PENDAHULUAN
1
berbeda-beda. tergantung strain, lingkungan pemeliharaan, spesies
maupun famili (Bellanti, 1989).
Rumput laut merupakan alga multiselular yang mengandung
substansi yang aktif secara imunologi. Pemanfaatan rumput laut selama
ini masih terbatas pada produk karagenan dan agar. Potensi rumput laut
di bidang pengendalian penyakit masih belum banyak di eskplorasi dan di
eksploitasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rumput laut
mempunyai prospek yang masih terbuka bagi pengembangannya dalam
bidang pengendalian penyakit. Ekstrak rumput laut telah diketahui
mempunyai aktivitas sebagai antitumor, meningkatkan aktivitas
kemotaksis macrophage, menstimulasi aktivitas sekresi radikal oksigen
dan fagositosis pada peritonial and splenic murine macrophage (Castro et
al., 2004). Metabolit sekunder dari Halimeda macroloba memiliki senyawa
bioaktif anti jamur (Widiastuti, 2003). Rumput laut Ulva sp., Dendrilla
sp.,Spirulina sp., Enteromorpha sp., Dictyota sp., dan Porphira sp. telah
terbukti mampu meningkatkan aktifitas imunostimulan udang (Castro et
al., 2004; Selvin et al., 2004).
1.2. Tujuan
2
BAB 2
METODE
3
imunostimulan sistem pertahanan tubuh non spesifik udang L. vannamei
dapat dilakukan dengan pengamatan terhadap sistem kekebalan tubuh
nonspesifik berdasarkan gambaran hematologinya, yaitu dengan
menghitung jumlah hemosit dan aktivitas fagositosis.
4
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.1 Taksonomi
Subkingdom : Metazoa
Filum : Artrhopoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Malascostraca
Subkelas : Eumalacostraca
Superordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Subordo : Dendrobrachiata
Famili : Penaeidae
Genus : Litopenaeus
5
3.1.2 Morfologi
pada Gambar 1.
6
Gambar 1. Morfologi Udang vaname (Risaldi, 2013)
7
Menurut Haliman dan Adijaya (2005), udang vaname bersifat
nokturnal, yaitu melakukan aktifitas pada malam hari. Siklus hidup udang
vaname sebelum ditebar di tambak yaitu :
a. Stadia Naupli
Pada stadia ini larva berukuran 0,32-0,58mm. Sistem
pencernaannya belum sempurna dan masih memiliki cadangan makanan
berupa kuning telur, sehingga pada stadia ini benih udang vaname belum
membutuhkan makanan dari luar.
b. Stadia Zoea
Stadia zoea terjadi setelah naupli ditebar pada bak pemeliharaan
sekitar 15-24 jam. Larva sudah berukuran 1,05-3,30 mm. Pada stadia ini,
benih udang mengalami moulting sebanyak tiga kali, yaitu stadia zoea1,
zoea2, zoea3. Lama waktu proses pergantian kulit sebelum memasuki
stadia berikutnya (mysis) sekitar 4-5 hari. Pada stadia ini, larva sudah
dapat diberi pakan alami seperti artemia.
c. Stadia Mysis
Pada stadia ini, benih sudah menyerupai bentuk udang yang
dicirikan dengan sudah terlihat ekor kipas ( urupods) dan ekor (telson).
Benih pada stadia ini sudah mampu memakan fitoplankton dan
zooplankton. Ukuran benih berkisar antara 3,50-4,80 mm. Stadia ini
memiliki 3 substadia, yaitu mysis1, mysis2, mysis3 yang berlangsung
selama 3-4 hari, sebelum memasuki stadia post larva (PL).
8
3.1.4 Kebiasaan Makan
9
sebagai jaringan limfomieloid (Corbel 1975; Itami 1994). Produk jaringan
limfomieloid adalah sel-sel darah dan respon imunitas baik seluler maupun
humoral.
Pada udang, organ limfoidnya disebut sebagai organ oka, yang
mirip dengan sel dentritik retikulum pada folikel mamalia (Itami 1994).
Organ oka ini terdiri dari 2 lobus, terletak di dorso-anterior
hepatopankreas dan ventro-lateral lambung anterior dan posterior; secara
histologis, anastomosa tubul organ limfoid mengandung massa basofilik
(Bell dan Lightner 1988).
Respon humoral pada udang dimungkinkan oleh adanya
multivalen sugar binding agglutinin, disebut sebagai lektin atau
hemagglutinin dan monovalen sugar binding residue, disebut beta glukan
binding protein (BGBP). Selain itu, monomerik glikoprotein merupakan
faktor humoral yang berperan dalam respon humoral. Molekul ini dengan
berat molekul 76 kDA dan titik isoelektriknya sebesar 7,2 berperan sebagai
faktor pelekat sel hemosit pada permukaan benda asing dan berkaitan
dengan sistem proPO, enkapsulasi. Secara in vitro sistem memacu proses
degranulasi dengan menghambat sintesis protein dan aggregasi sel
hemosit.
3.2. Imunostimulasi
10
Vaksinasi merupakan suatu upaya untuk menimbulkan ketahanan
tubuh yang bersifat spesifik melalui pemberian vaksin. Secara umum
aktivitas ini dikenal sebagai imunisasi aktif dan pasif. Imunisasi pasif
diperoleh dengan pemberian serum kebal maupun dengan cara diturunkan
oleh induk ikan yang dikenal sebagai imunitas maternal; sedangkan
imunisasi aktif dilakukan melalui tindak vaksinasi. Induk-induk ikan yang
divaksini dapat menurunkan respon imunitas tersebut pada turunannya.
Ellis (1988) telah menguraikan tentang vaksinasi terutama untuk ikan.
Tujuan spesifik vaksinasi adalah untuk memperoleh ketahanan
terhadap suatu infeksi tertentu, sehingga diperoleh sintasan hidup yang
tinggi akibat proteksi imunologik tersebut. Secara umum, manfaat
vaksinasi antara lain dalam hal: peningkatan daya tahan ikan, pencegahan
efek samping kemoterapeutika, proteksi terhadap serangan penyakit
infeksi tertentu, keamanan lingkungan budidaya dari pencemaran bahan
kemoterapeutik dan keamanan konsumen dari residu antibiotik.
Secara umum terdapat 2 jenis vaksin yakni vaksin konvensional
dan vaksin moderen. Penjenisan ini semata-mata didasarkan atas
teknologi produksi vaksin yang digunakan. Produk vaksin dengan
teknologi tinggi (hi-tech) dikenal sebagai vaksin moderen; sedangkan
vaksin konvensional diproduksi dengan teknologi sederhana. Vaksin
konvensional dibedakan atas vaksin mati dan vaksin hidup. Vaksin mati
berasal dari patogen yang dimatikan, ekstrak atau bagian-bagian tertentu
dari patogen; sedang vaksin hidup berasal dari patogen yang dilemahkan
atau diatenuasi. Vaksin yang termasuk kelompok vaksin moderen atau
vaksin biotek adalah vaksin rekombinan, vaksin monoklonal, protein
engineering vaccine dan genetic attenuation vaccine.
Vaksinasi yang merupakan tindakan memasukkan antigen ke
dalam tubuh akan memacu terbentuknya ketahanan spesifik. Proses
pembentukan respon ini dipengaruhi oleh faktor kualitas vaksin, ikan dan
11
lingkungan media budidaya. Kualitas vaksin dipengaruhi oleh keasingan
struktur molekuler vaksin, mudah dikenali oleh limfosit dan kekuatannya
berikatan dengan antibodi. Faktor ikan meliputi antara lain, umur, jenis
dan kondisi fisiologis. Salah satu faktor lingkungan budidaya yang sangat
berpengaruh terhadap vaksinasi adalah suhu. Suhu media budidaya harus
optimal bagi proses pembentukan respon imunitas spesifik. Respon
spesifik yang terbentuk yakni ini respon yang sangat bergantung kepada
suhu (temperature dependent). Karena itu, suhu media budidaya harus
diatur sedemikian rupa berkisar 20-25 C, agar respon spesifik dapat
terbentuk optimum dalam waktu 1-2 minggu.
3.2.2. Imunostimulasi dengan Imunostimulan
12
berlangsungnya transformasi limfoblastik yang ditunjukkan dengan
memakai isotop tritium (H3) (Alifuddin 1989). Aktivitas fagositik ini
merupakan manifestasi peningkatan respon seluler dan pada akhirnya
akan meningkatkan respon humoral. Imunotimulan yang sering dipakai
untuk imunostimulasi adalah LPS (lipopolisakarida), dan β 1,3 glukan yang
diperoleh dari Saccharaomyces cerevisiae, dan Levamisol. Beberapa
vitamin seperti vitamin A, B dan vitamin C juga dapat digunakan sebagai
imunostimulan (Sohne et al. 2000; Galeotti 1998). Seperti halnya dengan
vaksin, imunostimulan dapat diberikan melalui injeksi, bersama pakan (per
oral) dan perendaman (Anderson 1992). Dosis imunostimulan yang
digunakan sebesar 100-200 ppm. Imunostimulan ini dapat diberikan
secara terus menerus selama 1 minggu kepada larva ikan ketika masih
dalam hapa pendederan; kemudian dihentikan pemberiannya, diberikan
kembali pada minggu ke 3 selama satu minggu. Karena itu, pada tahap
awal, imunostimulan diberikan melalui perendaman, dan pada pemberian
selanjutnya dapat diberikan bersama pakan. Pemilihan cara aplikasi
imunostimulan didasarkan atas kepraktisan dan efisiensi dalam kegiatan
budidaya. Mengingat keragaman patogen yang ada dalam media budidaya
ikan, imunostimulan merupakan alternatif upaya pengendalian penyakit
infeksi yang harus dilakukan bersama dengan vakinansi. Pemanfaatannya
dalam kegiatan budidaya dapat mengoptimalkan produksi budidaya
melalui peningkatan ketahanan tubuh ikan atau udang windu terhadap
penyakit infeksi (Pujiharto 1998; Alifuddin 1999; Bagni et al. 2000; Sohne
et al. 2000).
13
adalah harganya relatif mahal, sehingga diperlukan usaha pencarian
sumber alternatif imunostimulan yang murah dan mudah penanganannya,
salah satunya adalah dari rumput laut dan ganggang.
3.3.1 Rumput Laut
Penggunaan vaksin dan kemoterapi telah dilaporkan tidak efektif
untuk penyakit ini (OIE, 2009). Rumput laut merupakan salah satu bahan
yang dapat digunakan sebagai imunostimulan karena merupakan sumber
senyawa bioaktif, yang telah terdeteksi dalam alga hijau, alga coklat dan
alga merah yang memproduksi berbagai karekteristik metabolit sekunder
dengan spektrum aktifitas yang luas. Dinding sel dari alga laut kaya akan
polisakarida sulfat (SPs) seperti karagenan yang terkandung dalam alga
merah, dan memiliki banyak senyawa bioaktif menguntungkan sebagai
anti koagulan, antiviral, antioksidan, antikanker serta aktifasi modulasi
imun (Wijesekara et al, 2011).
Rumput laut merupakan alga multiselular yang mengandung
substansi yang aktif secara imunologi. Pemanfaatan rumput laut selama
ini masih terbatas pada produk karagenan dan agar. Potensi rumput laut
di bidang pengendalian penyakit masih belum banyak di eskplorasi dan di
eksploitasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rumput laut
mempunyai prospek yang masih terbuka bagi pengembangannya dalam
bidang pengendalian penyakit. Ekstrak rumput laut telah diketahui
mempunyai aktivitas sebagai antitumor, meningkatkan aktivitas
kemotaksis macrophage, menstimulasi aktivitas sekresi radikal oksigen
dan fagositosis pada peritonial and splenic murine macrophage (Castro et
al., 2004). Metabolit sekunder dari Halimeda macroloba memiliki senyawa
bioaktif anti jamur (Widiastuti, 2003). Rumput laut Ulva sp., Dendrilla
sp.,Spirulina sp., Enteromorpha sp., Dictyota sp., dan Porphira sp. telah
terbukti mampu meningkatkan aktifitas imunostimulan udang (Castro et
al., 2004; Selvin et al., 2004).
14
3.3.2 Spirulina sp
15
Aktifitas fagositosis merupakan salah satu cara yang sangat
penting dalam mengendalikan dan menghancurkan partikel asing. Proses
pertahanan melalui fagositosis ini dibagi menjadi beberapa proses yaitu :
kemotaksis, recognition, dan internalization (Bachere, 1995).
16
BAB 4
17
Gambar 3. Grafik aktivitas fagositosis (AF) selama 30 hari
Hasil pengamatan AF menunjukkan bahwa penambahan
Spirulina sp. Pada pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap AF
pada hari ke-10, sedangkan penambahan Spirulina sp. pada pakan
berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap AF pada hari ke-20
dan 30.
Hasil pengamatan aktivitas fagositosis juga menunjukkan
bahwa, aplikasi penambahan Spirulina sp. Pada perlakuan C (10 gr/kg)
merupakan dosis terbaik dibandingkan dengan perlakuan D (15 gr/kg), B
(5 gr/kg), dan A (tanpa pemberian Spirulina sp.)
4.2 Kappa-Karagenan Sebagai Imunostimulan
18
memperlihatkan nilai total hemosit lebih Tinggi dibandingkan perlakuan
sebelumnya, yaitu dengan kisaran nilai (10,23±0,23-12,00±0,72)x10 6
sel/mL sedangkan Kisaran nilai perlakuan lainnya hanya sebesar
(5,47±0,15-9,57±0,15)×106 sel/mL, Pembongkaran pãda ditunjukkan
Gambar 4.
Meningkatnya sistem imun pada udang dapat dilihat dari
meningkatnya jumlah hemosit. Hemosit berperan dalam proses
fagositosis, enkapulasi, degranulasi dan agregasi nodular terhadap
patogen maupun partikel asing serta produksi dan pelepasan
prophenoloxidase (proPO) dalam system imun krustasea (Sahoo et
al., 2008). Jumlah total hemosit pada krustasea sangat penting dalam
menjaga resistensi terhadap patogen. Apabila kondisi penurunan
total hemosit terjadi, maka hal tersebut dapat mengakibatkan
infeksi akut yang mematikan (Rodriguez & Le Moulla ,2000).
Meningkatnya total hemosit akan meningkatkan kemampuan untuk
memfagositosis. Meningkatnya total hemosit juga meningkatkan
sel granular yang dapat merangsang aktivasi ProPO untuk menghasilkan
aktifitas phenoloxidase, sehingga mampu bertahan terhadap serangan
patogen (Yudiana, 2009). Dalam penelitian ini, aktivitas fagositosis
dan phenoloxidase berbeda nyata (p<0,05) antara perlakuan dan
control. Nilai tertinggi aktifitas fagositosis dan phenoloxidase terjadi
pada pemberian 15 g/kg pakan (C), masing-masing sebesar 34,67±0,58%
(minggu 4) dan 0,511±0,1 (minggu 3), diperlihatkan pada Gambar 4.
19
Gambar 4. Total hemosit (A), aktifitas fagositosis (B), dan Phenoloxidase
(C) udang vaname Litopenaeus vannamei yang diberi k-karagenan 0 (K), 5
(A), 10 (B), dan 15 (C) g/kg pakan selama empat minggu pemeliharaan.
Huruf yang berbeda di atas balok pada diagram batang dengan waktu
pengamatan yang sama menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda nyata
akibat adanya perlakuan (p<0,05).
20
(RGD) yang menunjukkanikatan integrin-like protein dan
memastikan degranulasi hemosit sehingga dapat mengaktifasi
sistem imun. Yeh & Chen (2008) menduga ada kesamaan
mekanisme karagenan dengan β-glucan dan βGBP komplek
dalam berikatan dengan permukaan hemosit-granular melalui
motif RGD.
21
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak
rumput laut Sargassum sp., Dictyota sp. dan Padina sp., mampu
meningkatkan aktivitas fagositosis udang L. vannamei terutama
pada hari ke-8 (Lihat Tabel 2). Hal ini disebabkan dalam ketiga
jenis rumput laut tersebut mengandung senyawa polisakarida
alginat. Menurut Cheng et al. (2005), sodium alginat dapat
meningkatkan aktifitas fagositosis udang. Disamping itu, Subagiyo
(2009) menyatakan bahwa ekstrak rumput laut jenis Halimeda sp.
dapat meningkatkan aktifitas fagositosis pada hari ke-12 sebesar
76,78%
22
THC L. vannamei yang menerima ekstrak air panas dari G.
tenuistipitata pada 4 dan 6 μg g-1 secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan dengan udang menerima saline dan udang kontrol setelah 1
hari. THC L. vannamei yang menerima ekstrak air panas dari G.
tenuistipitata pada 4 dan 6 μg g-1 secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol udang setelah 2 hari. Namun, tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam THC yang diamati antara udang yang
menerima ekstrak air panas dari G. tenuistipitata pada 4 dan 6 μg g-1,
udang yang menerima garam, dan udang kontrol setelah hari 1-6
perawatan (Gbr. 5).
23
μg g-1 dibandingkan dengan udang menerima garam dan udang
kontrol setelah 1 hari. Aktivitas fagositosis adalah 56%, 53%, 43%
dan 41% untuk 6 μg g-1, 4 μg g-1, garam dan kelompok kontrol,
masing-masing setelah 1 hari. Namun, tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam aktivitas fagositosis diamati antara empat
perlakuan setelah hari 2-6 (Gbr. 6).
24
Gambar. 7. Rata-rata (GSE) THC (A) dari Litopenaeus vannamei
direndam dalam air laut yang mengandung ekstrak air panas dari
Sargassum Duplicatum di 500, 300 dan 100 μg 1-1, dan udang kontrol, dan
mean (GSE) THC (B) udang yang disuntik dengan ekstrak air panas dari S.
Duplicatum pada 20, 10, 6, dan 2 μg g-1, udang disuntik dengan garam,
dan udang kontrol. Setiap balok menunjukkan nilai rata-rata dari delapan
udang dengan standard error. Data pada saat pemaparan yang sama
dengan huruf yang berbeda berbeda secara signifikan (p¿0,05).
25
g-1, udang yang disuntik dengan garam serta udang kontrol setelah
1 dan 2 hari. THC L. vannamei yang disuntik dengan dosis 20 μg g-
1
dan 10 μg g-1 secara signifikan lebih tinggi dari udang yang
disuntik dengan 6 μg g-1 dan 2 μg g-1, udang yang disuntikkan
dengan garam serta udang kontrol setelah 4 dan 6 hari (Gbr. 1B).
26
Gambar. 8. Rata-rata (GSE) aktivitas fagositosis dari Litopenaeus
vannamei disuntik dengan ekstrak air panas dari Sargassum duplicatum
pada 20, 10, 6, dan 2 μg g-1, udang disuntik dengan garam, dan kontrol
udang. Setiap balok menunjukkan nilai rata-rata dari delapan udang
dengan standard error.
BAB 5
KESIMPULAN
27
88,57% dan kelangsungan hidup setelah diinfeksi dengan IMNV
sebesar 90% .
3. Suplementasi ekstrak rumput laut Dictyota sp., Gracilaria sp.,
Padina sp. dan Sargassum sp. Pada dosis 10 g/ kg pakan mampu
meningkatkan jumlah total hemosit dan aktivitas fagositosis udang
L. Vannamei
4. L. vannamei yang menerima ekstrak air panas dari G.
tenuistipitata pada 4 dan 6 μg g-1 ditingkatkan kekebalan dengan
THC-nya, meningkatkan aktivitas phenoloxidase, dan
mempercepat pernapasan. L. vannamei yang menerima air
ekstrak G. tenuistipitata dengan dosis 6 μg g-1 atau kurang
peningkatan resistensi terhadap V. alginolyticus dengan
meningkatkan aktivitas dan pembersihan fagositosis yang efisien.
Ekstrak air panas dari G. tenuistipitata dapat digunakan sebagai
imunostimulan untuk L. vannamei.
5. Pemberian ekstrak air panas dari S. Duplicatum melalui
perendaman atau injeksi meningkatkan kemampuan kekebalan L.
vannamei dengan meningkatkan THC, aktivitas phenoloxidase,
percepatan respirasi, dan perlawanan terhadap V. alginolyticus.
28
DAFTAR PUSTAKA
29
Litopenaeus vannamei and its resistance against Vibrio
alginolyticus. Department of Aquaculture, College of Life and
Resource Sciences, National Taiwan Ocean University. Taiwan,
ROC.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................ iii
1. PENDAHULUAN ............................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................... 1
1.2 Tujuan .................................................................. 2
2. METODE ......................................................................... 3
2.1 Metode penulisan................................................... 3
2.2 Materi dan metode................................................. 3
3. TINJAUAN PUSTAKA......................................................... 5
3.1 Biologi Udang Vannamei......................................... 5
3.1.1 Taksonomi.................................................... 5
3.1.2 Morfologi....................................................... 6
3.1.3 Habitat dan Siklus Hidup................................ 7
3.1.4 Kebiasaan Makan........................................... 9
3.1.5 Kebiasaan dan tingkah laku............................ 9
3.1.6. Respon Imunitas........................................... 9
3.2 Imunostimulasi....................................................... 10
3.2.1 Vaksinasi....................................................... 10
3.2.2 Imunostimulasi dengan Imunostimulan........... 12
3.3 Imunostimulan Alami.............................................. 13
30
3.3.1 Rumput Laut................................................. 14
3.3.2 Spirulina sp................................................... 14
3.4 Hemosit................................................................. 15
3.5 Aktifitas Fagositosis................................................ 15
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................ 17
4.1 Spirulina sp Sebagai Imunostimulan........................ 17
4.2 Kappa-Karagenan Sebagai Imunostimulan............... 18
4.3 Dictyota sp, Glacillaria sp, Padina sp dan
Sargassum sp Sebagai Imunostimulan..................... 21
4.4 Glacilaria tenuistipitata sebagai imunostimulan......... 22
4.5 Sargassum duplicatum sebagai imunostimulan......... 24
5. KESIMPULAN .................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA ................................................................ 29
KATA PENGANTAR
iii
31
Malang, November 2014
Penulis
KELAS B
Oleh :
Muhammad Ikhwan I
146080100111021
32
PROGRAM MAGISTER BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
33