Anda di halaman 1dari 30

Pediastrum

Klasifikasi

Susunan klasifikasi Pediastrum adalah sebagi berikut:

Divisi : Chlorophyta

Kelas : Chlorophyceae

Ordo : Chlorococcales

Family : Hydrodictyaceae

Genus : Pediastrum

Spesies : Pediastrum sp

Pediastrum banyak ditemukan pada kolam-kolam yang permanen atau semi permanent.
Pediastrum koloninya mengapung, berisi 2 –128 (biasanya 4-64) sel poligonal (bersudut banyak)
yang tersusun dari satu bidang pipih setebal selnya. Senobium mungkin padat atau berlubang.
Jika jumlah sel senobium ada 16 atau lebih, cenderung membentuk lingkaran-lingkaran yang ke
arah dalam makin kecil. Pada setiap lingkaran berisi sel dengan jumlah yang tertentu. Terjadi
atau tidak terjadinya keteraturan ini ditentukan oleh faktor-faktor yang menmpengaruhi zoospora
pada saat mulai membentuk koloni. Sel-sel lingkaran tepi (perifer) sering berbeda bentuknya
dengan sel-sel bagian dalam dan sel perifer mungkin punya satu, dua, atau tiga taju atau
penonjolan (prosesus) yang tidak dimiliki sel-sel bagian dalam. Dinding sel mungkin mulus,
berongga atau retikularis. Sel muda memiliki kloroplas parietal bentuk cakram dengan satu
pirenoid. Sel tua memiliki satu kloroplas yang difuse (meluas) dan mungkin memiliki lebih dari
satu pirenoid. Sel dewasa mungkin memiliki satu, dua, empat, atau delapan nukleus (14 spiro).
Perkembangbiakan aseksual dengan membentuk zoospore. Sedangkan secara seksual dengan
isogami. Pediastrum merupakan fitoplankton yang berfungsi sebagai makanan ikan. Daerah yang
kaya plankton merupakan daerah perairan yang kaya ikan. Pediastrum merupakan produser
primer, yaitu sebagai penyedia bahan organic dan oksigen bagi hewan-hewan air, seperti ikan,
udang, dan serangga air. Keberadaan produser mengundang kehadiran konsumen, predator, dan
organisme lain yang membentuk ekosistem perairan (Prasetyo, 1987).

Di tinjau dari frekuensi kemunculannya, marga ganggang hijau yang sering muncul adalah
Pediastrum, hal ini menunjukkan bahwa pediastrum mempunyai kemampuan adaptasi yang lebih
baik terhadap keadaan fisik, kimia dan biologi daerah Sumbersari belakang stadion Sepak Bola
Universitas Negeri Malang.

http://anugrahjuni.wordpress.com/biologi-in/pediastrum/

BUDIDAYA Tetraselmis sp. SKALA LABORATORIUM


I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu faktor pendukung dalam keberhasilan usaha budidaya ikan adalah
ketersediaan pakan, dimana penyediaan pakan merupakan faktor penting di
samping penyediaan induk. Pemberian pakan yang berkualitas dalam jumlah yang
cukup akan memperkecil persentase larva yang mati. Pakan alami merupakan
pakan yang sudah tersedia di alam, sedangkan pakan buatan adalah pakan yang
diramu dari beberapa macam bahan yang kemudian diolah menjadi bentuk khusus
sesuai dengan yang dikehendaki.
Sasaran utama untuk memenuhi tersedianya pakan adalah memproduksi pakan
alami, karena pakan alami mudah didapatkan dan tersedia dalam jumlah yang
banyak sehingga dapat menunjang kelangsungan hidup larva selama budidaya
ikan, mempunyai nilai nutrisi yang tinggi, mudah dibudidayakan, memiliki ukuran
yang sesuai dengan bukaan mulut larva, memiliki pergerakan yang mampu
memberikan rangsangan bagi ikan untuk mangsanya serta memiliki kemampuan
berkembang biak dengan cepat dalam waktu yang relatif singkat dengan biaya
pembudidayaan yang relatif murah.
Salah satu jenis fitoplankton yang digunakan pada kegiatan pembenihan ikan, yaitu
Tetraselmis sp. Pembudidayaan plankton jenis Tetraselmis sp. tergantung pada
kondisi lingkungan perairannya, serta diperlukan paket teknologi budidaya yang
baik. Budidaya plankton berbeda di tiap-tiap Negara sesuai dengan kondisi
alamnya, misalnya Indonesia adalah Negara tropis dimana suhu airnya relatif sama
sepanjang tahun dibandingkan dengan Negara lain termasuk Jepang (Mujiman,
1984).
A. Tujuan
1. Mengetahui cara budidaya Tetraselmis chuii skala laboratorium
2. Mengetahui pertumbuhan Tetraselmis chuii pada medium yang berbeda dengan
skala laboratorium

B. Manfaat
1. Dapat mengetahui cara budidaya Tetraselmis chuii secara skala laboratorium
2. Dapat mengetahui pertumbuhan Tetraselmis chuii pada medium tumbuh yang
berbeda.

I. METODOLOGI
A. Alat dan Bahan
1) Alat
1. Erlemeyer
2. Pengaduk
3. Botol film
4. Mikroskop
5. Gelas objek
6. Cover glass
7. Pipet
8. Aerator
9. Gelas ukur
10. Toples
11. Tissue
12. Ember
13. Refraktometer
14. Kertas pH

2) Bahan
1. Air laut
2. Air tawar
3. Mikro alga Tetraselmis
4. Medium f/2 (NaNO3, NaH2PO4.H2O, Trace element @ 1ml dan 0,5 ml vitamin)
5. Medium walne (macro element, trace elemen @ 1 ml dan 0,1 ml vitamin)
6. Aquades
7. Formalin

B. Cara Kerja
1. Menyiapkan alat dan bahan
2. Melakukan pengenceran menggunakan air laut dengan aquadest untuk
mendapatkan salinitas yang diinginkan
3. Membuat medium f/2 dan medium walne dengan bahan yang sudah ditentukan
4. Membagi campuran antara medium dengan mikroalga yang sudah dibuat
kedalam erlemeyer (dua kali ulangan)
5. Tempatkan di dalam ruangan yang dingin dan diberi aerator
6. Melakukan pengamatan salinitas, pH dan kepadatan mikroalga selama waktu
yang telah ditentukan
II. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
B. Pembahasan
Teteraselmis sp. memiliki ciri-ciri antara lain termasuk dalam golongan alga hijau
karena memiliki klorofil, mempunyai sifat selalu bergerak, berbentuk oval elips,
memiliki empat buah flagelata pada ujung depannya (Burlew, 1995).
Menurut Burlew (1995) mengklasifikasikan kedudukan Tetraselmis chuii
sebagai berikut :
Filum : Chlorophyta
Kelas : Chlorophyceae
Ordo : Volvocales
Sub ordo : Chlamidomonacea
Genus : Tetraselmis
Spesies : Tetraselmis chuii
Menurut (Erlina dan Hastuti, 1986), Teteraselmis sp. dapat melakukan reproduksi
secara seksual dan vegetataif aseksual. Setiap sel Teteraselmis sp. memiliki sel
gamet yang identik (isogami), kemudian dengan bantuan substansi salah satu
gamet tersebut menyebabkan bersatunya kloroplast yang kemudian menurunkan
zygote yang sempurna sehingga terjadi reproduksi secara seksual. Sedangkan
reproduksi Teteraselmis sp. secara aseksual terjadi ketika protoplasma membelah
menjadi dua, empat, delapan dalam bentuk zoospore setelah masing-masing
melengkapi diri dengan flagella.
Tetraselmis tumbuh dengan kondisi salinitas optimal antara 25 dan 35 ppm
Tetraselmis chuii masih dapat mentoleransi suhu antara 15-350C, sedangkan suhu
optimal berkisar antara 23-250C(Mujiman, 1984).
Parameter Pertumbuhan Fitoplankton :
1. pH
Derajat keasaman atau pH digambarkan sebagai keberadaan ion hidrogen. Variasi
pH pada dapat mempengaruhi metabiolisme dan pertumbuhan kultur mikroalga
antara lain mengubah keseimbangan karbon anorganik, mengubah ketersediaan
nutrien dan mempengaruhi fisiologi sel. Variasi pH dapat mempengaruhi
metabolisme dan pertumbuhan fitoplankton dalam beberapa hal, antara lain
mengubah keseimbangan dari karbon organic, mengubah ketersediaan nutrient,
dan dapat mempengaruhi fisiologis sel. Kisaran pH untuk kultur alga biasanya
antara 7-9, kisaran optimum untuk alga laut antara 7.5-8.5 sedangkan untuk
Tetraselmis chuii optimal pada 7-8 (Cotteau, 1996; Taw, 1990).

2. Salinitas
Kisaran salinitas yang berubah-ubah dapat mempengaruhi dan menghadap
pertumbuhan dari mikroalga. Beberapa mikroalga dapat tumbuh dalam kisaran
salinitas yang tinggi tetapi ada juga mikroalga yang dapat tumbuh dalam kisaran
salinitas yang rendah. Pengaturan salinitas pada medium yang diperkaya dapat
dilakukan dengan pengenceran dengan menggunakan air tawar. Hampir semua
jenis fitoplankton yang berasal dari air laut dapt tumbuh optimal pada salinitas
sedikit di bawah habitat asalnya. Tetraselmis chuii memiliki kisaran salinitas yang
cukup lebar, yaitu 15-36 ppt sedangkan salinitas optimal untuk pertumbuhannya
adalah 27-30 ppt (Cotteau, 1996; Taw, 1990).

3. Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan
mikroalga. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses kimia, biologi dan fisika,
peningkatan suhu dapat menurunkan suatu kelarutan bahan dan dapat
menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi mikroalga
perairan. Suhu optimal kultur fitoplankton secara umum antara 20-24 °C. hampir
semua fitoplankton toleran terhadap suhu antara 16-36 °C. Suhu di bawah 16 °C
dapat menyebabkan kecepatan pertumbuhan turun, sedangkan suhu di atas 36 °C
dapat menyebabkan kematian pada jenis tertentu (Cotteau, 1996; Taw, 1990).

4. Cahaya
Intensitas cahaya sangat menentukan pertumbuhan mikroalga yaitu dilihat dari
lama penyinaran dan panjang gelombang yang digunakan untuk fotosintesis.
Cahaya berperan penting dalam pertumbuhan mikroalga, tetapi kebutuhannya
bervariasi yang disesuaikan dengan kedalaman kultur dan kepadatannya. Cahaya
merupakan sumber energi dalam proses fotosintetis yang berguna untuk
pembentukan senyawa karbon organic. Kebutuhan akan cahaya bervariasi
tergantung kedalaman kultur dan kepadatannya. Intensitas cahaya yang terlalu
tinggi dapat menyebabkan fotoinbihisi dan pemanasan. Intensitas cahaya 1000 lux
cocok untuk kultur dalam Erlenmeyer, sedangkan intensitas 5000-10000 lux untuk
volume yang lebih besar (Mujiman, 1984).

5. Karbondioksida
Karbondioksida diperlukan fitoplankton untuk membantu proses fotosintesis.
Karbondioksida dengan kadar 1-2 % biasanya sudah cukup untuk kultur fitoplankton
dengan intensitas cahaya yang rendah. Kadar karbondioksida yang berlebih dapat
menyebabkan ph kurang dari batas optimum (Cotteau, 1996; Taw, 1990).

6. Nutrient
Mikroalga mendapatkan nutrien dari air laut yang sudah mengandung nutrien yang
cukup lengkap. Namun pertumbuhan mikroalga dengan kultur dapat mencapai
optimum dengan mencapurkan air laut dengan nutrien yang tidak terkandung
dalam air laut tersenut. Nutrien tersebut dibagi menjadi makronutrien dan
mikronutrien, makronutrien meliputi nitrat dan fosfat. Makronutrien merupakan
pupuk dasar yang mempengaruhi pertumbuhan mikroalga. Mikronutrien organik
merupakan kombinasi dari beberapa vitamin yang berbeda-beda. Vitamin tersebut
antara lain B12, B1 dan Biotin. Mikronutrien tersebut digunakan mikroalga untuk
berfotosintesis.(taw, 1996)
Nutrient dibagi menjadi menjadi makronutrien dan mikronutrien. Nitrat dan fosfat
tergolong makronutrien yang merupakan pupuk dasar yang mempengaruhi
pertumbuhan fitoplankton. Nitrat adalah sumber nitrogen yang penting bagi
fitoplankton baik di air laut maupun air tawar. Bentuk kombinasi lain dari nitrogen
seperti ammonia, nitrit, dan senyawa organik dapat digunakan apabila kekurangan
nitrat (Cotteau, 1996; Taw, 1990).

7. Aerasi
Aerasi dalam kultur mikroalga diguanakan untuk proses pengadukan medium
kultur. Pengadukan sangat penting dilakukan yang bertujuan untuk mencegah dari
pengendapan sel, nutrien dapat tersebar sehingga mikroalga dalam kultur
mendapatkan nutrien yang sama, mencegah sratifikasi suhu, dan meningkatkan
pertukaran gas dari udara ke medium. (Taw, 1996)

Laju pertumbuhan Tetraselmis chuii adalah pertambahan jumlah Tetraselmis chuii


dalam periode tertentu. Pada kultur skala lab parameter waktu per jam.
Pertumbuhan microalgae secara umum dapat dibagi menjadi lima fase meliputi fase
lag, fase eksponensial, fase penurunan kecepatan pertumbuhan, fase stasioner, dan
fase kematian. Pada fase lag pertambahan densitas populasi hanya sedikit bahkan
cenderung tidak ada karena sel melakukan adaptasi secara fisiologis sehingga
metabolisme untuk tumbuh lamban. Pada fase eksponensial pertambahan
kepadatan sel (N) dalam waktu (t) dengan kecepatan pertumbuhan (µ) sesuai
dengan rumus fungsi eksponensial. Pada fase penurunan kecepatan tumbuh
pembelahan sel mulai melambat karena kondisi fisik dan kimia kultur mulai
membatasi pertumbuhan. Pada fase stasioner factor pembatas dan kecepatan
pertumbuhan sama karena jumlah sel yang membelah dan yang mati seimbang.
Pada fase kematian kualitas fisik dan kimia kultur berada pada titik dimana sel tidak
mampu lagi mengalami pembelahan. Waktu generasi mikroalga adalah waktu yang
dibutuhkan oleh mikroalga untuk sekali membelah menjadi dua.
Praktikum budidaya Tetraselmis chuii skala laboratorium dilakukan dengan
menggunakan air laut yang diperkaya medium Guillard f/2 dan walne pada salinitas
28‰, pH 7-8. Kemudian kultur stok ditempatkan pada tempat yang dingin dengan
diberi aerator. Pengamatan dilakukan setiap 3 jam sekali dengan dua kali ulangan.
Pengamatan dilakukan dengan mengambil 0,5 ml stok kultur kemudian ditambah
dengan 0,5 ml formalin dan catat nilai salinitas dan pH. Setelah itu diamati dengan
mikroskop, catat banyaknya Tetraselmis chuii yang teramati dan hitung
kepadatannya.
Bedasarkan praktikum budidaya Tetraselmis chuii pada skala laboratorium,
pertumbuhan pada medium f/2 dan walne relative sama atau tidak beda nyata. Hal
tersebut dapat disebabkan karena kedua medium tersebut sama-sama
mengandung nutrisi yang dibutuhkan oleh Tetraselmis chuii untuk tumbuh
meskipun komponen pada kedua medium berbeda. Sehingga pertumbuhan pada
kedua medium tersebut tidak begitu berbeda.

III. KESIMPULAN
1. Cara budidaya Tetraselmis chuii dilakukan pada skala laboratorium budidaya
Tetraselmis chuii dilakukan dengan menggunakan medium Guillard f/2 dan Walne.
2. Berdasarkan hasil praktikum pertumbuhan Tetraselmis pada medium yang
berbeda pada skala laboratorium tidak terdapat beda nyata yang ditunjukkan pada
pertumbuhannya setelah dilakukan pengujian menggunakan tabel anova.

RUJUKAN PUSTAKA

Burlew, J.S. 1995. Algal Culture from Laboratories to Pilot Plant. Carnegie Institution
of
Washington. Washington.

Coutteau, P. 1979. Micro-algae in: Manual on Production and Use of Live Food for
Aquakultur. FAO fisheries Technical Papper. Lavens, P and P. Sorgeloos Edition.
Rome. Italia.

Cotteau, P. 1996. Microalgae. In: Manual on Production and Use of Live Food for
Aquaculture. FAO Fisheries Technical Paper. Lavens, P and P. Sorgeloos Edition.
Rome. Italia. Pp:8-47.

Erlina, A. Hastuti, W. 1986. Kultur Plankton-BBAP. Ditjen Perikanan. Jepara.

Mujiman, Ahmad. 1984. Makanan Ikan. Cetakan 14. Penebar Swadaya. Jakarta.
Prescott, G. W.1978. How to Know The Freshwater Algae. Wne. Brown Company
Publisher.

Taw, Nyan. 1990. Petunjuk Pemeliharaan Kultur Murni dan Massal Mikroalga. Proyek
Pengembangan Udang, United nations development Programme, Food and
Agriculture Organizations of the United Nations.

http://my.opera.com/sampahbermanfaat/blog/index.dml/tag/BUDIDAYA
%20Tetraselmis%20sp.%20SKALA%20LABORATORIUM

DIVISI PYRROPHYTA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pyrrophyta adalah alga uniselular (bersel satu) dengan dua flagel yang berlainan,
berbentuk pita, keluar dari sisi perut dalam suatu saluran. Mengandung pigmen (klorofil A,C2
dan piridinin,sementara yang lain memiliki klorofil A,C1,C2 dan fucosantin) yang dapat
berfotosintesis. Hanya dinoflagellata yang memiliki kemampuan untuk berfotosintesis. Berwarna
kuning coklat.

Alga yang termasuk alga api ini disebut Dino Flagellata, tubuh tersusun atas satu sel memiliki
dinding sel dan dapat bergerak aktif. Ciri yang utama bahwa di sebelah luar terdapat celah dan
alur, masing-masing mengandung satu flagel. Alga api berkembangbiak dengan membelah diri,
kebanyakan hidup di laut dan sebagian kecil hidup di air tawar. Contohnya adalah Perodinium.
Alga api yang hidup di laut memiliki sifat fosforesensi yaitu memiliki fosfor yang memancarkan
cahaya.

1.2 TUJUAN

• Untuk mengetahui ciri-ciri Pyrrophyta


• Untuk mengetahui cara perkembangbiakan Pyrrophyta
• Untuk mengetahui habitat/ tempat hidup Pyrrophyta
• Untuk mengetahui manfaat Pyrrophyta dalam kehidupan

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN
Karakteristik dari dinoflagelata, hanya sekitar setengah dari spesies dinoflagelata yang
mengandung pigmen yang dapat berfotosintesis, sementara yang lain adalah hetertotrop. Hanya
dinoflagelata yang mampu untuk fotosintesis yang dibahas disini. Adanya dua pola pigmentasi
adalah hal yang umum terjadi pada dinoflagelata. Banyak dinoflagelata yang mcmiliki klorofil A
dan C2 dan peridinin, sementara yang lain memiliki klorofil A, Ci dan C2 dan fucoxanthin.
Keberadaan pigmen yang ada pada sedikit dinoflagelated yang lain akan dibicarakan kemudian.
Karbohidrat disimpan scbagai zat tepung, tetapi keberadaan lemak mungkin lebih penting
sebagai cadangan. Sel dari dinofelgelatri tidak dilingkupi olch dinding tetapi memiliki sebuah
theca sebagai pokok membran sel, yang mana terdiri dari piling yang tenuri dari selulosa.
Nukleus dan koroplast memiliki sifat yang tidak biasa.

Kebanyakan dinoflagelata adalah sel biflagelata solitary. Dua tipe dasar teteh dapat
dibedakan. Desmokontt memilild dua anterior flagelata ; satu flagellum mungkin melingkari
diatas permukaan sel Dinokont memiliki segala insert yang lateral; satu flagelum adalah seperti
pita dan melingkari sel pada sebuah lekukan dan flagellum yang lain berkembang terbaik. Tipe
sel dinikont dibagi oleh lekukan ekuatorial atau korset kedalam epiconc dan hypocone.
Flagellum posterior berkembang sampai ke tempat penurunan yang disebut sulcus. Nama
dinoflagelata berasal dari gerakan berputar dari sel swimming. Meskipun kcbunyakan
dinoflagelata adalah flagelata uniselular, koloni dari sel flagelata, sel non-flagelata, pengumpulan
palmelloid, dan filamen adalah diketahui. Sel vegetatif non flagelata menunjukkan reproduktif
membentuk dinokont.

2.2 KLASIFIKASI

Pyrrophyta (Alga Api)

Name :Dinoflagellates

Class :Dinoflagellata, Dinophyceae

Phylum :Dinophyta

Order :Gonyaulacales
Species :Gonyaulax balechii

2.3 CIRI-CIRI UMUM PYRROPHYTA

2.3.1 HABITAT

Pyrrophyta berasal dari lautan (dominan) tetapi ada beberapa ratus spesies yang lain yang
berada di air segar. Pyrrophyta memiliki variasi nutrisi yang besar dari autototropik ke bentuk
heterotropik yang mana terdapat vertebrata parasit dan ikan atau alga phagocytiza yang lain.

2.3.2 SUSUNAN TUBUH

Berbentuk Sel Tunggal, contoh : Peridinium dan Ceratium. Berbentuk Filamen yang
bercabang. contoh : Dinotrix dan Dinoclammn Susunan Sel :Anggota Pyrrophyta banyak yang
ditemukan tanpa adanya dinding sel, sedangkan anggota yang memiliki dinding sel terdiri dari
selulosa dan lempeng-lempeng. Contoh : Glenodinium dan Peridinium Terdapat lekukan pada
tubuh selnya

Terdapat butir-butir kromatin yang berupa untaian (hal ini merupakan ciri khas dari alga
api), Pigmen ; Kloroul a, β Karoten, Xantofil: Berupa Peridinin, Dinoxantin, Diadinoxandn dan
Neodinoxantin.

2.3.3 SUSUNAN SEL

Typical Sell
Sel dinoflagelata memiliki beberapa sifat yang tidak umum, yang mana akan kita
pertimbangkan :. Isi sel : Terdapat inti berbentuk tunggal

1. Theca dan berhubungan dengan struktur (amphiesma)

2. Nucleus, dan

3. Kloroplast,

Dinding Sel

Dinding sel pada umumnya mengandung selulose, hal ini akan memberikan struktur karakteristik
dari teka amfisema adalah nama yang digunakan untuk lapisan terluar khusus dari sel
Dinophyceae. Semua tipe mempunyai membran plasa yang berkesinambungan dengan membran
flagel pada bagian luar. Pada umumnya terdapat sejumlah pori dalam amfisema dengan trikosit
dalam tipe pori.

gelembung thecal berada pada lapisan bawah sel membran. Mereka adalah gelembung flattened,
yang mana melingkupi piringan yang jelas dari seluosa atau mingkin kekurangan kandungan
yang jelas, ukuran, jumlah dan susunan dari jenis piringan thecal berbeda antara masing-masing
dinoflagelata dan ini merupakan hal yang penting dalam sistem taksonomi. nesmokont memiliki
dua piringan besar, sementara dinokont menunjukkan variasi yang, dapat dipertimbangkan.
Beberapa dinokont memiliki jumlah tertentu, biasanya piringan thecal yang tidak jelas
bentuknya, sementara yang lain adalah piringan besar yang jelas, dan disebut dengan nama
"armored”. Dalam upaya untuk mengidentifikasi pola evolusi, secara psikologis menggunakan
sejumlah piringan thecal, tetapi tidak disctujui apakah pada kondiai primitif memiliki piringan
kccil dan pcmbcsaran piring dan reduksi dalam jumlah yang dapat terjadi, atau apakah beberapa
piringan primitif dan meningktit jumlahnya dari yang terjadi.

Gelembung thecal mungkin mendasari mikrotubula, sebuah pellicle dari fitnous material dan
penambahan membran (kadang-lcndang dipertimbangkan termasuk sel membran). Juga yang
berhubungan dengan theca adalah trichocysts dan getah yang dapat menghasilkan gelembung.
Trichocysts adalah gelembung yang mengandung batang cristalin, yang mana dapat melepaskan,
dan agaknya sebagai fungsi pertahauan.
Nukleus dari dinoflagelata menunjukkkan setuju sifat yang berbeda dari kondisi yang biasa di
eukariot. Nukleus dilingkupi dengan pembungkus, sebagaimana pada sel eukariot, tetapi didalam
mikrograph elekron, kromosom terlihat sebagai struktur yang berbentuk batang. Berbeda dengan
kondisi yang biasa pada nuclei eukariot, kromosom dinoflagelata mengikat nuclear pembungkus.
Dinoflagelata nukleus mempertimbangkan mewakili kondisi primitif diantara organisme
eukaroid dan kadang-kadang disebut dengan mesokaryotic atau dinokarytic untuk membedakan
itu dengan kondisi-kondisi eukayotic yang lain.

Ekologi

mayoritas dari dinoflagelata berasal dari lautan, tetapi ada beberapa ratus spesies yang
lain yang berada di air segar. Dinoflagelata adalah komponen yang penting dari plankton,
khusnya pada kondisi hangat sebagai penambahan, beberapa spesies adalah benthic atau terjadi
dalam peristiwa simbiotik, diaflagelata memiliki variasi nutrisi yang besar, dari ragenututropik
ke bentuk heterotropik yang mana terdapat juga intevertebrata parasit dan ikan atau alga
phagocytiza yang lain. Dinoflagelata yang memiliki sistem fotosmtesis dan membutuhkan
vitamin disebut autotropi dan yang membutuhkan energi disebut heterotrop.

Pertumbuhan yang cepat dari plankton dinoflagelata mungkin akan menghasilkan warna
coklat atau merah perubahan wama air disebut red tides. Red tides biasanya terjadi pada air
pesisir pantai dan muara. Beberapa dinoflagelata menghasilkan red tides adalah luminescent
Spesics lain mungkin mengandung racun yang dapat dilepaskan kedalam air atau terakumulasi
dalam rantai makanan. Dalam beberapa kasus, racun dapat menyebabkan kematian ikan atau
menyeliabkan keracunan manusia yang makan makanan yang terkontaminasi oleh moluska atau
ikan.

Penyebab dari berkembangnya dinoflagelata dan umunya berhubungan dengan kondisi


lokal (LIHAT Adreson et al, 1985; Graneli et al, 1990). Walau bagaimanapun, beberapa pola
umum tetap terjadi konsentrasi yang tinggi dari sel yang menghasilkan red tides kadang-kadang
diikutipengkayaan dari air dengan adanya upwelling atau runoff. Sekuen yang khas untuk red
tide.
1. Perkecambahan cysts (hinozigot) pada dasar inokulasi wl kedalam air.
2. Populasi dari peningkatan sel dengan reproduksi aseksual.
3. Akumulasi sel dekat permukaan sebagai hasil dari phototaxis positif.
4. Konsentrasi sel mungkin terjadi sebagai hasil dari pergerakan air (dihasilkan oleh
onshore wind tide dll )
5. Reproduksi seksual terjadi dan zigot menjadi cysts, menjaga cadangan pada fase dorman
pada dasamya.

Tabel 1.5 Racun Dinoflagelata


Efek pada manusia Principal genus Principal toxin

Paralytic shelfish Alexandrium Saxitcnan

poisoning (protogonyalax)

Ptychodiscus Brcvetoxin

Neurotic shcUlsh poisoning Gambienliscus Ciguatoxin dan

Ciguatera fish poisoning Dinophysis maititoxin

Diarrhetic shelfish Okadaic acid

poisoning

Red tides

Pertumbuhan yang cepat dari pyrrophyta akan menghasilkan gamet coklat atau merah pada
air sehingga disebut red tides. Red tides biasanya terjadi pada air pesisir pantai dan muara,
bebrapara pyrrophyta yang mengakibatkan red tides adalah luminescen. jumlah fitoplankton
berlebih di sebuah perairan berpotensi membunuh berbagai jenis biota laut secara massal.
Pasalnya, keberadaan fitoplankton mengurangi jumlah oksigen terlarut."Kemungkinan lain,
insang- insang ikan penuh dengan fitoplankton. Akibatnya, lendir pembersihnya menggumpal
karena fitoplanktonnya berlebih dan ikan pun sulit bernapas.
Padahal, mereka terus bergerak," Dugaan di atas diperkuat dengan terjadinya peristiwa pada
sore hingga malam hari. Saat itulah fitoplankton membutuhkan oksigen sehingga terjadilah
perebutan oksigen. Siang hari, oksigen terlarut justru berlebih karena proses fotosintesis,
Misalnya pada perairan teluk Jakarta, karena perairan ini terkenal memiliki nutrien tinggi seiring
tingginya limbah organik yang dibawa sungai ke laut. Dampaknya, perairan Teluk Jakarta
kelewat subur bagi pertumbuhan fitoplankton yang membutuhkan unsur nitrogen (N) dan fosfat
(P) untuk berkembang. Limbah rumah tangga dan industri, di antaranya limbah deterjen dan
limbah organik nonlogam berat, merupakan penyedia utama P dan N. Peristiwa ledakan
fitoplankton tidak hanya berakibat negatif. Sisi positifnya, ketersediaan fitoplankton dalam
jumlah banyak pertanda baik bagi peternakan kerang, terutama kerang hijau (Pena viridis).

Selain itu, ikan-ikan yang berada di Laut senantiasa tercukupi kebutuhan makanannya.
Namun di sisi lain, kelebihan fitoplankton mengganggu estetika perairan untuk wisata bahari.
Red Tide spesies fitoplankton pyrrophyta itu terjadi, menurut Said Mustafa disebabkan empat
faktor. Pertama, pengayaan unsur hara dalam dasar laut atau eutrofikasi; Kedua, perubahan
hidro-meteorologi dalam sekala besar; Ketiga, adanya gejala upwelling yaitu pengangkatan
massa air yang kaya akan unsur hara ke permukaan, dan; Keempat, akibat hujan dan masuknya
air tawar ke laut dalam jumlah besar. “Banjir bandang, misalnya, bisa juga membuat air laut
pantai timur di Aceh terkena red tide” .

Keempat faktor itu, menurutnya, merupakan faktor penyebab terjadinya red tide spesies
fitoplankton pyrrophyta berwarna merah. Spesies ini akan hilang dengan sendirinya, bila
ekosistem dalam air kembali seimbang, yaitu kembali pada kondisi normalnya. Perubahan warna
air laut terjadi, jika warna merah karena dominasinya spesies alga merah (Dinoplagelata) yang
mekar dan tumbuh dari dasar laut melampui batas normalnya.

Red tide kadang-kadang bermula dari estuaries dan kemudian berkembang ke pesisir
pentai. Dampak dari red tide pada komrnitas lautan bergantung pada spesies tersebut Oksigen
mungkin dihabiskan oleh proses respirasi dari dinoflagelata pada saat malam dan dengan
dekomposisi sel ketika masa perkembangan berakhir. Beberapa efek mungkin akan dihasilkan
ketika tumpukan spesies mengandung racun terkumpul.

Dinoflagellata beracun

Biasanya masing-masing spesies membentuik campuran racun yang berbeda, racun yang
utama adalah saxitoxin dan yang dihasilkan oleh Alexandrium, brevetoxin dihasilkan oleh
ptyahodiscus, dan ciaduatoxin dihasilkan oleh bambierdiscus. Keracunan manusia biasanya
terjadi setelh memakan ikan atau molusca yang megakumulasi racun dari pyrrophyta Tidak
semua biota laut yang mati karena fitoplankton berbahaya bila dikonsumsi, di antaranya
bergantung pada jenis fitoplankton. Secara umum terbagi dua, yakni jenis harmful algae bloom
(HAB) dan non-HAB. Bila berlebih, keduanya berbahaya bagi ikan. "Tidak masalah
mengonsumsi ikan yang penyebab kematiannya adalah algae tidak beracun. Dari 20 jenis algae
penyebab ikan mati, 17 di antaranya pernah ditemukan di Teluk Jakarta.

Tiga di antaranya yang ditemukan di perairan di utara Jakarta adalah jenis Dinophysis spp,
Alexandrium spp, dan Pseudonitschia spp. seseorang yang mengonsumsi kerang yang
mengandung algae jenis Alexandrium spp, dapat terkena kanker hati paralytic shellfish poisoning
(PSP). Jenis racunnya disebut saxitoxin. Berdasarkan penelitian yang pernah diterapkan pada
tikus, racun saxitoxin berdaya bunuh 1.100 kali dibandingkan sianida, sedangkan bisa ular kobra
"hanya" berdaya bunuh 500 kali. Sedangkan daya bunuh tertinggi terdapat pada algae
Gambierdiscus toxicus dengan meitotoxin-nya yang berdaya bunuh 22.000 kali. Menurut Zaenal,
salah satu cara melindungi Teluk Jakarta -khususnya dari pencemaran logam berat dan
fitoplankton beracun-adalah dengan membangun sanitasi di permukiman. Selain itu, perlu
semacam lembaga yang khusus memonitor ketat dampak pencemaran pada biota laut. (GSA)

Hanya sedikit dinoflagelata (diperkirakan 20 spesies) adalah racun (Steiding r, 1983;


Steidinger and Baden 1984; Taylor, 1985). Biasanya masing-masing spcsies membentuk
campuran racun yang berbeda. Racun yung utama adalah saxitoxin dan itu dihasilkan oleh
Alexandrium, brevetoxin dihasilkan oleh Ptychodiscus, dan ciguatoxin dihasilkan oleh
Gauabierdiscus. Keracunan manusia biaaanya terjadi setelah memakan Ikan atau moluska yang
mengakumulasi racun yang memakan dinoflagelata.

Cadangan Makanan

Berupa tepung dan minyak

Alat Gerak:

Berupa flagel, sebanya 2 (dua) buah, satu buah melingkar sedangkun satu bagiaji lainnya
berada di posterio Ada juga falgel yang terletak di bagian lateral Bila flagel yang melingkar
bergerak, maka sel akan berputar dan bila flagel bagian posterior yang bergerak maka sel akan
maju.

Cara Perkembangbiakan

Pyrrophyta memiliki 2 cara perkembangbiakan, yaitu secara:

1. Vegetatif, yaitu dengan pembelahan sel yang bergerak, jika sel memiliki panser, maka
selubung akan pecah. Dapat juga dengan cara protoplas membelah membujur, lalu
keluarlah dua sel telanjang yang dapat mengembara yang kemudian masing – masing
membuat panser lagi. Setelah mengalami waktu istirahat zigot yang mempunyai dinding
mengadakan pembelahan reduksi, mengeluarkan sel kembar yang telanjang

2. Sexual, dalam sel terbentuk 4 isogamet yang masing-masing dapat mengadakan


perkawinan dengan isogamet dari individu lain

3. Sporik, yaitu dengan zoospora (contohnya Gloeonidium) dan aplanospora (contohnya


Glenodinium)

Pada Alexandrium sp, cara perkembangbiakannya yaitu:

o Kista-kista tidur dalam dasar laut, tertimbun oleh sedimen. Jika tak terganggu
oleh kekuatan fisik atau alam, mereka dapat berada di dasar laut dalam kondisi
tertidur untuk waktu bertahun-tahun. Jika terdapat kandungan oksigen dan kondisi
memungkinkan, mereka daapt melakukan proses perkecambahan.
o Jika suhu hangat dan banyak cahaya yang merangsang perkecambahan ini, kista
akan pecah dan mengeluarkan sel yang dapat berenang. Sel ini direproduksi oleh
pembelahan sederhana dalam beberapa hari pengeraman.
o Jika kondisi tetap optimal, sel akan terus membelah diri secara berlipat, dari dua
menjadi empat, empat menjadi delapan, dan seterusnya. Setiap satu sel dapat
menghasilkan beberapa ratus sel dalam se minggu.
o Pada saat nutrisi telah habis, pertumbuhan sel berhenti dan terbentuklah sel-sel
gamet. Setiap dua sel gamet yang berbeda bersatu membentuk satu sel baru yang
berkembang menjadi sebuah zigot dan akhirnya menjadi kista. Kista ini lalu jatuh
ke dasar laut dan dapat berbiak pada tahun berikutnya.

http://alvin53.blogspot.com/2009/02/divisi-pyrrophyta.html

Divisi : Pyrrophycophyta
Kelas : Dinophyceae
Bangsa : Peridiniales
Suku : Peridiniaceae
Marga : Peridinium
Jenis : Peridinium monacanthum
Sinonim : Tidak diketahui
Nama Umum : Tidak diketahui
Nama Daerah : Tidak diketahui
Nama Asing : Tidak diketahui
Kandungan Senyawa : Tidak diketahui
Kegunaan : Tidak diketahui

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Scenedesmus merupakan kelompok mikroalga dan yang paling beragam karena ada yang bersel
tunggal, koloni dan bersel banyak. warna hijau dari klorofil a dan b yang sama dalam proporsi
sebagai 'tinggi' tanaman serta c klorofil tetapi dilaporkan terdapat di beberapa prasinophyceae; √
U-karoten, dan berbagai karakteristik xanthophylls. Hasil asimilasi berupa amilum yang tersusun
dalam kloroplas, kloroplasnya beraneka bentuk dan ukurannya, ada yang seperti mangkok,
seperti busa, seperti jala, dan seperti bintang, penyusunnya sama seperti pada tumbuhan tingkat
tinggi yaitu amilase dan amilopektin.
Scenedesmus biasanya hidup di air tawar, air laut, air payau tanah – tanah yang basah , ada pula
yang hidup di tempat – tempat kering. Pada umumnya melekat pada batuan, dan seringkali
muncul kepermukaan apabila air surut merupakan suatu penyusun plankton atau sebagai bentos.
Yang bersel besar ada yang hidup di air laut, terutama dekat pantai. Ada jenis chlorophyceae
yang hidup pada tanah-tanah yang basah. Bahkan diantaranya ada yang tahan akan kekeringan.
Sebagian lainnya hidup bersimbiosis dengan lichenes, dan ada yang intraseluler pada binatang
rendah. Sebagian yang hidup di laut merupakan makroalga seperti Ulvales dan siphonales.
Scenedesmus yang hidup di air tawar memiliki sifat kosmopolit, terutama yang hidup di tempat
yang terkena cahaya matahari langsung seperti kolam, danau dan genangan air hujan, sungai atau
selokan. Alga hijau juga ditemukan dilingkungan semi akuatik yaitu pada batu-batuan dan kulit
batang pohon yang lembab (protococcus dan trentepotia. Beberapa anggotanya hidup di air yang
mengapung atau melayang. Beberapa jenis ada yang hidup melekat pada tumbuhan atau hewan.
Media alami Scenedesmus dibuat dari bahan-bahan alami, seperti air kelapa. Media alami juga
dapat diperoleh dari limbah pembuatan produk tertentu, seperti limbah pengolahan produk
kacang kedelai, limbah minuman the. limbah cair tahu dan tapioka. Selain media tersebut diatas,
ekstrak tauge juga dapat digunakan sebagai media alami bagi pertumbuhan mikroalga.

1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan paper ini untuk mengetahui Pengaruh Konsentrasi Medium Ekstrak
Tauge (Met) Terhadap Pertumbuhan Scenedesmus yang ditinjau dari Klasifikasi dan Morfologi,
Habitat, Sistem Reproduksi, Ciri-Ciri Scenedesmus, Pengaruh Konsentrasi MET, Pertumbuhan
Sel Scenedesmus.

1.3 Batasan Masalah


Batasan masalah yang di bahas dalam paper ini adalah untuk mengetahui Pengaruh Konsentrasi
Medium Ekstrak Tauge (Met) Terhadap Pertumbuhan Scenedesmus yang ditinjau dari
Klasifikasi dan Morfologi, Habitat, Sistem Reproduksi, Ciri-Ciri Scenedesmus, Pengaruh
Konsentrasi MET, Pertumbuhan Sel Scenedesmus.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Morfologi dan Klasifikasi Scenedesmus
Scenedesmus merupakan mikroalga yang bersifat kosmopolit. Sebagian besar Scenedesmus
dapat hidup di lingkungan akuatik seperti perairan tawar dan payau. Scenedesmus juga
ditemukan di tanah atau tempat yang lembab. Sel Scenedesmus berbentuk silindris dan
umumnya membentuk koloni (Gambar 1). Koloni Scenedesmus terdiri dari 2, 4, 8, atau 16 sel
tersusun secara lateral. Ukuran sel bervariasi, panjang sekitar 8--20 µm dan lebar sekitar 3--9
µm. Struktur sel Scenedesmus sederhana. Sel Scenedesmus diselubungi oleh dinding yang
tersusun atas tiga lapisan, yaitu lapisan dalam yang merupakan lapisan selulosa, lapisan tengah
merupakan lapisan tipis yang strukturnya seperti membran, dan lapisan luar, yang menyelubungi
sel dalam koloni. Lapisan luar berupa lapisan seperti jaring yang tersusun atas pektin dan
dilengkapi oleh bristles.

Gambar 1. Scenedesmus sp
Scenedesmus dapat dibagi menjadi 10 divisi dan 8 divisi algae merupakan bentuk unicellulair.
Dari 8 divisi algae, 6 divisi telah digunakan untuk keperluan budidaya perikanan sebagai pakan
alami. Setiap divisi mempunyai karakteristik yang ikut memberikan andil pada kelompoknya,
tetapi spesies-spesiesnya cukup memberikan perbedaan-perbedaan dari lainnya. Ada 4
karakteristik yang digunakan untuk membedakan divisi mikro algae yaitu ; tipe jaringan sel, ada
tidaknya flagella, tipe komponen fotosintesa, dan jenis pigmen sel. Selain itu morfologi sel dan
bagaimana sifat sel yang menempel berbentuk koloni / filamen adalah merupakan informasi
penting didalam membedakan masing-masing group.
Menurut Watanabe, et.al., (1978) scenedesmus termasuk dalam kelas Chlorophyceae dan family
Scenedesmaceae. Scenedesmus dimorphus diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Chlorophyta
Kelas : Chlorophyceae
Ordo : Cholococcales
Famili : Scenedesmaceae
Species : Scenedesmus dimorphus
2.2 Ciri – Ciri Scenedesmus
Ciri umum Scenedesmus Berwarna hijau terang, kosmopolitan (air tawar, payau, asin. Dari
oligotrof sampai eutrof, memiliki anggota terbanyak, eukariot (umumnya uninucleate), ada yang
unisel, koloni dan filamen, pigmen yang dimiliki: klorofil a,b, karoten (ֶα,β,γ) dan beberapa
xantofil, dinding sel terbuat dari selulosa atau polimer xylosa atau mannosa atau hemiselulosa.
Sedangkan ciri-ciri khusus Scenedesmus itu sendiri sebagian anggota memiliki flagel -à dapat
bergerak sedikit, bentuk flagel isokontae, jumlah dan letak sangat bervariasi (apikal, subapikal,
lateral).
2.3 Peranan Scenedesmus
Berperan sebagai produsen dalam ekosistem. Berbagai jenis alga yang hidup bebas di air
terutama yang tubuhnya bersel satu dan dapat bergerak aktif merupakan penyusun pitoplankton.
Sebagian fitolankton adalah alga hijau, pigmen klorofil yang dimilikinya aktif melakukan
fotosintesis sehingga alga hijau merupakan produsen utama dalam ekosistem perairan. Peranan
Scenedesmus bagi kehidupan manusia antara lain, digunakan dalam penyelidikan metabolisme di
laboratorium. Juga dimanfaatkan sebagai bahan untuk obat-obatan, bahan kosmetik dan bahan
makanan. Serbuk Chlorella dalam industri obat-obatan dimasukkan dalam kapsul dan dijual
sebagai suplemen makanan dikenal dengan “Sun Chlorella”. Pengembangannya saat ini di
kolam-kolam (contohnya di Pasuruan).
Scenedesmus mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, yaitu: Produsen primer
(penyedia oksigen), Sebagai alternatif bahan pangan bagi astronot, terutama spesies chlorella
(karena kandungan chlorelinnya banyak mengandung vitamin E), Sumber pakan alami bagi ikan
dan organism air lain (terutama benih), Beberapa diantaranya dibudidayakan sebagai sumber
pakan dip anti pembenihan ikan, contoh: chlorella, dunaliella, tetraselmis, dan scenedesmus.
Jenis tertentu dimanfatkan sebagai suplemen makanan bagi manusia dan sebagai pengawet
makanan, Twtraselmis dan chlorella dikenal sebagai probiotik.
2.4 Sistem Reproduksi
Scenedesmus dapat melakukan reproduksi aseksual maupun seksual. Reproduksi aseksual terjadi
melalui pembentukan autokoloni, yaitu setiap sel induk membentuk koloni anakan yang
dilepaskan melalui sel induk yang pecah terlebih dahulu. Beberapa spesies Scenedesmus dapat
melakukan reproduksi seksual dengan pembentukan zoospora biflagel dan isogami.
Karbohidrat, protein, dan lemak bila diuraikan menjadi monomer-monomer penyusunnya, pada
akhirnya akan menjadi asetil KoA. Selanjutnya, asetil KoA masuk ke dalam siklus Krebs,
dilanjutkan dengan rantai transpor elektron yang akan menghasilkan ATP. Energi yang
terkandung dalam ATP tersebut digunakan untuk pertumbuhan dan pembelahan sel
Scenedesmus.
2.5 Macam – Macam Scenedesmus
1. Scenedesmus bersel tunggal tidak bergerak
• Chlorella.
Banyak ditemukan sebagai plankton air tawar. Ukuran tubuhnya mikroskopis, bentuk bulat, serta
berkembangbiak dengan pembelahan sel. Chlorella sebagai Makanan Suplemen
• Chlorococcum.
Tubuh bersel satu, tempat hidup air tawar, bentuk bulat telur, setiap sel memiliki satu kloroplas
bentuk mangkuk. Reproduksi dengan membentuk zoospora (secara aseksual).
2. Scenedesmus bersel tunggal dapat bergerak
• Chlamidomonas.
Bentuk sel bulat telur, memiliki 2 flagel sebagai alat gerak, terdapat 1 vacuola, satu nukleus dan
kloroplas. Pada kloroplas yang bentuknya seperti mangkuk terdapat stigma (bintik mata) dan
pirenoid sebagai tempat pembentukan zat tepung.
3. Scenedesmus berbentuk koloni tidak bergerak
• Hydrodictyon.
Hydrodictyon banyak ditemukan di dalam air tawar dan koloninya berbentuk seperti jala. Ukuran
cukup besar sehingga dapat dilihat dengan mata telanjang. Reproduksi vegetatif dengan zoospora
dan fragmentasi. Fragmentasi dilakukan dengan cara melepas sebagian koloninya dan
membentuk koloni baru. Sedangkan reproduksi generatif dengan konjugasi.
4. Scenedesmus berbentuk koloni dapat bergerak
• Volvox.
Volvox ditemukan di air tawar, koloni berbentuk bola jumlah antara 500 sampai 5000 buah. Tiap
sel memiliki 2 flagel dan sebuah bintik mata. Reproduksi aseksual dengan fragmentasi dan
seksual dengan konjugasi sel-sel gamet.
5. Scenedesmus berbentuk benang
• Spyrogyra.
Ganggang ini didapatkan di sekitar kita yaitu di perairan. Bentuk tubuh seperti benang, dalam
tiap sel terdapat kloroplas berbentuk spiral dan sebuah inti. Reproduksi vegetatif dengan
fragmentasi, sedangkan reproduksi seksual dengan konjugasi.

• Oedogonium.
Ganggang ini berbentuk benang, ditemukan di air tawar dan melekat di dasar perairan.
Reproduksi vegetatif dilakukan oleh setiap sel menghasilkan sebuah zoospora yang berflagela
banyak. Reproduksi generatif adalah salah satu benang membentuk alat kelamin jantan
(antiridium) dan menghasilkan gamet jantan (spermatozoid). Pada benang yang lain membentuk
alat kelamin betina yang disebut Oogonium. Oogonium akan menghasilkan gamet betina
(ovum). Sperma tozoid membuahi ovum dan terbentuk zigot. Zigot akan tumbuh membentuk
individu
6. Scenedesmus berbentuk lembaran
• Ulva.
Ganggang ini ditemukan di dasar perairan laut dan menempel di dasar, bentuk seperti lembaran
daun. Berkembangbiak secara vegetatif dengan menghasilkan spora dan spora tumbuh menjadi
Ulva yang haploid (n), Ulva haploid disebut gametofit haploid. Kemudian secara generatif
menghasilkan gamet jantan dan gamet betina. Pertemuan gamet jantan dan gamet betina akan
menghasilkan zigot (Z2n). Zigot berkembang menjadi Ulva yang diploid disebut sporofit.
Selanjutnya sporofit membentuk spora yang haploid setelah mengalami meiosis. Selanjutnya
mengalami mitosis dan menghasilkan gametofit haploid
• Chara.
Chara hidup di air tawar terutama melekat pada batu-batuan. Bentuk talus seperti tumbuhan
tinggi, menyerupai batang, yang beruas-ruas dan bercabang-cabang, berukuran kecil. Pada
ruasnya terdapat nukula dan globula. Di dalam nukula terdapat arkegonium dan menghasilkan
ovum. Di dalam globula terdapat anteridium yang memproduksi spermatozoid. Spermatozoid
akan membuahi ovum dan menghasilkan zigospora yang berdinding sel. Pada reproduksi secara
vegetatif dilakukan dengan cara fragmentasi.

2.6 Susunan Tubuh Scenedesmus


Struktur tubuh Scenedesmus bervariasi baik dalam ukuran, bentuk maupun susunanya. Untuk
mencakup sejumlah besar variasi tersebut, scenedesmus dapat dikelompokkan sebagai berikut:
sel tunggal (uniseluler) dan motil (ex:Chlamydomonas), Srl tunggal uniseluler dan non motil
(ex:Chlorella), Sel senobium (koloni yanh mempunyai jumlah sel tertentu sehingga mempunyai
bentuk yang relatif tetap), koloni tak baraturan (ex:tetraspora), filamen (ada yang bercabang dan
tidak bercabang), heterotrikus (filamen barcabang bentuknya terbagi menjadi prostate dan erect),
foliaceus atau parenkimatis (filamen yang pembelahan sel vegetatif terjadi lebih dari satu
bidang., tubular (talus yang memiliki banyak inti tanpa sekat melintang)

III. PEMBAHASAN
3.1 Metode Penelitian
Sampel Scenedesmus Meyen yang digunakan dalam penelitian berasal dari Koleksi
Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Departemen Biologi FMIPA-UI hasil isolasi dari Subang,
Jawa Barat. Penelitian dilakukan di Ruang Kultur Alga, Departemen Biologi FMIPA UI dengan
kondisi rak kultur, yaitu suhu 22 – 230 C, kelembapan 78 – 87 %, dan intensitas cahaya 1025 –
2620 lux. Penelitian bersifat eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (Complete
Random Design) yang terdiri atas delapan macam perlakuan dan tiga ulangan untuk setiap
perlakuan. Perlakuan yang diberikan, yaitu.
1. Perlakuan I, MET konsentrasi 1%;
2. Perlakuan II, MET konsentrasi 2%;
3. Perlakuan III, MET konsentrasi 3%;
4. Perlakuan IV, MET konsentrasi 4%;
5. Perlakuan V, MET konsentrasi 5%;
6. Perlakuan VI, MET konsentrasi 6%;
7. Perlakuan VII, Medium Basal Bold (MBB)(kontrol positif);
8. Perlakuan VIII, Akuabides (kontrol negatif).
Penelitian dimulai dengan pembuatan medium perlakuan yang terdiri dari Medium Basal Bold
(MBB) dan Medium Ekstrak tauge (MET). Pembuatan MBB sesuai dengan Nichols 1973 [19],
sedangkan Proses pembuatan MET diawali dengan proses pengecambahan biji kacang hijau
sehingga dihasilkan tauge. Biji kacang hijau dicuci hingga bersih kemudian direndam selama 12
jam pada suhu ruang. Biji kacang hijau ditiriskan dan disebarkan pada wadah yang berpori,
kemudian dikecambahkan selama 48 jam. Selama proses perkecambahan, dilakukan penyiraman
sebanyak 4—5 kali sehari.
Tahap pembuatan MET dilanjutkan dengan membuat larutan stok (b/v).
1. Sebelum diolah, tauge kacang hijau seberat 100 g dicuci di bawah air mengalir untuk
membersihkannya.
2. Tauge tersebut kemudian direbus dalam 500 ml akuades yang mendidih selama 1 jam. Air
rebusan tauge berupa ekstrak disaring menggunakan kain kassa dan kapas agar terpisah dari
tauge.
3. Selanjutnya, ekstrak tauge disterilisasi secara bertahap (tyndalisasi) pada suhu 100 C selama
1 jam, dilakukan tiga kali berturut-turut dengan selang waktu 24 jam. Media perlakuan yang
terdiri dari MET dengan konsentrasi 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, dan 6% dibuat dari larutan stok (v/v).
Konsentrasi media 1% dibuat dengan menambahkan 1 ml stok MET dengan 99 ml akuabides.
4. Selanjutnya, untuk MET 2%, 3%, 4%, 5%, dan 6% sebanyak 2 ml, 3 ml, 4 ml, 5ml, dan 6 ml
stok MET dicampurkan dengan akuabides sebanyak 98, 97, 96, 95, dan 94 ml. Selanjutnya
dilakukan pemurnian kultur Scenedesmus menggunakan metode pengenceran. Sebanyak 1 ml
biakan Scenedesmus dari kultur koleksi dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml
MBB kemudian dicampur hingga homogen.
5. Selanjutnya dari kultur tersebut diambil 0,1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi kedua.
Proses tersebut dilakukan hingga tabung reaksi keempat.
6. Kultur selanjutnya diletakkan di rak kultur dan diinkubasi selama 30 hari dengan
fotoperiodisitas 14 jam terang dan 10 jam gelap. Kultur Scenedesmus yang tumbuh dengan baik
dan murni (tanpa kontaminan) diperbanyak lagi secara bertahap hingga didapatkan 100 ml kultur
murni Scenedesmus.
Sebelum digunakan sebagai inokulum, biakan kultur persediaan diremajakan pada media
perlakuan. Selanjutnya biakan kultur diletakkan di rak kultur dan diinkubasi dengan
fotoperiodisitas 14 jam terang dan 10 jam gelap. Sel yang telah berada dalam tahap pertumbuhan
yang seragam digunakan sebagai inokulum.
Penginokulasian sel Scenedesmus dilakukan dengan cara sebagai berikut.
1. Kerapatan sel yang diinokulasikan sebesar 50.000 sel/ml disentrifugasi dengan kecepatan
5000 rpm selama 15 menit untuk memisahkan biomassa mikroalga Scenedesmus dari media.
2. Supernatan dibuang dan endapan sel diinokulasikan ke dalam 60 ml media perlakuan.
Selanjutnya labu kultur perlakuan diletakkan di rak kultur dan diberi pencahayaan dari dua buah
lampu TL masing-masing berkekuatan 36 watt. Lampu diletakkan sejajar di samping kiri dan
kanan rak kultur dengan jarak kurang lebih 10 cm dari labu kultur dengan fotoperiodisitas 14 jam
terang dan 10 jam gelap.
3. Penghitungan jumlah sel untuk mendapatkan data kerapatan sel dilakukan setiap 24 jam sekali
mulai t0 (hari ke-0) hingga t10 (hari ke-10).
4. Sebanyak 1 ml kultur diambil secara aseptik dari tiap-tiap labu kultur menggunakan pipet
Pasteur dan diletakkan ke dalam botol sampel.
5. Selanjutnya, kultur diletakkan ke dalam kamar hitung Improved Neubauer. Sel dihitung
dengan bantuan mikroskop. Sel Scenedesmus yang dihitung adalah seluruh sel yang hidup,
berwarna hijau, baik dalam bentuk uniseluler atau koloni.
Data jumlah sel yang diperoleh dari hasil penghitungan jumlah sel menggunakan kamar hitung
Improved Neubauer pada Haemacytometer, selanjutnya digunakan untuk menghitung kerapatan
sel. Kerapatan sel Scenedesmus dihitung dengan rumus k = n x p x 2500, dengan k = kerapatan
sel Scenedesmus (sel/ml), n = jumlah total sel dalam 4 kotak kamar hitung Improved Neubauer
(white), dan p adalah tingkat pengenceran yang digunakan [20]. Laju pertumbuhan dihitung
menggunakan rumus Hirata, yaitu k = log 10 (Nt - N0) / (t) x 3,22 dengan k = laju pertumbuhan,
Nt = kerapatan sel pada waktu t (sel/ml), N0 = kerapatan sel pada saat awal inokulasi, dan t =
waktu (hari).
Nilai pH kultur setiap perlakuan diukur setiap 24 jam sekali pada kesempatan yang bersamaan
dengan dilakukannya penghitungan jumlah sel Scenedesmus. Pengukuran pH dilakukan dengan
cara menyelupkan kertas pH ke dalam sampel kultur yang akan dihitung hingga seluruh warna
indikator pada ujung kertas pH terbasahi media, kemudian mencocokkan warna yang terbentuk
pada kertas pH dengan warna pada kemasan pH indikator. Pengukuran kadar klorofil dilakukan
pada hari pertama (t0) dan hari terakhir (t10). Pengukuran dilakukan dengan cara sebagai
berikut. Sebanyak 10 ml sampel kultur disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 15
menit. Supernatan dibuang sedangkan endapannya diambil. Endapan biomassa sel Scenedesmus
ditambahi aseton 90% sehingga volume akhir menjadi 10 ml lalu dimasukkan kedalamnya
beberapa butir glass bead. Penggunaan glass bead bertujuan untuk memecah dinding sel
Scenedesmus. Suspensi tersebut kemudian divorteks selama 20 menit dan disentrifugasi kembali.
Supernatan kemudian diambil untuk diperiksa menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 663 nm dan 645 nm, sedangkan endapannya dibuang. Nilai absorbansi yang didapat
kemudian dimasukkan ke dalam rumus penghitungan kadar klorofil berdasarkan Meeks.
Kondisi lingkungan ruang kultur dicatat setiap hari selama penelitian berlangsung. Pencatatan
tersebut meliputi suhu ruang (ºC) diukur dengan termometer udara, kelembapan ruang kultur (%)
diukur dengan higrometer, dan intensitas cahaya (lux) di sekitar rak kultur diukur dengan
luxmeter. Data kerapatan sel setelah 10 hari pengamatan terlebih dahulu ditransformasikan ke
dalam bentuk log x untuk memperkecil kisarannya. Data tersebut kemudian diuji dengan uji
normalitas Khi-kuadrat dan uji homogenitas Bartlet. Hasil uji tersebut menyimpulkan bahwa data
penelitian tidak berdistribusi normal dan homogen. Pengujian dilanjutkan dengan uji Kruskal
Wallis untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh antara konsentrasi media perlakuan terhadap
rerata kerapatan sel. Hasil uji menunjukkan bahwa konsentrasi Medium Ekstrak Tauge (MET)
berpengaruh terhadap kerapatan sel Scenedesmus. Data dianalisis lebih lanjut dengan uji
perbandingan berganda untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan rerata kerapatan sel antar
perlakuan.
3.2 Kerapatan Sel Scenedesmus
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kultur yang ditumbuhkan dalam MET, MBB, dan
akuabides menghasilkan rerata kerapatan sel yang berbeda. Hal tersebut menandakan bahwa
media perlakuan yang digunakan berpengaruh terhadap rerata kerapatan sel Scenedesmus. Rerata
kerapatan sel Scenedesmus selama penelitian pada masing-masing media perlakuan dapat dilihat
pada Tabel 1.
Pengaruh media perlakuan terhadap kerapatan sel Scenedesmus juga dibuktikan dengan uji
statistik. Hasil uji Kruskal-Wallis terhadap rerata kerapatan sel (log x) selama 10 hari
pengamatan (Gambar 2) menunjukkan adanya pengaruh media perlakuan terhadap rerata
kerapatan sel Scenedesmus. Hasil uji perbandingan berganda, menunjukkan perbedaan sangat
nyata antara medium akuabides dengan MET 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, 6%, dan MBB. Perbedaan
nyata terjadi antara MET 5% dengan MET 2% dan MET 1%, MET 1% dengan MET 2% dan
MBB, MBB dengan MET 3%. Tidak terdapat perbedaan nyata antara MET 6% dengan MET
1%, 2%, 3%, 4%, 5%, dan MBB; antara MET 5% dengan MET 3%, 4%, dan MBB; antara MET
1% dengan MET 3% dan MET 4%; antara MET 2% dengan MET 3%, MET 4%, dan MBB;
antara MBB dengan MET 4%; serta antara MET 3% dengan MET 4%.
Tabel 1. Data rerata kerapatan sel Scenedesmus dalam media perlakuan MET, MBB, dan
akuabides.
Perlakuan Rerata kerapatan sel mikroalga marga Scenedesmus (sel/ml) hari (t) ke-
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
MET 1% 53.703 31.458 90.208 243.333 178.125 472.500 693.750 918.750 812.830 776.247
741.310
MET 2% 48.286 63.958 47.542 321.667 367.500 503.750 1.187.500 1.348.962 1.122.018
1.174.897 1.096.478
MET 3% 48.929 43.541 108.750 331.667 481.875 1.485.000 1.627.500 2.353.750 2.396.250
1.862.087 1.621.810
MET 4% 47.188 47.083 60.764 331.667 823.125 1.268.750 1.405.883 3.981.071 3.019.951
2.570.395 2.454.708
MET 5% 47.857 35.833 50.000 142.500 312.500 518.750 490.000 577.500 898.750 541.250
501.187
MET 6% 50.357 37.083 50.000 139.167 225.000 318.750 428.750 512.861 660.693 616.595
537.031
BBM (+) 52.480 87.096 144.543 436.515 630.957 1.174.897 1.103.292 851.138 776.247
691.830 575.439
Akuabides 47.863 26.915 53.703 87.096 29.512 26.915 19.952 16.218 15.848 14.125 10.471
Keterangan = Rerata kerapatan sel Scenedesmus saat peak
Rerata kerapatan sel (Tabel 1) meningkat selama 10 hari pengamatan, kecuali pada kultur yang
ditumbuhkan dalam akuabides. Peningkatan rerata kerapatan sel tersebut menandakan bahwa sel-
sel Scenedesmus dapat beradaptasi dan tumbuh dalam MET maupun MBB. Hal tersebut
menandakan nutrien dalam MET dapat diserap dan dimanfaatkan oleh sel Scenedesmus untuk
pertumbuhannya. Media perlakuan MET mengandung nutrien organik seperti karbohidrat,
protein, dan lemakyang dibutuhkan sebagai sumber energi bagi Scenedesmus. Karbohidrat,
protein, dan lemak bila diuraikan menjadi monomer-monomer penyusunnya, pada akhirnya akan
menjadi asetil KoA. Selanjutnya, asetil KoA masuk ke dalam siklus Krebs, dilanjutkan dengan
rantai transpor elektron yang akan menghasilkan ATP. Energi yang terkandung dalam ATP
tersebut digunakan untuk pertumbuhan dan pembelahan sel Scenedesmus. Media perlakuan
MET juga mengandung nutrien anorganik seperti K, P, Ca, Mg, Na, Fe, Zn, Mn, dan Cu.
Nutrien anorganik yang tergolong makronutrien, yaitu K, P, Ca, Mg, dan Na dibutuhkan oleh sel
Scenedesmus sebagai komponen penyusun sel. Mikronutrien seperti Fe, Zn, Mn, dan Cu
dibutuhkan oleh sel baik sebagai kofaktor enzim, maupun sebagai komponen pembentuk
klorofil. Emerson dan Lewis (1939) melaporkan bahwa Mn, Zn, Cu, Mo, B, Ti, Cr, dan Co yang
terdapat dalam media kultur akan mengefektifkan fotosintesis pada Chlorella pyrenoidosa.
Fotosintesis yang berlangsung efektif akan mempengaruhi produk yang dihasilkan.
Kemungkinan yang sama juga terjadi pada kultur Scenedesmus dalam penelitian ini.
Di dalam MET juga terdapat beberapa vitamin (tiamin, riboflavin, piridoksin, niasin, triptofan,
asam pantotenat, folasin, vitamin C, dan K). Vitamin berperan sebagai growth factor dalam
pertumbuhan alga. Droop (1962) menyatakan bahwa vitamin yang dibutuhkan bagi pertumbuhan
alga, antara lain tiamin, kobalamin, dan biotin. Tiamin berfungsi dalam reaksi dekarboksilasi dan
transketolase. Kobalamin berfungsi untuk sintesis deoksiribosa. Biotin berfungsi dalam sintesis
asam lemak, dekarboksilasi, dan fiksasi karbondioksida.
Peningkatan rerata kerapatan sel juga dapat dilihat dari perubahan warna kultur. Warna kultur
mikroalga merupakan warna pigmen utama yang terdapat dalam sitoplasma sel, yaitu klorofil.
Pada pengamatan hari ke-0 (saat inokulasi), kultur Scenedesmus yang ditumbuhkan dalam MET,
MBB, dan akuabides terlihat bening (Gambar 3A). Kondisi tersebut disebabkan karena jumlah
sel inokulum belum sebanding dengan volume media.
Selain itu, perbandingan antara volume media dengan kadar klorofil belum dapat memberikan
warna pada kultur. Pada hari ke-0, kadar klorofil juga belum terdeteksi dengan alat Spectronic 20
Milton Roy Company. Pada hari ke-3 pengamatan, kultur Scenedesmus yang ditumbuhkan
dalam MET dan MBB terlihat berwarna hijau muda (Gambar 3B). Pada pengamatan hari ke-6
(Gambar 3C), kultur dalam MBB, MET 1%, MET 2%, dan MET 3% berwarna hijau muda,
kultur dalam MET 4% berwarna hijau apel, dan kultur dalam MET 5% dan MET 6% berwarna
hijau lumut. Pada pengamatan hari ke-10 (Gambar 3D), kultur dalam MBB dan MET 1%
berwarna hijau muda, kultur dalam MET 2%, dan MET 3% berwarna hijau apel dan kultur
dalam MET 4%, 5%, 6% berwarna hijau tembaga (berdasarkan panduan warna Castell-
Polychromes 9216). Perubahan warna hijau kultur mulai dari hijau muda hingga hijau tembaga
menunjukkan bahwa populasi sel meningkat seiring dengan bertambahnya umur kultur.
Tabel 2. Data nilai kadar klorofil kultur Scenedesmus pada pengamatan hari ke-10
Media perlakuan Total klorofil (mg/L) Klorofil a (mg/L) Klorofil b (mg/L)
MET 1% 1,70212 0,4066 1,29796
MET 2% 2,91944 0,87788 2,04632
MET 3% 3,08074 0,92524 2,16052
MET 4% 3,46424 0,94301 2,52662
MET 5% 8,02224 1,98819 6,04602
MET 6% 10,18896 2,33298 7,87068
MBB 1,15702 0,41041 0,74866
Akuabides - - -
Keterangan: - = tidak terdeteksi
Kultur yang ditumbuhkan dalam MET 6% menghasilkan klorofil dengan kadar tertinggi, yaitu
sebesar 10,18896 mg/l. Hal tersebut terjadi kemungkinan karena unsur-unsur komponen
pembentuk klorofil tersedia dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan MET
konsentrasi yang lebih rendah (1%, 2%, 3%, 4%, dan 5%). Media perlakuan MET dan MBB
mengandung nutrien yang diperlukan untuk pembentukan klorofil, antara lain N, Mg, Fe, Mn,
dan Zn. Asam amino glisin dan derivatnya yaitu asam -amino levulinat (ALA) merupakan
prazat molekul klorofil. Magnesium (Mg) merupakan komponen klorofil. Besi (Fe) berperan
dalam sintesis klorofil dan sintesis protein-protein penyusun kloroplas. Mangan (Mn) merupakan
komponen struktural membran kloroplas. Seng (Zn) diperlukan dalam proses pembentukan
klorofil dan mencegah kerusakan molekul klorofil.
Rerata kerapatan sel tertinggi saat peak dicapai oleh kultur dalam MET 4% (3.981.071 sel/ml).
Rerata kerapatan sel lebih rendah dicapai oleh kultur dalam MET 3% (2.396.250 sel/ml), MET
2% (1.348.962 sel/ml), MBB (1.174.897 sel/ml), MET 1% (918.750 sel/ml), MET 5% (898.750
sel/ml), MET 6% (660.693 sel/ml). Rerata kerapatan sel paling rendah dicapai oleh kultur dalam
akuabides, yaitu sebesar 87.096 sel/ml (Tabel 1). Waktu yang diperlukan untuk mencapai peak
bervariasi antara 3--8 hari. Hasil kerapatan sel (sel/ml) yang berbeda-beda tersebut disebabkan
oleh perbedaan konsentrasi MET.
Data tersebut diatas menunjukkan bahwa konsentrasi MET yang optimum untuk pertumbuhan
sel Scenedesmus terdapat pada kisaran 2--4%. Kerapatan sel pada MET 2--4% lebih tinggi
dibandingkan kerapatan sel dalam MBB (kontrol positif). Medium Ekstrak Tauge 4%
menghasilkan kerapatan sel tertinggi (3.981.071 sel/ml) saat peak. Kemungkinan konsentrasi dan
kelengkapan komposisi nutrien yang terlarut dalam MET 4% sesuai dengan kebutuhan sel
Scenedesmus sehingga Scenedesmus tumbuh baik. Hasil penelitian didukung penelitian
Chrismadha & Nofdianto (1994) yang memperlihatkan adanya suatu konsentrasi optimum untuk
mencapai pertumbuhan mikroalga yang maksimum.
Medium Ekstrak Tauge 1% menghasilkan kerapatan sel rendah (918.750 sel/ml) dibandingkan
dengan MET 2%, 3%, dan 4% (Tabel 1). Konsentrasi nutrien di dalam MET 1% semakin
berkurang akibat pengenceran. Hal tersebut kemungkinan menyebabkan konsentrasi dan
kelengkapan komposisi nutrien yang ada dalam MET 1% tidak mencukupi kebutuhan sel
Scenedesmus. Berdasarkan O’Kelley tahun 1968, kekurangan unsur N dan Mg (makronutrien)
mempengaruhi pembentukan klorofil. Sementara itu, kekurangan mikronutrien seperti Mn dapat
mempengaruhi proses fotosintesis karena Mn merupakan aktivator enzim pada reaksi terang
fotosintesis. Hal tersebut akan mempengaruhi laju fotosintesis. Laju fotosintesis menentukan
kuantitas produk (karbohidrat) yang dihasilkan.
Karbohidrat hasil fotosintesis oleh mikroalga selain digunakan untuk pertumbuhan juga untuk
respirasi selular. Apabila hasil fotosintesis berkurang, maka karbohidrat yang tersisa setelah
sebagian digunakan dalam proses respirasi tidak mencukupi untuk pertumbuhan sel.
Rerata kerapatan sel lebih rendah pada konsentrasi MET 5% (898.750 sel/ml) dan MET 6%
(660.693 sel/ml). Hal tersebut kemungkinan terjadi karena nutrien yang terkandung dalam
konsentrasi media tersebut, melebihi nutrien yang seharusnya dibutuhkan oleh Scenedesmus.
Selain itu, konsentrasi nutrien dalam media mempengaruhi transpor nutrient ke dalam sel
Scenedesmus. Menurut Fogg & Thake (1987), laju penyerapan nutrien mengikuti persamaan
sebagai berikut. V = Vmax . S / Ks + S, dengan V = Laju penyerapan nutrien, Vmax = Laju
maksimum, S = konsentrasi nutrien, dan Ks = suatu konstanta numerik yang ekuivalen dengan
konsentrasi nutrien dimana V = ½ Vmax.
Berdasarkan persamaan tersebut, semakin tinggi konsentrasi nutrien maka laju penyerapan
nutrien semakin besar. Pada MET 5% dan 6% laju penyerapan nutrien semakin besar sehingga
nutrien di dalam sel berlebih. Kelebihan nutrient tertentu tidak menyebabkan gangguan yang
berarti pada metabolisme sel Scenedesmus. Akan tetapi, kelebihan nutrient yang termasuk ke
dalam logam seperti Cu dan Mn dapat mengganggu metabolisme sel. Kadar Cu yang tinggi dapat
mengganggu transpor elektron pada fotosintesis [28]. Kadar Cu tersebut kemungkinan
mempengaruhi pembentukan NADPH yang dibutuhkan untuk mereduksi CO2 pada siklus
Calvin. Sebaliknya, kerapatan sel saat peak dalam MET 4%, 3%, dan 2% lebih tinggi
dibandingkan pada MBB. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada konsentrasi tersebut
kelengkapan nutrien di dalam MET tersebut, mendukung pertumbuhan Scenedesmus sehingga
menghasilkan kerapatan sel yang tinggi. Medium Basal Bold hanya mengandung senyawa
anorganik, sedangkan MET mengandung senyawa anorganik, organik dan beberapa
vitamin.Kultur dalam media perlakuan akuabides menghasilkan kerapatan sel terendah (87.096
sel/ml) pada saat peak. Hal tersebut terjadi karena dalam akuabides murni tidak terdapat nutrien
yang sudah hilang akibat proses penyulingan. Proses penyulingan dua kali, menghasilkan
akuabides dengan tingkat kemurnian 99% dan terbebas dari kontaminan seperti mikroorganisme,
senyawa organik, dan anorganik. Akibatnya, sel-sel Scenedesmus yang diinokulasikan ke dalam
akuabides sejak hari ke-0 hingga hari ke-10 tidak mendapatkan nutrien yang dibutuhkan bagi
pertumbuhan sehingga cenderung menurun kerapatannya (Tabel 1).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan sel Scenedesmus dalam MET tidak sebanding
dengan kadar klorofil yang dikandungnya. Kadar klorofil yang tinggi tidak diikuti dengan
kerapatan sel yang tinggi pula. Hal yang sama juga terjadi pada penelitian Rachmayanti (2004),
yaitu kerapatan sel yang tinggi tidak selalu menghasilkan klorofil yang tinggi. Kemungkinan
yang terjadi adalah kadar klorofil dalam tiap individu sel Scenedesmus pada MET 6% lebih
banyak dibandingkan kadar klorofil dalam individu sel Scenedesmus pada konsentrasi yang lebih
rendah. Hal tersebut, terlihat dari warna sel Scenedesmus yang ditumbuhkan dalam MET 6%
berwarna lebih hijau dibandingkan dengan sel Scenedesmus dalam MET konsentrasi yang lebih
rendah. Media perlakuan MET 6% menghasilkan kadar klorofil yang tinggi, karena unsur-unsur
pembentuk klorofil tersedia dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan pada MET
konsentrasi lebih rendah, akan tetapi kerapatan sel paling rendah.Kemungkinan hal tersebut
berkaitan dengan penyerapan nutrien-nutrien pembentuk molekul klorofil seperti Fe dan Mg
yang tergolong nutrien logam.
Menurut Topperwien (2005) penyerapan nutrien logam dipengaruhi oleh permukaan sel
mikroalga. Permukaan sel mikroalga memiliki berbagai gugus fungsional yang memiliki afinitas
tinggi bagi ion-ion logam sehingga mempermudah penyerapan melewati membran sel.
Sementara itu, nutrien non logam yang konsentrasinya cukup tinggi dalam MET 6% tetapi
dibutuhkan dalam pertumbuhan dan pembelahan sel agak sulit diserap oleh sel. Akibatnya dalam
MET 6% proses sintesis klorofil oleh sel lebih optimal dibandingkan dengan pertumbuhan dan
proses pembelahan sel.
Data rerata kerapatan sel Scenedesmus selama 10 hari pengamatan ditransformasikan ke dalam
bentuk logaritma. Data yang telah ditransformasikan tersebut kemudian digunakan untuk
membuat kurva pertumbuhan (Gambar 2). Kurva pertumbuhan pada media perlakuan MET dan
MBB menunjukkan kecenderungan yang hampir sama, hanya terdapat perbedaan dalam waktu
pencapaian kerapatan sel pada saat peak. Media perlakuan akuabides menunjukkan
kecenderungan yang berbeda dengan media perlakuan MET dan MBB.
Kurva pertumbuhan Scenedesmus pada media perlakuan MET 1%, 3%, 5%, 6%, dan akuabides
memperlihatkan adanya fase adaptasi (Gambar 2). Rerata kerapatan sel pada hari ke-1 yang
menurun dibandingkan dengan jumlah sel inokulum diasumsikan sebagai fase adaptasi. Populasi
sel dalam MET 2% dan 4% kemungkinan juga mengalami adaptasi, tetapi berlangsung kurang
dari 24 jam sehingga tidak teramati pada pengamatan. Fase adaptasi pada kultur yang
ditumbuhkan dalam MET terjadi karena media perlakuan (MET) berbeda dengan media
pemeliharaan (MBB). Hal tersebut sesuai dengan Stanier dkk. (1970), yang menyatakan bahwa
fase adaptasi biasanya terjadi ketika inokulum diinokulasikan ke dalam media baru yang berbeda
komponen kimiawinya. Sel-sel yang diinokulasi mula-mula melakukan perubahan kimiawi dan
fisiologis untuk menyesuaikan kembali aktivitas metabolismenya agar dapat tumbuh dalam
media baru.
Kurva dan laju pertumbuhan di dalam media perlakuan MBB tidak memperlihatkan fase
adaptasi. Hal tersebut mungkin disebabkan fase adaptasi berlangsung kurang dari 24 jam
sehingga tidak teramati pada pengamatan. Pada hari ke-1 rerata kerapatan sel di dalam MBB
mengalami peningkatan. Selain itu, tidak adanya fase adaptasi juga disebabkan media perlakuan
(MBB) sama dengan media pemeliharaan. Menurut Madigan dkk. (2000) inokulasi sejumlah sel
mikroorganisme ke dalam media dan kondisi lingkungan yang sama seperti pada pemeliharaan
kultur sebelumnya, menyebabkan fase adaptasi tidak terlihat. Oleh karena itu, dalam kurva
pertumbuhan, kultur lebih cepat memasuki fase eksponensial.
Fase eksponensial pada media perlakuan MET terlihat pada hari ke-2 hingga hari ke-8.
Sedangkan pada media perlakuan MBB fase ekponensial terlihat pada hari ke-1 hingga hari ke-5.
Pada fase eksponensial terjadi peningkatan rerata kerapatan sel. Proses perbanyakan sel pada saat
memasuki fase eksponensial berlangsung cepat sehingga populasi sel bertambah. Pertambahan
populasi sel Scenedesmus yang pesat tersebut kemungkinan terjadi karena kandungan nutrien di
dalam MET dan MBB masih terdapat dalam konsentrasi yang tinggi sehingga proses
pertumbuhan dan pembelahan sel berlangsung cepat.
Kurva pertumbuhan memperlihatkan kultur mencapai saat peak yang berbeda pada masing-
masing media perlakuan. Jumlah sel dalam media perlakuan MET 1%, 2%, dan 4% mencapai
peak pada hari ke-7. Jumlah sel dalam MET 3%, 5%, dan 6% mencapai peak pada hari ke-8.
Dalam media perlakuan MBB jumlah sel mencapai peak pada hari ke-5. Jumlah sel di dalam
MBB mencapai waktu peak tercepat disebabkan karena MBB mengandung mineral-mineral
anorganik dalam bentuk ion yang lebih mudah diserap oleh sel dibandingkan dengan mineral di
dalam MET yang kompleks karena berbentuk persenyawaan. Selain itu, sel Scenedesmus juga
lebih mudah memanfaatkan mineral-mineral anorganik tersebut bagi pertumbuhannya.
Setelah mencapai peak, rerata kerapatan sel mulai menurun, yang menandakan kultur mulai
memasuki fase stasioner. Fase stasioner pada kultur mikroalga berkaitan dengan berkurangnya
sejumlah besar nutrien dalam media dan akumulasi senyawa-senyawa beracun sisa metabolisme.
Selain itu, penurunan terjadi akibat berkurangnya intensitas cahaya yang diterima oleh
Scenedesmus akibat adanya fenomena pembentukan bayangan (fenomena self-shading) oleh sel-
sel mikroalga tersebut dalam kultur.
IV. KESIMPULAN
1. Scenedesmus merupakan kelompok mikroalga dan yang paling beragam karena ada yang
bersel tunggal, koloni dan bersel banyak. warna hijau dari klorofil a dan b yang sama dalam
proporsi sebagai 'tinggi' tanaman serta c klorofil tetapi dilaporkan terdapat di beberapa
prasinophyceae; √ U-karoten, dan berbagai karakteristik xanthophylls. Hasil asimilasi berupa
amilum yang tersusun dalam kloroplas, kloroplasnya beraneka bentuk dan ukurannya, ada yang
seperti mangkok, seperti busa, seperti jala, dan seperti bintang, penyusunnya sama seperti pada
tumbuhan tingkat tinggi yaitu amilase dan amilopektin.
2. Ciri umum Scenedesmus Berwarna hijau terang, kosmopolitan (air tawar, payau, asin. Dari
oligotrof sampai eutrof, memiliki anggota terbanyak, eukariot (umumnya uninucleate), ada yang
unisel, koloni dan filamen, pigmen yang dimiliki: klorofil a,b, karoten (ֶα,β,γ) dan beberapa
xantofil, dinding sel terbuat dari selulosa atau polimer xylosa atau mannosa atau hemiselulosa.
Sedangkan ciri-ciri khusus Scenedesmus itu sendiri sebagian anggota memiliki flagel -à dapat
bergerak sedikit, bentuk flagel isokontae, jumlah dan letak sangat bervariasi (apikal, subapikal,
lateral).
3. Scenedesmus dapat dibagi menjadi 10 divisi dan 8 divisi algae merupakan bentuk unicellulair.
Dari 8 divisi algae, 6 divisi telah digunakan untuk keperluan budidaya perikanan sebagai pakan
alami. Setiap divisi mempunyai karakteristik yang ikut memberikan andil pada kelompoknya,
tetapi spesies-spesiesnya cukup memberikan perbedaan-perbedaan dari lainnya. Ada 4
karakteristik yang digunakan untuk membedakan divisi mikro algae yaitu ; tipe jaringan sel, ada
tidaknya flagella, tipe komponen fotosintesa, dan jenis pigmen sel. Selain itu morfologi sel dan
bagaimana sifat sel yang menempel berbentuk koloni / filamen adalah merupakan informasi
penting didalam membedakan masing-masing group.
4. Scenedesmus dapat melakukan reproduksi aseksual maupun seksual. Reproduksi aseksual
terjadi melalui pembentukan autokoloni, yaitu setiap sel induk membentuk koloni anakan yang
dilepaskan melalui sel induk yang pecah terlebih dahulu. Beberapa spesies Scenedesmus dapat
melakukan reproduksi seksual dengan pembentukan zoospora biflagel dan isogami.
5. Berperan sebagai produsen dalam ekosistem. Berbagai jenis alga yang hidup bebas di air
terutama yang tubuhnya bersel satu dan dapat bergerak aktif merupakan penyusun pitoplankton.
Sebagian fitolankton adalah alga hijau, pigmen klorofil yang dimilikinya aktif melakukan
fotosintesis sehingga alga hijau merupakan produsen utama dalam ekosistem perairan. Peranan
Scenedesmus bagi kehidupan manusia antara lain, digunakan dalam penyelidikan metabolisme di
laboratorium. Juga dimanfaatkan sebagai bahan untuk obat-obatan, bahan kosmetik dan bahan
makanan. Serbuk Chlorella dalam industri obat-obatan dimasukkan dalam kapsul dan dijual
sebagai suplemen makanan dikenal dengan “Sun Chlorella”. Pengembangannya saat ini di
kolam-kolam (contohnya di Pasuruan).
6. Pengaruh media perlakuan terhadap kerapatan sel Scenedesmus juga dibuktikan dengan uji
statistik. Hasil uji Kruskal-Wallis terhadap rerata kerapatan sel (log x) selama 10 hari
pengamatan (Gambar 2) menunjukkan adanya pengaruh media perlakuan terhadap rerata
kerapatan sel Scenedesmus. Hasil uji perbandingan berganda, menunjukkan perbedaan sangat
nyata antara medium akuabides dengan MET 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, 6%, dan MBB. Perbedaan
nyata terjadi antara MET 5% dengan MET 2% dan MET 1%, MET 1% dengan MET 2% dan
MBB, MBB dengan MET 3%. Tidak terdapat perbedaan nyata antara MET 6% dengan MET
1%, 2%, 3%, 4%, 5%, dan MBB; antara MET 5% dengan MET 3%, 4%, dan MBB; antara MET
1% dengan MET 3% dan MET 4%; antara MET 2% dengan MET 3%, MET 4%, dan MBB;
antara MBB dengan MET 4%; serta antara MET 3% dengan MET 4%.

http://jeniusfish.blogspot.com/2011/04/scenedesmussp.html

visi:ChlorophytaKelas:ChlorophyceaeBangsa:ZygnematalesSuku:DesmidiaceaeM
arga:StaurastrumJenis:Staurastrum anatinum Sinonim:Tidak diketahuiNama
Umum:Tidak diketahuiNama Daerah:Tidak diketahuiNama Asing:Tidak
diketahuiKandungan Senyawa:Tidak diketahuiKegunaan:Tidak
diketahuiReferensi:Tidak diketahui

Domain : Eukaryota (Whittaker & Margulis,1978 – eukaryotes)

Kingdom : Plantae (Haeckel, 1866)

Subkingdom : Viridaeplantae (Cavalier-Smith, 1981 – Green Plants)

Filum : Charophyta

SubFilum : Phragmophytina (Cavalier-Smith, 1998 – Phragmophytes)

Infraphylum : Rudophytae (Cavalier-Smith, 1998 – Rudophytes)

Kelas : Charophyceae

Ordo : Zygnematales

Subordo : Desmidiineae

Famili : Desmidiaceae

Genus : Staurastrum

Anda mungkin juga menyukai