Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) merupakan udang asli perairan Amerika Latin.
Udang ini dibudidayakan mulai dari pantai barat Meksiko ke arah selatan hingga daerah Peru.
Beberapa petambak di Indonesia mulai mencoba membudidayakan udang vaname, karena
hasil yang dicapai sangat luar biasa. Apalagi produksi udang windu yang saat ini sedang
mengalami penurunan karena serangan penyakit, terutama penyakit bercak putih (white spot
syndrome virus) (Haliman R.W dan Adijaya D. S, 2005).
Menurut Haliman R.W dan Adijaya D.S, (2005), Kehadiran udang vaname diakui sebagai
penyelamat dunia pertambakan udang Indonesia. Petambak mulai bergairah kembali, begitu
pula para operator pembenihan udang. Operator mulai membenikan udang vaname untuk
memenuhi kebutuhan petambak.
Menurut Ditjen Perikanan Budidaya (2014), produksi perikanan budidaya ke depan
optimis meningkat dengan kenaikan pencapaian target produksi sebesar 353%. Pemanfaatan
lahan budidaya untuk tambak masih sangat luas dengan potensi wilayah sebesar 2.963.717 ha
yang baru dimanfaatkan sekitar 22.18% atau sekitar 657.436 ha. (Ditjen Perikanan Budidaya,
2014).
Menurut Argina (2013), produksi udang nasional sebagian besar merupakan udang
vaname yang mencapai 85%. Dijelaskan oleh Direktorat Jendral Perikanan Budidaya pada
tahun 2013, Perikanan Budidaya baru memproduksi udang vaname sebesar 500.000
ton/tahun, hasil tersebut belum mencukupi semua kebutuhan pasar dunia, maka pada tahun
2014 target produksi udang vaname ditingkatkan menjadi 699.000 ton/tahun agar dapat
memenuhi kebutuhan pasar dunia walau tidak semua terpenuhi.
Pencapaian target tersebut sangat didukung oleh bebasnya hasil produksi udang vaname
Indonesia dari wabah Early Mortality Syndroms (EMS) yang telah menyerang beberapa
negara penghasil udang dunia yaitu China, Vietnam dan Malaysia (News, 2013).
Keunggulan udang vaname yaitu pertumbuhan lebih cepat dan kelangsungan hidup tinggi.
Budidaya udang vaname dengan penerapan pola budidaya intensif sangat menguntungkan
karena dapat menggunakan padat tebar yang tinggi, sehingga dapat meningkatkan produksi
udang vaname. Kendala yang dihadapi yaitu masih sedikit yang pemahaman tentang
budidaya secara intensif dan hanya pengusaha kalangan menengah ke atas yang menerapkan
sistem tersebut (Arifin, 2008).

1
1.2. Maksud
Maksud dari kunjungan untuk melihat bagaimana teknik budidaya udang vaname
(Litopenaeus vannamei) di tambak intensif
1.3 Tujuan
Tujuan dari kunjungan ini adalah untuk memperoleh pengetahuan tentang teknik
budidaya udang vaname di tambak inensif yang meliputi: persiapan lahan, persiapan sarana
tambak, penebaran benur, monitoring kualitas air, manajement pakan, pengendalian hama
dan penyakit, monitoring pertumbuhan, panen dan pasca panen.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biologi Udang Vaname


2.1.1. Taksonomi Udang Vaname
Menurut Haliman R. W dan Adijaya D.S (2005), klasifikasi udang vaname (Litopenaeus
vannamei) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia
Sub kingdom : Metazoa
Filum : Artrhopoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Malascostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Penaeidae
Genus :Litopenaeus
Spesies :Litopenaeus vannamei

Gambar 1. Udang Vaname(Litopenaeus vannamei)

2.1.2. Morfologi Udang Vaname


Tubuh udang vaname dibentuk oleh dua cabang atau (biramous) yaitu exopodite dan
endopodite. Vaname memiliki tubuh berbuku-buku dan aktifitas berganti kulit luar atau
eksoskeleton secara periodik (moulting). Bagian chephalothorax udang vaname sudah
mengalami modifikasi sehingga dapat digunakan untuk keperluan sebagai berikut:
 Makan, bergerak dan membenamkan diri dalam lumpur (burrowing).
 Menopang insang karena struktur insang mirip bulu unggas.
 Organ sensor, seperti pada antena dan antenula.

3
Kepala (Chephalothorax) udang vaname terdiri dari antenula, antenna, mandibula, dan dua
pasang maxillae. Kepala udang vaname juga dilengkapi dengan 3 (tiga) pasang maxilipeddan
5 (lima) pasang kaki berjalan (peripoda) atau kaki sepuluh (decapoda). Maxipiliped sudah
mengalami modifikasi dan berfungsi sebagai organ untuk makan. Bentuk peripoda beruas-
ruasyang berujung di bagian dactylus. Dactylus ada yang berbentuk capit (kaki 1,2 dan 3) dan
tanpa capit kaki 4 dan 5.
Perut (abdomen) terdiri dari 6 ruas. Pada abdomen terdapat 5 (lima) pasang kaki renang
dan sepasang uropod (mirip ekor) yang berbentuk kipas bersama-sama telson (Haliman dan
Adijaya, 2005).

Gambar 2. Morfologi Udang Vaname


2.1.3. Habitat dan Siklus Hidup
Risaldi (2012) menyatakan bahwa udang vaname adalah udang asli dari perairan Amerika
Latin yang kondisi iklimnya subtropics. Di habitat alaminya suka hidup pada kedalaman
kurang lebih 70 meter. Udang vaname bersifat nocturnal, yaitu aktif mencari makan pada
malam hari. Proses perkawinan pada udang vaname ditandai dengan loncatan betina secara
tiba-tiba. Pada saat meloncat tersebut, betina mengeluarkan sel-sel telur. Pada saat yang
bersamaan, udang jantan mengeluarkan sperma, sehingga sel telur dan sperma bertemu.
Proses perkawinan berlangsung kira-kira satu menit. Sepasang udang vaname berukuran 30-
45 gram dapat menghasilkan telur sebanyak 100.000-250.000 butir.
Selanjutnya dinyatakan siklus hidup udang vaname sebelum ditebar di tambak yaitu stadia
naupli, stadia zoea, stadia mysis, dan stadia post larva. Pada stadia naupli larva berukuran
0,32 – 0,59 mm, sistim pencernaanya belum sempurna dan masih memiliki cadangan
makanan berupa kuning telur. Stadia zoea terjadi setelah larva ditebar pada bak pemeliharaan
sekitar 15 – 24 jam. Larva sudah berukuran 1,05 – 3,30 mm dan pada stadia ini benur

4
mengalami 3 kali moulting. Pada stadia ini pula benur sudah bisa diberi makan yang berupa
artemia. Siklus hidup udang vaname dapat di lihat pada Gambar 2 berikut.

Gambar 3. Siklus hidup udang vaname (Warsito, 2012)


Stadia mysis, benur udang sudah menyerupai bentuk udang, yang dicirikan dengan sudah
terluhatnya ekor kipas (uropoda) dan ekor (telson). Selanjutnya udang mencapai stadia post
larva, dimana udang sudah menyerupai udang dewasa. Hitungan stadianya sudah
menggunakan hitungan hari. Misalnya, PL1 berarti post larva berumur satu hari. Pada stadia
ini udang sudah mulai bergerak aktif (Haliman dan Adijaya, 2005)
2.1.4. Tingkah Laku
Kita harus mengenal sifat-sifat (fisiologi) dari udang vanamepada saat dilakukan
budidaya antara lain :
a. Nocturnal
Secara alami udang merupakan hewan nocturnal yang aktif pada malam hari untuk
mencari makan, sedangkan pada siang hari sebagian dari mereka bersembunyi di dalam
substrat atau lumpur. Namun di tambak budidaya dapat dilakukan feeding dengan frekuensi
yang lebih banyak untuk memacu pertumbuhannya.
b. Kanibalisme
Udang suka menyerang sesamanya, udang sehat akan menyerang udang yang lemah
terutama pada saat moulting atau udang sakit. Sifat kanibal akan muncul terutama bila udang
tersebut dalam keadaan kurang pakan dan padat tebar tinggi.
c. Pakan dan kebiasaan makan (Feeding behaviour)
Udang vaname hidup dan mencari makan di dasar perairan (benthic). Udang vaname
merupakan hewan pemakan lambat dan terus-menerusdan digolongkanke dalam hewan
pemakan segala macam bangkai (omnivorous scavenger) atau pemakan detritus dan
karnivora yang memakan krustacea kecil, amphipoda dan polychaeta.

5
d. DayaTahan
Udang vaname pada waktu masih berupa benih sangat tahan pada perubahan kadar garam
(salinitas). Sifat demikian dinamakan sifat euryhaline. Sifat lain yang menguntungkan adalah
ketahanan terhadap perubahan suhu dan sifat ini dikenal sebagai eurytherma.
e. Ganti Kulit (Moulting)
Udang vaname melakukan ganti kulit (moulting) secara berkala. Frekuensi moulting
menurun seiring dengan makin besarnya ukuran udang. Pada stadium larva terjadi moulting
setiap 30 – 40 jam pada suhu 280C. Sedangkan juvenile dengan ABW 1 – 5 gram mengalami
moulting setiap 4 – 6 hari, selanjutnya pada ABW 15 gram periode moulting terjadi sekitar 2
(dua) minggu sekali. Kondisi lingkungan dan makanan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi frekuensi moulting. Sebagai contoh, suhu yang tinggi dapat meningkatkan
frekuensi moulting. Penyerapan oksigen oleh udang kurang efisien selam moulting, akibatnya
selama proses ini beberapa udang mengalami kematian akibat hypoxia atau kekurangan
oksigen dalam tubuh. (Suyanto.S.R. dan Ahmad. M, 1999).

2.2. Persiapan Tambak


2.2.1. Pengeringan
Pengeringan tambak dilakukan dengan bantuan sinar matahari. Adapun pengeringan
berfungsi membantu proses oksidasi yang dapat menetralkan keasaman sifat keasaman tanah,
menghilangkan gas beracun dan membantu membunuh telur-telur hama yang
tertinggal.Proses pengeringan dilakukan selama 3 – 4 hari. Pengeringan dihentikan bila tanah
dasar tambak sudah kering, tetapi tidak retak agar bakteri pengurai tetap mampu menjalankan
fungsinya mengurai bahan organik pada susasana aerob (Haliman dan Adijaya, 2005).
Ditambahkan oleh Jayanti (2012), pengeringan dilakukan selama 1 (satu) bulan sesuai
dengan terik matahari hingga tanah menjadi kering.Diharapkan sinar matahari dapat
membunuh bakteri pembusuk, menaikan pH tanah, serta memudahkan dalam renovasi
tambak agar tidak licin dan berlumpur.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Haliman dan Adijaya (2005), apabila pengeringan dilakukan
pada saat musim hujan, dapat dilakukan pencucian petakan tambak dengan memasukan air
kedalam tambak kemudian diaduk menggunakan kincir dan dibuang. Pengeringan dengan
cara tersebut mempunyai kelemahan, yaitu mempercepat proses penuaan tanah dan unsur
hara tanah cepat habis.

6
2.2.2. Pengapuran
Menurut Jayanti (2012), pemberian kapur ini bertujuan untuk menaikkan pH tanah dan
mempertahankannya dalam kondisi yang stabil. Selain itu, diharapkan, setelah pemberian
kapur tanah dasar menjadi subur, reaksi kimia yang terjadi didasar tanah menjadi baik, gas-
gas beracun dapat terikat secara kimiawi. Pada umumnya, kapur yang digunakan dalam
pengapuran untuk persiapan tambak adalah kapur kaptan dan dolomite yang mengandung
unsur magnesium dengan dosis 20 ppm.
Terdapat juga beberapa jenis kapur lain selain kaptan dan dolomite yang biasa digunakan
yaitu batu kapur (crushet shell, CaCO3) dengan dosis 100kg/ha, kapur mati (slaked lime,
Ca(OH)2), dengan dosis 50 – 100 kg/ha dan dolomit (dolomitic lime, Ca Mg (CO3)) dengan
dosis 200 – 300 kg/ha.Pemberian kapur dapat diberikan pada saat pH kurang dari 7,5.
Apabila pH tanah lebih dari 8,5 maka perlu segera dilakukan pergantian air dan penambahan
kapur (Haliman dan Adijaya, 2005).
2.2.3. Pemupukan
Pemupukan berfungsi untuk mengembalikan kesuburan tanah, sehingga pakan alami dasar
dapat tumbuh dengan baik. Jenis pupuk yang digunakan dapat berupa pupuk alam maupun
pupuk buatan. Untuk pupuk dasar sebaiknya menggunakan pupuk alam, sedangkan untuk air
dapat digunakan pupuk buatan (Mujiman dan Suyanto, 2003).
Tahap awal air dimasukan ke dalam tambak secara bertahap dan dilakukan pemupukan.
Pemupukan dapat dilakukan dengan menggunakan pupuk Urea dan TSP dengan dosis
masing-masing 200 dan 100 kg/ha dan sebaiknya dalam persiapan lahan tambak digunakan
juga pupuk organik (dari jenis pupuk kandang) antara 1000 – 2000 kg/ha (Pusat Riset
Perikanan Budidaya, 2007).
Dijelaskan lebih lanjut oleh Mujiman dan Suyanto (2003), penggunaaan pupuk anorganik
untuk menumbuhkan pakan alami dapat menggunakan pupuk urea 150 kg/ha dan TSP
(Tripple Superphosphate) 75 kg/ha. Sekitar 5 hari sesudah pemupukan pakan alami akan
tumbuh, selanjutnya air dapat ditinggikan.
2.2.4. Pemberantasan Hama dan Penyakit
Pemberantasan hama dan penyakit di tambak bertujuan untuk mengurangi tingkat kerugian
yang diakibatkan oleh hama dan penyakit yang dapat menyerang udang vannamei. Menurut
Pendapat Herlina (2004), pemberantasan hama dapat dilakukan secara mekanis dansecara
kimia (menggunakan obat kimia berupa pestisida atau insektisida). Dalam pemilihan
pestisida menjadi sangat penting peranannya, karena pestisida yang dipergunakan untuk
pengendalian hama harus memiliki beberapa sifat, antara lain :

7
 Tidak bersifat persisten namun degradable (pemberantasan secara perlahan-lahan).
 Memiliki kisaran pemberantasan yang spesifik.
 Tidak meninggalkan residu yang membahayakan.
 Tidak bersifat fitotoksis, yang dapat membunuh alga.
Pemberantasan hama dan penyakit dapat pula dilakukan dengan pemberian klorin dan
saponim. Pemberian klorin berfungsi sebagai pembentuk CaO(Cl2) Calsium hypochlorite
yang berguna sebagai desinfektan. Selain itu klorin juga berfungsi sebagai pemberantas
fitoplankton sehingga air mudah dicerahkan. Sedangkan pemberian saponim berfungsi
sebagaibahan racun untuk membunuh ikan lain atau hama yang mengganggu atau merugikan
udang vaname (Haliman dan Adijaya, 2005).
Sedangkan menurut Musthsu (2012), pemberantasan hama dan penyakit dapat
dilakukandengan menggunakan insektisida sebanyak 10 liter/ha.Dengan tujuan untuk
membunuh jenis ikan-ikanan, kepiting dan udang-udangan. Aplikasi insektisida dilakukan 10
hari sebelum penebaran benur. Hal ini bertujuan agar residu dari isektisida bisa
terurai.Pemberantasan hama dan penyakit dilakukan selama 1 minggu dengan membiarkan
air tambak. Air tambak iniakan dijadikan air media untuk pembesaran udang. Selain itu dapat
juga digunakan saponin dan kaporit dalam tahap pemberantasan hama dan penyakit
2.2.5. Pengisian Air
Pengisian air diupayakan memanfaatkan pasang surut air laut, tetapi dapat juga digunakan
pompa. Pingisian air dilakukan secara bertahap, pada awalnya pengisian air diupayakan
cukup sedalam 0,5 m dan diarkan selama 2 – 3 hari sebelum benur ditebarkan. Baru
pengisian air dilakukan setelah pemupukan selesai dengan ketinggian awal 10 cm, agar pakan
alami tumbuh dengan baik. Setelah satu minggu air dinaikkan menjadi 20 cm dan dinaikkan
terus secara bertahap hingga ketinggian yang diinginkan oleh udang, yaitu sekitar 1 – 1,5 m
(Amri, 2006).
Menurut Tim Karya Tani Mandiri (2009) bahwa air dimasukan ke dalam tambak secara
bertahap, tahap awal diisi setinggi 10 – 25 cm dan biarkan beberapa hariagar memberi
kesempatan bibit plankton tumbuh. Setelah itu, air dimasukan hingga minimal 80 cm.
2.2.6. Pemasangan Kincir
Kincir yang digunakan berfungsi sebagai penyuplai oksigen di dalam tambak, membantu
dalam mengarahkan kotoran dasar tambak ke arah sentral pembuangan, sehingga
mempermudah dalam proses pembersihan dasar tambak. Menurut Amri dan Kanna (2008).

8
2.3. Penebaran Benur
2.3.1. Persyaratan Benur
Beberapa kriteria yang dapat diketahui secara visual (kasat mata) dan dapat juga
digunakan sebagai indikator untuk mendapatkan benur udang yang baik dan benur yang
sehat. Benur dapat di bedakan menjadi 2 yaitu benur F1 dan benur lokal, memiliki ciri-ciri
benur bergerak aktif (berenang) secara mendatar untuk mencari makan, melawan arus dan
pada waktu-waktu tertentu menempel di wadah pemeliharaan. Sementara benur yang sakit
cenderung melayang, terbawa arus, berenang tanpa arah dengan tubuh melengkung. Benur
yang berkualitas baik mempunyai daya saing khususnya dalam mendapatkan makan yang
seimbang dalam populasinya yang ditandai dengan ukuran yang seragam (80%) (Erlangga,
2012).
Ditambahkan oleh Erlangga (2012), pemeriksaan kesehatan benur secara visual yaitu
ketika masih berada di dalam kantong benur yang abnormal maksimal berjumlah 1% dari
populasi benur di dalam kantong plastik, serta dapat dilakukan pengujian yaitu uji salinitas
dengan memindahkan sampel benur ke dalam air bersalinitas 0 ppt selama 15 menit dan
dilakukan uji stressing menggunakan larutan formalin 37%dengan dosis 200 ppm per liter air
selama 30 menit. Penilaian benur yang baik yaitu pada tahap uji salinitas tingkat kehidupan
(SR) lebih dari 20% dan untuk uji stersing tingkat kematian benur di bawah 5%.
2.3.2. Penebaran Benur
Benur sebelum ditebar dilakukan aklimatisasi yang bertujuan agar benur udang dapat
beradaptasi dengan keadaan baru di tambak dan tidak mengakibatkan benur stress hingga
mengalami kematian. Aklimatisasi dilakukan dengan cara mengapungkan kantong plastik
benur kepetakan. Proses adaptasi dilakukan selama 2 jam. Kepadatan penebaran benur
vaname yaitu 100 – 125 ekor/m2 (Marguensis, 2012).
Ditambahkan oleh Erlangga (2012), waktu penebaran yang ideal dilakukan pagi hari
ketika suhu air tambak rendah berkisar antara 27 – 300C. Penebaran benur udang vaname
dilakukan dengan kepadatan 80 – 100 ekor / m2. Sebelum penebaran udang dilakukan pada
tambak, sebaiknya dilakukan proses aklimatisasi terlebih dahulu.
Menurut Tim Karya Tani Mandiri (2009), adapun adaptasi yang dilakukan yaitu:
1. Adaptasi suhu
Plastik wadah benur direndam selama 15 – 30 menit, agar terjadi penyesuaian suhu
antara air di tambak dan didalam plastik.

9
2. Adaptasi salinitas
Dilakukan dengan mencampurkan air tambak ke dalam plastik dengan tujuannya agar
terjadi pencampuran air yang berbeda salinitasnya, sehingga benur dapat menyesuaikan
dengan salinitas air tambak. Penebaran benur sebaiknya dilakukan pagi hari antara pukul
06.00 – 09.00 waktu setempat dengan pertimbangan untuk mendapatkan kadar oksigen yang
baik, pada sore hari kadar oksigen air tambak menurun.

2.4. Pengelolahan Pakan


2.4.1. Nutrisi Pakan
Pakan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan nutrisi udang vaname. Nutrisi yang
dibutuhkan udang vaname antara lain protein, lemak, vitamin, asam amino esensial. Nutrisi
tersebut digunakan aktivitas pertumbuhan dan reproduksi udang (Haliman R.W dan Adijaya
D.S, 2005).
Lemak dan karbohidrat merupakan sumber energy. Mineral dan vitamin berfungsi
memperlancar proses metabolisme didalam tubuh udang. Secara khusus, mineral membantu
transportasi energy, menjaga keseimbangan osmosis, serta membantu menyusun enzim dan
hormon serta membantu menyusun ekoskeleton. (Haliman R.W dan Adijaya D.S, 2005).
2.4.2. Kebutuhan Pakan
Pemberian pakan dengan jumlah yang berlebihan akan berdampak negatif pada kualitas air
dan tanah dasar tambak yang dapat menurunkan tingkat kesehatan udang. Kebutuhan pakan
udang vaname meliputi dosis pakan, frekuensi dan pengontrolan pakan. Menurut Marguensis
(2012), dosis pemberian pakan dari udang mulai ditebar sampai waktu panen bervariasi
dimana udang muda perbandingan antara jumlah pakan dan berat tubuhnya lebih tinggi dari
udang yang dewasa. Hal ini dikarenakan udang muda metabolismenya lebih tinggi sehingga
membutuhkan pakan yang banyak sebagai sumber energi.
Jumlah pakan yang diberikan selama pemeliharaan di tambak dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Program standar pemberian pakan pada budidaya udang vaname di tambak.
Frek.
Umur Dosis Cek
Ukuran Bentuk Paka
Udang Pakan Anco
(gr) Pakan n
(hari) (%) (jam)
/Hari
1 – 15 PL 10-0,1 Fine crumble 75-25 3 -
16-30 1,1-2,5 Crumble 25-15 4 -
31-45 2,6-5 Crumble 15-10 5 2-3

10
45-60 5,1-8 Pellet 10 – 7 5 2-2,5
61-75 8,1-14 Pellet 7–5 5 1,5-2
76-90 14,1-18 Pellet 5–3 5 1,5-2
91-105 18,1-20,1 Pellet 5–3 5 1-1,5
106-120 20,1-22,5 Pellet 4–2 5 1-1,5
Sumber: Marguensis (2012)
Menurut Amri dan Kanna (2008), pemberian pakan bersifat fleksibel dapat berubah-ubah
tergantung pada nafsu makan udang. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nafsu makan
udang antara lain:
1. Kondisi tanah dasar tambak
2. Kualitas air
3. Tingkat kesehatan udang
Tingkat nafsu makan udang dapat diketahui dengan pengontrolan anco yang dilakukan 1 – 2
jam setelah pemberian pakan.
Erlangga (2012), menyatakan bahwa pemberian pakan pertama kali dilakukan ketika
udang vaname sehari di dalam tambak. Pakan pertama kali dapat diberikan sekitar 10% dari
bobot awal udang vaname dan diturunkan secara berkala sampai dengan umur udang 10 hari.
Ketika udang berumur 11 hari pakan dapat diberikan sekitar 6,3% atau sekitar 7% dari bobot
udang tersebut. Strategi pemberian pakan buta dilakukan pada awal pemeliharaan sampai
udang berumur satu bulan.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Erlangga (2012), setelah udang berumur 30 hari, pakan
diberikan sesuai dengan kebutuhan udang. Pakan yang diberikan dapat dihitung berdasarkan
tingkat kelangsungan hidup udang, rata-rata pertumbuhan udang dan derajat pemberian
pakan. Pemberian pakan disesuaikan dengan kebutuhan udang dengan cara memeriksa
seluruh anco yang diletakan di dalam tambak.

2.5. Pengelolahan Kualitas Air


2.5.1. Monitoring Kualitas Air
Kualitas air tambak terkait erat dengan kondisi kesehatan udang. Kualitas air yang baik
mampu mendukung pertumbuhan secara optimal. Hal itu berhubungan dengan faktor stres
akibat perubahan kualitas air di tambak. Beberapa parameter kuallitas air primer yang selalu
dipantau yaitu suhu air, salinitas, pH, DO (Dissolved oxygen), dan amoniak. Parameter-
parameter tersebut akan mempengarui proses metabolisme tubuh udang, seperti keaktifan
mencari pakan, proses pencernaan, dan pertumbuhan udang (Haliman dan Adijaya, 2005).

11
Parameter kualitas air tambak dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Parameter Kualitas Air Tambak
Metode Atau Alat Angka
Parameter Waktu Uji
Uji Referensi
1 2 3 4
Fisik
Suhu Thermometr Pagi dan sore hari 26 – 300 C
pH meter, kertas
pH Pagi dan sore hari 7,5 – 8,5
lakmus
1 2 3 4
Salinitas Refrakto meter Pagi dan sore hari 15 – 30 ppt
DO DO meter 02.00 – 05.00 > 3 ppm
Kecerahan Seicchi disk Siang atau sore < 30 cm
Kimia
Siang atau sore, 2-3
Nitrit Test kit 0,01 ppm
hari sekali
Siang atau sore,
Fosfat Test kit 1 – 3 ppm
seminggu sekali
Alkalinitas Titrasi asam-basa Siang atau sore > 150 ppm
Besi (Fe) Test kit 2-3 hari sekali < 1 ppm
Berkala seminggu
H2S Spektrofotometer < 7 ppb
sekali
Biologi
Jumlah Vibrio
Hitungan cawan 2-3 hari sekali < 1.000 cfu/ml
Patogen
Sumber : Haliman dan Adijaya (2005)
2.5.2. Pengendalian Kualitas Air
Kualitas air harus selalu dijaga karena berkaitan dengan kesehatan udang. Untuk
mengendalikan kualitas air agar tetap baik maka dilakukan sirkulasi, pergantian air,
penyiponan, menjaga kelarutan oksigen dan aplikasi probiotik.
a. Sirkulasi
Menurut Marindo (2008), sirkulasi air tambak dapat diartikan sebagai proses penggantian
air di dalam tambak dengan jalan membuang sebagian air tambak melalui saluran

12
pembuangan untuk digantikan dengan air baru yang dimasukkan melalui saluran
pemasukkan. Pada tambak intensif sudah menggunakan pompa air sebagai alat bantu untuk
memasukan air laut ke dalam tambak. Meski demikian secara garis besar sirkulasi air tambak
tetap mengacu pada kondisi pasang surut yang terjadi di wilayah tersebut. Beberapa faktor air
tambak lainnya yang perlu dipertimbangkan sebelum melakukan sirkulasi air adalah :
 Kualitas perairan yang meliputi ketersediaan bibit plankton, keberadaan predator dan
kompetitor bagi udang, ketersediaan pakan alami udang, kandungan H2S, NH3, tingkat
keasaman, pasang surut, salinitas, kekeruhan air.
 Kondisi fisik air yang meliputi, dasar perairan, dan kandungan partikel yang melayang-
layang di air.
 Pencemaran perairan dari lingkungan sekitarnya dan merugikan bagi kegiatan budidaya.
Berdasarkan pemikiran bahwa proses sirkulasi air adalah untuk memperbaiki atau
mempertahankan kualitas air, maka ke tiga faktor di atas harus benar-benar diperhatikan agar
jangan sampai dengan melakukan sirkulasi air, kualitas perairan di dalam tambak mengalami
degradasi atau bertambahkeburukan kualitas air.
b. Pergantian air.
Pergantian air bertujuan untuk memperbaiki kualitas air yang buruk di dalam tambak
disebabkan oleh plankton yang mati, sisa pakan dan kandungan bahan organik yang
berpengaruh pada kesehatan udang. Menurut penyuluh perikanan (2012), ketika umur udang
telah mencapai 20 – 40 hari kondisi air tambak telahjenuh akibat banyaknya plankton mati,
sisa pakan dan bahan organik, sehingga menyebabkan kualitas air tambak mulai menurun
yang mengakibatkan udang jarang melakukan pergantian kulit (moulting) akibatnya
pertumbuhan udang terhambat.Jumlah air yang diganti berkisar antara 5 – 20% tergantung
tingkat kejenuhan airtambak. Waktu pergantian dilakukan pada pagi atau sore hari, jika pada
saat tersebutada jadwal pakan maka pergantian air dilakukan satu jam setelah pemberian
pakan,kegiatan ini untuk menghindari tingkat stress yang tinggi.
Ditambahkan oleh Wibisono (2011), pergantian air dilakukan bila telah terjadi penurunan
parameter kualitas air tambak.Secara visual dapat dilihat dari perubahan warna air menjadi
jernih dan terdapat suspensi dalam air akibat kematian plankton. Tanda-tanda penurunan
kualitas air terlihat dari :
 Nafsu makan menurun (sisa pakan di anco > 20% dari normal).
 Populasi total bakteri > 106 CFU/ ml.
 Populasi Total Vibrio > 103 CFU/ ml.
 Ekor udang banyak yang berwarna merah (red discoloration).

13
 Banyak partikel plankton mati di kolom air.
c. Penyiponan
Penyiponan dilakukan bertujuan untuk mengurangi endapan lumpur di dasar tambak yang
berbahaya terhadap kesehatan udang.Menurut penyuluh perikanan (2012), setelah
pemeliharaan mencapai umur 45 hari, biasanya ditemukanendapan lumpur hitam dan berbau.
Lumpur hitam ini berasal dari sisa pakan yang tidak termakan oleh udang, akibatdari
plankton mati dan hasil buangan udang. Karena kuantitas yang banyak sehinggakemampuan
bakteri pengurai terbatas, yang mengakibatkan lumpur hitam berbaumenyengat, keadaan ini
sangat membahayakan udang, karena jika teraduk diperairanakan menyebabkan racun
terhadap udang, sehingga keadaan ini harus dihindari dengancara membuang endapan lumpur
tersebut dengan melakukan sipon, alat sipon yangdapat digunakan antara lain dengan pompa
atau jika kondisi tambak lebih tinggi dibanding dengan saluran pembuangan makabisa
dilakukan dengan teknik gravitasi.
d. Kelarutan Oksigen
Menurut Erlangga (2012), penurunan kandungan osigen di dalam tambak akan berakibat
fatal terhadap udang vaname yang sedang dipelihara. Penurunan kadar oksigen terlarut
sampai kurang 4 (empat) ppm akan mengakibatkan udang berhenti makan sehingga laju
pertumbuhan udang vaname akan terhambat.
Mengatasi hal tersebut di atas, maka dapat menambahkan operasional kincir sehingga
kadar oksigen terlarut dapat dinaikan secara bertahap. Penambahan kincir dapat dilakukan
pada kondisi ketika kadar oksigen dalam air tambak menurun biasanya pada sore dan malam
hari. Pemberian dolomite dapat pula dilakukan karena dolomite dapat dijadikan pupuk untuk
penumbuhan fitoplankton. Adanya penambahan biomass fitoplankton di dalam tambak,
diharapkan fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton tersebut bertambah. Oksigen yang
dihasilkan hari proses fotosintesis tersebut akan meningkatkan kadar oksigen terlarut di
dalamn perairan.
e. Probiotik
Menurut penyuluh perikanan (2012), probiotik adalah mikroorganisme yang
dikembangkan dan diaplikasikan melaluipakan maupun lingkungan yang bertujuan
memperkuat daya tahan tubuh udang danatau memperbaiki kualitas air tambak. Probiotik ini
bersifat non patogenik dandikembangkan secara masal pada media kultur sesuai dengan
tujuannya. Jenis mikrobaini berkembang dan menghasilkan endo dan ekto-enzyme yang
berfungsi merombaksenyawa beracun dan bahan organik. Penggunaan probiotik bermutu
baik, yang diikutidengan cara budidaya yang benar, akan dapat membantu penguraian

14
timbunan bahanorganik didasar tambak, menstabilkan kualitas air tambak, menjaga kesehatan
udangdan diharapkan hasil panen yang sesuai.Menjaga kesehatan udang perlu dilakukan
tindakan sebagai berikut :
 Mengurangi endapan organik secara cepat pada masa pemeliharaan.
 Mengurangi gas beracun H2S, NH3, NO2 sampai batas ambang yang diizinkan.
 Mengatur pertumbuhan plankton yang diinginkan udang dengan menyediakan unsurhara
yang sesuai.
Amri dan Kanna (2008) menyatakan bahwa jenis probiotik yang sangat dibutuhkan dalam
budidaya udang vaname yaitu:
 Jenis bakteri yang dapat merangsang dan mestabilkan plankton serta menekan populasi
bakteri yang merugikan, merombak bahan organik menjadi bahan non organik, misal
bakteri Bacillus substilis, Bacilluspolymyxa, Bacillusmegaterium, Bacilluslaterosporus.
 Jenis bakteri yang dapat mengendalikan plankton, hidup di daerah lumpur, misal
Bacilluslicheniformis, bakteri fotosintetik.
 Jenis bakteri yang dapat menyerap racun, misalnya bakteri fotosintetik, nitrosomonas,
nitrobacter.
 Jenis bakteri yang dapat meningkatkan kekebalan pada udang, misalnya Bacillussubstilis.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Amri dan Kanna (2008), aplikasi probiotik dapat dilakukan
melalui oral (dicampur pakan) dan lingkungan (air dan dasar tambak). Aplikasi melalui
lingkungan bertujuan untuk memperbaiki kondisi lingkungan (mengurai bahan organik,
menyerap/menetralkan senyawa beracun seperti amoniak, nitrit dan asam sulfida),
mestabilkan plankton, menekan bakteri yang merugikan.

2.6. Monitoring Pertumbuhan


Menurut Amri dan Kanna (2008), sampling bertujuan untuk mengetahui berat rata-rata
(Average Body Weight), pertambahan berat harian (Average Daily Gain), tingkat kelang
sungan hidup (Survival rate) dan total biomass udang di tambak. Selain itu sampling juga
bertujuan untuk mengetahui nafsu makan dan kondisi kesehatan udang.Sampling dilakukan
mengunakan jala tebar. Luas jala setiap kali sampling adalah 0,2% dari total luas tambak dan
dilakukan pada tempat yang berbeda, sehingga hasilnya mewakili keadaan yang sebenarnya.
Hal ini berbeda dengan Erlangga (2012), penjalaan dilakukan beberapa kali sehingga
penjalaan mencangkut 2 – 4% luas tambak.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Amri dan Kanna (2008), kegiatan sampling ini pertama
dilakukan pada saat umur udang 30 hari pemeliharaan di tambak dan sampling berikutnya

15
dilakukan 7 – 10 hari sekali dari sampling sebelumnya. Udang yang tertangkap segera
dihitung dan ditimbang untuk mengetahui kepadatan dan berat rata-rata. Secara teknis, ABW,
ADG, SR, populasi dan biomass udang dapat diketahui dengan rumus:

a. Menentukan ABW (berat rata-rata udang dalam gram)

𝐛𝐞𝐫𝐚𝐭 𝐭𝐨𝐭𝐚𝐥 𝐮𝐝𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐚𝐦𝐩𝐥𝐢𝐧𝐠 (𝐠𝐫𝐚𝐦)


𝐀𝐁𝐖 (𝐠𝐫𝐚𝐦/𝐞𝐤𝐨𝐫) =
𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐭𝐨𝐭𝐚𝐥 𝐮𝐝𝐚𝐧𝐠 𝐡𝐚𝐬𝐢𝐥 𝐬𝐚𝐦𝐩𝐥𝐢𝐧𝐠 (𝐞𝐤𝐨𝐫)

b. Menentukan ADG (pertambahan berat harian)

𝐀𝐁𝐖 𝐈𝐈 – 𝐀𝐁𝐖 𝐈
𝐀𝐃𝐆 =
𝐬𝐞𝐥𝐢𝐬𝐢𝐡 𝐰𝐚𝐤𝐭𝐮 𝐬𝐚𝐦𝐩𝐥𝐢𝐧𝐠 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦𝐧𝐲𝐚

c. Menentukan populasi atau jumlah udang


Populasi (ekor) = jumlah udang/m2 x luas tambak
d. Menentukan biomass (berat udang total dalam kilogram)
𝐏𝐨𝐩𝐮𝐥𝐚𝐬𝐢 𝐮𝐚𝐝𝐚𝐧𝐠 𝐱 𝐀𝐁𝐖
𝐁𝐢𝐨𝐦𝐚𝐬𝐬 (𝒌𝒈) =
𝟏𝟎𝟎𝟎
e. Menentukan SR (presentase tingkat kehidupan udang)

𝐏𝐨𝐩𝐮𝐥𝐚𝐬𝐢 𝐬𝐚𝐚𝐭 𝐬𝐚𝐦𝐩𝐥𝐢𝐧𝐠


𝐒𝐑 = 𝒙 𝟏𝟎𝟎%
𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐮𝐝𝐚𝐧𝐠 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐭𝐞𝐛𝐚𝐫

f. Menentukan FCR (perbandinagan jumlah pakan dan berat udang)


𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐭𝐨𝐭𝐚𝐥
𝑭𝑪𝑹 =
𝐁𝐢𝐨𝐦𝐚𝐬𝐬

Menurut Erlangga (2012), pada proses penyamplingan tersebut juga dilakaukan


pemantauan kesehatan udang. Berikut adalah prosedur penyamplingan yang dapat dilakukan
diantaranya:
1. Udang ditangkap menggunakan jala dibeberapa titik pada petakan pemeliharaan udang
vaname untuk menghasilkan data yang akurat.
2. Udang yang tertangkap kemudian dihitung berat dan jumlahnya untuk mengetahui
biomas, berat rata-rata udang/ekor, populasi udang dan pertumbuhan udang/hari.
3. Serta pengontrolan kesahatan udang vaname dilakukan bersamaan saat sampling.

16
2.7. Pengendalian Hama dan Penyakit
2.7.1. Pengendalian Hama
Pengendalian hama bertujuan untuk mengurangi kerugian yang diakibatkan gangguan
hama. Menurut Amri dan Kanna (2008), hama pada budidaya udang adalah semua organisme
dalam media budidaya (kecuali udang) yang dapat memangsa, menyaingi, dan menggangu
udang selama proses budidaya berlangsung.
Menurut Herlina (2004), secara umum hama udang dibedakan dalam3 (tiga) golongan, yaitu:
1. Hama Predator
Golongan pemangsa yang dapat memakan langsung udang dalam jumlah yang banyak
sehingga merugikan bahkan menimbulkan gagal panen.
2. HamaKompetitor
Golongan penyaing hama ini hidupnya menyaingi hidup udang vaname baik dalam hal
makanan, tempat hidup ataupun O 2 (Oksigen).
3. HamaPerusak
Golongan penganggu. Hama ini tidak memangsa dan tidak menyaingi udang tetapi
merusak lingkungan hidup bagi udang yang dipelihara, misalnya merusak dasar tambak,
pematang, saluran dan pintu air sehingga mengakibatkan kebocoran-kebocoran pada tambak.
Pencegahan dan penanggulangan hama dapat dilakukan dengan cara tertentu, tergantung
jenis hama dan sasarannya. Pemberantasan hama dilakukan sebelum penebaran benih udang
di tambak, sehingga saat benih ditebar sudah tidak terdapat hama. Berdasarkan keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.02/MEN/2007 tentang CaraBudidaya Ikan
yang Baik (CBIB), penggunaan desinfektan, obat ikan dan bahan kimia lainnya harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Memiliki nomer pendaftaran
2. Digunakan sesuai ketentuan dan petunjuk pada label/etiket/brosur
3. Tidak mengalami perubahan fisik
4. Kemasan tidak rusak
5. Sesuai peruntukan
6. Tidak kadaluarsa
7. Obat ikan golongan bebas terbatas sesuai petunjuk
8. Obat ikan golongan keras harus dengan resep dokter hewan (DRH).
2.7.2. Pengendalian Penyakit
Pengendalian penyakit bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit pada udang vaname
yang digolongkan pada penyakit pathogenik dan non pathogenik serta kondisi lingkungan

17
yang buruk. Menurut Erlangga (2012), adapun ragam penyakit yang menyerang pada udang
vaname antara lain.
1. Penyakit yang bersifat patogenik
Beberapa penyakit yang ditimbulkan oleh virus dan bakteri umumnya memiliki sifat
pathogen dan tingkat kematian yang tinggi. Tingkat kematian berkisar antara 80-100%,
tergantung dari tingkat keparahan infeksi yang disebabkan oleh virus atau bakteri tersebut.
a. White Spot Syndrome Virus (WSSV)
Udang yang terkena penyakit ini biasanya menunjukkan tanda adanya Bercak putih pada
bagian karapas.Biasanya tanda tersebut akan terlihat jelas ketika udang telah mencapai bobot
3 – 5 gram, sedangkan di bawah itu akan sulit untuk menentukan apakah udang terserang
penyakit atau tidak biasanya untuk udang yang bobotnya kurang dari 3 gram dilakukan tes
dengan menggunakan alat shrimp test kit.
Berikut adalah tanda-tanda umum udang yang terserang penyakit WSSV atau bercak putih
diantaranya:
 Udang terlihat lemah.
 Sekitar 10% populasi udang banyak berkumpul didaerah pematang tambak
 Secara histologis udang akan memperlihatkan tanda bercak putih seperti panuh pada
bagian karapas
 Memiliki tingkat mortalitas mencaoai 100% dalam jangka 2 – 3 hari sejak gejala pertama
ditemukan
 Nafsu makan udang menurun
Beberapa kasus penyakit bercak putih yang terjadi pada udang vaname umumnya akan
menyerang beberapa organ tubuh yang sangat vital. Berikut adalah beberapa cara yang
dilakukan untuk mencegah timbulnya penyakit WSSV di dalam tambak yaitu:
 Membasmi hewan-hewan liar yang diindikasikan dapat membawa bibit penyakit WSSV.
Beberapa hewan yang diindikasikan sebagai carrer virus WSSV diantaranya, yaitu udang
liar, rebon, tritip, tripang, cacing, dan kepiting
 Melakukan desinfeksi terhadap air yang berada dalam tambak pembesaran, tambak
treatment dan tambak penampungan
 Mensterilkan peralatan tambak dengan menggunakan larutan desinfektan. Peralatan ini
harus senantiasa disterilkan agar tidak ada bibit penyakit yang menempel pada peralatan
tambak
 Melakukan pemasangan BSD (Bird Scaring Devices) dan CPD (Crap Protecting
Devices).

18
 Melakukan pengontrolan kualitas air secara ketat.
b. Taura Syndrom Virus (TSV)
TSV biasanya timbul pada umur pemeliharaan 14 – 40 hari dengan tingkat kematian
mencapai 85 – 95%. Infeksi penyakit TSV dapat timbul pada udang vaname pada umur 30
hari. Biasanya infeksi tersebut bawaan dari indukan yang mengidap penyakit tersebut. Udang
yang berumur lebih dari 60 hari biasanya infeksi ditimbulkan dari kondisi lingkungan yang
memburuk. Infeksi penyskit TSV memiliki dua fase, yaitu fase akut dan fase kronis. Pada
fase kronis biasanya udang vaname dapat bertahan hidup dan tumbuh dengan baik,sedangkan
pada fase akut biasanya akan terjadi kematian secara masal pada udang vaname.
Proses penanganan terhadap timbunya penyakit TSV harus dimulai sejak awal proses
budidaya dilaksanakan. Dimulai dengan penerapan biosecurity yang ketat, seleksi indukan,
dan bunur, pemusnahan organisme dan mikroorganisme pembawa penyakit, pemilihan pakan,
serta pelaku budidaya yang disiplin. Semua proses tersebut harus dilakukan secara
terintegrasi dan berkesinambungan agar wabah penyakit tersebut tidak meluas kemana-mana.
c. Infectious Hematoietic And Hypodermal Necrotic Virus (IHHNV)
Tambak yang udangnya terjangkit ini biasanya memperlihatkan tanda-tanda umum seperti
banyaknya udang yang berenang menepi dipetakan dan adanya variasi pertumbuhan yang
cukup besar. Udang yang terjangkit penyakit ini terlihat lemah dan kehilangan nafsu makan
seakan mengalami kematian setelah dua hari terinfeksi virus dengan tingkat kematian
mencapai 100%.
Pencegahan terhadap timbulnya penyakit IHNNV ini dapat di lakukan dengan penerapan
biosecurity yang ketat sehingga bibit penyakit tidak masuk kedalam sistem tambak selain itu
pengunaan benur yang bebas penyakit dan pengontrolan kualitas air yang ketat akan
memperkecil kemungkinan timbulnya penyakit pada udang yang di pelihara.
d. Infections Myonecrosis Necrotic Virus (IMNV)
Menurut Amri dan Kanna (2008), serangan IMNV bersifat akut dengan mortalitas yang
ditimbulkan sekitar 40 – 60%. Penyakit ini umumnya disebabkan oleh stress fisik pada saat
panen dankarena pengaruh kualitas lingkungan yang memburuk. Langkah-langkah
pencegahan yakni sebagai berikut:
 Melakukan screening benur dengan perendaman dalam formalin dan mendiagnosa
penyakit viral dengan metode FCR.
 Mendesinfeksi media budidaya dengan 30 ppm kaporit.
 Tidak memberikan pakan segar karena dikhawatirkan pakan tersebut membawa virus

19
 Mengaplikasikan kapur pertanian (CaCO3) sebanyak 300 kg/ha apabila terjadi fluktuasi
pH harian yang tajam.
 Mempertahankan DO pada kondisi yang optimal
 Melakukan manajemen pakan yang baik dan benar
 Mendeketsi adanya gejala serangan WSSV baik secara fisik (manual) maupun
skalalaboratorium secara teratur.
e. Penyakit Vibriosis
Penyakit ini timbul karena adanya infeksi yang disebabkan oleh bakteri vibrio. Umumnya
udang yang terinfeksi bakteri ini akan memendarkan cahaya halogen. Penyakit ini umumnya
menyerang larva udang, jarang sekali menyerang udang dewasa. Bakteri ini menginfeksi
larva secara sekunder yaitu ketika larva sedang dalam keadaan lemas atau stress.
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara mengontrol kualitas air dan melakukan sirkulasi
air secara rutin. Pemberian pakan pada udang dengan cara pemaketan sesuai dengan populasi
dan potensi pertumbuhan akan meminimalkan akumulasi bahan organik di dalam tambak,
sehingga pertumbuhan bakteri dapat ditekan (Erlangga, 2012).
2. Penyakit yang bersifat nonpatogenik
Dijelaskan lebih lanjut oleh Erlangga (2012), penyakit yang bersifat nonpatogenik antara
lain:
a. Penyakit kropos pada udang
Penyakit ini dikarenakan oleh pemberian pakan yang kurang baik secara kualitas dan
kuantitas. Penyakit ini dapat pula diakibatkan oleh memburuknya kualitas air tambak dan
karena udang telah lama tidak mengalami moulting. Penyakit kropos dapat diatasi dengan
perbaikan kualitas air dan dasar tambak serta memperbaiki nafsu makan udang pemberian
feed additive.
b. Penyakit udang kram
Umumnya penyakit udang kram timbul karena adanya perbedaan kadar oksigen terlarut
yang berada pada dasar tambak, tengah tambak dan permukaan tambak. Perbedaan kadar
oksigen tersebut yang menyebabkan timbulnya penyakit kram pada udang. Biasanya udang
yang kram terjadi pada koloni udang yang berada di dalam anco. Ketika anco diangkat
memperlihatkan gejala kram dan tidak biasa kembali pada posisi semula sehingga udang
lemas dan mati.
Hal tersebut dapat diatasi dengan meningkatkan kandungan oksigen terlarut pada air
tambak dengan cara penambahan operasional kincir.

20
c. Usus dan hepatopankreas abnormal
Udang akan memperlihatkan usus kosong atau isi usus putus-putus. Hepatopankreas pun
terlihat kotor. Hal ini disebebkan oleh beberapa faktor antara lain:
 Kandungan oksigen terlarut rendah
 Jenis pakan yang diberikan tidak sesuai atau rusak
 Dasar tambak yang terlalu kotor.
Mengatasi penyakit ini dapat dilakukan perbaikan program pemberian pakan, perbaikan
kualitas air dan pemberian vitamin C dengan dosis 1 – 3 g /kg pakan yang diberikan.
d. Udang berenang abnormal
Penyakit udang berenang abnormal ini ditandai dengan insang yang berwarna merah
muda. Warna merah muda disebabkan kandungan oksigen terlarut dalam tambak kurang. Hal
ini ditandai dengan air tambak banyak mengeluarkan buih. Penyakit tersebut dapat diatasi
dengan memaksialkan penggunaan kincir, perbaikan kualitas air dengan cara melakukan
sirkulasi air secara rutin.

2.8. Panen dan Pasca Panen


Panen merupakan kegiatan akhir dalam suatu proses budidaya. Keberhasilan atau
keuntungan yang akan diraih oleh setiap petambak umumnya akan ditentukan oleh kegiatan
panen. Biasanya panen udang dilakukan sesuai dengan permintaan pasar.
2.8.1. Panen
Menurut Haliman dan Adijaya (2005), udang vaname dapat dipanen setelah berumur
sekitar 120 hari dengan berat tubuh berkisar 16 – 20g/ekor. Pemanenan udang vaname
dilakukan pada malam hari.Selain untuk menghindari terik matahari, pemanenan pada malam
hari juga bertujuan untuk mengurangi resiko udang untuk ganti kulit selama panen akibat
stress.
Ditambahkan oleh Erlangga (2012), beberapa strategi yang dilakukan menjelang musim
panen:
 Dilakukan pengecekan terhadap udang yang akan dipanen dengan melihat dan
melakukan perhitungan beberapa persen udang yang mengalami proses pergantian kulit
atau moulting. Perlakuan ini dilakuan 2 – 3 hari menjelang panen.
 Jika udang mengalami pergantian kulit atau moulting labih dari 29% pemanenan harus
dilakukan tiga hari setelah udang melakukan moulting.
 Pergantian air dalam jumlah yang banyak harus dilakukan sebelum panen.

21
 Jika udang yang mengalami moulting lebih dari 5%, pada malam hari kapur pertanian
dapat diberikan dengan dosis 2 – 3 ppm untuk membantu mengeraskan kulit udang
vaname tersebut.
 Untuk mencegah kerusakan pada udang, pamanenan dapat dilakukan pada sore hari atau
malam hari tergantung pada air pasang. Pemanenan pada siang hari sebaiknya dihindari
karena udang akan cepat rusak karena kenaikan suhu.
2.8.2. Pasca Panen
Menurut Haliman dan Adijaya (2005) pasca panen bertujuan untuk menjamin mutu udang
tetap tinggi dengan pertimbangan beberapa faktor seperti udang tidak membahayakan
kesehatan konsumen karena udang termasuk produk makanan yang mudah sekali rusak. Oleh
karena itu sejak dari panen hingga pasca panen harus dalam kondisi dingin. Tindakan yang
perlu dilakukan pada pasca panen udang vaname sebagai berikut :
 Udang dicuci di tempat penampungan udang untuk menghilangkan kotoran atau lumpur
yang menempel pada udang.
 Udang disortir dan kelompokkan berdasarkan ukuran dan kualitasnya.
 Udang dilakukan penimbangan untuk mengetahui jumlah udang tersebut.
 Udang yang telah ditimbang secepat mungkin dimasukkan ke dalam wadah. Penataan
udang dan es batu ditata selang-seling sehingga kualitas udang tetap terjaga.
Ditambahkan oleh pendapat Erlangga (2012), beberapa langkah yang dilakukan
setelah proses panen yaitu:
 Pada proses pasca panen udang yang telah dipanen akan disortir berdasarkan ukuran.
Sebelum penyortiran dilakukan, udang terlebih dahulu di sampling dan ditimbang.
 Pengepakan udang dilakukan dengan penyusunan udang pada wadah berupa Styrofoam
atau fiber yang kedap udara, udang disusun berselang-seling dengan pemberian es.
Pemberian es dapat dilakukan dengan ketebalan 10 cm.
 Setelah pengepakan selesai udang langsung dapat dipasarkan.

22
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari hasil kunjungan tambak budidaya udang vanamei Bandar Khalifah Aceh Tamiang,
instalasi tambak udang vaname dapat di simpulkan:
a. Kegiatan proses budidaya udang vanamei kurang begitu baik, karena ketersediaan
sarana dan prasarana media dan kontruksi tambak kurang memadai.
b. Persiapan lahan di Bandar Khalifah meliputi pengeringan, pembersihan, pemasangan
perlengkapan, pengisihan air, pengapuran, pemupukan, pemberian probiotik.
3.2 Saran
Sebaiknya dilakukan perbaikan sarana dan prasarana secara rutin setiap tahunnya supaya
tidak mengalami kerusakan pada tambak. Dalam pembuatan kontruksi tambak harus lebih
diperhatikan benar dalam pembuatannya, agar tidak terjadi rembesan yang akan
mengakibatkan seringnya pergantian air yang dapat memicu perubahan kualitas air secara
fluktuasi.
Sebaiknya monitoring kualitas air sebaiknya dilakukan 2 x seminggu sehingga manajemen
pemeliharaan yang dilakukan lebih cepat dan tepat.
Penerapan biosecurity dilakukan lebih disiplin untuk mengurangi masuknya hama,
penyakit dan pathogen yang memicu kegagalan usaha budidaya.

23

Anda mungkin juga menyukai