpan pada wadah warna gelap dan dibungkus dengan aluminium foil.
Didalam cara kerja, pemberian aquades secara bertahap bertujuan agar
memudahkan pemcampuran larutan hingga homogen, bila telah homogen lalu
ditambahkan aquades hingga volumenya mencapai 250ml. Larutan stok dapat
disimpan antara 2-4 minggu, sedangkan stok hara dapat disimpan 4-8 minggu.
Dengan adanya larutanstok, pembuatan media selanjutnya hanya dengan teknik
pengenceran dan pencampuran saja. Dalm pembuatan larutan stok yang perlu
diperhatikan adalah penyatuan beberapa komponen mediasekaligus dalamsuatu
larutan stok dan harus mempertimbangkan kecocokan dan kestabilan dari sifat
kimianya.
Dalam pembuatan larutan stok yang perlu diperhatikan adalah penyatuan
beberapa komponen media sekaligus dalam larutan stok dan harus
mempertimbangkan kecocokan dan kestabilan dan sifat kimianya. Seteah latrutan
stok dibuat, pengambilannya untuk media dapat dilakukan dengan cara memipet
atau menakarnya dengan gelas ukur. Kesalahan menyimpan larutan akan
menimbulkan kerusakan larutan tersebut terutama larutan stok yang tingkat
kepekatannya tinggi. Untuk menjaga agar larutan stok yang mengandung besi,
botol yang telah diisi oleh larutan stok harus dilapisi dengan aluminium foil agar
larutan tersebut terjaga dari sinar matahari yang ada dan menjaganya agar tidak
cepat rusak. Penyimpanan larutan stok harus sesuai dan tidak boleh pada ruangan
yang terkena sinar matahari langsung untuk menjaga kualitas dari larutan stok
tersebut.
Kebutuhan larutan stok diartikan sebagi kebutuhan akan jumlah bahan media
dan larutan stok yang harus dipenuhi pada waktu yang diperlukan pada beberapa
macam / tahap kegiTn kultur jaringan. Dalam pembuatan media untuk kultur
jaringan, langkah pertama yang dilakukan adalah membagi senyawa penyusun
media kedalam masing-masing kelompok larutan stok sesuai dengan sifat dan
tingkat kelarutannya. Dengan adanya pembuatan larutan stok akan mempermudah
proses pembuatan media karena proses pencampuran dan penimbangan hanya
dilakukan sekali untuk penggunan untuk berkali-kali untuk botol-botol kultur
secar missal. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Youno (2013), tang
menyatakan bahwa tujuan pembuatan larutan stok adalah untuk menghemat dan
mempermudah pekerjaan menimbang bahan kimia setiap kali pembuatan media.
Stok vitamin tidak dapat disimpan lama, umumnya dibuat untuk digunakan dalam
1-2 minggu. Stok hormone dapat disimpan antara 2-4 minggu. Sedangkan stok
hara dapat disimpan antara 4-8 minggu. Dengan adanya larutan stok, pembuatan
media selanjutnya dilakukan hanya teknik pengenceran dan pencampuran saja.
Pada pencampuran senyawa-senyawa kimia harus sesuai atau tepat dosis
dengan perhitungan yang dilakukan sebelumnya. Dalam penyimpanan larutn stok
B VW dan E VW di dalam botol terdapat pengendapan, dikarenakan kepekatan
larutan yang salah akibat pencampuran bahan yang kurang sesuai dan pengadukan
yang tidak rata. Hal ini sesuai yang dikatakan Gunawan (1988) yang menyatakan
bahwa pengendapan larutan stok umumnya terjadi bila kepekatan larutan terlalu
tinggi.
Pada larutan stok harus memperhatikan daya simpan larutan. Larutan yang
sudah mengalami pengendapan tidak bisa digunakan lagi. Pengendapan larutan
stok umumnya terjadi bila kepekatan larutan terlalu tinggi. Oleh karena itu,
pengendapan larutan dapat dihindari dengn membuat larutan yang tidak terlalu
pekat dan tidak menggunakan larutan campuran yaitu dengan membuat satu
larutan stok hanya untuk satu jenis bahan ( terutama untuk unsure hara makro).
Kondisi simoan juga perlu diperhatikan , Karena ada beberap bahan yang tidak
tahan dalam suhu tinggi atau cahaya. Larutan stok kadang-kadang juga ditumbuhi
ileh mikroorganisme, larutan stok yang terkombinasi ini tidak dapat digunakn
lagi.
Adapun kebutuhan bahan kimia media MS per 1 Liter media dapat diihat pada
Tabel 6 berikut.
Tabel 6. Kebutuhan Bahan Kimia Media MS per 1 liter media
Bahan Kimia Label Kebutuha Kepekata Kebutuha Volum Kebutuha
n Bahan n Larutan n Bahan e n Larutan
Kimia/l Stok Kimia (g) Laruta Stok (ml/l
media n Stok media)
(mg) (ml)
Hara Makro
NH4NO3 A 1.650,00 3 4,950 90 30
KNO3 B 1.900,00 3 5,700 90 30
CaCl3.2H2O C 440,00 3 1,320 90 30
MgSO4.7H2O D 370,00 3 1,110 90 30
KH2PO4 D 170,00 3 0,510 90 30
Hara Mikro
FeSO4.7H2O E 27,80 3 0,0834 90 30
Na.ETDA E 37,30 3 0,1119 90 30
Mn2SO4.4H2O F1 22,30 3 0,0669 90 30
ZnSO4.7H2O F1 8,60 3 0,0258 90 30
H3BO3 F1 6,20 3 0,0186 90 30
KI F2 0,83 100 0,083 100 1
CoCl2.6H2O F2 0,025 100 0,0025 100 1
CuSo4.5H2O F2 0,025 100 0,0025 100 1
Na2MoO4.2H2 F2 0,25 100 0,025 100 1
O
Vitamin
Myo-inositol Myo 100,00 3 0,3 90 30
Thiamin-HCl G 0,50 10 0,005 100 10
Asam nikotinat G 0,50 10 0,005 100 10
Pyrodoxin-HCl G 0,50 10 0,005 100 10
Gambar 1. Erlenmeyer
Alat ini biasa digunakan dalam proses titrasi untuk menampung larutan
yang akan dititrasi.Erlenmeyer, berbentuk kerucut, dan merupakan alat
laboratorium yang banyak digunakan. Memiliki tubuh berbentuk kerucut, leher
silinder dan dilengkapi dengan dasar yang datar. Alat ini dinamai menurut nama
kimiawan asal Jerman Emil Erlenmeyer, yang menciptakannya pada tahun 1860.
Erlenmeyer terbuat dari jenis gelas boroksilikat yang dilengkapi dengan
tutup dan tanpa tutup. Tutup mulut erlenmeyer terbuat dari kaca asah. Erlenmeyer
mempunyai kapasitas ukuran volume dari 25 ml sampai 2000 ml.
Fungsi erlenmeyer adalah untuk mengukur dan mencampur bahan-bahan
analisa, menampung larutan, bahan padat ataupun cairan, meracik dan
menghomogenkan bahan-bahan komposisi media, tempat untuk melakukan titrasi
bahan. Erlenmeyer dengan tutup asah digunakan untuk titrasi dengan pengocokan
kuat, alat ekstraksi, alat destilasi dan sebagainya. Erlenmeyer tanpa tutup asah
digunakan untuk titrasi dengan pengocokan lemah hingga sedang.
Prinsip kerja erlenmeyer dengan tutup asah digunakan untuk pencampuran
reaksi dengan pengocokan kuat sedangkan erlenmeyer tanpa tutup asah biasanya
digunakan untuk mencampurkan reaksi dengan kecepatan lemah.
Cara membersihkan alat ini adalah dengan cara membilas dahulu dengan
air kemudian dicuci menggunakan detergen dan dibilas dengan air suling.
2. Gelas Kimia
Gambar 5. Autoklaf
Autoklaf adalah alat yang digunakan untuk sterilisasi peralatan
laboratorium dari semua bakteri, jamur, virus dan lain-lain. Cara yang digunakan
adalah dengan menundukkan material pada uap tekanan tinggi yaitu suhu 121°C.
Waktu yang dibutuhkan adalah 15 hingga 20 menit tergantung ukuran serta isi.
Autoklaf dapat membunuh mikroba yang ada pada alat labor. Hal ini
sesuai dengan pendapat Hendaryono (2008) yang menyatakan bahwa dengan
pemanasan di dalam autoklaf maka bakteri dan mikroba dapat mati akibat suhu
yang tinggi.
Alat ini sendiri diciptakan oleh Charles Chamberland pada 1879. Nama
autoklaf berasal dari bahasa Yunani , yaitu auto yang artinya diri dan clavis yang
berarti kunci. Alat ini sendiri memiliki ukuran serta fungsi yang akan tergantung
pada media yang hendak disterilkan.
Bagian-bagian autoklaf antara lain:
1. Tombol pengatur waktu/timer, yang berfungsi untuk mengatur lama atau
sebentar proses yang dijalankan sesuai kebutuhan pengguna.
2. Katup uap, yang berfungsi untuk tempat dikeluarkannya uap air.
3. Pengukur tekanan, berfungsi untuk mengetahui nilai tekanan uap dalam
autoklaf dan mengetahui besar tekanan uap saat proses sedang berlangsung.
4. Katup pengamanan, untuk mengunci penutup autoklaf.
5. Tombol on/of, untuk menghidupkan dan mematikan alat.
6. Lempeng sumber panas, untuk membantu proses perubahan energi dari listrik
menjadi panas atau kalor.
7. Skrup pengaman, untuk menjaga besaran dari tekanan uap dalam mesin.
8. Termometer, untuk mengetahui suhu yang dibutuhkan untuk kegiatan
sterilisasi.
9. Angsa, sebagai batas bagi penambahan air.
Cara penggunaan dari autoklaf yaitu:
1. Cek volume aquades sampai batas yang ditentukan.
2. Masukkan alat dan bahan yang akan disterilkan.
3. Tutup klip pengaman agar tidak terlalu rapat dan tidak terlalu renggang.
4. Nyalakan autoklaf, atur tekanan pada 2 ATM suhu 121°C selama 15 menit.
5. Matikan autoklaf, tunggu tekanan autoklaf turun sampai sama dengan tekanan
lingkungan.
6. Buka klip pengaman dan keluarkan isi dari autoklaf.
Cara perawatan autoklaf sebagai berikut:
1. Gunakan autoklaf sesuai dengan prosedur agar tidak terjadi kerusakan.
2. Apabila autoklaf telah selesai digunakan, colokannya dicabut dari tempat
colok untuk mencegah terjadinya kontaminasi.
3. Air aquades yang ada di dalam autoklaf sebaiknya dibersihkan atau dikuras
bagian dalamnya menggunakan lap kering jika selesai digunakan.
4. Pastikan bagian dalam autoklaf benar-benar bersih, jika masih belum bersih ,
masukkan lagi air ke dalam autoklaf dan dikuras lagi dengan lap , lakukan
kegiatan ini berulang-ulang sampai bagian dalam autoklaf tersebut benar-
benar bersih.
5. Simpan autoklaf pada tempat yang kering dan bersih.
6.pH Meter
Gambar 6. pH meter
pH meter merupakan alat ukur elektronik yang digunakan untuk mengukur
pH suatu cairan kimia. pH meter memiliki sebuah elektroda yang langsung
terhubung ke alat elektronik yang selanjutnya akan mengukur dan menampilkan
nilai pH secara akurat.
pH meter memiliki dua bagian utama, yaitu probe dan elektroda. Elektroda
adalah bagian menyerupai batang yang terbuat dari kaca. Di bagian bawah
elektroda terdapat bohlam yang merupakan bagian sensitif dari probe karena
berisi sensor. Celupkan probe ke dalam larutan untuk mengukur pH larutan.
Penggunaan dan kalibrasi , untuk mendapatkan hasil yang akurat, pH
meter harus dikalibrasi setiap sebelum dan sesudah digunakan. Normalnya, pH
meter harus dikalibrasi setiap hari karena probe elektroda tidak memproduksi emf
dalam jangka waktu yang lama.kalibrasi dilakukan setidaknya menggunakan 2
macam cairan buffer standar solution sesuai dengan nilai pH yang hendak di ukur.
pH meter mempunyai 3 pengontrol dimana yang pertama (kalibrasi)
digunakan untuk mengatur pembacaan meter agar posisi dengan nilai standar
buffer, pengontrol kedua (slope) berfungsi untuk menyeter pembacaan meter agar
sama dengan buffer kedua dan pengontrol terakhir digunakan untuk mengatur
suhu.
Proses kalibrasi mempunyai korelasi dengan tegangan yang dihasilkan dari
probe. Setelah digunakan langsung cuci probe menggunakan aquades untuk
membuang bekas solution yang telah diukur dimana solution ini berpotensi
mengganggu pembacaan Ph pada penggunaan selanjutnya.
Selanjutnya keringkan alat menggunakan tissue bersih secara cepat
langsung rendam ke dalam solution lainnya. Ketika tidak digunakan, usahakan
sebisa mungkin menjaga probe dalam keadaan basah.
Cara penggunaan alat ini adalah:
1. Katoda dengan pH meter dihubungkan
2. Tekan tombol power
3. Gunakan larutan buffer 4 dan 7
4. Setelah hidup cuci dengan aquades sebanyak 3x, lap dengan tissue, celupkan
ke buffer 4.
5. Lihat pH meter sampai muncul angka 4
6. Bilas dengan aquades sebanyak 3x
7. Lap dengan tissue
8. Celupkan ke buffer 7
9. Lihat pH meter sampai muncul angka 7
10. Bilas lagi dengan aquades 3x
11. Ukur pH larutan, kegiatan ini disebut dengan kalibrasi pH.
- Jika pH larutan asam, maka ditambahkan basa NaOH
- Jika pH larutan basa, maka ditambahkan HCl
Gambar 7. LAFC
Laminar Air Flow Cabinet (LAFC) adalah meja kerja steril untuk
melakukan kegiatan inokulasi atau penanaman. LAFC merupaka suatu alat yang
digunakan dalam pekerjaan persiapan bahan tanaman, penanaman, dan
pemindahan tanaman dari satu botol ke botol yang lain dalam kultur in vitro.
Alat ini diberi nama LAFC karena meniupkan udara steril secara continue
melewati tempat kerja sehingga tempat kerja bebas dari debu dan mikroorganisme
lain yang jatuh ke dalam media, waktu pelaksanaan penanaman. Aliran udara
berasal dari udara ruangan yang ditarik ke dalam alat melalui pre-filter yang
kemudian ditiupkan ke luar melalui filter yang sangat halus yaitu HEPA (High
Efficiency Particulate Air Filter) dengan menggunakan blower. LAFC digunakan
sebagai ruang untuk pengerjaan secara aseptis. Prinsip penaseptisan suatu ruangan
berdasarkan aliran udara keluar dengan kontaminasi udara dapat diminimalkan.
Pre filter harus sering dibersihkan dengan cleaner dan sebaiknya diganti 1
tahun sekali. Namun HEPA filter diganti setelah melalui pemeriksaan dengan
magnehelic gauge. LAFC ada yang dilengkapi dengan lampu UV dan ada yang
tidak. Pada LAFC yang tidak dilengkapi lampu UV , blower harus dijalankan
terus-menerus walaupun alat tersebut tidak digunakan. Hal ini dilakukan untuk
menjaga kebersihan ruang kerja di dalam LAFC tersebut. Pada LAFC yang
dilengkapi lampu UV , dianjurkan menghidupkan lampu UV minimum 30 menit
sebelum digunakan. Ketika LAFC sedang digunakan, lampu UV dimatikan,
sedangkan blower dijalankan.
Bagian-bagian LAFC
1. Ruang inokulasi
2. Panel saklar
3. Lampu neon
4. Lampu UV
5. Filter HEPA
Bagian-bagian LAFC di atas sesuai dengan pendapat Zulkarnain (2009)
yang menyatakan bahwa bagian-bagian LAFC meliputi lampu UV, lampu neon,
filter HEPA.
Cara penggunaan LAFC adalah sebagai berikut:
1. LAFC disemprot dengan alkohol 70%
2. Lap dengan tisu secara merata
3. Masukkan alat dan bahan yang akan digunakan untuk penanaman explant
4. LAFC ditutup
5. Colokkan LAFC ke listrik
6. Tekan tombol hijau (UV) selama 20 menit, lalu matikan sinar UV dan
hidupkan lampu blower dan lampu neon.
7. Buka tutup LAFC, lalu meja steril siap digunakan
8. Setelah bekerja, keluarkan alat dan bahan dan semprotkan alkohol 70%
kemudian lap dengan tisu secara merata.
9. Matikan lampu neon dan blower
10. Tutup LAFC dan cabut colokan
Hal-hal yag perlu diperhatikan dalam penggunaan LAFC adalah sebagai
berikut:
a. Jangan meletakkan lampu bunsen terlalu dekat dengan filter dan alkohol
untuk merendam peralatan kultur.
b. Jangan menumpuk alat, botol media dan lainnya di depan tempat bekerja
sehingga menghalangi aliran udara.
c. Jangan mencelupkan alat tanam dengan nyala api ke dalam alkohol.
d. Jangan mendekati lampu bunsen dengan tangan yang baru disemprot
alkohol atau spritus.
e. Bersihkan LAFC setelah selesai bekerja.
8.Timbangan Analitik
Gambar 9. Enkas
Enkas merupakan alat laboratorium yang berfungsi untuk pengerjaan
medium seperti penanaman explan, dan isolasi dalam kondisi ruang yang aseptik
agar tidak terkontaminasi dengan udara.
Enkas adalah sarana pengganti LAFC yang umumnya dipakai dalam skala
laboratorium sederhana . enkas merupakan tipe sederhana dari LAFC yang
ditunjuk untuk skala rumahan. Fungsinya sama dengan LAFC, yang
membedakannya adalah proses sterilisasi pada kedua alat tersebut.
Tean (2009) menyatakan bahwa di dalam enkas diberi formalin tablet
untuk membunuh bakteri dan jamur yang ada di dalamnya. Lubang tempat
memasukkan alat dan bahan diberi saluran dari kain nilon yang ujungnya diberi
karet, sehingga tetap tertutup rapat untuk menghindari masuknya bakteri dan
jamur. Ketikan memasukkan objek, maka karet dapat direnggangkan.
Prinsip kerja enkas:
1. Sebelum bekerja, cuci tangan dengan aseptik.
2. Bersihkan enkas dengan spritus atau alkohol 95%
3. Sterilkan alat dan bahan dengan cara disemprot spritus atau alkohol 95%
hingga merata satu persatu.
4. Masukkan alat dan bahan ke dalam enkas.
5. Tangan dipakaikan sarung tangan lalu disemprotkan alkohol untuk sterilisasi.
6. Kegiatan kultur jaringan telah bisa dilakukan.
Keuntungan dari enkas ini adalah mudah dibuat dan kekurangannya
adalah tangan kurang leluasa dalam mengerjakan sampel.
Bagian-bagian dari enkas:
1. Kaca transparan
2. Lubang sampel
10.Botol Kultur
Hendaryono, Daisy P. Sriyanti dan Wijayani, Ari. 2008. Teknik Kultur Jaringan.
Karnisius. Yogyakarta.
Walton. 1998. Kamus Istilah Kimia Analitik Indonesia. Pusat Pembinaan. Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA