Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH DASAR-DASAR BUDIDAYA

UDANG VANNAMEI (LITOPENAEUS VANNAMEI)

DI SUSUN OLEH :
ALDA ADELIA JUNITA_02
ASSYAHRA NUR ZERINA_07
FATIMAH AS ZAHRA_09
MUHAMMAD NIZAM_24
MUHAMMAD ZULFIQRAM_25
NUZUL_33
SULPIKAR_37
WAHDANIATUL AMIN_39
WIDIYANTI_40

PROGRAM STUDI : TEKNIK BUDIDAYA PERIKANAN (TBP C)

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN


BADAN RISET DAN SUMBER DAYA MANUSIA KELAUTAN DAN
PERIKANAN
POLITEKNIK KELAUTAN DAN PERIKANAN BONE

2021

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ………………………………………………………………… 02

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………….. 03

A. Latar Belakang …………………………………………………… 03

BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………… 05

A. Klasivikasi Udang Vannamei ………………………………….. 05

B. Biologi Udang Vannamei ………………………………………. 05

C. Morfologi Udang Vannamei …………………………………… 06

D. Habitat Udang Vannamei ………………………………………. 06

E. Sifat Dan Tingkah Laku ………………………………………… 07

F. Siklus Udang Vannamei ………………………………………... 09

G. Perkembangan Larva …………………………………………… 10

H. Parameter Kualitas Air ………………………………………… 11

BAB III PENUTUP ………………………………………………………... 15

A. Kesimpulan ………………………………………………………. 15

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak awal pengembangan budidaya udang, keberhasilan usaha

yang diperoleh petambak terus meningkat. Namun sejak tahun 1996

produksi udang yang diperoleh cenderung menurun. Penurunan produksi

terutama disebabkan oleh kegagalan budidaya udang di tambak akibat

timbulnya berbagai macam penyakit terutama white spot dan vibriosis.

Munculnya berbagai macam penyakit tersebut merupakan indikator telah

terjadi degradasi lingkungan. Berbagai upaya telah banyak dilakukan oleh

pemerintah maupun oleh pihak swasta dalam mengatasi masalah

tersebut. Salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan mengusahakan

jenis udang baru yang dianggap memiliki peluang pasar ekspor, cepat

tumbuh dan tahan terhadap penyakit (BBAP Situbondo, 2006).

Udang putih Amerika Litopenaeus vannamei merupakan salah satu

pilihan jenis udang yang dapat dibudidayakan di Indonesia. Udang

Vannamei masuk ke Indonesia pada tahun 2001, dan pada bulan mei

2002 pemerintah memberikan ijin kepada dua perusahaan swasta untuk

mengimpor induk udang vannamei sebanyak 2000 ekor. Selain itu, juga

mengimpor benur sebanyak 5 juta ekor dari Hawai dan Taiwan serta

300.000 ekor dari Amerika Latin. Induk dan benur tersebut kemudian

dikembangbiakkan oleh hatchery pemula. Sekarang usaha tersebut sudah

3
dikomersialkan dan berkembang pesat karena peminat udang vannamei

semakin meningkat (Haliman dan Adijaya, 2006).

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Klasifikasi Udang Vannamei

Menurut Haliman dan Adijaya (2005), Klasifikasi udang vannamei

adalah sebagai berikut:

Kingdom         : Animalia

Subkingdom    : Metazoa

Filum               : Arthropoda

Subfilum         : Crustacea

Kelas               : Malacostraca

Subkelas          : Eumalacostraca

Superordo       : Eucarida

Ordo                : Decapoda

Subordo          : Dendrobrachiata

Famili              : Penaeidea

Genus              : Litopenaeus

Spesies            : Litopenaeus vannamei

B. Biologi Udang Vannamei

Udang putih vaname (Litopenaeus vannamei) merupakan salah

satu jenis udang yang memiliki pertumbuhan cepat dan nafsu makan

tinggi, namun ukuran yang dicapai pada saat dewasa lebih kecil

dibandingkan udang windu (Penaeus monodon). Habitat aslinya adalah di

5
perairan samudera pasifik, tetapi spesies ini dapat dibudidayakan dengan

baik di Indonesia (Sukadi, 2004). Informasi ilmiah lebih rinci mengenai

udang ini dijabarkan dalam biologi udang putih vanname, meliputi :

taksonomi dan anatomi, morfologi, habitat dan daur hidup, pakan dan

kebiasaan makan.

C. Morfologi Udang Vannamei

Udang putih vaname termasuk dalam famili Penaidae, karena itu

sifat umum morfologi  sama dengan udang  windu. Tubuh udang putih

vaname secara morfologis dapat dibedakan menjadi dua bagian

yaitu cephalotorax atau bagian kepala dan dada serta bagain abdomen

atau perut. Bagian chepalotorax terlindung oleh chitin yang tebal yang

dinamakan carapace. Kulit chitin pada udang penaeid, akan selalu

mengalami pergantian kulit setiap kali tubuhnya akan membesar, setelah

itu kulitnya akan mengeras kembali (Wyban & Swynee, 1991.

D. Habitat Udang Vannamei

Habitat udang berbeda-beda tergantung dari jenis dan persyaratan

hidup dari setiap fase dalam daur hidupnya. Pada umumnya udang

bersifat bentis dan hidup pada permukaan dasar laut. Habitat yang disukai

oleh udang adalah dasar laut yang lembut (soft) yang biasanya campuran

lumpur dan pasir. Udang putih vanname  sangat menyukai daerah dasar.

Terutama di bawah garis  pantai pada kedalaman 72 m (235 kaki)

6
(Elovaara, 2001). Pada umumnya post larva ditemukan disepanjang

pantai dan paling banyak di daerah hutan mangrove. Ekosistem ini

merupakan  tempat yang sesuai untuk berlindung dan mencari makan

(Wyban & Sweeney, 1991)  .

E. Sifat dan tingkah laku

a. Pergantian Kulit (Moulting)

Khairuman (2004), berpendapat bahwa moulting merupakan

proses biologis yang dipengaruhi oleh umur, jumlah dan kualitas pakan

serta lingkungan hidup udang. Kulit udang terdiri dari chitin yang tidak

elastis, sehinga merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan udang.

Mekanisme pergantian kulit ini diatur oleh hormon yang dihasilkan oleh

salah satu kelenjar yang terdapat pada pangkal tangkai mata. Sebelum

berganti kulit biasanya nafsu makan udang berkurang, tidak banyak

bergerak dan mata terlihat suram. Proses pelepasan kulit lama

digantikan dengan kulit baru disebut ecdysis. Pada udang muda

pergantian kulit lebih cepat daripada udang dewasa. Haliman dan

Adijaya, (2005) berpendapat bahwa siklus pergantian

kulit (moulting) sebagai berikut:

a.       Akumulasi simpanan mineral dan organik, terutama kalsium, pada

eksosekelon mengeras dan mulai retak (proecdysis atau premoult).

b.      Cangkang yang telah tua dilepaskan (ecdysis moult atau

exuviation).

7
c.       Cangkang diperkuat dengan pengaturan matrik organik dan garam-

garam anorganik, cangkang mengeras dan kondisi psikologis

kembali normal, udang belum mau makan dan berlindung dari

tempat terbuka (meecdysis atau postmoult).

d.      Cangkang mengeras, kalsium daerah rendah dan pengapuran pada

“integumen” maksimum (intermoult).

b. Pakan dan Kebiasaan Makan

Pemeliharaan larva udang memerlukan ketersediaan pakan yang


 

cocok. Mikroalga uniseluler telah dicoba dalam berbagai situasi

pemeliharaan, khususnya dari jenis diatom

berupa chaetoceros dan skeletonema costatum. Teknik kultur untuk

jenis-jenis ini telah berkembang dengan baik (Nurdjana, 1992).

Udang penaeid memiliki sifat nocturnal, yaitu aktif mencari makan


 

pada malam hari. Pada waktu siang hari lebih suka beristirahat, baik

membenamkan diri dalam lumpur maupun menempel pada suatu

benda yang terbenam dalam air (Nurdjana et al., 1989). Makanannya

berupa jenis crustacea kecil, dan cacing laut. Udang penaeid di alam

bersifat omnivora dan pemakan bangkai, tetapi secara umum

merupakan predator bagi invertebrata yang pergerakannya lambat

(Felix & Perez 2002). Lebih lanjut Wyban & Sweeny (1991),

menyatakan bahwa pakan yang diberikan untuk induk berupa cumi 16%

8
total berat tubuh dan 10% berupa cacing laut serta pemberian pakan

enam kali sehari.

c. Kanibalisme
Udang putih vannamei mempunyai sifat kanibal. Kanibal adalah

sifat suka memangsa jenisnya sendiri. Sifat ini sering muncul pada

udang yang sehat, yang sedang tidak ganti kulit. Mangsanya adalah

udang-udang yang sedang ganti kulit (moulting). Keadaan kekurangan

makanan, sifat kanibal akan tampak pada waktu udang

tingkatan mysis (Mudjiman dan Suyanto, 1989)

F. Siklus Hidup Udang Vaname

Pada habitat aslinya, udang vaname matang gonad (mature), kawin

(mating) dan bertelur (spawning) berada pada perairan dengan

kedalaman sekitar 70 meter dari daerah pantai di Amerika selatan,

Tengah dan Utara, dengan suhu antara 26–280C dan salinitas sekitar 30

ppt. Telur menetas dan larva berkembang di laut dalam sebagai tempat

perkembangan zooplankton. Post larva udang vaname bergerak

mendekati pantai dan menetap di dasar estuaria, di estuaria tersedia

nutrien air laut dengan salinitas dan suhu yang bervariasi dari pada di laut

terbuka. Setelah beberapa bulan di daerah estuaria, udang muda kembali

ke lingkungan laut menjauhi pantai, dimana aktivitas mature , mating,dan

spawning terjadi.

9
Setelah menetas, menjadi larva tingkat pertama disebut nauplius.

Nauplius akan berkembang menjadi zoea setelah 45–60 jam. Zoea

berkembang menjadi mysis setelah 5 hari. Mysis berkembang menjadi

post larva setelah 4–5 hari. Selama stadi nauplius sampai denga larva

hidupnya mengikuti gerakan dan arus laut (Haliman 2005). Post larva

yang hidup dipantai berkembang menjadi udang muda (juvenile) di rawa-

rawa atau air payau. Setelah dewasa, udang beruaya ke laut untuk

memijah. Selama proses pertumbuhan udang mengalami pergantian kulit

(molting) (Lim, 1989).

G. Perkembangan Larva

Haliman (2005) siklus hidup udang vanname sebelum ditebar di

tambak yaitu stadia naupli, stadia zoea, stadia mysis, dan stadia pasca

larva .Adapun ciri-cirinya adlah sebagai berikut:

1. Stadia Naupli Pada stadia ini larva berukuran 0,32–3,30 mm.Sistim

pencernaannya belum sempurna dan masih memiliki cadang makanan

berupa kuning telur,sehingga pada stadia ini benih udang vaname

belum membutuhkan makanan dari luar.

2. Stadia Zoea Stadia zoea terjadi setelah naupli ditebar di bak

pemeliharaan sekitar 24 jam.Larva sudah berukuran 1,05–3,30

mm.Stadia ini mengalami moulting sebanyak 3 kali yaitu stadia zoea 1,

zoea 2 dan zoea 3. Lama proses penggantian kulit sebelum memasuki

stadia berikutnya (mysis)sekitar 4–5 hari. Pada fase ini larva sudah

10
mulai tampak aktif mengambil makanan sendiri dari luar, terutama

plankton

3. Stadia Mysis Pada stadia ini benih sudah merupai udang yang

dicirikan dengan sudah terlihat ekor kipas (uropods) dan ekor

(telson).Benih pada stadi ini sudah bisa menyantap pakan yang berupa

Fitoplankton dan Zooplankton. Ukuran larva berkisar 3,50-4,80 mm.

4. Stadia Post Larva (PL) Pada stadia ini, benih udang vaname sudah

tampak seperti udang dewasa. Hitungan stadia yang digunakan sudah

berdasarkan hari. Misalnya, PL 1 berarti post larva berumur 1 hari,

pada stadia tersebut gerak udang sudah aktif bergerak lurus ke depan.

H. Parameter Kualitas Air


a. Suhu
Suhu air sangat erat dengan konsentrasi oksigen terlarut dalam

air dan laju konsumsi oksigen hewan air. Suhu berbanding terbalik

dengan konsentrasi jenuh oksigen terlarut (Boyd, 1979). Menurut

Ahmad (1988), suhu air optimal bagi udang berkisar antara 28 – 30 0C

dan pada suhu tersebut konsumsi oksigen mencapai    2,2 mg/g berat

tubuh/jam. Pada suhu 18 – 25 0C udang masih bisa hidup, tetapi nafsu

makannya menurun (Poernomo, 2004).

Lebih lanjut dikatakan bahwa, selain berpengaruh langsung suhu

air juga berpengaruh secara tidak langsung terhadap udang. Laju reaksi

kimia dalam air berlipat dua untuk setiap kenaikan 10 0C. Pada suhu

11
tinggi bersamaan pH yang tinggi, laju keseimbangan amoniak lebih

cepat sehingga cenderung terjadi peningkatan NH 3 sampai pada

konsentrasi yang mempengaruhi pertumbuhan udang. Suhu

pertumbuhan udang antara 26-32 0C. Jika suhu lebih dari angka

optimum maka metabolisme dalam tubuh udang akan berlangsung

cepat  (Haliman dan Adijaya, 2005).

b. Kecerahan

Kecerahan  indentik dengan kepadatan plankton dan warna air.

Kecerahan yang baik pada udang berkisar 30 – 40 cm. Sedangkan

warna air untuk budidaya udang adalah hijau muda dan coklat muda

karena mengandung banyak diatomae dan clorophyta (Effendi, 2003).

c. Salinitas (Kadar Garam)

Menurut Boyd (1996), udang sebenarnya termasuk hewan

euryhalin yaitu hewan yang menyesuaikan diri terhadap rentang kadar

garam yang lebar. Namun karena dibudidayakan secara komersial,

rentang kadar garam optimal perlu dipertahankan. Pada rentang kadar

garam optimal (12-20) energi yang digunakan untuk mengatur

keseimbangan kepekatan cairan tubuh dan air tambak (osmoregulasi)

cukup rendah sehingga sebagian besar energi asal pakan dapat

digunakan untuk pertumbuhan.

Haliman dan Adijaya (2005), menyebutkan bahwa udang muda

yang berumur 1-2 bulan memerlukan kadar garam 15-25 ppt agar

12
pertumbuhannya optimal. Setelah umurnya lebih dari 2 bulan,

pertumbuhan relatif baik pada kisaran salinitas 5-30 ppt. Pada salinitas

tinggi, pertumbuhan udang menjadi lambat karena proses osmoregulasi

terganggu. Apabila salinitas meningkat maka pertumbuhan udang akan

melambat karena energi lebih banyak terserap untuk proses

osmoregulasi dibandingkan untuk pertumbuhan.

d. Derajat keasaman (pH)

Suyanto dan Mudjiman (2002), mengatakan bahwa pada sore

hari pH air biasanya lebih tinggi daripada pagi hari. Penyebabnya

adalah kegiatan fotosintetis fitoplankton dalam air yang menyerap CO 2.

Oleh kegiatan fotosintetis itu CO2 menjadi sedikit, sedangkan di pagi

hari CO2 banyak sebagai hasil dari kegiatan pernapasan binatang

maupun fitoplankton dan juga pembusukkan di dalam air. Haliman dan

Adijaya (2005), menyatakan yaitu kisaran nilai pH yang ideal untuk

pertumbuhan udang adalah 7,5-8,5.

e. Plankton

Beberapa plankton  jenis diatom, chlorophyceaea, crustacea,

kecil dan zooplankton merupakan makanan alami yang baik untuk

udang. Namun demikian, banyak jenis cyanophyceae, dinophyceaea

serta protozoa tidak baik bahkan merugikan udang. Oleh karena itu

keberadaannya harus selalu dimonitor (Dirjenbud, 2006).

13
Warna hijau gelap merupakan indikasi air yang di dominasi oleh

warna hijau dari jenis chlorella, kadang juga

ditemukan dumalillela dan plaity monas, carteria, chlamidomonas pada

tambak bersalinitas rendah, seendemus dan euglena lebihdomina

warna hijau muda ini favorit, karena stabil namun bila kecerahan nya

tinggal 30 cm, banyak udang yang akan terserang penyakit.

Warna hijau biru memberikan dominasi warna hijau biru. Dengan

meninngkatnya suhu  air rata – rata, pada kondisi banyak terjadi kasus

penyakit, seperti cangkang lunak,  udang berwarna pucat dan

pertumbuhan nya lambat.

Ditemukan hingga 70 % adalah Genus  oscilfornia,

phormidum dan microccoleus. Pada warna air ini juga banyak

penyebaran penyakit.

Setiap hari harus dilakukan pengecekan kualitas air salah satunya

adalah suhu air, PH air, kejernihan air  dan menjaga kebersihan

disekitar tambak.  Mengidentifikasi bibit – bibit penyakit ditambak

apakah ada tidaknya penyakit.

14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Udang putih vaname (Litopenaeus vannamei) merupakan salah

satu jenis udang yang memiliki pertumbuhan cepat dan nafsu makan

tinggi, namun ukuran yang dicapai pada saat dewasa lebih kecil

dibandingkan udang windu (Penaeus monodon). Tubuh udang putih

vaname secara morfologis dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu

cephalotorax atau bagian kepala dan dada serta bagain abdomen atau

perut. Bagian chepalotorax terlindung oleh chitin yang tebal yang

dinamakan carapace. Habitat udang berbeda-beda tergantung dari jenis

dan persyaratan hidup dari setiap fase dalam daur hidupnya. Habitat yang

disukai oleh udang adalah dasar laut yang lembut (soft) yang biasanya

campuran lumpur dan pasir. Khairuman (2004), berpendapat bahwa

moulting merupakan proses biologis yang dipengaruhi oleh umur, jumlah

dan kualitas pakan serta lingkungan hidup udang. Kulit udang terdiri dari

chitin yang tidak elastis, sehinga merupakan faktor pembatas bagi

pertumbuhan udang. Akumulasi simpanan mineral dan organik, terutama

kalsium, pada eksosekelon mengeras dan mulai retak (proecdysis atau

premoult). Cangkang yang telah tua dilepaskan (ecdysis moult atau

exuviation).

Cangkang diperkuat dengan pengaturan matrik organik dan garam-

garam anorganik, cangkang mengeras dan kondisi psikologis kembali

normal, udang belum mau makan dan berlindung dari tempat terbuka

15
(meecdysis atau postmoult). Cangkang mengeras, kalsium daerah rendah

dan pengapuran pada “integumen” maksimum (intermoult). Pemeliharaan

larva udang memerlukan ketersediaan pakan yang cocok. Udang penaeid

memiliki sifat nocturnal, yaitu aktif mencari makan pada malam hari.

Udang putih vannamei mempunyai sifat kanibal. Sifat ini sering muncul

pada udang yang sehat, yang sedang tidak ganti kulit. Pada habitat

aslinya, udang vaname matang gonad (mature), kawin (mating) dan

bertelur (spawning) berada pada perairan dengan kedalaman sekitar 70

meter dari daerah pantai di Amerika selatan, Tengah dan Utara, dengan

suhu antara 26–280C dan salinitas sekitar 30 ppt. Post larva udang

vaname bergerak mendekati pantai dan menetap di dasar estuaria, di

estuaria tersedia nutrien air laut dengan salinitas dan suhu yang bervariasi

dari pada di laut terbuka. Post larva yang hidup dipantai berkembang

menjadi udang muda (juvenile) di rawa-rawa atau air payau. Setelah

dewasa, udang beruaya ke laut untuk memijah. Stadia Naupli Pada stadia

ini larva berukuran 0,32–3,30 mm.Sistim pencernaannya belum sempurna

dan masih memiliki cadang makanan berupa kuning telur,sehingga pada

stadia ini benih udang vaname belum membutuhkan makanan dari luar.

Lama proses penggantian kulit sebelum memasuki stadia berikutnya

(mysis)sekitar 4–5 hari. Pada fase ini larva sudah mulai tampak aktif

mengambil makanan sendiri dari luar, terutama plankton .

Stadia Mysis Pada stadia ini benih sudah merupai udang yang

dicirikan dengan sudah terlihat ekor kipas (uropods) dan ekor

16
(telson).Benih pada stadi ini sudah bisa menyantap pakan yang berupa

Fitoplankton dan Zooplankton. Stadia Post Larva (PL) Pada stadia ini,

benih udang vaname sudah tampak seperti udang dewasa. Hitungan

stadia yang digunakan sudah berdasarkan hari. Suhu berbanding terbalik

dengan konsentrasi jenuh oksigen terlarut (Boyd, 1979). Menurut Ahmad

(1988), suhu air optimal bagi udang berkisar antara 28 – 30 0C dan pada

suhu tersebut konsumsi oksigen mencapai 2,2 mg/g berat tubuh/jam.

Pada suhu tinggi bersamaan pH yang tinggi, laju keseimbangan amoniak

lebih cepat sehingga cenderung terjadi peningkatan NH3 sampai pada

konsentrasi yang mempengaruhi pertumbuhan udang. Suhu pertumbuhan

udang antara 26-32 0C. Kecerahan indentik dengan kepadatan plankton

dan warna air. Kecerahan yang baik pada udang berkisar 30 – 40 cm.

Menurut Boyd (1996), udang sebenarnya termasuk hewan euryhalin yaitu

hewan yang menyesuaikan diri terhadap rentang kadar garam yang lebar.

Haliman dan Adijaya (2005), menyebutkan bahwa udang muda yang

berumur 1-2 bulan memerlukan kadar garam 15-25 ppt agar

pertumbuhannya optimal.

Penyebabnya adalah kegiatan fotosintetis fitoplankton dalam air

yang menyerap CO2. Haliman dan Adijaya (2005), menyatakan yaitu

kisaran nilai pH yang ideal untuk pertumbuhan udang adalah 7,5-8,5.

Beberapa plankton jenis diatom, chlorophyceaea, crustacea, kecil dan

zooplankton merupakan makanan alami yang baik untuk udang. Namun

demikian, banyak jenis cyanophyceae, dinophyceaea serta protozoa tidak

17
baik bahkan merugikan udang. Warna hijau biru memberikan dominasi

warna hijau biru. Dengan meninngkatnya suhu air rata – rata, pada kondisi

banyak terjadi kasus penyakit, seperti cangkang lunak, udang berwarna

pucat dan pertumbuhan nya lambat. Pada warna air ini juga banyak

penyebaran penyakit. Setiap hari harus dilakukan pengecekan kualitas air

salah satunya adalah suhu air, PH air, kejernihan air dan menjaga

kebersihan disekitar tambak. Mengidentifikasi bibit – bibit penyakit

ditambak apakah ada tidaknya penyakit.

18
19

Anda mungkin juga menyukai