Anda di halaman 1dari 33

1

BAB 1. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang hampir 75% dari seluruh wilayah

Indonesia merupakan perairan pesisir dan lautan. Terbentang digaris khatulistiwa,

perairan laut nusantara menopang aneka kehidupan hayati (Dahuri, 2003 dalam

Andriyanto dkk, 2013). Sektor perikanan Indonesia memiliki potensi sumberdaya

yang sangat potensial untuk dikembangkan, seiring dengan semakin berkurangnya

sumberdaya pada sektor pertanian yang banyak digunakan untuk berbagai kegiatan

ekonomi. Hal ini memberi gambaran betapa besarnya potensi perikanan di Indonesia,

salah satu potensi tersebut adalah budidaya udang kaki putih (L.vannamei) (Sa’adah,

2008).

Udang kaki putih (P.vannamei) merupakan salah satu komoditas perikanan laut

Indonesia yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Budidaya udang putih umumnya

dilakukan dengan tingkat kepadatan yang tinggi. (Smith and Briggs, 2003 dalam

Agustina dkk, 2015). Produksi budidaya udang semakin meningkat secara signifikan

sejak usaha budidaya udang diperkenalkan pertama kali lebih dari lima abad yang

lalu. Produksi budidaya udang yang ada didunia mencapai 120.000 ton atau enam

persen dari total udang yang dipasarkan di dunia. Tahun 1988, ada lebih dari 40

negara yang memproduksi udang budidaya dan hasilnya sangat meningkat,


2

diperkirakan mencapai 450.000 ton atau 22 persen dari total udang yang dipasarkan

di dunia (Brown, 1991 dalam Zakaria, 2010).

Udang kaki putih (P.vannamei) memerlukan lingkungan yang baik dan dapat

memenuhi persyaratan fisik, kimia, dan biologi komoditas yang dibudidaya (Chopin,

2001 dalam Sahrijanna dan Sahabudin, 2014). Parameter fisika kimia perairan

merupakan parameter yang dapat menetukan tingkat produktifitas biota laut disuatu

perairan (Jones, 1964 dalam Gusmaweti dan Deswanti, 2015). Karakteristik dari

perairan baik dari segi fisik maupun kimia sangat dipengaruhi oleh banyak factor baik

yang berasal dari faktor eksternal maupun dari faktor internal (Purba dan Khan,

2010). Oleh karena itu, organisme yang hidup dalam perairan sangat bergantung atau

berhubungan pada kualitas air baik secara fisik, kimia maupun biologi (Gusmaweti

dan Deswanti, 2015).

1.2 Tujuan dan Kegunaan

Praktikum lapnagn mata kuliah Manajemen Budidaya Udang mengenai budidaya

udang kaki putih (Penaeus vannamei) sistem supra intensif bertujuan untuk

memberikan dasar pemahaman dan keterampilan kepada mahasiswa tentang

manajemen pembudidayaan udang dengan sistem supra intensif. Kegunaan dari

praktikum ini yaitu agar mahasiswa memahami cara manajemniasi dalam proses

budidaya udang.
3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Udang vanname (Penaeus vannamei)

2.1.1 Kalsifikasi dan Morfologi Udang vanname (Penaeus vanname)

Klasifikasi udang kaki putih (P.vannamei) menurut Panjaitan (2012) sebagai

berikut: Kingdom : Animalia, Phyllum : Arthropoda, Kelas : Crustacea, Ordo :

Decapoda, Familia : Penaeidae, Genus : Litopenaeus, Spesies : Litopenaeus

vannamei

Gambar 2-1. Udang vanname (Penaues vannamei)


(Sumber: Akbaidar., 2013)

Udang vanname (Penaeus vannamei) juga sama seperti udang-udang lainnya, se

cara garis besar morfologi udang vanname bagian tubuhnya meliputi dua bagian

utama yaitu kepala (cepalothorax) dan perut (abdomen). Kepala udang vanname

ditutupi oleh lapisan kitin yang fungsinya sebagai pelindung, meliputi antenulae,

antenna, mandibula, dan dua pasang maxilae. Kepala udang vanname juga dilengkapi
4

dengan tiga pasang maxlipad dan lima pasang kaki jalan (periopod) periopod terdiri

dari 2 pasang maxillae dan 3 pasang maxilliped (Elovaara, 2001 dalam Panjaitan,

2012). Perut udang vannamei dilengkapi 6 ruas dan juga terdapat 5 pasang kaki

renang (pelepod) dan sepasang uropod yang membentuk kipas secara bersamaan

(Elovaara, 2001 dalam Wulandari, 2020).

2.1.2 Siklus Hidup Udang Kaki Putih (Penaeus vannamei)

Siklus hidup udang kaki putih (Litopenaeus vanname) sangat dipengaruhi

oleh temperatur, larva berkembang menjadi post larva pada temperatur 27-290C,

suatus proses sekitar sepuluh hari pada kondisi optimal. Pada temperatur yang tinggi,

perkembangan stadia larva akan berlangsung cepat dan post larva dapat dicapai dalam

waktu tujuh hari sejak telur menetas. Ketika larva mengalami molting dari stadia ke

stadia, syarat pemberian pakan juga tertentu berubah sesuai dengan morfologinya.

Ketika nauplius baru saja menetas, larva masih mempunyai kandungan kuning telur

(yolk sac) sebgai sumber makanan dan untuk memenuhi nutrisinya. Setelah

mengalami pergantian kulit (molting), cadangan kuning telur terserap habis dan

nauplius berubah bentuk menjadi stadia zoea dan mulai membutuhkan makanan

organisme kecil yaitu fitoplankton. Setelah 3 kali molting, zoea berubah bentuk

menjadi Mysis. Frekuensi molting pada stadia larva dapat terjadi antara 30-40 jam

pada kondisi suhu 280c. stadia Mysis yang bersifat planktonic berubah menjadi post

larva (PL) setelah mengalami 3 kali molting. Pada fase post larva Nampak seperti

bentuk tubuh udang dewasa. Walaupun pada stadia larva bersifat palnktonik (berenag

bebas), post larva adalah benthik (berenang di dasar). Ketika perubahan ini
5

berlangsung, larvaberpindah tempat dari samudra terbuka ke arah pantai dan ke

dalam muara, dimana mereka tinggal sampai mencapai stadia dewasa (Panjaitan,

2012).

2.1.3 Habitat dan Penyebaran Udang Kaki Putih (Penaeus vannamei)

Habitat asli udang kaki putih berada pada perairan lepas pantai sampai

dengan kedalaman sekitar 70 meter pada suhu 26-28oC d an salinitas sekitar 35 ppt

untuk bertelur, kawin serta matang gonad. Udang kaki putih yang masih muda secara

alami bermigrasi kearah pantai dan udang dewasa hidup dilaut terbuka (Wyban dan

Sweeney, 1991 dalam Panjaitan, 2012) .

Udang vannamei hidup di habitat laut tropis. Suhu berkisar antara 23-32° C,

kelarutan oksigen lebih dari 3 ppm, pH 8 dan salinitas berkisar antara 10-30 ppt

merupakan kondisi lingkungan yang dibutuhkan udang kaki putih (P.vannamei).

Populasi udang vannamei dialam dapat ditemukan di Pantai Pasifik Barat, sepanjang

Peru bagian Utara, melalui Amerika Tengah dan Selatan sampai Meksiko bagian

Utara, yang mempunyai suhu air normal lebih dari 20° C sepanjang tahun. Larva

udang bermigrasi yang akan menghabiskan masa larva sampai post larva di pantai,

laguna atau daerah mangrove selanjutnya udang dewasa hidup dan memijah di laut

lepas (Brown, 1991 dalam Zakaria, 2010).

2.2 Deskripsi Ikan Bandeng

2.2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Bandeng (Chanos chanos)

Secara taksonomi klasifikasi ikan bandeng menurut Nelsen 1984 adalah

sebagai berikut : Phylum : Chordate, Subphylum : Vertebrate, Superklas :


6

Gnathostomata, Klas : Osteichthyes, Subklas : Teleostei, Ordo : Gonorynchiformies,

Subordo : Chanoidei, Famili : Chanidae, Genus : Chanos, Species : Chanos chanos

Gambar 2. Ikan Bandeng (Faisol 2011)

Morfologi Bandeng (Chanos chanos),


Keterangan : Mata (a), Tutup insang (b),
Strip pectoralis (c), Strip abdominalls (d),
Strip analis (e), Strip caudal (f), strip
dorsalis (g), Linea lateralls (h), Mulut
(1).
Sumber : Moller, 1986

Morfologi Ikan Bandeng (Chanos chanos), Ikan bandeng bentuk tubuhnya ramping,

mulut terminal, tipe sisik cycloid, Jari – jari, semuanya lunak, jumlah sirip punggung

antara 13–17, sirip anal 9 –11, sirip perut 11 – 12, sirip ekornya panjang dan

bercagak, jumlah sisik pada gurat sisi ada 75 – 80 keping, panjang maksimum 1,7 in

biasanya 1,0 in (Moyle and Joseph, 2000).


7

2.2.2 Siklus Hidup Ikan Bandeng (Chanos chanos)

Siklus hidup bandeng menurut Girl et al, (1986) di mulai dari telur yang

menetas menjadi larva (pro - larva dan post - larva), benih bandeng atau juvenil, dan

bandeng dewasa.

Menurut Ahmad dan Ratnawati (2002) mulai dari telur bandeng biasanya

terbawa arus ke arah pantai yang dihasilkan dan pemijahan dari induk bandeng di

perairan pantai. Larva bandeng merupakan bagian dari komunitas plankton di laut

lepas yang kemudian hidup dan berkembang. Habitat larva bandeng berada di

perairan pantai berpasir, beralrjermh dan banyak mengandung plankton. Berdasarkan

siklus hidupnya benih bandeng yang tertangkap didalam perairan pantai telah

mencapai umur tiga — empat minggu, berdasarkan dari pengamatan dari benih yang

di hasilkan dari pembenihan dan di bandingkan dengan benih tangkapan di slam di

perkirakan benih bandeng yang di tangkap di daerah pantai pada musimnya telah

mencapai usia 21 — 25 hari. Larva yang berumur lebih 20 hari di sebut benih.

Habitat benih di perairan pantai berkarang atau pasir yang kadang — kadang

di tumbuhi vegetasi campuran atau mangrove yang subur, hal ini dikemukan oleh

Priyo dan Giri, (1986). Benih bandeng hidup diperairan berlumpur yang sedikit

mengandung lumut, sedangkan induk bandeng biasanya berumur lebih dari empat

tahun dan panjang total 70 — 150 cm hidup diperairan pantai karang didaerah pantai

sampai perairan laut dalam (Giri et al, 1986).

2.2.3 Habitat dan Penyebaran Ikan Bandeng (Chanos chanos)


8

Ikan Bandeng di alam bebas hidup di laut, telurnya di temukan pada jarak 8 –

26 Ion dart pantai pada laut yang dalamnya lebib dari 40 in, telurnya terapung

melayang dekat pennttkaan air. Memijah diwaktu malam sekitar 20.00 – 22.00 dan

telurnya menetas sesudah 24 jam. Larva ikan bandeng dalam pertumbuhannya

mendekati pantai dan diketemukan dua kali setahun di dekat pantai – pantai yang

berpasir ditempat – tempat tertentu (http://www. Seafdec.com/milk fish.htm).

Ikan bandeng termasuk jenis ikan pelagis yang mencari makanan di daerah

pennuk-aan dan sering di jumpai di perairan dekat pantai atau daerah litoral. Secara

geografis ikan in] hidup di daerah tropis maupun sub tropis antara 300 – 400 LS dan

antara 400 BT – 1000 BB. Ikan ini suka hidup bergerombol dalam kelompok kecil

antara 10 – 20 ekor. Berenang di perniukaan perairan pantai terutama pada saat air

pasang (Ahmad dan Ratnawati, 2002).

Secara alami ikan berpijah di laut. Larva ikan bandeng wring di jumpai di

sepanjang pantai terutama pada bulan — bulan tertentu. Larva terutama di jumpai di

sepanjang pantai yang landai, berpasir, dan berair jernih serta kaya akan plankton

seperti di daerah pantai utara pulau Jawa, Bali, Lombok, dan pantai Timur Sumatera

Utara (Dana, 1990). Musim pemijahan bandeng di Indonesia terjadi dua kali dalam

satu tahun yaitu bulan Februari - Mei dengan puncak antara bulan Maret - April dan

bulan Juli - Desember dengan puncak antara bulan September - Oktober (Giri et al,

1986).
9

2.3 Sistem Budidaya Tambak Semi-intensif

BAB 3. METODE PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum Lapang Manajemen Budidaya Payau dan Laut dilaksanakan pada hari

Sabtu, tanggal 01 Mei 2021. Bertempat di 3 Desa yaitu Desa Lalombi, Desa

Surumana, Desa Lembasada, Kab. Donggala, Sulawesi Tengah.

3.2 Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan pada praktikum lapang mengenai

Manajemen Budidaya Udang kaki Putih (Penaeus vannamei) dengan Sistem Semi-

Intensif. dapat dilihat pada Tabel 3-1 dan 3-2

Tabel 3-1. Alat yang digunakan


No Nama Alat Kegunaan
1. Kamera Untuk mengambil dokumentasi
2. Alat tulis Untuk mencatat data

Tabel 3-2. Bahan yang digunakan


No Nama Alat Kegunaan
1. Udang vanname (Penaeus vannamei) Sebagai organisme
10

3.3 Prosedur Kerja

Adapun prosedur kerja yang dilakukan dalam praktikum Manajemen Budidaya

Udang Kaki Putih (Penaeus vannamei) dengam Sistem Semi-Intensif yaitu sebagai

berikut :

1. Siapkan seluruh alat dan bahan yang akan digunakan dalam praktek

2. Buatlah daftar pertanyaan (kueisioner) sesuai dengan tujuan praktek

3. Lakukan pengamatan terhadap obyek praktek dan wawancara kepada pelaku

usaha (pembudidaya ikan).

3.4 Analisis Data

Analisa data yang digunakan dalam praktiukm menggunakan cara analaisa

deskriptif, yaitu dengan cara menggambarakan serta menjelaskan hasil pengamatan

yang telah dilakukan dalam praktikum.


11

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Hasil yang di dapatkan pada praktikum lapang Mata Kuliah Manajemen

Budidaya Payau dan Laut, melalui wawancara dengan para petambak budidaya

Udang Kaki Putih (Penaeus vannamei) dengam Sistem Semi-Intensif dapat dilihat

pada tabel 4-1, 4-2, dan 4-3 yaitu sebagai berikut :

Tabel 4-1 di desa Lalombi


Narasumber 1. Bpk Buhari, umur 40 thn
2. Bpk Asis, umur 30 thn
3. Bpk Isal, umur 35 thn
Organisme yang 1. Udang Vanamei
dibudidayakan 2. Udang Vanamei/ udang kaki putih
3. Udang Vanamei
Luas petak 1. Keseluruhan 4 hektar, 1 petaknya 2 hektar
2. 1 hektar
3. 1 hektar
tambak
kedalaman 1. Untuk tanah rata 30 cm, tanah galian 1 meter
2. 1- 2 meter
3. 2 meter
12

tambak
substrat tanah 1. Berlumpur
2. Berlumpur/ berpasir
3. Berlumpur
Jumlah 1. Untuk tambak kurang lumut padat tebarnya
organisme dalam 50.000 ekor udang sedangkan tambak yang
tiap petak tambak banyak lumutnya 150.000 ekor udang
2. Untuk tambak perhektar padat tebarnya
50.000 ekor udang
3. Untuk tambak 1 hektar jumlah organismenya
100.000 ekor udang
Harga bibit 1. Pengambilan bibit daerah Barru dengan
harga 65 rupiah
2. 52 rupiah
3. 75 rupiah
Sumber air 1. Laut
2. Laut
3. Laut
Pintu air masuk 1. Pintu masuknya ada dan otletnya tdk ada
dan keluar 2. 1 pintu masuk dan keluar
3. Ada inlet dan outletnya
Hama dan 1. Hamanya kepiting, ular, burung, siput
sedangkan penyakit yang ditemukan yaitu
berbintik putih dan kepala kemerah-merahan
penyakit
2. Hamanya Keong, Telescopium, kepiting dan
ikan mujair sedangkan penyakit yang
ditemukan yaitu berbintik putih
3. Hamanya Keong, Telescopium, kepiting,
pada saat umur 20 hari didapatkan penyakit
berbintik putih.
Pakan 1. Jagung yang telah di pabrik dan pellet
2. Jagung yang telah di pabrik dan pakan
13

komersial
3. Jagung halus
Perlakuan 1. Sebelum penebaran dilakukan aklimatisasi
(sebelum selama setengah jam dan sebelum ditebarkan
pemeliharaan) di kolam pembesaran/pemeliharaan bibit
udang dipelihara selama 2 minggu dan
selanjutnya dilakukan pemupukan dan
pengeringan dan pengapuran selama 2
minggu.
2. Pemupukan urea dan poska (2/3 ton untuk 3
hektar selanjutnya pengeringan dan
pengapuran dolomit selama 1 minggu
3. Sebelum penebaran dilakukan aklimatisasi
selama satu jam dan sebelum ditebarkan di
kolam pembesaran/pemeliharaan bibit udang
dipelihara selama 2 minggu dan selanjutnya
dilakukan pemupukan dan pengeringan dan
pengapuran selama 1 minggu lebih.
Pemanenan 1. Pemanenan selama 2-3 bulan dengan panen
total/keseluruhan dan harga tergantung dari
besarnya udang yang dipanen
2. Pemanenan selama 2 bulan menggunakan rol
(pengepul)
3. Pemanenan selama 2 bulan dan di
distribusikan ke perusahaan

Tabel 4-2 di desa Surumana


Narasumber 4. Ibu Nurhaeni, umur 35 thn
5. Bpk Asmad Padahusin (S3), umur 30 thn
6. Bpk Burhan, umur 31 thn
Organisme yang 4. Udang Vanamei
dibudidayakan 5. Udang Vanamei
14

6. Udang Vanamei

Luas petak tambak 4. 2 hektar


5. 3 hektar
6. 1 hektar
kedalaman tambak 4. 1 meter
5. 2 meter ketinggian air 120
6. 2 meter
substrat tanah 4. Berlumpur
5. Tanah liat berpasir
6. Berlumpur berpasir
Jumlah organisme 4. Padat tebarnya 150.000 ekor udang
dalam tiap petak 5. Untuk tambak perhektar padat tebarnya
tambak 135.000-160.000 ekor udang
6. Untuk tambak 1 hektar jumlah
organismenya 100.000 ekor udang
Harga bibit 4. 65 rupiah
5. 55 rupiah
6. 55 rupiah
Sumber air 4. Air Laut
5. Air Laut
6. Air Laut
Pintu air masuk 4. Pintu masuknya ada dan otletnya ada
dan keluar 5. 1 pintu masuk dan keluar memakai pipa
6. Ada inlet dan outletnya
Hama dan 4. Hamanya kepiting, ular, burung, siput
sedangkan penyakit yang ditemukan yaitu
berbintik putih dan kepala kemerah-
penyakit
merahan
5. Hamanya Biawak, burung sedangkan
penyakit yang ditemukan yaitu berbintik
putih
6. Hamanya Keong, Telescopium, kepiting,
15

penyakit berbintik putih.


Pakan 4. Pellet
5. Pellet
6. Pellet
Perlakuan 4. Sebelum penebaran dilakukan aklimatisasi
(sebelum selama setengah jam dan sebelum
pemeliharaan) ditebarkan di kolam
pembesaran/pemeliharaan bibit udang
dipelihara selama 2 minggu dan selanjutnya
dilakukan pemupukan dan pengeringan dan
pengapuran selama 2 minggu.
5. Sebelum penebaran dilakukan aklimatisasi
selama setengah jam dan sebelum
ditebarkan di kolam
pembesaran/pemeliharaan bibit udang
dipelihara selama 2 minggu dan selanjutnya
dilakukan pemupukan dan pengeringan dan
pengapuran selama 2 minggu.
6. Sebelum penebaran dilakukan aklimatisasi
selama satu jam dan sebelum ditebarkan di
kolam pembesaran/pemeliharaan bibit
udang dipelihara selama 2 minggu dan
selanjutnya dilakukan pemupukan dan
pengeringan dan pengapuran selama 1
minggu.
Pemanenan 4. Pemanenan selama 120 hari dengan panen
total/keseluruhan dan harga tergantung dari
besarnya udang yang dipanen
5. Pemanenan selama 2 bulan menggunakan
rol (pengepul)
6. Pemanenan selama 2 bulan dan di
distribusikan ke perusahaan
16

Tabel 4-3 di desa Lembasada


Narasumber 7. Bpk Fajar, umur 21 thn
8. Bpk Rasak, umur 23 thn
9. Bpk Kalfin, umur 42 thn
Organisme yang 7. Udang Vanamei dan ikan bandeng
dibudidayakan 8. Udang Vanamei dan ikan bandeng
9. Udang Vanamei dan ikan bandeng
Luas petak tambak 7. Keseluruhan tambak 4 hektar dalam 1
tambak 1 hektar
8. Keseluruhan tambak 3 hektar dalam 1
tambak 1 hektar
9. Keseluruhan tambak 3 hektar dalam 1
tambak 2 hektar
kedalaman tambak 7. 1.5 meter
8. 1 meter
9. 50-1 meter
substrat tanah 7. Berlumpur
8. Berlumpur
9. Berlumpur / berpasir
Jumlah organisme 7. Untuk padat tebarnya 100.000 ekor udang
dalam tiap petak sedangkan 50.000 ekor ikan bandeng
tambak 8. Untuk tambak perhektar padat tebarnya
50.000-100.000 ekor udang sedangkan
50.000 ekor ikan bandeng
9. Untuk tambak 2 hektar/1 tambak jumlah
organismenya 100.000-200.000 ekor
udang sedangkan 50.000 ekor ikan
bandeng
Harga bibit 7. harga udang 75 rupiah dan ikan 80 rupiah
17

8. 55 rupiah udang dan ikan 80 rupiah


9. 50 rupiah untuk udang dan ikan 85 rupiah
Sumber air 7. Air Laut
8. Air Laut
9. Air Laut
Pintu air masuk dan 7. Pintu masuknya ada dan otletnya ada
keluar 8. 1 pintu masuk dan keluar
9. Ada inlet dan outletnya
Hama dan penyakit 7. Hamanya kepiting, ular, burung, siput dan
manusia sedangkan penyakit yang
ditemukan yaitu berbintik putih dan kepala
kemerah-merahan sedangkan pada ikan
terdapat kemerahan pada insang
8. Hamanya Keong, Telescopium, kepiting
sedangkan penyakit yang ditemukan yaitu
berbintik putih sedangkan pada ikan
terdapat kemerahan pada insang dan
pertumbuhan lambat
9. Hamanya Keong, Telescopium, kepiting,
penyakit berbintik putih sedangkan pada
ikan terdapat kemerahan pada insang dan
pertumbuhan lambat
Pakan 7. pellet
8. pellet
9. pellet
Perlakuan (sebelum 7. Sebelum penebaran dilakukan aklimatisasi
pemeliharaan) selama setengah jam dan sebelum
ditebarkan di kolam
pembesaran/pemeliharaan bibit udang
dipelihara selama 2 minggu dan
selanjutnya dilakukan pengracunan pada
kolam dan pengeringan, pemupukan jenis
18

pupuk ponska selama 2 minggu.


8. Sebelum penebaran pemeliharaan
dilakukan pengracunan pada kolam
pengeringan dan pemupukan selama 1
minggu
9. Sebelum penebaran dilakukan aklimatisasi
selama satu jam dan sebelum ditebarkan di
kolam pembesaran/pemeliharaan bibit
udang dan ikan dipelihara selama 2
minggu dan selanjutnya dilakukan
pengracunan pada kolam dan pengeringan,
pemupukan selama 1 minggu.
Pemanenan 7. Pemanenan selama 2-3 bulan dengan
panen total/keseluruhan dan harga
tergantung dari besarnya udang dan ikan
yang dipanen
8. Pemanenan selama 3 bulan untuk udang
dan ikan selama 4-6 bulan,
pendistribusiannya d perusahaan
9. Pemanenan selama 3 bulan untuk udang
dan ikan selama 4-6 bulan,
pendistribusiannya d perusahaan

4.2 Pembahasan

Dari data Hasil wawancara yang di dapatkan pada praktikum lapang Mata

Kuliah Manajemen Budidaya Payau dan Laut, melalui wawancara dengan para

petambak budidaya Udang Kaki Putih (Penaeus vannamei) dengam Sistem Semi-

Intensif maka dapat dibahas yaitu sebagai berikut ;

4.2.1 Persiapan Tambak


19

Sebelum melakukan penebaran setelah pasca panen terlebih dahulu tambak

yang akan dilakukan proses budidaya harus disiapkan secara terstruktur agar

mendapatkan kondisi lahan buidaya yang baik dan kualitas air yang optimal sehingga

udang dapat hidup dengan baik didalam tambak budidaya.

4.2.1.2 Pembersihan dan Pencucian Dasar Tambak

Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola tambak, bahwa pembersihan

tambak dilakukan setelah 3-7 hari setelah panen. Mengingat tambak Semi-intensif

menggunakan konstruksi tambak tanah maka pencucian dan pengeringan tambak

harus dilakukan agar menghilangkan zat-zat racun setelah pasca panen.

Menurut Suzana dan Hayati (2019) menyatakan bahwa Sebelum melakukan

penebaran setelah pasca panen terlebih dahulu tambak yang akan dilakukan proses

budidaya harus disiapkan secara terstruktur agar mendapatkan kondisi lahan budidaya

yang baik dan kualitas air yang optimal sehingga udang dapat hidup dengan baik

didalam tambak budidaya.

4.2.1.3 Pengeringan Dasar Tambak

Berdasarkan hasil wawancara dalam praktek lapang ini didapatkan hasil

bahwa Pengeringan yang dilakukan oleh pembudidaya dilakukan setelah pemanenan

dilakukan. Pengeringan dilakukan dengan cara menguras seluruh air yang ada pada

dasar tambak dengan membuka pipa penutup central drain untuk mengalirkan air

mengalir ke saluran outlet hingga air betul-betul kering, Kemudian dilakukan

pengeringan menggunakan bantuan panas matahari membutuhkan waktu 3-5 hari

penjemuran tergantung cuaca.


20

Pengeringan dilakukan setelah dasar tambak betul-betul bersih dari bahan-bahan

atau zat-zat beracun lainnya. Pengeringan pada dasar tambak bertujuan untuk

menetralkan pH pada tanah dasar tambak, menghilangkan gas-gas beracun dan juga

membantu membunuh bakteri-bakteri atau hama pada dasar kolam (Supono, S. 2018).

4.2.1.4 Pengapuran

Pengapuran dasar tambak dilakukan setelah proses penjemuran selesai, proses

pengapuran dilakukan dengan cara menaburkan kapur pada dasar tambak dengan

dosis sesuai ukuran, untuk ukuran tambak 2.500 m2 khusunya pada tambak system

Semi-intensif, dosis kapur yang digunakan adalah 300 kg/kolam. Untuk kapur yang

digunakan adalah kapur aktif yaitu kapur cAO dan CaCo3. Perlakuan ini bertujuan

untuk meningkatkan konsentrasi keasaman tanah pada dasar tambak dan membantu

membunuh bakteri pathogen yang ada pada dasar tambak.

Menurut (Supono, S. 2018) pegapuran yang diaplikasikan kedalam air dan

tanah akan mengikat ion hidrogen (H+) sehingga mengurangi derajat keasaman dan

meningkatkan pH air dan tanah. Fungsi yang kedua adalah meningkatkan alkalinitas

dan hardnes sedangkan fungsi berikutnya adalah pengikat fosfor (dalam bentuk

fosfat) yang terlarut dalam air. Calcium yang ada pada material kapur akan bereaksi

dengan fosfat sehingga membentuk endapan Ca3 (PO4)2. Berikut adalah kapur yang

digunakan dalam aplikasi pengapuran tambak, yaitu:

1) Kapur pertanian/Kaptan (CaCO3) dengan fungsi utama untuk pH,Hardnes, dan

alkalinitas. Sesuai reaksi.


21

2) Dolomit (CaMg(CO3)2) dengan fungsi utama untuk menaikkan hardnes dan

alkalinitas sesuai reaksi.

4.2.1.5 Pengisian Air

Pengisian air merupakan proses selanjutnya setelah dilakukan proses

pengapuran. Langkah ini di lakukan 2 minggu sebelum penebaran benur dilakukan.

Pada tambak Sistem Semi-intensif pengisian air dilakukan dengan cara mengalirkan

air dari laut dengan cara membuka pintu air kemudian air dialiri melalui saringan

yang berada dibawah tambak yang berfungsi untuk memfilter air yang masuk

kedalam tambak dan bagian ujung di lapisi dengan waring agar hama yang berada

didalam laut tidak mudah masuk kedalam kolam persiapan. Air yang dimasukkan ke

dalam tambak adalah dengan ketinggian air 1,5-2,5 m.

4.2.1.6 Pemberantasan Hama

Secara umum hama dikategorikan menjadi 3 golongan, yaitu golongan

pemangsa (predator), penyaing (kompetitor), dan golongan. Hama merupakan

organisme pengganggu yang dapat mempengaruhi jumlah populasi udang yang

dipelihara (Supono, S. 2018).

Berdasarkan hasil wawancara dengan para petambak budidaya ada hama yang

sering menggangu petambak yaitu kepiting, ular, burung, dan siput. Hal ini Karena

kurangnya Biosecurity pada budidaya menggunakan system semi-intensif ini.

Biosecurity merupakan satuan tindakan yang dapat mengurangi resiko

masuknya penyakit dan penyebarannya dari satu tempat ketempat lainnya. Manfaat

biosecurity adalah untuk memperkecil masuknya penyakit, menekan kerugian


22

yangleebih besar yang disebabkan oleh wabah penyakit, kualitas udang lebih

terjamin, efisiensi waktu pakan, dan tenaga. (Supono, S. 2018)

4.2.1.7 Pemupukan

Pada Tambak Semi-Intensif pemupukan kegiatan pemupukan dilakukan

ketika terjadi penurunan kualitas air yang terjadi akibat hujan/penurunan jumlah

fitoplankton didalam air. Pupuk yag digunakan adalah pupuk jenis Urea.

Asaad (2015), dalam proses budidaya pemupukan sangat diperlukan, baik

pupuk organic maupun pupuk Anorganik terutama pada awal siklus budidaya dan

saat terjadinya die off plankton. Pupuk yang digunakan dalam budidaya meliputi

unsur sumber nitrogen, fosfor dan kalium.

4.2.2 Penanganan Benih/Benur

4.2.2.1 Sumber benih/benur dan pengangkutannya

Dari hasil wawancara adapun benur yang digunakan dalam proses budidaya

semi-intensif, diperoleh dari Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Harga benur yang

didatangkan yaitu 50rp/ekor dengan ukuran PL (Post Larva) 5-6, Benur didatangkan

dengan menggunakan transportasi darat dari tempat asal benur yang kemudian di

antar menggunakan mobil pick up sampai ke lokasi para petambak pembudidaya.

4.2.2.2 Aklimasi

Benur tidak lagsung ditebar di tambak tetapi diberikan perlakuan terlebih

dahulu yaitu aklimatisasi. Aklimatisasi dilakukan selama 15 menit di dalam petak


23

tambak. Hal ini bertujuan untuk menyesuaikan udang dengan suhu air tambak.

Perbedaan suhu yang tidak terlampau jauh dari kemasan benur dan tambak akan

mempercepat penyesuaian lingkungan bagi benur. Setelahnya dimasukkan sedikit air

tambak ke dalam plastik benur dengan tujuan mengadaptasi benur dengan salinitas air

tambak. Benur siap dimasukkan tambak dengan kondisi air berarus yang dibantu

dengan menggunakan kincir. Fungsi kincir saat budidaya udang vaname juga

bertujuan sebagai penyuplai oksigen (Nugraha dkk., 2017). Benur dimasukkan

dengan cara memiringkan kantong benur dan perlahan – lahan benur udang vaname

akan keluar dengan sendirinya.

4.2.2.3 Penebaran benih/benur

Tahap awal sebelum masa pemeliharaan adalah proses penebaran yang

dilakukan setelah proses persiapan tambak. Pengamatan dilakukan di dua petak, yang

kemudian disebut petak A dan B dengan luasan masing-masing petak adalah 2.500

m2. Jumlah benur yang ditebar di petak A dan B sama yaitu 100.000 ekor, sehingga

padat penebarannya adalah 40 ekor/m2. Penebaran dilakukan pada tanggal 28 maret

saat malam hari atau saat suhu air rendah. Benur udang vaname yang digunakan

adalah benur dengan umur atau PL (Post Larva) 5-6 dengan berat awal 0,02 g/ekor.

Kriteria benur udang vaname yang baik rata-rata sudah mempunyai organ

insang yang sempurna, seragam atau rata, tubuh benih dan usus terlihat jelas,

berenang dengan melawan arus. Arsad, et al (2017) juga menyatakan kriteria benur

yang baik dapat dilihat dari ukuran benih seragam, memiliki panjang > 6 mm,

berenang secara aktif dan melawan arus, tubuh berwarna bening, serta terhindar dari
24

infeksi virus dan bakteri. Proses penebaran benur dilakukan pada pagi, sore atau

malam hari, dan terlebih dahulu dilakukan aklimasi agar benur dapat beradaptasi

terlebih dahulu dengan kondisi lingkungan tambak (Effendi., H. 2003).

4.2.3 Pemeliharaan

4.2.3.1 Manajemen Pakan

Manajemen pemberian pakan dalam budidaya udang vanname dengan sistem

semi-intensif di 3 desa itu dilakukan dengan frekuensi pemberian sebanyak 3 kali

selama 24 jam dengan range waktu selama 4 jam sekali tetapi hanya dilakukan pada

pagi, siang, dan sore hari saja dan jumlah total pakan yang diberikan sebanyak 4 kg

per hari.

Sistem budidaya secara semi-intensif mengahruskan pemberian pakan

tambahan mengunakan pellet atau pakan buatan. Pemberian pakan merupakan salah

satu fakor keberhasilan dalam kegiatan produksi. Pengaruh besar pakan terhadap

udang adalah dari segi pertumbuhan dan perkembangan. Pakan yang termakan oleh

udang akan diolah dan diserap dalam tubuh udang sebagai sumber energi, gerak dan

reproduksi (Wulandari, 2020).

4.2.3.2 Manajemen Kualitas Air

Manajemen/pengelolaan kualitas air pada tambak sistem semi-intensif dari

hasil wawancara dilakukan dengan cara, sebagai berikut:

1. Penggunaan Probiotik

Probiotik adalah bakteri yang memiliki peran positif (bermanfaat) yang diasukkan

kedalam tambak udang. penerapan probiotik pada udang bertujuan untuk


25

menyeimbangkan mikroorganisme dalam pencernaan agar tingkat penyerapannya

semakin tinggi. Probiotik juga memilki manfaat untuk menguraikan senyawa-

senyawa sisa metabolisme biota dalam air, sehingga dapat meningkatkan nilai

kualitas air (Fuady dan Haerudin, 2013).

2. Pengapuran

Pengapuran merupakan salah satu aplikasi pengelolaan kualitas yang sangat

berperan dalam meningkatkan nilai parameter kualitas air. Tujuan pengapuran adalah

sebagai pengontrol pH air dan juga sebagai nutrient bagi plankton sehingga

kebutuhan plankton akan unsur hara terpenuhi. Selain sebagai pengontrol pH

pengapuran dilakukan pada saat udang molting massal dengan tujuan untuk

mempercepat pergantian kulit agar kulit. Kapur yang digunakan adalah Azomite dan

Kaptan (kapur pertanian, dengan dosis pemberian 7 kg setiap tambak (sesuai dengan

kondisi air).

3. Pergantian Air

Pergantian air di tambak Sistem semi-intensif ini dimaksudkan untuk menjaga

kualitas air untuk pertumbuhan udang dan dapat menekan tingkat mortalitas udang.

pergantian air dilakukan seminggu sekali dengan mengganti air sebanyak 20-30%

dari volume air ditambak.

Kualitas air merupakan syarat mutlak yang harus selalu dijaga dalam proses

budidaya, dimana pengelolaan media budidaya dapat dikatakan berjalan dengan baik

dan benar jika kualitas air lingkunganya berada dalam kisaran yang sesuai dengan

pertumbuhan organisme budidaya. Zainuddin, dkk., 2018)


26

Parameter kualitas air adalah beberapa ukuran yang digunakan untuk mengetahui

kualitas air, dilihat dari segi fisika, kimia dan biologi air. Beberapa parameter kualitas

air tersebut meliputi suhu, salinitas, DO, pH, dan amoniak.

4.2.3.3 Manajemen Kesehatan Udang

Dari hasil wawancara dapat diketahui bahwa manajemen kesehatan udang pada

tambak sistem semi-intensi milik BBIP-Kampal dilakukan dengan cara pengamatan

secara langsung terhadap udang di tambak budidaya melalui pengecekan anco.

Pengamatan tersebut dilakukan terhadap kondisi udang, meliputi: nafsu makan,

pertumbuhan, kelengkapan organ tubuh udang dan jaringan tubuh. Upaya penanganan

penyakit yang dilakukan oleh pihak pengelola BBIP-kampal adalah dengan

memberikan perlakuan aplikasi probiotik pada udang yang dibudidaya dengan cara

melarutkan probiotik kedalam air budidaya. Probiotik yang digunakan adalah Super

PS. Selain dengan aplikasi probiotik penanganan penyakit dilakukan dengan

mebersihkan dasar kolam (Sipon) atau juga melakukan pergantian air sebanyak 30

persen dari air yang ada didalam kolam budidaya.

Manajemen kesehatan udang merupakan salah faktor penentu dalam

keberhasilan budiadaya udang vannamei. Salah satunya adalah penanganan penyakit

dan hama pada kolam budiadaya. Permasalahan pemeliharaan dalam penanganan

udang adalah adanya serangan penyakit dan penurunan kualitas air sehingga dapat

menyebabkan turunnya kelulushidupan udang (Purnamasari dkk., 2017)

Secara umum penyakit udang disebabkan karena adanya faktor dari luar

(eksternal) seperti pathogen dan lingkungannya, sedangkan penyakit yang disebabkan


27

dari dalam (internal) terjadi karena penggunaan atau pemilihan benur yang

berkualitas rendah sehingga benur atau udang yang akan dibudidayakan akan mudah

terserang oleh penyakit (Budiardi dkk., 2008)

4.2.4 Pemanenan dan Pemasaran

Panen merupakan salah satu kegiatan terakhir yang dilakukan setelah proses

budidaya. Panen adalah tahap akhir dari proses budidaya untuk mengetahui

keuntungan dan kerugian. Panen dapat dilakukan kapan saja, tergantung kondisi

udang dan umur udang (Pratama dkk., 2017). Keberhasilan dan keuntungan seorang

petambak dapat ditentukan setelah melakukan kegiatan panen. Dalam melakukan

panen para petambak harus memperhatzikan faktor-faktor yang dapat menurunkan

kualitas udang. Dengan demikian, petambak dapat meminimalkan kerugian akibat

kesalahan dalam memanen dan perhitungan pasar.

4.2.4.1 Panen Total

Panen Total adalah panen yang dilakukan untuk mengambil seluruh

organisme yang dibudidayakan. Dari hasil wawancara yang dilakukan yaitu para

petambak udang vannamei ini melakukan panen total dilakukan pada pagi hari. panen

ini dilakukan oleh banyak orang agar proses pemanenan lebih mudah dan cepat.

Panen ini dilakukan pada usia udang 90 hari atau bahkan 120 hari pemeliharaan atau

ketika udang mencapai ukuran 50-70/kg dan SR mencapai 95%.

Pada tambak system budidaya semi-intensif milik pembudidaya di ke 3 desa

tersebut menjelaskan proses panen total dilakukan denan cara menguras seluruh air

yang ada didalam kolam budidaya dengan cara mngeluarkan air melalui pintu air
28

sentral kemudian air dialirkan ke saluran outlet atau pembuangan. Setelah air kering

maka proses panen dapat dilakukan yaitu dengan mengumpul udang didasar tambak.

Pengangkutan udang dari dalam kolam dilakukan menggunakan blong atau potongan

drum yang kemudian udang tersebut dilansir menggunakan mobil pick up menuju

area penimbangan. Setelah udang dilansir ketempat penimbangan, maka udang akan

ditangani oleh pembeli dan manager tambak.

Panen siap dilakukan pada sore sampai malam hari saat matahari terbenam.

Pemanenan udang menggunakan jarring dan kemudian ditampung dalam bak

penampungan. Umumnya panen dilakukan saat matahari terbenam atau pada saat

malam hari, hal ini dilakukan karena menghindari terik matahari dan mengurangi

resiko udang berganti kulit akibat panen karena stress (Haliman, 2005).

4.2.4.3 Pemasaran Hasil

Berdasarkan dari hasil wawancara dengan para petambak dari ketiga desa

tersebut, Pemasaran hasil panen oleh para petambak berlangsung dilokasi panen.

Yang mana para pembeli atau pemborong akan datang langsung kelokasi untuk

mengambil hasil panen. Untuk estimasi harga udang disesuaikan oleh ukuran dan

mutu udang. Perusahaan yang memiliki penawaran harga tertinggi maka udang hasil

panen akan dijual ke perusahaan tersebut. Biasanya Pembeli/perusahaan yang

melakukan transaksi pada dengan para petambak berasal dari kota makssar.
29

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil dan pebahasan di atas maka dapat di tarik kesimpulan, Proses

budidaya harus disiapkan secara terstruktur agar mendapatkan kondisi lahan buidaya

yang baik dan kualitas air yang optimal sehingga udang dapat hidup dengan baik

didalam tambak budidaya. Biosecurity merupakan satuan tindakan yang dapat

mengurangi resiko masuknya penyakit dan penyebarannya dari satu tempat ketempat

lainnya.

Penanganan benih yang baik agar benih udang dapat menyesuaikan dengan

suhu air tambak. Perbedaan suhu yang tidak terlampau jauh dari kemasan benur dan

tambak akan mempercepat penyesuaian lingkungan bagi benur. Kualitas air

merupakan syarat mutlak yang harus selalu dijaga dalam proses budidaya, dimana

pengelolaan media budidaya dapat dikatakan berjalan dengan baik dan benar jika

kualitas air lingkunganya berada dalam kisaran yang sesuai dengan pertumbuhan

organisme budidaya. Parameter kualitas air adalah beberapa ukuran yang digunakan

untuk mengetahui kualitas air, dilihat dari segi fisika, kimia dan biologi air.

5.2 Saran

Sebaiknya pada saat praktikum selanjutnya praktekan semua dapat melakukan

proses wawancara lebih baik lagi agar dapat mengumpulkan data lebih optimal.
30

DAFTAR PUSTAKA

Akbaidar. Gesty., A. J. (2013). Penerapan Manajemen Kesehatan Budidaya Udang


Vannamei (Litopenaeus vannamei) Di Sentra Budidaya Udang Desa Sidodadi Dan
Desa Gebang Kabupaten Pesawaran. Lampung. Fakultas Perikanan Uiversitas
Lampung.

Arsad, S., Ahmad, A., Atika, P., Betrina, M., Dhira, S., & Nanik, R. B. (2017). Studi
Kegiatan Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) dengan Penerapan Sistem
Pemeliharaan Berbeda. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan, 1-14.

Asaad, A. I. J., Makmur, M., & Syah, R. (2015, December). ANALISIS JARINGAN KERJA
PADA PERSIAPAN TAMBAK TEKNOLOGI SUPER INTENSIF DI KABUPATEN
TAKALAR BERDASARKAN CRITICAL PATH METHOD (CPM) DAN
PROGRAM EVALUATION AND REVIEW TECHNIQUE (PERT). In Prosiding
FORUM INOVASI TEKNOLOGI AKUAKULTUR (pp. 931-938).

Andi Sahrijanna dan Sahabuddin Teknologi akuakultur 2014. Kajian kualitas air pada
budidaya udang vaname (Litopanaeus vannamei) dengan sistem pergiliran pakan
ditambak intensif

Andriyanto F, Efani A, Riniwati H. 2013. Analisis Faktor-Faktor Produksi Usaha


Pembesaran Udang Vanname (Litopenaeus vannamei) Di Kecamatan Paciran
Kabupaten Lamongan Jawa Timur ; Pendekatan Fungsi Cobb-Douglass. Jurnal
ECSOFiM. Vol.1. No.1. Hal.1-10

Affandi. R, Toelihere, M. R, Yulfiperus dan Sjafei. D. S., 2004. Pengaruh Alkalinitas


Teriiadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Ikan

Agustina R. L, Hudaidah S, Supono. 2015. Keragaan Udang Putih (Litopenaeus Vannamei)


Pada Densitas Yang Berbeda Dengan Sistem Bioflok Pada Fase Pendederan. Jurnal
Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Vol.3. No. 2. Hal.1

Budiardi, T., Muluk, C., Widigdo, B., Praptokardiyo, K., & Soedharma, D. (2008). Tingkat
pemanfaatan pakan dan kelayakan kualitas air serta estimasi pertumbuhan dan produksi
udang vaname (Litopenaeus vannamei, Boone 1931) pada sistem intensif. Jurnal Ilmu-
Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, 15(2), 109-116.

Effendi, F. 2000.Budidaya Udang Putih.Penebar Swadaya, Jakarta.

Effendi., H. (2003). Telaah Kualitas Air, Bagi Pengelolaan Sumber Daya Dan Lingkungan
Perairan. Kanisius.

Farchan, M. 2006. Teknik Budidaya Udang Vaname. BAPPL Sekolah Tinggi Perikanan,
Serang.
31

Fidari, J. S., & Maftuch, M. B. (2017). Perencanaan model desain kolam tambak intensif
Kabupaten Probolinggo. Jurnal Teknik Pengairan, 8(2), 252-261.

Gusmaweti dan Deswanti. L., 2015. Analisis parameter fisika-kimia sebagai salah satu
penentu kualitas perairan batang Palangki Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat. Buku
seminar nasional XII pendidikan Biologi FKIP UNS. Hal 799-803.

Haliman., R. W. (2005). Udang Vannamei, Pembudidayaan dan Prospek Pasar Udang Putih
yang Tahan Penyakit. Jakarta: Penebar Swadaya.

Katili, V. R., & Adrianto, L. (2017). Evaluasi Emergy Pengembangan Sistem Budidaya
Udang Supra Intensif di Kawasan Pesisir Mamboro, Kota Palu, Provinsi Sulawesi
Tengah. Journal of Natural Resources and Environmental Management, 7(2), 138-
147.

Lama, A. W. H., Darmawati, D., & Wahyu, F. (2020). OPTIMASI PADAT TEBAR
TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP UDANG
VANAME (Litopenaus Vannamei) DENGAN SISTEM RESIRKULASI. OCTOPUS:
JURNAL ILMU PERIKANAN, 9(1), 48-52.

Mustafa, A. (2008). Desain, tata letak, dan konstruksi tambak. Media Akuakultur, 3(2), 166-
174.

Nugraha, N. P., Muhammad, A., & Tri, Y. M. (2017). Rekayasa Kincir Air pada Tambak
LDPE Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei) di Tambak UNIKAL Slamaran. PENA
Akuatika, 103 - 115.

Purnamasari, I., Purnama, D., & Utami, M. A. F. (2017). Pertumbuhan udang vaname
(Litopenaeus vannamei) di tambak intensif. Jurnal Enggano, 2(1), 58-67.

P.Purba, dan M.A.Khan. 2010 Karakteristik fisika kimia perairan pantai dumai pada musim
peralihan. Jurnal akuatika Vol.1 No.1

Panjaitan A. S. 2012. Pemeliharaan Larva Udang Vaname (Litopenaeus vannamei, Boone


1931) dengan Pemberian Jenis Fitoplankton yang Berbeda. Program pascasarjana,
universitas terbuka, jakarta. Hal.1-24

Pujiastuti, C. 2008. Kajian Penurunan Ca dan Mg dalam Air Laut Menggunakan Resin
(Dowex). Fakultas Teknologi Industri UPN Veteran. Jawa Timur. Jurnal Teknik
Kimia. 3 (1).

Pratama, A., Wardiyanto, & Supono. (2017). Studi Performa Udang Vaname (Litopenaeus
vanamei) yang Dipelihara dengan Sistem Semi Intensif pada Kondisi Air Tambak
dengan Kelimpahan Plankton yang Berbeda pada Saat Penebaran. Jurnal Rekayasa
dan Teknologi Budidaya Perairan, 644 - 652.

Riani, H., Rostika, R., & Lili, W. (2012). Efek pengurangan pakan terhadap pertumbuhan
udang vaname (Litopenaeus vannamei) PL-21 yang diberi bioflok. Jurnal Perikanan
Kelautan, 3(3).
32

Sa’adah W. 2008. Analisa Usaha Budidaya Udang Vannamei (Lithopenaeus vannamei) dan
Ikan Bandeng (Chanos-chanos Sp.)di Desa Sidokumpul Kecamatan
Lamongankabupaten Lamongan Jawa Timur. Hal.1

Sahrijanna A dan Sahabuddin. 2014 Kajian Kualitas Air Pada Budidaya Udang Vanname
(Litopenaeus vanname) Dengan Sistem Pengiliran Pakan Di Tambak Intensif. Balai
Penelitian dan pengembangan budidaya air payau. Jl. Makmur No.129

Suzana, S. H., & Hayati, I. (2019). PROFITABILITAS PEMBESARAN UDANG


VANNAMEI (Litopenaues Vannamei) TEKNOLOGI INTENSIF PADA PT SEGARA
INDAH KECAMATAN BESUKI KABUPATEN TULUNGAGUNG PROVINSI
JAWA TIMUR.

Supono, S. (2018). Manajemen Kualitas Air untuk Budidaya Udang.

Suwoyo, H. S., & Mangampa, M. (2010). Aplikasi probiotik dengan konsentrasi berbeda
pada pemeliharaan udang vaname (Litopenaeus vannamei). In Prosiding Forum
Inovasi Teknologi Akuakultur (pp. 239-247).

Supono. 2011. Optimalisasi Budidaya Udang Putih (Litopenaeus vannamei ) Melalui


Peningkatan Kepadatan Penebaran Di Tambak Plastik. Vol.29. No.1. Hal.1-2

Supono. 2008. Analisis Diatom Epipelic sebagai Indikator Kualitas Lingkungan

Tambak untuk Budidaya Udang. Universitas Diponegoro. Semarang.

Zakaria R. A. S. 2010. Manajemen Pembesaran Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Di


Tambak Udang Binaan Dinas Kelautan Dan Perikanan Kabupaten Pamekasan.
Fakultas Kedokteran, Hewan Universitas Airlangga, Surabaya. Hal.1-21

Wulandari, A. (2020). Estimasi beban limbah nutrien terhadap daya dukung lingkungan


untuk budidaya udang vannamei (litopenaeus vannamei) semi intensif di Desa
Banjar Kemuning (Doctoral dissertation, UIN Sunan Ampel Surabaya).

Yuni kilawati dan Yunita Maimunah 2015. Kulitas lingkungan tambak intensif (Litopanaeus
vannamei) dalam kaitannya dengan prevalensi penyakit White Spot Syndrome Virus

Zainuddin, Z., Aslamyah, S., & Hadijah, H. (2018). Efek dari perbedaan sumber karbohidrat
pakan terhadap kualitas air, komposisi proksimat dan kandungan glikogen juvenil
udang vannamei Litopenaeus vannamei (Boone, 1931). Jurnal Ilmiah Samudra
Akuatika, 2(1), 1-8.
33

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai