PENDAHULUAN
diketahui. Permintaan pasarnya saat ini masih sangat tinggi, baik didalam maupun
diluar negeri. Ikan kerapu sunu (Plectropomus leopardus) yang dikenal dengan
kerapu bintang termasuk satu diantara komoditas ekspor unggulan Indonesia dari
budidaya laut (marine fin-fish culture). Warna merah pada kerapu sunu
merupakan daya tarik tersendiri bagi beberapa negara importir seperti Hongkong
dan China, yang sebagian besar masyarakatnya masih meyakini bahwa warna
merah identik dengan keberuntungan, sehingga pangsa pasar kerapu sunu di kedua
negara tersebut sangat tinggi dan merupakan negara tujuan ekspor yang potensial
alam sangat tidak disarankan, karena memiliki banyak resiko yang merugikan
diantaranya adalah jumlah tidak kontinyu, ukuran tidak seragam, resiko cacat fisik
Hal ini memberikan peluang cukup besar bagi kegiatan budidaya sekaligus
meningkatkan pasok yuwana yang kontinyu, namun faktor kualitas tetap menjadi
prioritas yang perlu diperhatikan mengingat persaingan pasar yang semakin ketat
(Aslianti, 2010).
tidak memperhatikan daya dukung lingkungan. Hal ini dapat berakibat buruk pada
(grouper sleepy disease iridovirus/ GSDIV) pada perbenihan ikan kerapu dan
kakap. Pemutusan siklus hidup dari virus ini di perairan sudah tidak
memungkinkan lagi untuk dilakukan. Beberapa ikan liar, plankton, dan krustasea
kecil disinyalir dapat menjadi inang perantara bagi virus ini di samping faktor
cuaca, lingkungan, dan stres yang membuat kondisi ikan lemah atau rentan
terhadap infeksi penyakit (Cherif & Fatma, 2017 dalam Mahardika et al., 2018).
Pencegahan infeksi virus tersebut menjadi salah satu upaya alternatif yang
mempunyai efektivitas yang baik dalam pencegahan infeksi penyakit virus pada
ikan laut dan dapat diproduksi secara komersial di Indonesia. Vaksin komersial
untuk budidaya ikan laut sebagian besar masih diimpor dari luar negeri. Vaksin
virus isolat lokal masih belum banyak diperoleh di pasaran. Vaksin yang tersedia
merupakan produk rekayasa genetik seperti DNA vaksin dan protein rekombinan.
Penggunaan vaksin rekombinan dalam budidaya ikan masih menimbulkan pro dan
menjadi usaha alternatif karena vaksin inaktif dari perbanyakan virus secara
invitro sangat sulit, tidak stabil, dan biaya pemeliharaan isolat virus yang mahal.
Vaksin rekombinan merupakan hasil penyisipan gen virus ke dalam vektor yang
(kombinasi antara vaksin protein rekombinan VNN dan GSDIV) dalam mencegah
infeksi virus VNN dan GSDIV pada pemeliharaan larva ikan kerapu sunu.
pembuatan vaksin, aplikasi vaksin dan hasil dari penggunaan vaksin yang
dimaksudkan.
BAB II
ISI
Leopardus.
Ikan kerapu sunu biasa disebut leopard coral trout dan merupakan
silindris. Rumus sirip dari kerapu sunu adalah sebagai berikut, sirip dorsal terdiri
dari 7 atau 8 jari-jari keras yang langsing dan 10–12 jari-jari lunak, jari-jari ketiga
dan keempat lebih panjang dari yang lain. Sirip anal terdiri dari 3 jari-jari keras
dan 8 jari-jari lunak, jari-jari yang pertama dan kedua tertanam sehingga sukar
dilihat pada individu dewasa. Sirip pectoral (sirip dada), hampir sama dengan sirip
perut dari 15–17 jari-jari lunak (Heemstra dan Randall, 1993 dalam Ghassani,
2016).
dan tingkat stres ikan. Ikan kerapu sunu sering bewarna merah sehingga dikenal
juga kerapu merah dan kadang bewarna kecoklatan. Pada tubuhnya terdapat
bintik-bintik bewarna biru dengan tepi gelap. Ikan ini memiliki enam buah pita
bewarna gelap yang dalam kondisi tertentu sering tidak tampak. Kerapu sunu jenis
coral reef, penyebaran meliputi daerah tropis dan subtropics mulai Pasifik Barat
dari Jepang bagian Selatan hingga Palau, Guam, New Caledonia, Queensland
Selatan, Australia dan lautan India Timur dari Nicobar hingga Broome, Australia
Barat. Perairan di Indonesia yang memiliki jumlah populasi kerapu cukup banyak
adalah perairan Pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, Pulau Buru, dan Ambon
Habitat larva kerapu sunu muda adalah perairan pantai yang pasirnya
berkarang dan banyak ditumbuhi padang lamun (ladang terumbu karang). Pada
siang hari larva kerapu biasanya tidak muncul ke permukaan air sebaliknya pada
malam hari larva kerapu banyak muncul ke permukaan air. Hal ini sesuai dengan
sifat kerapu sebagai organisme nocturnal, yakni pada siang hari lebih banyak
bersembunyi di liang-liang karang dan pada malam hari aktif bergerak di kolom
air untuk mencari makanan, dan pada umumnya siklus hidup kerapu sunu muda
hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5–3 meter selanjutnya
menginjak masa dewasa beruaya ke perairan yang lebih dalam antara 7–40 meter,
biasanya perpindahan ini berlangsung pada siang hari dan senja hari, telur dan
larva bersifat pelagis (berada di kolom air) sedangkan kerapu muda hinggga
2003).
pembenihan ikan. bakteri ini ditimbulkan oleh aktivitas virus yang menginfeksi
larva dan juvenile ikan laut. Gejalanya berbeda-beda sesuai dengan stadia atau
umur ikan. infeksi pada ikan yang berumur dibawah 20 hari menunjukkan
penurunan nafsu makan. Infeksi pada ikan berumur 20-40 hari mengakibatkan
tingkah laku erenang yang ikan berumur 20-40 hari mengakibatkan tingkah laku
berenang yang abnormal, yaitu berenang di dekat permukaan air dan banyak yang
mati di dasar bak. Pada ikan berumur 2-4 bulan cenderung berdiam diri di dasar
kolam. Infeksi yang terjadi pada ikan berumur empat bulan ke atas akan
(Rahmaningsih, 2018)
tubuh ikan. selain dengan penyuntikan pemberian vaksin dapat dilakukan dengan
Vaksin adalah suatu anti gen yang terbuat dari organisme penyakit yang telah
hingga mencapai nilai OD (optical density) 1 (satu) pada panjang gelombang 600
nm. Kemudian kedua kultur E. coli BL-21 tersebut diinduksi dengan 0,1 mM
IPTG agar protein rekombinan terproduksi. Adanya produksi protein pada BL-21
sebelumnya oleh Mahardika & Mastuti (2015). dengan kepadatan (108 CFU/mL).
Kedua vaksin (VNN dan GSDIV) dicampur menjadi satu dengan perbandingan
pakan alami dengan mengikuti metode yang sebelumnya dilaporkan oleh Lin et al.
(2007) dalam Mahardika et al., 2018. Pakan alami yang digunakan yaitu Rotifera
dan Artemia. Sebanyak 5 mL vaksin bivalen diberikan pada 30 L kultur Rotifera
6,0 g algamac®; 3,9 g vitamin C; dan 0,075 g taurin. Pemberian vaksin bivalen
dan bahan pengkaya pada kultur Rotifera/Artemia dilakukan empat jam sebelum
digunakan. Pemberian vaksin bivalen melalui Rotifera pada umur 5 HSM hingga
metode yang sama tanpa pemberian vaksin bivalen. Pemeliharaan larva dengan
perlakuan vaksin dan non-vaksin tersebut dilakukan dalam tiga kali percobaan
dengan waktu yang berbeda yaitu bulan Januari, Februari, dan Agustus. Setiap
perlakuan terdiri atas dua ulangan bak. Sintasan juvenil ikan kerapu sunu umur 50
hari dari perlakuan tersebut dianalisis dengan RAK (rancangan acak kelompok).
disajikan pada Tabel 1. Secara ringkas, larva dipelihara menggunakan bak beton
warna kuning dengan kapasitas 6.000 L. Bak dilengkapi dengan plastik transparan
sebagai penutup untuk menjaga suhu lebih stabil. Intensitas cahaya berkisar antara
1.000-1.200 lux pada permukaan air. Air yang digunakan adalah air yang telah
ditampung dalam bak di hatchery untuk aklimatisasi suhu dan telah disterilisasi
Efektivitas aplikasi vaksin bivalen pada larva kerapu sunu dilakukan hanya
pada percobaan ketiga yaitu melalui uji tantang dengan isolat virus VNN dan
GSDIV. Uji tantang dengan kedua virus tersebut dilakukan pada benih umur 50
ekor benih kerapu yang divaksin maupun tidak divaksin (kontrol). Setelah
diinfeksi dengan virus VNN dan GSDIV (perendaman selama dua jam dengan 5
vaksin bivalen dalam pemeliharaan larva kerapu sunu tidak berpengaruh (P>0,05)
Hasil uji tantang dengan virus VNN dan GSDIV menunjukkan bahwa
pada perlakuan aplikasi vaksin bivalen pada larva kerapu sunu melalui pakan
alami Rotifera dan Artemia mampu menunjukkan sintasan yang lebih tinggi dan
berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan dengan larva yang tidak diberi vaksin
(Tabel 3). Namun, sintasan yang diperoleh dalam uji tantang ini masih rendah
(<50%). Hal tersebut disebabkan benih kerapu sunu ukuran 1,5-2,5 cm (50 HSM)
masih sensitif dan cepat stres, pada saat dipindahkan ke dalam wadah uji, akibat
bagi benih. Apalagi dalam hal uji tantang virus yang dilakukan dalam ruang
tersendiri dalam bak tanpa air mengalir, sehingga seringkali kualitas air menjadi
faktor pembatas.
VNN dan GSDIV) pada pemeliharaan larva kerapu sunu belum memberikan
perbedaan yang nyata pada sintasan dan pertumbuhan. Hasil uji tantang VNN dan
spesifik pada gen MHC-I larva dan benih kerapu sunu dengan memberikan
3.1. Kesimpulan
dan GSDIV) pada pemeliharaan larva kerapu sunu yang diberikan melalui pakan
alami berupa Arthemia dan Rotifer belum memberikan perbedaan yang nyata
pada sintasan dan pertumbuhan. Hasil uji tantang VNN dan GSDIV menunjukkan
larva dan benih kerapu sunu dengan memberikan sintasan yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E., E. Liviawaty, Z. Jamaris Dan Hendi. 2015. Penyakit Ikan. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Aslianti, T., Suwirya, K., & Asmanik. (2008). Teknologi pemeliharaan larva
kerapu sunu (Plectropomus leopardus) secara massal. Jurnal Riset
Akuakultur, 3(1), 1-11.
Ghufran dan Kordi. 2001. Usaha Pembesaran Ikan Kerapu di Tambak. Kanisius.
Yogyakarta.
Mahardika et al., 2018. Aplikasi Vaksin Bivalen (VNN Dan GSDIV) Pada
Pemeliharaan Larva Ikan Kerapu Sunu, Plectropomus leopardus. Jurnal
riset akuakultur 13(4):337-346.