Anda di halaman 1dari 33

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Udang merupakan salah satu komoditas unggulan revitalisasi


perikanan di Indonesia. Kementrian Kelautan dan Perikanan sendiri telah
menargetkan peningkatan produksi sebesar 74,75% yaitu dari 400 ribu
ton menjadi  699  ribu  ton  pada  tahun  2009  sampai 2014, yang terdiri
atas   udang   vaname Litopenaeus     vannamei    dan  udang windu
Penaeus monodon (KKP, 2010). Keberhasilan produksi tersebut sangat
didukung oleh keberhasilan dalam budidaya. Banyak  kendala yang  harus
dihadapi dalam berbudidaya   udang, salah satunya adalah adanya
serangan  penyakit.
Penyakit merupakan salah satu faktor pembatas dalam budidaya
udang vannamei (Litopennaeus vannamei). Tingginya tingkat mortalitas
udang budidaya diduga disebabkan oleh infeksi virus maupun bakteri
patogen. Nitimulyo et al. (2005) menyatakan bahwa bakteri patogen yang
umum menyerang dalam budidaya perikanan adalah Vibrio alginolyticus,
V.flufialis, V. vulfinicus, dan V. ordalii. Epidemik yang banyak menyerang
budidaya udang adalah White Spot Syndrome Virus (WSSV), Taura
Syndrome Virus (TSV) dan Yellow Head Virus (YHV) (Smith et al., 2003).
Salah satu upaya dalam penanggulangan dan pencegahan
penyakit udang adalah melalui peningkatan sistem pertahanan tubuh
udang, yaitu dengan menggunakan imunostimulan, vitamin dan hormon
(Johny et al., 2005). Udang mempunyai daya tahan alami yang bersifat
non spesifik terhadap organisme patogen berupa pertahanan fisik
(mekanik), kimia, seluler dan humoral. Daya tahan alami ini dipengaruhi
oleh faktor genetik dan lingkungan, sehingga terdapat tingkatan yang

1
berbeda-beda. tergantung strain, lingkungan pemeliharaan, spesies
maupun famili (Bellanti, 1989).
Rumput laut merupakan alga multiselular yang mengandung
substansi yang aktif secara imunologi. Pemanfaatan rumput laut selama
ini masih terbatas pada produk karagenan dan agar. Potensi rumput laut
di bidang pengendalian penyakit masih belum banyak di eskplorasi dan di
eksploitasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rumput laut
mempunyai prospek yang masih terbuka bagi pengembangannya dalam
bidang pengendalian penyakit. Ekstrak rumput laut telah diketahui
mempunyai aktivitas sebagai antitumor, meningkatkan aktivitas
kemotaksis macrophage, menstimulasi aktivitas sekresi radikal oksigen
dan fagositosis pada peritonial and splenic murine macrophage (Castro et
al., 2004). Metabolit sekunder dari Halimeda macroloba memiliki senyawa
bioaktif anti jamur (Widiastuti, 2003). Rumput laut Ulva sp., Dendrilla
sp.,Spirulina sp., Enteromorpha sp., Dictyota sp., dan Porphira sp. telah
terbukti mampu meningkatkan aktifitas imunostimulan udang (Castro et
al., 2004; Selvin et al., 2004).
1.2. Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah mengenai penggunaan teknologi


bioaktif alami dalam meningkatkan imunitas budidaya udang vanamei
adalah untuk memberikan informasi kepada civitas akademika dan
masyarakat mengenai penggunaan teknologi bioaktif alami dalam
meningkatkan imunitas budidaya udang vaname yang tepat guna dan
dapat dikembangkan oleh masyarakat.

2
BAB 2

METODE

2.1. Metode Penulisan

Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode penulisan


deskriptif, dimana menurut Whitney dalam Nazir (2003) metode deskriptif
merupakan pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Tujuan dari
metode ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan
secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, Sifat-sifat
serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Penjelasan dari suatu
keadaan dan kejadian akan dapat semakin memperjelas obyek yang
diamati. Dalam penyusunan makalah ini akan lebih ditekankan pada
review beberapa jurnal yang saling terkait, yang mana data dari jurnal
tersebut dapat digunakan untuk studi literatur dalam penyusunan
penggunaan teknologi bioaktif alami dalam meningkatkan imunitas
budidaya udang vannamei.

2.2. Materi dan Metode

Obyek yang digunakan dalam penelitian adalah hewan uji udang


vannamei dan jenis imunostimulan alami yang digunakan adalah rumput
laut dan ganggang. Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa ada beberapa
jenis rumput laut dan ganggang yang digunakan dalam penelitian dalam
rangka meningkatkan imunostimulan udang vannamei diantaranya
Kappaphycus alvarezii, Dictyocta sp, Padina sp, Glacilaria sp, Sargassum
sp dan Spirulina sp, dalam makalah ini akan ditekankan pada rumput laut
dan ganggang tersebut yang digunakan sebagai imunostimulan alami
dalam meningkatkan imunitas udang vannamei.
Pokok bahasan yang akan penulis coba paparkan adalah
mengenai Uji efektivitas aplikasi rumput laut laut dan ganggang sebagai

3
imunostimulan sistem pertahanan tubuh non spesifik udang L. vannamei
dapat dilakukan dengan pengamatan terhadap sistem kekebalan tubuh
nonspesifik berdasarkan gambaran hematologinya, yaitu dengan
menghitung jumlah hemosit dan aktivitas fagositosis.

4
BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Biologi Udang Vannamei

3.1.1 Taksonomi

Menurut Haliman dan Adijaya (2005), Udang vaname digolongkan


dalam genus Penaeid pada filum Arthropoda. Ada ribuan spesies di filum
ini. Namun, yang mendominasi perairan berasal dari subfilum Crustacea.
Ciri-ciri subfilum crustacea yaitu memiliki 3 pasang kaki berjalan yang
berfungsi untuk mencapit, terutama dari ordo Decapoda, seperti
Litopenaeus chinenses, L. indicus, L. japonicus, L.monodon, L.stylirostris ,
dan L.vanname. Berikut tata nama udang vaname menurut ilmu
taksonomi :
Kingdom : Animalia

Subkingdom : Metazoa

Filum : Artrhopoda

Subfilum : Crustacea

Kelas                  : Malascostraca

Subkelas : Eumalacostraca

Superordo : Eucarida

Ordo : Decapoda

Subordo : Dendrobrachiata

Famili : Penaeidae

Genus : Litopenaeus

Spesies : Litopenaeus vannamei

5
3.1.2 Morfologi

Menurut Haliman dan Adijaya (2005), tubuh udang vaname


dibentuk oleh dua cabang (biramous), yaitu exopodite dan endopodite.
Vaname memiliki tubuh berbuku-buku dan aktifitas berganti kulit luar atau
eksoskeleton secara periodik (moulting).
Farchan (2006) menerangkan bahwa, warna tubuh udang vaname
secara keseluruhan putih agak mengkilap dengan titik-titik warna hitam
yang menyebar di sepanjang tubuhnya. Bagian tubuh udang vaname
dibagi menjadi 2 bagian, yang terdiri dari kepala dan dada
(cephalothorax) serta perut (abdomen).
1. Kepala (Thorax)
Cephalotorax disusun oleh kulit yang keras dan tebal dengan
kandungan utamanya chitin yang disebut carapace. Bagian ujungnya
terdapat antena sebanyak dua buah dan rostrum yang bergerigi. Belakang
rostrum terdapat sepasang mata yang bertangkai berada di kanan dan kiri
rostrum. Pada bagian badan kepala bawah terdapat kaki jalan
(pereopoda) sebanyak 5 pasang, 2 pasang maxillae yang sudah
mengalami modifikasi dan berfungsi sebagai organ untuk makan (Farchan,
2006).
2. Perut (Abdomen)
Risaldi (2013) menerangkan bahwa, Abdomen terdiri dari dari 6
ruas. Pada bagian abdomen terdapat 5 pasang kaki renang dan
sepasang uropods (mirip ekor) yang membentuk kipas bersama-
sama telson.    Vaname memiliki tubuh yanng berbuku-buku dan aktivitas
berganti kulit luar atau eksoskelaton secara priodik (moulting).
Untuk lebih jelas tentang morfologi udang vaname dapat dilihat

pada Gambar 1.

6
Gambar 1. Morfologi Udang vaname (Risaldi, 2013)

3.1.3 Habitat dan Siklus Hidup

Habitat udang berbeda-beda tergantung dari jenis dan


persyaratan hidup dari setiap fase dalam daur hidupnya. Pada umumnya
udang bersifat bentis dan hidup pada permukaan dasar laut. Habitat yang
disukai oleh udang adalah dasar laut yang lembut (soft) yang biasanya
campuran lumpur dan pasir. Secara alami udang vaname termasuk jenis
katadromus, yaitu udang dewasa hidup di laut terbuka dan udang muda
migrasi ke arah pantai. Di habitat aslinya, udang matang gonad (matur),
kawin (mating) dan bertelur (spawning) berada pada perairan dengan
kedalaman sekitar 70 meter di Amerika Selatan, Tengah dan Utara,
dengan suhu 26 - 28°C dan salinitas sekitar 35 gr/l. Telur menetas dan
larva berkembang di laut dalam sebagai tempat berkembangnya
zooplankton. Post larva udang vaname bergerak mendekati pantai dan
menetap di dasar estuari /muara. Di estuari, tersedia nutrien, air laut
dengan salinitas dan suhu yang bervariasi dari pada di laut terbuka.
Setelah beberapa bulan di estuari, udang muda kembali ke lingkungan
laut menjauhi pantai, dimana aktivitas matur, mating dan spawning terjadi
(Wahyudi, 2010).

7
Menurut Haliman dan Adijaya (2005), udang vaname bersifat
nokturnal, yaitu melakukan aktifitas pada malam hari. Siklus hidup udang
vaname sebelum ditebar di tambak yaitu :
a. Stadia Naupli
Pada stadia ini larva berukuran 0,32-0,58mm. Sistem
pencernaannya belum sempurna dan masih memiliki cadangan makanan
berupa kuning telur, sehingga pada stadia ini benih udang vaname belum
membutuhkan makanan dari luar.
b. Stadia Zoea
Stadia zoea terjadi setelah naupli ditebar pada bak pemeliharaan
sekitar 15-24 jam. Larva sudah berukuran 1,05-3,30 mm. Pada stadia ini,
benih udang mengalami moulting sebanyak tiga kali, yaitu stadia zoea1,
zoea2, zoea3. Lama waktu proses pergantian kulit sebelum memasuki
stadia berikutnya (mysis) sekitar 4-5 hari. Pada stadia ini, larva sudah
dapat diberi pakan alami seperti artemia.
c. Stadia Mysis
Pada stadia ini, benih sudah menyerupai bentuk udang yang
dicirikan dengan sudah terlihat ekor kipas ( urupods) dan ekor (telson).
Benih pada stadia ini sudah mampu memakan fitoplankton dan
zooplankton. Ukuran benih berkisar antara 3,50-4,80 mm. Stadia ini
memiliki 3 substadia, yaitu mysis1, mysis2, mysis3 yang berlangsung
selama 3-4 hari, sebelum memasuki stadia post larva (PL).

d. Stadia post larva (PL)


Pada stadia ini, benih udang vaname sudah tampak seperti udang
dewasa. Hitungan stadia yang digunakan sudah berdasarkan hari.
Misalnya, PL 1 berarti postlarva berumur 1hari. Pada stadia ini udang
sudah mulai aktif bergerak lurus ke depan.

8
3.1.4 Kebiasaan Makan

Menurut Haliman dan Adijaya (2005), udang termasuk dalam


golongan omnivora atau bersifat pemakan segala. Beberapa sumber
pakan udang antara lain udang kecil (rebon), fitoplankton, cocepoda,
polyhaeta, larva kerang dan lumut.

Udang vaname merupakan hewan nocturnal sehingga sepanjang


hari hewan ini tinggal pada substrat dan tidak mencari makan. Kegiatan
makan dilakukan malam hari atau ketika suasana redup. Kandungan
protein yang dibutuhkan dalam pakan lebih rendah dibandingkan dengan
udang windu yaitu 35%, sedangkan untuk udang windu, pakan paling
tidak harus memiliki kandungan protein 45% (Wyban dan Sweeney,
1991).

3.1.5 Kebiasaan dan Tingkah Laku

Menurut Edhy, dkk., (2010), menyatakan bahwa udang vaname


memiliki sifat yang berbeda dengan udang windu. Kalau udang windu
cenderung berada di dasar perairan tambak, sedangkan vaname berada di
kolom air dan sangat aktif berenang kesana kemari.
Berikut ini adalah sifat-sifat udang vaname :
Nocturnal : aktif pada malam hari
Diurnal : aktif pada siang hari
Omnivora : memakan segala jenis makanan
Forager : sangat aktif kesana kemari mencari makanan
Detritivora : makan detritus, yaitu bahan organik yang dikerubuti
oleh bakteri
3.1.6 Respon Imunitas

Respon imunitas dibentuk oleh jaringan limfoid. Pada udang,


jaringan limfoid menyatu dengan jaringan mieloid, sehingga dikenal

9
sebagai jaringan limfomieloid (Corbel 1975; Itami 1994). Produk jaringan
limfomieloid adalah sel-sel darah dan respon imunitas baik seluler maupun
humoral.
Pada udang, organ limfoidnya disebut sebagai organ oka, yang
mirip dengan sel dentritik retikulum pada folikel mamalia (Itami 1994).
Organ oka ini terdiri dari 2 lobus, terletak di dorso-anterior
hepatopankreas dan ventro-lateral lambung anterior dan posterior; secara
histologis, anastomosa tubul organ limfoid mengandung massa basofilik
(Bell dan Lightner 1988).
Respon humoral pada udang dimungkinkan oleh adanya
multivalen sugar binding agglutinin, disebut sebagai lektin atau
hemagglutinin dan monovalen sugar binding residue, disebut beta glukan
binding protein (BGBP). Selain itu, monomerik glikoprotein merupakan
faktor humoral yang berperan dalam respon humoral. Molekul ini dengan
berat molekul 76 kDA dan titik isoelektriknya sebesar 7,2 berperan sebagai
faktor pelekat sel hemosit pada permukaan benda asing dan berkaitan
dengan sistem proPO, enkapsulasi. Secara in vitro sistem memacu proses
degranulasi dengan menghambat sintesis protein dan aggregasi sel
hemosit.
3.2. Imunostimulasi

Mori (1990) mengemukakan, bahwa respon imunitas pada hewan


merupakan upaya proteksi terhadap infeksi maupun preservasi fisiologik
homeostasi. Respon imunitas hewan akuatik terdiri dari respon non
spesifik dan spesifik baik pada ikan (Corbel 1975) maupun pada udang
(Itami 1994; Bechère 2000). Karenanya, memori, spesifitas dan
pengenalan zat asing merupakan dasar mekanisme respon imunitas baik
pada ikan maupun udang.
3.2.1. Vaksinasi

10
Vaksinasi merupakan suatu upaya untuk menimbulkan ketahanan
tubuh yang bersifat spesifik melalui pemberian vaksin. Secara umum
aktivitas ini dikenal sebagai imunisasi aktif dan pasif. Imunisasi pasif
diperoleh dengan pemberian serum kebal maupun dengan cara diturunkan
oleh induk ikan yang dikenal sebagai imunitas maternal; sedangkan
imunisasi aktif dilakukan melalui tindak vaksinasi. Induk-induk ikan yang
divaksini dapat menurunkan respon imunitas tersebut pada turunannya.
Ellis (1988) telah menguraikan tentang vaksinasi terutama untuk ikan.
Tujuan spesifik vaksinasi adalah untuk memperoleh ketahanan
terhadap suatu infeksi tertentu, sehingga diperoleh sintasan hidup yang
tinggi akibat proteksi imunologik tersebut. Secara umum, manfaat
vaksinasi antara lain dalam hal: peningkatan daya tahan ikan, pencegahan
efek samping kemoterapeutika, proteksi terhadap serangan penyakit
infeksi tertentu, keamanan lingkungan budidaya dari pencemaran bahan
kemoterapeutik dan keamanan konsumen dari residu antibiotik.
Secara umum terdapat 2 jenis vaksin yakni vaksin konvensional
dan vaksin moderen. Penjenisan ini semata-mata didasarkan atas
teknologi produksi vaksin yang digunakan. Produk vaksin dengan
teknologi tinggi (hi-tech) dikenal sebagai vaksin moderen; sedangkan
vaksin konvensional diproduksi dengan teknologi sederhana. Vaksin
konvensional dibedakan atas vaksin mati dan vaksin hidup. Vaksin mati
berasal dari patogen yang dimatikan, ekstrak atau bagian-bagian tertentu
dari patogen; sedang vaksin hidup berasal dari patogen yang dilemahkan
atau diatenuasi. Vaksin yang termasuk kelompok vaksin moderen atau
vaksin biotek adalah vaksin rekombinan, vaksin monoklonal, protein
engineering vaccine dan genetic attenuation vaccine.
Vaksinasi yang merupakan tindakan memasukkan antigen ke
dalam tubuh akan memacu terbentuknya ketahanan spesifik. Proses
pembentukan respon ini dipengaruhi oleh faktor kualitas vaksin, ikan dan

11
lingkungan media budidaya. Kualitas vaksin dipengaruhi oleh keasingan
struktur molekuler vaksin, mudah dikenali oleh limfosit dan kekuatannya
berikatan dengan antibodi. Faktor ikan meliputi antara lain, umur, jenis
dan kondisi fisiologis. Salah satu faktor lingkungan budidaya yang sangat
berpengaruh terhadap vaksinasi adalah suhu. Suhu media budidaya harus
optimal bagi proses pembentukan respon imunitas spesifik. Respon
spesifik yang terbentuk yakni ini respon yang sangat bergantung kepada
suhu (temperature dependent). Karena itu, suhu media budidaya harus
diatur sedemikian rupa berkisar 20-25 C, agar respon spesifik dapat
terbentuk optimum dalam waktu 1-2 minggu.
3.2.2. Imunostimulasi dengan Imunostimulan

Imunostimulan merupakan senyawa kimia, obat atau bahan


lainnya yang mampu meningkatkan mekanisme respon imunitas ikan
(Anderson 1992), baik seluler maupun humoral (Alifuddin 1999). Galleotti
(1998) dan Anderson (1992) telah mengungkap jenis, berbagai aspek dan
aplikasi imunostimulan berkaitan dengan budidaya perikanan.
Lipopolisakarida (LPS) merupakan salah satu imunostimulan yang
digunakan untuk stimulasi sel B. Kajita et al. (1990) telah mengevaluasi
efek levamisole terhadap peningkatan aktivitas fagositik ikan rainbow trout
(Onchorhynchus mykiss). Anderson & Rumsey (1995) mengemukakan,
bahwa Candida utilis dan Saccharomyces cerevisiae dapat meningkatkan
produksi radikal oksidatif, aktivitas fagositik, produksi mieloperoksidase
dan imunoglobulin plasma ikan rainbow trout.
Berbeda dengan vaksin, imunostimulan tidak direspon ikan
dengan mensintesis antibodi, melainkan peningkatan aktivitas dan
reaktivitas sel pertahanan seluler ataupun humoral. Secara in vitro
peningkatan respon seluler ditujukkan oleh aktivitas fagositik yang diukur
melalui uji nitro blue tetrazolium (NBT) (Anderson dan Siwicki 1993).
Peningkatan ini didasarkan atas kemampuan imunostimulan menginduksi

12
berlangsungnya transformasi limfoblastik yang ditunjukkan dengan
memakai isotop tritium (H3) (Alifuddin 1989). Aktivitas fagositik ini
merupakan manifestasi peningkatan respon seluler dan pada akhirnya
akan meningkatkan respon humoral. Imunotimulan yang sering dipakai
untuk imunostimulasi adalah LPS (lipopolisakarida), dan β 1,3 glukan yang
diperoleh dari Saccharaomyces cerevisiae, dan Levamisol. Beberapa
vitamin seperti vitamin A, B dan vitamin C juga dapat digunakan sebagai
imunostimulan (Sohne et al. 2000; Galeotti 1998). Seperti halnya dengan
vaksin, imunostimulan dapat diberikan melalui injeksi, bersama pakan (per
oral) dan perendaman (Anderson 1992). Dosis imunostimulan yang
digunakan sebesar 100-200 ppm. Imunostimulan ini dapat diberikan
secara terus menerus selama 1 minggu kepada larva ikan ketika masih
dalam hapa pendederan; kemudian dihentikan pemberiannya, diberikan
kembali pada minggu ke 3 selama satu minggu. Karena itu, pada tahap
awal, imunostimulan diberikan melalui perendaman, dan pada pemberian
selanjutnya dapat diberikan bersama pakan. Pemilihan cara aplikasi
imunostimulan didasarkan atas kepraktisan dan efisiensi dalam kegiatan
budidaya. Mengingat keragaman patogen yang ada dalam media budidaya
ikan, imunostimulan merupakan alternatif upaya pengendalian penyakit
infeksi yang harus dilakukan bersama dengan vakinansi. Pemanfaatannya
dalam kegiatan budidaya dapat mengoptimalkan produksi budidaya
melalui peningkatan ketahanan tubuh ikan atau udang windu terhadap
penyakit infeksi (Pujiharto 1998; Alifuddin 1999; Bagni et al. 2000; Sohne
et al. 2000).

3.3. Imunostimulan Alami

Imunostimulasi biasa dilakukan dengan pemberian komponen


mikrobia seperti β-glukan dan lipopolisakarida (LPS) atau sel bakteri yang
telah dimatikan (Smith et al., 2003). Kelemahan dari imunostimulan ini

13
adalah harganya relatif mahal, sehingga diperlukan usaha pencarian
sumber alternatif imunostimulan yang murah dan mudah penanganannya,
salah satunya adalah dari rumput laut dan ganggang.
3.3.1 Rumput Laut
Penggunaan vaksin dan kemoterapi telah dilaporkan tidak efektif
untuk penyakit ini (OIE, 2009). Rumput laut merupakan salah satu bahan
yang dapat digunakan sebagai imunostimulan karena merupakan sumber
senyawa bioaktif, yang telah terdeteksi dalam alga hijau, alga coklat dan
alga merah yang memproduksi berbagai karekteristik metabolit sekunder
dengan spektrum aktifitas yang luas. Dinding sel dari alga laut kaya akan
polisakarida sulfat (SPs) seperti karagenan yang terkandung dalam alga
merah, dan memiliki banyak senyawa bioaktif menguntungkan sebagai
anti koagulan, antiviral, antioksidan, antikanker serta aktifasi modulasi
imun (Wijesekara et al, 2011).
Rumput laut merupakan alga multiselular yang mengandung
substansi yang aktif secara imunologi. Pemanfaatan rumput laut selama
ini masih terbatas pada produk karagenan dan agar. Potensi rumput laut
di bidang pengendalian penyakit masih belum banyak di eskplorasi dan di
eksploitasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rumput laut
mempunyai prospek yang masih terbuka bagi pengembangannya dalam
bidang pengendalian penyakit. Ekstrak rumput laut telah diketahui
mempunyai aktivitas sebagai antitumor, meningkatkan aktivitas
kemotaksis macrophage, menstimulasi aktivitas sekresi radikal oksigen
dan fagositosis pada peritonial and splenic murine macrophage (Castro et
al., 2004). Metabolit sekunder dari Halimeda macroloba memiliki senyawa
bioaktif anti jamur (Widiastuti, 2003). Rumput laut Ulva sp., Dendrilla
sp.,Spirulina sp., Enteromorpha sp., Dictyota sp., dan Porphira sp. telah
terbukti mampu meningkatkan aktifitas imunostimulan udang (Castro et
al., 2004; Selvin et al., 2004).

14
3.3.2 Spirulina sp

Spirulina sp. mengandung protein 60% yang terdiri dari 12 asam


amino esensial, 10 vitamin, dan juga sifat terapi seperti pigmen fikosianin
yang bersifat antioksidan dan anti-inflamatori, polisakarida yang memiliki
efek antitumor dan antiviral, dan γ-asam linoleat (GLA) yang berfungsi
dalam penurun kolesterol (Desmorieux and Decaen, 2005). Menurut
Boajiang (1994), polisakarida Spirulina sp. dapat memperbaiki fungsi
imunitas seluler non-spesifik dan fungsi humoral spesifik, termasuk pula
hemosit dan sel-sel fagositosis.
3.4. Hemosit

Hemosit merupakan faktor yang sangat penting dalam sistem


pertahanan seluler yang bersifat non spesifik. Kemampuan hemosit dalam
aktivitas fagositosis yang dapat meningkat pada kejadian infeksi,
menunjukkan pertahanan tubuh yang bersifat seluler.

Hemosit berperan dalam proses fagositosis, enkapsulasi,


degranulasi, dan agregasi nodular terhadap patogen maupun partikel
asing serta produksi dan pelepasan prophenoloxidase (proPO) dalam
sistem imun krustasea (Sahoo et al., 2008). Jumlah total hemosit pada
krustasea sangat penting dalam menjaga resistensi terhadap patogen.
Apabila kondisi penurunan total hemosit terjadi, maka hal tersebut dapat
mengakibatkan infeksi akut yang mematikan (Rodriguez & Le Moullac,
2000).

3.5. Aktifitas Fagositosis

Meningkatnya ketahanan tubuh udang dapat diketahui dari


meningkatnya aktivitas fagositosis sel-sel hemosit. Fagositosis merupakan
mekanisme pertahanan non spesifik yang secara umum dapat melindungi
adanya serangan pathogen (Fontaine and Lightner, 1974).

15
Aktifitas fagositosis merupakan salah satu cara yang sangat
penting dalam mengendalikan dan menghancurkan partikel asing. Proses
pertahanan melalui fagositosis ini dibagi menjadi beberapa proses yaitu :
kemotaksis, recognition, dan internalization (Bachere, 1995).

16
BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Spirulina sp Sebagai Imunostimulan

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap jumlah total hemosit


(THC) diperoleh bahwa, THC pada hari ke-10 pada perlakuan A, B, dan C
mengalami penurunan dibandingkan pada hari ke-0. Berbeda dengan
perlakuan A, B, dan C yang mengalami penurunan, pada perlakuan D
terjadi kenaikan THC pada hari ke-10. Selanjutnya pada hari ke-20, THC
mengalami kenaikan pada perlakuan A, B, dan C, sedangkan pada
perlakuan D mengalami penurunan. Pengamatan pada hari ke-30
menunjukkan bahwa THC mengalami kenaikan pada perlakuan B, C,
dan D, sedangkan pada perlakuan A mengalami penurunan (Gambar 2).

Gambar 2. Grafik Total  Haemocyte  Count (THC) selama 30 hari

Pengamatan aktivitas fagositosis (AF) menunjukkan bahwa


terjadi peningkatan AF pada semua perlakuan, namun kenaikan AF pada
perlakuan A tidak terlihat mengalami peningkatan secara signifikan
dibandingkan dengan perlakuan B, C, dan D (Gambar 3).

17
Gambar 3. Grafik aktivitas fagositosis (AF) selama 30 hari
Hasil pengamatan AF menunjukkan bahwa penambahan
Spirulina sp. Pada pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap AF
pada hari ke-10, sedangkan penambahan Spirulina sp. pada pakan
berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap AF pada hari ke-20
dan 30.
Hasil pengamatan aktivitas fagositosis juga menunjukkan
bahwa, aplikasi penambahan Spirulina sp. Pada perlakuan C (10 gr/kg)
merupakan dosis terbaik dibandingkan dengan perlakuan D (15 gr/kg), B
(5 gr/kg), dan A (tanpa pemberian Spirulina sp.)
4.2 Kappa-Karagenan Sebagai Imunostimulan

Pemberian k-karagenan pada pakan udang vaname dalam


penelitian ini, dapat meningkatkan parameter imun nonspesifik yang
tercermin dari meningkatnya Jangka Waktu Total hemosit, aktivitas
fagositosis dan phenoloxidase selama Waktu pengamatan (Gambar 1).
Hasil analisis Ragam dan uji lanjut Duncan menunjukkan total hemosit
berbeda Nyata (p <0,05) antar masing-masing perlakuan Dan juga
dengan Kontrol. Pemberian k-karagenan 15 g/kg pakan (C)

18
memperlihatkan nilai total hemosit lebih Tinggi dibandingkan perlakuan
sebelumnya, yaitu dengan kisaran nilai (10,23±0,23-12,00±0,72)x10 6
sel/mL sedangkan Kisaran nilai perlakuan lainnya hanya sebesar
(5,47±0,15-9,57±0,15)×106 sel/mL, Pembongkaran pãda ditunjukkan
Gambar 4.
Meningkatnya sistem imun pada udang dapat dilihat dari
meningkatnya jumlah hemosit. Hemosit berperan dalam proses
fagositosis, enkapulasi, degranulasi dan agregasi nodular terhadap
patogen  maupun partikel  asing  serta  produksi   dan   pelepasan
prophenoloxidase    (proPO)   dalam   system imun krustasea (Sahoo   et
al., 2008). Jumlah total  hemosit pada  krustasea sangat penting dalam 
menjaga   resistensi   terhadap   patogen. Apabila kondisi  penurunan
total    hemosit terjadi,      maka  hal  tersebut dapat mengakibatkan
infeksi akut yang mematikan (Rodriguez & Le  Moulla ,2000).
Meningkatnya total hemosit akan meningkatkan kemampuan untuk
memfagositosis.  Meningkatnya  total  hemosit juga  meningkatkan
sel  granular yang dapat merangsang aktivasi ProPO untuk menghasilkan
aktifitas phenoloxidase, sehingga  mampu  bertahan  terhadap serangan
patogen  (Yudiana,  2009).  Dalam  penelitian ini, aktivitas   fagositosis
dan   phenoloxidase berbeda  nyata (p<0,05)  antara perlakuan dan
control. Nilai tertinggi aktifitas fagositosis dan  phenoloxidase  terjadi
pada pemberian 15 g/kg pakan (C), masing-masing sebesar 34,67±0,58%
(minggu  4) dan  0,511±0,1 (minggu 3),  diperlihatkan  pada Gambar 4.

19
Gambar 4. Total hemosit (A), aktifitas fagositosis (B), dan Phenoloxidase
(C) udang vaname Litopenaeus vannamei yang diberi k-karagenan 0 (K), 5
(A), 10 (B), dan 15 (C) g/kg pakan selama empat minggu pemeliharaan.
Huruf yang berbeda di atas balok pada diagram batang dengan waktu
pengamatan yang sama menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda nyata
akibat adanya perlakuan (p<0,05).

Mekanisme k-karagenan dalam meningkatkan sistem


imun dalam tubuh udang masih terus dipelajari. Penelitian Yeh &
Chen (2008) menyatakan bahwa aktivitas fagositosis dan
respiratory burst meningkat pada L. vannamei yang diberi
perlakuan karagenan, hal tersebut mengindikasikan adanya
peranan reseptor karagenan pada makrofag dan hemosit. Pada
udang karang P.leniusculus, β-glucan dan β-glucan binding
protein (βGBP) komplek dapat berikatan dengan permukaan
hemosit-granular melalui motif arginyl-glysyl-aspartic acid

20
(RGD) yang menunjukkanikatan integrin-like protein dan
memastikan degranulasi hemosit sehingga dapat mengaktifasi
sistem imun. Yeh & Chen (2008) menduga ada kesamaan
mekanisme karagenan dengan β-glucan dan βGBP komplek
dalam berikatan dengan permukaan hemosit-granular melalui
motif RGD.

4.3 Dictyota sp, Glacillaria sp, Padina sp dan Sargassum sp


Sebagai Imunostimulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah hemosit dan aktivitas
fagositosis bervariasi, tergantung pada jenis rumput laut yang digunakan.
Pemberian ekstrak rumput laut cenderung meningkatkan jumlah total
hemosit, terutama pada hari ke - 8 dan hari ke - 12. Jumlah total hemosit
tertinggi dicapai oleh Sargassum sp. pada hari ke-12 (1,127 x 107 sel/L ±
0,260) (Tabel 1). Pada hari ke-8 pemberian ekstrak Gracilaria sp.
menunjukkan nilai tertinggi dibandingkan rumput laut jenis lain,
sedangkan pada hari ke-12, pemberian ekstrak Dictyota sp., Padina sp.
dan Sargassum sp. memberikan hasil yang lebih tinggi dibanding kontrol.
Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak rumput laut mampu
menstimulasi peningkatkan jumlah total hemosit udang L. vannamei.
Menurut Johansson et al. (2000), hematosit udang memegang peranan
penting dalam respon imun diantaranya melalui recognition, phagocytosis,
melanization, cytotoxicity dan komunikasi antar sel.
Tabel 1. Pengaruh Pemberian Ekstrak Rumput Laut Terhadap Jumlah
Total Hemosit (THC) Udang L. vannamei

21
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak
rumput laut Sargassum sp., Dictyota sp. dan Padina sp., mampu
meningkatkan aktivitas fagositosis udang L. vannamei terutama
pada hari ke-8 (Lihat Tabel 2). Hal ini disebabkan dalam ketiga
jenis rumput laut tersebut mengandung senyawa polisakarida
alginat. Menurut Cheng et al. (2005), sodium alginat dapat
meningkatkan aktifitas fagositosis udang. Disamping itu, Subagiyo
(2009) menyatakan bahwa ekstrak rumput laut jenis Halimeda sp.
dapat meningkatkan aktifitas fagositosis pada hari ke-12 sebesar
76,78%

Tabel 2. Pengaruh Pemberian Ekstrak Rumput Laut Terhadap Aktivitas


Fagositosis Udang L. vannamei

Berdasarkan hasil penelitian ini, pemberian pakan dengan


suplementasi ekstrak rumput laut guna meningkatkan jumlah
hemosit udang L. Vanname dapat diberikan sampai dengan hari ke-
12, sedangkan untuk meningkatkan aktivitas fagositosis diberikan
sampai dengan hari ke-8. Hasil terbaik jumlah hemosit dan aktivitas
fagositosis dicapai oleh Sargassum sp. masing-masing pada hari ke
12 dan pada hari 8.

4.4 Glacilaria tenuistipitata sebagai imunostimulan

22
THC L. vannamei yang menerima ekstrak air panas dari G.
tenuistipitata pada 4 dan 6 μg g-1 secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan dengan udang menerima saline dan udang kontrol setelah 1
hari. THC L. vannamei yang menerima ekstrak air panas dari G.
tenuistipitata pada 4 dan 6 μg g-1 secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol udang setelah 2 hari. Namun, tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam THC yang diamati antara udang yang
menerima ekstrak air panas dari G. tenuistipitata pada 4 dan 6 μg g-1,
udang yang menerima garam, dan udang kontrol setelah hari 1-6
perawatan (Gbr. 5).

Gambar. 5. Rata-rata (GSE) THC dari Litopenaeus vannamei yang


menerima ekstrak air panas dari Gracilaria tenuistipitata pada 6 μg g-1, 4 μ
g g-1, menerima garam dan udang kontrol. Setiap balok menunjukkan nilai
rata-rata dari delapan penentuan dengan standard error. Data pada saat
pemaparan yang sama dengan huruf yang berbeda berbeda secara
signifikan (p¿ 0,05)

Aktivitas fagositosis secara signifikan lebih tinggi untuk


udang yang menerima ekstrak air panas dari G.tenuistipitata pada 6

23
μg g-1 dibandingkan dengan udang menerima garam dan udang
kontrol setelah 1 hari. Aktivitas fagositosis adalah 56%, 53%, 43%
dan 41% untuk 6 μg g-1, 4 μg g-1, garam dan kelompok kontrol,
masing-masing setelah 1 hari. Namun, tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam aktivitas fagositosis diamati antara empat
perlakuan setelah hari 2-6 (Gbr. 6).

Gambar. 6. Rata-rata (GSE) aktivitas fagositosis dari Litopenaeus


vannamei yang menerima ekstrak air panas dari Gracilaria tenuistipitata
pada 6 μg g-1, 4 mg g-1, menerima garam dan udang kontrol. Setiap balok
menunjukkan nilai rata-rata dari delapan penentuan dengan standard
error.

4.5 Sargassum duplicatum sebagai imunostimulan


THC L. vannamei yang direndam dalam ekstrak air panas dari S.
Duplicatum pada 500 mg 1-1 dan 300 mg 1-1 secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol udang setelah 1, 3 dan 4 jam (Gbr. 7 .

24
Gambar. 7. Rata-rata (GSE) THC (A) dari Litopenaeus vannamei
direndam dalam air laut yang mengandung ekstrak air panas dari
Sargassum Duplicatum di 500, 300 dan 100 μg 1-1, dan udang kontrol, dan
mean (GSE) THC (B) udang yang disuntik dengan ekstrak air panas dari S.
Duplicatum pada 20, 10, 6, dan 2 μg g-1, udang disuntik dengan garam,
dan udang kontrol. Setiap balok menunjukkan nilai rata-rata dari delapan
udang dengan standard error. Data pada saat pemaparan yang sama
dengan huruf yang berbeda berbeda secara signifikan (p¿0,05).

THC L. vannamei yang disuntik dengan ekstrak air panas


dari S. Duplicatum pada 20, 10 dan 6 μg g-1 secara signifikan lebih
tinggi dari udang yang disuntik dengan ekstrak air panas pada 2 μg

25
g-1, udang yang disuntik dengan garam serta udang kontrol setelah
1 dan 2 hari. THC L. vannamei yang disuntik dengan dosis 20 μg g-
1
dan 10 μg g-1 secara signifikan lebih tinggi dari udang yang
disuntik dengan 6 μg g-1 dan 2 μg g-1, udang yang disuntikkan
dengan garam serta udang kontrol setelah 4 dan 6 hari (Gbr. 1B).

Aktivitas fagositosis secara signifikan lebih tinggi untuk


udang yang menerima ekstrak air panas dari S. Duplicatum pada 20
mg g-1 dibandingkan dengan udang yang menerima garam dan
udang kontrol setelah 1-4 hari. Aktivitas fagositosis adalah 35%,
31%, 28%, 21%, 13% dan 13% untuk udang yang menerima air
panas ekstrak pada 20, 10, 6, 2 μg g-1, untuk udang yang
menerima garam dan udang kontrol, masing-masing setelah 2 hari.
Aktivitas fagositosis udang yang menerima ekstrak air panas pada
20 μg g-1 dan 10 mg g-1 setelah 6 hari, masih menjaga nilai-nilai
secara signifikan lebih tinggi (26% dan 22%) dibandingkan dengan
udang yang menerima ekstrak air panas di 2 μg g-1, udang yang
menerima garam, serta udang kontrol. Tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam aktivitas fagositosis diamati antara udang yang
menerima ekstrak air panas pada 2 μg g-1, udang yang menerima
garam, dan udang kontrol setelah 4 dan 6 hari (Gbr. 8).

26
Gambar. 8. Rata-rata (GSE) aktivitas fagositosis dari Litopenaeus
vannamei disuntik dengan ekstrak air panas dari Sargassum duplicatum
pada 20, 10, 6, dan 2 μg g-1, udang disuntik dengan garam, dan kontrol
udang. Setiap balok menunjukkan nilai rata-rata dari delapan udang
dengan standard error.

BAB 5

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dari tiap penelitian yang telah dilakukan,


maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Pada penelitian pertama penambahan Spirulina sp. dalam pakan


udang vaname memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01)
terhadap aktivitas fagositosis sebesar 94,66% pada hari ke-30,
akan tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah total
hemosit udang vaname (P>0,05). Perlakuan C (10 gr/kg)
merupakan dosis terbaik bagi peningkatan jumlah total hemosit
dan peningkatan aktivitas fagositosis hemolim udang vaname
pada aplikasi pemberian selama 30 hari.
2. Pemberian k-karagenan sebagai imunostimulan melalui pakan
mampu meningkatkan respons imun, pertumbuhan dan
resistensi udang vaname, terhadap infeksi IMNV. Pemberian
k-karagenan dosis 15 g/kg pakan dengan frekuensi pemberian
selama 14 hari secara berulang, dengan interval tujuh hari
memberikan hasil terbaik dengan pertumbuhan bobot relatif

27
88,57% dan kelangsungan hidup setelah diinfeksi dengan IMNV
sebesar 90% .
3. Suplementasi ekstrak rumput laut Dictyota sp., Gracilaria sp.,
Padina sp. dan Sargassum sp. Pada dosis 10 g/ kg pakan mampu
meningkatkan jumlah total hemosit dan aktivitas fagositosis udang
L. Vannamei
4. L. vannamei yang menerima ekstrak air panas dari G.
tenuistipitata pada 4 dan 6 μg g-1 ditingkatkan kekebalan dengan
THC-nya, meningkatkan aktivitas phenoloxidase, dan
mempercepat pernapasan. L. vannamei yang menerima air
ekstrak G. tenuistipitata dengan dosis 6 μg g-1 atau kurang
peningkatan resistensi terhadap V. alginolyticus dengan
meningkatkan aktivitas dan pembersihan fagositosis yang efisien.
Ekstrak air panas dari G. tenuistipitata dapat digunakan sebagai
imunostimulan untuk L. vannamei.
5. Pemberian ekstrak air panas dari S. Duplicatum melalui
perendaman atau injeksi meningkatkan kemampuan kekebalan L.
vannamei dengan meningkatkan THC, aktivitas phenoloxidase,
percepatan respirasi, dan perlawanan terhadap V. alginolyticus.

28
DAFTAR PUSTAKA

Alifuddin, M. 2002. Imunostimulasi pada hewan akuatik . Jurnal akuakultur


Indonesia.

Febriani, D, Sukenda dan Nuryati, S. 2013. Kappa-karagenan sebagai


Imunostimulan untuk pengendalian penyakit infectious
myonecrosis (IMN) pada udang vaname Litopenaeus vannamei.
Jurnal Akuakultur Indonesia.

Putri, F,M, Sarjito, Suminto. 2013. Pengaruh Penambahan Spirulina sp.


dalam Pakan Buatan Terhadap Jumlah Total Hemosit dan Aktivitas
Fagositosis Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponogoro. Semarang.

Ridlo, A dan Pramesti, R. 2009. Aplikasi Ekstrak Rumput Laut Sebagai


Agen Imunostimulasi Sistem Pertahanan Non Spesifik Pada Udang
(Litopennaeus Vannamei). Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Semarang.

Yeh, S, T, Lee, C, S and Chen J, C. 2005. Administration of hot-water


extract of brown seaweed Sargassum duplicatum via immersion
and injection enhances the immune resistance of white shrimp
Litopenaeus vannamei. Department of Aquaculture, College of Life
and Resource Sciences, National Taiwan Ocean University,
Keelung 202. Taiwan.

Hou, W, Y and Chen J, C. 2004. The immunostimulatory effect of hot-


water extract of Gracilaria tenuistipitata on the white shrimp

29
Litopenaeus vannamei and its resistance against Vibrio
alginolyticus. Department of Aquaculture, College of Life and
Resource Sciences, National Taiwan Ocean University. Taiwan,
ROC.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................ iii
1. PENDAHULUAN ............................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................... 1
1.2 Tujuan .................................................................. 2
2. METODE ......................................................................... 3
2.1 Metode penulisan................................................... 3
2.2 Materi dan metode................................................. 3
3. TINJAUAN PUSTAKA......................................................... 5
3.1 Biologi Udang Vannamei......................................... 5
3.1.1 Taksonomi.................................................... 5
3.1.2 Morfologi....................................................... 6
3.1.3 Habitat dan Siklus Hidup................................ 7
3.1.4 Kebiasaan Makan........................................... 9
3.1.5 Kebiasaan dan tingkah laku............................ 9
3.1.6. Respon Imunitas........................................... 9
3.2 Imunostimulasi....................................................... 10
3.2.1 Vaksinasi....................................................... 10
3.2.2 Imunostimulasi dengan Imunostimulan........... 12
3.3 Imunostimulan Alami.............................................. 13

30
3.3.1 Rumput Laut................................................. 14
3.3.2 Spirulina sp................................................... 14
3.4 Hemosit................................................................. 15
3.5 Aktifitas Fagositosis................................................ 15
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................ 17
4.1 Spirulina sp Sebagai Imunostimulan........................ 17
4.2 Kappa-Karagenan Sebagai Imunostimulan............... 18
4.3 Dictyota sp, Glacillaria sp, Padina sp dan
Sargassum sp Sebagai Imunostimulan..................... 21
4.4 Glacilaria tenuistipitata sebagai imunostimulan......... 22
4.5 Sargassum duplicatum sebagai imunostimulan......... 24
5. KESIMPULAN .................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA ................................................................ 29

KATA PENGANTAR
iii

Puji syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT karena


atas limpahan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah mengenai “Penggunaan Teknologi Bioaktif Alami dalam
Meningkatkan Imunitas Budidaya Udang Vanamei“ dalam rangka
memenuhi tugas Mata Kuliah Pengembangan Budidaya Prof. Dr. Ir. Arief
Prajitno, MS

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan makalah ini masih jauh


dari kata sempurna dengan segala kekurangan dan keterbatasan yang
dimiliki penulis, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat
diharapkan dari semua pihak agar makalah ini dapat memberikan manfaat
yang lebih kepada civitas akademika yang membutuhkan

31
Malang, November 2014

Penulis

TUGAS TERSTRUKTUR MATA KULIAH PENGEMBANGAN


BUDIDAYA
ii
Prof. Dr. Ir. Arief Prajitno, MS

“ Penggunaan Teknologi Bioaktif Alami dalam Meningkatkan


Imunitas Budidaya Udang Vanamei“

KELAS B

Oleh :
Muhammad Ikhwan I
146080100111021

32
PROGRAM MAGISTER BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014

33

Anda mungkin juga menyukai