Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kerapu sunu merupakan ikan konsumsi yang mempunyai prospek

pengembangan yang cukup cerah karena teknologi pembenihan massalnya telah

diketahui. Permintaan pasarnya saat ini masih sangat tinggi, baik didalam maupun

diluar negeri. Ikan kerapu sunu (Plectropomus leopardus) yang dikenal dengan

kerapu bintang termasuk satu diantara komoditas ekspor unggulan Indonesia dari

budidaya laut (marine fin-fish culture). Warna merah pada kerapu sunu

merupakan daya tarik tersendiri bagi beberapa negara importir seperti Hongkong

dan China, yang sebagian besar masyarakatnya masih meyakini bahwa warna

merah identik dengan keberuntungan, sehingga pangsa pasar kerapu sunu di kedua

negara tersebut sangat tinggi dan merupakan negara tujuan ekspor yang potensial

Permintaan pasar terhadap kerapu sunu terutama dalam keadaan hidup

sangat tinggi dan terus meningkat, sementara pemenuhan melalui penangkapan di

alam sangat tidak disarankan, karena memiliki banyak resiko yang merugikan

diantaranya adalah jumlah tidak kontinyu, ukuran tidak seragam, resiko cacat fisik

saat penangkapan dan dampak tertinggi adalah berkurangnya populasi di alam.

Hal ini memberikan peluang cukup besar bagi kegiatan budidaya sekaligus

meningkatkan pasok yuwana yang kontinyu, namun faktor kualitas tetap menjadi

prioritas yang perlu diperhatikan mengingat persaingan pasar yang semakin ketat

(Aslianti, 2010).

Perikanan budidaya laut mengalami kemajuan yang sangat pesat di Asia.

Budidaya menjadi minat utama bagi praktisi perikanan semenjak terjadinya


penurunan hasil tangkapan dari laut. Perkembangan budidaya yang semakin

meningkat menyebabkan banyaknya usaha perbenihan maupun pembesaran yang

tidak memperhatikan daya dukung lingkungan. Hal ini dapat berakibat buruk pada

lingkungan sekitarnya, seperti limbah budidaya yang dibuang secara langsung ke

laut dapat memengaruhi kelangsungan hidup biota laut dan menimbulkan

pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan menjadi salah satu penyebab

suburnya. mikroorganisme patogen.

kejadian kematian ikan akibat infeksi beta-nodavirus (penyebab penyakit

VNN/viral nervous necrosis) dan infeksi virus dari genus Megalocytivirus

(grouper sleepy disease iridovirus/ GSDIV) pada perbenihan ikan kerapu dan

kakap. Pemutusan siklus hidup dari virus ini di perairan sudah tidak

memungkinkan lagi untuk dilakukan. Beberapa ikan liar, plankton, dan krustasea

kecil disinyalir dapat menjadi inang perantara bagi virus ini di samping faktor

cuaca, lingkungan, dan stres yang membuat kondisi ikan lemah atau rentan

terhadap infeksi penyakit (Cherif & Fatma, 2017 dalam Mahardika et al., 2018).

Pencegahan infeksi virus tersebut menjadi salah satu upaya alternatif yang

diawali dengan melakukan inventarisasi penyakit dan penyediaan vaksin yang

mempunyai efektivitas yang baik dalam pencegahan infeksi penyakit virus pada

ikan laut dan dapat diproduksi secara komersial di Indonesia. Vaksin komersial

untuk budidaya ikan laut sebagian besar masih diimpor dari luar negeri. Vaksin

virus isolat lokal masih belum banyak diperoleh di pasaran. Vaksin yang tersedia

merupakan produk rekayasa genetik seperti DNA vaksin dan protein rekombinan.

Penggunaan vaksin rekombinan dalam budidaya ikan masih menimbulkan pro dan

kontra karena disinyalir dapat menimbulkan residu pada manusia setelah


mengonsumsi ikan tersebut. Namun demikian, pemilihan vaksin rekombinan

menjadi usaha alternatif karena vaksin inaktif dari perbanyakan virus secara

invitro sangat sulit, tidak stabil, dan biaya pemeliharaan isolat virus yang mahal.

Vaksin rekombinan merupakan hasil penyisipan gen virus ke dalam vektor yang

diekspresikan ke dalam sel bakteri kompeten. Biaya untuk proses kloning

memang mahal, namun selanjutnya biaya produksi menjadi murah karena

pemeliharaan dan perbanyakannya dengan mengkultur sel bakteri pembawa gen

rekombinan dapat dilakukan secara kontinu (Mahardika et al., 2018).

Penerapan vaksin-vaksin tersebut pada stadia awal ikan yang

dibudidayakan di unit pembenihan (hatchery) dipandang perlu untuk

meningkatkan ketahanan ikan sebelum ditebar di tambak maupun keramba jaring

apung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas vaksin bivalen

(kombinasi antara vaksin protein rekombinan VNN dan GSDIV) dalam mencegah

infeksi virus VNN dan GSDIV pada pemeliharaan larva ikan kerapu sunu.

1.2. Tujuan Pembuatan Paper

Pembuatan paper ini adalah sebagai pemenuhan tugas mata kuliah

manajemen kesehatan ikan. paper ini bertujuan untuk menjelaskan cara

pengobatan penyakit pada ikan akibat virus dengan penggunaan vaksin,

pembuatan vaksin, aplikasi vaksin dan hasil dari penggunaan vaksin yang

dimaksudkan.
BAB II
ISI

2.1. Bioekologi Kerapu Sunu

2.1.1. Klasifikasi dan Morfologi

Menurut Heemstra dan Randall (1993) dalam Ghassani (2016), kedudukan

taksonomi ikan kerapu sunu (Plecetropomus leopardus) adalah sebagai berikut.

Phylum: Chordata, Subphylum: Vertebrata, Class: Teleostei, Sub Class:

Actinopterygii, Ordo: Perciformis, Sub Ordo: Percoidea, Family: Ephinephelinae,

Sub Family: Serranidae, Genus: Plecetropomus, Spesies: Plecetropomus

Leopardus.

Gambar 1. Kerapu Sunu (P. Leopardus)

Ikan kerapu sunu biasa disebut leopard coral trout dan merupakan

golongan kerapu genus Plecetropomus. Kerapu sunu memiliki tubuh memanjang

silindris. Rumus sirip dari kerapu sunu adalah sebagai berikut, sirip dorsal terdiri

dari 7 atau 8 jari-jari keras yang langsing dan 10–12 jari-jari lunak, jari-jari ketiga

dan keempat lebih panjang dari yang lain. Sirip anal terdiri dari 3 jari-jari keras

dan 8 jari-jari lunak, jari-jari yang pertama dan kedua tertanam sehingga sukar

dilihat pada individu dewasa. Sirip pectoral (sirip dada), hampir sama dengan sirip
perut dari 15–17 jari-jari lunak (Heemstra dan Randall, 1993 dalam Ghassani,

2016).

Warna tubuh ikan kerapu sering berubah, dipengaruhi kondisi lingkungan

dan tingkat stres ikan. Ikan kerapu sunu sering bewarna merah sehingga dikenal

juga kerapu merah dan kadang bewarna kecoklatan. Pada tubuhnya terdapat

bintik-bintik bewarna biru dengan tepi gelap. Ikan ini memiliki enam buah pita

bewarna gelap yang dalam kondisi tertentu sering tidak tampak. Kerapu sunu jenis

Plecetropomus Leopardus memiliki bintik-bintik kecil yang berukuran seragam

(Ghufran dan Kordi, 2001).

2.1.2. Habitat dan Penyebaran

Ikan kerapu sunu tergolong kedalam famili Seranidae hidup di perairan

coral reef, penyebaran meliputi daerah tropis dan subtropics mulai Pasifik Barat

dari Jepang bagian Selatan hingga Palau, Guam, New Caledonia, Queensland

Selatan, Australia dan lautan India Timur dari Nicobar hingga Broome, Australia

Barat. Perairan di Indonesia yang memiliki jumlah populasi kerapu cukup banyak

adalah perairan Pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, Pulau Buru, dan Ambon

(Subyakto dan Cahyaningsih, 2003).

Habitat larva kerapu sunu muda adalah perairan pantai yang pasirnya

berkarang dan banyak ditumbuhi padang lamun (ladang terumbu karang). Pada

siang hari larva kerapu biasanya tidak muncul ke permukaan air sebaliknya pada

malam hari larva kerapu banyak muncul ke permukaan air. Hal ini sesuai dengan

sifat kerapu sebagai organisme nocturnal, yakni pada siang hari lebih banyak

bersembunyi di liang-liang karang dan pada malam hari aktif bergerak di kolom

air untuk mencari makanan, dan pada umumnya siklus hidup kerapu sunu muda
hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5–3 meter selanjutnya

menginjak masa dewasa beruaya ke perairan yang lebih dalam antara 7–40 meter,

biasanya perpindahan ini berlangsung pada siang hari dan senja hari, telur dan

larva bersifat pelagis (berada di kolom air) sedangkan kerapu muda hinggga

dewasa bersifat demersal (berdiam di dasar kolam) (Subyakto dan Cahyaningsih,

2003).

2.2. Viral Nervous Necrosis (VNN) dan GSDIV

Viral Nervous Necrosis merupakan penyakit berbahaya bagi petani

pembenihan ikan. bakteri ini ditimbulkan oleh aktivitas virus yang menginfeksi

larva dan juvenile ikan laut. Gejalanya berbeda-beda sesuai dengan stadia atau

umur ikan. infeksi pada ikan yang berumur dibawah 20 hari menunjukkan

penurunan nafsu makan. Infeksi pada ikan berumur 20-40 hari mengakibatkan

tingkah laku erenang yang ikan berumur 20-40 hari mengakibatkan tingkah laku

berenang yang abnormal, yaitu berenang di dekat permukaan air dan banyak yang

mati di dasar bak. Pada ikan berumur 2-4 bulan cenderung berdiam diri di dasar

kolam. Infeksi yang terjadi pada ikan berumur empat bulan ke atas akan

memperlihatkan gejala sering terlihat berenang mengambangdi atas permukaan air

disertai adanya pembesaran gelembung (Afrianto et al., 2015).

Infeksi GSDIV (grouper sleepy disease iridovirus, isolat dari genus

Megalocytivirus) merupakan penyakit yang menyebabkan mortalitas yang tinggi

pada larva dan juvenil ikan kerapu dan kakap di Indonesia.

2.3. Vaksin Bivalen (VNN dan GSDIV)

Vaksinasi merupakan suatu metode alternative yang efektif dan efisien

untuk mencegah penyakit pada ikan. vaksinasi dilakukan dengan merangsang


kekebalan spesifik ikan terhadap penyakit tertentu. Metode vaksinasi tidak

menimbulkan dampak negatif, baik pada ikan, lingkungan maupun konsumen

(Rahmaningsih, 2018)

Vaksinasi dilakukan dengan menyuntikkan vaksin-vaksin tertentu dalam

tubuh ikan. selain dengan penyuntikan pemberian vaksin dapat dilakukan dengan

perendaman, pencelupan, penyemprotan, atau diberikan bersamaan dengan pakan.

Vaksin adalah suatu anti gen yang terbuat dari organisme penyakit yang telah

dilemahkan dengan menggunakan senyawa kimia tertentu (Kordi, 2010).

2.3.1. Bahan dan Metode

Perbanyakan dan Inaktivasi Sel Bakteri Escherichia coli strain BL-21

Pembawa Protein Rekombinan RNA2VNN dan MCP-GSDIV. Bakteri E. coli BL-

21 yang pembawa protein rekombinan RNA2-VNN dan MCP-GSDIV

masingmasing dikultur dalam 500 mL media LB yang mengandung kanamycin

hingga mencapai nilai OD (optical density) 1 (satu) pada panjang gelombang 600

nm. Kemudian kedua kultur E. coli BL-21 tersebut diinduksi dengan 0,1 mM

IPTG agar protein rekombinan terproduksi. Adanya produksi protein pada BL-21

dikonfirmasi dengan analisis SDS-page mengikuti metode yang telah dilakukan

sebelumnya oleh Mahardika & Mastuti (2015). dengan kepadatan (108 CFU/mL).

Kedua vaksin (VNN dan GSDIV) dicampur menjadi satu dengan perbandingan

1:1 v/v (vaksin bivalen).

2.3.2. Aplikasi Vaksin Bivalen

Aplikasi vaksin bivalen pada pemeliharaan larva kerapu dilakukan melalui

pakan alami dengan mengikuti metode yang sebelumnya dilaporkan oleh Lin et al.

(2007) dalam Mahardika et al., 2018. Pakan alami yang digunakan yaitu Rotifera
dan Artemia. Sebanyak 5 mL vaksin bivalen diberikan pada 30 L kultur Rotifera

atau Artemia (2 x 104 individu/mL) bersama-sama dengan bahan pengkaya yaitu

6,0 g algamac®; 3,9 g vitamin C; dan 0,075 g taurin. Pemberian vaksin bivalen

dan bahan pengkaya pada kultur Rotifera/Artemia dilakukan empat jam sebelum

digunakan. Pemberian vaksin bivalen melalui Rotifera pada umur 5 HSM hingga

24 HSM, sedangkan pemberian vaksin melalui Artemia dimulai pada umur 25

HSM hingga 50 HSM (saat grading).

Sebagai kontrol, dilakukan pula pemeliharaan larva kerapu sunu dengan

metode yang sama tanpa pemberian vaksin bivalen. Pemeliharaan larva dengan

perlakuan vaksin dan non-vaksin tersebut dilakukan dalam tiga kali percobaan

dengan waktu yang berbeda yaitu bulan Januari, Februari, dan Agustus. Setiap

perlakuan terdiri atas dua ulangan bak. Sintasan juvenil ikan kerapu sunu umur 50

hari dari perlakuan tersebut dianalisis dengan RAK (rancangan acak kelompok).

2.3.3. Pemeliharaan Larva Kerapu Sunu

Pemeliharaan larva kerapu sunu mengikuti prosedur pembenihan yang

sebelumnya telah dilaporkan oleh Aslianti et al. (2008) dengan beberapa

modifikasi. Manajemen pemberian pakan dan pergantian air dilakukan seperti

disajikan pada Tabel 1. Secara ringkas, larva dipelihara menggunakan bak beton

warna kuning dengan kapasitas 6.000 L. Bak dilengkapi dengan plastik transparan

sebagai penutup untuk menjaga suhu lebih stabil. Intensitas cahaya berkisar antara

1.000-1.200 lux pada permukaan air. Air yang digunakan adalah air yang telah

ditampung dalam bak di hatchery untuk aklimatisasi suhu dan telah disterilisasi

dengan lampu UV selama 4-5 jam.


2.3.4. Pengukuran Efektivitas Vaksinasi

Efektivitas aplikasi vaksin bivalen pada larva kerapu sunu dilakukan hanya

pada percobaan ketiga yaitu melalui uji tantang dengan isolat virus VNN dan

GSDIV. Uji tantang dengan kedua virus tersebut dilakukan pada benih umur 50

HSM dan dilakukan secara terpisah melalui perendaman pada masing-masing 50

ekor benih kerapu yang divaksin maupun tidak divaksin (kontrol). Setelah

diinfeksi dengan virus VNN dan GSDIV (perendaman selama dua jam dengan 5

mL virus/50 L air laut), masing-masing 10 benih dipisahkan dan ditempatkan

dalam 100 L bak plastik yang berbeda (masing-masing perlakuan diulang

sebanyak lima kali).

2.4. Hasil Penelitian Vaksinasi Bivalen

Hasil penelitian Mahardika et al., (2018), menunjukkan bahwa pemberian

vaksin bivalen dalam pemeliharaan larva kerapu sunu tidak berpengaruh (P>0,05)

terhadap sintasan selama 50 hari pemeliharaan. Larva kerapu sunu dengan

pemberian vaksin bivalen maupun tanpa pemberian vaksin menunjukkan

pertumbuhan panjang yang sama selama 50 hari pemeliharaan. Hal tersebut

menunjukkan bahwa vaksin bivalen tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan

panjang larva kerapu sunu.

Hasil uji tantang dengan virus VNN dan GSDIV menunjukkan bahwa

pada perlakuan aplikasi vaksin bivalen pada larva kerapu sunu melalui pakan

alami Rotifera dan Artemia mampu menunjukkan sintasan yang lebih tinggi dan

berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan dengan larva yang tidak diberi vaksin

(Tabel 3). Namun, sintasan yang diperoleh dalam uji tantang ini masih rendah

(<50%). Hal tersebut disebabkan benih kerapu sunu ukuran 1,5-2,5 cm (50 HSM)
masih sensitif dan cepat stres, pada saat dipindahkan ke dalam wadah uji, akibat

adanya perbedaan lingkungan pemeliharaan dan penanganan yang tidak nyaman

bagi benih. Apalagi dalam hal uji tantang virus yang dilakukan dalam ruang

tersendiri dalam bak tanpa air mengalir, sehingga seringkali kualitas air menjadi

faktor pembatas.

Aplikasi vaksin bivalen (kombinasi antara vaksin protein rekombinan

VNN dan GSDIV) pada pemeliharaan larva kerapu sunu belum memberikan

perbedaan yang nyata pada sintasan dan pertumbuhan. Hasil uji tantang VNN dan

GSDIV menunjukkan bahwa vaksinasi mampu menginduksi imunitas non-

spesifik pada gen MHC-I larva dan benih kerapu sunu dengan memberikan

sintasan yang berbeda.


BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Aplikasi vaksin bivalen (kombinasi antara vaksin protein rekombinan VNN

dan GSDIV) pada pemeliharaan larva kerapu sunu yang diberikan melalui pakan

alami berupa Arthemia dan Rotifer belum memberikan perbedaan yang nyata

pada sintasan dan pertumbuhan. Hasil uji tantang VNN dan GSDIV menunjukkan

bahwa vaksinasi mampu menginduksi imunitas non-spesifik pada gen MHC-I

larva dan benih kerapu sunu dengan memberikan sintasan yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E., E. Liviawaty, Z. Jamaris Dan Hendi. 2015. Penyakit Ikan. Penebar
Swadaya. Jakarta.

Aslianti, T., Suwirya, K., & Asmanik. (2008). Teknologi pemeliharaan larva
kerapu sunu (Plectropomus leopardus) secara massal. Jurnal Riset
Akuakultur, 3(1), 1-11.

Aslinati, T. 2010. Pemeliharaan Gelondongan Kerapu Sunu (Plectropomus


leopardus) Dengan Persentase Pergantian Air Yang Berbeda. Jurnal Ilmu
dan Teknologi Kelautan Tropis, 2(2): 26-33.

Ghassani, G.A. 2016. Teknik Pemeliharaan Induk Kerapu Sunu (Plectropomus


leopardus) Pada Bak Beton Di Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan
Budidaya Laut Gondol-Bali. Universitas Airlangga. Surabaya.

Ghufran dan Kordi. 2001. Usaha Pembesaran Ikan Kerapu di Tambak. Kanisius.
Yogyakarta.

Kordi, M. Ghufran H. 2010. Panduan Lengkap Memelihara Ikan Air Tawar di


Kolam Terpal. Lily Publisher. Jakarta.

Mahardika et al., 2018. Aplikasi Vaksin Bivalen (VNN Dan GSDIV) Pada
Pemeliharaan Larva Ikan Kerapu Sunu, Plectropomus leopardus. Jurnal
riset akuakultur 13(4):337-346.

Rahmaningsih, S. 2018. Hama dan Penyakit Ikan. Deepublish. Yogyakarta.

Subayakto, S. dan Cahyaningsih. 2003. Pembenihan Kerapu Skala Rumah


Tangga. Aggromedia Pustaka. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai